• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Terumbu Karang Berbasis Masy

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengelolaan Terumbu Karang Berbasis Masy"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Pengelolaan Terumbu Karang Berbasis Masyarakat

PENGELOLAAN TERUMBU KARANG BERBASIS MASYARAKAT

A. Definisi Terumbu Karang

Menurut Dahuri (2000), terumbu karang (coral reefs) merupakan masyarakat organisme

yang hidup di dasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO3) yang cukup kuat

menahan gaya gelombang laut. Selanjutnya Bengen D.G. (2001), menyatakan terumbu karang

terbentuk dari endapan-endapan masif kalsium karbonat yang dihasilkan oleh organisme karang

pembentuk terumbu (karang hermatipik).

Gambar 1. Terumbu karang

Bengen D. G, (2001), dalam membicarakan mengenai ekosistem terumbu karang ada

beberapa istilah yang kedengarannya sama, namun maknanya berbeda. Ada empat istilah yang

(2)

karang dan organisme berkapur lainnya, sehingga membentuk suatu ekosistem yang kompak

sebagai habitat bagi biota-biota laut. Karang adalah suatu kelompok organisme dari filum

Coelenterata, kelas Anthozoa, terutama dari ordo Scleractinia yang merupakan pembentuk

karang batu dan karang lunak. Karang batu adalah karang hidup yang khusus berkapur, biasanya

disebut juga sebagai karang hermatipik, sedangkan batu karang adalah karang yang sudah mati

berupa batu kapur.

B. Kondisi Terumbu Karang Di Indonesia

Indonesia dengan wilayah lautnya yang sangat luas, jumlah pulaunya yang mencapai

sekitar 17.508 dan diperkirakan luas terumbu karangnya sekitar 60.000 km2 membuat negara ini

sangat kaya dengan keanekaragaman hayati. Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari

ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut.

Di dalam ekosistem terumbu karang ini bisa hidup lebih dari 300 jenis karang, yang terdiri dari

sekitar 200 jenis ikan dan berpuluh-puluh jenis Molusca, Crustacean, Sponge, Alga, lamun dan

biota lainnya (Dahuri, 2000).

Terumbu karang mengalami banyak tekanan sebagai akibat dari pola pemanfaatan yang

tidak ramah lingkungan. Hasil pengamatan Suharsono (1998), menyatakan bahwa terdapat 325

stasiun yang tersebar di seluruh Indonesia, bahwa hanya 7 % Terumbu Karang Indonesia dalam

kondisi sangat baik. Sebanyak 22 % dalam kondisi baik, 28 % dalam kondisi sedang dan 43 %

(3)

Menurut Carter, J.A. (1996), ada beberapa penyebab kerusakan terumbu karang yang ada

di Indonesia, diantaranya:

a) Sedimentasi

Konstruksi di daratan dan sepanjang pantai, penambangan atau pertanian didaerah aliran

sungai ataupun penebangan hutan tropis menyebabkan tanah mengalami erosi dan terbawa

melalui aliran sungai kelaut dan terumbu karang. Kotoran-kotoran, lumpur ataupun pasir-pasir

ini dapat membuat air menjadi kotor dan tidak jernih lagi sehingga karang tidak dapat bertahan

hidup karena kurangnya cahaya. b) Penangkapan dengan bahan peledak

Penggunaan kalium nitrat (sejenis pupuk) sebagai bahan peledak akan mengakibatkan

ledakan yang besar, sehingga membunuh ikan dan merusak karang disekitarnya. c) Pencemaran air

Produk-produk minyak bumi dan kimia lain yang dibuang didekat perairan pantai, pada

akhirnya akan mencapai terumbu karang. Bahan-bahan pencemar ini akan meracuni polip karang

dan biota laut lainnya.

d) Pengelolaan tempat rekreasi

Pengelolaan rekreasi diwilayah pesisir yang tidak memperhatikan lingkungan akan dapat

menyebabkan rusaknya terumbu karang. e) Pemanasan global

Pemanasan global mengakibatkan cuaca ekstrim sukar diperkirakan, seperti badai tropis

yang dapat mengakibatkan kerusakan fisik ekosistem terumbu karang yang sangat besar.

Meningkatnya permukaan laut juga menjadi ancaman serius bagi terumbu karang dan

pulau-pulau kecil.

C. Pengelolaan Terumbu Karang Berbasis Masyarakat

Pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat adalah suatu proses pemberian

wewenang, tanggung jawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola terumbu

(4)

sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang pada akhirnya menentukan dan berpengaruh

pada kesejahtraan hidup mereka (Nikijuluw, 2002).

Menurut Carter, J. A. (1996), memberikan definisi pengelolaan sumberdaya berbasis

masyarakat yaitu, suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia,

dimana pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan

disuatu daerah terletak/berada ditangan organisasi-organisasi dalam masyarakat didaerah

tersebut.

Pengelolaan ekosistem terumbu karang pada hakekatnya adalah suatu proses

pengontrolan tindakan manusia, agar pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilakukan secara

bijaksana dengan mengindahkan kaidah kelestarian lingkungan. Apabila dilihat permasalahan

pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang yang menyangkut berbagai sektor, maka

pengelolaan sumberdaya terumbu karang tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri, namun harus

dilakukan secara terpadu oleh beberapa instansi terkait (Carter, J. A. 1996).

Pomeroy dan Williams (1994), mengatakan bahwa konsep pengelolaan yang mampu

menampung banyak kepentingan, baik kepentingan masyarakat maupun kepentingan pengguna

lainnya adalah konsep CooperativeManagement atau disingkat dengan Co-Management. Hakim,

L. (2008), menyebutkan bahwa prinsip pengelolaan berbasis masyarakat pada umumnya, yaitu

dimulai dari proses kerjasama (cooperative), advisory hingga pemberian (sharing) informasi.

Beberapa kunci keberhasilan dalam pengelolaan sumberdaya ekosistem terumbu karang

berbasis masyarakat menurut Pameroy dan Williams (1994), adalah:

1) Batas-batas wilayah yang jelas terdefinisi

Batas-batas fisik dari suatu kawasan yang akan dikelola harus dapat ditetapkan dan

(5)

menentukan zoning dan sekaligus melegalisasinya menjadi sangat penting. Batas-batas wilayah

tersebut harus berdasarkan pada sebuah ekosistem sehingga sumberdaya alam tersebut dapat

lebih muda untuk diamati dan dipahami.

2) Kejelasan keanggotaan

Segenap pengguna yang berhak memanfaatkan sumberdaya alam disebuah kawasan dan

berpatisipasi dalam pengelolaan daerah tersebut harus dapat diketahui dan didefinisikan dengan

jelas. Jumlah pengguna tersebut seoptimal mungkin tidak boleh terlalu banyak sehingga proses

komunikasi dan musyawarah yang dilakukan menjadi lebih efektif.

3) Keterikatan dalam kelompok

Kelompok masyarakat yang terlibat hendaknya tinggal secara tetap didekat wilayah

pengelolaan. Dalam konteks ini, maka kebersamaan masyarakat akan kelihatan baik dalam hal

etnik, agama, metode pemanfaatan, kebutuhan, harapan dan sebaginya.

4) Manfaat harus lebih besar dari biaya

Setiap komponen masyarakat disebuah kawasan pengelolaan mempunyai harapan bahwa

manfaat yang diperoleh dari partisipasi masyarakat dalam konsep pengelolaan sumberdaya

ekosistem terumbu karang berbasis masyarakat akan lebih besar dibanding biaya yang

dikeluarkan. Dalam hal ini, salah satu komponen indikatornya dapat berupa rasio pendapatan

relatif dari masyarakat lokal dan stakeholder lainnya.

5) Pengelolaan yang sederhana

Dalam model pengelolaan sumberdaya ekosistem terumbu karang, salahsatu kunci

kesuksesan adalah penerapan peraturan pengelolaan yang sederhana namun terintegrasi. Proses

monitoring dan penegakan hukum dapat dilakukan secara terpadu, dengan basis masyarakat

(6)

6) Legalisasi dari pengelolaan

Masyarakat lokal yang terlibat dalam pengelolaan membutuhkan pengakuan legal dari

pemerintah daerah, sehingga hak dan kewajibannya dapat terdefinisikan dengan jelas dan secara

hukum terlindungi. Dalam hal ini, jika hukum adat telah ada dalam suatu wilayah, maka

pemerintah memberikan legalitas, sehingga keberadaan hukum ini mempunyai kekuatan hukum

yang lebih kuat dalam penerapannya baik bagi masyarakat setempat pada umumnya maupun

stakeholder lainnya yang terlibat. Selai itu, adanya legalitas ini semakin menumbuhkan

kepercayaan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya pengelolaan sumberdaya terumbu

karang yang lebih lestari.

7) Kerjasama dan kepemimpinan dalam masyarakat

Kunci sukses yang lain adalah adanya individu maupun sebuah kelompok inti yang

bersedia melakukan upaya semaksimal mungkin demi berjalannya proses pengelolaan

sumberdaya terumbu karang ini. Upaya tersebut termasuk adanya kepemimpinan yang diterima

oleh semua pihak khususnya didalam kalangan masyarakat. Selain itu, program kemitraan antar

segenap pengguna sumberdaya terumbu karang (pemerintah, masyarakat, swasta, LSM dan

sebaginya) saling bermitra dalam setiap aktivitas, berupa aktivitas sosial, ekonomi, keamanan

dan sebaginya.

8) Desentralisasi dan pendelegasian wewenang

Pemerintah daerah sebagai bagian dari tripatriat pengelolaan dengan model pengelolaan

sumberdaya terumbu karang berbasis masyarakat ini perlu memberikan desentralisasi proses

administrasi dan pendelegasian tanggung jawab pengelolaan kepada kelompok masyarakat yang

(7)

9) Koordinasi antara pemerintah dan masyarakat

Sebuah lembaga koordinasi (badan koordinasi pengelolaan sumberdaya ekosistem

terumbu karang berbasis masyarakat) yang berada diluar kelompok masyarakat yang terlibat dan

beranggotakan wakil dari masyarakat lokal, stakeholder lainnya dan wakil pemerintah yang

merupakan hal yang penting pula dibentuk dalam rangka memonitor penyusunan pengelolaan

lokal dan pemecahan konflik.

10) Pengetahuan, kemampuan dan kepedulian masyarakat

Dalam rangka memberikan kepastian bahwa masyarakat mempunyai kemampuan dan

pengetahuan dalam melakukan pengelolaan, maka diperlukan suatau upaya yang mampu

memberikan penigkatan keterampilan dan kepedulian masyarakat untuk turut serta secara aktif,

responsif dan efektif dalam pelaksanaan proses pengelolaan sumberdaya ekosistem terumbu

karang berbasis masyarakat ini. Dalam hal ini, peran lembaga seperti LSM, swasta, perguruan

tinggi, harus mampu memberikan kontribusi dalam upaya penguatan pengetahuan, kemampuan

dan kepedulian masyarakat dalam pengelolaan. Selain itu proses peningkatan pengetahuan,

kemampuan dan kepedulian masyarakat ini dapat dilakukan dengan melalui pendidikan formal

(seperti sekolah) dan pendidikan informal (seperti penyuluhan, pelatihan, demonstrasi plot dan

sebagainya). Dalam konsep pengelolaan sumberdaya ekosistem terumbu karang ini juga harus

dipenuhi persyaratan seperti yang berlaku dalam Community Based Management (CBM) seperti

ketergantungan masyarakat akan keberadaan sumberdaya alam. Disamping itu dalam penerapan

pengelolaan sumberdaya ekosistem terumbu karang ini juga diperlukan adanya seorang

fasilitator yang dapat menggerakkan/memotivasi dan menumbuhkan partisipasi masyarakat pada

satu sisi dan juga dapat memobilisasi sektor terkait dalam pemerintahan disisi lain, dalam

(8)

pengelolaan sumberdaya ekosistem terumbu karang. Fasilitator ini dapat berasal dari para

stakeholder atau dapat diluar stakeholder. Dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat

fasilitator ini dapat dibantu oleh seorang motivator atau penggerak (bisa berasal dari toko

masyarakat atau LSM-LSM setempat), yang mampu memberikan inspirasi kepada masyarakat.

D. Prinsip Pengelolaan Berbasis Masyarakat

Partisipasi secara aktif masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya terumbu karang

sangat diperlukan pada saat ini. Dengan demikian masyarakat lokal dapat lebih aktif ikut

berperan dalam menangani permasalahan-permasalahan yang ada di lingkungan mereka. Dalam

keadaan pemerintah sangat terbatas kemampuannya untuk membangun, maka kesadaran

masyarakat untuk mengembangkan lingkungan sekitarnya akan sangat meringankan beban

pemerintah (Supriharyono, 2000).

Pengelolaan sumberdaya terumbu karang berbasis masyarakat harus berorientasi terhadap

beberapa hal antara lain: Kebutuhan (need oriented), yaitu model pengembangan masyarakat

pesisir hendaknya didasarkan pada kebutuhan kelompok masyarakat pesisir. Prakarsa lokal

(local inisiatives) baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia, yakni keterampilan serta

budaya. Hal ini dilakukan dalam rangka untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas

keterampilan maupun budidaya kelompok masyarakat pesisir. Berorentasi pasar (market

oriented), artinya model pembangunan masyarakat pesisir berbasis masyarakat yang diterapkan

harus berorentasi pasar, baik domestik maupun ekspor dengan cara membangun jaringan

ekonomi masyarakat lokal yang berorientasi global yang didukung oleh kemampuan teknologi

(9)

Prinsip utama pengelolaan berbasis masyakat adalah, masyarakat harus dilibatkan secara

aktif dalam kegiatan pengelolaan mulai dari penyusunan rencana, pelaksanaan, pemantauan

pelaksanaan, hingga evaluasi terhadap hasil-hasil yang dicapai. Dengan demikian pola

pendekatan yang dilakukan adalah dari bawah keatas (bottom up) yang dipadukan dengan dari

atas kebawah (top down), hal ini belajar dari pengalaman kegagalan pembangunan pada masa

lalu yang cenderung menggunakan top down saja, dan sejalan dengan paradigma baru

pembangunan sekarang prinsip aspiratif dan partisipatif masyarakat lebih ditonjolkan. Program

ini akan lebih terjamin keberlanjutannya karena masyarakat pesisir sebagai kelompok yang

paling mengetahui kondisi wilayah pesisir dan lautan sekitarnya menjadi diberdayakan dan

didudukkan sebagai subyek dalam proses kegiatan program sehingga mereka memiliki dan

bertanggung jawabakan program-program yang dilakukan. Pengelolaan sumberdaya terumbu

karang berbasis masyarakat secara garis besar terdiri dari tiga bagian yaitu: (i) perencanaan; (ii)

pengelolaan; (iii) pengawasan dan pengendalian (Supriharyono, 2000).

E. Tahapan Pengelolaan Berbasis Masyarakat

Menurut Pomeroy dan Williams (1994), tahapan dalam pengelolaan sumberdaya terumbu

karang berbasis masyarakat yaitu sebagai berikut:

1) Komponen input

Dalam studi awal secara partisipatif, memasukkan segenap unsur kebijakan dalam hal

pengelolaan sumberdaya ditingkat nasional dan lokal, yang dijabarkan lebih lanjut kedalam

konsep nasional tentang pengelolaan sumberdaya terumbu karang pada tingkat propinsi dan

kebijakan-kebijakan lokal lainnya, serta dalam bentuk strategi nasional dalam perencanaan

(10)

Harapannya adalah bahwa dengan segenap informasi yang berkenaan dengan ekosistem

terumbu karang ditingkat lokal sampai ditingkat nasional, maka keluaran dari hasil studi ini

mampu memberikan gambaran yang cukup akomodatif secara menyeluruh mengenai situasi dan

kondisi pengelolaan dan pemanfaatan potensi ekosistem terumbu karang yang ada. 2) Studi awal secara partisipatif

Komponen sumberdaya alam dan sumberdaya manusia merupakan salah satu input

penting dalam penerapan konsep pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat. Untuk

mencapai tujuan pemahaman yang komprehensif terhadap potensi SDA dan SDM tersebut maka

kegiatan studi awal sangat penting untuk dilakukan. Dalam hal ini, masyarakat tidak hanya

berperan sebagai objek studi, namun juga berperan sebagai pelaku/subyek dari studi, sehingga

hasil dari studi awal tersebut mampu merefleksikan kebutuhan dan keinginan masyarakat lokal,

serta dapat memberikan gambaran yang cukup akomodatif secara menyeluruh tentang kondisi

dan bentuk pelaksanaan program pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat. 3) Peningkatan kepedulian dan pengetahuan masyarakat

Kegiatan peningkatan kepedulian dan pengetahuan bagi masyarakat sangat tergantung

dari kondisi dan struktur masyarakat yang ada. Beberapa kegiatan awal dapat dilakukan dalam

rangka sosialisasi dan mencari bentuk – bentuk yang tepat bagi peningkatan kepedulian dan

pengetahuan.

4) Penguatan kelembagaan, kebijakan, dan peraturan

Keberhasilan dari pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat juga tergantung pada

penguatan kelembagaan yang dapat dilakukan dengan memperkuat kelembagaan yang sudah ada

atau dengan membentuk suatu lembaga baru, memperkuat peraturan dan perundangan yang

sudah ada, atau menghapus peraturan perundang-undangan yang sudah tidak cocok dan membuat

yang baru yang dianggap perlu.

Oleh karena itu, perlu adanya kajian yang menganalisis kekuatan, kelemahan, peluang

(11)

perundang-undangan yang ada dalam rangka menunjang kegiatan pengelolaan terumbu karang berbasis

masyarakat.

5) Penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya terumbu karang berbasis masyarakat

Setelah adanya pembekalan bagi masyarakat dan juga penguatan kelembagaan kebijakan

yang mendukung, serta pengalaman dalam kegiatan studi awal, maka diharapkan masyarakat

mampu menyusun rencana pengelolaan sumberdaya terumbu karang berbasis masyarakat di

daerahnya. Apabila hal ini telah dapat dilakukan, maka dokumen yang dihasilkan dapat

disalurkan melalui lembaga terkait untuk mendapat dukungan dan legalitas dari pemerintah dan

juga menjadi suatu kesatuan agenda dalam rencana pengelolaan terumbu karang baik pada

tingkat pemerintah daerah maupun nasional.

Dalam penyusunan rencana pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat diharapkan

mampu ; (1) meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya SDA dalam menunjang

kehidupan mereka, (2) meningkatkan kemampuan masyarakat untuk berperan serta dalam setiap

tahapan-tahapan pengelolaan secara terpadu, dan (3) meningkatkan pendapatan (income)

masyarakat dengan bentuk pemanfaatan yang lestari dan berkelanjutan serta berwawasan

lingkungan.

6) Masuk kedalam penentuan program pembangunan

Rencana pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat yang telah dibuat, baik yang

langsung dibuat oleh komunitas masyarakat maupun hasil penyusunan oleh pemerintah dan telah

diterima dalam Proses pensosialisasian, kemudian diproses dalam penentuan program

pembangunan. Rencana pengelolaan ini sebelumnya harus mendapatkan persetujuan dari LMD,

masyarakat, dan kepala desa. 7) Implementasi rencana

Tahap implementasi merupakan tahap pokok dari system pengelolaan terumbu karang

berbasis masyarakat. Pada tahap ini berbagai komponen SDM seperti motivator, tenaga

(12)

terumbu karang di lokasi tersebut. Dalam kegiatan implementasi tersebut, kegiatan-kegiatan

yang perlu dilakukan adalah (a) integrasi ke dalam masyarakat, (b) pendidikan dan pelatihan

masyarakat, (c) memfasilitasi arah kebijakan, dan (d) penegakan hukum dan peraturan. 8) Monitoring

Tahap monitoring (pengawasan) dilakukan mulai awal proses implementasi rencana

pengelolaan. Pada tahap ini, monitoring dilakukan untuk menjawab segenap pertanyaan tentang

efektivitas pengelolaan, atau masalah lain yang terjadi yang tidak sesuai dengan harapan yang

ada pada rencana pengelolaan. Monitoring ini sebaiknya dilakukan secara terpadu dengan

melibatkan masyarakat lokal dan stakeholder lainnya. 9) Evaluasi

Evaluasi dilakukan terhadap segenap masukan dan hasil pengamatan yang dilakukan

selama proses monitoring berlangsung. Evaluasi dilakukan secara terpadu dengan melibatkan

masyarakat dan stakeholder lainnya. Melalui proses evaluasi, maka dapat diketahui kelemahan

dan kelebihan dari sistem pengelolaan guna perbaikan sistem dimasa depan.

F. Peraturan Daerah Tentang Pengelolaan Terumbu Karang

Peraturan maupun ketetapan Daerah yang mengatur tentang pengelolaan Terumbu

karang, seperti :

a) Kesepakatan dan deklarasi Perlindungan ekosistem terumbu Karang di Kawasan Perairan laut

Pelukanbada, Aceh oleh Lembaga adat Panglima Laot Lhok Lamteungoh

b) Peraturan daerah Kota Batam No 7 tahun 2009 tentang pengelolaan terumbu Karang Kota

Batam

c) Peraturan daerah Provinsi Gorontalo No 2 tahun 2006 tentang Pengelolaan terumbu Ekosistem

terumbu Karang

G. Alternatif Rehabilitasi Terumbu Karang

Rehabilitasi adalah upaya mengembalikan fungsi suatu ekosistem yang mengalami

(13)

terumbu karang harus melibatkan seluruh unsur masyarakat yang terkait dengan keberadaan

terumbu karang pada suatu daerah baik langsung maupun tidak langsung. Disamping itu, rencana

rehabilitasi terumbu karang harus mempertimbangkan zonasi atau tata ruang kawasan serta

aspirasi masyarakat di lokasi yang akan dilakukan rehabilitasi (Bavinck, M, 2001).

Bentuk rehabilitasi yang bisa dilakukan dalam pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat

adalah teknik transplantasi terumbu karang dan konservasi terumbu karang.

Gambar 2. Transpalantasi terumbu karang (Coremap-LP3M, 2001).

Berikut beberapa faktor yang perlu di perhatikan dalam upaya konservasi sumberdaya

laut termasuk terumbu karang :

1) Manajemen Sosial-lingkungan. Mengembangkan manajemen partisipatif kawasan lindung,

pendidikan lingkungan, manajemen konflik dan kursus pengembangan kapasitas kepada

masyarakat.

2) Populasi Tradisional. Menyampaikan dan mengembangkan kebijakan yang berkaitan dengan

pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat ekstraktif dan masyarakat adat dalam kawasan

lindung jatuh di Pemanfaatan kategori yaitu : Penguatan masyarakat lokal dan Pemanfaatan dan

(14)

3) Kepentingan umum dan bisnis: Kualifikasi, mengatur dan menyusun kegiatan kunjungan,

penggunaan publik dan rekreasi dalam kawasan lindung.

4) Teritorial konsolidasi. Menyampaikan dan membatasi batas kawasan lindung;

5) Penetapan perencanaan dan evaluasi kawasan lindung. Mengembangkan dan menerapkan alat

dan tindakan terhadap penetapan dan pengelolaan kawasan lindung berupa: a. Penunjukan, manajemen rencana elaborasi dan revisi.

b. Evaluasi pelaksanaan kawasan lindung.

c. Sistem, Mosaik dan evaluasi koridor efektifitas.

6) Perlindungan Mengembangkan perlindungan dan mekanisme keamanan di daerah menghadapi

risiko invasi

7) Konservasi dan pengelolaan. Mengembangkan alat pengelolaan keanekaragaman hayati

bertujuan untuk mengurangi dampak aktivitas manusia pada beberapa spesies menghadapi resiko

kepunahan. Usaha tersebut dapat di lakukan dengan cara evaluasi konservasi keanekaragaman

hayati dan juga dengan melakukan desain dan implementasi rencana aksi.

8) Pemantauan dan penelitian. Promosikan generasi pengetahuan tentang konservasi

keanekaragaman hayati dan pengelolaan kawasan lindung. contoh tindakannya dapat berupa

melakukan promosi dan pengiriman penelitian, selain itu dapat juga melakukan variasi dalam

usaha pemantauan dan juga optimalisasi manajemen informasi dalam usaha konservasi terubu

karang

9) Manajemen lingkungan. Kompensasi dan sumber daya keuangan khusus kelola sumber daya

kompensasi lingkungan keuangan dan sumber daya khusus sistematisasi.

10) Pengembangan kelembagaan. Menyebarluaskan kompetensi kelembagaan dan tindakan kepada

masyarakat.

11) Manajemen sumber daya manusia. Menerapkan praktek terpadu dan kebijakan untuk

pengembangan pribadi dan profesional personil. Misalnya dengan mengembangkan manajemen

personil dan kualitas hidup, korporatif Pendidikan.

12) Mengembangkan Teknologi informasi dan manajemen. Manajemen terpadu dan strategis logistik

dan tekhnologi yang dapat di manfaatkan untuk memberikan informasi dalam upaya pelestarian

(15)

13) Keuangan mengoperasionalkan. Sumberdaya keuangan yang mendukung upaya yang di lakukan

dalam rangka perlindungan terumbu karang.

14) Perancanaan anggaran operasional yang di gunakan untuk membiayai dan menjaga

keberkelanjutan dari usaha konservasi terumbu karang. 15) Dukungan dari korporasi (Coremap-LP3M, 2001).

H. Gambaran Pengelolaan Terumbu Karang Berbasis Masyarakat

Pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat dapat dikenal di beberapa daerah

diindonesia seperti di beberapa desa pesisir di Kabupaten Minahasa, yang telah mengembangkan

rencana pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat, daerah perlindungan laut dan serta

aturan-aturan desa tentang pengelolaan sumberdaya pesisir (Coremap, 2002).

Di Desa Kasuari, ada beberapa bagian pantai yang telah mengalami kerusakan yang

disebabkan karena abrasi dan sedimentasi, sehingganya usaha untuk pengelolaan oleh

pemerintah desa dan masyarakat untuk dijadikan daerah konservasi yang dikelolah oleh

masyarakat Desa Kasuari Provinsi Sulawesi Tenggara (Coremap, 2002).

Selanjutnya kasus di Kepulauan Riau. Jenis ancaman gangguan sumberdaya alam pesisir

di Kepulauan Riau dapat dibedakan dari factor penyebab, yaitu ancaman eksploitasi dan

ancaman pencemaran serta kerusakan akibat pembangunan. Ancaman akibat kegiatan eksploitasi

menyebabkan degradasi beberapa sumberdaya alam diantaranya kerusakan terumbu karang,

penurunan populasi ikan, pengurangan habitat hutan bakau dan padang lamun. Kerusakan

terumbu karang dan penurunan ikan karang disebabkan pengeboman karang. Diantara program

penyadaran masyarakat tersebut, yang saat ini sedang berlangsung adalah program pantai dan

laut lestari, yang salah satu kegiatannya adalah terumbu karang dan mangrove lestari (teman

(16)

meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap kelestarian ekosistem tersebut. Untuk wilayah

Kepulauan Riau, program yang di jalankan untuk pengelolaan terumbu karang adalah program

COREMAP yaitu pengelolaan yang berbasis masyarakat (Community Base Management/CBM)

(Coremap, 2002).

I. Penentu Keberhasilan Pengelolaan Berbasis Masyarakat (CBM)

Pengelolaan Berbasis Masyarakat bersifat spesifiklokal yang artinya CBM adalah unik

dan tidak ditemukan sama persis pada dua atau lebih daerah yang berbeda. Oleh karena unik,

keberhasilan atau kegagalan CBM tidak dapat digeneralisasi. Apapun hasilnya keberhasilan dan

kegagalan disuatu tempat, tidak dengan otomatis dapat diterapkan ditempat lain. Katakanlah

kondisi sumberdaya alam didua daerah sama persis namun karena masyarakat yang berbeda,

CBM-nya akan berbeda pula (Nikijuluw, V.P.H. 2002).

a. Kelemahan pengelolaan berbasis masyarakat (CBM)

Menurut Nikijuluw, V.P.H. 2002), bahwa pendekatan pengelolaan, CBM memiliki

beberapa kelemahan diantaranya, adalah :

1) Tidak mengatasi masalah interkomunitas

CBM diperuntukan hanya untuk suatu komunitas lokal, masalah-masalah interkomunitas

tidak dapat dipecahkan CBM. Konflik antarmasyarakat yang berasal dari dua komunitas yang

berbeda tidak dapat dipecahkan melalui CBM yang diakui salah satu komunitas. Untuk

mengatasi maslah ini, perlu dibangun sistem CBM yang berjenjangan, yaitu pada tingkat

komunitas yang lebih tinggi dari dua komunitas yang saling konflik. Jika pada kedua komuntas

yang saling konflik itu masing-masing memiliki CBM, diatas kesamaan CBM mereka dapat

(17)

CBM bersifat spesifik lokal. Oleh karena itu, masalah yang lebih besar tidak dapat

dipecahkan CBM. Sebagai contoh masalah tangkap lebih atau overexploitation untuk jenis ikan

tertentu tidak dapat dipecahkan melalui pelaksanaan CBM disuatu lokasi, jika perairan itu cukup

luas dan didiami serta dimanfaatkan beberapa komunintas masyarakat. Masalah-masalah besar

lainnya yang sulit dipecahkan melalui CBM adalah pengangguran didaerah pesisir, polusi

disuatu perairan dan ketidakseimbangan pasar. 3) Mudah dipengaruhi faktor eksternal

Beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi pada pelaksanaan CBM adalah: 1)

Migrasi serta mobilitas penduduk yang membuat masyarakat menjadi membaur sehingga hilang

identitas masyarakat lokal, 2) Perubahan komposisi usia penduduk, umumnya generasi muda

pergi meninggalkan desanya sehingga yang tersisa hanya generasi tua, 3) Perkembangan

perdagangan yang begitu intensif terhadap komoditas yang dikelola dengan pendekatan CBM

sehingga masyarakat cenderung melanggar aturan yang telah ditetpkan, 4) Pengantian sistem

pemerintahan yang membuat struktur pemerintahan desa (lokal) ikut juga berubah karena

pemerintahan baru tidak memiliki kepedulian dan kemampuan untuk melaksanakan CBM. 4) Sulit mencapai skala ekonomi

Oleh karena bersifat lokal dan hanya dianut suatu masyarakat saja, skala usaha

keseluruhan CBM disuatu daerah sering tidak ekonomis. Secara individu, implementasi CBM

membawa keuntungan, namun jika dihitung dampaknya bagi seluruh masyarakat, ternyata

keuntungan itu suboptimal.

5) Tingginya biaya institusionalisasi

Pendirian atau pembentukan CBM membutuhkan biaya yang relatif mahal. Biaya

diperlukan untuk proses edukasi, penyadaran dan sosialisasi kepada masyarakat tentang perlunya

CBM, perumusan aturan CBM melalui pembangunan partisipasi masyarakat, serta pembentukan

(18)

dengan biaya keperluan yang sama pada pengelolaan sumberdaya yang hanya dilakukan

pemerintah.

b. Keunggulan pengelolaan berbasis masyarakat (CBM)

Meskipun banyak kelemahannya, CBM ternyata memiliki kelebihan dibandingkan

dengan sistem atau pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan yang lain. Menurut

Nikijuluw, V.P.H. (2002), bahwa kelebihan CBM tersebut adalah sebagai berikut: a) Sesuai aspirasi dan budaya lokal

CBM sesuai dengan keinginan dan aspirasi lokal. Oleh karena itu, pelaksanaan CBM

akan menghasilkan dampak positif bagi masyarakat lokal. Jika dalam pelaksanaanya ternyata

CBM kurang berhasil, tentu saja masyarakat merasakannya. Untuk itu dengan mudah mereka

dapat mengubah CBM sesuai dengan keinginan dan aspirasi yang ada.

CBM tidak bertentangan dengan adat dan budaya. Sebaliknya, justru didukung oleh adat

dan budaya yang berlaku. Khusus untuk CBM tradisional, dukungan adat ini membuatnya tetap

berlaku meskipun banyak perubahan terjadi ditengah masyarakat. Namun dukungan adat ini

mulai dikalahkan dengan adanya tuntutan kebutuhan ekonomi yang semakin besar. b) Diterima masyarakat lokal

Oleh karena dibentuk sendiri oleh masyarakat serta sesuai dengan keinginan dan aspirasi

lokal, masyarakat secara keseluruhan akan dengan mudah menerima CBM. Komitmen

masyarakat sejak awal untuk menerima CBM yang dibuatnya sendiri adalah modal utama untuk

diimplementasikannya CBM secara benar. Meski demikian, tidak dipungkiri bahwa pelaksanaan

dan pengenalan CBM kepada suatu masyarakat mungkin saja mengalami tantangan dari dalam

masyarakat sendiri. Hal ini biasanya terjadi karena kelompok masyarakat atau individu tertentu

yang selama ini telah mengalami keuntungan dari pelaksanaan pengelolaan sebelumnya akan

berusaha pengelolaan yang baru ini tidak diberlakukan. c) Pengawasan Dilakukan Dengan Mudah

Pelaksanaan dan pengawasan CBM dilakukan sendiri oleh masyarakat. Dengan demikian

(19)

pengawasan menjadi sangat rendah jika masyarakat melakukannya dengan sukarela. Pengawasan

dengan mudah dilakukan jika kegiatan itu dikaitkan dengan tugas dan tanggung jawab setiap

anggota masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Bavinck, M. 2001. “Marine Resource Management: Conflict and Regulation in the Fisheries of the

Coromandel Coast” London: Sage Publications.

Bengen, D.G. 2001. “Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut Serta Pengelolaan Wilayah Pesisir

Terpadu dan Berkelanjutan

Carter, J.A. 1996. “Pengelolaan Terumbu Karang Berbasis masyarakat”. http://www.pbanyak.com/2010/10/pengelolaan-terumbu-karang-berbasis.html. Diakses 15 Februari 2013.

Coremap-LP3M, 2001. “Coral Reef Rehabilitation and Management Program – Lembaga Pengkajian

Pedesaan, Pantai dan Masyarakat” 2001. Community-Based Management.

2002. Laporan Akhir Perpanjangan II Pengelolaan Berbasis Masyarakat Program COREMAP Di Kepulauan Riau

Dahuri, R. 2000. “Pendayagunaan sumberdaya kelautan untuk kesejahteraan masyarakat”. LISPI. Jakarta

Hakim, L. 2008. “Detil Artikel Teologi Lingkungan untuk Rehabilitasi Terumbu Karang”.http://psmbupn.org/article/teologi-lingkungan-untuk-rehabilitasi-terumbu-karang.html. Diakses 4 Februari 2013

Nikijuluw,V.P.H.2002.”Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan: Pengelolaan sumberdaya perikanan

berbasis masyarakat”, halaman 85-94

Pangesti, A. 2012. “Jurnal Kondisi Terumbu Karang Indonesia

http://anapangesti.blogspot.com/search/label/jurnal. Diakses 4 Februari 2013.

Pijiono, dan Ruswahyuni, 2004. “Kondisi Terumbu Karang Di Kepulauan Seribu Dalam Kaitan Dengan

Gradasi Kualitas Perairan” Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan Vol. 1 No. 1, April 2009

Pomeroy, R.S. dan M.J. Williams. 1994. “Fisheries Co-Management and Small-Scale Fisherie “: A Policy Brief. ICLARM, Manila 15 p.

(20)

Gambar

Gambar 1. Terumbu karang
Gambar 2. Transpalantasi terumbu karang (Coremap-LP3M, 2001).

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian beberapa sumber bahan organik dan masa inkubasi terhadap pH, C-organik, N-total, P-total dan K-dd pada tanah

Segenap Staf Tata Usaha Fakultas Bisnis Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya yang telah banyak membantu dalam mengurus surat-surat yang penulis perlukan.. KAP

Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan

Sebelumnya kalian telah mempelajari grafik fungsi kuadrat. Daerah Sebelumnya kalian telah mempelajari grafik fungsi kuadrat. Daerah grafik fungsi kuadrat berupa

MAHASISWA DALAM PENGISIAN KRS HARUS MENGISI KELAS SUPAYA NAMANYA TERCANTUM DALAM DAFTAR ABSEN KULIAH MAUPUN DAFTAR ABSEN

Tata kerja kelompok ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari aturan besar kelompok SHK Lestari Muara Tiga sebagai acuan atau landasan pelaksanaan kerja kelompok dalam

Penulis akan membahas rencana dan tujuan kriteria hasil yang mana setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 8 jam, bahwa suhu tubuh pasien dalam rentang normal

Kondisi optimum untuk sintesis wax ester dari asam lemak stearat yaitu selama 2 jam, pada suhu 40 °C, dengan jumlah enzim lipase 0,15 gram, pada perbandingan asam stearat :