• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potential of Beef Cattle Development in Sijunjung District of West Sumatra Province

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Potential of Beef Cattle Development in Sijunjung District of West Sumatra Province"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

PONI HENDRA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Potensi Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Sijunjung Propinsi Sumatera Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2010

Poni Hendra

(3)

PONI HENDRA. Potential of Beef Cattle Development in Sijunjung District of West Sumatra Province. Under direction of ATANG SUTANDI, DWI PUTRO TEJO BASKORO and BAMBANG HENDRO TRISASONGKO.

Agricultural land in Sijunjung District that has not been optimally utilized could be used for the development of beef cattle farm. The development should conform land suitability as a reference to determine beef cattle development to achieve the government's target of meat self-sufficiency in 2010. This study aims to foresee the potential of land in Sijunjung District for development of beef cattle using a combined 2006 Landsat images, LREP maps and other supporting data through, financial analysis, and the desired rearing cattle the local community. The results indicate that the potential lands for the development were about 120,063 ha or 38.35% of the existing land area, which consists of mixed garden (100,359 ha), 3,247 ha of abandoned land, 11,027 ha of paddy fields and 5,428 ha of bush. Actualy, land carrying capacity is 55,518 Animal Unit, and the potential carrying capacity is 134,722 Animal Unit. The results of the NPV analysis for all farming schemes were positive, with B/C Ratio> 1, and the IRR> outweighed the applicable interest rate. Assessment using AHP showed that the caging system was preferable (0.650) than shepherd-based farming (0.350) with a value of inconsistency about 0.05.

(4)

RINGKASAN

PONI HENDRA. Potensi Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Sijunjung Propinsi Sumatera Barat. Dibimbing oleh ATANG SUTANDI, DWI PUTRO TEJO BASKORO dan BAMBANG HENDRO TRISASONGKO.

Upaya mewujudkan Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010 terhadap akselerasi peningkatan produksi pangan khususnya daging sapi untuk pencapaian swasembada tahun 2010 adalah dengan pemanfaatan lahan-lahan pertanian. Pemanfaatan lahan-lahan-lahan-lahan pertanian di luar Pulau Jawa merupakan salah satu tindakan yang penting. Salah satu langkah strategis untuk mencapai sasaran di atas adalah mengidentifikasi potensi lahan yang sesuai untuk pengembangan komoditas sapi potong.

Potensi untuk pengembangan usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Sijunjung cukup menjanjikan, hal ini didukung oleh beberapa kelebihan antara lain lahan usahatani yang luas, banyak lahan kosong yang belum termanfaatkan, adanya pasar ternak regional dan lebih dari 70 % masyarakat mempunyai usaha pokok di bidang pertanian yang menyumbang PDRB sebesar 26,73 % (Bappeda Kabupaten Sijunjung, 2007). Usaha perkebunan kelapa sawit dan karet serta memanfaatkan limbah pertanian tanaman pangan dapat diintegrasikan dengan usaha ternak sapi potong yaitu sebagai penyedia pakan ternak. Potensi luas lahan yang tersedia untuk pakan hijauan ternak (sekitar 69.464 Ha) dapat mencukupi untuk 139.292 ekor/ST (Satuan Ternak). Populasi ternak sapi di Kabupaten Sijunjung baru mencapai 16.205 ekor dan kerbau 18.460 ekor, dengan jumlah Rumah Tangga Peternak (RTP) sapi potong berjumlah 3.957 KK dan RTP kerbau berjumlah 2.797 KK, (DISNAKKAN 2008), sehingga diharapkan masih bisa menampung tambahan sekitar 104.627 ekor lagi

Penelitian ini bertujuan : (1) mengidentifikasi areal lahan yang sesuai untuk untuk pengembangan ternak sapi potong. (2) menghitung daya dukung dan indeks daya dukung lahan yang sesuai bagi usaha peternakan sapi potong (3) menganalisis skala usaha dan kelayakan finansial usaha ternak sapi potong. (4) menentukan arahan dan prioritas arahan kawasan penyebaran dan pengembangan sapi potong berdasarkan potensi sumber daya lahan dan sosial ekonomi.

Hasil klasifikasi dan interpretasi citra Landsat-TM7 tahun 2006, diperoleh delapan jenis penutupan/penggunaan lahan yaitu hutan, kebun campuran, sawah, pemukiman, semak, lahan terbuka serta pertambangan. Dari delapan jenis penggunaan lahan tersebut, lahan-lahan yang merupakan prioritas untuk pengembangan sapi potong adalah lahan-lahan yang berpotensi menghasilkan sumber hijauan makanan ternak dan banyak digunakan untuk lahan pertanian adalah kebun campuran (104.855 ha), sawah (11.108 ha), semak (5.980 ha) dan lahan terbuka (3.391 ha). Sedangkan penggunaan lahan berupa pemukiman, pertambangan dan sungai tidak di prioritaskan karena mempunyai sumber hijauan makanan ternak yang sedikit dan mayoritas hutan adalah hutan lindung yang sulit dikonversi menjadi lahan pertanian, maka penggunaan lahan-lahan tersebut tidak dinilai.

(5)

100.359 ha, pada lahan terbuka 3.247 ha, pada sawah 11.027 ha dan pada semak belukar seluas 5.428 ha. Sedangkan lahan yang tidak dinilai adalah seluas 187.746 ha atau 59,97 %.

Berdasarkan pengamatan lapangan dan data sekunder jenis tanaman hijauan makanan ternak yang dominan dan berpotensi untuk dikembangkan di Kabupaten Sijunjung, yaitu : rumput unggul seperti rumput gajah (Pennisetum purpereum), rumput alam, leguminosa dan padi sawah (jerami padi sawah), sehingga tanaman ini dijadikan pewakil untuk penilaian kesesuaian tanaman hijauan makanan ternak. Hasil analisis menunjukkan kesesuaian lahan aktual tanaman padi sawah adalah S3, S2 dan S1. Namun kesesuaian eksisting untuk padi pada lahan sawah hanya 950 ha pada kelas S1, 2109 ha kelas S2 dan 6.709 ha pada kelas S3. hanya terdapat pada kelas S3 dengan luas 99.276 ha (31,71%). Perhitungan pada kesesuaian lahan potensial kelas S2 dengan luas 63.759 ha (20,37 %) dan lahan kelas S3 dengan luas 49.802 ha (15,91 %.

Analisis NPV yang dilakukan pada sistem pemeliharaan dengan digembalakan, penggemukan skala kecil dan penggemukan skala sedang dengan tingkat suku bunga pinjaman 6 % secara berurutan adalah Rp. 29.288.600, Rp. 32.458.700 dan Rp. 70.226.500 nilai tersebut merupakan pendapatan bersih nilai saat kini yang diterima peternak selama delapan tahun, nilai B/C ratio adalah sebesar 1,67, 1,12 dan 1,12, artinya perbandingan penerimaan yang diterima peternak selama delapan tahun lebih besar dari biaya yang dikeluarkan untuk memperolehnya. Nilai IRR sebesar 27,94 %, 54,96 % dan 53,44 % artinya investasi yang ditanamkan pada usahaternak sapi potong pada sistem pemeliharaan digembalakan adalah layak dan menguntungkan karena tingkat pengembalian internalnya lebih besar dibandingkan tingkat dari tingkat suku bunga yang berlaku.

Hasil analisis pada tingkat suku bunga pinjaman 17 % memiliki nilai NPV sebesar Rp. 10.209.300 untuk pemeliharaan dikandangkan, Rp. 18.048.100 untuk penggemukan skala kecil, dan untuk penggemukan skala sedang Rp. 38.911.900, dengan nilai B/C ratio sebesar 1,28, 1,10 dan 1,10, sedangkan nilai IRR didapatkan sebesar 28,04 %, 53,66 % dan 51,82. Hasil ini menunjukkan bahwa investasi yang ditanamkan pada usahaternak sapi potong pada sistem pemeliharaan digembalakan, penggemukan skala kecil dan menengah adalah layak dan menguntungkan karena NPV nya bernilai positif, B/C Rationya lebih dari satu dan tingkat pengembalian internalnya lebih besar dibandingkan tingkat dari tingkat suku bunga yang berlaku.

(6)

61.454 ton/tahun sehingga dapat menampung ternak sejumlah 53.907 ST, dan sawah seluas 10.844 ha dengan total produksi BKC 12.686 ton/tahun yang dapat menampung ternak sejumlah 11.129 ST. 2). Pola Ekstensifikasi pada lahan semak seluas 4.516 ha dengan produksi BKC 46.980 ton/tahun yang dapat menampung ternak sejumlah 41.210 ST dan pada lahan terbuka dengan luas 2.978 ha dengan produksi BKC 32.463 ton/tahun sehingga dapat menampung ternak sejumlah 28.476 ST.

(7)

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tesis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor.

(8)

POTENSI PENGEMBANGAN SAPI POTONG

DI KABUPATEN SIJUNJUNG PROPINSI SUMATERA BARAT

PONI HENDRA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

NIM : A156080174

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Atang Sutandi, MSi Ketua

Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc Ir. Bambang Hendro Trisasongko, MSi, MSc

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

(10)
(11)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian dilaksanakan sejak bulan Juli 2009 sampai dengan Desember 2009 ini adalah Potensi Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Sijunjung Propinsi

Sumatera Barat.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Atang Sutandi, MS, Bapak Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Barkoro, MSc dan Bapak Ir. Bambang Hendro Trisasongko, MSi, MSc selaku pembimbing serta Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah yang telah memberikan pengarahan, bimbingan dan masukan kepada penulis. Bappenas atas bantuan pembiayaan selama masa perkuliahan. Tidak lupa dihaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Ir. Yulizar, MP selaku Kepala Dinas atas izin yang diberikan, serta rekan-rekan di Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Sijunjung atas bantuan datanya. Staf di lingkungan program studi perencanaan wilayah serta rekan-rekan PWL dan Departemen ITSL angkatan 2008 atas dukungan moril yang tidak ternilai selama ini. Bapak, ibu serta seluruh keluarga atas segala bantuan dan doanya. Semoga Allah SWT membalasnya dengan yang lebih baik.

Akhirnya, semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan semua civitas akademik dan pemerintah, sehingga mampu memperkaya khasanah keilmuan bidang perencanaan wilayah di masa mendatang.

Bogor, April 2010

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kumanis Kabupaten Sijunjung pada tanggal 19 September 1981 dari pasangan Bapak By. Syahruddin Dt. Rangkayo Bungsu dan Ibu Nursima, A.Ma Pd. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara.

Tahun 1999 penulis menyelesaikan Pendidikan pada SMA Negeri 1 Sijunjung dan tahun yang sama lulus seleksi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) Universitas Andalas. Penulis memilih Jurusan Produksi Ternak pada Fakultas Peternakan UNAND di Padang dan lulus tahun 2004. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2008 dan diterima pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah melalui beasiswa pendidikan dari Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencanaan (Pusbindiklatren) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).

(13)

DAFTAR ISI

1.2. Kerangka Pemikiran / Perumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 3

1.4. Batasan Penelitian ... 4

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. Kawasan Penyebaran dan Pengembangan Ternak ... 6

2.2. Ternak Sapi Potong ... 7

2.3. Hijauan Makanan Ternak Sapi Potong ... 8

2.4. Daya Dukung Lahan ... 8

2.5. Konsep Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis ... 10

2.6. Hasil-hasil Penelitian Terdahulu ... 11

3. METODE PENELITIAN ... 14

3.1. Lokasi Penelitian ... 14

3.2. Data………... ... .. ... 14

3.3. Metode Analisis dan Pengolahan Data ... 16

3.3.1. Identifikasi Penggunaan Lahan ... 16

3.3.2. Analisis Kesesuaian Lahan ... 17

3.3.3. Identifikasi Tingkat Ketersedian Hijauan Makanan Ternak .. 18

3.3.4. Analisis Finansial ... 21

3.3.5. Arahan Pengembangan Sapi Potong ... 23

3.3.6. Analitic Hierarchy Process ... 24

4. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN ... 28

4.2.2. Litilogi, Geologi dan Jenis Tanah ... 31

4.2.3. Klimatologi ... 32

4.2.4. Penduduk .. ... 33

4.2.5. Kondisi Umum Peternakan ... 35

(14)

5. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

5.1. Penutupan dan Penggunaan Lahan ... 38

5.2. Kesesuaian Lingkungan Ekologis Sapi Potong... 41

5.3. Kesesuaian Lahan Tanaman Hijauan Makanan Ternak ... 42

5.3.1. Kesesuaian Lahan Tanaman Rumput Gajah ... 44

5.3.2. Kesesuaian Lahan Rumput Lapangan ... 45

5.3.3. Kesesuaian Lahan Padang Pengembalaan ... 48

5.3.4. Kesuaian Lahan Tanaman Leguminosa ... 54

5.3.5. Kesuaian Lahan Tanaman Padi Sawah (Oryza sativa) ... 57

5.4. Ketersedian Hijauan Makanan Ternak ... 61

5.5. Analisis Finansial Usaha Sapi Potong ... 63

5.5.1. Ketersedian Modal ... 64

5.5.2. Proyeksi Aliran Kas ... 65

5.5.3. Arus Penerimaan Sapi Potong ... 66

5.5.4. Arus Biaya Usaha Ternak Sapi Potong ... 66

5.5.5. Arus Pendapatan ... 66

5.5.6. Penilaian Kriteria Kelayakan Finansial ... 67

5.6. Arahan Pengembangan Sapi Potong ... 69

5.6.1. Arahan Lahan Pengembangan Sapi Potong ... 69

5.6.2. Arahan Sistem Pemeliharaan Ternak ... 72

6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 76

6.1. Kesimpulan... 76

6.2. Saran... ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 77

LAMPIRAN ... 81

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Jenis data sekunder yang dipakai... 14

2 Jenis peta yang digunakan... 16

3 Kriteria penilaian lingkungan ekologis ternak sapi dikandangkan... 17

4 Kriteria penilaian lingkungan ekologis ternak sapi gembala... 18

5 Kriteria status daya dukung hijauan makanan ternak berdasarkan indeks daya dukung... 19

6 Karakterisasi pakan dari hijauan makanan ternak... 20

7 Karakterisasi potensi pakan hijauan dari setiap penggunaan lahan... 20

8 Nilai satuan ternak (ST) ruminansia utama di Kabupaten Sijunjung tahun 2008... 21

9 Matriks tujuan, analisis, peubah, data dan keluaran penelitian... 27

10 Kemiringan lereng Kabupaten Sijunjung... 28

11 Luas lahan Kabupaten Sijunjung menurut penggunaannya tahun 2008... 30

12 Curah hujan di Kabupaten Sijunjung... 33

13 Luas wilayah kecamatan, jumlah nagari, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk di Kabupaten Sijunjung... 34

14 Penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan usaha dan jenis kelamin tahun 2008... 34

15 Populasi ternak ruminansia menurut kecamatan di Kabupaten Sijunjung... 36

16 Jenis penggunaan lahan di Kabupaten Sijunjung tahun 2006 berdasarkan interpretasi citra Landsat ... 38

17 Kesesuaian lingkungan ekologis sapi potong... 42

18 Kesesuaian lahan tanaman rumput gajah ...…... 44

19 Kesesuaian lahan rumput lapangan... 48

20 Kesesuaian lahan padang pengembalaan... 51

21 Kesesuaian lahan tanaman leguminosa... 54

22 Kesesuaian lahan tanaman padi sawah (Oriza sativa)... 57

23 Produksi hijauan makan ternak per penggunaan lahan yang dinilai... 61

24 Status daya dukung hijauan makanan ternak pada kesesuaian lahan aktual pada tahun 2008... 62

25 Status daya dukung hijauan makanan ternak pada kesesuaian lahan potensial pada tahun 2008... 63

(16)

27 Hasil analisis finansial pada tingkat suku bunga 6 %... 67 28 Hasil analisis finansial pada tingkat suku bunga 12%...…... 68 29 Arahan lahan pengembangan sapi potong berdasarkan indeks daya

dukung... 72 30 Matrik nilai AHP masing-masing stakeholders...…... 74

(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Diagram alir kerangka pemikiran... 5

2 Peta lokasi penelitan Kabupaten Sijunjung... 15

3 Diagram alir penelitian... 26

4 Sebagian bentangan lahan di Kabupaten Sijunjung yang menyebabkan keterbatasan pemanfaatan peternakan secara optimal... 29

5 Suasana pasar ternak Palangki di Kecamatan IV Nagari... 37

6 Peta penggunaan lahan Kabupaten Sijunjung tahun 2006... 39

7 Luasan lahan yang berpotensi untuk pengembangan ternak per kecamatan di Kabupaten Sijunjung... 40

8 Peta kesesuaian lingkungan ekologis sapi kandang dan gembala di Kabupaten Sijunjung... 43

9 Peta kesesuaian lahan aktual rumput gajah... 46

10 Peta kesesuaian lahan potensial rumput gajah... 47

11 Peta kesesuaian lahan aktual rumput lapangan... 49

12 Peta kesesuaian lahan potensial rumput lapangan... 50

13 Peta kesesuaian lahan aktual padang pengembalaan... 52

14 Peta kesesuaian lahan potensial padang pengembalaan... 53

15 Peta kesesuaian lahan aktual leguminosa... 55

16 Peta kesesuaian lahan potensial leguminosa... 56

17 Peta kesesuaian lahan aktual tanaman padi sawah... 59

18 Peta kesesuaian lahan potensial tanaman padi sawah... 60

19 Peta arahan lahan pengembangan sapi potong... 71

20 Hasil penilaian hirarki dari AHP... 73

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Peta lereng Kabupaten Sijunjung... ... 81

2 Peta curah hujan Kabupaten Sijunjung... 82

3 Peta bulan kering Kabupaten Sijunjung... 83

4 Foto pemeliharaan ternak sapi di Kabupaten Sijunjung... 84

5 Kriteria kesesuaian lahan untuk Rumput Gajah (Pennisetum purpureum).... 85

6 Kriteria kesesuaian lahan untuk kelompok leguminosa... 86

7 Kriteria kesesuaian lahan untuk Rumput Lapangan... 87

8 Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman Padi Sawah (Oryza sativa)... 88

9 Kriteria kesesuaian lahan untuk Padang Pengembalaan... 89

10 Analisis usaha ternak gembala pada bunga 6 %... 90

11 Analisis usaha ternak gembala pada bunga 12 %... 91

12 Analisis usaha ternak dikandangkan skala kecil pada bunga 6 %... 92

13 Analisis usaha ternak dikandangkan skala kecil pada bunga 12 %... 93

14 Analisis usaha ternak dikandangkan skala sedang pada bunga 6 %... 94

15 Analisis usaha ternak dikandangkan skala sedang pada bunga 12 %... 95

(19)

1.1. Latar Belakang

Upaya mewujudkan Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010 terhadap akselerasi peningkatan produksi pangan khususnya daging sapi untuk pencapaian swasembada tahun 2010 adalah dengan pemanfaatan lahan-lahan pertanian. Pemanfaatan lahan-lahan-lahan-lahan pertanian di luar Pulau Jawa merupakan salah satu tindakan yang penting. Salah satu langkah strategis untuk mencapai sasaran di atas adalah mengidentIfikasi potensi lahan yang sesuai untuk pengembangan komoditas sapi potong.

Gambaran neraca kebutuhan daging sapi di Indonesia pada tahun 2008 defisit sekitar 30 % dari kebutuhan nasional (sekitar 112,9 ribu ton atau setara dengan 912 ribu ekor sapi hidup), merupakan salah satu indikator yang menunjukkan bahwa prospek industri ternak sapi di Indonesia cukup menjanjikan. Pernyataan tersebut cukup beralasan mengingat angka konsumsi per kapita yang digunakan masih relatif rendah (di bawah 2 kg/kapita/tahun). Jika dalam 10 tahun mendatang rata-rata konsumsi daging sapi dapat ditingkatkan mencapai 3 kg/kapita/tahun, maka kebutuhan ternak sapi potong akan akan lebih tinggi.

(20)

2

Sistem integrasi tanaman ternak telah menjadi salah satu alternatif dalam penyediaan pakan bagi ternak dengan menciptakan suatu simbiosis mutualisme dan sistem ini dianggap sesuai dengan kondisi pertanian Indonesia (Davendra et

al, 2001). Kabupaten Sijunjung di Propinsi Sumatera Barat memiliki potensi lahan

pertanian dan perkebunan yang luas, dirasa cocok untuk mengembangkan usaha sapi potong. Usaha tersebut sangat diperlukan dalam rangka mengantisipasi dampak krisis global yang terjadi pada saat ini, dimana masyarakat pedesaan yang selama ini bergerak di sektor perkebunan sudah merasakan krisis tersebut. Sektor industri dan komoditas perkebunan untuk ekspor seperti karet dan kelapa sawit yang selama ini menjadi basis perekonomian masyarakat di Kabupaten Sijunjung mengalami kemunduran akibat jatuhnya harga komoditas tersebut karena permintaan dari negara-negara importir mulai berkurang, sedangkan usaha sapi potong/harga daging cenderung stabil dan malah mengalami peningkatan. Oleh karena itu dimasa otonomi daerah ini, pemerintah daerah dituntut untuk aktif dan bergerak cepat dalam menjaga stabilitas perekonomian masyarakat daerahnya.

(21)

1.2. Kerangka Pemikiran / Perumusan Masalah

Dilihat dari potensi wilayahnya, Kabupaten Sijunjung dengan bentuk wilayah yang berbukit dan bergelombang, tanah yang kurang subur sehingga kurang cocok untuk usaha pertanian intensif. Lahan-lahan marginal tersebut dapat dijadikan untuk usaha sektor perkebunan dan peternakan terutama ternak sapi sehingga dapat menjadi salah satu sektor unggulan bagi daerah.

Rumput alam, maupun tamanan bawah lainnya yang berada di perkebunan kelapa sawit dan karet serta pemanfaatan limbah pertanian tanaman pangan dapat digunakan sebagai sumber hijauan dalam pengembangan sapi potong. Potensi luas lahan yang tersedia untuk pakan hijauan ternak (sekitar 69.464 Ha) dapat mencukupi untuk 139.292 ekor/ST (satuan ternak). Populasi ternak sapi di Kabupaten Sijunjung baru mencapai 16.205 ekor dan kerbau 18.460 ekor, diharapkan masih bisa menampung tambahan sekitar 104.627 ekor lagi. Rumah Tangga Peternak (RTP) sapi potong berjumlah 3.957 KK (kepala keluarga) dan RTP kerbau berjumlah 2.797 KK (Dinas Peternakan dan Perikanan 2008).

Dilihat dari uraian di atas terdapat tantangan dan peluang untuk pengembangan ternak sapi potong di Kabupaten Sijunjung yang perlu dikaji analisis kesesuaian lahan baik secara biofisik, ekonomi dan sosial budaya serta arahan pengembangannya. Inventarisasi potensi sumberdaya lahan dapat dijadikan sebagai salah satu dasar utama dalam menyusun perencanaan wilayah.

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan kepentingan yang dijelaskan sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengidentifikasi areal lahan yang sesuai untuk untuk pengembangan ternak sapi potong.

2. Menghitung daya dukung dan indeks daya dukung lahan yang sesuai bagi usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Sijunjung

3. Menganalisis skala usaha dan kelayakan finansial usaha ternak sapi potong.

(22)

4

Hasil penelitian ini nantinya dapat bermanfaat antara lain :

1. Memberikan masukan kepada pemerintah daerah Kabupaten Sijunjung khususnya Dinas Peternakan dan Perikanan sebagai bahan pertimbangan untuk pengembangan usaha sapi potong.

2. Sebagai bahan pertimbangan bagi masyarakat pelaku usaha serta investor yang bergerak di sektor usaha ternak sapi potong/usahatani/perkebunan dalam berinvestasi sehingga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani peternak.

3. Memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tentang lahan-lahan potensial sebagai dasar penataan kawasan pengembangan peternakan sapi potong di Kabupaten Sijunjung.

1.4. Batasan Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat beberapa batasan yang menyebabkan hasil dari penelitian ini kurang optimal, antara lain karena :

1. Peta satuan tanah yang digunakan terbatas pada informasi dari peta satuan lahan dan tanah skala tingkat tinjau yang dikeluarkan Puslitanak (1990). 2. Tampilan citra terbaru terdapat banyak awan sehingga dalam penelitian ini

dipakai citra Landsat tahun 2006.

3. Evaluasi lahan yang dilaksanakan lebih bersifat kualitatif sehingga hanya memadai untuk arahan pengembangan pada tingkat awal. Perhitungan produksi bahan kering hijauan makanan ternak untuk setiap kelas kesesuaian lahan didasarkan pada asumsi hasil penelitian di tempat lain (data sekunder).

(23)

Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran.

Ketersedian HMT : - Daya Dukung - Indeks Daya Dukung Evaluasi Lahan

Potensi Lahan untuk Peningkatan Usaha Sapi Potong Peningkatan Usaha Sapi Potong

Kesesuaian Lingkungan Ekologis untuk Sapi Potong

Kesesuain Lahan Untuk Hijauan Makanan Ternak

(HMT)

Analisis Spasial (SIG)

Lahan-lahan Potensi untuk Pengembangan Sapi Potong

Arahan Pengembangan Usaha Sapi Potong

Karakteristik Sosial Budaya Masyarakat Kelayakan Finansial Pengelolaan dan Pemanfaatan Potensi Daerah Dalam

Meningkatkan Perekonomian Daerah

(24)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kawasan Penyebaran dan Pengembangan Ternak

Penataan ruang untuk suatu penggunaan tertentu tidak hanya diperlukan bagi pemanfaatan oleh manusia saja, tetapi usaha-usaha yang berkaitan dengan manusia yang menggunakan potensi ruang juga perlu ditata, agar terjadi keseimbangan dan keharmonisan. Apalagi kegiatan-kegiatan tersebut juga melibatkan makluk hidup yang jelas sangat tergantung dengan keberadaan ruang sebagai lingkungan hidupnya, seperti halnya dengan kegiatan peternakan yang perlu penyebaran dan pengembangannya.

Menurut Tarigan (2005), kawasan budidaya adalah kawasan dimana manusia dapat melakukan kegiatan dan dapat memanfaatkan lahan, baik sebagai tempat tinggal atau beraktifitas untuk memperoleh pendapatan/kemakmuran. Kawasan peternakan merupakan salah satu bentuk dari penggunaan kawasan budidaya dalam struktur ruang suatu wilayah, yang dapat berupa kawasan budidaya yang diatur atau kawasan budidaya yang diarahkan. Kawasan budidaya yang diatur adalah tempat manusia beraktifitas dengan batasan-batasan tertentu. Batasan itu dapat berupa jenis kegiatan, volume, ukuran, tempat, atau metode pengelolaannya. Berbeda dengan kawasan yang diatur, cara pemanfaatan lahan yang diarahkan tidak dinyatakan dengan tegas, bahkan pengarahannya sering dilakukan secara sektoral.

Menurut Setyono (1995), konsep tata ruang dalam suatu usaha peternakan adalah konsep pengelompokan aktivitas usaha ternak dalam ruang, sehingga setiap wilayah memiliki pusat-pusat usaha ternak yang didukung oleh daerah-daerah sekitarnya. Pengelompokan aktivitas usaha peternakan ini diharapkan dapat menimbulkan keuntungan-keuntungan sebagai berikut :

1. Memaksimalkan keuntungan usaha karena kegiatan pra produksi dan proses produksi berada dalam satu lokasi kawasan.

2. Memaksimumkan pelayanan, dimana fasilitas pelayanan yang dibangun akan lebih berdayaguna dan berhasil guna terutama dalam menekan biaya transportasi.

(25)

4. Memudahkan pemasaran hasil-hasil secara lebih terorganisir, sehingga posisi tawar menawar (bargaining power) lebih kuat.

Pengelompokan aktivitas peternakan dalam suatu wilayah yang didukung oleh wilayah sekitarnya dan partisipasi masyarakat dinamakan Kawasan Peternakan. Secara umum Kawasan Peternakan memiliki ciri-ciri umum sebagai berikut : lokasinya sesuai dengan agro ekosistem dan alokasi tata ruang wilayah, dibangun dan dikembangkan oleh masyarakat dalam atau sekitar kawasan tersebut, berbasis komoditas ternak unggulan dan atau komoditas ternak strategis, adanya pengembangan kelompok tani menjadi kelompok pengusaha, sebagian besar pendapatan masyarakat berasal dari usaha agribisnis peternakan, memiliki prospek pasar yang jelas, didukung oleh ketersediaan teknologi yang memadai, memiliki peluang pengembangan atau diversifikasi produk yang tinggi, didukung oleh kelembagaan yang berakses ke hulu dan ke hilir (Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal 2004).

2.2. Ternak Sapi Potong

Ternak sapi khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber daya penghasil bahan makanan sumber protein hewani yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan penting artinya dalam kehidupan masyarakat. Seekor atau sekelompok ternak sapi dapat menghasilkan berbagai macam kebutuhan terutama sebagai bahan makanan berupa daging, disamping hasil ikutan lainnya seperti pupuk kandang, kulit tulang dan lainnya (Sugeng 1998).

Riady (2004) menambahkan bahwa pada tahun 2003, populasi sapi potong di Indonesia sekitar 11.395.688 ekor, dengan tingkat pertumbuhan populasi sekitar 1,08 %, idealnya pertumbuhan minimal populasi sapi potong 15,27 % untuk memenuhi kebutuhan domestik. Dari populasi sapi tersebut 45-50 % adalah sapi asli Indonesia yang berpotensi untuk dikembangkan, sapi Bali termasuk jenis sapi terbanyak, diikuti sapi Madura, dan sisanya terdiri sapi Ongole, Peranakan Ongole (PO), Brahman Cross, dan persilangan sapi lokal dengan sapi impor (Simental, Limosusin, Hereford, dan lain-lain).

(26)

8

hampir sepanjang hari berada dalam kandang dan diberikan pakan sebanyak dan sebaik mungkin sehingga cepat gemuk, sedangkan secara ekstensif sapi-sapi tersebut dilepaskan di padang pengembalaan dan digembalakan sepanjang hari mulai dari pagi hari sampai sore hari.

Mengingat kondisi Indonesia yang merupakan negara agraris maka sektor pertanian tidak terlepas dari berbagai sektor yang lainnya yaitu sub sektor peternakan. Faktor pertanian dan penyebaran penduduk di Indonesia ini menentukan penyebaran usaha ternak sapi. Masyarakat peternak bermata pencaharian bertani tidak bisa lepas dari usaha ternak sapi, baik untuk tenaga, pupuk dan sebagainya sehingga kalau pertanian maju berarti menunjang produksi pakan ternak berupa hijauan, hasil ikutan pertanian berupa biji-bijian atau pakan penguat (Sugeng 1998).

2.3. Hijauan Makanan Ternak Sapi Potong

Hijauan Makanan ternak (HMT) merupakan semua bahan yang berasal dari tanaman dalam bentuk daun-daunan. Kelompok hijauan makanan ternak meliputi rumput (graminae), leguminosa, dan hijauan dari tumbuh-tumbuhan lain seperti daun nangka, daun waru dan lain-lain. Hijauan sebagai bahan makanan ternak dapat diberikan dalam dua macam bentuk, yaitu hijauan segar dan hijauan kering. Hijauan segar berasal dari tanaman yang masih segar seperti rumput segar, leguminosa segar dan silase, sedangkan hijauan kering berasal dari hijauan yang sengaja dikeringkan (hay) ataupun jerami kering. Sebagai bahan makanan ternak, hijauan memegang peranan penting karena hijauan mengandung hampir semua zat yang diperlukan hewan. Khususnya Indonesia, bahan hijauan memegang peranan istimewa karena diberikan dalam jumlah besar. Ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing dan domba yang diberi hijauan sebagai bahan tunggal, masih dapat mempertahankan hidupnya dan mampu tumbuh baik dan berkembang biak (AAK 1983).

2.4. Daya Dukung Lahan

(27)

mendefinisikan lahan sebagai suatu wilayah di permukaan bumi, mencakup semua komponen biosfer yang dapat bersifat siklik yang berbeda di atas dan di bawah wilayah tersebut termasuk atmosfir serta segala akibat yang ditimbulkan oleh manusia di masa lalu dan sekarang yang semuanya berpengaruh terhadap penggunaan lahan oleh manusia pada saat sekarang dan di masa yang akan datang. Kemampuan lahan (land capability) dan kesesuaian lahan (land suitability), merupakan dua istilah yang berbeda. Kesesuaian lahan merupakan kecocokan (adaptability) suatu lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini atau setelah diadakan perbaikan (improvement). Kesesuaian lahan ditinjau dari sifat-sifat fisik lingkungannya, terdiri dari iklim, tanah, topografi, hidrologi dan atau drainase sesuai untuk status usaha tani atau komoditas tertentu yang produktif (Djaenudin et al. 2003). Kemampuan lahan diartikan sebagai kapasitas suatu lahan untuk berproduksi. Jadi semakin banyak jenis tanaman yang dapat dikembangkan atau diusahakan di suatu wilayah maka kemampuan lahan tersebut semakin tinggi, sedangkan kesesuaian lahan adalah kecocokan dari sebidang lahan untuk tipe penggunaan tertentu (land

utilization type) sehingga dalam penggunaan lahan, aspek manajemen juga harus

dipertimbangkan.

(28)

10

Menurut Soemarwoto (1983), daya dukung menunjukkan besarnya kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan hewan, yang dinyatakan dalam jumlah ekor per satuan jumlah lahan. Jumlah hewan yang dapat di dukung kehidupannya itu tergantung pada biomas (bahan organik tumbuhan) yang tersedia untuk hewan. Daya dukung ditentukan oleh banyaknya bahan organik tumbuhan yang terbentuk dalam proses fotosintesis per satuan luas dan waktu, yang disebut produktivitas primer.

Salah satu faktor yang diperlukan untuk menganalisis kapasitas tampung ternak ruminansia di suatu wilayah adalah dengan menghitung potensi hijauan pakan. Hijauan pakan untuk ternak ruminansia terdiri dari rerumputan, dedaunan dan limbah pertanian. Estimasi potensi hijauan pakan pada masing-masing wilayah dipengaruhi oleh keragaman agroklimat, jenis dan topografi tanah dan tradisi budidaya pertanian (Ma’sum 1999).

2.5. Konsep Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG)

Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand and Kiefer 1990). Alat yang digunakan adalah alat pengindera atau sensor yang berupa pesawat terbang, satelit, pesawat ulang-alik atau wahana lain. Kegiatan penginderaan jauh terbagi menjadi dua kegiatan utama, yaitu pengumpulan data dan analisis data. Dengan demikian pembicaraan penginderaan jauh tidak dapat lepas dari perangkat pengumpulan data dan metodologi analisis data agar menghasilkan informasi yang bermanfaat. Pengumpulan data dari jarak jauh dapat dilakukan dengan berbagai bentuk, termasuk variasi agihan daya, agihan gelombang bunyi atau agihan energi elektromagnetik. Citra Landsat adalah salah satu contoh bentuk data hasil perekaman penginderaan jauh dalam bentuk agihan energi elektromagnetik. Citra Landsat telah banyak digunakan untuk mengetahui kondisi sumberdaya alam di muka bumi, khususnya untuk melihat tutupan lahan dan jenis penggunaan lahan.

(29)

yang bermanfaat bila seseorang memahami asal-usulnya, mengerti bagaimana menginterpretasinya dan memahami bagaimana cara menggunakannya secara tepat (Lillesand and Kiefer 1990). Karakteristik utama dari metode penginderaan jauh yang digunakan untuk pemetaan penggunaan lahan adalah tingkat otomatisasi dan objektivitas yang tinggi, serta dimungkinkan untuk dilakukan perbaikan-perbaikan. Informasi dari citra Landsat dan data vektor dipadukan dan dianalisis dengan Sistem Informasi Geografi (SIG) (Tapiador dan Casanova 2003).

Pemanfaatan SIG bertujuan untuk memecahkan berbagai persoalan yang dibutuhkan dalam pengelolaan data yang berbasis geografi. SIG mampu mengintegrasikan rangkaian data yang bervariasi mulai dari data atribut seperti data lapangan, data spasial maupun data penginderaan jauh, sebagai salah satu sumber data yang sangat bermanfaat dalam SIG. Hubungan antara SIG dengan penginderaan jauh (inderaja) dapat dikatakan sangat erat. Meskipun demikian, baik inderaja maupun SIG keduanya dapat bekerja secara terpisah, dimana masing-masing menghasilkan informasi yang penting dan relevan untuk kepentingan sumberdaya alam. Apabila kedua teknologi ini dipadukan, informasi yang diperoleh akan lebih baik daripada dioperasikan secara terpisah.

Menurut Ma’sum (1999), melalui pemanfaatan interpretasi data satelit dengan menggunakan perangkat keras dan lunak serta didukung dengan peta topografi, peta tematis serta data statistik pertanian, dapat dianalisis potensi hijauan pakan ternak di suatu wilayah lebih cepat dan cukup akurat. Berdasarkan data ketersedian hijauan pakan ternak di suatu wilayah, dibagi dengan kebutuhan per ekor ternak akan didapatkan kapasitas tampung.

2.6. Hasil-hasil Penelitian Terdahulu.

Daya dukung suatu wilayah dengan penekanan pada kemampuan menyokong dan menampung, didefinisikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan keluaran yang diinginkan dari sumberdaya dasar untuk mencapai kualitas hidup yang lebih tinggi dan lebih wajar (Khana et al 1999)

(30)

12

penelitian Wirdahayati dan Bamualim (2007) menunjukan bahwa penampilan sapi lokal di Kabupaten Pesisir Selatan Propinsi Sumatera Barat yang dipelihara bebas di tempat pengembalaan umum relatif kecil-kecil sebagai akibat rendahnya pertumbuhan ternak, sehubungan dengan rendahnya kapasitas dan dukungan pakan yang disediakan dari padang pengembalaan umum. Efisiensi penggunaan lahan, penanaman tanaman kacang-kacangan (sejenis legum), pengembangan agroforestri dan penghijauan adalah beberapa tindakan yang dapat meningkatkan daya dukung lahan, terutama terhadap lahan-lahan milik perorangan yang telah dibajak kemudian ditelantarkan, dan penggunaan yang tidak efektif lainnya (Thapa dan Paudel 2000).

Melalui pendekatan perpaduan kondisi agroklimat dan penggunaan lahan serta produktivitas tanaman pangan dan hijauan yang ada, maka kesesuaian lahan dan arah pengembangan lahan bagi ternak ruminansia dapat ditentukan. Informasi daya dukung pakan hijauan yang disajikan dengan nilai Indeks Daya Dukung (IDD) adalah memperlihatkan status masing-masing daerah terhadap kemampuan penambahan populasi untuk ruminansia saat ini. Arahan kesesuaian ekologis lahan dapat direkomendasikan pada dua pola. Pertama adalah pola diversifikasi spasial, yaitu pengembangan pada lahan-lahan yang telah mempunyai peruntukan, antara lain untuk tanaman pangan dan perkebunan dalam bentuk pola keterpaduan. Kedua, pola ekstensifikasi spasial, adalah pengembangan pada lahan kehutanan dan alang-alang. Dari hasil penelitian, rekomendasi arahan pengembangan lahan untuk ternak ruminansia di Propinsi Nusa Tenggara Timur adalah ; a) Pola diversifikasi untuk kelompok ternak sapi potong banyak terdapat di lahan tegalan, sawah dan perkebunan, b) Pola ekstensifikasi banyak terdapat di lahan hutan dan alang-alang. Dilihat dari potensi daya dukung hijauan pakan di wilayah NTT pada umumnya masih melimpah dan masih mampu menambah ternak ruminansia sebanyak 2.395.384 ST dari populasi saat ini sebanyak 471.971 ST (Sumanto dan Juarini 2004)

(31)
(32)

3.

METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dam Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Sijunjung Propinsi Sumatera Barat yang terdiri dari 8 Kecamatan. Secara geografis Kabupaten Sijunjung berada pada posisi antara 0o18’43’’ - 1o 41’ 46” LS dan 101o30’52’’ – 100o 37’ 40” BT, (tersaji pada Gambar 2) dengan batas-batas sebagai berikut :

- Sebelah Utara : Kabupaten Tanah Datar dan Kotamadya Sawahlunto. - Sebelah Timur : Propinsi Riau

- Sebelah Selatan : Kabupaten Dhamasraya - Sebelah Barat : Kabupaten Solok

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Desember 2009, meliputi tahap : persiapan, pengumpulan data, pengecekan lapangan dan analisis.

3.2. Data

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data hasil peninjauan lapangan berupa data hasil wawancara tentang input dan output usaha ternak, data hasil wawancara dengan

stakeholders tentang bagaimana persepsi yang menggambarkan keinginan

masyarakat dalam pengembangan peternakan. Sedangkan data sekunder terdiri dari :

Tabel 1 Jenis data sekunder

No Jenis data Tahun Bentuk

2005 Tabular Dinas Peternakan Kabupaten Sijunjung

2. Statistik Peternakan 2008 Tabular Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Sijunjung

3. Data karakteristik dan kesesuaian lingkungan ekologis sapi potong dan HMT

1998 Tabular Puslitbangtanak Bogor

4. Sijunjung Dalam Angka

Data PDRB 2008

Tabular Bappeda Kabupaten Sijunjung

(33)
(34)

16

Tabel 2 Jenis peta yang di digunakan

No Jenis peta Skala Tahun Bentuk Sumber

1. Peta RBI Kabupaten Sijunjung 1 : 50.000 2008 Digital Bappeda Sijunjung

2. Citra Landsat 2006

Digital Biotrop Training dan Information Center (BTIC), Bogor

3. Peta Kontur Interval

25 meter - Digital Bapedda Sijunjung

4. Peta LREP I lembar Solok(0815) 1: 250.000 1990 Digital Puslitbangtanak Bogor

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain seperangkat komputer dengan piranti lunak utama Arc GIS Versi 9.2. Erdas Imagine 9.0; dan program pendukung lain yaitu : Expert Choice 2000, Microsoft Excel dan Microsoft Word serta GPS (Global Positioning System). Piranti lunak Microsoft Excel dan

Microsoft Word dipakai untuk penulisan dan pengolahan data sekunder yang

berupa angka dan gambar, Arc GIS 9.2 digunakan untuk analisis spasial menggunakan analisis SIG dengan melakukan tumpang tindih berbagai peta, sedangkan piranti lunak Erdas Imagine 9.0 digunakan untuk melakukan interpretasi citra Landsat.

3.3. Analisis data

3.3.1. Identifikasi penggunaan lahan

Analisis diawali dengan melakukan penggabungan tiga data citra (pembuatan mosaik) dan koreksi geometri dari citra Landsat dengan path/row 126/060, 127/060 dan 127/061 menggunakan pendekatan tetangga terdekat (nearest neighbour) serta penajaman citra guna memudahkan proses klasifikasi. Proses klasifikasi diharapkan memiliki tingkat akurasi >85%, bila kurang dari angka tersebut harus dilakukan pengulangan dalam pengambilan contoh.

Selanjutnya dilakukan klasifikasi dengan metode klasifikasi terbimbing (supervised classification). Pendekatan yang digunakan adalah Maximum

Likelihood Classification (MLC) sehingga dihasilkan peta penutupan/penggunaan

(35)

3.3.2. Analisis Kesesuaian Lahan

Analisis kesesuaian lingkungan ekologis sapi potong dan kesesuaian lahan Hijauan Makanan Ternak (HMT) menggunakan kriteria FAO dalam Framework

of Land Evaluation (FAO 1976). Kelas kesesuaian lahan dibagi menjadi empat

kelas, yaitu : S1 (sangat sesuai), S2 (cukup sesuai), S3 (sesuai marginal) dan N (tidak sesuai), sedangkan untuk kesesuaian lingkungan ekologis sapi potong dibagi dalam dua kelas yaitu S (sesuai) dan N (tidak sesuai).

Analisis diawali dengan melakukan tumpang tindih dan

kompilasi/pemaduan peta LREP I (0815) Sumatera lembar Solok, peta lereng (diturunkan dari peta kontur) dan peta administrasi menggunakan program Arc

GIS. Tujuan dari tahapan ini adalah untuk membuat satuan lahan homogen.

Kemudian pemaduan data/informasi penunjang geofisik lahan, yang akan diperoleh informasi kualitas lahan. Selanjutnya dilakukan analisis kesesuaian ekologis sapi potong dan lahan HMT, yaitu dengan mencocokan (matching) antara kualitas lahan dengan kriteria kebutuhan ekologis sapi potong dan kesesuaian lahan HMT sapi potong, sehingga dihasilkan peta kesesuaian lahan untuk lingkungan ekologis sapi potong dan kesesuaian HMT di Kabupaten Sijunjung.

Tabel 3 Kriteria penilaian lingkungan ekologis ternak sapi dikandangkan

Karakteristik Kesesuaian Lingkungan Sapi Dikandangkan Sesuai (S) Tidak Sesuai (N)

Keberadaan Sumber Air* Ada Tidak Ada

Kualitas Air (q)

* Sumber air bersifat alternatif THI = T-0,55(1-RH/100)(T-58)

(36)

18

Tabel 4 Kriteria penilaian lingkungan ekologis ternak sapi gembala

Karakteristik Kesesuaian Lingkungan Sapi Gembala Sesuai (S) Tidak Sesuai (N)

Rejim Temperatur (t)

Suhu rata-rata (°C) 18-37 <18,>37

Kelembaban (%) 60-90 <60,>90

Ketersediaan Air

Bulan kering (<100 mm) ≤ 8 > 8

Curah Hujan/Tahun (mm) 750-4000 <750,>4000

Keberadaan Sumber Air* Ada Tidak Ada

Kualitas Air (q)

* Modifikasi dari kriteria tidak sesuai

3.3.3. Identifikasi Tingkat Ketersediaan Hijauan Makanan Ternak

Identifikasi tingkat ketersediaan Hijauan Makanan Ternak (HMT) dapat ditentukan dengan menghitung Daya Dukung (DD) dan Indeks Daya Dukung dari lahan yang ada. Perhitungan dilakukan untuk keadaan kesesuaian lahan aktual dan potensial. Daya dukung hijauan makanan ternak adalah kemampuan suatu wilayah untuk menghasilkan pakan terutama berupa hijauan yang dapat menampung bagi kebutuhan sejumlah populasi sapi potong dalam bentuk segar maupun kering, tanpa melalui pengolahan dan diasumsikan penggunaan hanya untuk sapi potong. Daya dukung hijauan dihitung berdasarkan produksi bahan kering cerna (BCK) terhadap kebutuhan satu satuan ternak (1 ST) dalam satu satuan tahun, dimana total kebutuhan pakan = populasi ternak (ST) x 1,14 ton Berat kering cerna (BCK)/tahun. Umumnya ST dewasa (250 kg), dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Sumanto dan Juarini 2006) :

Daya dukung (ST) =

Produksi bahan kering cerna (Kg)

Kebutuhan bahan kering cerna sapi dewasa (Kg/ST)

(37)

dari total produksi hijauan makanan ternak yang tersedia terhadap kebutuhan hijauan bagi setiap populasi ternak ruminansia di suatu wilayah. Indeks daya dukung dihitung berdasarkan BKC dengan persamaan sebagai berikut ( Sumanto dan Juarini 2006) :

Indeks daya dukung hijauan =

Total produksi bahan kering cerna (K) . ∑ populasi ruminansia (ST) x kebutuhan BKC sapi dewasa (Kg/ST)

Berdasarkan indeks daya dukung hijauan makanan ternak maka diperoleh kriteria status daya dukung hijauan, yang dapat di lihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Kriteria status daya dukung hijauan makanan ternak berdasarkan indeks daya dukung

No Indeks Daya

Dukung Kriteria Keterangan

1. memanfaatkan sumber daya yang tersedia. - Terjadi pengurasan dalam agro-ekosistemnya. - Tidak ada hijauan alami maupun limbah yang

kembali melakukan siklus haranya.

- Ternak telah mempunyai pilihan untuk memanfaatkan sumber daya tetapi belum terpenuhi aspek konservasi;

- Pengembalian bahan organik ke alam pas-pasan;

- Ketersediaan sumberdaya pakan secara fungsional mencukupi kebutuhan lingkungan secara efisien.

Sumber : Sumanto dan Juarini (2006)

(38)

20

Tabel 6 Karakterisasi pakan dari hijauan makanan ternak

No Jenis Hijauan Luas Produksi BKC

Sumber : Sumanto dan Juarini (2006) dan *) data diolah dari AAK (1983)

Untuk mengetahui daya tampung suatu kawasan perkebunan kelapa sawit dan karet dalam setahun maka perhitungannya adalah : total produksi (dalam kg BK) : konsumsi 1ST (kg) : hari (dalam 1 tahun). Asumsi 1 ST setara dengan 250 kg; konsumsi setara dengan 2,5 % Bobot Hidup (BH), 1 tahun setara dengan 365 hari.

Tabel 7 Karakterisasi potensi pakan hijauan pada setiap penggunaan lahan

No Penggunaan Lahan Luas (Ha) **) Tingkat kecernaan diperhitungkan 50% BCK

(39)

Tabel 8 Nilai Satuan Ternak (ST) ruminansia utama di Kabupaten Sijunjung tahun 2008

No Jenis Ternak Jumlah (ekor) Faktor konversi* Jumlah (ST)**

1

Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Sijunjung (2008), data diolah; *Sumanto dan Juwarni (2006). ** (data diolah)

3.3.4. Analisis Finansial

Untuk menentukan kelayakan finansial dari usaha sapi potong tersebut dilakukan analisis kuantitatif dengan menghitung NPV, Net BCR, dan IRR (Soekartawi 1995).

a. Net Present Value (NPV)

Net Present Value (NPV) atau nilai tambah adalah nilai sekarang dari arus

pendapatan yang ditimbulkan oleh penanaman investasi. Metode ini menghitung selisih antara manfaat/penerimaan dengan biaya/pengeluaran. Perhitungan diukur dengan nilai uang sekarang (at present value) dengan rumus :

NPV=

Bt = Manfaat yang diperoleh sehubungan dengan usaha atau proyek pada

times series (tahun, bulan, dan sebagainya) ke-t (Rp);

Ct = Biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan proyek pada times series ke –t tidak dilihat apakah biaya tersebut dianggap bersifat modal

(pembelian peralatan, tanah, kontruksi dan sebagainya) (Rp);

t = Merupakan tingkat suku bunga yang relevan;

i = Periode (1, 2, 3, ...., n).

Kriteria yang digunakan adalah apabila:

a) nilai NPV > 0, maka pengembangan usaha sapi potong layak untuk

dikembangkan.

b) nilai NPV < 0, maka pengembangan usaha sapi potong tidak layak untuk

dikembangkan.

(40)

22

break even point (impas).

b. Benefit Cost Ratio (B/C Ratio)

Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) adalah nilai perbandingan antara nilai manfaat

bersih dengan biaya bersih yang diperhitungkan nilainya saat ini. Net B/C dengan menggunakan rumus:

Kriteria yang digunakan adalah apabila :

a) nilai B/C>1, maka pengembangan sapi potong layak untuk dikembangkan. b) nilai B/C<1, maka pengembangan sapi potong tidak layak untuk

dikembangkan.

c) nilai B/C = 1, maka pengembangan sapi potong baru mencapai break even

point (impas).

c. Internal Rate of Return (IRR)

Internal rate of Return (IRR) adalah suatu tingkat bunga yang menunjukkan nilai

sekarang netto (NPV) sama dengan jumlah seluruh investasi proyek atau dengan kata lain, pada tingkat suku bunga berapa NPV sama dengan nol (NPV = 0). Tingkat suku bunga tersebut adalah tingkat bunga maksimum yang dapat dibayar oleh suatu kegiatan usaha untuk faktor produksi yang digunakan. Perhitungan IRR dapat dirumuskan sebagai berikut :

IRR = i''+(i"−i') ' ''

= nilai percobaan pertama untuk discount rate;

= nilai percobaan kedua untuk discount rate;

(41)

Kriteria yang digunakan adalah apabila:

a) Nilai IRR > 1; maka pengembangan usaha sapi potong layak untuk dikembangkan.

b) Nilai IRR < 1; maka pengembangan usaha sapi potong tidak layak untuk dikembangkan.

c) Nilai IRR = 0; maka pengembangan usaha sapi potong mencapai titik break

even point.

3.3.5. Arahan Pengembangan Sapi Potong

Kapasitas peningkatan sapi potong menunjukkan jumlah populasi sapi potong maksimal yang masih mampu di tampung oleh satuan wilayah dalam suatu wilayah. Nilai kapasitas peningkatan sapi potong dihitung sebagai selisih antara total daya dukung hijauan makanan ternak dengan jumlah populasi ternak ruminansia utama yang ada di wilayah tersebut (sapi, kerbau, kambing dan domba), yang di hitung dengan satuan ternak (ST) (Lembaga penelitian IPB 2001). Pada perhitungan penelitian ini di asumsikan penambahan kapasitas hanya untuk ternak sapi potong dewasa.

Prioritas arahan lahan pengembangan sapi potong adalah lahan-lahan yang sesuai untuk lingkungan ekologis sapi potong (S) dan indeks daya dukung hijauan makanan ternak berada pada status aman. Prioritas daya dukung arahan lahan pengembangan sapi potong ditentukan berdasarkan potensi daya dukung hijauan makanan ternak. Urutan prioritas didasarkan pada urutan besarnya potensi daya dukung hijauan makanan ternak dari masing-masing sistem arahan diversifikasi (perkebunan, sawah dan kebun campuran) dan ekstensifikasi (semak belukar dan bekas tambang). Potensi daya dukung hijauan makanan ternak terdiri dari daya dukung dan luas lahan. Lahan bukan prioritas merupakan lahan-lahan yang tidak sesuai (N) untuk lingkungan ekologis sapi potong dan nilai indeks daya dukung berada pada status rawan, kritis dan sangat kritis serta lahan yang tidak dinilai (TD).

(42)

24

1. Diversifikasi, yaitu wilayah yang secara ekologis sesuai untuk ternak dan telah digunakan atau diperuntukkan bagi kegiatan sektor dan sub sektor serta komoditas lain, seperti lahan perkebunan, lahan hutan produksi dan lahan tanaman pangan.

Simbol yang digunakan untuk wilayah diversivikasi, misalnya meliputi :

- Dp – Diversifikasi perkebunan (kelapa sawit, karet dan perkebunan rakyat) - Ds – Diversifikasi sawah

- Dk – Diversifikasi kebun campuran

2. Ekstensifikasi, yaitu wilayah yang secara ekologis sesuai untuk ternak dan belum diperuntukan bagi kegiatan komoditas tertentu. Wilayah ini umumnya merupakan wilayah yang tidak produktif berupa kawasan alang-alang, semak belukar, lahan-lahan terlantar, dan hutan konversi.

Simbol yang digunakan untuk wilayah ekstensifikasi, misalnya meliputi : - Es – Ekstensifikasi semak belukar

- Eb – Ekstensifikasi lahan terbuka

Kombinasi antara kesesuaian lingkungan ekologis, status daya dukung hijauan makanan ternak, sistem arahan lahan dan potensi daya dukung menghasilkan matriks prioritas arahan pengembangan sapi potong. Analisis spasial untuk mengetahui sebaran tingkat ketersediaan hijauan makanan ternak dan arahan lahan pengembangan dengan menggunakan pendekatan SIG. Proses-proses yang dilakukan yaitu operasi tumpang tindih peta satuan lahan dengan peta wilayah kecamatan, gabungan basis data dengan data atribut satuan lahan, query (pemanggilan data) untuk pembuatan peta tematik, perhitungan luas lahan dan daya dukung.

3.3.6. Analitic Hierarchy Process (AHP)

Untuk mengetahui isu sentral sebagai prioritas kebijakan pembangunan, maka dilakukan analisis dengan menggunakan metode Analytic Hierarchy

Process (AHP). Untuk mendapatkan skor yang diperlukan, maka dilakukan

(43)

pembangunan di Kabupaten Sijunjung. Metode pengambilan dengan menggunakan purposive sampling, dengan kriteria responden adalah pihak-pihak yang terlibat langsung atau minimal pernah terlibat dalam perumusan kebijakan pembangunan di Kabupaten Sijunjung. Kriteria responden tersebut dimaksudkan agar jawaban yang diperoleh dapat mencerminkan kondisi yang lebih realistis dalam perumusan kebijakan pembangunan. Analisis AHP dilakukan dengan perangkat lunak Expert Choice 2000.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam metode AHP adalah (Saaty 1993) : 1. Mengidentifikasi/menetapkan masalah-masalah yang muncul;

2. Menetapkan tujuan, kriteria dan hasil yang ingin dicapai;

3. Mengidentifikasi kriteria-kriteria yang mempunyai pengaruh terhadap masalah yang ditetapkan;

4. Menetapkan struktur hirarki;

Menurut Saaty (1993) hirarki adalah suatu sistem yang tersusun dari beberapa level/tingkatan, dimana masing-masing tingkat mengandung beberapa unsur atau faktor. Hal yang dilakukan dalam suatu penetapan hirarki adalah mengukur pengaruh berbagai kriteria yang terdapat pada hirarki. Pada umumnya masalah dasar yang muncul dalam penyusunan hirarkhi adalah menentukan level tertinggi dari berbagai interaksi yang terdapat pada berbagai level;

5. Menentukan hubungan antara masalah dengan tujuan, hasil yang diharapkan, pelaku / objek yang berkaitan dengan masalah, nilai masing-masing faktor; 6. Membandingkan alternatif-alternatif (comparative judgement);

7. Menentukan faktor-faktor yang menjadi prioritas (Synthesis of priority); 8. Menentukan urutan alternatif-alternatif dengan memperhatikan logical

consistency.

(44)

26

program aplikasi Expert Choice 2000 dengan memperhatikan tahapan-tahapan di atas.

(45)
(46)

4. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1. Fisik Wilayah

Kabupaten Sijunjung adalah salah satu dari kabupaten 19 kabupaten/kota di Propinsi Sumatera Barat dengan luas wilayah 3.130,80 Km2 atau 7,41 % dari luas wilayah Propinsi Sumatera Barat (BPS Kabupaten Sijunjung 2008). Secara geologis Kabupaten Sijunjung terdiri dari dataran hingga berbukit di antara deretan Bukit Barisan dengan bahan induk batuan kapur (karst) yang memanjang dari arah barat laut sampai dengan arah tenggara wilayah Kabupaten Sijunjung.

4.1.1. Topografi dan Morfologi

Wilayah Kabupaten Sijunjung memiliki tingkat kemiringan lereng bervariasi antara 2-60 %. Kondisi topografi Kabupaten Sijunjung bervariasi antara bukit, bergelombang dan dataran. Kemiringan tanah atau kelerengan tanah menggambarkan bentuk kedudukan tanah terhadap bidang datar yang dinyatakan dalam persen (%). Pembagian topografi (bentuk wilayah) di Kabupaten Sijunjung berdasarkan kemiringan tanah yang diturunkan dari peta kontur dibagi ke dalam 6 (enam) kelas sebagaimana tersaji pada Tabel 10.

Tabel 10 Kemiringan lereng Kabupaten Sijunjung

No Kelas lereng (%) Bentuk wilayah* Luas (ha)** Persentase (%)

1 0 - 3 Datar 35.741 11,42

2 3 - 8 Landai 32.783 10,47

3 8 -16 Miring 52.576 16,79

4 16 - 30 Agak terjal 113.687 36,31

5 30 - 40 Terjal 39.764 12,70

6 >40 Curam 38.529 12,31

Jumlah 313.080 100,00

Sumber : *) Bakosurtanal 2003.

**)turunan dari peta kontur Kabupaten Sijunjung (data diolah)

(47)

besar wilayah Kecamatan Koto VII, Kupitan, Kamang Baru dan sedikit di wilayah IV Nagari yang berbatasan dengan wilayah Kecamatan Lubuk Tarok, berupa dataran berbukit di atas endapan campuran. Kemiringan >40% berada hampir di seluruh wilayah. Tetapi Kecamatan Sumpur Kudus dan sisi selatan Tanjung Gadang, IV Nagari dan Lubuk Tarok merupakan wilayah yang didominasi oleh pegunungan dengan kemiringan lereng > 40% dan ketinggian lebih dari 300 m. Kawasan ini merupakan deretan Bukit Barisan yang ditetapkan pemerintah sebagai kawasan lindung. Morfologi daerah terbagi menjadi 3 (tiga) bagian yaitu terjal pada bagian barat dan timur, dataran dibagian tengah dan perbukitan landai yang terletak diantaranya.

Gambar 4 Sebagian bentangan lahan di Kabupaten Sijunjung yang menyebabkan keterbatasan pemanfaatan peternakan secara optimal.

4.1.2. Drainase

Kondisi drainase di wilayah Kabupaten Sijunjung adalah baik dan cenderung cepat, sehingga di beberapa lokasi dengan kemiringan > 25% memiliki potensi terjadinya erosi maupun tanah longsor.

4.1.3. Daerah Aliran Sungai (DAS).

(48)

30

Batang Palangki, Batang Kuantan, Batang Ombilin dengan panjang sekitar 674 Km. Sungai tersebut umumnya berhulu dari Danau Singkarak Kab. Solok. Arah aliran sungai dari Tenggara yang bermuara di Batang Kuantan (Rengat Propinsi Riau) yang seterusnya mengalir ke pantai Timur Pulau Sumatera.

4.2. Potensi Sumber Daya Alam

4.2.1. Penggunaan Lahan.

Kabupaten Sijunjung mempunyai luas 3.13,08 Km2 yang terbagi dalam 8 Kecamatan dengan 54 Nagari yang merupakan penggabungan dari desa-desa setelah diberlakukannya otonomi daerah. Komposisi penggunaan lahan saat ini berdasarkan data BPN Kabupaten Sijunjung tahun 2008 adalah hutan dengan persentase terbesar yaitu 51,03 %, perkebunan 23,21 %, kebun campuran 3,86 %, padang/semak belukar 6,11 %, kampung/pemukiman 1,57 %, sawah 3,68 % dan sisanya untuk keperluan pertambangan, industri serta tanah terbuka, luasan dan persentase lahan pertanian di wilayah Kabupaten Sijunjung sebagaimana tersaji pada Tabel 11.

Tabel 11 Luas lahan Kabupaten Sijunjung menurut penggunaannya tahun 2008

No Penggunaan Lahan Luas ( Ha) Persentase

1

(49)

4.2.2. Litologi, Giologi dan Jenis Tanah

Litologi umum Kabupaten Sijunjung terdiri dari batuan malihan (miarit, filit, dan batu gamping) dan batuan sedimen tersier. Batuan-batuan malihan berumur premokarbon dan terutama tersebar di bagian timur. Batu-batuan tersebut diterobos oleh batuan granit yang berumur trias, terutama ditemukan di Tanjung Gadang. Batuan sedimen tersier terdiri dari batu pasir, lempung, batu pasir dan serpihan menutupi tidak selaras dengan batuan malihan dan granit di sekitar daerah Muaro. Struktur geologi terdiri dari sesar naik kearah barat laut – tenggara yang merupakan kotak antara batuan malihan dan batuan sedimen tersier.

Sebaran tanah yang berada di Kabupaten Sijunjung umumnya adalah Inceptisol, Ultisol dan Oxisol. Inceptisol merupakan tanah muda dan mulai berkembang. Inceptisol merupakan tanah belum berkembang lanjut, sehingga kebanyakan dari tanah ini cukup subur. Kisaran kadar C-organik dan KTK Inceptisols sangat lebar, demikian pula kejenuhan basanya, oleh karena itu tidak berarti bahwa semua Inceptisols memiliki produktivitas yang rendah, produktivitas alami Inceptisols sebenarnya sangat bervariasi tergantung dari proses pembentukan tanah Inceptisols itu sendiri.

Subordo Inceptisol di Kabupaten Sijunjung adalah tanah Dystropept, yang merupakan Inceptisol dengan nilai kejenuhan basa (KB) kurang dari 60 %. Subordo Inceptisol lain yang ditemukan adalah Tropaquept dan Eutropept. Tropaquept yaitu Inceptisol yang sering jenuh air (kecuali dilakukan perbaikan drainase). Sedangkan Eutropept merupakan Inceptisol dengan KB (pada kedalaman antara 25 – 75 cm) lebih dari 60 % atau pada lapisan ini terdapat karbonat bebas (Hardjowigeno 2003)

(50)

32

35% pada kedalaman ± 180 cm dan tidak mempunyai kelembaban aquik dan memiliki regim temperatur isomesic atau lebih panas (Suhardjo 1989). Subordo yang lain adalah Paleudult, yaitu tanah dengan kandungan liat yang tidak menurun

≥ 20 % dari liat maksimum pada kedalaman sampai 1,5 m (Hardjowigeno 2003). Jenis tanah yang memiliki sebaran terluas berada hampir di seluruh wilayah kabupaten, yaitu Inceptisol dengan subordo Dystropept, dengan luas 179.636,8 ha atau 57,9% dari luas wilayah Kabupaten Sijunjung. Ultisol memiliki luas sebaran kedua, yaitu 127.613,30 ha atau 41,2% dari total wilayah, dan sisanya dengan jenis tanah Oxisol. Subordo Tropaquept dan Paleudult adalah sebaran terluas kedua, tersebar di Kecamatan Sijunjung, Tanjung Gadang, Koto VII, Sumpur Kudus dan Lubuk Tarok. Tanah-tanah ini memiliki tekstur tanah yang halus sampai sedang dengan jenis batuan phyllite, granit, serpihan, alluvium dan pasir berbatu.

4.2.3. Klimatologi

Iklim di sebagian besar wilayah Kabupaten Sijunjung berdasarkan klasifikasi iklim Oldeman adalah wilayah dengan type iklim D1 artinya terdapat bulan basah 3-4 bulan dan bulan kering kurang dari 2 bulan. Curah hujan rata-rata tahunan 2.589,22 mm selama tahun 2004 sampai dengan 2008 dan rata-rata hari hujan adalah 130,68 hari, dengan suhu antara 21 s.d 31 ˚C. Bulan basah adalah curah hujan bulanan lebih besar dari 200 mm dan bulan kering adalah curah hujan bulanan kurang dari 100 mm.

(51)

Tabel 12 Curah Hujan di Kabupaten Sijunjung Sumber : BPS Kabupaten Sijunjung 2009

4.2.4. Penduduk

Jumlah penduduk Kabupaten Sijunjung pada tahun 2008 tercatat sebanyak 204.601 jiwa yang tersebar di 8 kecamatan, dengan pertumbuhan sebesar 1,01 persen dibandingkan dengan jumlah penduduk pada tahun 2007. Komposisi penduduk menurut jenis kelamin pada tahun 2008 terbanyak adalah penduduk perempuan dengan rincian 100.978 jiwa laki-laki dan sisanya sebanyak 103.623 jiwa ádalah penduduk perempuan dengan jumlah kepala keluarga 72.440 KK. Sebagian besar mereka bertempat tinggal pada kawasan dataran di tepi-tepi jalan utama. Mata pencaharian penduduk sangat beragam, sebagian besar adalah petani (71,19%) sisanya adalah pedagang, pengrajin, pegawai pemerintah dan swasta.

(52)

34

penduduk yang sedang mencari pekerjaan sebanyak 8.520 jiwa atau sekitar 6,37 persen dari seluruh penduduk berumur 15 tahun keatas. Selanjutnya dari seluruh penduduk usia kerja terdapat sebanyak 49.835 jiwa yang tergolong bukan angkatan kerja, sebanyak 11.713 jiwa adalah penduduk yang semata-mata sekolah dan sisanya sebanyak 38.122 jiwa melakukan kegiatan lainnya.

Tabel l3 Luas wilayah kecamatan, jumlah nagari, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk per kecamatan di Kabupaten Sijunjung

Kecamatan Luas wilayah

(ha)

Jumlah Nagari

Laki-laki Perempuan Jumlah Kepadatan Km2

Sumber : BPS Kabupaten Sijunjung

Sebaran penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha, pada tahun 2008 masih didominasi oleh sektor pertanian yang dapat menyerap tenaga kerja laki-laki sebanyak 33.958 jiwa dan perempuan 14.449 jiwa, sebagaimana tersaji pada Tabel 14.

Tabel 14 Penduduk Berumur 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan usaha dan jenis kelamin tahun 2008

No Lapangan Usaha Laki-laki Perempuan Jumlah

1

(53)

4.2.5. Kondisi Umum Peternakan

Perkembangan sub sektor peternakan khususnya ternak besar di Kabupaten Sijunjung tidak terlepas dari usaha sektor pertanian yang ada. Usaha peternakan umumnya merupakan usaha sampingan yang terintegrasi dengan usaha pertanian lainnya, dan mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. Sektor pertanian merupakan penyumbang PDRB tertinggi yaitu 27 %, dan sub sektor peternakan menyumbang sebanyak 3 % dari total PDRB keseluruhan.

Usaha ternak sapi Potong di Kabupaten Sijunjung sudah dikenal oleh masyarakat sejak dahulunya, ini terlihat dari usaha ternak sapi sudah dilakukan selama puluhan tahun. Usaha tersebut diatas masih bersifat tradisional dengan skala kecil yaitu ternak sapi dipelihara dengan sistem digembalakan/dilepas pada siang hari di daerah lahan pertanian dan pada malam hari dimasukan ke dalam kandang. Ternak dibiarkan merumput di sekitar lokasi pertanian atau padang pengembalaan yang ada, kadang-kadang diberi hijauan berupa rumput unggul yang ditanam di sekitar lokasi. Permasalahan yang sering timbul adalah kekurangan pakan pada saat musim kemarau sehingga pada saat-saat tertentu ternak mengalami kurus, produksi daging tidak maksimal serta gangguan reproduksi karena kekurangan pasokan makanan hijauan yang terbatas. Sistem perkawinan sapi potong sebagian besar kawin alam dengan pejantan lokal sehingga menyebabkan turunan yang dihasilkan bukan merupakan ternak unggul (in breeding) namun sebagian sudah ada yang melakukan dengan kawin suntik (Inseminasi buatan).

Pemeliharaan dengan sistem semi intensif sudah dilakukan oleh sebagian peternak, sapi-sapi tersebut dikandangkan sepanjang hari dan diberikan hijauan dari rumput lapangan yang tersedia, limbah hasil pertanian serta diberi makanan penguat konsentrat berupa dedak, ampas tahu, bungkil kelapa, dan sagu. Tujuan pemeliharaan sapi sistem kandang lebih berorientasi kepada penggemukan untuk menghasilkan produksi daging, biasanya dipilih dari sapi jantan yang sudah dewasa berumur 2 – 2,5 tahun dengan pemeliharaan selama 4 bulan lalu dipasarkan untuk dipotong, terutama menjelang Hari Raya Idul Adha.

(54)

36

Brahman cross. Perkembangan ternak ruminansia di Kabupaten Sijunjung menyebar di setiap kecamatan, dengan berbagai jenis ternak seperti sapi, kerbau, kambing dan domba, seperti terlihat pada Tabel 15. Ternak kerbau merupakan populasi ternak ruminansia terbesar di Kabupaten Sijunjung, disusul dengan ternak sapi potong, kambing dan domba, namun usahaternak sapi potong merupakan yang paling banyak diusahakan dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) usahaternak sapi potong sebanyak 3.957 KK, usahaternak kerbau 2.797 KK, usahaternak kambing 2.652 KK dan usahaternak domba dengan 202 KK (Statistik Peternakan 2008) Usaha ternak kerbau, kambing dan domba hampir seluruhnya dilaksanakan dengan sistem tradisional sehingga memerlukan padang pengembalaan yang sangat luas, namun padang pengembalaan yang ada semakin berkurang karena beralih fungsi menjadi pemukiman dan perkebunan.

Tabel 15 Populasi ternak ruminansia menurut kecamatan di Kabupaten Sijunjung

Kecamatan Sapi Kerbau Kambing Domba

Kupitan Sumber : Statistik Peternakan 2008

4.2.6. Ketersedian Pasar

(55)

sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu faktor pendukung dalam pengembangan sapi potong di Kabupaten Sijunjung.

Gambar

Gambar 2  Peta lokasi penelitian Kabupaten Sijunjung.
Tabel 3 Kriteria penilaian lingkungan ekologis ternak sapi dikandangkan
Tabel 4  Kriteria penilaian lingkungan ekologis ternak sapi gembala
Gambar 3 Diagram Alir  Penelitian.
+7

Referensi

Dokumen terkait

3 Study Program of Nutrition and Feed Science, Faculty of Animal Science, Graduate School, Bogor Agricultural University, Bogor 16680,

a. Penyediaan dana pemerintah untuk pembangunan fasilitas pelayanan teknis budidaya dan pemanfaatan fasilitas bagi peternak. Efisiensi dan produktifitas yang masih rendah

Tujuan penelitian ini adalah: (1) mengetahui keterkaitan sektor pariwisata dengan sektor lainnya saat ini; (2) mengetahui obyek wisata yang berpotensi untuk dikembangkan di kawasan

Positive Influence of social motivation variable (X) through the operation of community participation variable (Y) relating to the development of disadvantaged areas (Z). The process

[r]

(2015), produksi hijauan makanan ternak dan komposisi botani padang penggembalaan alam yang didominasi oleh rumput memiliki produksi bahan segar pada musim hujan cukup

Sesuai dengan prilaku dan pola konsumsi ternak, disarankan wilayah yang dominan penghasil pakan asal rumput lebih sesuai untuk dikembangkan ternak ruminansia kecil,

Pengembangan sapi potong sebagai salah satu ternak potong masih banyak mengalami hambatan karena pemeliharaanya yang masih bersifat tradisional, sangat tidak menguntungkan