• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rancang bangun model pengelolaan terumbu karang berbasis resiliensi eko sosio system (kasus di Teluk Kotania Provinsi Maluku)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Rancang bangun model pengelolaan terumbu karang berbasis resiliensi eko sosio system (kasus di Teluk Kotania Provinsi Maluku)"

Copied!
178
0
0

Teks penuh

(1)

(Kasus

IN

sus di Teluk Kotania Provinsi Maluku)

MASUDIN SANGAJI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Rancang Bangun Model Pengelolaan Terumbu Karang Berbasis Resiliensi Eko-Sosio System (Kasus di Teluk Kotania Provinsi Maluku), adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Pebruari 2012

(3)

MASUDIN SANGAJI,

DESIGN OF MANAGEMENT MODEL OF CORAL REEFS BASED ON THE RESILIENCE EKO-SOSIO SYSTEM (A Case Of Kotania Bay, Mollucas Province). Under supervision of Achmad Fahrudin, Ismudi Muchsin, and Muhammad Mukhlis Kamal.

Resilience is a complex adaptive system's ability to absorb disturbances, to organize themselves independently and to build capacity to learn and adapt from the change of a sudden, so as to retain essential structures and processes and provide feedback. The research was conducted in the Kotania bay the following objectives: 1) identify and analyze the parameters of the eko-sosio resilience of coral reefs, 2) formulate a model of eko-sosio index resilience of coral reefs, 3) estimate the level of eko-sosio resilience of coral reefs, 4) develop adaptation strategies based on management of coral reef eko-sosio resilience. Research method used is survey data derived from primary and secondary data. Analysis of social-ecological resilience using a system approach to the formula IRES (social-ecological resilience index). Results of analysis showed that the Kotania Bay has a value of eko-sosio highest resiliency and lowest 0.74 and 0.01 are categorized in the high resilient, Midle resilient, low resilient, very low resilient. The resilience index formula of eko-sosio able to estimate changes in the value of resilience that occur each year. In 2025, if coral reefs are not be managed then its resilience will decrease to be low and very low resilien, and eko-sosio resilient of coral reefs will be lost. Participatory adaptation model is able to slow the rate of decline eko-sosio resilience of coral reefs, while the prospective adaptation model able to increase the prospective eko-sosio resilience of coral reefs and create conditions for better resilience. MPE analysis results (Method Comparison of Exponential) three alternative livelihoods that can be developed into a model of participatory adaptation strategies and adaptation strategies prospectively. The third alternative livelihoods that step cage nets, seaweed cultivation, and cultivation of mangrove crab. Based on the understanding of social-ecological resilience of the policy implications of coral reef management strategies in Kotania Bay divided into three clusters management; 1) cluster management of high-resilience category, 2) cluster management of low resilience category, and 3) cluster management is very low resilience category.

(4)

MASUDIN SANGAJI, Rancang Bangun Model Pengelolaan Terumbu Karang Berbasis Resiliensi Eko-Sosio System (Kasus di Teluk Kotania Provinsi Maluku), dibawah bimbingan ACHMAD FAHRUDIN, ISMUDI MUCHSIN, dan M. MUKHLIS KAMAL.

Isu paling penting yang berhubungan dengan perubahan iklim global (climate change) yang relevan dengan pengelolaan ekosistem terumbu karang masa depan adalah resiliensi ekosistem. Hal ini sesuai dengan konsep pengelolaan pesisir yang menekankan pada respon ekosistem. Pemahaman tersebut menyadarkan pentingnya teknik menilai resiliensi ekosistem terumbu karang serta pengembangan pendekatan yang dibutuhkan untuk beradaptasi. Resiliensi adalah kemampuan sistem kompleks yang adaptif untuk mengabsorbsi gangguan, mereorganisasikan diri dan membangun kapasitas belajar yang adaptif dari perubahan yang bersifat mendadak, memperbaiki proses dan struktur yang esensial serta menyediakan umpan balik. Resiliensi ekologi-sosial terumbu karang adalah kemampuan sistem ekologi-sosial untuk memelihara, melakukan reorganisasi dan pembentukan manajemen adaptasi guna mengembalikan komunitas asal setelah mengalami gangguan serta menyediakan umpan balik bagi tata kelola yang lebih stabil. Selama ini, persoalan yang mendasar dalam pengelolaan terumbu karang adalah mekanisme pengelolaan ekosistem terumbu karang tidak efektif untuk memberi kesempatan kepada sumberdaya ekosistem terumbu karang yang dimanfaatkan pulih kembali. Rendahnya tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat di Teluk Kotania akan pentingnya fungsi terumbu karang, ditambah lagi tidak mudahnya mencari alternatif pekerjaan menambah tekanan terhadap terumbu karang semakin tinggi dan kompleks.

Penelitian ini bertujuan: 1) mengidentifikasi dan menganalisis parameter resiliensi eko-sosial terumbu karang, 2) memformulasikan model indeksresiliensi eko-sosio terumbu karang, 3) mengestimasi tingkat resiliensi eko-sosial terumbu karang di Teluk Kotania, 4) menyusun strategi adaptasi pengelolaan terumbu karang berdasarkan resiliensi eko-sosial di Teluk Kotania, 5) Mendesain Model Resilliensi Ekologi Sosial-Coral Reef Management (MORESIO-CRM).

Terumbu karang yang terdapat di Teluk Kotania berkisar antara 26 sampai 67 spesies dengan 6 sampai 13 famili. Kelimpahan spesies tertinggi di temukan pada stasiun 9 dan stasiun 10, sedangkan kelimpahan spesies terendah dimiliki oleh stasiun 17. Persentasi terumbu karang di Teluk Kotania berkisar antara 12.17% sampai 83.51%, nilai persentasi tertinggi dimiliki oleh stasiun 10 dan terendah terdapat di stasiun 8. Berdasarkan kriteria kelas persentasi tutupan karang menurut KLH 2001, maka terumbu karang di Teluk Kotania memiliki kelas buruk sampai sangat baik.

(5)

dikategorikan menjadi 4 kelas yaitu very low resilient, low resilient, midle resilient dan high resilient. Dengan menggunakan formula IRES (indeks resiliensi ekologi-sosial coral reef management) maka penilaian resiliensi eko-sosio terumbu karang dapat dilakukan dengan akurat. Kondisi resiliensi eko-eko-sosio terumbu karang di Teluk Kotania, jika tidak dilakukan pengelolaan maka secara dinamik diprediksi pada tahun 2025 seluruh terumbu karang di Teluk Kotania rentan kehilangan daya resilient. Prediksi spasial di tahun 2010, terdapat 4 (empat) kelas resiliensi yang terdiri atas high resilient sebesar 21.05%, midle resilient 26.32%, low resilient 21.05%, dan very low resilient 31.58%, namun di tahun 2015 kelas resiliensi terumbu karang menjadi tiga yaitu very low resilient (47.37%), low resilient (42.11%), dan midle resilient (10.53%) sedangkan pada tahun 2020 terjadi penurunan kelas resiliensi menjadi 2 yang didominasi olehvery low resilient 73.68% dan low resilient hanya sebesar 26.32%. Sedangkan untuk tahun 2025 terjadi perubahan kategori resiliensi eko-sosioterumbu karang secara signifikan dimana tingkat resiliensi terumbu karang seluruh stasiun masuk dalam kategori very low resilient bahkan pada stasiun 12 (St.12) dan stasiun 15 (St.15) daya resiliensi terumbu karang terancam hilang yang berarti bahwa pada kondisi tersebut terumbu karang sudah sangat rentan.

Hasil analisis MPE (Metode Perbandingan Eksponensial) terdapat tiga mata pencaharian alternatif yang dapat dikembangkan menjadi model strategi adaptasi partisipatif dan strategi adaptasi prospektif. Hasil prediksi formulasi model partisipatif dengan skenario 10%, 26% dan 46% mampu memperlambat laju penurunan indeks resiliensi eko-sosio, sedangkan prediksi model strategi adaptasi prospektif dengan skenario 40%, 56% dan 76% mampu memicu kenaikan indeks resiliensi eko-sosio terumbu karang dan mampu menciptakan kondisi resiliensi yang lebih stabil serta berpeluang terciptanya kondisi resiliensi eko-sosio terumbu karang dengan peringkatextrime resilient(sangat tinggi) untuk masa depan. Berdasarkan pemahaman resiliensi ekologi-sosial maka implikasi kebijakan strategi pengelolaan terumbu karang di Teluk Kotania dibagi dalam tiga cluster pengelolaan yaitu : 1) cluster pengelolaan kategori resiliensi tinggi, 2) cluster pengelolaan kategori resiliensi rendah, dan 3) cluster pengelolaan kategori resiliensi sangat rendah.

(6)

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

(Kasus di Teluk Kotania Provinsi Maluku)

MASUDIN SANGAJI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

2. Dr. Ir. Sam Wouthuyzen, APU

(Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia/LIPI)

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. Ir. Alex S.W. Ratraubun, M.Sc

(Wakil Menteri Perindustrian RI dan Guru Besar FPIK Universitas Pattimura Ambon)

2. Dr. Ir. Sri Yanti J.S. MPM

(9)

Judul Disertasi : Rancang Bangun Model Pengelolaan Terumbu Karang Berbasis Resiliensi Eko-Sosio System (Kasus di Teluk Kotania Provinsi Maluku)

Nama : Masudin Sangaji

N I M : C262080071

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si.

Ketua

Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc.

Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

(10)

Alhamdulillah, segala puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat-Nya yang tak terhingga kepada penulis dan keluarga sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Penelitian ini mengambil tema Rancang Bangun Model Pengelolaan Terumbu Karang Berbasis Resiliensi Eko-sosio System (Kasus di Teluk Kotania Provinsi Maluku). Tema yang diangkat dalam penelitian ini terinspirasi oleh diskusi dan sintesis beberapa jurnal ilmiah internasional tentang bidang kajian resiliensi khususnya yang berkaitan dengan resiliensi terumbu karang.

Sebagian dari disertasi ini diterbitkan di Jurnal CHOLOROPHYL volume 7 nomor 3 edisi Oktober 2011 berjudul Model Adaptasi Pengelolaan Terumbu Karang Berbasis Resiliensi Eko-sosio System. Dan diterbitkan dalam Jurnal ICHTHYOS Volume 11 Nomor 1 edisi Januari 2012 dengan judul Formulasi Indeks Resiliensi Eko-Sosio System Terumbu Karang.

Penulis menyadari bahwa banyak hambatan dan tantangan dalam proses persiapan rencana penelitian, pelaksanaan penelitian hingga penulisan dan penyusunan disertasi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih dan menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si sebagai ketua komisi pembimbing maupun sebagai pribadi, Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin sebagai anggota komisi pembimbing maupun sebagai pribadi, dan Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc. sebagai anggota komisi pembimbing maupun sebagai pribadi, yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan, nasehat, dan petunjuk sejak proposal rencana penelitian hingga penyusunan disertasi ini. Selama melakukan riset, penulis mendapatkan bantuan bahan rujukan, inspirasi, dan teman diskusi dari rekan dan ilmuwan senior serta lembaga internasional. Untuk itu, penulis berterima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Dietrich G. Bengen DEA, Dr. Ir. Luky Adrianto M.Sc, Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal M.Sc, , Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma (IPB); Dr. Amiruddin Taher, WCS Marine Program Bogor; CRITC COREMAP; Centre for Coral Reef Biodiversity Dept. of Marine Biology James Cook University Australia; Australian Research Council Centre of Excellence for Coral Reef Studies, James Cook University Australia; Stockholm Resilience Centre and Department of Systems Ecology Stockholm University Swedia.

Selama menempuh studi S3 di IPB, penulis mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku Ketua Program Studi SPL beserta staf akademik yang telah banyak membantu proses-proses administrasi selama penulis menempuh studi program doktoral di IPB. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA dan Dr. Ir. Sam

(11)

4. Bapak Dr. Ir. Luky Adrianto, MSc dan Dr. Ir. Fredinan Yulianda, MSc yang telah bersedia menjadi penguji pada ujian kualifikasi (prelium) program doktoral.

5. Staf pengajar Sekolah Pascasarjana IPB, secara khusus kepada staf pengajar Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Departemen MSP IPB, atas dedikasi dan keteladanan yang diberikan. 6. Masyarakat Kampung Pohon Batu, Pelita Jaya, Resetlemen, Kotania Atas,

Kotania Bawah, Wael, Loupessy, Taman Jaya dan khususnya masyarakat Kampung Pulau Osi yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian di lapangan.

7. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, atas bantuan beasiswa BPPS Tahun 2008-2011.

8. Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, atas bantuan beasiswa penulisan disertasi Tahun 2011 dari program COREMAP II 9. Rekan-rekan mahasiswa S3 SPL angkatan 2008 (Dr. Siti Hilyana, Andreas

Dipi Patria, Abd. Haris Sambu, Martini Djamhur, Iwan Hi.Kadir, Hariyani Sambali, Febriyanti Lestari, dan Agus Romadhan), terima kasih atas semangat dan kebersamaan yang tercipta selama ini, kalian adalah teman diskusi dan pemberi semangat terbaik.

10. Bapak Dr. Ir. La Ega, MS beserta keluarga dan Bang Hamra Samal, SH beserta keluarga, atas dukungan, motivasi dan bantuan yang diberikan. 11. Berbagai pihak yang telah membantu dan tidak sempat disebutkan

Ungkapan terima kasih yang tulus kepada Ibunda Hj. Aisya Makian/Sangadji dan Ayahanda Radjab Sangadji (Almarhum), Nenek Hawa Kaliki/Makian (Almarhumah) dan Kakek Mohammad Saleh Makian (Almarhum), Kedua Mertua saya Ayahanda Hi. Dahlan Kaplale dan Ibunda Hj. Hanifah Kaplale (Almarhumah), Kakaku Raman Sangaji, Ir. Suman Sangaji M.Si, Buyung Makian, Halimah Syukur S.Pd, Mirna Sangaji Syukur S.Pd, dan adikku Muthalib Sangaji SE, serta seluruh keluarga atas segala do’a, motivasi, semangat dan kasih sayang yang diberikan kepada penulis selama menempuh studi program Doktoral di IPB.

Terima kasih kepada Istriku tercinta Wiwiek Sangaji S.Sos dan anakku tersayang Naurah Syifa’ Syauqiyah Sangaji atas spirit, iringan do’a, dukungan, kebersamaan dan kesabaran serta pengertian yang diberikan selama menemani penulis menempuh studi S3 di IPB. Kalian adalah bintang dan matahariku yang selalu memberikan cahaya pemicu semangat dalam mengiringi langkah-langkah studiku.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Pebruari 2012

(12)

Penulis dilahirkan di Desa Katapang Kecamatan Huamual Kabupaten Seram Bagian Barat pada tanggal 13 Agustus 1974 sebagai anak ke lima dari tujuh bersaudara dari Ibunda Hj. Aisya Sangadji/Makian dan Ayahanda Radjab Sangadji (Almarhum).

Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri Katapang pada tahun 1987, sekolah menengah pertama di SMP Huamual Lokki pada tahun 1990, dan sekolah menengah atas di SMA PGRI 2 Ambon pada tahun 1993. Pada tahun 1994 penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Pertanian Universitas Darussalam Ambon dan lulus pada tahun 1999. Pada tahun 2001 penulis diterima sebagai mahasiswa S2 Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 2003. Kesempatan untuk melanjutkan studi Doktor (S3) pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2008.

Kajian tentang pengelolaan terumbu karang mulai ditekuni penulis tahun 2002. Sejak tahun 2005 sampai sekarang penulis bekerja sebagai dosen pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura Ambon. Di tahun 2003-2008 penulis bekerja sebagai dosen tidak tetap di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Darussalam Ambon. Penulis pernah bekerja sebagai voulentier dan tim peneliti serta staf di beberapa NG’O nasional dan internasional serta lembaga pemerintah dan BUMD seperti; Baileo Foundation, ARTI Foundation, MSF-Belgium, UNDP Jakarta, Pusram Maluku, Kapet Seram, PD. Praja Karya. Selain itu, penulis aktif mengikuti seminar nasional dan internasional yang berkaitan dengan pengelolaan ekosistem pesisir dan lautan, serta menjadi pointer pada beberapa diskusi nasional tentang pengelolaan ekosistem pesisir dan lautan.

Selama studi di pogram S3 SPL IPB, penulis aktif di Dewan Mahasiswa Pascasarjana IPB dan menjadi Ketua Umum Wacana Pesisir IPB periode 2010-2011. Penulis pernah memberikan praktikum system spasial-dinamik untuk mata kuliah Analisis Hirarki Pengelolaan Pesisir dan Lautan di Program S3 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (SPL-IPB).

(13)

xiii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... xviii

DAFTAR GAMBAR ... xix

DAFTAR LAMPIRAN... xxi

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Perumusan masalah ... 4

1.3 Tujuan dan manfaat penelitian ... 9

1.4 Kerangka pemikiran ... 10

1.5 Ruang lingkup penelitian... 12

1.6 Novelty(Kebaharuan) ... 13

2. KAJIAN PUSTAKA 2.1 Resiliensi eko-sosio system pesisir dan pulau-pulau kecil ... 17

2.2 Konsep resiliensi dalam kaitanya dengan sistem ekologi-sosial 21 2.3 Konsep resiliensi ekosistem terumbu karang ... 30

2.4 Komponen yang berperan penting dalam kehidupan terumbu karang ... 35

2.5 Kerusakan ekosistem terumbu karang... 38

2.6 Sistem dan sistem dinamik ... 41

3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan lokasi penelitian ... 47

3.2 Jenis dan Sumber data ... 48

3.3 Metode pengambilan contoh ... 49

3.4 Metode analisa data ... 51

3.4.1 Analisis kondisi ekosistem terumbu karang karang ... 51

3.4.2 Analisis resiliensi... 51

3.4.3 Rancang bangun MORESIO-CRM ... 57

3.5 Penentuan bobot parameter resiliensi resiliensi ekologi-sosial .. 58

3.6 Penentuan cluster pengelolaan resiliensi ekologi-sosial... 60

4. KARAKTERISTIK TELUK KOTANIA 4.1 Karaktersitik geofisik Teluk Kotania ... 63

4.2 Karakteristik parameter fisika-kimia perairan... 65

4.3 Karakteristik ekosistem dan sumberdaya pesisir... 66

4.4 Karakteristik sosial budaya masyarakat ... 74

4.5 Penilaian kondisi ekosistem terumbu karang ... 76

(14)

xiv 5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Identifikasi dan analisis resiliensi ekologi-sosial terumbu karang 83

5.1.1 Penilaian resiliensi ekologi terumbu karang ... 83

5.1.2 Penilaian resiliensi sosial terumbu karang ... 86

5.1.3 Penilaian resiliensi ekologi-sosial (eko-sosio) terumbu karang ... 88

5.2 Formulasi indeks resiliensi ekologi-sosial terumbu karang ... 92

5.3 Estimasi resiliensi eko-sosio terumbu karang ... 94

5.4 Rancangan skenario model adaptasi ... 100

5.4.1 Skenario adaptasi partisipatif ... 100

5.4.2 Skenario adaptasi prospektif... 114

5.5 Sistem aplikasi MORESIO-CRM ... 121

5.6 Implikasi kebijakan resiliensi eko-sosio dalam pengelolaan terpadu terumbu karang di Teluk Kotania... 125

5.6.1 Pengelolaan terumbu karang kategori resiliensi eko-sosio tinggi ... 126

5.6.2 Pengelolaan terumbu karang kategori resiliensi eko-sosio rendah... 127

5.6.3 Pengelolaan terumbu karang kategori resiliensi eko-sosio sangat rendah ... 127

6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 129

6.2 Saran ... 130

DAFTAR PUSTAKA... 133

(15)

xviii

Halaman

1 Contoh perubahan yang terjadi pada ekosistem perairan... 18

2 Urutan konsep resiliensi, dari interpretasi yang sempit hingga konteks sosial-ekologis yang lebih luas ... 28

3 Jenis, teknik/cara analisis, dan sumber data yang digunakan dalam rencana prenelitian ... 48

4 Indikator dan kriteria resiliensi eko-sosio system terumbu karang... 52

5 Kelas dan tingkat resiliensi eko-sosio system terumbu karang... 56

6 Hasil analisis cluster pengelolaan resiliensi eko-sosio... 91

7 Penilaian alternatif mata pencaharian potensial ... 101

(16)

xix

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pemikiran kajian resiliensi eko-sosio terumbu karang ... 11

2 Ruang lingkup penelitian reiliensi eko-sosio terumbu karang... 12

3 Gambaran besarnya gangguan yang dapat diserap sebelum terjadi perubahan dinamika keseimbangannya secara total ... 23

4 Laju perbaikan dari sebuah kerusakan menuju stabilitas baru yang bergantung pada resiliensi dan resistensi ... 25

5 Pendekatan sistem RES pengelolaan terumbu karang di Teluk Kotania 44 6 Lokasi penelitian di Teluk Kotania ... 47

7 Framework desain MORESIO-CRM di Teluk Kotania... 57

8 Komponen ekosistem pesisir di Teluk Kotania ... 73

9 Grafik persentasi tutupan karang hidup ... 77

10 Grafik persentasi tutupan koloni karang hidup ... 79

11 Grafik persentasi tutupan komponen abiotik ... 80

12 Grafik persentasi tutupan komponen biotik lain ... 80

13 Grafik persentasi tutupan terumbu karang ... 82

14 Grafik nilai resiliensi ekologi terumbu karang... 84

15 Sebaran kelas resiliensi ekologi trumbu karang... 84

16 Grafik nilai resiliensi sosial terumbu karang ... 87

17 Sebaran kelas resiliensi sosial di Teluk Kotania ... 87

18 Grafik nilai resiliensi eko-sosio terumbu karang ... 89

19 Sebaran kelas resiliensi eko-sosio di Teluk Kotania... 89

20 Dendrogram cluster pengelolaan resiliensi eko-sosio terumbu karang. 91 21 Proyeksi perubahan nilai resiliensi eko-sosio terumbu karang ... 95

22 Kelas resiliensi eko-sosio tahun 2010 ... 98

23 Proyeksi perubahan kelas resiliensi eko-sosio tahun 2015 ... 98

24 Proyeksi perubahan kelas resiliensi eko-sosio tahun 2020 ... 99

25 Proyeksi perubahan kelas resiliensi eko-sosio tahun 2025 ... 99

26 Perubahan nilai resiliensi skenario partisipatif 10% ... 102

(17)

xx

28 Perubahan kelas resiliensi skenario partisipatif 10% tahun 2020... 105

29 Perubahan kelas resiliensi skenario partisipatif 10% tahun 2025... 106

30 Perubahan nilai resiliensi skenario partisipatif 26%... 108

31 Perubahan kelas resiliensi skenario partisipatif 26% tahun 2015... 109

32 Perubahan kelas resiliensi skenario partisipatif 26% tahun 2020... 110

33 Perubahan kelas resiliensi skenario partisipatif 26% tahun 2025... 110

34 Perubahan nilai resiliensi skenario partisipatif 46% ... 111

35 Kelas resiliensi skenario partisipatif 26% tahun 2015, 2020... 113

36 Kelas resiliensi skenario partisipatif 26% tahun 2025... 113

37 Perubahan nilai resiliensi skenario prospektif 40%... 115

38 Perubahan nilai resiliensi skenario prospektif 56%... 116

39 Perubahan nilai resiliensi skenario prospektif 76%... 116

40 Kelas resiliensi skenario prospektif 40% tahun 2015, 2020, dan 2025. 119 41 Kelas resiliensi skenario prospektif 56% tahun 2015, 2020, dan 2025. 119 42 Kelas resiliensi skenario prospektif 76% tahun 2015, 2020, ... 120

43 Kelas resiliensi skenario prospektif 76% tahun 2025... 120

44 Tampilan depan (cover) MORESIO-CRM... 123

(18)

xxi

(19)

Beberapa istilah yang digunakan pada penelitian ini diantaranya :

 Terumbu karang adalah kumpulan bentukan yang kompak dan tersusun kokoh dari kerangka sedimen organisme benthik yang hdup di perairan laut yang hangat dengan kedalaman yang cukup cahaya, merupakan bentukan fisiografi terkontruksi pada perairan tropik dan terutama terdiri dari kerangka kapur yang terbentuk oleh karang hermatipik pembentuk terumbu karang (Levinton 1988 dalamSangaji, 2003).

 Ekosistem terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang dibangun oleh sejumlah biota baik hewan maupun tumbuhan.

 Resiliensi adalah kemampuan sistem kompleks yang adaptif untuk mengabsorbsi gangguan, mengorganisasikan diri secara mandiri serta membangun kapasitas belajar dan beradaptasi dari perubahan yang bersifat mendadak, sehingga mampu mempertahankan struktur dan proses esensial serta menyediakan umpan balik.

 Resiliensi sosial terumbu karang adalah kemampuan sistem ekologi-sosial terumbu karang untuk memelihara, melakukan reorganisasi dan pembentukan manajemen adaptasi guna mengembalikan komunitas asal setelah mengalami gangguan serta menyediakan umpan balik.

 Indeks adalah suatu angka yang menunjukan tingkatan realatif suatu kondisi (Oxford)

 Resistensi adalah ukuran kemampuan suatu sistem untuk dapat bertahan dalam menghadapi gangguan atau tekanan lingkungan.

 Desain adalah rancang bangun sistem yang terstruktur yang memuat informasi-informasi penting dalam sebuah sistem.

 Model adalah suatu sistem yang bersifat abstraksi yang mengaktualisasikan suatu keadaan atau kondisi yang menggambarkan pengelolaan ekosistem terumbu karang di Teluk Kotania yang sesungguhnya.

 Sistem adalah suatu gugus yang terdiri dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisir untuk mencapai suatu tujuan.

 Sistem dinamik adalah suatu pendekatan yang meneyeluruh dan terpadu, yang mampu menyederhanakan masalah yang rumit tanpa kehilangan esensi atau unsur utama dari obyek yang dijadikan kajian.

 Analisis sistem adalah suatu pernyataan tentang proses bekerjanya statu sistem untuk memenuhi kebutuhan yang telah ditentukan berdasarkan output yang spesifik dan kinerja sistem dalam mencapai tujuan.

(20)

 Analisis kebijakan alternatif adalah suatu proses yang dilakukan untuk memilih satu kebijakan terbaik dari beberapa alternatif kebijakan yang ada, dengan mempertimbangkan perubahan sistem lama ke sistem baru, serta perubahan lingkungan ke depan.

 Cluster pengelolaan adalah pengelompokan/penggolongan strategi pengelolaan berdasarkan respon ekosistem atau kondisi ekosistem untuk mempermudah pencapaian tujuan rencana pengelolaan

(21)

 IRES : Indeks Resiliensi Ekologi-Sosial

 Eko-Sosio : Ekologi-Sosial

 IR : Indeks Resiliensi

 Km : Terumbu karang mati

 CRI : Composit Resiliensi Indeks

 SVR : Standarisasi Variabel Resiliensi

 MORESIO-CRM : Model Resiliensi Ekologi-Sosial Coral Reef Management

 TK : Tutupan Karang

 KJ : Keanekaragaman Jenis

 SH : Suhu

 AP : Acanthaster plancii

 KIK : Keanekaragaman Ikan Karang

 KIH : Keanekaragaman Ikan herbivor

 BB : Bulu Babi

 K : Kekeruhan

 JE : Jenis Eksploitasi

 CPCE : Coral Point Count with Excel extension

 LIT : Line Intercept Transect

 GPS : Global Positioning System

(22)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Wilayah pesisir memiliki karakteristik, stabilitas dan resiliensi yang berbeda dibandingkan dengan wilayah lainnya, namun demikian selama ini pengetahuan mengenai karakteristik wilayah pesisir masih kurang dipahami benar oleh para pemanfaatnya, sehingga pengelolaan, pola pembangunan, dan regulasi disusun sama dengan cara pandang kita terhadap pengelolaan wilayah daratan atau pulau besar (mainland). Wilayah pesisir adalah wilayah yang paling rentan terkena dampak buruk bencana atau perubahan ikim sebagai akumulasi pengaruh daratan dan lautan. Dua per tiga kejadian bencana di dunia terjadi di wilayah pesisir (IPCC 2007). Dengan posisi wilayah pesisir sebagai daerah peralihan daratan dan lautan, memungkinkan setiap kegiatan yang berlangsung di daratan dan lautan akan berdampak pada wilayah pesisir. Sistem pesisir (coastal system) memiliki sistem ekologi dan sistem sosial yang terkait sangat erat dan merupakan sebuah sistem terintegrasi. Keduanya memiliki kompleksitas dan terus berubah, sehingga pengelolaannya akan selalu dihadapkan pada persoalan ketidakpastian dan perubahan mendadak (Folke et al 2002). Semakin besarnya perubahan ekologis dan sosial menyebabkan munculnya kejutan-kejutan dan ketidakpastian yang makin tinggi.

(23)

Isu paling penting yang berhubungan dengan perubahan iklim global (climate change) yang relevan dengan pengelolaan ekosistem terumbu karang masa depan adalah resiliensi ekosistem. Hal ini sesuai dengan konsep pengelolaan pesisir yang menekankan pada respon ekosistem. Resiliensi ekosistem merupakan satu-satunya upaya dalam pengelolaan terumbu karang yang terkait dengan perubahan iklim global (Bellwood et al. 2004; Hoegh-Guldberg et al. 2007; Nystrom et al. 2008). Pemahaman tersebut menyadarkan pentingnya teknik menilai resiliensi ekosistem terumbu karang serta pengembangan pendekatan yang dibutuhkan untuk beradaptasi. Adaptasi merupakan kemampuan sistem ekologi dan sosial yang terkait sangat erat, untuk menghadapi situasi baru tanpa mengurangi kesempatan mendapatkan pilihan masa depan. Kunci untuk meningkatkan kapasitas adaptif ialah resiliensi yang merupakan strategi yang mulai dikembangkan (Folkeet al2002). Pengembangan konsep ini sejalan dengan pendapat Berkes and Seixas (2005) bahwa pengembangan sistem resiliensi ekologi-sosial merupakan kunci bagi pembangunan yang berkelanjutan, namun pengembanganya di negara berkembang masih sangat diabaikan, sementara resiliensi sangat sesuai digunakan untuk mengkaji pengelolaan wilayah pesisir, khususnya bila dikaji dari aspek perubahan mendadak (Holling 1973).

Holling (2001) mendefiniskan resiliensi sebagai kapasitas keterkaitan sistem untuk mengabsorbsi gangguan dari perubahan yang bersifat mendadak, sehingga mampu mempertahankan struktur dan proses esensial serta menyediakan umpan balik. Selanjutnya Holling (2001), Gunderson and Holling (2002), Adger et al (2005) berpendapat bahwa resiliensi merupakan derajat kemampuan sistem kompleks yang adaptif untuk mengorganisisaikan diri secara mandiri, serta membangun kapasitas belajar dan beradaptasi. Dengan demikian maka resiliensi ekologi-sosial merupakan kemampuan sistem kompleks yang adaptif untuk mengabsorbsi gangguan, mengorganisasikan diri secara mandiri serta membangun kapasitas adaptasi dari perubahan yang bersifat mendadak, sehingga mampu mempertahankan struktur dan prosesesensialserta menyediakan umpan balik.

(24)

plasma nutfah. Terumbu karang juga merupakan sumber makanan dan bahan baku substansi bioaktif yang berguna dalam farmasi dan kedokteran. Selain itu, terumbu karang juga mempunyai fungsi yang tidak kalah pentingnya yaitu sebagai pelindung pantai dari degradasi dan abrasi. Semakin bertambahnya nilai ekonomis maupun kebutuhan masyarakat akan sumberdaya yang ada di terumbu karang seperti ikan, udang lobster, teripang dan molluska dan sumberdaya lainnya, maka aktivitas yang mendorong masyarakat untuk memanfaatkan potensi tersebut semakin besar pula. Dengan demikian tekanan sosial terhadap ekosistem terumbu karang berikut flora dan fauna yang berasosiasi denganya juga akan semakin meningkat.

Rusaknya ekosistem terumbu karang berdampak terhadap penurunan kualitas lingkungan untuk sumberdaya ikan karang serta abrasi pantai, sehingga terjadi kerusakan tempat pemijahan dan daerah asuhan ikan, dan menurunya produktivitas tangkap serta berbagai kerusakan ekosistem lainnya. Semua kerusakan biofisik lingkungan tersebut adalah gejala yang terlihat dengan kasat mata dari hasil interaksi antara manusia dengan sumberdaya terumbu karang yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian dan resiliensi lingkungannya. Persoalan yang mendasar adalah mekanisme pengelolaan ekosistem terumbu karang tidak efektif memberi kesempatan kepada sumberdaya ekosistem terumbu karang yang dimanfaatkan untuk pulih kembali atau pemanfaatan sumberdaya non-hayati disubtitusi dengan sumberdaya alam lain dan mengeliminir faktor-faktor yang menyebabkan kerusakannya.

(25)

segera berubah redup akibat alga yang tumbuh di karang mati tersebut. Di masa depan, terumbu karang diduga akan lebih sering mengalami kerusakan akibat pemanasan global. Upaya mengurangi dampak fenomena alam seperti dampak perubahan iklim yang berpengaruh terhadap eksistensi terumbu karang guna meningkatkan daya resiliensi terumbu karang merupakan hal penting yang perlu dilakukan sebagai langkah antisipatif dalam menjamin kelestarian ekosistem terumbu karang yangsustainable.

Resiliensi merupakan pendekatan yang berbasis ekosistem. Pendekatan yang berbasis ekosistem dalam pengelolaan ekosistem kompleks perlu menyertakan masyarakat dalam konsep ekosistem (McLeod dan Leslie 2009dalam Shackeroff, J.M. et al. 2011). Oleh sebab itu, perlu dicari strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang di wilayah pesisir dengan harapan masyarakat memperoleh manfaat dari strategi pengelolaan tersebut, dan rancangan untuk membangun model pengelolaan yang berbasis kepada resiliensi ekologi-sosial terumbu karang merupakan strategi yang relevan untuk menjawab permasalahan degradasi ekosistem terumbu karang yang setiap saat rentan terhadap perubahan iklim global.

Pengembangan sistem resiliensi ekologi-sosial (eko-sosio) terumbu karang harus segera dilakukan mengingat kerusakan ekosistem (degradasi) terumbu karang serta resiko-resiko bencana (disaster) yang tinggi. Kegagalan mengembangkan resiliensi akan menyebabkan frekuensi bencana regional yang makin meningkat (IPPC 2001). Bedasarkan alasan-alasan diatas maka kajian pengelolaan terumbu karang dengan pendekatan sisitem resiliensi ekologi-sosial (resiliensi eko-sosiosystem) sebagai dasar pengelolaan ekosistem terumbu karang, perlu segera dilakukan.

1.2. Perumusan Masalah

(26)

dan pulau-pulau kecil dengan ekosistem utama terumbu karang, mangrove dan padang lamun. Ekosistem terumbu karang di teluk ini mengalami tekanan degradasi lingkungan yang sangat tinggi akibat aktivitas pemanfaatan dan eksploitasi yang sangat berlebihan dilakukan oleh masyarakat di sekitar kawasan. Secara alami, terumbu karang memiliki resiliensi yang tinggi terhadap setiap gangguan yang ada (Done 1992; Connell 1997), sehingga telah mampu bertahan selama ratusan juta tahun (Grig 1994). Namun dampak negatif kehadiran manusia di bumi dalam dua abad terakhir telah menyebabkan daya resiliensi terumbu karang terhadap gangguan yang ada semakin kecil (Jackson 1997; Jackson et al. 2001). Fenomena ini juga terjadi di Teluk Kotania dan telah memberikan sumbangan yang cukup besar dalam menciptakan tekanan yang serius terhadap menurunya resiliensi terumbu karang. Menurunya resiliensi terumbu karang merupakan gangguan dan goncangan besar bagi sektor pariwisata bahari seperti yang terjadi di Great Barrier Reef Australia (Biggs D. 2011). Untuk itu, kajian resiliensi sistem ekologi-sosial bagi keperluan pengelolaan terumbu karang yang berkelanjutan sangat penting (Hugheset al. 2005, Lebelet al. 2006).

Rendahnya tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat di Teluk Kotania akan pentingnya fungsi terumbu karang, ditambah lagi tidak mudahnya mencari alternatif pekerjaan menambah tekanan terhadap terumbu karang semakin tinggi dan kompleks. Rusaknya terumbu karang dapat mengakibatkan terganggunya fungsi-fungsi ekologis terumbu karang yang sangat penting, yaitu (1) hilangnya habitat tempat memijah, tempat berkembangnya larva (nursery), dan tempat mencari makan bagi banyak sekali biota laut yang sebagian besar mempunyai nilai ekonomis tinggi dan (2) hilangnya pelindung pulau dari dampak kenaikan permukaan laut. Jika tidak ada karang batu yang menghasilkan sedimen kapur, maka fungsi terumbu karang sebagai pemecah ombak akan berkurang. Cara pemanfaatan yang tradisionalpun, misalnya pemakaian bubu di beberapa tempat karena dipakai dalam jumlah yang banyak telah menyebabkan kerusakan terumbu karang dalam skala yang relatif luas.

(27)

degradasi dan menurunkan tingkat resiliensi terumbu karang di Teluk Kotania. Kegiatan penangkapan dengan alat tangkap tradisionalpun seperti panah ikan, kalawai, jaring dasar, dan bubu yang disertai dengan budaya bameti/mameti (mengambil biota yang terdapat disekitar terumbu karang dengan jalan mengangkat, mencungkil, memindahkan dan menghancurkan terumbu karang) yang dilakukan di suatu kawasan terumbu karang secara kontinyu semakin mempercepat laju degradasi terumbu karang. Kondisi ini bila tidak dibarengi dengan pengembangan nilai-nilai sosial dan budaya seperti sasi yang merupakan kearifan lokal (local wisdom) masyarakat setempat, maka dikuatirkan akan mengancam keberadaan ekosistem terumbu karang karena ambang batas resiliensi terumbu karang dilampaui, sehingga dapat menjurus pada hilangnya ekosistem tersebut di Teluk Kotania.

Beberapa hambatan yang ditemui yaitu; 1) kesulitan memperoleh teknologi ramah lingkungan dalam kegiatan pemanfaatan jenis produk sumberdaya ekosistem terumbu karang, 2) ketergantungan pada ekosistem terumbu karang sebagai lokasi aktivitas perikanan guna memenuhi desakan sosial dan ekonomi,dan 3) kurangnya kesadaran dan pemahaman pengelolaan lingkungan. Selain itu, kawasan ekosistem terumbu karang saat ini dimanfaatkan untuk areal penangkapan ikan, fasilitas pelabuhan, konservasi, jasa pariwisata dan areal pemukiman penduduk yang sering menimbulkan konflik sosial. Kompleksitas permasalahan pengelolaan ekosistem terumbu karang yang terjadi di Teluk Kotania perlu dikelola secara baik. Pemahaman terhadap resiliensi ekologi-sosial terumbu karang secara baik merupakan dasar bagi upaya pengelolaan ekosistem terumbu karang secara terpadu dan berkelanjutan.

(28)

2001, Carpenter et al 2004, Gunderson and Pritchard 2002) bahwa resiliensi merupakan konsep yang sesuai bagi penilaian ekosistem yang bersifat kompleks.. Kajian tentang resiliensi yang dilakukan oleh beberapa peneliti masih terpusat pada resiliensi sosial-ekologi secara umum dan khusus untuk terumbu karang masih beriorientasi pada resiliensi ekologi terumbu karang. Penerapan konsep resiliensi ekologi-sosial lebih menitikberatkan pada kaidah-kaidah ekologi yang dominan dibanding sosial.

Pendekatan kerentanan dan daya dukung yang selama ini digunakan sebagai dasar dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang cenderung terfokus pada masalah sektoral dan bersifat parsial tanpa melihat kemampuan resiliensi ekologi-sosial (eko-sosio) terumbu karang untuk mempertahankan dan mereorganisasikan dirinya dari tekanan lingkungan baik yang bersifat eksogen maupun endogen. Dilain pihak, pemahaman resiliensi ekosistem terumbu karang menjadi faktor penentu kajian kerentanan maupun daya dukung, namun kajian tentang resiliensi ekosistem terumbu karang belum menjadi prioritas dalam setiap pengelolaan ekosistem terumbu karang. Walaupun semua defenisi resiliensi dapat menjelaskan arti dari resiliensi, namun teori resiliensi belum dapat digunakan di dalam pengelolaan terumbu karang (Nystrom et al. 2008). Pada saat ini pengetahuan tentang resiliensi terumbu karang seharusnya sudah cukup untuk melakukan sesuatu (Nystrom et al. 2008), sehingga teori resiliensi segera dapat digunakan di dalam praktek pengelolaan terumbu karang.

Dengan demikian maka pemahaman resiliensi ekologi-sosial (eko-sosio) secara holistik sebagai dasar pengelolaan ekosistem terumbu karang mutlak diperlukan. Namun, menurut Berkes and Seixas (2005) bahwa permasalahan pengembangan resiliensi serupa pada analisis indikator keberlanjutan atau indikator kinerja sumberdaya alam. Untuk itu, identifikasi indikator atau parameter untuk mengembangkan resiliensi ekologi-sosial (eko-sosio) terumbu karang pada tingkat lokal merupakan langkah awal yang penting untuk membantu memahami bentuk resiliensi eko-sosio terumbu karang.

(29)

terumbu karang saja. Bachtiar (2011) memperkenalkan model indeks resiliensi ekologi terumbu karang yang dimodifikasi dari model matematik indeks resiliensi tanah yang dikembangkan oleh Orwin dan Wardle (2004). Pada saat ini terdapat dua metode penilaian resiliensi terumbu karang yang dikenal secara luas yaitu pertama Obura dan Grimsditch (2009) yang memperkenalkan panduan penilaian resiliensi terumbu karang yang telah di publikasikan oleh IUCN (the International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources), dan yang kedua oleh Maynard et al (2010) juga mengembangkan metode penilaian resiliensi terumbu karang. Kedua metode tersebut masih sulit diterapkan di Indonesia karena membutuhkan dukungan finansial dan kepakaran yang memadai. Selain itu, kajian yang dilakukan para peneliti tersebut masih terfokus pada faktor ekologi semata dalam menilai tingkatan resiliensi ekologi terumbu karang.

Desain metode pengelolaan yang secara jelas dapat digunakan secara praktis dan murah sangat dibutuhkan dalam melihat tingkatan resiliensi ekologi-sosial terumbu karang secara cepat sampai sejauh ini belum tersedia. Sementara rancangan tersebut sangat penting dan perlu dilakukan guna penilaian dan estimasi tingkat resiliensi ekologi-sosial terumbu karang secara kontinyu. Selain itu, pengembangan model resiliensi ekologi-sosial hendaknya mampu mengestimasi dan memprediksi tingkat resiliensi serta sedapat mungkin dikombinasikan dengan strategi adaptasi sehingga prinsip-prinsip resiliensi ekologi-sosial terpenuhi. Penggabungkan konsep resiliensi dengan teknologi sistem informasi untuk menghasilkan tools yang dapat digunakan dalam mengestimasi dan memprediksi tingkat resiliensi merupakan sesuatu yang perlu dicoba guna mempermudah penilaian resiliensi terumbu karang secara cepat dan akurat. Langkah ini juga sekaligus untuk menguji sensitivitas dan validatas model yang dibuat sehingga sesuai dengan kondisi lapang. Dari beberapa kajian resiliensi, sampai sejauh ini belum ditemukan tools bagi penilaian resiliensi ekologi-sosial secara spasial-dinamik.

(30)

pendekatan yang bersifat holistik dengan harapan dapat membantu memecahkan masalah secara komprehensif. Untuk itu, penggunaan pendekatan sistem (system approach) relevan diterapkan dalam penelitian guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah menghasilkan desain model pengelolaan terumbu karang berdasarkan resiliensi ekologi-sosial. Tujuan tersebut dicapai melalui tahapan penelitian :

a. Identifikasi dan menganalisis parameter resiliensi ekologi-sosial (eko-sosio) terumbu karang

b. Memformulasikan model indeks resiliensi eko-sosio terumbu karang c. Estimasi tingkat resiliensi eko-sosio terumbu karang di Teluk Kotania

d. Menyusun strategi adaptasi pengelolaan terumbu karang berdasarkan resiliensi eko-sosio di Teluk Kotania

e. Mendesain model resilliensi ekologi sosial-coral reef management (MORESIO-CRM).

Penelitian ini menghasilkan model pengelolaan ekosistem terumbu karang secara terpadu dan berkelanjutan berdasarkan RES (Resiliensi Ekologi-Sosial) dengan pendekatan sistem spasial-dinamik. Rancangan model pengelolaan yang dihasilkan dijadikan sebagai Decision Suport System (DSS) dan dikenal sebagai Model Resiliensi Ekologi Sosial-Coral Reef Management (MORESIO-CRM). Untuk itu, manfaat dari penelitian ini adalah :

- Manfaat praktis:

Penelitian ini adalah untuk memberikan masukan bagi para pengambil kebijakan dibidang pengelolaan ekosistem terumbu karang, sehingga dapat mengambil kebijakan secara cepat, tepat dan akurat.

- Manfaat teoritis akademis :

(31)

1.4. Kerangka Pemikiran

Keragaman hayati, sumberdaya perikanan, dan nilai estetika yang tinggi merupakan nilai lebih ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil. Selain itu, pesisir dan pulau-pulau kecil juga memberikan jasa lingkungan yang tinggi nilai ekonomisnya dan sekaligus sebagai kawasan berlangsungnya kegiatan kepariwisataan. Disinilah ekosistem dengan produktivitas hayati tinggi, seperti terumbu karang, padang lamun, mangrove, dan rumput laut serta beragam biota ditemukan. Namun di antara ekosistem tersebut ternyata terumbu karang memiliki daya pulih (recovery) yang sangat rendah jika terjadi tekanan lingkungan. Pada beberapa wilayah pesisir, terumbu karang mendapat tekanan lingkungan yang sangat tinggi dibanding ekosistem lainnya. Model pengelolaan terumbu karang saat ini cenderung tidak memberikan kesempatan yang cukup bagi terumbu karang dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya, untuk itu diperlukan konsep dan model pengelolaan yang dapat menjamin keberlanjutannya.

Penelitian ini mengkaji resiliensi terumbu karang di Teluk Kotania dari aspek ekologi-sosial. Dengan mengadopsi konsep resiliensi dari Holling dan Gunderson (2002), Folkeet al (2004) dan Hugheset al(2007), maka resiliensi ekologi-sosial terumbu karang dalam penelitian ini dimaknai sebagai kemampuan sistem ekologi-sosial untuk menghadapi gangguan, memelihara, melakukan reorganisasi dan pembentukan manajemen adaptasi serta menyediakan umpan balik. Dengan demikian, maka penerapan konsep resiliensi eko-sosio terumbu karang memiliki peluang yang sangat potensial guna membangun tata kelola ekosistem terumbu karang yang lebih stabil.

(32)

Gambar 1. Kerangka pemikiran kajian resiliensi eko-sosio terumbu karang

Model rancangan pendekatan yang relefan untuk mengkuantifikasi seluruh aspek tersebut adalah MORESIO-CRM (Model Resiliensi Ekologi Sosial-Coral Reef Management). MORESIO-CRM dilakukan dengan pendekatan sistem spasial (spacial system approach) dan sistem dinamik (dinamic system approach) dengan menggunakanSoftware Arc-Gis 9.3danMatlab 7.

(33)

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini terfokus pada estimasi kondisi resiliensi dengan formulasi indeks resiliensi ekologi-sosial (eko-sosio) terumbu karang secara spasial-dinamis dengan penggunaan beberapa tools analisis dan aplikasi system dalam mewujudkan penilaian resiliensi terumbu karang secara cepat. Penelitian ini juga menghasilkan sebuah tools sederhana system pengambilan keputusan (Decision Suport System/DSS) yang diberi nama Model Resiliensi Eko-sosio Coral Reef Management (MORESIO-CRM).

Gambaran ruang linngkup penelitian dituangkan dalam bentuk bagan alir rancangan penelitian pada gambar berikut;

(34)

1.6. Kebaharuan (Novelty)

Secara umum, kebaharuan penelitian ini adalah digunakannya konsep sistem resiliensi ekologi-sosial untuk mengelola ekosistem terumbu karang di Teluk Kotania yang baru pertama kali dilakukan di Indonesia, sehingga dapat dihasilkan model-model pengelolaan terumbu karang yang bisa di aplikasikan oleh berbagai pihak. Pada umumnya pengelolaan terumbu karang didasarkan hanya semata pada kerentanan dan daya dukung saja, namun tidak melihat daya resiliensi ekosistem terumbu karang dalam menyerap berbagai gangguan dan tekanan, sehingga ekosistem bisa beradaptasi seraya memulihkan dirinya dari tekanan dan gangguan lingkungan. Secara khusus, kebaharuan dari penelitian ini adalah :

a) Formula indeks resiliensi ekologi-sosial terumbu karang yang terdapat dalam penelitian ini merupakan rumus yang baru dikembangkan dalam menilai resiliensi ekologi-sosial terumbu karang.

b) Penggunaan formula Indeks Resiliensi Ekologi-Sosial Coral Reef Management (IRES) dalam memprediksi laju resiliensi secara spasial-dinamik belum pernah dilakukan sebelumnya.

c) Formula indeks resiliensi hasil modifikasi yang dikembangkan dari persamaan Ostrom (1990) merupakan rumus penilaian resiliensi yang baru yang memiliki karakteristik ambang batas resiliensi yang berbeda dari rumus awalnya.

d) Pemberian bobot dan skoring terhadap parameter-parameter yang dijadikan indikator resiliensi ekologi-sosial terumbu karang yang digunakan di dalam indeks juga belum pernah dilakukan oleh para peneliti lain.

(35)

Di luar Teluk Kotania, kajian-kajian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini dan telah dilakukan di Indonesia dan mancanegara antara lainnya adalah :

1). Walker et al (2002) telah mengkaji tentang managemen resiliensi sosial-ekologi sistem, sebuah hipotesis pendekatan partisipatif (Participatory Approach). Hasil kajian menunjukkan bahwa terdapat empat tahap dalam melakukan analisis resiliensi sistem sosial-ekologi yang dapat digunakan sebagai pendekatan dalam memprediksi sistem resiliensi sosial-ekologi pada masa depan.

2). Perrings (1998) telah mengkaji dinamika resiliensi dalam sistem ekonomi-lingkungan. Hasil kajian ini menunjukan bahwa penggunaan kolaborasi antara konsep ekologi dan konsep ekonomi dalam penerapan konsep resiliensi dapat digunakan untuk mengukur tingkat resiliensi yang kaitannya dengan keadaan yang terjadi di alam. Kajian ini mengadopsi konsep dari Pimm (1984) dan Holling (1973) untuk mengukur resiliensi sosial-ekologi dari waktu yang digunakan dan faktor penyebabnya serta besarnya gangguan yang diserap sebuah sistem beserta penyebabnya.

3). Clanahan et al (2002) telah mengkaji status ekologi dalam menilai resiliensi terumbu karang. Hasil kajian ini merekomendasikan beberapa variabel ekologi yang dapat digunakan sebagai indikator resiliensi ekosistem terumbu karang seperti keanekaragaman jenis, keystone species dan redundancy, predator, konektivitas, dan degradasi ekosistem.

(36)

5. Hughes et al (2007). Telah mengkaji peranan ikan herbivor terhadap resiliensi terumbu karang. Kajian terfokus peran serta ikan-ikan herbivore, tahap pergeseran, dan daya resiliensi terumbu karang terhadap perubahan iklim.

6. Bachtiar I (2011). Melakukan penelitian tentang resiliensi terumbu karang. Kajian terfokus pada pengembangan indeks resiliensi terumbu karang yang dimodifikasi dari indeks resiliensi komunitas tanah dari Orwin dan Wardle (2004).

Sedangkan beberapa kajian yang telah dilakukan di Teluk Kotania yang terkait dengan penelitian ini adalah :

1) Sangaji (2003). Telah mengkaji zonasi ekosistem terumbu karang di Teluk Kotania berdasarkan indeks kepekaan lingkungan dengan pendekatan Cell Based Modelling (CBM) citra satelit dan SIG. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa kelas arahan zonasi pengelolaan ekosistem terumbu karang, kajian ini menggunakan faktor biofisik sebagai indikator penentuan zonasi. Kelas kesesuain zonasi juga ditentukan oleh aktifitas masyarakat dan jarak ekosistem terumbu karang dengan perkampungan pesisir. Semakin jauh jarak maka kelas zonasi ekosistem terumbu karang semakin baik dan tingkat aktivitas masyarakat dalam memanfaatkan ekosistem terumbu karang semakin kecil.

2). Siahanenia (1994). Telah mengkaji penyebaran dan sifat-sifat terumbu karang di Teluk Kotania. Hasil penelitian menunjukan bahwa sebaran terumbu karang umumnya memiliki presentase lebih besar pada pulau-pulau kecil dibandingkan dengan di pesisir Teluk Kotania. Dan umumnya sifat sebaran terumbu karang dipengaruhi oleh kondisi karakteristik perairan dan aktifitas masyarakat di sekitar ekosistem terumbu karang.

3). I Nyoman Sutarna dan O.K. Sumadiharga (1985). Telah melakukan kajian keanekaragaman jenis dan kondisi karang batu di Teluk Kotania, Seram Barat. 4). S. Wouthuyzen dan D. Sahetapy (1993). Melakukan kajian tentang ekosistem

terumbu karang di Kotania Seram barat.

(37)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Resiliensi Eko-Sosio Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Pemahaman bahwa kapasitas ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil untuk beregenerasi setelah bencana dan terus menghasilkan sumberdaya alam dan jasa lingkungan bagi manusia tidak bisa lagi diterima. Akan tetapi, resiliensi ekologi-sosial perlu untuk lebih dipahami pada skala yang lebih luas serta dikelola dan dijaga secara aktif. Pengembangan resiliensi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah hal yang penting mengingat trend perkembangan pemukiman, pemanfaatan sumberdaya dan perubahan lingkungan. Dua per tiga dari bencana pesisir yang tercatat setiap tahun terkait dengan cuaca buruk seperti taufan dan banjir, yang ancamannya tampaknya akan semakin luas karena perubahan-perubahan yang disebabkan oleh faktor manusia terhadap iklim bumi dan kenaikan paras muka laut. Berbagai tekanan yang menyebabkan degradasi terhadap terumbu karang seperti pencemaran, sedimentasi, pemutihan karang (coral bleaching), gangguan predator, serta berbagai cekaman lingkungan faktor-faktor ekologi lainya merupakan hal mendasar perlu diterapkanya konsep resiliensi ekologi-sosial (eko-sosio) bagi pengelolaan terumbu karang di pesisir dan pulau-pulau kecil, seperti yang terjadi pada kawasan Teluk Kotania.

Resiliensi ekologi-sosial meliputi beragam mekanisme untuk bertahan hidup dan belajar dari kondisi yang berubah secara tiba-tiba. Resiliensi ekologi-sosial adalah kapasitas dari sistem ekologi-sosial yang saling terkait untuk mengabsorbsi gangguan dan perubahan karena terjadinya bencana sehingga tetap mampu mempertahankan struktur dan proses esensial yang ada serta mampu menyediakan umpan balik. Resiliensi merefleksikan tingkat kemampuan adaptif sebuah sistem yang kompleks untuk melakukan pengorganisasian diri (self-organization), sebagai lawan dari kurang terorganisir atau pengorganisasian yang dipaksakan oleh faktor eksternal.

(38)

sistem ekologi-sosial di negara-negara berkembang masih sangat diabaikan, sementara resiliensi sangat sesuai untuk digunakan dalam mengkaji pengelolaan keberlanjutan di pesisir khususnya bila dikaji dari aspek perubahan mendadak. Resiliensi berhubungan dengan gabungan dinamika sistem manusia dan lingkungan yang menghindari penekanan atau pemisahan dari faktor lingkungan dan sosial-ekonomi serta mempertimbangkan sepenuhnya kompleksitas dinamika yang ada di dalamnya sehingga sangat sesuai dengan konsep ICM (Integrated Coastal Management) yang merupakan paradigma pengelolaan yang digunakan saat ini.

Walaupun saat ini upaya penerapan teori resiliensi dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil belum banyak dilakukan karena masih tergolong kajian yang sangat baru, tetapi berdasarkan alasan yang disebutkan sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa teori resiliensi memiliki potensi yang sangat besar diaplikasikan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. Perubahan yang terjadi pada ekosistem perairan yang berkaitan dengan resiliensi ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, dapat ditampilkan pada Tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1. Contoh perubahan yang terjadi pada ekosistem perairan

Terumbu karang di wilayah Karibia yang telah mengalami perubahan drastis dalam dua dekade terakhir yaitu dari dominan karang keras menjadi dominan alga lunak. Perubahan diakibatkan oleh kombinasi proses alami (badai dan penyakit) serta faktor manusia (kelebihan tangkap dan peningkatan nutrien). Selanjutnya,

Ecosystem Type

Alternative State 1 Alternative State 2 References

Freshwater System

Clear water Turbid water Carpenter, 2001 Benthic Vegetation Blue-green algae Scheffer et al., 2001 Oligotrophic macrophytes

and algae

Cattails and blue green algae

Gunderson, 2001 Marine

Systems

Hard coral Flesh Algae Nistrom et al., 2000 Kelp forest Urchin dominance Estes and Duggins,

1993

(39)

kondisi di atas bisa berubah kembali, misalnya bila fungsi fungsi grazing terhadap alga oleh spesies ikan herbivor ditingkatkan dengan mengurangi penangkapan terhadap jenis ikan herbivor dapat meningkatkan kembali resiliensi terumbu karang dengan menyediakan luas permukaan dasar perairan yang cukup bagi kolonisasi kembali oleh larva terumbu karang sehingga bisa kembali ke keadaan yang didominasi oleh karang setelah terjadinya badai (Nystrom and Folke 2001).

Disamping itu, perubahan degradasi sumberdaya yang dapat mempengaruhi kondisi resiliensi di wilayah pesisir juga diakibatkan oleh kegiatan overfishing. Tekanan penangkapan ikan terhadap jaring-jaring makanan dapat menyebabkan perubahan yang besar dalam kelimpahan spesies pada berbagai tingkatan tropik. Di Laut Hitam, overfishing berkontribusi terhadap hancurnya perikanan tangkap, meledaknya populasi ubur-ubur, peledakan populasi alga dan rusaknya komunitas bentik. Hal yang sama terjadi di utara Laut Atlantic dan Baltic akibat pemancingan/rekreasi. Dampak industri perikanan tangkap dunia terlihat dari transisi jaring makanan di laut dari ikan-ikan tropik tinggi yang bersiklus hidup panjang menuju ke avertebrata dan plankton berukuran kecil dengan tropik rendah dan siklus hidup pendek yang memakan ikan-ikan pelagis. Selain itu, industri perikanan juga telah menyebabkan reduksi dari kelompok fungsional dari spesies tertentu (mamalia laut, penyu, ikan karang) dan memutus tingkat tropik sehingga ekosistem laut menjadi sangat rentan. Hilangnya kelompok fungsional tersebut menyebabkan berbagai dampak diantaranya eutrofikasi, peledakan populasi alga, penyebaran penyakit, dan masuknya spesies baru di laut.

Terganggunya kestabilan sumberdaya perikanan akibat kegiatan eksploitasi yang berakibat degradasi sumberdaya yang lebih luas, sudah tentu akan mempengaruhi kondisi sosial dan ekonomi suatu kawasan. Kondisi ini secara langsung akan mempengaruhi tingkat resiliensi sosial dan ekonomi masyarakat yang memiliki hubungan ketergantungan secara langsung terhadap sumberdaya perikanan di pesisir dan pulau-pulau kecil.

(40)

lokal. Saat ini banyak pendapat yang menyatakan bahwa perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia meningkatkan frekuensi badai.

Di Karibia, respon terhadap badai dan efektivitasnya tergantung pada resiliensi ekologi-sosial-ekonomi. Sebagai contoh, di Pulau Cayman telah diimplementasikan aksi pada tingkat nasional dan lokal, membangun kesiapsiagaan dan resiliensi komunitas, dan kemudian terjadi tiga kali badai besar, yaitu Gilbert pada tahun 1998, Mitch pada tahun 1998, dan Michelle pada tahun 2000. Resiliensi pulau tersebut kemudian diuji lagi oleh topan Ivan pada tahun 2004, yang menunjukkan peningkatan. Evaluasi terhadap berbagai komponen aksi yaitu adaptasi dan perubahan aturan dan kebijakan terhadap resiko bencana, perubahan kelembagaan, penyiapan sistem peringatan dini, dan pengembangan pengetahuan untuk memobilisasi diri. Selanjutnya pembelajaran sosial, keberagaman adaptasi, dan pengembangan kohesi sosial yang kuat serta mekanisme aksi kolektif menunjukkan peningkatan resiliensi terhadap bencana.

Hasil evaluasi menunjukkan bahwa resiliensi ekologi-sosial terhadap bencana pesisir dapat ditingkatkan dengan melibatkan berbagai tindakan yang membutuhkan agen manusia. Keterbukaan terhadap bahaya juga dapat dikurangi melalui intervensi aturan atau norma dalam pemanfaatan wilayah pesisir.

(41)

2.2. Konsep Resiliensi Dalam Kaitan Dengan Sistem Ekologi-Sosial

Perspektif mengenai resiliensi pertama kali muncul dari ilmu ekologi pada dekade 60-an dan 70-an dari studi interaksi populasi seperti antara mangsa dan pemangsa dan respon fungsional dalam kaitan dengan teori stabilitas ekologi. Holling (1973) dalam tulisannya mengenai resiliensi dan stabilitas mengilustrasikan adanya beberapa domain stabilitas (multiple stability domains atau multiple basins of attraction) dalam sistem alam, serta domain tersebut berhubungan dengan proses ekologi, kejadian acak (misalnya gangguan), dan heterogenitas berdasarkan skala temporal dan spasial. Holling memperkenalkan resiliensi sebagai kapasitas untuk bertahan dalam sebuah domain pada saat menghadapi perubahan, dan mengajukan teori bahwa resiliensi menentukan persistensi hubungan dalam sebuah sistem dan merupakan ukuran kemampuan sistem tersebut untuk menyerap perubahan keadaan, mengarahkan, dan mempertahankan keadaan variabelnya.

(42)

inheren di dalamnya merupakan konsekuensi yang tak terhindarkan dalam sistem ekologis.

Selanjutnya, hasil-hasil penelitian mengenai pengelolaan adaptif sumberdaya dan lingkungan pada ekosistem regional dimana aspek sosial dan teori ekologi digunakan bersama untuk menganalisis bagaimana ekosistem terbentuk dan bertingkah laku, serta bagaimana institusi dan masyarakat yang berasosiasi dengannya diorganisir dan bertingkah laku yang menekankan pentingnya“belajar mengelola perubahan”daripadasekedar “bereaksi terhadap perubahan”.

Perspektif tersebut dalam hubungannya dengan teori resiliensi berlawanan dengan pemahaman yang berpusat pada ekuilibrium, strategi command and control yang diarahkan untuk mengontrol variabilitas dari sumberdaya tertentu sebagai perspektif yang mendominasi pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan kontemporer. Strategi seperti ini cenderung menyelesaikan permasalahan dalam jangka pendek, misalnya penurunan hasil panen, keberhasilan mengontrol satu variabel yang seringkali berfluktuasi yang menyebabkan perubahan variabel-variable pada skala temporal dan spasial, misalnya dinamika nutrien dan makanan. Pengelolaan seperti ini menyebabkan praktek budidaya pertanian dan perikanan yang ada dijadikan homogen secara spasial yang rentan terhadap gangguan yang sebelumnya masih mampu diserap (Hollinget al., 1998).

Perspektif di atas pada awalnya banyak ditentang oleh ilmuwan ekologi, karena lebih mudah mendemonstrasikan pergeseran (shift) antara berbagai keadaan dalam model dibandingkan pada dunia nyata (Holling 1973, May 1977), dinamika non linier dan perubahan equilibrium (domains of attraction) jarang ditemukan dalam kasus-kasus ekologis.

Untuk menggambarkan perkembangan teori resiliensi, berikut ini disajikan 3 (tiga)tiperesiliensi yang terkait dengan proses perkembangan tersebut.

1. Tipe Resiliensi Engineering

(43)

dengan persistensi di lain pihak, antara kondisi konstan dengan perubahan, atau antara kepastian dengan ketidakpastian. Resiliensi merupakan kemampuan dari sebuah ekosistem untuk mentolerir perubahan tanpa menyebabkan pengurangan kondisi kualitatifnya. Kemampuan ini dikendalikan oleh seperangkat proses, dimana sebuah ekosistem yang resilient dapat bertahan terhadap perubahan mendadak dan memperbaiki keadaannya sendiri jika diperlukan. Batasan di atas difokuskan kepada efisiensi, kontrol, keadaan konstan, dan kepastian yang semuanya merupakan atribut kondisi optimal.

Definisi ini berdasar pada pemahaman lama yaitu kondisi alam yang stabil dan mendekati keadaan keseimbangan tetap, dimana resistensi terhadap gangguan dan kecepatan untuk kembali ke keadaan seimbang digunakan sebagai ukuran. Tipe resiliensi seperti ini disebut Resiliensi Engineering. Pemahaman tipe ini merupakan intisari dari teori ekonomi.

Gambar 3. Gambaran besarnya gangguan yang dapat diserap sebelum terjadi perubahan dinamika keseimbangannya secara total (Sumber : Holling, 1973)

(44)

utama ilmu ekologi dan kemudian dipakai menginterpretasikan resiliensi sebagai waktu yang dibutuhkan untuk kembali ke keadaan semula setelah adanya gangguan yang dinamakan engineering resilience (Holling 1996). Resiliensi ini berfokus pada tingkah laku mendekati ekuilibrium stabil dan laju dimana sistem mendekati kondisi tetap (steady state) setelah perubahan, yaitu kecepatan kembali ke titik ekuilibrium. Resiliensi diestimasi dari jumlah waktu yang dibutuhkan untuk merubah kerusakan ke fraksi tertentu dari kondisi awal. Sebagai catatan, hal di atas hanya dapat diaplikasikan pada sistem linier atau pada sistem non-linier yang memiliki kondisi mendekati ekuilibrium stabil dimana dalam hal ini aproksimasi linier masih dimungkinkan (Ludwiget al1997).

Pandangan ekuilibrium tunggal secara substansial telah mewarnai pengelolaan sumberdaya dan lingkungan kontemporer dengan tujuan untuk mengontrol aliran sumberdaya secara optimal. Interpretasi ini digunakan dalam banyak studi ekologis seperti pada studi pemulihan atau waktu yang dibutuhkan kembali ke keadaan semula (recovery) bagi dominasi karang setelah terjadinya pemutihan.

2. Tipe Resiliensi Ekosistem/Ekologi

Pemulihan dipengaruhi oleh frekuensi dan tingkatan gangguan serta oleh heterogenitas spasial dari sistem ekologis. Adanya gangguan dan heterogenitas spasial menyebabkan arah pemulihan (recovery trajectory) menjadi unik dan kompleksitas sistem yang dikombinasikan dengan efek gabungan dapat menyebabkan arah pemulihan hampir tidak mungkin untuk diprediksi (Paineet al 1998). Dengan demikian penggunaan konsep pemulihan dalam sistem yang kompleks dan adaptif mulai ditinggalkan dan digantikan dengan konsep pembaruan, regenerasi, dan reorganisasi setelah adanya gangguan (Bellwoodet al 2004), serta penggunaan istilah `rejim` atau `atraktor` sebagai pengganti dari istilah kondisi stabil atau ekuilibrium, karena istilah sebelumnya tidak mempertimbangkan faktor dinamika (Carpenter 2004).

(45)

dipengaruhi oleh seperangkat proses dan struktur yang saling menguatkan dari satu keadaan ke keadaan yang lain. Definisi ini berfokus pada persintensi, kemampuan adaptif, variabilitas dan ketidakpastian yang kesemuanya merupakan atribut dari perspektif evolusi dan pembangunan, yang juga sejalan dengan sifat keberlanjutan.

Batasan ini ditekankan pada kondisi yang jauh dari keadaan seimbang, dimana ketidakstabilan dapat membalik keadaan sebuah sistem ke rejim keadaan lainnya yaitu domain yang stabil. Dalam konteks ini resiliensi diukur berdasarkan besaran gangguan yang mampu diserap hingga suatu batas dimana sistem tersebut merubah strukturnya melalui pengubahan variabel dan proses yang mengontrolnya. Tipe resiliensi seperti ini disebut Resiliensi Ekologi.

Gambar 4. Laju perbaikan dari sebuah kerusakan menuju stabilitas baru yang bergantung pada resiliensi dan resistensi (Sumber: Holling 1973)

(46)

engineering dengan pemeliharaan eksistensi fungsi pada resiliensi ekologi. Ludwig et al (1997) menyusun dasar matematis untuk membedakan antara perspektifengineering resiliencedenganecological/ecosystem resilience.

Selain itu terdapat pula tipe resiliensi dalam sistem sosial yang akan menambah kapasitas manusia untuk mengantisipasi dan merencanakan masa depan, dimana dalam sistem “manusia-alam” resilensi ini disebut sebagai kapasitas adaptif. Pemahaman mengenai sistem kompleks digunakan sebagai penghubung antara ilmu sosial dan ilmu biofisik, dan menjadi penopang beberapa pendekatan terpadu seperti ilmu ekologi-ekonomi dan ilmu keberlanjutan.

3. Tipe Resiliensi Ekologi-Sosial

Sistem sosial manusia mungkin dapat memberi kemampuan yang besar untuk menghadapi perubahan dan beradaptasi jika dianalisis hanya melalui lensa dimensi sosial. Akan tetapi adaptasi seperti ini mungkin merupakan harga dari perubahan dalam kapasitas ekosistem untuk mempertahankan adaptasi dan mungkin menghasilkan jebakan atau akhir dari resiliensi sistem sosial–ekologis (Gunderson and Pritchard 2002). Serupa dengan hal tersebut, jika fokus hanya pada sisi ekologis saja sebagai dasar dalam pengambilan keputusan bagi keberlanjutan maka akan mengarah pada kesimpulan yang sempit dan salah. Oleh karena itu resiliensi menekankan pada keterkaitan antara sistem sosial dan ekologis.

Berkes et al (2003) menggunakan istilah sistem sosial–ekologis untuk memberi perhatian pada konsep keterpaduan dari manusia dalam alam ( humans-innature) dan memberi penekanan bahwa pemisahan antara sistem ekologi dan sosial adalah sesuatu hal yang tidak semestinya dan tidak logis (artificial and arbitrary). Keterkaitan dan masalah kesesuaian sistem sosial dan ekologi pada praktek pengelolaan dihubungkan melalui pemahaman ekologis dengan mekanisme sosial yang melatar belakangi praktek pengelolaan tersebut, pada berbagai kondisi geografis, budaya dan ekosistem.

(47)

states.Resiliensi menyediakan kemampuan untuk menyerap kejutan dan pada saat yang sama mempertahankan fungsinya. Saat terjadi perubahan, resiliensi menyediakan komponen-komponen yang dibutuhkan untuk pembaruan dan pengorganisasian kembali. Dengan demikian penting untuk membedakan antara tingkah laku mendekati ekuilibrium stabil dan kondisi tetap (steady state) global, dengan tingkah laku pada batas domain atraktor yang merupakan suatu keadaan ekuilibrium yang tidak stabil, merefleksikan tingkah laku sistem kompleks adaptif. Definisi Holling (1973) merupakan fondasi yang mendasari perkembangan perspektif resiliensi sistem sosial ekologis yang sesuai dengan dinamika sistem kompleks adaptif.

Mempertimbangkan dinamika dan hubungan lintas skala antara perubahan tiba-tiba dan sumber resiliensi, maka resiliensi dari sistem kompleks adaptif bukan sekedar resistensi terhadap perubahan dan konservasi struktur saat ini. Dengan demikian resiliensi merupakan kapasitas sistem untuk menyerap gangguan dan mereorganisasi dan pada saat yang sama mengalami perubahan sehingga mampu mempertahankan secara esensial fungsi, struktur, identitas, dan umpan balik. Kebanyakan studi yang dilakukan dalam resiliensi ekosistem menekankan bagian pertama dari definisi di atas yaitu kapasitas menyerap perubahan atau kapasitas buffer yang memungkinkan ketahanan. Akan tetapi resiliensi bukan hanya menyangkut ketahanan dan kekuatan terhadap gangguan, tetapi juga menyangkut pemahaman bahwa gangguan membuka kemungkinan rekombinasi dari struktur dan proses yang berevolusi, pembaruan sistem dan munculnya arah perubahan yang baru. Dalam konteks ini resiliensi juga menyediakan kapasitas adaptif yang memungkinkan kelanjutan perkembangan, seperti dinamika hubungan adaptif antara keberlanjutan dan perkembangan dalam perubahan. Keduanya harus seimbang, dan bila tidak maka akan mengarah pada kehancuran.

(48)

hubungannya dengan sistem sosial-ekologi, selain memasukkan kemampuan secara umum untuk bertahan terhadap gangguan, juga memasukkan adaptasi, pembelajaran, dan pengorganisasian diri. Sehingga, kapasitas buffer atau kemantapan hanya merupakan sebagian aspek dari resiliensi.

Dalam konteks hubungan manusia dengan alam, resiliensi adalah kapasitas dari keterkaitan sistem ekologi dan sosial untuk mengabsorbsi gangguan yang berasal dari perubahan yang bersifat mendadak, sehingga mampu mempertahankan struktur dan proses yang esensial serta menyediakan umpan balik. Resiliensi merefleksikan derajat kemampuan sebuah sistem kompleks yang adaptif untuk untuk mengorganisasikan diri secara mandiri, serta derajat kemampuan sistem tersebut membangun kapasitas belajar dan beradaptasi. Sebagian dari kapasitas tersebut terdapat pada kemampuan regenerasi dari ekosistem dan kemampuan untuk tetap menghasilkan sumberdaya dan jasa yang esensial bagi kehidupan manusia dan pengembangan masyarakat di dalam perubahan-perubahan yang terjadi (Holling 2001, Berkeset al 2003, Adger et al 2005).

Dalam beberapa contoh proses transisi terjadi secara tajam dan cepat, sementara pada kasus lainnya dinamika sistemnya berbalik dari satu atraktor ke atraktor lainnya dengan transisi yang gradual. Hal ini mengilustrasikan bahwa pergeseran kondisi dalam ekosistem akan semakin banyak disebabkan oleh aksi manusia yang menyebabkan erosi resiliensi (Gunderson 2000).

(49)

tekanan-tekanan tersebut menyebabkan sistem sosial-ekologi semakin rentan terhadap perubahan yang sebelumnya masih mampu diserap.

Carpenteret al(2001) menginterpretasikan resiliensi sosial–ekologi sebagai: 1. Jumlah dari gangguan dimana sebuah sistem masih dapat menyerapnya dan

tetap berada dalam kondisi atau domain atraktor yang sama.

2. Derajat hingga sebuah sistem mampu mengorganisir diri (sebagai lawan dari kurang terorganisir, atau diorganisir oleh pihak ekternal).

3. Derajat hingga sebuah sistem dapat membangun dan meningkatkan kapasitas untuk pembelajaran dan adaptasi.

Pengelolaan resieliensi sosial-ekologi akan memperbesar kemungkinan bagi keberlanjutan pembangunan dalam lingkungan yang berubah, tidak pasti, beserta kemungkinan terjadi kejutan (Levin et al 1998, Holling 2001). Sebaliknya, kerentanan merupakan kebalikan dari resiliensi, dimana saat suatu sistem sosial atau ekologi kehilangan resiliensinya maka sistem tersebut menjadi rentan terhadap perubahan yang sebelumnya bisa diserap. Dalam sebuah sistem yang resilien, perubahan memiliki potensi untuk menciptakan kesempatan bagi pengembangan kebaruan dan inovasi. Sebaliknya dalam sistem yang rentan perubahan kecil dapat menyebabkan kerusakan besar. Pendekatan resiliensi berhubungan dengan ketahanan menuju keberlanjutan perkembangan dalam perubahan dan bagaimana berinovasi dan bertransformasi ke konfigurasi yang lebih diinginkan.

(50)

Tabel 2. Urutan konsep resiliensi, dari interpretasi yang sempit hingga konteks sosial-ekologis yang lebih luas.

Konsep Resiliensi Karakteristik Fokus Konteks

Resiliensi engineering Waktu kembali,

efisiensi

Resiliensi sosial-ekologi Hubunganinterplay

antara gangguan dan

Pendekatan resiliensi merupakan salah satu wilayah ilmu (selain penelitian kerentanan, ekologis-ekonomi, ilmu keberlanjutan) yang akan menghasilkan keterpaduan ilmu dan kolaborasi interdisiplin bagi isu-isu fundamental dalam mengatur dan mengelola transisi menuju arah pembangunan yang lebih berkelanjutan yang merupakan tantangan terbesar umat manusia saat ini (Lambin 2005).

2.3. Konsep Resiliensi Ekosistem Terumbu Karang

Gambar

Gambar 2. Ruang lingkup penelitian resiliensi eko-sosio terumbu karang
Gambar 3. Gambaran besarnya gangguan yang dapat diserap sebelum terjadi perubahan dinamika keseimbangannya secara total (Sumber : Holling, 1973)
Gambar 4. Laju perbaikan dari sebuah kerusakan menuju stabilitas baru yang bergantung pada resiliensi dan resistensi (Sumber: Holling 1973)
Tabel 2. Urutan konsep resiliensi, dari interpretasi yang sempit hingga konteks sosial-ekologis yang lebih luas.
+7

Referensi

Dokumen terkait