• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Sel Darah Merah Ayam Broiler yang Diberi Testosteron Dosis Bertingkat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Sel Darah Merah Ayam Broiler yang Diberi Testosteron Dosis Bertingkat"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN SEL DARAH MERAH AYAM BROILER YANG

DIBERI TESTOSTERON DOSIS BERTINGKAT

VINDA MULYETTI D.

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Gambaran Sel Darah Merah Ayam Broiler yang Diberi Testosteron Dosis Bertingkat adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

VINDA MULYETTI D. Gambaran Sel Darah Merah Ayam Broiler yang Diberi Testosteron Dosis Bertingkat. Dibimbing oleh ARYANI S SATYANINGTIJAS dan ANDRIYANTO.

Tingkat produktivitas ayam berhubungan erat dengan kondisi hematologisnya. Penelitian ini dilaksanakan untuk mengkaji pemberian testosteron terhadap karakteristik sel darah merah (jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit ayam broiler). Penelitian ini menggunakan 12 ayam broiler berumur 15 hari yang dibagi dalam 4 kelompok (K, T1, T2, dan T3). K adalah kelompok kontrol, T1, T2, dan T3 adalah ayam broiler yang dilakukan pemberian 1, 2, dan 4 mg testosteron. Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Analisis data dilakukan dengan ANOVA yang dilanjutkan dengan uji Duncan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa testosteron berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap jumlah sel darah merah, tetapi tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap kadar hemoglobin dan hematokrit. Dosis testosteron yang efektif untuk meningkatkan jumlah sel darah merah adalah 1 mg per ekor.

Kata kunci: ayam broiler, hematokrit, hemoglobin, jumlah eritrosit, testosteron

ABSTRACT

VINDA MULYETTI D. Profile of Broiler Chickens’ Red Blood Cells which Given by Multilevel Dose of Testosterone. Supervised by ARYANI S SATYANINGTIJAS and ANDRIYANTO.

Productivity is closely related to chicken’s hematological conditions. The research was conducted to study the effect of testosterone given on the characteristics of red blood cells (erythrocytes number, haemoglobin level, and hematocrit values) of broiler chicken. 15 days of 12 broiler chickens were used in this study, with 4 groups (K, T1, T2, and T3). K was control groups, T1, T2, and T3 were broiler chicken which given 1, 2, and 4 mg testosteron respectively. The design of experiment using completely randomized design with 4 treatments and 3 replications. Data analysis was using ANOVA Duncan test. Our results showed that testosterone had significant effect (p <0.05) to the number of red blood cells, but it had no significant effect (p >0.05) to the amount of hemoglobin and hematocrit levels. Testosteron effective dose to increase erythrocytes number is 1 mg per 2 days (T1).

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

GAMBARAN SEL DARAH MERAH AYAM BROILER YANG

DIBERI TESTOSTERON DOSIS BERTINGKAT

VINDA MULYETTI D.

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Gambaran Sel Darah Merah Ayam Broiler yang Diberi Testosteron Dosis Bertingkat

Nama : Vinda Mulyetti D. NIM : B04090170

Disetujui oleh

Dr drh Aryani Sismin Satyaningtijas, MSc Pembimbing I

drh Andriyanto, MSi Pembimbing II

Diketahui oleh

drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet Wakil Dekan FKH IPB

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penulisan karya ilmiah ini adalah Gambaran Sel Darah Merah Ayam Broiler yang Diberi Testosteron Dosis Bertingkat.

Terima kasih penulis ucapkan kepada

1. Ibu Dr drh Aryani S Satyaningtijas, MSc dan Bapak drh Andriyanto, MSi selaku pembimbing skripsi, yang telah banyak memberi saran,

2. Bapak drh Chaerul Basri, MEpid selaku pembimbing akademik, yang telah banyak memberi saran,

3. Bapak Dr drh Agus Setiadi dan Ibu drh Okti Nadia Putri, MSi selaku dosen penguji dalam ujian akhir sarjana kedokteran hewan, yang telah banyak memberikan saran,

4. Staf Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, yang telah membantu selama pengumpulan data,

5. Ayah, Umak, Nenek, Ni Devi, Da Nofri, Kak Vivi, Putra, Putri, Hadi, Tante Nien, Pak Etek Azhar, Cik Eli, Tante Oka, Syeh, Raya, De Tanya, FKH 46 terutama Regina, Kak Yufi, Santa, Febi, Nadine, Amal, Fifin, Diah, Rahmat, dan Rini, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Ayam Pedaging 2

Hormon Testosteron 2

Sel Darah Merah 3

Hemoglobin 3

Hematokrit 4

MATERI DAN METODE 4

Waktu dan Tempat Penelitian 4

Alat dan Bahan 4

Metode Penelitian 4

Analisis Data 6

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Sel Darah Merah 6

Hemoglobin 9

Hematokrit 10

SIMPULAN DAN SARAN 12

Simpulan 12

Saran 12

DAFTAR PUSTAKA 12

(10)

DAFTAR TABEL

1 Konsumsi daging menurut jenis daging per kapita di Indonesia tahun

2006–2010 1

DAFTAR GAMBAR

1 Waktu pemberian testosteron dan pengambilan sampel 5 2 Rataan jumlah sel darah merah ayam yang diberi testosteron dosis

bertingkat 7

(11)
(12)
(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kesadaran masyarakat untuk memenuhi kebutuhan protein hewani semakin meningkat. Dalam pemenuhan protein hewani ini, masyarakat banyak memilih ayam ras pedaging, diduga karena harga daging ayam broiler lebih terjangkau dibandingkan jenis daging lain. Data yang disajikan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa konsumsi daging ayam broiler per kapita di Indonesia adalah yang paling tinggi setiap tahunnya, dibandingkan jenis-jenis daging lainnya. Oleh karena itu, industri peternakan ayam harus meningkatkan produksinya. Peningkatan produksi ternak dapat dilakukan dengan penggunaan bibit unggul yang membutuhkan waktu relatif lama. Alternatif lain untuk meningkatkan produksi ternak adalah dengan penggunaan hormon growth promotor steroid (HGPs). Lima jenis hormon steroid yang paling banyak digunakan dalam produksi daging adalah estradiol 17, testosteron, progesteron, trenbolone, dan zeranol (Passantino 2012).

Tabel 1 Konsumsi daging menurut jenis daging per kapita di Indonesia tahun 2006–2010

No Jenis daging Jumlah konsumsi per tahun (kg/kapita)

2006 2007 2008 2009 2010

1 Sapi 0,313 0,417 0,365 0,313 0,365

2 Kerbau 0,052 0,000 0,000 0,000 0,000

3 Kambing 0,052 0,052 0,052 0,000 0,000

4 Babi 0,261 0,261 0,209 0,209 0,000

5 Ayam 3,024 4,119 3,806 3,598 4,171 6 Unggas lainnya 0,052 0,052 0,052 0,052 0,000 7 Daging lainnya 0,052 0,052 0,052 0,052 0,000 Sumber : Susenas Badan Pusat Statistik (2011)

(14)

2

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran darah ayam broiler yang diberi testosteron dosis bertingkat dengan cara mengukur jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit.

Manfaat Penelitian

Data dari gambaran sel darah merah ayam yang diberi berbagai dosis testosteron dapat dijadikan sebagai sumber informasi untuk mengetahui efek pada sistem sirkulasi dengan menggunakan herbal yang mengandung senyawa mirip testosteron dan perbaikan pola pemeliharaan dan pengembangan ayam hias. Selain itu, data ini dapat dijadikan sebagai dasar pengembangan penelitian selanjutnya.

TINJAUAN PUSTAKA

Ayam Pedaging

Di Indonesia ayam pedaging atau ayam potong biasa disebut ayam broiler. Ayam broiler adalah istilah untuk menyebut ayam hasil budidaya teknologi yang memiliki karakteristik ekonomis dengan ciri khas pertumbuhannya cepat sebagai penghasil daging, konversi pakan irit, siap dipotong pada usia relatif muda, serta menghasilkan daging yang bersifat lunak (Suhaeni 2005). Strain ayam ras pedaging banyak beredar di pasaran. Adapun jenis strain ayam ras pedaging yang banyak beredar di pasaran adalah: Super 77, Tegel 70, ISA, Kim cross, Lohman 202, Hyline, Vdett, Missouri, Hubbard, Shaver Starbro, Pilch, Yabro, Goto, Arbor arcres, Tatum, Indian river, Hybro, Cornish, Brahma, Langshans, Hypeco-Broiler, Ross, Euribrid, AA 70, HN, Sussex, Bromo, dan CP 707 (Dishutbunnak 2012). Diantara bibit ayam ras pedaging terdapat perbedaan yang turut ditentukan oleh peternak atau lembaga yang mengembangkannya. Perbedaan itu umumnya terdapat pada pertumbuhan ayam, konsumsi ransum, atau konversi ransumnya. Pertumbuhan yang cepat berkorelasi dengan konsumsi ransum yang lebih banyak, tingkat mortalitas yang tinggi, atau penumpukan lemak yang meningkat dimasa akhir pemeliharaan (Rasyaf 2008).

Hormon Testosteron

(15)

3

meningkatkan jumlah sel-sel darah merah 1520%. Dosis yang biasa diberikan adalah 100 mg per minggu, atau 200 sampai 300 mg per 2 sampai 3 minggu (Rhoden dan Morgentaler 2004).

Sel Darah Merah

Karakteristik morfologi sel darah merah dewasa unggas adalah oval, ukuran sedang, dan inti oval. Inti dari sel darah merah dewasa terkondensasi dan ungu tua. Inti sel darah merah bervariasi sesuai dengan usia, semakin tua sel darah merah akan menjadi lebih kental dan lebih gelap (Ritchie et al. 1994). Menurut Samour (2008), jumlah sel darah merah ayam normal adalah 2,23,3x106/mL. Seluruh sel darah pada hewan dewasa berasal dari sumber yang sama, yaitu sel-sel batang primordia yang terdapat pada sumsum tulang (Frandson 1992). Dalam minggu-minggu pertama kehidupan embrio, sel-sel darah merah primitif yang berinti diproduksi dalam kantong kuning telur. Selama pertengahan trimester masa gestasi, sel darah merah diproduksi di hati, limpa dan limfonodus. Sedangkan sesudah lahir, sel-sel darah merah diproduksi oleh sumsum tulang (Frandson 1992). Jangka hidup sel darah merah pada ayam adalah 28 hari. Sel darah merah mati pada jumlah yang besar setiap harinya. Oleh karena itu, sel-sel sumsum tulang merupakan sel yang tumbuh dan bereproduksi paling cepat diseluruh tubuh untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan sel darah merah (Swenson 1984). Kecepatan produksi dan pematangan dipengaruhi oleh keadaan nutrisi. Nutrisi yang harus ada untuk eritropoiesis normal adalah asam amino, asam lemak essensial, mineral, dan vitamin (Meyer dan Harvey 2004). Gambaran hematologi (jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, nilai hematokrit, dan diferensiasi leukosit) pada ayam juga dipengaruhi oleh umur ayam (Talebi et al. 2005).

Hemoglobin

Hemoglobin merupakan ikatan dari empat molekul protein (rantai hemoglobin) yang terhubung bersama-sama secara longgar (Guyton dan Hall 1997). Hemoglobin embrional terdiri dari β rantai α dan β rantai ϵ. Hemoglobin embrional dikomposisikan ke dalam sebuah tetramer rantai ϵ yang akan menghilang setelah hidup selama 3 bulan di intrauterus (Rapaport 1987). Hemoglobin fetus (Hgb F) terdiri dari β rantai α dan β rantai . Produksi rantai α dimulai sejak awal kehidupan fetus dan terus berlanjut, sedangkan produksi rantai akan terus menurun sebelum kelahiran dan digantikan oleh peningkatan rantai . Hemoglobin dewasa (Hgb A) terdiri dari empat rantai polipeptida, yaitu: 2 rantai α dan β rantai (Rapaport 1987).

(16)

4

karena jumlah sel darah merah jantan lebih tinggi (Frandson 1992). Kadar hemoglobin bervariasi pada setiap spesies. Kadar normal hemoglobin ayam yaitu 6.59 g/dL (Swenson 1984). Banyak faktor yang berperan dalam sintesis hemoglobin, yaitu protein (Pratiwi 2012), Fe (Arifin 2008; Listyawati 2003; Wahyuni et al. 2012), dan Cu (Setiyawan dan Piliang 2011).

Hematokrit

Hematokrit atau PCV (packed cell volume) adalah proporsi sel darah dengan total volume darah, dan sering dianggap sebagai indikator agregat kesehatan secara keseluruhan. Rendahnya nilai PCV dapat disebabkan oleh kehilangan darah, kerusakan sel darah merah, atau turunnya produksi sel darah merah. Sedangkan tingginya nilai PCV dapat disebabkan karena dehidrasi atau permintaan energi meningkat sehingga perlu untuk meningkatkan kapasitas pembawa oksigen (Milenkaya et al 2013).

MATERI DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan Mei sampai Juni 2012. Penelitian ini dilakukan di Kandang Hewan Coba dan Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah gelas ukur, spuid 1 mL, vacutainer, cooling box, pipet eritrosit, hemositometer, kamar hitung neubauer, mikroskop cahaya, alat hitung, tabung sahli, pipet sahli, alat baca mikrohematokrit, alat pemusing (mikrosentrifuse), pipet mikrokapiler yang bertanda merah, dan crestaseal. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah ayam broiler sebanyak 12 ekor, disinfektan, sekam, vitamin, vaksin Newcastle Disease (ND), kapas, alkohol 70%, testosteron, NaCl 0.9%, etilen diamino tetraacetic acid (EDTA), pelarut Rees dan Ecker, dan HCl 0.1 N.

Metode Penelitian

Persiapan kandang

(17)

5

Kandang dibagi menjadi 4 bagian dengan tiap bagiannya diisi 3 ekor ayam. Masing-masing bagian adalah bagian kontrol (K), perlakuan 1 (T1), perlakuan 2 (T2), dan perlakuan 3 (T3).

Persiapan Hewan

Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ayam berumur 1 hari (DOC). Hari pertama, DOC diberi minum dengan campuran air gula dan multivitamin. Pemberian multivitamin dilakukan selama 3 hari dengan dosis 0.5 g per L. Sebelum perlakuan, pakan dan minum diberikan ad libitum. Vaksinasi ND diberikan pada saat ayam berumur 5 hari dengan cara tetes mata. Masa adaptasi dilakukan selama 14 hari. Sebanyak 12 ekor ayam dengan bobot badan yang sama dibagi dalam 4 kelompok perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan tersebut ialah K (kelompok ayam yang diberikan perlakuan NaCl fisiologis sebanyak 0.1 mL) dan kelompok ayam yang diberi testosteron dengan dosis bertingkat, yaitu T1 (perlakuan 1 dengan dosis 1 mg per ekor yang disuntikkan sebanyak 0.05 mL), T2 (perlakuan 2 dengan dosis 2 mg per ekor yang disuntikkan sebanyak 0.1 mL), dan T3 (perlakuan 3 dengan dosis 4 mg per ekor yang disuntikkan sebanyak 0.2 mL). Pemberian perlakuan dilakukan sebanyak 7 kali dengan cara injeksi intramuskular (IM) yang dilakukan saat ayam berumur 15 hari sampai 27 hari (Gambar 1). Pengambilan sampel darah

Pengambilan sampel darah ayam dilakukan 3 kali yaitu pada ayam berumur 18, 23, dan 28 hari (Gambar 1). Pengambilan darah dilakukan melalui vena axillaris sebanyak 0.51 mL. Sampel darah ditampung dalam tabung reaksi yang diberi EDTA (1 mg per tabung). Tabung dikocok secara perlahan dan dimasukkan ke dalam cooling box. Hal ini dilakukan agar darah tidak menggumpal atau memecah sewaktu diperiksa di laboratorium. Waktu pemberian testosteron dan pengambilan sampel darah disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Waktu pemberian testosteron dan pengambilan sampel darah (hari) Penghitungan jumlah sel darah merah

(18)

6

Penghitungan kadar hemoglobin

Pemeriksaan dilakukan dengan metode Sahli. Tabung sahli diisi dengan larutan HCl 0.1 N sampai dengan angka 10 tertera pada pipet. Darah dihisap menggunakan pipet sahli sampai batas angka 20 secara perlahan-lahan. Ujung pipet dibersihkan dan darah yang ada di dalamnya segera dikeluarkan ke dalam tabung sahli. Tabung sahli diletakkan di antara kedua bagian standar warna dalam hemoglobinometer. Pencampuran antara darah dan HCl 0.1 N dibiarkan selama 3 menit sampai terbentuk asam hematin yang berwarna cokelat. Kemudian aquades ditambahkan tetes demi tetes ke dalam tabung sambil diaduk sampai warnanya sama dengan warna standar. Nilai hemoglobin ditentukan dengan melihat skala g% tinggi permukaan cairan pada tabung sahli (Staf Unit Fisiologi FKH-IPB 2012).

Penghitungan nilai hematokrit

Darah dimasukkan ke dalam mikrokapiler yang bertanda merah sampai 4/5 bagian pipa mikrokapiler. Ujung mikrokapiler disumbat dengan crestaseal. Pipa-pipa kapiler ditempatkan dalam alat pemusing (mikrosentrifuse), kemudian diputar dengan kecepatan 25004000 rpm selama 15 menit. Nilai hematokrit ditentukan dengan menggunakan alat baca mikrohematokrit (Staf Unit Fisiologi FKH-IPB 2012).

Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap. Data yang diperoleh, yaitu: jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit dianalisis dengan analisis ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sel Darah Merah

(19)

7

Karakteristik morfologi sel darah merah dewasa unggas adalah oval, ukuran sedang, dan inti oval (Ritchie et al. 1994). Bentuk oval atau bikonkaf meningkatkan rasio permukaan terhadap volume sel darah merah sehingga mempermudah pertukaran gas. Inti dari sel darah merah dewasa terkondensasi dan berwarna ungu tua. Inti sel darah merah bervariasi sesuai dengan usia, semakin tua sel darah merah akan menjadi lebih kental dan lebih gelap (Ritchie et al. 1994).

Pematangan dan kecepatan produksi dipengaruhi oleh keadaan nutrisi. Nutrisi yang harus ada untuk eritropoiesis normal adalah asam amino, asam lemak essensial, mineral, dan vitamin (Meyer dan Harvey 2004). Vitamin yang dibutuhkan dalam eritripoiesis adalah vitamin B12, B6, B2, B3, B5, B1, B7, dan C. Mineral yang dibutuhkan dalam eritropoiesis adalah besi, kobalt, dan tembaga (Swenson 1984). Jumlah sel darah merah ayam yang diberi testosteron disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Rataan jumlah sel darah merah ayam (juta/mm3) umur 18, 23, dan 28 hari yang diberi testosteron dosis bertingkat

Pada Gambar 2 jumlah sel darah merah pada pengambilan darah umur 18, 23, dan 28 hari tidak berbeda nyata pada semua perlakuan sehingga perbandingan pengamatan dilakukan pada kelompok perlakuan yaitu antarperlakuan K, T1, T2, dan T3. Jumlah sel darah merah ayam normal adalah 2.23.3x106/mL (Samour 2008). Pemberian testosteron berpengaruh dalam meningkatkan jumlah sel darah merah ayam (p<0.05). Peningkatan produksi jumlah sel darah merah dapat terjadi karena secara biologis, testosteron adalah androgen paling poten yang terdapat di dalam sirkulasi (Marks et al. 2000). Hadley (1992) menyebutkan bahwa androgen menstimulasi eritropoiesis langsung pada eritron (progenitor sel darah merah di sumsum tulang) dan secara tidak langsung dengan merangsang produksi eritropoietin ginjal. Eritropoietin adalah hormon glikoprotein yang mengatur eritropoiesis (Sembiring et al. 2013; Sianturi et al. 2013) dan memicu eritropoiesis (Erniasih dan Saraswati 2006).

(20)

8

berinteraksi dengan progenitor tahap lanjut sel darah merah, yaitu: colony-forming unit-erythroid (CFU-E) dan menyebabkan CFU-E berproliferasi dan berdiferensiasi (Murray 2009).

Guyton dan Hall (1997) menyatakan bahwa jumlah sel-sel darah merah akan meningkat 1520% jika diinjeksi testosteron dalam dosis normal. Hal ini mungkin disebabkan oleh pengaruh tidak langsung testosteron terhadap anabolisme protein (Guyton dan Hall 1997). Isroli et al. (2009) juga menyebutkan bahwa besarnya laju metabolisme pada ayam berhubungan dengan sistem endokrin. Pada jantan laju metabolisme lebih besar daripada betina karena ayam jantan mempunyai kandungan hormon testosteron yang lebih besar dibandingkan betina (Isroli et al. 2009).

Menurut Frandson (1992), darah memiliki banyak fungsi, yaitu: 1) membawa nutrien yang telah disiapkan oleh saluran pencernaan menuju ke jaringan tubuh, 2) membawa oksigen dari paru ke jaringan, 3) membawa karbon dioksida dari jaringan ke paru, 4) membawa produk buangan dari berbagai jaringan menuju ke ginjal untuk dieksresikan, 5) membawa hormon dari kelenjar endokrin ke organ-organ lain di dalam tubuh, 6) berperan penting dalam pengendalian suhu dengan cara mengangkut panas dari struktur yang lebih dalam menuju ke permukaan tubuh, 7) ikut berperan dalam mempertahankan keseimbangan air, 8) berperan dalam sistem buffer, seperti bikarbonat di dalam darah membantu mempertahankan pH yang konstan pada jaringan dan cairan tubuh, 9) penggumpalan atau pembekuan darah mencegah terjadinya kehilangan darah yang berlebihan saat terjadi luka, 10) mengandung faktor-faktor penting untuk pertahanan tubuh terhadap penyakit. Hal ini senada dengan Isroli et al. (2009) yang menyebutkan bahwa darah mempunyai peranan cukup penting dalam transportasi baik nutrisi maupun sisa metabolisme sehingga produktivitas ayam berhubungan erat dengan kondisi hematologisnya. Oleh karena itu, keadaan normal darah sangat dibutuhkan. Dosis 1 dan 2 mg testosteron per ekor merupakan dosis yang tepat untuk meningkatkan jumlah sel darah merah ayam umur 1428 hari secara optimal.

Pada hewan lain, pemberian testosteron menimbulkan respons yang berbeda terhadap sel darah merah. Penelitian tersebut dilakukan dengan menginjeksikan testosteron propianat dosis 0.5 mg per kg BB per 2 hari selama 7 minggu dan 14 minggu pada domba Priangan umur 14 minggu. Injeksi testosteron propionat ini tidak berpengaruh (p>0.05) terhadap karakteristik darah domba Priangan. Karakteristik darah yang diperiksa adalah jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, dan hematokrit. Hal ini dapat terjadi karena domba Priangan yang diteliti sudah sanggup memproduksi hormon testosteron endogenous secara maksimal. Oleh sebab itu, penambahan testosteron propionat dari luar tubuh tidak memberikan makna terhadap proses eritropoiesis (Isroli 2001).

(21)

9

(Bullock et al. 2010). Fe terutama digunakan oleh sumsum tulang, dimana besi diikat oleh transferin reseptor (TfR) pada sel prekursor sel darah merah dan digunakan untuk sintesis heme (Suega 2012). Penurunan jumlah sel darah merah juga dapat disebabkan penyakit ginjal kronis dan/atau gangguan kronis lainnya (artritis, diabetes, peningkatan serum protein C-reaktif, atau faktor reumatoid positif) dan sindrom myelodysplastic (macrocytosis, trombositopenia, dan neutropenia) (Price dan Schrier 2013).

Hemoglobin

Hemoglobin merupakan protein yang terdiri dari empat rantai polipeptida, yaitu: β rantai α-identik dan β rantai -identik. Setiap tetramer terikat dengan gugus heme yang mengandung besi (Fawcett 2002). Masing-masing polipeptida dapat berikatan dengan satu molekul oksigen. Polipeptida dapat mengikat O2 ketika besi dalam bentuk ferrous (Fe++) (Powell 2000).

Sintesis hemoglobin dimulai dalam proeritroblast dan dilanjutkan sedikit dalam stadium retikulosit. Pembentukan hemoglobin dimulai dengan suksinil-KoA yang dibentuk dalam siklus krebs berikatan dengan glisin untuk membentuk molekul pirol. Empat pirol bergabung untuk membentuk protoporfirin IX dan bergabung dengan besi untuk membentuk molekul heme. Setiap molekul heme bergabung dengan rantai polipeptida yang disebut dengan globin dan membentuk suatu subunit hemoglobin yang disebut rantai hemoglobin. Empat dari molekul akan berikatan satu sama lain secara longgar untuk membentuk molekul hemoglobin yang lengkap. Setiap rantai mempunyai sekelompok prostetik heme sehingga terdapat empat atom besi dalam setiap molekul hemoglobin. Masing-masing dapat berikatan dengan satu molekul oksigen, setiap molekul hemoglobin dapat mengangkut empat molekul oksigen (Guyton dan Hall 1997).

Konsentrasi hemoglobin diukur dalam gram per 100 mL darah. Kadar hemoglobin ayam yang diberi testosteron disajikan pada Gambar 3.

(22)

10

Pada Gambar 3 kadar hemoglobin pada pengambilan darah umur 18, 23, dan 28 hari tidak berbeda nyata pada semua perlakuan sehingga perbandingan pengamatan dilakukan pada kelompok perlakuan yaitu antarperlakuan K, T1, T2, dan T3. Kadar normal hemoglobin ayam yaitu 6.59 g/dL (Swenson 1984). Gambar 3 menunjukkan bahwa kadar hemoglobin ayam pada penelitian ini sedikit di bawah normal. Faktor yang mungkin dapat menyebabkan hal tersebut adalah fisiologis ayam (umur ayam relatif muda dan strain ayam), dan lingkungan (suhu dan kelembapan), serta pakan.

Analisis statistik menunjukkan pemberian testosteron tidak memengaruhi kadar hemoglobin ayam (p>0.05). Tidak adanya perbedaan (p>0.05) antarperlakuan diduga karena testosteron tidak memengaruhi sintesis hemoglobin. Hal ini diduga efek androgen dalam eritropoiesis yang langsung terhadap eritron dan secara tidak langsung terhadap pembentukan eritropoietin di ginjal. Eritropoietin hanya berinteraksi dengan BFU-E dan CFU-E (Murray 2009), sedangkan sintesis hemoglobin dimulai pada tahap selanjutnya, yaitu dalam proeritroblast dan sedikit dalam stadium retikulosit (Guyton dan Hall 1997).

Tidak adanya perbedaan (p>0.05) antarperlakuan disebabkan juga oleh singkatnya waktu penelitian. Penelitian ini hanya mengukur gambaran sel darah merah ayam yang diberi testosteron kurang dari 2 minggu, padahal dalam penelitian Saad et al. (2011) induksi testosteron pada laki-laki yang menderita hipogonad menunjukkan peningkatan terhadap kadar hemoglobin setelah 3 bulan pemberian dan mencapai maksimum setelah 912 bulan. Penelitian yang dilakukan Kenny et al.(2000) juga mendapatkan hasil bahwa pemberian testosteron jangka pendek secara transdermal atau intramuskular tidak memengaruhi hemoglobin pria berumur diatas 70 tahun.

Rendahnya kadar hemoglobin di dalam darah dapat disebabkan oleh sitoplasma sel darah merah berinti tidak berhasil mengikat Fe untuk pembentukan Hb, yang dapat disebabkan oleh rendahnya kadar Fe dalam darah. Rendahnya kadar Fe dalam darah dapat disebabkan kekurangan gizi, gangguan absorbsi Fe (terutama dalam lambung), dan kebutuhan tubuh yang meningkat akan besi (perdarahan). Penyebab ketidakberhasilan sel darah merah berinti untuk mengikat besi juga dapat disebabkan oleh rendahnya kadar transferin dalam darah. Hal ini dikarenakan sel darah merah berinti maupun retikulosit hanya memiliki reseptor transferin bukan reseptor Fe (Guyton dan Hall 1997).

Penurunan kadar hemoglobin juga dapat disebabkan oleh adanya gangguan sintesis asam amino, terutama glisin sehingga sintesis hemoglobin terganggu (Guyton dan Hall 1997). Hal ini didukung oleh Yanti et al. (2013) yang menyatakan bahwa dalam sintesis hemoglobin diperlukan 3 bagian utama, yaitu: protoporfirin, globin, dan mineral Fe.

Hematokrit

(23)

11

Penyimpangan nilai hematokrit berpengaruh terhadap kemampuan darah dalam membawa oksigen (Cunningham 2002). Nilai hematokrit ayam yang diberi testosteron disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Rataan nilai hematokrit ayam (%) umur 18, 23, dan 28 hari yang diberi testosteron dosis bertingkat

Pada Gambar 4 nilai hematokrit pada pengambilan darah umur 18, 23, dan 28 hari tidak berbeda nyata pada semua perlakuan sehingga perbandingan pengamatan dilakukan pada kelompok perlakuan yaitu antarperlakuan K, T1, T2, dan T3. Analisis statistik menunjukkan bahwa pemberian testosteron tidak memengaruhi (p>0.05) nilai hematokrit ayam. Hal ini berbeda dengan jumlah sel darah merah ayam yang meningkat signifikan (p<0.05). Hal ini diduga karena nutrisi ayam yang kurang atau tidak terpenuhi. Menurut Guyton dan Hall (1997) faktor-faktor yang memengaruhi nilai hematokrit adalah kondisi kesehatan individu, umur, jumlah sel darah merah, tingkat aktivitas tubuh, dan nutrisi (vitamin B12, besi, dan asam folat). Kurangnya nutrisi yang diperoleh oleh ayam dapat diketahui dari konsumsi pakan hariannya. Pada penelitian ini beberapa hari konsumsi pakan harian ayam di bawah konsumsi pakan harian yang seharusnya, misalnya pada hari ke-15. Pada hari ke-15 konsumsi pakan harian ayam 22.5 g sedangkan menurut Brake et al. (1992) pada saat ayam berumur 15 hari konsumsi pakan harian ayam adalah 53.56 g.

(24)

12

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Testosteron dosis 1, 2, dan 4 mg per ekor menyebabkan jumlah sel darah merah ayam meningkat (p<0.05) terutama dosis 4 mg per ekor. Kadar hemoglobin dan nilai hematokrit ayam yang diberi testosteron tidak dipengaruhi oleh testosteron (p>0.05). Dosis yang efektif untuk meningkatkan jumlah sel darah merah secara optimal adalah 1 mg testosteron per ekor.

Saran

Perlu diadakan penelitian lebih lanjut tentang gambaran sel darah merah ayam yang diberi testosteron pada berbagai dosis dengan onset yang lebih lama dengan memerhatikan konsumsi pakan harian.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin Z. 2008. Beberapa unsur mineral esensial mikro dalam sistem biologi dan metode analisisnya. J Litbang Pertanian. 27(3):99–105.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Konsumsi daging menurut jenis daging dan daging olahan perkapita 2006–2010. Jakarta (ID): BPS.

Brake JD, Chamblee TN, Schultz CD, Peebles ED, Thaxton JP. 1992. Daily feed and water consumption broiler chicks from 0 to 21 days of age. J Appl Poultry Res. 1:160163.

Bullock GC, Delehanty LL, Talbot AL, Gonias SL, Tong WH, Rouault TA, Dewar B, Macdonald JM, Chruma JJ, Goldfarb AN. 2010. Iron control of erythroid development by a novel aconitase-associated regulatory pathway. Blood J. 116(1):97108. doi:10.1182/blood-2009-10-251496.

Cunningham JG. 2002. Textbook of Veterinary Physiology. Ed ke-3. Philadelphia (US): Saunders.

[Dishutbunnak] Dinas Kehutanan Perkebunan dan Peternakan. 2012. Ayam ras pedaging [Internet]. Majalengka (ID): Dishutbunnak. [diunduh 2013 Sept 08]. Tersedia pada: dishutbunnak.majalengkakab.go.id

Erniasih I, Saraswati TR. 2006. Penambahan limbah padat kunyit (curcuma domestica) pada ransum ayam dan pengaruhnya terhadap status darah dan hepar ayam (Gallus sp). Bul Anatomi dan Fisiologi. 14(2):16.

Fawcett DW. 2002. Buku Ajar Histologi. Tambayong J, penerjemah; Hartanto H, editor. Jakarta (ID): EGC. Terjemahan dari: Text book of Histology. Ed ke-12.

Frandson FD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Srigandono B, Praseno K, penerjemah; Soedarsono, editor. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Unive Pr. Terjemahan dari: Anatomy and Physiology of Farm Animals. Ed ke-4. Granner DK. 2009. Keragaman sistem endokrin. Di dalam: Murray RK, Granner

(25)

13

Guyton AC and Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Setiawan I, Tengadi KA, Santoso A, penerjemah. Jakarta (ID): EGC. Terjemahan dari: Text book of Medical Physiology. Ed ke-9.

Hadley ME. 1992. Endocrinology. New Jersey (US): Prentice-Hall. Islek I, Albayrak D.1993. Eritropoietin. JEC Med. 10(1-2):65–72.

Isroli. 2001. Pengaruh anabolik steroid testosteron propionat dan ransum yang berbeda terhadap performans karkas domba priangan jantan. JPTT. 4(2):55– 61.

Isroli, Susanti S, Widiastuti E, Yudiarti T, Sugiharto. 2009. Observasi beberapa variabel hematologis ayam kedu pada pemeliharaan intensif. Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan [Internet]. [Semarang 20 Mei]. Hlm 548 557; [diunduh 2012 September 12]. Tersedia pada: http://eprints.undip.ac.id/3276/2/ONR1-(2)Isroli-setting.pdf.

Kang XQ, Zang WJ, Song TS, Xu XL, Yu XJ, Li DL, Meng KW, Wu SL, Zhao ZY. 2005. Rat bone marrow mesenchymal stem cells differentiate into hepatocytes in vitro. World J Gastroenterol. 11(22):34793484.

Kenny AM, Karen MP, Raisz LG. 2000. Short-term effect of intramuscular and transdermal testosteron on bone turnover, prostate symptoms, cholesterol, and hematocrit in men over age 70 with low testosterone levels. Endocrine Research. 26( 2):153168. doi: 10.3109/07435800009066159.

Kusnadi E. 2008. Pengaruh temperatur kandang terhadap konsumsi ransum dan komponen darah ayam broiler. J Indon Trop Anim Agric. 33(3) :197202. Listyawati S.2003. Ketersediaan zat besi pada tikus (Rattus norvegicus L.) setelah

pemberian tempe lamtoro gung. BioSMART: J of Biol Sci. 5(1):4751 Marks DB, Allan DM, Collen MS. 2000. Biokimia Kedokteran Dasar: sebuah

pendekatan klinis. Pendit BU, penerjemah. Jakarta (ID): EGC. Terjemahan dari: Basic medical Biochemistry: a clinical approach.

Meyer DJ, Harvey JW. 2004. Veterinary Laboratory Medicine: Interpretation and Diagnosis. Ed ke-3. Philadelphia (US): Saunders.

Milenkaya O, Weinstein N, Legge S, Walters JR. 2013. Variation in body condition indices of crimson finches by sex, breeding stage, age, time of day, and year. Conserv Physiol. 1:1–14. doi: 10.1093/conphys/cot020. Murray RK. 2009. Sel Darah Merah dan Putih. Di dalam: Murray RK, Granner

DK, Rodwell VW, editor. Biokimia Harper. Pendit BU, penerjemah. Jakarta (ID): EGC. Terjemahan dari: Harper’s Illustrated Biochemistry. Ed ke-27. Olver CS, Gordon A. Andrews GA, Smith JE, Kaneko JJ. 2010. Erythrocyte

Structure and Function. Di dalam Weiss DJ, Wardrop KJ, editor. Schalm’s Veterinary Hematology. Ed ke-6. New Jersey: (US): Wiley-Blackwell. Passantino A. 2012. Steroid Hormones in Food Producing Animals: Regulatory

Situation in Europe. Di dalam: A bird's-eye view of veterinary medicine. [Internet]. Terhubung berkala di dalam [diunduh 2013 Juli 12]. Tersedia pada: http://cdn.intechopen.com/pdfs/28666/InTech-steroid_hormones_in_ food_producing_animals_.pdf

Powell FL. 2000. Respiration. Di dalam Sturkie PD, editor. 2000. Sturkie’s Avian Physiology. Ed ke-15. New York (US): Spinger─Verlag.

(26)

14

ovarium dan nisbah LH:FSH pada sindrom ovarium polikistik. Maj Obstet Ginekol Indones. 32(1):310.

Pratiwi L. 2012. Perbedaan kadar hemoglobin darah pada kelompok polisi lalu lintas yang terpapar dan tidak terpapar timbal di wilayah polres jakarta selatan. JKM. 1(2):738–749.

Price EA, Schrier SL. 2013. Anemia in the older adult. Stephen A Landaw, editor. [internet]. [diunduh 2013 Mei 15]. Tersedia pada: http:// www.uptodate.com/contents/anemia-in-the-older-adult?source=search_resul t&search=Approach+to+the+adult+patient+with+anemia&selectedTitle=2~ 150

Rapaport SI. 1987. Introduction to Hematology. Ed ke-2. Philadelphia (US): J.B Lippincott.

Rasyaf M. 2008. Panduan Beternak Ayam Pedaging. Penebar Swadaya. Jakarta. Rhoden EL, Morgentaler A. 2004. Risks of testosterone-replacement therapy and

recommendations for monitoring. N Engl J Med. 350:482–492. doi: 10.1056/NEJMra022251.

Ritchie BW, Harrison GJ, Harrison LR. 1994. Avian Medicine : Principles and Application. Di dalam Campbell TW, editor. Hematology. Florida (US): Wingers Publishing.

Rizkiawati A. 2012. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kadar hemoblobin (hb) dalam darah pada tukang becak di pasar mranggen Demak. Jurnal Kes Masy. 1( 2):663669.

Saad F, Aversa A, Isidori AM, Zafalon L, Zitzmann M, Gooren L. 2011. Onset of effects of testosterone treatment and time span until maximum effects are achieved. Eur J Endocrinol. 165(5):675685. doi: 10.1530/EJE-11-0221. Samour J. 2008. Avian Medicine. Ed ke-2. Philadelphia (US): Mosby Elsevier. Sembiring A, Tanjung M, Sabri E. 2013. Pengaruh ekstrak segar daun rosela

(Hibiscus sabdariffa l.) terhadap jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin mencit jantan (Mus musculus L.) anemia strain DDW melalui induksi natrium nitrit (NaNO2). Saintia Biologi. 1(2):6065.

Setiyatwan H, Piliang WG. 2011. Respon ayam broiler yang diberi ransum dengan suplementasi fitase, Zn, dan Cu. JIT. 11(2):6873.

Sianturi S, Tanjung M, Sabri E. 2013. Pengaruh buah terong belanda (Solanum betaceum cav.) terhadap jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin mencit jantan (Mus musculus l.) anemia strain DDW melalui induksi natrium nitrit (NaNO2). Saintia Biologi . 1(2):4954.

Soma IG, Wandia IN, Putra IGAA, Silta R. 2013. Profil darah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) liar di habitat alami. Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan. 1(1):22–28.

Staf Unit Fisiologi [FKH-IPB] Fakultas Kedokteran Hewan-Institut Pertanian Bogor. 2012. Penuntun Praktikum Fisiologi. Bogor (ID): FKH IPB.

Suega K. 2010. Aplikasi klinis retikulosit. J Peny Dalam, 11(3):191201.

Suega K. 2012. Interrelasi besi dengan sitokin dan vice versa. J Peny Dalam. 13(1):7690.

Suhaeni N. 2005. Petunjuk Praktis Ayam Broiler. Jakarta: Ganeca Exact.

(27)

15

Swenson MJ. 1984. Blood circulation and the cardiovascular system. Di dalam Swenson MJ, editor. Dukes’ Physiology of Domestic Animals. Ed ke-10. London (GB): Cornell University Pr.

Talebi A, Rezaei SA, Chai RR, Sahraei R. 2005. Comparative Studies on Haematological Values of Broiler Strains (Ross, Cobb, Arbor-acres and Arian). International J of Poultry Sci. 4(8):573579.

Triana E, Nurhidayat N. 2006. Darah berfungsi mendistribusikan nutrisi, oksigen serta zat-zat lain ke semua organ, sehingga memungkinkan organ tubuh melakukan fungsinya. Biodiversitas. 7(4):317321.

Wahyuni NY, Mayasari N, Abun. 2012. Pengaruh penggunaan ekstrak kulit jengkol (Pithecellobium jiringa (Jack) Prain) dalam ransum terhadap nilai hematologi ayam broiler. Student E-J. 1(1).

(28)

16

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Talu, Sumatera Barat pada tanggal 06 Juni 1991 anak ke-4 dari 7 bersaudara dari pasangan Darwin Sy. dan Mulyetti. Penulis menjalani pendidikannya di SMA Negeri 1 Talamau dan lulus pada tahun 2009. Setelah lulus SMA, penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada tanggal 01 Agustus 2009 melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri Nasional (SNMPTN).

Gambar

Gambar 3  Rataan kadar hemoglobin ayam (g%) umur 18, 23, dan 28 hari
Gambar 4   Rataan nilai hematokrit ayam (%) umur 18, 23, dan 28 hari yang

Referensi

Dokumen terkait

Hasil Penelitian menunjukan: (1) Implementasi programPKMS sebagai upaya pemenuhan hak konstitusioanal warga negara di bidang pelayanan kesehatan di Kota Surakarta

Berdasarkan analisis dan pengujian hipotesis didapatkan secara simultan besarnya pengaruh Retribusi Pasar dan Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan Daerah terhadap

Tim Perencana dan Pengawas menggunakan tenaga/ guru dari Sekolah Menengah Kejuruan yang membuka Program Studi Keahlian Teknik Bangunan, jika tidak ada maka dapat menggunakan

Berikut ini adalah masalah yang muncul di masyarakat yang multikultural sebagai akibat dari banyaknya jumlah suku bangsa, kecuali.. pertentangan dengan hukum

Mommy : Mommy, malu dad sama diri mommy, mommy kira selama ini dengan memberikan semua fasilitas dan kebutuhan materi untuk Raia yang tidak sempat mommy

Persamaan garis lurus adalah suatu fungsi yang apabila digambarkan ke dalam bidang Cartesius akan berbentuk garis lurus.. Gradien Garis

Uji hipotesis penerapan hasil penelitian identifikasi fungi dalam tape beras merah dalam pembelajaran biologi pada pokok bahasan fungi di kelas X SMA Al Islam

Itulah penghayatan alam saya dimana saya menghayati betapa sejuknya hawa Bandung di daerah dago atas ketika saya kecil.. Burung-burung juga tidak seramai dulu hinggap di