• Tidak ada hasil yang ditemukan

Status Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya Kepiting Bakau (Scylla Serrata Forsskal, 1775) Di Ekosistem Mangrove Kabupaten Subang, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Status Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya Kepiting Bakau (Scylla Serrata Forsskal, 1775) Di Ekosistem Mangrove Kabupaten Subang, Jawa Barat"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

STATUS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN

SUMBERDAYA KEPITING BAKAU (

Scylla

serrata -

Forsskal,

1775) DI EKOSISTEM MANGROVE KABUPATEN SUBANG,

JAWA BARAT

AYU ANNISA KUMALAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Status Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya Kepiting Bakau (Scylla serrata - Forsskal, 1775) Di Ekosistem Mangrove Kabupaten Subang, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

AYU ANNISA KUMALAH. Status Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya Kepiting Bakau (Scylla serrata - Forsskal, 1775) Di Ekosistem Mangrove Kabupaten Subang, Jawa Barat. Dibimbing oleh YUSLI WARDIATNO, ISDRADJAD SETYOBUDIANDI dan ACHMAD FAHRUDIN.

Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu potensi komoditas perikanan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi yang secara khas berasosiasi dengan ekosistem mangrove yang masih baik, sehingga terdegradasinya habitat akan memberikan dampak terhadap keberadaan populasi kepiting bakau. Kabupaten Subang memiliki luas hutan mangrove sebesar 9 013.78 ha yang tersebar di sepanjang pesisir pantai dan daerah aliran sungai. Sebagian besar masyarakat pesisir Kabupaten Subang telah memanfaatkan kawasan perairannya untuk pengembangan perikanan, diantaranya telah diusahakan sebagai tambak tumpang sari (silvofishery). Kawasan tersebut memiliki potensi dan peranan penting sebagai penyangga kehidupan khususnya bagi masyarakat nelayan skala kecil (small-scale fisheries). Menurut nelayan setempat, wilayah pesisir Kabupaten Subang sering mengalami abrasi pantai dan mengalami penurunan produksi kepiting bakau dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Sehingga, perlu diketahui status keberlanjutan perikanan S. serrata di Kabupaten Subang. Penelitian ini bertujuan (1) mengkaji status biologi populasi kepiting bakau di Kabupaten Subang yang meliputi struktur ukuran, parameter pertumbuhan, laju mortalitas serta tingkat kematangan gonad; (2) mengidentifikasi kondisi ekosistem mangrove di lokasi penelitian; (3) mengestimasi pendapatan dan nilai kelayakan usaha penangkapan kepiting bakau dan (4) megkaji status keberlanjutan pengelolaan perikanan kepiting bakau di Kabupaten Subang.

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Mayangan, Tanjung Tiga dan Blanakan Kabupaten Subang selama empat bulan yaitu pada bulan Maret – Juni 2016. Pengambilan data ekologi dilakukan di 7 substasiun pengamatan yang terletak di areal muara sungai dan areal silvofishery dengan menggunakan metode transek kuadrat. Pengumpulan data sosial ekonomi dilakukan dengan alat bantu kuisioner. Data biologi S. serrata dianalisis dengan metode analitik menggunakan alat bantu FISAT-II, serta status keberlanjutan pengelolaan S. serrata dianalisis dengan bantuan program RAPFISH.

(5)

(0.25 dan 0.15) lebih kecil dari laju penangkapan (F) (0.27 dan 0.75), yang berarti kematian total kepiting jantan lebih banyak disebabkan oleh kegiatan penangkapan. Sedangkan nilai M S. serrata betina (0.45 dan 0.79) lebih dari sebagian nilai Z, yang berarti mortalitas S. serrata betina lebih banyak disebabkan oleh mortalitas alami (M). Laju ekspoiltasi (E) S. serrata jantan di lokasi penelitian mencapai 51% (muara sungai) dan 55% (areal silvofishery), ini mengindikasikan telah terjadi lebih tangkap atau over eksploitasi dimana nilai E>50%. Sedangkan laju eksploitasi betina masing-masing sebesar 40%, dan 33% yang berarti masih di bawah laju eksploitasi optimal yang diperbolehkan. Hubungan jumlah individu S. serrata dengan kerapatan vegetasi mangrove memiliki hubungan yang cukup kuat yaitu r = 0.96 (muara sungai) dan 0.99 (areal silvofishery) dengan nilai signifikan p<0,05. Pendapatan bersih nelayan kepiting bakau rata-rata sebesar Rp 1 524 500/bulan, pendapatan terkecil Rp 880 000/bulan, sedangkan pendapatan tertinggi Rp 2 530 000/bulan. Tingkat pendapatan nelayan kepiting bakau sebagian besar dibawah upah minimum kabupaten (UMK) Subang sebesar Rp 2 149 720/bulan. Usaha penangkapan kepiting bakau di Teluk Bintan memiliki rasio (R/C) rata-rata 4.60. Hasil analisis RAPFISH diperoleh indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi sebesar 34.44% (kurang berkelanjutan), dimensi ekonomi 51.46% (cukup berkelanjutan), dimensi sosial 52.02% (cukup berkelanjutan), dimensi teknologi 38.85% (kurang berkelanjutan), dan dimensi kelembagaan sebesar 44.32% (kurang berkelanjutan). Secara keseluruhan, dari lima dimensi yang dikaji, didapatkan indeks keberlanjutan pengelolaan S. serrata di Kabupaten Subang sebesar 44.68% (kurang berkelanjutan).

(6)

SUMMARY

AYU ANNISA KUMALAH. Sustainability Status of Mud Crab (Scylla serrata – Forsskal, 1775) Management Resources in Mangrove Ecosystem Subang District, West Java. Supervised by YUSLI WARDIATNO, ISDRADJAD SETYOBUDIANDI dan ACHMAD FAHRUDIN.

Mud crab (Scylla serrata) is a potential commodity that has high economic value. It is typically associated with mangrove ecosystems that still good. So that, the degradation of habitat will be a serious impact on the existence of mud crab population. Subang has an area of 9013.78 ha of mangrove forests scattered along the coastal areas and watersheds. Most of the coastal communities in subang have taken the advantage of the waters for fisheries development which have been cultivated as pond intercropping (Silvofishery). The region has the potential and important role as a life support for the fishing community, especially small-scale (small-scale fisheries). According to the local fishermen, there were abrasion in Subang coastal regions and decreased production of mud crabs within the last five

years. So that, it’s necessary to know the sustainability fisheries status of S. serrata in Subang. This study were aimed to (1) assess the biological status of

mud crab population in Subang that includes the size of the structure, growth parameters and mortality rates as well as the maturity level of gonads; (2) identify the condition of the mangrove ecosystem in the study site; (3) estimate the income and value of business feasibility catching mud crabs; (4) assess the status of the sustainability of mud crab fishery management in Subang

This research was conducted in the Mayangan, Tanjung tiga and Blanakan village in Subang Regency for four months, in March-June 2016. Data collection was performed in 7 substations were located in the area of the estuary and the area Silvofishery using quadratic transect method. Socio-economic data collection was done with a questionnaire. Biological data of S. serrata were analyzed by the analytical method using FISAT-II, as well as the status of sustainability management of S. serrata were analyzed with RAPFISH program.

(7)

50%. While the rate of exploitation of females were 40% and 33%, which means the rate were still lower than the optimal exploitation. Relationships number of S. serrata with mangrove vegetation density had a strong enough relationship r = 0.96 (estuary) and 0.99 (Silvofishery area) and value of p< 0.05. The income of mud crab fisherman were an average of Rp 1 5245 million/month, the smallest revenue were Rp 880 000/month, while the highest income were Rp 2 530 000/month. The income level of the mud crab fisherman largely under the district minimum wage (UMK) in Subang for Rp 2 149 720/month. Mud crab fishing effort in the Subang Bay’s has a ratio (R/C) an average of 4.60. The results of RAPFISH analysis obtained for the dimension of ecological sustainability index were 34.44% (less sustainable), the economic dimension were 51.46% (sustained enough), the social dimension were 52.02% (sustained enough), the technological dimension were 38.85% (less sustainable) and institutional dimensions were 44.32% (less sustainable). The value of sustainability index management of S. serrata werre 44.68% (less sustainability) from five dimension assessed.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Sumberdaya Pesisir dan Lautan

STATUS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN

SUMBERDAYA KEPITING BAKAU (

Scylla

serrata -

Forsskal,

1775) DI EKOSISTEM MANGROVE KABUPATEN SUBANG,

JAWA BARAT

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2017

(10)

Penguji pada Ujian Tesis:Dr Ali Mashar, SPi, MSi Dr Ir Drajat Martianto, MS

Penguji pada Ujian Terbuka: Prof Dr Ir Marimin, MS

(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul “Status Kebebrlajutan Pengelolaan Sumberdaya Kepiting Bakau (Scylla serrata-Forsskal, 1775) Di Ekosistem Mangrove Kabupaten Subang, Jawa Barat.” Karya tulis ini merupakan tugas akhir untuk menyelesaikan program S2 pada Sekolah Pascasarjana, Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan secara khusus kepada Bapak Dr Yusli Wardiatno, Bapak Dr Isdradjad Setyobudiandi dan Bapak Dr Achmad Fahrudin selaku dosen pembimbing atas waktu, kebijaksanaan, tuntunan, perhatian, kesabaran, nasehat, semangat, dan masukan-masukan yang telah diberikan hingga tesis ini dapat diselesaikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr Ali Mashar selaku penguji luar komisi serta Bapak Dr Zulhamsyah Imran selaku sekretaris program studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan atas kesediaannya dalam meluangkan waktu untuk perbaikan tesis penulis. Ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya juga penulis ucapkan kepada Ayahanda Untung Tobiin, SSt, MM dan Ibunda Siti Djamiatun SP, MM atas segala doa, kasih sayang, semangat dan nasehat yang tidak pernah putus diberikan sehingga menjadi motivasi bagi penulis, serta kakak Anne Fasyikhatun, SIkom dan adik tercinta Alfath Tobiin Sasongko Wongso Kusumo yang juga selalu memberikan semangat kepada penulis.

Terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu serta memberikan masukan dan ide yang membangun selama kegiatan penelitian, kepada teman-teman mahasiswa Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan angkatan 2014, teman-teman Himpunan mahasiswa Sulawesi Tengah, serta teman-teman perantauan Kos Syariah atas bantuan, kebersamaan, kekompakan serta motivasinya dalam perjuangan menempuh studi. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan.

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 2

Tujuan dan Manfaat Penelitian 3

2 METODE 3

Waktu dan Lokasi Penelitian 3

Alat Penelitian 5

Jenis dan Metode Pengambilan Data 5

Pengumpulan Sampel S. serrata 5

Penentuan Induk Betina Matang Gonad 5

Pengambilan Data Vegetasi Mangrove 5

Pengambilan Data Kualitas Air dan Substrat 6

Pengumpulan Data Sosial Ekonomi 6

Penentuan Jumlah Responden 6

Analisis Data 7

Analisis Status Biologi Populasi S. serrata 7

Struktur Ukuran 7

Hubungan Lebar karapaks dan Bobot 7

Pendugaan Parameter Pertumbuhan 8

Pendugaan Laju Mortalitas dan Eksploitasi 8

Analisis Ekologi Habitat S. serrata 9

Vegetasi Mangrove 9

Substrat dan Kualitas Air 9

Analisis Aspek Ekonomi 9

Perkiraan Pendapatan dari Pemanfaatan S. serrata 9

Kelayakan Usaha 9

Analisis Keberlanjutan Perikanan S. serrata 10

3 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 12

Keadaan Geografis dan Administrasi Kabupaten Subang 12

Karakteristik Ekosistem Mangrove 13

Kependudukan 13

Perikanan Tangkap 13

Tingkat Pendidikan Responden 14

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 15

Status Biologi Populasi S. serrata Bakau di Ekosistem Mangrove

Kabupaten Subang 15

Struktur Ukuran 15

(14)

Parameter pertumbuhan 18

Laju Mortalitas dan Laju Eksploitasi 19

Induk Betina S. serrata Matang Gonad 21

Kondisi Ekologi Habitat S. serrata 21

Jenis dan Kerapatan vegetasi Mangrove 21

Fraksi Substrat 23

Parameter Kualitas Air 24

Hubungan Kerapatan Vegetasi Mangrove Terhadap Jumlah

Individu S. serrata 25

Kondisi Sosial Ekonomi Perikanan S. serrata 25

Permintaan dan Pemasaran S. serrata 25

Upaya Tangkap dan Hasil tangkapan 26

Pola dan Teknik Penangkapan 26

Kelebihan dan Kekurangan Alat Tangkap 27

Pendapatan Nelayan 27

Status Keberlanjutan S. serrata di Kabupaten Subang 28

Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi 28

Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi 29

Status Keberlanjutan Dimensi Sosial 30

Status Keberlanjutan Dimensi Teknologi 31

Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan 32

Status Keberlanjutan Multidimensi 34

Nilai Stress dan Koefisien Determinasi 35

Rekomendasi Pengelolaan S. serrata di Kabupaten Subang 37

5 KESIMPULAN DAN SARAN 38

Kesimpulan 38

1 Deskripsi Lokasi Penelitian 4

2 Alat yang Digunakan dalam Penelitian 5

3 Kategori Status Keberlanjutan Pengelolaan Perikanan 11 4 Jumlah dan Struktur Kapal Perikanan Kabupaten Subang 14 5 Kisaran Lebar Karapaks dan Bobot Individu S. serrata di Lokasi

Penelitian 15

6 Hubungan Lebar Karapaks dan Bobot S. serrata di Lokasi

Penelitian 17

7 Parameter Pertumbuhan S. serrata di Lokasi Penelitian 18 8 Mortalitas Total (Z), Mortalitas Alami (M), Laju Penangkapan (F) dan

(15)

11 Fraksi Substrat di Lokasi Penelitian 23 12 Nilai Rata-rata Parameter Kualitas Air di Lokasi Penelitian 24 13 Korelasi Kerapatan vegetasi Mangrove Terhadap Kelimpahan

S. serrata di Lokasi Penelitian 25

14 Pendapatan Nelayan Kepiting Bakau di Kabupaten Subang 27 15 Nilai Stres dan Koefisien Determinasi Lima Dimensi 35

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pikir Penelitian 3

2 PosisiTitik Stasiun Penelitian 4

3 Metode Transek Kuadrat Penelitian 6

4 Tingkat Pendidikan Responden 14

5 Distribusi Ukuran Lebar karapaks S. serrata di Lokasi Penelitian 16 6 Hubungan Lebar Karapakas dan Bobot S. serrata di Lokasi Penelitian 17 7 Jumlah Individu S. serrata Matang Gonad (TKG IV) 21 8 Nilai Indeks Keberlanjutan Dimensi Ekologi S. serrata 28 9 Hasil Analisis Leverage Dimensi Ekologi S. Serrata 29 10 Nilai Indeks Keberlanjutan Dimensi Ekonomi S. serrata 29 11 Hasil Analisis Leverage Dimensi Ekonomi S. serrata 30 12 Nilai Indeks Keberlanjutan Dimensi Sosial S. serrata 30 13 Hasil Analisis Leverage Dimensi Sosial S. serrata 31 14 Nilai Indeks Keberlanjutan Dimensi Teknologil S. serrata 32 15 Hasil Analisis Leverage Dimensi Teknologi S. serrata 32 16 Nilai Indeks Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan S. serrata 33 17 Hasil Analisis Leverage Dimensi Kelembagaan S. serrata 33 18 Kite Diagram Pengelolaan S. serrata di kabupaten Subang 34 19 Scatter Plot Monte Carlo Dimensi Ekologi S. serrata 36 20 Scatter Plot Monte Carlo Dimensi Ekologi S. serrata 36 21 Scatter Plot Monte Carlo Dimensi Ekologi S. serrata 36 22 Scatter Plot Monte Carlo Dimensi Ekologi S. serrata 37 23 Scatter Plot Monte Carlo Dimensi Ekologi S. serrata 37

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hubungan Lebar Karapas dan Bobot S. Serrata 43

2 Hasil Analisis Parameter Pertumbuhan S. serrata 44

3 Grafik Pertumbuhan S. serrata 46

4 Laju Mortalitas dan Eksploitasi S. serrata 48

5 Analisis Korelasi Vegetasi Mangrove Terhadap Kelimpahan Individu

S. serrata 50

6 Hasil Analisis Kerapatan Vegetasi mangrove 51

7 Segitiga Tekstur Substrat di Lokasi Penelitian 54

8 Karakteristik Responden Nelayan S. serrata 57

9 Analisis Pendapatan Nelayan S. serrata 58

10 Atribut dan Skor Masing-masing Dimensi pada RAPFISH 59

11 Dokumentasi Penelitian 71

(16)
(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara dengan tingkat keanekaragaman biota laut yang tinggi, salah satunya adalah hewan crustacea (Hamid et al. 2016). Kepiting bakau merupakan salah satu kelompok crustacea yang mempunyai nilai ekonomis penting dan mengandung protein hewani cukup tinggi (Afrianto dan Liviawati 1992), hidup di perairan pantai dan muara sungai, terutama yang ditumbuhi oleh pohon bakau dengan dasar perairan berlumpur (Moosa et al. 1995). Menurut Bulanin dan Rusdi (2010), permintaan komoditas kepiting bakau terus meningkat, baik di pasaran dalam maupun luar negeri, sehingga menyebabkan penangkapannya semakin intensif, akibatnya terjadi penurunan populasi kepiting bakau di alam.

Populasi kepiting bakau secara khas berasosiasi dengan ekosistem mangrove yang masih baik (Le vay 2001), sehingga selain disebabkan oleh penangkapan berlebih oleh nelayan, penurunan populasi kepiting bakau juga dapat disebabkan oleh pemanfaatan manusia terhadap ekosistem mangrove sebagai habitat utama kepiting bakau (Elizabeth et al. 2003). Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan mangrove menjadi tambak, produksi garam, penambangan timah, industri pesisir, pemukiman dan urbanisasi yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove (Macintosh et al. 2002).

Kabupaten Subang mempunyai wilayah 205 176.85 ha terdiri dari 22 kecamatan dan 243 desa. Dari 22 kecamatan yang ada di Kabupaten Subang, empat kecamatan terletak di wilayah pesisir, yaitu Kecamatan Blanakan, Legonkulon, Pusakanegara, dan Kecamatan Pamanukan. Kabupaten Subang memiliki hutan mangrove seluas 9 013.78 ha dengan jenis vegetasi mangrove yang dominan adalah api-api (Avicennia sp.), bakau (Rhizophora sp.), dan prepat/pepada (Sonneratia acida) (DKP Subang 2015).

Kabupaten Subang merupakan salah satu kawasan yang rentan terkena abrasi dan banjir rob (DKP Subang 2015). Menurut Novianty et al. (2012), hilangnya kawasan mangrove sebagai penahan gelombang dan angin serta aliran air laut akan menimbulkan abrasi serta rob yang lebih cepat ke daratan. Upaya pelestarian ekosistem mangrove telah dilakukan pemerintah setempat pada tahun 2006 dengan melakukan penanaman 7 200 pohon jenis api-api (Avicennia sp.) di sepanjang pantai Kabupaten Subang (BLH Subang 2010). Selain itu, masyarakat setempat juga telah memanfaatkan lahan tambak mereka yang sudah tidak produktif menjadi areal silvofishery (tambak tumpang sari). Upaya pelestarian ini diharapkan dapat membantu memperbaiki kawasan ekosistem mangrove dan dapat mempertahankan biota yang berasosisasi pada kawasan tersebut (DKP Subang 2015), terutama jenis kepiting bakau (Suryani 2006). Sebagian besar masyarakat pesisir Kabupaten Subang telah memanfaatkan kepiting bakau sebagai mata pencaharian utama. Berdasarkan hasil tangkapan nelayan, jenis Scylla serrata merupakan jenis kepiting bakau yang paling dominan tertangkap oleh nelayan di Kabupaten Subang.

(18)

2

sebesar 32%, sedangkan di Kecamatan Blanakan terjadi penurunan luasan mangrove sebesar 13% (Soraya et al. 2012). Menurut (Le vay 2001), penurunan populasi kepiting bakau dapat disebabkan oleh kerusakan habitat (hilangnya ekosistem mangrove) serta dapat dipengaruhi oleh upaya penangkapan nelayan yang berlebih (over exploitation). Sehingga, diperlukan penelitian untuk

mengetahui status keberlanjutan pengelolaan sumberdaya kepiting bakau (S. serrata) di Kabupaten Subang agar pemanfaatannya dapat berkelanjutan.

Perumusan Masalah

Sebagian besar masyarakat pesisir Desa Mayangan, Desa Tanjung Tiga, dan Desa Blanakan adalah nelayan skala kecil yang sangat bergantung pada hasil alam dengan nilai ekonomis yang cukup tinggi, sehingga peluang terjadinya tekananan terhadap pemanfaatan sumberdaya perikanan juga cukup besar. Salah satu komoditas perikanan yang banyak dimanfaatkan adalah kepiting bakau, hal ini karena harganya yang cukup tinggi, apalagi induk betina yang sedang bertelur. Pemanfaatan berlebih yang dilakukan nelayan ini dikhawatirkan akan berdampak terhadap penurunan populasi kepiting bakau dan juga terhadap kerusakan ekosistem mangrove sebagai habitat utama kepiting bakau.

Pemanfaatan ekosistem mangrove yang umum dilakukan masyarakat pesisir di Kabupaten Subang diantaranya adalah pengambilan batang mangrove untuk dijadikan kayu bakar, konversi lahan mangrove menjadi tambak, lahan pertanian, dan pemukiman. Alat tangkap yang digunakan berupa pengait, caduk, dan pancing diduga belum selektif juga ikut berperan dalam penurunan kualitas habitat kepiting bakau di Kabupaten Subang.

Salah satu upaya untuk mempertahankan populasi kepiting bakau di alam tentunya dengan melakukan pengendalian penangkapan, mengurangi tekanan terhadap populasi, juga melakukan selektifitas alat tangkap serta teknik penangkapan yang tidak merusak ekosistem mangrove.

Permasalahan lain adalah belum adanya data produksi kepiting bakau tiap tahunnya yang tercatat di Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang. Menurut La Sara (2010), pendataan terhadap produksi kepiting bakau penting dilakukan untuk menduga dinamika populasi.

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dirumuskan permasalahan pengelolaan sumberdaya S. serrata di Kabupaten Subang:

1. Bagaimana status biologi populasi kepiting bakau saat ini 2. Bagaimana keadaan ekosistem mangrove saat ini

3. Seberapa besar nilai kelayakan usaha penangkapan kepiting bakau

4. Bagaimana merumuskan strategi pengelolaan kepiting bakau agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan

(19)

3

Kepiting Bakau (Scylla serrata)

Penurunan Produksi S. serrata

Perlu Upaya Pengelolaan

· Aspek Ekologi

· Aspek Ekonomi

· Aspek Sosial

· Aspek Teknologi

· Aspek Kelembagaan

Rekomendasi Pengelolaan yang Berkelanjutan Degradasi Habitat

(Ekosistem Mangrove)

Tekanan Kegiatan Penangkapan

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengkaji status biologi populasi Scylla serrata di Kabupaten Subang, 2. Mengidentifikasi kondisi ekosistem mangrove di Kabupaten Subang,

3. Mengestimasi pendapatan dan nilai kelayakan usaha penangkapan S. serrata di Kabupaten Subang,

4. Merumuskan strategi pengelolaan S. serrata yang dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi dalam upaya pengelolaan sumberdaya kepiting bakau (Scylla serrata) di Kabupaten Subang, Jawa Barat.

2 METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

(20)

4

Gambar 2 Posisi titik stasiun penelitian Tabel 1 Deskripsi lokasi penelitian

Stasiun/substasiun Titik Koordinat Deskripsi ekologis Mayangan

M1 107o46’13” BT, 7o46’45” LS

berada di muara sungai yang mengaliri area mangrove

M2 107o45’37” BT, 7o46’57” LS berada di zona yang mengalami abrasi pantai M3 107o46’35” BT, 7o46’20” LS

berada di area tengah silvofishery dan dekat dengan pemukiman Tanjung Tiga

T1 107o41’52” BT, 7o46’25” LS

berada di area sungai di sekitar tempat

berlabuhnya kapal-kapal dan TPI

T2 107o43’42” BT, 7o45’12” LS berada di areal silvofishery Blanakan

B1 107o40’7” BT, 7o46’25” LS

berada di area sungai dan berhadapan langsung dengan laut B2 107o40’55” BT, 7o45’13” LS

(21)

5

Alat Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu peralatan pengambilan data vegetasi mangrove, alat pengumpulan data S. serrata, dan alat pengukur kualitas air (Tabel 2).

Tabel 2 Alat yang digunakan dalam penelitian

No. Alat Kegunaan

1. Global Positioning System (GPS) Penentuan Posisi Penelitian

2. Meteran Mengukur plot vegetasi mangrove

3. Bor tanah Mengambil sampel substrat

4. Penggaris geser (mm) Mengukur dimensi kepiting

5. Timbangan Menimbang bobot kepiting bakau

6. pH meter Mengukur pH

7. Termometer Mengukur suhu

8. DO meter Mengukur DO

9. Hand refractometer Mengukur salinitas

Jenis dan Metode Pengambilan Data Pengumpulan sampel Scylla serrata

Pengumpulan data sampel S. serrata dilakukan dengan menggunakan pendekatan survei berbasis hasil tangkapan nelayan (Fisher-based survey) (Dumas et al. 2012). Pengumpulan sampel S. serrata di lokasi penelitian dilakukan sebanyak empat kali selama empat bulan. Setiap sampel kemudian dilakukan pengukuran lebar karapas, penimbangan bobot, pencatatan jenis kelamin, dan pengamatan S. serrata yang telah matang gonad.

Penentuan S. serrata matang gonad

S. serrata matang gonad yang diamati adalah induk betina dengan melihat perubahan struktur morfologinya. Penentuan induk S. serrata yang telah matang gonad mengacu pada John dan Sivadas (1978).

Pengambilan data vegetasi mangrove

(22)

6

Gambar 3 Metode transek kuadrat penelitian Keterangan:

A : Petak sampling pohon (10 × 10 m)

B : Petak sampling anakan dan semai (5 × 5 m) C : Petak sampling substrat dan kualitas air (1 × 1 m)

Pengambilan data kualitas air dan substrat

Parameter kualitas air berupa suhu, DO, salinitas, dan pH dilakukan pengukuran langsung di lapangan (in situ) dengan menggunakan water quality checker. Pengambilan substrat dilakukan dengan menggunakan bor tanah pada tiap titik pengamatan dan diukur pH nya. Selanjutnya sampel substrat dianalisis di Laboratorium Produktivitas Lingkungan, FPIK IPB untuk dikelompokkan berdasarkan fraksi substratnya.

Pengumpulan data sosial ekonomi

Pengumpulan data sosial ekonomi menggunakan metode purposive sampling dengan cara memberikan kuisioner dan wawancara mendalam kepada responden

yang terkait dengan pemanfaatan kepiting bakau yang berkaitan dengan (a) pemanfaatan kepiting bakau, (b) permasalahan kerusakan mangrove, dan (c) kebijakan pemerintah. Jenis responden yang digunakan adalah (1) nelayan kepiting bakau, (2) pedagang pengumpul kepiting bakau, (3) petambak, (4) nelayan lain, dan (5) pengambil kebijakan; Kepala Desa, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Kehutanan.

Penentuan jumlah responden

Penentuan jumlah sampel untuk responden ditentukan berdasarkan persamaan estimasi proporsi sebagai berikut (Nazir 2003):

n =

...(1)

Keterangan:

n : Jumlah unit sampel yang diinginkan N : Jumlah total jenis responden

D : B2/4 (B adalah bound of error = 0,10) p : estimator dari proporsi populasi = 0,1

Berdasarkan persamaan 1, maka diambil sampel nelayan kepiting bakau sebanyak 20 orang yang diambil secara acak pada jumlah populasi sebanyak 45 nelayan kepiting bakau.

(23)

7

Analisis Data

Analisis Status Biologi Populasi S. serrata

Biologi S. serrata yang dianalisis meliputi struktur ukuran, hubungan panjang dan bobot, parameter pertumbuhan berupa lebar karapas (Carapace width) infinitif (CW∞), koefisien pertumbuhan (K), mortalitas total (Z), mortalitas alami (M), laju penangkapan (F), tingkat eksploitasi (E), dan penentuan S. serrata matang gonad.

Struktur ukuran

Analisis ukuran kepiting bakau pada penelitian ini meliputi ukuran lebar karapas dan bobot tubuh (minimum dan maksimum), serta distribusi frekuensi lebar karapas. Distribusi frekuensi ukuran lebar karapas kepiting bakau dianalisa dengan menentukan jumlah selang kelas, lebar selang kelas, dan frekuensi setiap kelas (Walpole 1992) yang kemudian akan digunakan sebagai data input untuk analisis pendugaan parameter pertumbuhan dan laju mortalitas. Ukuran panjang kepiting bakau yang digunakan adalah ukuran lebar karapas karena kenyataannya bahwa pertumbuhan tubuh kepiting bakau lebih mempengaruhi pertambahan lebar karapas daripada ukuran panjang karapasnya (Siahainenia 2008).

Hubungan lebar karapas dan bobot

Hubungan lebar karapas dan bobot digambarkan dalam dua bentuk grafik yakni isometrik dan alometrik (Effendie 2006) dengan persamaan:

W = aCWb ...(2) Keterangan:

W : Bobot individu kepiting (gram) CW : Lebar karapas (mm)

a : Intersep (perpotongan kurva hubungan lebar karapas dan bobot dengan sumbu y)

b : Penduga pola pertumbuhan lebar karapas-bobot

Untuk mendapatkan persamaan linear atau garis lurus digunakan persamaan sebagai berikut:

LnW = Ln a + b Ln CW ...(3) Untuk mendapatkan parameter a dan b, digunakan analisis regresi dengan Ln W sebagai Y dan Ln CW sebagai X, maka didapatkan persamaan regresi:

(24)

8

Pendugaan parameter pertumbuhan

Pendugaan parameter pertumbuhan dilakukan dengan menggunakan persamaan pertumbuhan von Bertalanffy (Sparre dan Venema 1999) dengan persamaan sebagai berikut:

Lt = L∞ (1-e [–K(t-t0)]

) ...(5) Nilai L∞ dan K didapatkan dari hasil perhitungan dengan metode ELEFAN I (Electronic Length Frequencys Analysis) yang terdapat dalam program FISAT II. Selanjutnya pendugaan umur teoritis pada saat lebar karapas sama dengan nol (t0) dapat diduga secara terpisah menggunakan rumus empiris Pauly (1983) dalam Sparre & Venema (1999) sebagai berikut:

log (-t0) = -0.3922 – 0.2752 log L∞ -1.308 log K ...(6) Keterangan:

L∞ : Panjang maksimum secara teoritis (panjang asimtotik) kepiting (mm) K : Koefisien pertumbuhan (per satuan waktu)

t0 : Umur teoritis pada saat panjang sama dengan nol

Pendugaan laju mortalitas dan eksploitasi

Menurut Sparre dan Venema (1999) parameter mortalitas meliputi mortalitas alami (M), mortalitas penangkapan (F), dan mortalitas total (Z). Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang dilinearkan berdasarkan data panjang sedemikian sehingga diperoleh hubungan:

ln = h – Z t ...(7) Persamaan (7) diduga melalui persamaan regresi linear sederhana y = b0+b1x, dengan y = ln sebagai ordinat, x = sebagai absis, dan Z = -b1. Laju mortalitas alami (M) diduga dengan menggunakan rumus empiris Pauly (1984) sebagai berikut:

M = exp (-0.0152 – 0.279 ln L∞ + 0.6543 ln K + 0.463 ln T) ...(8)

M adalah mortalitas alami (per tahun), dan T adalah suhu rata-rata perairan (°C). Setelah laju mortalitas total (Z) dan laju mortalitas alami (M) diketahui maka laju mortalitas penangkapan ditentukan melalui hubungan:

F = Z – M ...(9) Selanjutnya Pauly (1984) menyatakan bahwa laju eksploitasi ditentukan dengan membandingkan F dengan Z sebagai berikut.

(25)

9

Analisis Ekologi Habitat S. serrata

Vegetasi mangrove

Perhitungan vegetasi mangrove dilakukan untuk mengetahui kerapatan suatu jenis dengan mengacu pada Natividad et al. (2015) sebagai berikut:

Kerapatan (K) =

...(11) Substrat dan Kualitas Air

Analisis substrat untuk melihat sebaran fraksi substrat di lokasi penelitian dilakukan dengan metode pengayakan dan pipet. Pengelompokkan kedalam kelas tekstur substrat digunakan untuk melihat hubungan substrat yang disenangi atau yang sesuai bagi habitat kepiting bakau.

Parameter kualitas air berupa suhu, salinitas, dan pH air diukur dengan cara pengukuran dilapangan (In situ) dengan menggunakan water quality cheker. Data ditabulasikan dan diolah dengan menggunakan software excel, serta dianalisis secara deskriptif.

Analisis Aspek Ekonomi

Perkiraan pendapatan dari pemanfaatan S. serrata

Analisis pendapatan usaha pada umumnya digunakan untuk mengukur apakah kegiatan usaha yang dilakukan saat ini berhasil atau tidak. Analisis pendapatan usaha bertujuan untuk mengetahui besarnya keuntungan yang diperoleh dari suatu kegiatan usaha yang dilakukan (Djamin 1984 dalam Sobari et al. 2006). Pendapatan tersebut dapat diketahui dengan melihat komponen-komponen input dan output yang terlibat dalam usaha tersebut. Rumus untuk mengitung pendapatan sebagai berikut:

π

= TR – TC ...(12) Keterangan:

π

: Keuntungan

TR : Total penerimaan (hasil tangkapan × harga kepiting) TC : Total biaya (biaya tetap + biaya variabel)

Kelayakan usaha

Analisis kelayakan usaha dilakukan dengan menggunakan Revenue Cost Ration (R/C). Analisis ini digunakan untuk melihat layak atau tidaknya suatu usaha yang dilakukan dengan membandingkan penerimaan dengan biaya produksi selama periode waktu tertentu (satu musim tanam). Analisis Revenue-Cost Ratio dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh setiap nilai rupiah biaya yang digunakan dalam kegiatan usaha dapat memberikan sejumlah nilai penerimaan sebagai manfaatnya (Djamin 1984 dalam Sobari et al. 2006). Secara matematis R/C dituliskan:

(26)

10

Keterangan:

TR : Total penerimaan (Total Revenue) TC : Total pengeluaran (Total Cost)

Kriteria Usaha: R/C > 1, usaha menguntungkan R/C = 1, usaha impas

R/C < 1, usaha merugikan

Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya S. serrata

Keberlanjutan pengelolaan kepiting bakau dianalisis dengan menggunakan metode RAPFISH (Rapid Assessment Techniques for Fisheries). Metode ini digunakan untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan komprehensif mengenai kondisi sumberdaya perikanan sehingga dapat dijadikan untuk menentukan kebijakan yang tepat dalam rangka mencapai pembangunan perikanan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (Fauzi dan Anna 2002).

Rapfish didasarkan pada teknik ordinasi (menempatkan sesuatu pada urutan atribut yang diukur) dengan pendekatan Multideminsional Scaling (MDS). (Pitcher dan Preikshot 2001). MDS adalah teknik statistik yang mencoba melakukan transformasi multi dimensi ke dalam dimensi yang lebih rendah.

Dimensi dalam RAPFISH yang menyangkut aspek keberlanjutan yang dikaji dalam penelitian ini meliputi 5 dimensi yaitu: (1) ekologi; (2) ekonomi; (3) sosial; (4) kelembagaan; dan (5) teknologi. Tahapan analisis keberlanjutan perikanan S. serrata di lokasi penelitian adalah sebagai berikut:

1. Identifikasi dan Penentuan Atribut

Penentuan atribut pada masing-masing dimensi disusun berdasarkan atribut atau indikator yang memiliki keterkaitan dengan keberlanjutan perikanan sesuai yang disyaratkan dalam Code of Conduct FAO dan telah dirumuskan oleh Pitcher dan Preikshot (2001), kemudian atributnya dimodifikasi berdasarkan karakteristik kepiting bakau yang telah dibuat oleh Tahmid (2016). Menurut Garcia dan Staples (2000) bahwa penentuan atribut dapat dimodifikasi tergantung kepada karakteristik yang dikaji dan bisa saja berbeda–beda.

2. Pembuatan Skor dan Pemberian Nilai Skor

Pembuatan skor dilakukan melalui pemberian peringkat pada masing-masing atribut. Pembuatan skor mengacu pada teknik RAPFISH (Pittcher and Preikshot 2001; Susilo 2003), yaitu skor yang diberikan berupa nilai “buruk (bad)” yang mencerminkan kondisi pengelolaan yang paling tidak menguntungkan dan sebaliknya nilai “baik (good)” mencerminkan kondisi pengelolaan yang paling menguntungkan. Diantara nilai yang ekstrim “baik” dan “buruk”, biasanya terdapat satu atau lebih nilai antara. Peringkat yang diberikan pada setiap atribut yang dinilai berkisar antara 0 – 2. Sedangkan pemberian nilai skor tergantung pada keadaan masing-masing atribut yang diartikan mulai dari baik sampai buruk (Lampiran 9).

3. Penyusunan Skala Indeks Keberlanjutan

(27)

11 Tabel 3 Kategori status keberlanjutan pengelolaan perikanan

Indeks Kategori

0 – 25 Buruk

26 – 50 Kurang

51 – 75 Cukup

76 – 100 Baik

Sumber: Susilo (2003)

4. Tahapan Ordinasi

Tahapan ordinasi dianalisis dengan MDS untuk menentukan posisi titik good (baik) dan bad (buruk). Objek atau titik dalam MDS akan dipetakan ke dalam ruang dua atau tiga dimensi dan diupayakan sedekat mungkin. Menurut Fauzi dan Anna (2005), proses ordinasi ini bertujuan untuk menentukan jarak di dalam MDS berdasarkan pada Euclidian Distance. Posisi titik bad dan good digambarkan secara horizontal sedangkan vertikal menunjukkan perbedaan dari campuran skor atribut yang dievaluasi. Lebih lanjut Susilo (2003) menyatakan bahwa posisi titik akan sangat sulit dibayangkan mengingat dimensi yang banyak, untuk memudahkan dalam visualisasi posisi titik maka digunakan analisis MDS.

5. Analisis Leverage

Analisis leverage dilakukan untuk melihat atribut paling sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai keberlanjutan pengelolaan sumberdaya S. serrata. Pengaruh setiap atribut dilihat dalam bentuk perubahan Root Mean Square (RMS). Hal ini berarti jika nilai RMS semakin besar, maka atribut tersebut semakin sensitif dalam mendukung keberlanjutan pengelolaan sumberdaya S. serrata. Menurut Fauzi dan Anna (2005) analisis RAPFISH juga memungkinkan untuk menganalisis leverage (sensitivitas dari pengurangan atribut terhadap skor keberlanjutan). Leverage dihitung berdasarkan standar error perbedaan antara skor dengan atribut dan skor yang diperoleh tanpa atribut.

6. Analisis Monte Carlo

Analisis monte carlo adalah metode simulasi statistik untuk mengevaluasi efek dari kesalahan atau pengaruh galad (error) pada proses statistik yang dilakukan sebanyak 25 kali ulangan (Kavanagh 2001). Titik yang dievaluasi dalam penelitian ini adalah titik ordinasi. Kavanagh dan Pitcher (2004) menyatakan bahwa analisis monte carlo berguna untuk mempelajari:

1. Pengaruh kesalahan pembuatan skor atribut yang disebabkan oleh minimnya informasi, kesalahan pemahaman terhadap atribut atau cara pembuatan skor atribut.

2. Pengaruh variasi pemberian skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang berbeda.

(28)

12

3 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Keadaan Geografis dan Administrasi Kabupaten Subang

Secara geografis, Kabupaten Subang terletak di bagian utara Provinsi Jawa Barat dengan batas koordinat yaitu 107°31’ - 107°54’ Bujur Timur dan 6°11’ – 6°49’ Lintang Selatan dengan luas wilayah adalah 205 176.95 hektar atau sekitar 6.34% dari luas Provinsi Jawa Barat. Secara administratif, Kabupaten Subang memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:

· Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bandung

· Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa

· Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Indramayu dan Sumedang

· Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Karawang dan Purwakarta

Sebelum Tahun 2007, kecamatan di Kabupaten Subang berjumlah 22 kecamatan, kemudian berdasarkan Peraturan Daerah Tingkat II (Perda) Kabupaten Subang Nomor 3 Tahun 2007 terdapat 8 kecamatan baru hasil pemekaran kecamatan lama, sehingga Kabupaten Subang terdiri dari 30 kecamatan dengan 245 desa dan 8 kelurahan yang tersebar di dalamnya. Dari 30 kecamatan yang ada, 4 kecamatan merupakan wilayah pesisir, yaitu Kecamatan Blanakan, Legonkulon, Pusakanegara, dan Sukasari. Luas wilayah kecamatan pesisir ini adalah 273.43 km2 atau 16% dari luas kabupaten dengan panjang garis pantai kurang lebih 68 Tanjung Tiga dan Blanakan yang terletak di Kecamatan Blanakan masing-masing adalah 12.88 km2 dan 18.07 km2 dengan ketinggian dari permukaan laut 3 m dan 4 m.

Dilihat dari topografinya, Kabupaten Subang dapat dibagi ke dalam tiga zona yaitu:

1. Daerah pegunungan dengan ketinggian 500-1500 mdpl di atas permukaan laut dengan luas wilayah 41 035.09 ha atau 20% dari seluruh luas wilayah

(29)

13 Pada bulan Januari sampai April bertiup angin Muson Laut dan sekitar bulan Juni bertiup angin Muson Tenggara. Kecepatan angin antara 30–35 km/jam, lamanya tiupan rata-rata 5–7 jam.

Karakteristik Ekosistem Mangrove

Kabupaten Subang memiliki hutan mangrove seluas 7 346 ha. Berdasarkan data statistik Dinas Kehutanan Jawa Barat Tahun 2013, Kabupaten Subang mengalami penambahan luasan mangrove, yaitu menjadi 9 013.78 ha. Lokasi wisata baharinya yaitu Wisata Buaya Blanakan, Pantai Pondok Bali, dan Pantai Patimban. Hutan mangrove yang terdapat di kawasan pantai utara Kabupaten Subang berada di bawah otoritas pengelola hutan perum perhutani Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Ciasem. Formasi hutan mangrove di pesisir utara Kabupaten Subang dari arah laut ke darat didominasi oleh api-api (Avicennia sp.), bakau (Rhizopora sp.) dan prepat/pepada (Sonnateratia acida) (DKP Subang 2015).

Luas hutan mangrove di Desa Mayangan adalah 285.8 ha dengan kondisi hutan mangrove kurang baik. Hal ini disebabkan karena area hutan mangrove telah dikonversi menjadi lahan tambak, lahan pertanian, perumahan dan kegiatan ekonomi lainnya sehingga mengakibatkan wilayah mangrove Desa Mayangan mengalami abrasi dengan penurunan luasan hutan mangrove di Desa Mayangan sebesar 54% (DKP Subang 2015).

Luas areal hutan mangrove di Desa Blanakan adalah 300 ha. Kondisi ini berlangsung stabil dari tahun 1996 – 2011, dikarenakan di lokasi ini terdapat area wisata buaya yang dipublikasikan secara nasional, sehingga pengamanan hutan mangrove terjamin dan berlangsung secara kontinyu. Luas areal hutan mangrove di Desa Tanjung Tiga sebesar 530 ha. Kondisi ini mengalami penurunan luasan mangrove sebesar 11% pada tahun 2011 (DKP Subang 2015).

Kependudukan

Desa Mayangan mempunyai jumlah penduduk 790 jiwa dengan jumlah laki-laki sebanyak 417 jiwa dan perempuan 373 jiwa. Sedangkan Desa tanjung Tiga dan Blanakan masing-masing mempunyai jumlah penduduk 8 261 jiwa (laki-laki 4 236 jiwa, perempuan 5 850 jiwa) dan 11 459 jiwa (laki-laki 5 850 jiwa, perempuan 5 609 jiwa) (BPS Subang 2014).

Perikanan Tangkap

(30)

14

perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang (2011), mempunyai pertumbuhan rata-rata 1.82% untuk kegiatan penangkapan di laut pada tahun 2011 - 2014. Jumlah armada tangkap yang dimiliki oleh nelayan Kabupaten Subang didominasi oleh perahu motor tempel dengan jumlah terbanyak yaitu 461 unit (Kecamtan Blanakan). Ukuran kapal motor 5 – 10 GT dan 15 – 20 GT hanya terdapat di Kacamatan Pusakanegara yaitu masing-masing sebanyak 3 dan 13 unit, dan perahu tanpa motor sebanyak 4 unit (Kecamatan Legonkulon) (Tabel 4). Tabel 4 Jumlah dan struktur kapal perikanan di Kabupaten Subang

Ukuran Kapal

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Subang (2015)

Berdasarkan hasil survei di lokasi penelitian, komposisi hasil tangkapan didominasi oleh udang, rajungan, kepiting bakau. Sedangkan jenis ikan hasil tangkapan yang mendarat di TPI lokasi dan penelitian antara lain ikan kakap, ikan kerapu, ikan petek, ikan songot dan beberapa jenis ikan pelagis kecil, ikan domersal dan jenis ikan karang lainnya.

Tingkat Pendidikan Responden

Sebagian besar tingkat pendidikan 20 responden di lokasi penelitian (nelayan kepiting bakau) adalah tamat SMP yaitu 50%, tamat SD 30%, dan tamat SMA sebesar 20%. Tingkat pendidikan masyarakat nelayan memiliki pengaruh terhadap pemahaman akan pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan. Dengan meningkatnya dan tingkat pendidikan masyarakat dapat memudahkan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan dan habitatnya untuk kesejahteraan masyarakat.

Gambar 4 Tingkat pendidikan responden

(31)

15

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Status Biologi Populasi S. serrata di Ekosistem Mangrove Kabupaten Subang

Struktur ukuran

Sampel S. serrata dalam penelitian ini terdiri dari S. serrata jantan sebanyak 405 ekor dan betina 361 ekor. Hasil pengukuran didapatkan lebar karapas (carapace width/CW) S. serrata jantan yang tertangkap berkisar 56 – 125 mm dan betina 62 – 115 mm dengan bobot terbesar masing-masing adalah 338 g dan 176 g (Tabel 5).

Tabel 5 Kisaran lebar karapas dan bobot S. serrata di lokasi penelitian Area Lokasi

Penelitian Jenis N

Lebar Karapas (mm) Bobot Individu (g)

Min Max x Min Max x

Muara Sungai

Jantan 179 164

57 125 95.6 19 338 143.2

Betina 64 115 98.5 43 176 107.7

Silvofishery Jantan 226 197

56 123 92.8 20 321 125.8

Betina 62 113 88.6 40 158 79.2

Keterangan: x = rata-rata

Tabel 5 menunjukkan rata-rata CW S. serrata jantan di muara sungai lebih kecil dibandingkan betina yaitu 95.6 mm (jantan) dan 98.5 mm (betina). Sedangkan di areal silvofishery, S. serrata jantan mempunyai ukuran CW rata-rata yang lebih besar dibandingkan betina (92.8 mm dan 88.6 mm). Bobot rata-rata S. serrata jantan sebesar 143.2 g dan 125.8 g sedangkan betina sebesar 107.7 g dan 79.2 g. Hal ini menunjukkan S. serrata jantan memiliki rata-rata bobot yang lebih besar dibandingkan dengan betina.

(32)

16

(a) (b)

Gambar 5 Distribusi ukuran lebar karapas S. serrata di lokasi penelitian; (a) muara sungai (b) areal silvofishery

Hasil analisis ditribusi frekuensi ukuran lebar karapas S. serrata yang dikelompokkan menjadi 15 kelas dengan lebar kelas 4, didapatkan bahwa di muara sungai frekuensi individu tertinggi S. serrata jantan dan betina berada pada selang kelas yang lebih besar dibandingkan dengan frekuensi individu pada areal silvofishery yang relatif menyebar normal (Gambar 5). Frekuensi individu tertinggi di muara sungai berada pada selang kelas 101-105 mm (jantan) dan 106-110 mm (betina), sedangkan di areal silvofishery frekuensi individu tertinggi pada selang kelas 86-90 mm (jantan) dan 86-90 mm, 91-95 mm (betina). Menurut Hill (1975), kepiting bakau melangsungkan perkawinan di perairan mangrove dan secara berangsur-angsur sesuai dengan perkembangan telurnya, kepiting bakau betina akan bermigrasi ke perairan laut untuk memijah sedangkan kepiting bakau jantan tetap berada di perairan mangrove. Migrasi kepiting bakau betina matang gonad ke perairan laut, merupakan upaya mencari perairan yang kondisinya cocok sebagai tempat memijah, inkubasi, dan menetaskan telur.

Frekuensi lebar karapas pada kepiting bakau digunakan untuk melihat pembentukan suatu distribusi normal di sekitar lebar karapas rata-ratanya dan membentuk satu puncak dan puncak-puncak inilah yang dipakai sebagai tanda kelompok umur. Sebagaimana menurut Effendie (2006), distribusi frekuensi panjang digunakan untuk melihat pergeseran kelas lebar karapas dan pergeseran frekuensi lebar karapas menggambarkan jumlah kelompok umur (kohort) yang ada. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kepiting satu umur mempunyai tendensi membentuk suatu distribusi normal sekitar panjang rata-ratanya.

Hubungan lebar karapas dan bobot S. serrata

(33)

17 (jantan) dan W = 0.00102CW2.52 dengan nilai R2 91% (betina). Sedangkan pada areal silvofishery adalah W = 0.00006CW3.20 dengan nilai R2 91% (jantan) dan W = 0.00297CW2.26 dengan nilai R2 86% (betina).

Tabel 6 Hubungan lebar karapas dan bobot tubuh S. serrata di lokasi penelitian Lokasi Jenis N

Gambar 6 Hubungan lebar karapas dan bobot S. serrata di lokasi penelitian; (a) muara sungai (b) areal silvofishery

Koefisien determinasi merupakan koefisien yang menjelaskan seberapa besar kemampuan variabel bebas (x) mampu menjelaskan variabel terikat (y), sehingga dapat ditentukan apakah individu dalam populasi dapat diduga bobot tubuhnya dengan mengetahui ukuran lebar karapsnya. Nilai koefisien determinasi S. serrata jantan dan betina lebih dari 90%, hal ini menunjukkan bahwa ukuran bobot tubuh S. serrata di Kabupaten Subang dapat diduga dari ukuran lebar karapasnya.

(34)

18

(Tabel 6), hal ini menunjukkan konstanta pertumbuhan S. serrata di lokasi penelitian adalah alometrik positif, atau dapat dikatakan pola pertambahan bobot tubuh S. serrata lebih dominan dari pola pertambahan lebar karapasnya. Sedangkan pada S. serrata betina diperoleh nilai konstanta b < 3, menunjukkan pertumbuhanya bersifat alometrik negatif, atau pola pertambahan lebar karapas lebih dominan daripada pola pertambahan bobot tubuhnya. Bobot tubuh S. serrata jantan yang lebih berat diduga karena memiliki morfologi ukuran capit (chela) yang lebih besar dibandingkan dengan S. serrata betina, sehingga akan lebih menambah bobot S. serrata jantan tersebut. Menurut Wijaya (2011), bila berada pada ukuran lebar karapas yang sama, kecenderungan S. serrata jantan lebih berat bobotnya, karena chela menambah bobot tubuhnya. Selain itu, kepiting jantan jarang melakukan moulting, dengan frekuensi moulting yang rendah, asupan makanan akan lebih banyak digunakan untuk pertambahan bobot.

Parameter pertumbuhan

Menurut Sparre & Venema (1999), informasi tentang parameter pertumbuhan merupakan hal yang mendasar dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan karena dapat memberikan kontribusi dalam menduga produksi, ukuran stok rekruitmen dan laju kematian dari suatu populasi, serta melalui koefisien pertumbuhan (K) dapat ditentukan seberapa cepat pertambahan kepiting mencapai panjang asimtotiknya. Pendugaan parameter pertumbuhan S. serrata dalam penelitian ini menggunakan persamaan von Bertalanffy untuk menduga koefisien pertumbuhan (K) dan lebar karapas (CW∞) dengan data frekuensi lebar karapas sebagai data input pada analisis ELEFAN I (Electronic Length Frequencys Analysis) yang terdapat dalam program FISAT II. Hasil analisis menunjukkan lebar karapaks infinitif (CW∞) yang dapat dicapai S. serrata jantan pada masing-masing lokasi penelitian (170.85 mm dan 143.80 mm) lebih besar dari S. serrata betina, yaitu 166 mm dan 122.65 mm (Tabel 7).

(35)

19 Nilai koefisiean pertumbuhan S. serrata betina di areal silvofishery mendapatkan hasil lebih besar. Hal ini disebabkan pada areal silvofishery lebih banyak ditemukan betina yang berukuran kecil. Menurut Azis (1989), pertumbuhan Scylla serrata yang cepat terjadi pada umur muda dan semakin lambat seiring dengan bertambahnya umur sampai mencapai lebar asimtotiknya dimana kepiting bertambah lebar. Selain itu, pertumbuhan cepat bagi biota yang berumur muda terjadi karena energi yang didapatkan dari makanan sebagian besar digunakan untuk pertumbuhan. Kepiting yang berukuran kecil memberikan garis regresi ke arah slope yang lebih tajam, karena modus tertinggi yang dilalui garis pertumbuhan lebih banyak pada kelompok kepiting kecil, sehingga K menjadi besar, sebaliknya pada kepiting bakau yang banyak ditemukan berumur tua mempunyai nilai K lebih rendah (Siahainenia 2008). Menurut Jail dan Mallawa (2001), pada biota tua energi yang didapatkan dari makanan tidak lagi digunakan untuk pertumbuhannya, tetapi hanya digunakan untuk mempertahankan dirinya dan mengganti sel – sel yang rusak.

Menurut La Sara (2010) dan Wijaya (2011), kecepatan pertumbuhan kepiting antara satu daerah dengan daerah lainnya cenderung berbeda karena dipengaruhi perbedaan kualitas lingkungan habitat. Menurut Djunaedi (2016), kualitas lingkungan terutama tingkat fluktuasi salinitas yang relatif lebih tinggi serta rendahnya ketersediaan makanan alami ikut berpengaruh terhadap rendahnya kecepatan pertumbuhan kepiting bakau.

Menurut Zafar et al. (2006) kepiting bakau merupakan salah satu spesies dari kelas Crustacea, keberadaannya di alam sulit untuk ditentukan tingkat pertumbuhan yang benar, karena hewan ini mengalami moulting. Sebagian besar studi tentang pertumbuhan telah dibuat pada Crustasea dengan cara dipelihara dalam bak atau sistem budidaya kandang/pen (Mirera dan Milte 2009). Zafar et al. (2006) melaporkan bahwa kepiting bakau S. serrata telah berhasil di budidayakan di tambak tanah dan kandang di wilayah pesisir Bangladesh yang benihnya bersumber dari alam, kemudian dilakukan pendugaan pertumbuhan dengan menggunakan metode ELEFAN sehingga diperoleh nilai CW∞ sebesar 10.59 cm (jantan) dan 10.5 cm (betina).

Laju mortalitas dan laju eksploitasi

Laju mortalitas adalah laju kematian, yang didefinisikan sebagai jumlah individu yang mati dalam satu satuan waktu. Laju mortalitas total dapat disebabkan karena adanya laju mortalitas alami dan atau laju mortalitas penangkapan. Laju mortalitas alami pada kepiting bakau disebabkan karena kepiting bakau tidak pernah tertangkap sehingga mati alami karena umur tua, atau karena daya dukung lingkungan yang rendah (Sparre & Venema 1999).

(36)

20

Tabel 8 Mortalitas total (Z), mortalitas alami (M), laju penangkapan (F) dan laju eksploitasi (E) S. serrata di Lokasi Penelitian

Lokasi

Laju eksploitasi (E) S. serrata jantan di lokasi penelitian mencapai 0.51 atau sebesar 51% dan 0.55 atau 55%. Hal ini dapat dikatakan telah terjadi tangkap berlebih atau over eksploitasi karena nilai E>0.5. Sedangkan laju eksploitasi S. serrata betina masih di bawah laju eksploitasi optimal yang diperbolehkan (E<0.5) yaitu masing-masing sebesar 0.4 atau sebesar 40% dan 0.33 atau 33%. Menurut Gulland (1971) dalam Pauly (1984), penangkapan dapat dikatakan pada kondisi optimal jika laju eksploitasi (E) = 0.5, jika E>0.5 dapat menunjukkan telah terjadi over eksploitasi, sedangkan nilai E<0.5 menunjukkan tingkat eksploitasi rendah (under fishing).

Laju kematian kepiting jantan akibat penangkapan (F) lebih tinggi dari kepiting betina lebih disebabkan oleh faktor pola siklus hidup kepiting, karena kepiting jantan dewasa cenderung menetap di areal hutan mangrove (Sianturi et al. 2015) sehingga peluang untuk tertangkapnya lebih besar. Sedangkan kepiting betina yang akan menetas, akan beruaya ke perairan laut yang lebih dalam yang memiliki salinitas lebih tinggi (Departemen of Fisheries Australia 2013), sehingga peluang tetangkapnya kepiting betina lebih kecil.

Keadaan yang sama terjadi di Teluk Lawele, kematian akibat penangkapan (F) jantan lebih besar dari betina yaitu pada kepiting jantan 32.61% sedangkan betina 29.64%. Nilai F jantan lebih tinggi dari betina menurut La Sara (2010) terutama disebabkan oleh pola migrasi setelah kawin, kepiting betina bermigrasi ke laut untuk bertelur, sedangkan kepiting jantan menetap di daerah intertidal yang datar atau air dangkal yang merupakan lokasi dengan intensitas penangkapan lebih tinggi. Begitu juga di Bantanyan Philipina, laju mortalitas jantan lebih besar diakibatkan oleh aktivitas penangkapan sehingga laju eksploitasi (E) kepiting jantan mencapai 57.17% dan 50.18% pada kepiting betina (Ingles 1996).

(37)

21 Induk betina S. serrata matang gonad

Hasil pengamatan menunjukkan jumlah individu S. serrata betina matang gonad yang tertangkap di areal muara sungai adalah 81 ekor dan di areal silvofishery 56 ekor. Ukuran lebar karapas S. serrata betina TKG IV yang tertangkap di lokasi penelitian berkisar antara 100-115 mm dengan bobot tubuh berkisar 105 – 176 g (Tabel 9). Berdasarkan hasil penelitian Wijaya (2011), ukuran lebar karapas yang tertangkap di Kutai Timur berkisar antara 91-171 mm dengan bobot berkisar 170 g – 870 g. Hasil penelitian Macintosh (1993), di Rannong, Thailand menunjukkan bahwa ukuran betina matang gonad berkisar antara 10-11.5 cm, dengan nilai puncak indeks gonosomatik pada bulan September.

Tabel 9 Jumlah ukuran induk betina S. serrata matang gonad (TKG IV) Lokasi Penelitian Jumlah Individu

(ekor)

Silvofishery 56 100-113 105-164

Gambar 7 Jumlah Individu S. serrata Betina Matang Gonad (TKG IV) Gambar 7 menunjukkan rata-rata frekuensi tangkapan S. serrata TKG IV tertinggi selama penelitian adalah pada bulan Mei dan paling terendah pada bulan April. Menurut Wijaya (2011), distribusi jumlah individu kepiting bakau betina TKG IV di Muara Sangkima tertinggi pada bulan Desember dan mencapai puncak pada bulan Februari kemudian cenderung menurun pada bulan April dan tidak menunjukkan indikasi adanya peningkatan kembali. Menurut Motoh et al. (1977), dugaan waktu yang diperlukan sejak memijah hingga terjadi rekruitmen adalah sekitar 2 – 3 bulan. Menurut Siahainenia (2012), musim memijah kepiting bakau berlangsung sepajang tahun tetapi puncak kegiatan memijah pada setiap perairan tidak sama, musim pemijahan kepiting bakau terjadi pada akhir musim hujan sampai menjelang awal musim panas.

Kondisi Ekologi Habitat S. serrata

Jenis dan kerapatan vegetasi mangrove

Hasil pengamatan dan identifikasi vegetasi mangrove di 7 substasiun ditemukan 4 jenis vegetasi mangrove di muara sungai, yaitu Rhizophora apiculata,

(38)

22

R. mucronata, Avicennia alba dan A. marina, dan 3 jenis vegetasi mangrove di areal silvofishery, yaitu jenis R. mucronata, A. alba, A. marina. Vegetasi mangrove kategori pohon (diameter >10) dan vegetasi mangrove kategori anakan (2-10 cm) (Tabel 10).

Tabel 10 Jenis dan Kerapatan Vegetasi Mangrove di Lokasi Penelitian

Stasiun Jenis

Muara Sungai Rhizhophora mucronata 733 1066

Rhizophora apiculata 333 133

Avicennia alba 467 300

Avicennia marina 433 167

Jumlah 1 966 1 667

Kerapatan individu vegetasi pohon maupun anakan di areal muara sungai pada 4 substasiun pengamatan mencapai 1 966 ind/ha dan 1 677 ind/ha lebih tinggi jika

dibandingkan dengan areal silvofishery yaitu 1 066 ind/ha dan 1 300 ind/ha (3 substasiun pengamatan). Kerapatan vegetasi mangrove di muara sungai masuk

dalam kategori sangat padat sedangkan pada areal silvofishery masuk dalam kategori baik. Hal ini berdasarkan pada penentuan tingkat kerusakan yang mengacu pada kriteria baku kerusakan mangrove Kementerian Lingkungan Hidup RI No. 201 tahun 2004, kerapatan mangrove dikatakan dalam kondisi sangat padat jika memiliki

kerapatan ≥1500 pohon/ha, dalam kondisi sedang jika memiliki kerapatan ≥1000 -

<1500 pohon/ha, dan kategori rusak jika memiliki kerapatan <1000 pohon/ha.

Kerapatan vegetasi mangrove yang masuk ke dalam kategori sangat padat apabila dipertahankan akan terus mendukung untuk kehidupan S. serrata. Menurut Kordi (2012) ekosistem mangrove tergolong sumberdaya yang dapat pulih (renewable resourches), namun bila pengalihan fungsi (konversi) atau kegiatan lain seperti penebangan dilakukan secara besar-besaran dan terus menerus tanpa pertimbangan kelestarian, maka kemampuan ekosistem tersebut untuk memulihkan dirinya tidak hanya terhambat, tetapi juga tidak dapat berlangsung,karena beratnya tekanan terhadap perubahan tersebut.

(39)

23 memberikan perlindungan dan menyediakan sumber makanan seperti mangrove dekat estruari yang bersubtrat lumpur.

Fraksi substrat

Berdasarkan hasil analisis tekstur substrat pada 7 substasiun pengamatan (muara sungai dan areal silvofishery) didapatkan persentase fraksi tertinggi yaitu pada jenis debu/lumpur (Tabel 11). Hal ini dapat dikatakan bahwa substrat di lokasi penelitian didominasi oleh jenis lumpur.

Tabel 11 Fraksi Substrat di Lokasi Penelitian

Lokasi Fraksi Substrat (%) Jenis Substrat

Pasir Debu Liat

Kawasan penelitian merupakan kawasan yang dekat dengan beberapa muara sungai, sehingga jenis substrat yang mendominasi adalah liat/lumpur. Substrat lumpur yang halus banyak mengandung bahan organik dari serasah mangrove yang mendukung bagi makanan alami berbagai organisme seperti gastropoda. Gastropoda diketahui sebagai makanan alami kepiting bakau (Opnai 1986), sehingga, habitat jenis ini merupakan habitat yang disenangi oleh kepiting bakau. Menurut Nybakken (1992), kebanyakan estuari didominasi oleh substrat berlumpur yang sangat lunak. Substrat berlumpur ini berasal dari sedimen yang terbawa dari estuari, baik oleh air laut maupun oleh air tawar. Ketika air laut masuk ke estuari, kondisi yang terlindung akan mengurangi pergerakan arus yang selama ini berperan dalam mempertahankan partikel dalam bentuk tersuspensi, akibatnya partikel akan mengendap dan berperan dalam pembentukan susbstrat berlumpur atau pasir.

(40)

24

dan besar, kemudian mengendap dan membentuk dasar lumpur yang khas. Air laut juga mengandung materi tersuspensi yang cukup banyak dan ketika masuk ke estuari, kondisi yang terlindung dan tenang akan mengurangi gerakan arus dan mempertahankan berbagai partikel dalam bentuk suspensi, akibatnya partikel akan mengendap dan membentuk substrat lumpur dan pasir.

Parameter kualitas air

Berdasarkan hasil survei dan analisis parameter kualitas air pada lokasi penelitian didapatkan data kondisi kualitas air yang dicirikan oleh suhu rata-rata berkisar antara 28oC – 30oC, salinitas antara 24 – 30 ppt, pH air berkisar antara 6.5 – 7, pH substrat 6 – 6.5 dan DO berkisar 6 – 8.3 mg/L. Kisaran kualitas air yang didapatkan masih berada pada kisaran optimum dalam kelangsungan hidup S. serrata (Tabel 12).

Tabel 12 Nilai Rata-rata Parameter Kualitas Air di Lokasi Penelitian

Lokasi Suhu Hutasolt (1991) menyatakan, suhu optimal dalam menunjang kehidupan kepiting bakau di perairan mangrove berkisar antara 26.5oC - 35oC sedangkan hasil penelitian Herlinah et al. (2011), menunjukkan bahwa suhu yang relatif baik untuk pemeliharaan larva adalah 30oC. Menurut Fuad (2005) dalam Sagala et al. (2013), suhu mempunyai peran dalam kehidupan kepiting atau organisme akuatik lain dalam respirasi, kestabilan konsumsi pakan, metabolisme, pertumbuhan, tingkah laku, reproduksi dan bioakumulasi serta untuk mempertahankan kehidupan.

Menurut Triyanto (2012), kisaran salinitas yang optimal untuk pertumbuhan kepiting bakau yaitu 15 – 25 ppt. Hasil penelitian Karim (2007), menyatakan bahwa pertumbuhan biomassa kepiting bakau tertinggi dihasilkan pada salinitas 25 ppt dan terendah pada salinitas 15 ppt. Selanjutnya hasil penelitian Kaligis (2016), bahwa perlakuan dengan salinitas 29 ppt memberikan pertumbuhan terbaik dibandingkan dengan perlakuan 33 ppt, 31 ppt dan 27 ppt. Tetapi tidak berpengaruh dengan tingkat kelulusan hidup kepiting bakau.

pH air dan pH substrat di lokasi penelitian bersifat asam (pH < 7). Menurut Effendi (2003), perairan yang lebih dominan dipengaruhi oleh air laut akan bersifat basa, karena derajat keasaman (pH) air laut cenderung bersifat basa. Menurut Siahainenia (2008) bahwa perairan yang memiliki kisaran pH 6.5 – 7.5 dikategorikan perairan yang cukup baik bagi kepiting bakau. Romimohtarto dan Juwana (2009) menyatakan, substrat mangrove pada umumnya bersifat asam karena pengaruh aktivitas bakteri belerang (sulphur bacteria).

(41)

25 angka tersebut. Hasil pengukuran oksigen terlarut di lokasi penelitian memenuhi untuk kehidupan S. serrata.

Hubungan kerapatan vegetasi mangrove terhadap jumlah individu S. serrata

Hubungan kerapatan vegetasi mangrove terhadap jumlah individu S. serrata dapat dianalisis dengan pendekatan korelasional (analisis korelasi). Hasil analisis mendapatkan koefisien korelasi (r) positif sebesar 0.96 di muara sungai dan 0.99 di areal silvofishery (Tabel 13) dengan tingkat signifikan p<0.05. Hal ini menunjukkan tingkat keeratan hubungan adalah sangat kuat atau dapat dikatakan ketika tingkat kerapatan mangrove semakin tinggi maka jumlah individu S. serrata juga akan semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan pernyataan (Avianto et al. 2013), distribusi kepiting bakau di ekosistem mangrove memiliki keterkaitan erat dengan karakteristik habitat yang sesuai. Menurut Suryono (2006), tekanan dan perubahan lingkungan ekosistem mangrove dapat mempengaruhi jumlah kepadatan kepiting bakau, dengan demikian menurunnya jumlah tegakan mangrove akan berpengaruh terhadap keberadaan kepiting bakau.

Menurut Sarwono (2006) korelasi yang berada pada kisaran 0.75 – 0.99 diinterpretasikan memiliki hubungan sangat kuat, sedangkan signifikansi dalam pengertian statistik mempunyai makna bahwa hubungan tersebut adalah “benar” tidak didasarkan secara kebetulan. Angka signifikansi sebesar 0.05 didasarkan pada selang kepercayaan (confidence interval) yang diinginkan yang mempunyai pengertian bahwa tingkat kepercayaan atau keinginan dalam penelitian ini untuk memperoleh kebenaran adalah sebesar 95%.

Tabel 13 Korelasi kerapatan vegetasi mangrove terhadap kelimpahan S. serrata di lokasi penelitian

Stasiun r Signifikansi (p)

Muara Sungai 0.96 0.039

Silvofishery 0.99 0.036

Kondisi Sosial Ekonomi S. serrata

Permintaan dan pemasaran S. serrata

Berdasarkan hasil wawancara dengan pengumpul kepiting bakau, pada musim-musim tertentu harga kepiting melonjak karena permintaan yang juga meningkat terutama pada perayaan-perayaan penting seperti imlek. Pada saat-saat tersebut harga kepiting hidup ditingkat pedagang pengumpul dapat mencapai Rp 100 000/kg. Pada hari biasa kepiting bakau dijual berdasarkan bobot tubuhnya yaitu berkisar Rp 50 000 – 85 000/kg. Harga kepiting bakau juga dipengaruhi oleh ketersediaan stok yang ada, jika pada bulan-bulan tertentu jumlah penangkapan kepiting bakau meningkat maka harga akan cenderung menurun dan begitu pula sebaliknya. Ketersediaan kepiting bakau juga dipengaruhi oleh kondisi alam seperti pada saat bulan gelap dan bulan terang.

Gambar

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian
Tabel 1 Deskripsi lokasi penelitian
Gambar 3 Metode transek kuadrat penelitian
Gambar 4 Tingkat pendidikan responden
+7

Referensi

Dokumen terkait

Meskipun demikian hasil analisa CA untuk mengkaji distribusi spasial kepiting bakau jantan dan betina dari tiap jenis kepiting bakau pada tiap zona dalam wilayah perairan

dan laju eksploitasi (E) Scylla serrata di Teluk Bintan 35 15 Jenis dan kerapatan vegetasi mangrove di Tembeling 37 16 Jenis dan kerapatan vegetasi mangrove di Bintan Buyu 38

Hasil penelitian menunjukkan ukuran kepiting bakau yang tertangkap mulai dari lebar karapas (CW) 64-172 mm, ukuran fase muda kepiting jantan yang tertangkap mencapai 46,62%

Biologi Populasi Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Habitat Mangrove Taman Nasional Kutai Kabupaten Kutai Timur. Pengelolaan Zona Pemanfaatan Ekosistem Mangrove melalui

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui ukuran morfometrik dan kisaran meristik Kepiting Bakau serta mengetahui pola pertumbuhan Kepiting Bakau di ekosistem

Hasil penelitian menunjukkan ukuran kepiting bakau yang tertangkap mulai dari lebar karapas (CW) 64-172 mm, ukuran fase muda kepiting jantan yang tertangkap mencapai 46,62%

(2015) juga melaporkan bahwa, kepiting bakau yang dikultur pada salinitas 25 ppt memiliki laju pertumbuhan spesifik harian yang tertinggi (1%) dan juga tingkat kelangsungan hidup

Tujuan penelitian ini untuk mengkaji aspek pertumbuhan kepiting bakau (Scylla serrata) yang meliputi hubungan panjang bobot, proporsi kelamin, faktor kondisi serta