• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunikasi Partisipatif Kelompok Sadar Wisata Dalam Pengelolaan Wisata Gunung Api Purba Nglanggeran, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Komunikasi Partisipatif Kelompok Sadar Wisata Dalam Pengelolaan Wisata Gunung Api Purba Nglanggeran, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

KOMUNIKASI PARTISIPATIF KELOMPOK SADAR

WISATA DALAM PENGELOLAAN WISATA GUNUNG

API PURBA NGLANGGERAN, KABUPATEN GUNUNG

KIDUL, PROVINSI DAERAH ISTIMEWA

YOGYAKARTA

R. RESTAMA GUSTAR HASTOSAPTYADHAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Komunikasi Partisipatif Kelompok Sadar Wisata dalam Pengelolaan Wisata Gunung Api Purba Nglanggeran, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

R. RESTAMA GUSTAR HASTOSAPTYADHAN. 2016

.

Komunikasi Partisipatif Kelompok Sadar Wisata dalam Pengelolaan Wisata Gunung Api Purba Nglanggeran, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dibimbing oleh SUMARDJO dan DWI SADONO

Salah satu keunikan objek wisata gunung api purba di Gunung Kidul terletak di Desa Nglanggeran yang terdiri dari material vulkanik tua, geologis sangat unik dan bernilai ilmiah tinggi. Komunikasi partisipatif memiliki prinsip komunikasi horizontal untuk mendorong partisipasi masyarakat melalui dialog. Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) dimulai dengan proses dialog oleh orang-orang muda yang memiliki visi yang sama dalam mengembangkan potensi alami gunung api purba Nglanggeran. Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. menjelaskan komunikasi partisipatif dari Pokdarwis; 2. menganalisis hubungan antara karakteristik individu, kredibilitas fasilitator, dukungan kelembagaan dan komunikasi partisipatif; dan 3. menganalisis hubungan antara komunikasi partisipatif dari Pokdarwis dan pengelolaan gunung api purba Nglanggeran.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Studi ini menyimpulkan bahwa: 1) Pokdarwis dapat menerima informasi baru, pengetahuan yang lebih tinggi, dan sangat termotivasi. Kejujuran, keahlian, daya tarik dan keakraban fasilitator dapat mendukung pengelolaan pariwisata yang lebih baik. Modal, sarana dan prasarana cukup untuk mendukung kegiatan pengelolaan wisata; 2) Ada hubungan yang signifikan dan positif antara karakteristik individu, kredibilitas fasilitator, dukungan kelembagaan dan komunikasi partisipatif dan 3) Ada hubungan yang signifikan dan positif antara manajemen pariwisata dan komunikasi partisipatif.

(5)

SUMMARY

R. RESTAMA GUSTAR HASTOSAPTYADHAN. 2016. Participatory Communication of Pokdarwis in the Management of Nglanggeran Ancient Volcano Tourism, Gunung Kidul District, Yogyakarta Special Region Province. Supervised by SUMARDJO and DWI SADONO.

One of the uniqueness ancient volcano attractions in Gunung Kidul is located in the village of Nglanggeran which composed of old volcanic material, geologically very unique and high scientific value. Participatory communication has the principle of horizontal communication to encourage community participation through dialogue. Tourism Awareness Formation Group (Pokdarwis) begins with the dialogue process by young people who have a common vision in developing the natural potential Nglanggeran ancient volcano. The purposes of this study are: 1. Describe the participatory communication of Pokdarwis; 2. Analyze the relationship between individual characteristics, the credibility of the facilitator, the institutional support and participatory communication; and 3. Analyze the relationship between participatory communication of Pokdarwis and the management of Nglanggeran ancient volcano.

This study used quantitative and qualitative approaches. The study conclude that :1) Pokdarwis able to receive new information properly, higher knowledge, and highly motivated. Honesty, expertise, attractiveness and familiarity of facilitators able to support better tourism management. Capital, facilities and infrastructures have sufficiently enough to support tourist management activities; 2) There is significant and positive relationship between individual characteristics, facilitator's credibility, institutional support and the participatory communication and 3) There is significant and positive relationship between tourism management and participatory communication.

(6)
(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)
(9)

KOMUNIKASI PARTISIPATIF KELOMPOK SADAR WISATA

DALAM PENGELOLAAN WISATA GUNUNG API PURBA

NGLANGGERAN, KABUPATEN GUNUNG KIDUL,

PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

R. RESTAMA GUSTAR HASTOSAPTYADHAN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

Pada

Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

Judul : Komunikasi Partisipatif Kelompok Sadar Wisata Dalam Pengelolaan Wisata Gunung Api Purba Nglanggeran, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Nama : R. Restama Gustar Hastosaptyadhan NIM : I 352114011

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS Ketua

Dr. Ir. Dwi Sadono, MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga tesis penelitan ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipiih dalam proposal penelitian ini yaitu Komunikasi Partisipatif Kelompok Sadar Wisata Dalam Pengelolaan Wisata Gunung Api Purba, Nglanggeran, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS dan Dr. Ir. Dwi Sadono, MSi selaku pembimbing atas dukungan, arahan, masukan berupa teori serta waktu dengan penuh kesabaran membimbing penulis hingga dapat menghasilkan sebuah tulisan yang lebih baik selama pembuatan tesis penelitian ini. Kepada rekan-rekan sejawat atas dukungan yang diberikan (KMP angkatan genap 2011) dan angkatan 2012.

Akhir kata penulis ucapkan mohon maaf jika ada kesalahan dan kekurangan, sesungguhnya kesalahan dan kekurangan ada pada penulis, kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(14)

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR TABEL xii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

PerumusanMasalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

TINJAUAN PUSTAKA 5

Komunikasi Partisipatif 5

Kelompok Sosial 9

Komunikasi Partisipatif dalam Kelompok Sadar Wisata 9

Kredibilitas Fasilitator 12

Desa Wisata dengan Kawasan Ekowisata Berwawasan Lingkungan Berbasis Masyarakat 13

Hasil Penelitian Terdahulu 13

Kerangka Penelitian 17

Hipotesis Penelitian 19

METODE PENELITIAN 20

Desain Penelitian 20

Lokasi dan Waktu Penelitian 20

Populasi dan Sampel Penelitian 20

Data dan Instrumen Penelitian 20

Teknik Pengumpulan Data 21

Definisi Operasional 22

Validitas Instrumentasi 22

Reliabilitas Instrumentasi 24

Analisis Data 25

HASIL DAN PEMBAHASAN 26

Gambaran Umum Lokasi Penelitian 26

Kelompok Sadar Wisata 27

Karakteristik Individu Pokdarwis 29

Kredibilitas Fasilitator 32

Dukungan Kelembagaan 35

Komunikasi Partisipatif 37

Pengelolaan Wisata Gunung Api Purba Nglanggeran 39

Hubungan antara Karakteristik Individu dengan Komunikasi Partisipatif Pokdarwis 42

Hubungan antara Kredibilitas Fasilitator dengan Komunikasi Partisipatif Pokdarwis 44

Hubungan antara Dukungan Kelembagaan dengan Komunikasi Partisipatif Pokdarwis 46

Hubungan antara Pengelolaan Wisata dengan Komunikasi Partisipatif Pokdarwis 47

KESIMPULAN 49

SARAN 49

DAFTAR PUSTAKA 50

LAMPIRAN 53

(15)

DAFTAR TABEL

1 Karakteristik individu 21

2 Kredibilitas fasilitator 21

3 Dukungan kelembagaan 22

4 Komunikasi partisipatif Kelompok Sadar Wisata 22 5 Pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran 22 6 Jumlah dan persentase karakteristik individu Pokdarwis 30 7 Jumlah dan persentase kredibilitas fasilitator Pokdarwis 33 8 Jumlah dan persentase dukungan kelembagaan Pokdarwis 35 9 Jumlah dan persentase komunikasi partisipatif Pokdarwis 37

10 Hubungan antara karakteristik individu dengan komunikasi 38

partisipatif Pokdarwis

11 Hubungan antara kredibilitas fasilitator dengan komunikasi 39 partisipatif

12 Hubungan antara dukungan kelembagaan dengan komunikasi 40 partisipatif Pokdarwis

13 Hubungan antara pengelolaan wisata dengan komunikasi 41 partisipatif Pokdarwis

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka berpikir penelitian komunikasi partisipatif 16 kelompok sadar wisata dalam pengelolaan wisata Gunung

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kekayaan sumber daya alam dan bentang alam yang melimpah dan tinggi nilainya. Kekayaan tersebut menjadi modal penting bagi pembangunan bangsa Indonesia dan akan punah apabila tidak dikelola secara optimal baik oleh Pemerintah maupun masyarakat. Di samping itu, Indonesia juga dikenal sebagai negara majemuk yang kaya akan keberagaman suku, budaya, agama dan sejarah. Kedua potensi tersebut apabila dikelola secara baik dan benar disertai upaya-upaya pelestariannya, dapat mendukung pencapaian kesejahteraan rakyat.

Selaras dengan visi, misi dan program aksi untuk mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian, maka pemerintah telah menetapkan Jalan Perubahan yang disebut Nawa Cita. Sesuai Nawa Cita ke-7 yaitu Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik, maka upaya pengembangan usaha lokal merupakan bagian kekuatan pendorong pembangunan ekonomi bangsa. Pengembangan ekonomi lokal dapat berperan dalam mempercepat pemerataan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan masyarakat, serta mampu menyediakan peluang lapangan kerja. Masyarakat perlu difasilitasi oleh Pemerintah agar mempunyai jiwa wirausaha, tidak tergantung pada bantuan pemerintah. Fasilitas ini dapat berupa peningkatan kapasitas usaha, pendampingan dan bantuan permodalan sehingga masyarakat yang sebelumnya hanya menerima bantuan sosial dapat berkembang menjadi pelaku usaha mikro yang pada waktunya bisa mandiri bahkan dapat membantu masyarakat di sekitarnya dalam pengembangan ekonomi lokal yang dapat berdampak pada meningkatnya perekonomian regional dan nasional untuk mewujudkan kemandirian ekonomi sebagai perwujudan dari Tri Sakti.

Kekayaan alam dan keberagaman bangsa Indonesia menyimpan banyak potensi sekaligus peluang berharga untuk membangun kepariwisataan Indonesia agar lebih bergairah di mata dunia serta memiliki karakteristik berdasarkan kearifan lokal, oleh karena itu pemerintah memiliki peranan penting dalam menggali potensi dan membuat kebijakan terhadap pengembangan kepariwisataan, sehingga masyarakat lokal meningkat kesadarannya untuk menggali potensi dan bergerak membangun desa dan kawasan perdesaan serta kota.

Menurut BPS (2015) Kabupaten Gunungkidul yang memiliki luas wilayah 1.485,36 Km2 dengan 18 kecamatan dan 144 desa dan kelurahan merupakan kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang sedang giat mengembangkan potensi pariwisata. Pada umumnya masyarakat menganggap bahwa Kabupaten Gunungkidul adalah kabupaten miskin, rawan kekeringan dan tidak banyak memiliki tempat wisata yang khas. Namun seiring dengan perkembangan pembangunan dan kemajuan masyarakat, kabupaten tersebut mempunyai potensi besar bagi pengembangan kegiatan pariwisata yang merupakan perpaduan yang harmonis antara kekayaan alam, kebudayaan tradisional, dan cara hidup masyarakatnya.

(17)

terletak di Desa Nglanggeran Kecamatan Patuk pada ketinggian 200-700 m dpl dengan jarak tempuh 22 km dari kota Wonosari melalui perjalanan darat. Adapun Litologi lokasi ini tersusun oleh material vulkanik tua dan bentang alamnya memiliki keindahan yang secara geologi sangat unik dan bernilai ilmiah tinggi. Dari hasil penelitian dan referensi yang ada, dinyatakan gunung Nglanggeran adalah gunung berapi purba.

Pada tahun 2007 berkembang ide kreatif para pemuda Desa Nglanggeran yang mulai membenahi dan menata lokasi ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran secara swadaya dengan membangun jalur pendakian, fasilitas MCK (Mandi, Cuci, Kakus), serta gubuk-gubuk peristirahatan pendakian. Pada saat mengembangkan lokasi tersebut para pemuda ini membuat wadah organisasi yang bernama Pokdarwis (kelompok sadar wisata) yang terdiri dari unsur Karang Taruna Bukit Putra Mandiri, Pemerintah Desa, kelompok tani, ibu-ibu PKK, dan pemilik rumah singgah (homestay). Pada Tahun 2009, Pokdarwis telah mengantarkan desanya menjadi juara Desa Wisata se-Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, hal tersebut menunjukkan bahwa kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan desa wisata telah dilakukan oleh masyarakat lokal yaitu Pokdarwis Nglanggeran yang telah mampu mengangkat potensi lokal menjadi potensi regional bahkan selanjutnya dapat diangkat menjadi potensi nasional.

Komunikasi partisipatif merupakan paradigma komunikasi pembangunan yang memiliki prinsip komunikasi horisontal untuk mendorong partisipasi masyarakat melalui dialog. Masyarakat lokal diajak berpartisipasi dalam mengidentifikasi kebutuhan dan tindakan alternatif untuk memenuhi kebutuhan pembangunannya melalui dialog dengan stakeholder lainnya yang terlibat dalam proses pembangunan (Bessette 2007). Proses dialog dalam komunikasi partisipatif bersifat dinamis, interaksional dan transformatif. Dialog terjadi antar individu, kelompok dan institusi dengan pihak lainnya baik individu maupun kolektif, untuk mewujudkan potensi mereka dan meraih kesejahteraan hidupnya (Singhal 2001).

Dialog merupakan hal yang paling penting dalam komunikasi partisipatif pada sebuah komunitas/kelompok sosial. Dagron (2008) menambahkan bahwa dialog merupakan kunci dari komunikasi partisipatif dalam pembangunan, jika ingin melibatkan masyarakat sipil dalam pembangunan maka adanya dialog tidak bisa dihindarkan, begitu juga jika sebuah organisasi pembangunan ingin membangun hubungan dengan pemerintah dan masyarakat sosial, maka dialog merupakan hal yang paling penting dilakukan dalam tingkat komunitas/kelompok. Dalam dialog terjadi sharing knowledge dan pengalaman dengan para stakeholder untuk mengidentifikasi masalah, menganalisis dan menetapkan solusi atas permasalahan yang terjadi serta mengevaluasi (Tufte&Mefalopulos 2009). Tidak akan ada kelompok tanpa adanya dialog di dalamnya, begitu pula sebaliknya tidak ada dialog bila tidak terbentuk kelompok. Proses dialog sendiri dimaknai dengan pembentukan makna dan menyampaikan nilai sosial antara individu yang saling bertukar informasi. Hal tersebut menandakan bahwa dialog selalu diawali dengan proses komunikasi dalam diri individu (intrapersonal) sebelum menyampaikan ide/aspirasinya ke anggota kelompok yang lain maupun komunikator pembangunan dengan memperhatikan norma dan nilai-nilai yang berlaku (Rahim 2004).

(18)

purba Nglanggeran yang pada akhirnya berhasil membawa kelompok lain secara partisipatif berperan dalam mengelola kawasan wisata tersebut. Keberhasilan ini perlu dikaji sehingga diketahui bahwa komunikasi partisipatif berperan membawa keberhasilan Pokdarwis dalam mengelola kawasan Wisata Gunung Api Purba Nglanggeran. Demikian pula dengan komunikasi partispatif yang dikembangkan sehingga anggota Pokdarwis mempunyai peran yang sama dalam wujud kepedulian dan keinginan untuk maju dan berkembang dengan memanfaatkan potensi lokal yang ada sehingga dapat menjadi faktor kemajuan daerah wisata ini.

Perumusan Masalah

Pengelolaan kawasan wisata Gunung api purba diinisiasi dengan pembentukan desa wisata dalam PNPM Mandiri Pariwisata oleh Kementerian Pariwisata tahun 2011. Prinsip-prinsip PNPM Mandiri seperti yang disebutkan pada pasal 4 UU No 6/2014 tentang Desa bahwa pengaturan Desa salah satunya bertujuan untuk mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama. Hal ini dibuktikan bahwa melalui komunikasi partisipatif telah dibentuk kelompok sadar wisata (Pokdarwis) yang sangat berperan dalam pengelolaan kawasan wisata ini, namun demikian perlu dikaji lebih jauh permasalahan yang dihadapi Pokdarwis ini sehingga diharapkan dapat tetap berkelanjutan perannya pada waktu yang akan datang. Beberapa penelitian terdahulu seperti Saputra (2011), Mulyasari (2009), Muchlis (2009), dan Satriani (2011) memiliki sumber referensi yang berbeda, dan fokus obyek penelitiannya juga berbeda sesuai dengan sudut pandang masing-masing peneliti. Penelitian terdahulu tersebut tidak membahas hingga pengelolaan wisata. Penelitian ini menganalisis tentang fasilitator yang juga merupakan kelompok sosial masyarakat dengan nama kelompok sadar wisata (Pokdarwis), dan peran komunikasi partisipatif juga dianalisis hubungannya dengan pengelolaan wisata. Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut, maka penelitian mengenai komunikasi partisipatif Kelompok Sadar Wisata dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi penting untuk diteliti.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam pengelolaan lokasi wisata Gunung Api Purba ini adalah :

(1) Bagaimanakah komunikasi partisipatif yang terjadi pada kelompok sadar wisata dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran ? (2) Bagaimana hubungan antara karakteristik individu, kredibilitas

fasilitator, dan dukungan kelembagaan dengan komunikasi partisipatif dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran ?

(3) Bagaimana hubungan komunikasi partisipatif oleh kelompok sadar wisata yang dapat berperan dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran ?

Tujuan Penelitian

(19)

(1) Mendeskripsikan komunikasi partisipatif yang terjadi pada kelompok sadar wisata dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran. (2) Menganalisis hubungan antara karakteristik individu, kredibilitas

fasilitator, dan dukungan kelembagaan dengan komunikasi partisipatif dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran.

(3) Menganalisis hubungan komunikasi partisipatif oleh kelompok sadar yang wisata dapat berperan dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran.

Manfaat Penelitian

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Komunikasi Partisipatif

Selama ini pogram pembangunan kerap ditentukan sendiri oleh pemerintah pusat (top-down), sehingga tidak mencerminkan kebutuhan masyarakat hingga tingkat bawah (grassroot). Aliran komunikasi yang searah dan cenderung top-down ini memaksa masyarakat hanya menjadi pihak penerima pasif, dan mengesampingkan hak mereka untuk berpartisipasi, bersuara maupun berpendapat. Freire (1972) mengistilahkan ketidakmampuan masyarakat untuk menyuarakan aspirasi dan permasalahan yang dihadapi dengan istilah voiceless people.

Keterlibatan partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam setiap kegiatan pembangunan memegang peranan penting dalam menentukan keberhasilan pembangunan (McPhail 2009). Srampickal (2006) menambahkan dibutuhkan partisipasi aktif dari grassroot untuk melancarkan jalannya pembangunan.

Semua partisipasi merupakan hasil dari adanya komunikasi, namun tidak semua komunikasi berbentuk partisipatif (Singhal 2001). Partisipasi masyarakat bisa diraih dengan menggunakan komunikasi horisontal yang berlangsung dua arah. Proses komunikasi partisipatif juga menekankan pada kemampuan anggota komunitas agar mampu menyampaikan aspirasinya serta berbagi informasi yang lebih dikenal dengan istilah voice. Komunikasi partisipatif menjunjung tinggi adanya voice sebagai hak asasi dari seluruh masyarakat yang terlibat dalam proses pembangunan (Warnock et al. 2007).

Aspirasi atau voice dalam komunikasi partisipasi menekankan pada hak seluruh individu untuk didengar, berbicara, dan kemungkinan bagi tiap individu berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan dalam menentukan kehidupannya (Warnock et al. 2007; McPhail 2009). Bentuk partisipasi masyarakat dalam menyuarakan aspirasinya adalah dengan berkontribusi pada setiap proses komunikasi, diantaranya adalah menyampaikan pandangan, berpartisipasi dalam pembuatan keputusan, bertindak dalam pencarian informasi.

(21)

menjalankan proses komunikasi (voice, dialog dan refleksi aksi) pada kegiatan pembangunan yang bertujuan untuk memperbaiki taraf hidupnya.

Salah satu perbedaan yang paling mendasar dari kelompok adalah karakteristiknya. Karakteristik merupakan sifat-sifat atau ciri-ciri yang melekat pada sesuatu baik itu benda, orang maupun makhluk hidup lainnya, yang berhubungan dengan berbagai aspek kehidupannya (Mardikanto 1993). Bisa diasumsikan bahwa karaktersitik kelompok merupakan ciri-ciri yang melekat dalam kelompok tersebut. Ciri-ciri tersebut menjadi pembeda antara kelompok satu dengan yang lainnya (Suharno 2009). Syam et al (2000) menyebutkan bahwa karakteristik pada kelompok tani yang mendasar adalah umur kelompok, aktifitas keanggotaan kelompok dan luas areal usaha tani. Tidak jarang program pembangunan harus mengelola beberapa kelompok sekaligus, yang tentu saja karakteristik kelompok satu dan lainnya berbeda. Perbedaan itulah yang kemudian difasilitasi oleh komunikator pembangunan melalui dialog untuk membangun konsensus sesuai dengan masalah dan kebutuhan masing-masing kelompok.

Paradigma komunikasi partisipatif ditandai dengan terakomodasinya aspirasi semua pihak dalam program pembangunan. Oleh karena itu, pendekatan partisipatif lebih tepat digunakan dalam era globalisasi, karena menurut Sumardjo (1999), pendekatan tersebut lebih memungkinkan terjadi integrasi antara kepentingan nasional dengan kepentingan masyarakat dan potensi dan permasalahan lingkungan setempat. Pendekatan partisipatif lebih menempatkan martabat manusia secara layak, keberadaan masyarakat dengan aspek kepentingan dan kemampuannya lebih dikenali dan dihargai, sehingga lebih mendorong terjadi partisipasi yang lebih luas.

Partisipasi masyarakat pada kenyataannya berawal atau dilandasi dengan adanya kebersamaan (togetherness, commonality). Kebersamaan dalam mengartikan atau mempersepsikan sesuatu (misalnya masalah atau kesulitan) yang penting bagi masyarakat bersangkutan. Kebersamaan dalam cara-cara memecahkan masalah. Kebersamaan dalam melaksanakan keputusan-keputusan untuk masalah yang dirasakan. Model partisipasi masyarakat telah bergeser dari yang sebelumnya terfokus pada penerima manfaat atau kelompok terabaikan (sebagaimana yang diterapkan dalam banyak proses pembangunan), ke bentuk pelibatan warga yang lebih luas di bidang-bidang yang mempengaruhi kehidupan mereka secara langsung (Sumarto 2003). Komunikasi partisipatif mengasumsikan adanya proses humanis yang menempatkan individu sebagai aktor aktif dalam merespon setiap stimulus yang muncul dalam lingkungan yang menjadi medan kehidupannya. Individu bukanlah wujud yang pasif yang hanya bergerak jika ada yang menggerakan.Individu adalah wujud dinamis yang menjadi subjek dalam setiap perilaku yang diperankan termasuk perilaku komunikasi (Hamijoyo 2005).

Pemikiran inti dari model komunikasi partisipatif adalah bahwa dalam proses pembicaraan dapat dimungkinkan dan diperhitungkan timbulnya ide-ide baru pada waktu komunikasi sedang berlangsung. Jika dalam model linier titik berat pada pesan-pesan yang telah dipersiapkan dulu, dalam model partisipasi ini ada satu cerminan situasi komunikasi yang sebenarnya, sehingga dengan jelas dapat dilihat apakah pihak-pihak yang berkomunikasi telah berhasil saling mempengaruhi atau tidak, dapat dilihat akibat dari pesan yang telah dikirim. Model ini juga memperlihatkan situasi interaktif antara pihak-pihak yang berkomunikasi dan dapat berlangsung dalam bentuk komunikasi antar pribadi dan kelompok (Sulistyowati et al. 2005).

Menurut Servaes (2002) adapun prinsip-prinsip komunikasi partisipatif yang terdiri dari: (1) masyarakat biasa (bukan agen perubahan atau struktur kekuasaan

(22)

kemandirian masyarakat; (2) tujuan pembangunan adalah pendidikan dan aktivitas orang terhadap perbaikan diri dan masyarakat, keterlibatan orang lokal dalam pengelolaan dan evaluasi program pembangunan, pendidikan penting untuk

pemberdayaan bukan instruksi “know-how”, belajar bukan proses pasif; (3)

pergeseran kembali fokus dari negara kepada masyarakat lokal; (4) partisipasi melibatkan pendistribusian kembali kekuasaan dari elit kepada masyarakat lokal dan (5) komunikasi partisipatif memerlukan pelaksanaan penelitian dalam tradisi baru

yang disebut “penelitian partisipatif”. Maksudnya penelitian yang memungkinkan

masyarakat melakukan sendiri bukan temuan akademisi atau “ahli”, karena masyarakat dipercaya dapat merefleksikan situasi yang menindas mereka dan

mengubahnya, mereka lebih mengetahui kebutuhan dan realitasnya daripada “para ahli”.

White (2004) mendefinisikan komunikasi partisipatif sebagai dialog terbuka, sumber dan penerima berinteraksi secara kontinyu, memikirkan secara konstruktif situasi, mengidentifikasi kebutuhan dan permasalahan pembangunan, memutuskan apa yang yang dibutuhkan untuk meningkatkan situasi dan bertindak atas situasi tersebut. Singhal (2001) mengartikan komunikasi partisipatif adalah sebuah proses dinamis, interaktif dan transformasional, di mana orang terlibat dalam dialog, dengan individu dan kelompok masyarakat dalam rangka merealisasikan potensi secara penuh agar dapat meningkatkan kehidupan mereka.

Menurut Bordenave dalam White (2004) komunikasi partisipatif dapat diartikan sebagai proses komunikasi yang memberikan kebebasan, hak dan akses yang sama dalam memberikan pandangan, perasaan, keinginan, pengalaman dan menyampaikan informasi ke masyarakat untuk menyelesaikan sebuah masalah melalui dialog. Dialog adalah komunikasi transaksional dimana pengirim (sender) dan penerima (receiver) pesan saling berinteraksi dalam suatu periode waktu tertentu hingga sampai pada makna-makna yang saling berbagi. Esensi dari dialog adalah mengenal dan menghormati pembicara lain atau suara lain, sebagai subjek yang otonom, tidak lagi hanya sebagai objek komunikasi. Dalam dialog setiap orang 12 memiliki hak yang sama untuk bicara atau untuk didengar dan mengharap bahwa suaranya tidak akan ditekan oleh orang lain atau disatukan dengan suara orang lain.

Rahim dalam White (2004) mendefinisikan komunikasi partisipatif adalah suatu proses komunikasi dimana terjadi komunikasi dua arah atau dialogis, sehingga menghasilkan suatu pemahaman yang sama terhadap pesan yang disampaikan. Dalam konsep public sphere, dialog merupakan suatu aktivitas komunikasi yang terbuka dan dapat diakses oleh para peserta. Dalam konsep ini yang dicari bukan saja berorientasi pada keberhasilannya masing-masing, namun yang lebih penting adalah bagaimana situasi pemahaman bersama terhadap realitas menjadi dasar bagi pencapaian kepentingan mereka, tanpa mengabaikan kesesuaian antara rencana dan aksi (Habermas 1990).

(23)

Menurut Freire (1972) semua orang baik secara individual dan kolektif memiliki hak untuk berbicara. Berbicara bukan hak istimewa dari beberapa orang, namun hak setiap manusia. Freire menyadari bahwa kebodohan dan kelalaian mereka membuat mereka menjadi tidak memiliki keberanian dan kemampuan uantuk menjawab realitas-realitas kongkret dari dunia mereka. Mereka tetap saja tenggelam dalam suatu keadaan di mana kesadaran kritis dan jawaban semacam itu praktis tidak mungkin. Mereka merupakan masyarakat yang tersisihkan, tak berdaya, yang kemudian menjadi tidak berani berbicara sehingga kemudian memunculkan satu kebudayaan yang dikenal dengan nama “kebudayaan bisu” atau “cultures of silence”. Budaya bisu akan bisa diubah menjadi budaya kritis, di mana orang berani bicara untuk memperjuangkan hak hidupnya menjadi manusia yang sesungguhnya. Walau

upayanya tersebut tampaknya “hanya” dalam aspek pendidikan, namun dampaknya

secara cukup kuat dan signifikan mempengaruhi ikhtiar pembangunan nasional. Komunikasi partisipatif memiliki kegiatan dialog yang menyaratkan bahwa orang-orang yang terlibat di dalamnya berada dalam level yang sama, berbicara dalam frekuensi yang sama tentang sesuatu hal yang dihadapi. Tatkala seseorang merasa lebih pintar dari orang lain dari anak-anak itu dan memaksakan pendapatnya maka yang terjadi adalah proses transfer sebagaimana yang kerap terjadi dalam pendidikan formal. Model komunikasi partisipatif, di sisi lain mengubah pandangan dalam kerangka keragaman. Ini menekankan pentingnya identitas budaya masyarakat lokal dan demokratisasi dan partisipasi di semua tingkat-internasional, nasional, lokal dan individu. Proses pemberdayaan (empowerment) sejatinya harus ditujukan untuk

“membantu partisipan memperoleh daya (kuasa) untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya.“ (Payne 1979 diacu dalam Nasdian 2003). Harus diakui bahwa selama ini, peran serta masyarakat hanya dilihat dalam konteks yang sempit, artinya manusia cukup di pandang sebagai tenaga kasar untuk mengurangi biaya pembangunan. Dengan kondisi ini, partisipasi masyarakat “terbatas” pada implementasi atau penerapan program; masyarakat tidak dikembangkan dayanya menjadi kreatif dari dalam dirinya dan harus menerima keputusan yang sudah diambil “pihak luar”. Akhirnya, partisipasi menjadi bentuk yang pasif dan tidak memiliki “kesadaran kritis” (Nasdian 2003).

Kelompok Sosial

Kelompok sosial atau social group adalah himpunan atau kesatuan manusia yang hidup bersama, karena adanya hubungan di antara mereka. Hubungan tersebut antara lain menyangkut hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk saling menolong (Soekanto 2006:104).

(24)

Teori sosiologi senantiasa membedakan dua jenis kelompok sosial. Pertama, apa yang disebut kelompok primer yaitu suatu wadah tempat berhimpunnya satu atau lebih individu yang memiliki hubungan personal antar mereka yang sangat dekat dan pola interaksi sesamanya biasanya sangat informal. Pada kelompok primer ini hampir semua persoalan didiskusikan walau tanpa arah dan penyelesaian tertentu yang jelas, serta tidak ada rahasia antar anggota kelompok. Keanggotaan kelompok ini biasanya homogeny dari suatu garis keturunan, kepercayaan, pertemanan, informal dan sejenisnya. Wujud pembentukan kelompok ini biasanya mulai dari keluarga, perkumpulan sesame teman-teman dekat, kelompok garis keturunan dan sejenisnya. Kedua, yaitu kelompok sekunder yang didalamnya berimpun sekelompok orang dengan spesialisasi tertent atau memiliki tujuan-tujuan khusus organisasi dan dengan pembagian tugas, untuk para pengurus dan anggotanya, secara jelas yang merefleksikan peran mereka untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Hubungan interpersonal dalam kelompok ini relative terbatas dan frekuensi pertemuan antar anggota kelompok biasaya tidak berlangsung secara terus menerus. Pada kelompok yang disebut terakhir, dalam wujud kekiniannya merupakan bentuk organisasi modern yang bersifat lebih formal.

Komunikasi Partisipatif dalam Kelompok Sadar Wisata

Pembangunan kepariwisataan memerlukan dukungan dan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan di bidang pariwisata. Masyarakat adalah salah satu unsur penting pemangku kepentingan untuk bersama-sama dengan Pemerintah dan kalangan usaha/swasta bersinergi melaksanakan dan mendukung pembangunan kepariwisataan, oleh karena itu pembangunan kepariwisataan harus memperhatikan posisi, potensi dan peran masyarakat baik sebagai subjek atau pelaku maupun penerima manfaat pengembangan, karena dukungan masyarakat turut menentukan keberhasilan jangka panjang pengembangan kepariwisataan. Dukungan masyarakat dapat diperoleh melalui penanaman kesadaran masyarakat akan arti penting pengembangan kepariwisataan, untuk itu dibutuhkan proses dan pengkondisian untuk mewujudkan masyarakat yang sadar wisata. Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) merupakan salah satu komponen dalam masyarakat yang memiliki peran dan kontribusi penting dalam pengembangan kepariwisataan di daerahnya. Keberadaan Pokdarwis tersebut perlu terus didukung dan dibina sehingga dapat berperan lebih efektif dalam turut menggerakkan partisipasi masyarakat untuk mewujudkan lingkungan dan suasana yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya kegiatan kepariwisataan di sekitar destinasi pariwisata.

(25)

Pemberdayaan Masyarakat (2010). Definisi tersebut menegaskan posisi penting masyarakat dalam kegiatan pembangunan, yaitu masyarakat sebagai subjek atau pelaku pembangunan, dan masyarakat sebagai penerima manfaat pembangunan. Masyarakat sebagai subyek atau pelaku pembangunan, mengandung arti, bahwa masyarakat menjadi pelaku penting yang harus terlibat secara aktif dalam proses perencanaan dan pengembangan kepariwisataan, bersama-sama dengan pemangku kepentingan terkait lainnya baik dari pemerintah maupun swasta. Dalam fungsinya sebagai subjek atau pelaku masyarakat memiliki peran dan tanggung jawab untuk bersama-sama mendorong keberhasilan pengembangan kepariwisataan di wilayahnya. Masyarakat sebagai penerima manfaat, mengandung arti, bahwa masyarakat diharapkan dapat memperoleh nilai manfaat ekonomi yang berarti dari pengembangan kegiatan kepariwisataan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan sosial masyarakat yang bersangkutan. Dalam kerangka pembangunan kepariwisataan tersebut, salah satu aspek mendasar bagi keberhasilan pembangunan kepariwisataan adalah dapat diciptakannya lingkungan dan suasana kondusif yang mendorong tumbuh dan berkembangnya kegiatan kepariwisataan di suatu tempat. Iklim atau lingkungan kondusif tersebut terutama dikaitkan dengan perwujudan Sadar Wisata dan Sapta Pesona yang dikembangkan secara konsisten di kalangan masyarakat yang tinggal di sekitar destinasi pariwisata.

Sadar wisata dalam hal ini digambarkan sebagai bentuk kesadaran masyarakat untuk berperan aktif dalam 2 (dua) hal berikut, yaitu:

a) Masyarakat menyadari peran dan tanggung jawabnya sebagai tuan rumah (host) yang baik bagi tamu atau wisatawan yang berkunjung untuk mewujudkan lingkungan dan suasana yang kondusif sebagaimana tertuang dalam slogan Sapta Pesona.

b) Masyarakat menyadari hak dan kebutuhannya untuk menjadi pelaku wisata atau wisatawan untuk melakukan perjalanan ke suatu daerah tujuan wisata, sebagai wujud kebutuhan dasar untuk berekreasi maupun khususnya dalam mengenal dan mencintai tanah air.

Sapta pesona, sebagaimana disinggung di atas adalah : 7 (tujuh) unsur pesona yang harus diwujudkan bagi terciptanya lingkungan yang kondusif dan ideal bagi berkembangnya kegiatan kepariwisataan di suatu tempat yang mendorong tumbuhnya minat wisatawan untuk berkunjung”. Ketujuh unsur Sapta Pesona yang dimaksud di atas adalah : 1. Aman, 2. Tertib, 3. Bersih, 4. Sejuk, 5. Indah, 6. Ramah,7. Kenangan.

Terwujudnya ketujuh unsur Sapta Pesona dalam pengembangan kepariwisataan di daerah akan bermuara pada:

(1) Meningkatnya minat kunjungan wisatawan ke destinasi. (2) Tumbuhnya iklim usaha kepariwisataan yang prospektif.

(3) Meningkatnya lapangan pekerjaan dan peluang pendapatan, serta dampak ekonomi multi ganda pariwisata bagi masyarakat.

(26)

pemangku kepentingan terkait lainnya. Dalam hal ini Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) atau kelompok penggerak pariwisata sebagai bentuk kelembagaan informal yang dibentuk anggota masyarakat (khususnya yang memiliki kepedulian dalam mengembangkan kepariwisataan di daerahnya), merupakan salah satu unsur pemangku kepentingan dalam masyarakat yang memilki keterkaitan dan peran penting dalam mengembangkan dan mewujudkan Sadar Wisata dan Sapta Pesona di daerahnya.

Kelompok sadar wisata, selanjutnya disebut dengan Pokdarwis, adalah kelembagaan di tingkat masyarakat yang anggotanya terdiri dari para pelaku kepariwisataan yang memiliki kepedulian dan tanggung jawab serta berperan sebagai penggerak dalam mendukung terciptanya iklim kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya kepariwisataan serta terwujudnya Sapta Pesona dalam meningkatkan pembangunan daerah melalui kepariwisataan dan manfaatkannya bagi kesejahteraan masyarakat sekitar. Pokdarwis ini merupakan kelompok swadaya dan swakarsa masyarakat yang dalam aktivitas sosialnya berupaya untuk:

(1) Meningkatkan pemahaman kepariwisataan.

(2) Meningkatkan peran dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan kepariwisataan.

(3) Meningkatkan nilai manfaat kepariwisataan bagi masyarakat/anggota Pokdarwis.

(4) Mensukseskan pembangunan kepariwisataan.

Kredibilitas Fasilitator

Komunikasi akan efektif bila komunikan mengalami proses internalisasi, jika komunikan menerima pesan yang sesuai dengan sistem nilai yang di anut. Komunikan merasa memperoleh sesuatu yang bermanfaat jika pesan yang disampaikan memiliki rasionalitas yang dapat diterima. DeVito (1997) memahami kredibilitas komunikator sebagai hal penting untuk menjadikan orang lain (komunikan) percaya atau tidak percaya terhadap apa yang disampaikan komunikator. Kredibilitas penting dalam dunia pendidikan, karena ini mempengaruhi citra pendidik di depan kelas. Kredibilitas penting bagi fasilitator karena akan mempengaruhi anggota komunitas untuk menjalankan program-program pemberdayaan. Tidak ada situasi komunikasi dimana kredibilitas tidak mempunyai pengaruh atau efek bagi komunikan. Lebih lanjut DeVito (1997) mengidentifikasi tiga aspek kualitas utama dari kredibilitas : (1) Kompetensi, mengacu pada pengetahuan dan kepakaran yang menurut khalayak dimiliki oleh komunikator; (2) Karakter, mengacu pada itikad dan perhatian komunikator kepada khalayak dan (3) Kharisma, mengacu pada kepribadian dan kedinamisan komunikator.

Belch (2001) mengatakan bahwa seorang komunikator atau sumber yang kredibel sangat penting bila audiens memiliki sikap yang negatif terhadap produk, jasa, perusahaan atau isu yang tengah diangkat. Hal ini dikarenakan komunikator atau sumber yang kredibel dapat menghambat konter argumen dari audien.

(1). Keahlian

(27)

dipresepsikan sebagai orang yang dapat memberikan penilaian yang benar dan tegas.

(2). Kejujuran

Kejujuran adalah tingkat kepercayaan terhadap niat komunikator dalam mengkomunikasikan penilaian yang dianggapnya paling benar.Jujur atau tidaknya sumber bergantung pada persepsi audiens tentang motivasinya dalam menyampaikan sebuah informasi. Menurut Belch dan Belch (2001) jika audiens merasa sumber bias atau memiliki kepentingan pribadi atau uang ketika menyampaikan suatu produk atau institusi, maka ia menjadi kurang persuasi dibanding orang yang dianggap tidak memiliki motif pribadi apapun.

(3). Daya tarik

Daya tarik bukan dilihat dari kecantikan fisik saja melainkan juga berbagai sifat dan karakter yang dimiliki oleh fasilitator, misalnya kemampuan intelektual, kepribadian, gaya hidup dan sebagainya. Seorang fasilitator memiliki nilai tambah berupa kekaguman dari banyak orang. Penampilan seseorang dalam berkomunikasi akan mempengaruhi proses komunikasi yang dilakukannya. Dalam kaitan dengan kredibilitas sumber pesan, pengaruh penampilan terutama pada kontak pertama antara sumber dan penerima pesan.

(4). Keakraban

Aspek ini merujuk pada pengetahuan tentang sumber yang dimiliki audien melalui terpaan media massa. Keakraban sering diabaikan oleh institusi karena mereka lebih memperhatikan aspek kesamaan dan daya tarik sumber (Belch dan Belch 2001).

Ada beberapa peranan yang dilakukan oleh fasilitator dalam pemberdayaan masyarakat. Dalam suatu dimensi waktu tertentu, seorang fasilitator dapat berperan sebagai “enabler” atau “organizar” atau “educator”. Peranan ini bergerak dari satu ke lainya, sehingga ia memiliki peranan ganda.Oleh karena itu, tampak jelas, peranan yang disandang oleh fasilitator lebih sebagai seorang yang

generalist” (Nasdian 2003).

Desa Wisata dengan Kawasan Ekowisata Berwawasan Lingkungan Berbasis Masyarakat

Kelompok sadar wisata di Nglanggeran memiliki arah pengembangan pengelolaan wisata yang akan dilakukan sesuai dengan konsep rintisan awal bersama masyarakat yaitu:

(1) Prinsip ramah lingkungan (alam dan budaya): memperdulikan daya dukung lingkungan, pelestarian SDA dan budaya masyarakat, menerapkan zonasi kawasan untuk meminimalkan kerusakan dan meningkatkan kenyamanan pengunjung, menyusun dan implementasi mekanisme monitoring untuk mengurangi ancaman kerusakan dari kegiatan pariwisata, menyusun tata kelola pengunjung

(28)

implementasi, masyarakat desa sebagai pelaku dan penerima manfaat terbesar dalam pengembangan pariwisata desa, menyusun mekanisme distribusi keuntungan dari kegiatan pariwisata, menyusun mekanisme investasi pariwisata yang memprioritaskan peluang untuk warga desa (3) Prinsip Ramah Wisatawan: pelibatan masyarakat sebagai pelaku wisata,

program pelatihan untuk meningkatkan SDM insan wisata, menciptakan kenyamanan pengunjung dengan menerapkan SOP pengelola soal kebersihan kesehatan keamanan, monitoring kepuasan pengunjung dan juga kepuasan masyarakat

Hasil Penelitian Terdahulu

Komunikasi partisipasi adalah salah satu model komunikasi program pembangunan yang melekat pada pemberdayaan masyarakat. Hasil penelitian terdahulu menjelaskan bahwa komunikasi partisipasi memiliki pengaruh terhadap kelangsungan dalam sebuah program.

Saputra (2011) meneliti mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku komunikasi partisipatif fasilitator (kasus PNPM Mandiri di kota Bandar Lampung). tujuan penelitian ini adalah, (1) mendeskripsikan karakteristik, peran dan perilaku komunikasi partisipatif fasilitator (2) menganalisis hubungan karakteristik fasilitator dengan perilaku komunikasi partisipatif fasilitator, (3) menganalisis hubungan peran fasilitator dengan perilaku komunikasi partisipatif fasilitator di PNPM Mandiri di Kota Bandar Lampung. Kesimpulan penelitian ini adalah, jumlah terbesar peran fasilitator, yaitu untuk peran fasilitatif berada pada tingkatan sedang. Jumlah terbesar karakteristik fasilitator yaitu untuk pengetahuan non teknis berada pada tingkatan sedang, pendidikan nonformal dan pengetahuan teknis berada pada tingkatan tinggi, namun pengalaman berada pada tingkatan rendah. Pada perilaku komunikasi partisipatif, seluruh jumlah terbesar fasilitator untuk pemberian akses, dialog penyelesaian tugas kelompok, dialog pemeliharaan kelompok, dan refleksi aksi berada pada tingkatan yang tinggi. Karakteristik fasilitator yang meliputi pengalaman, pengetahuan nonteknis, pengetahuan teknis, dan pendidikan nonformal memiliki hubungan terhadap perilaku komunikasi partisipatif fasilitator. Peran fasilitatif fasilitator juga memiliki hubungan terhadap perilaku komunikasi partisipatif fasilitator.

(29)

pengurus UPKD, sedangkan pengurus UPKD telah memberikan kesempatan dan memotivasi warga agar dapat berpartisipasi. Komunikasi partisipatif warga pada tahap pelaksanaan juga berhubungan nyata dengan peubah kemampuan. Pengurus UPKD telah memberikan kesempatan kepada warga untuk dapat memberikan pertanyaan, pendapat dan saran terkait dengan kegiatan BRDP di Desa Pondok Kubang. Tetapi dengan rendahnya pendidikan, pengalaman, dan modal yang dimiliki oleh warga maka warga merasa tidak memiliki kemampuan untuk berpartisipasi pada kegiatan BRDP. Kemampuan yang rendah menyebabkan kemauan mereka untuk berpartisipasi juga semakin tidak ada. Mereka hanya bisa menjadi pendengar pasif dan komunikasi partisipatif yang diharapkan dapat berjalan antara pengurus UPKD dan warga tidak dapat berjalan dengan baik

Muchlis (2009) meneliti tentang Analisis Komunikasi Partisipatif dalam Program Pemberdayaan Masyarakat: Studi kasus pada Implementasi Musyawarah dalam PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Teluk, Kecamatan Pemayung, Kabupaten Batang Hari. Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan peran fasilitator dalam aktivitas PNPM MPd, mengungkapkan makna kredibilitas fasilitator menurut perspektif partisipan dan pelaku PNPM MPd serta menganalisis proses komunikasi yang berlangsung antara fasilitator dan partisipan pada aktivitas PNPM MPd dalam upaya pemberdayaan masyarakat. Berbagai musyawarah dalam PNPM MPd yang peneliti ikuti dan fakta empirik di lapangan memberikan penjelasan bahwa, RTM juga tidak memiliki peluang dalam berpartisipasi. Hal ini ditandai dengan RTM selalu tidak menerima undangan untuk kegiatan PNPM MPd. Dengan demikian peluang RTM dalam pengambilan keputusan juga tidak ada karena musyawarah selalu didominasi oleh elit desa dan fasilitator. Komunikasi partisipatif yang mengakomodir keberagaman (heteroglasia) baik dari perspektif ekonomi maupun gender belum terimplementasi secara baik. RTM dan kelompok perempuan tidak dilibatkan dalam proses komunikasi pada aktivitas PNPM MPd. Sebagai sebuah program yang mengusung isu pemberdayaan, PNPM MPd mestinya menjadikan setiap aktivitasnya sebagai proses untuk “membantu

partisipan” terutama RTM dan kelompok perempuan memperoleh “kuasa” untuk

mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan terkait dengan diri mereka. Konsep heteroglasia selalu mengajak kita untuk membawa agar sistem pembangunan mestinya selalu dilandasi dan menghargai keberagaman oleh berbagai kelompok dan komunitas yang berbeda baik dari variasi ekonomi, sosial, agama dan faktor budaya yang saling mengisi satu sama lain. Dialog sebagai ciri komunikasi partisipatif juga belum terjadi pada berbagai musyawarah dalam PNPM MPd. Hal ini dapat dilihat dimana program belum menjamin dan memberikan setiap orang memiliki hak yang sama untuk berbicara atau untuk didengar. Kesan yang ditangkap dalam musyawarah tersebut, forum adalah

“pengumuman” dari pelaku PNPM MPd sebagai perpanjangan tangan pemerintah

bukan musyawarah yang selalu mengedepankan dialog. Partisipan terkondisikan oleh situasi dimana mereka harus menyepakati misi yang dibawa oleh pelaku PNPM MPd dari pemerintah. Partisipan tidak diberi kesempatan mempertanyakannya sehingga kesadaran kritis yang diharapkan muncul dari proses musyawarah tidak terjadi. Esensi dari dialog adalah mengenal dan menghormati pembicara lain atau suara lain sebagai subjek yang otonom, tidak hanya sebagai objek komunikasi.

(30)

Bogor Barat. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis peran pendamping, perangkat kelurahan dan tokoh masyarakat dalam kegiatan Posdaya, menganalisis komunikasi partisipatif yang terjadi dalam kegiatan Posdaya, menganalisis dampak komunikasi partisipatif dalam kegiatan Posdaya bagi masyarakat serta menganalisis respons masyarakat terhadap kehadiran Posdaya. Komunikasi partisipatif yang terjadi dalam kegiatan Posdaya Kenanga meliputi meliputi akses, heteroglasia, poliponi, dialog dan karnaval. Kader di Posdaya Kenanga memiliki akses yang sama untuk berpartisipasi dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi serta pengambilan keputusan. Akses yang terlihat di Posdaya Kenanga adalah semua kader diundang untuk menghadiri rapat rencana kerja Posdaya Kenanga dan rapat evaluasi. Konsep heteroglasia terlihat dari latar belakang pendidikan, pekerjaan, usia yang berbeda serta kesetaraan gender. Memiliki keberagaman kader, meningkatkan saling menghargai sesama kader. Poliponi terjadi karena keterbukaan dalam penyampaian suara memberikan hak yang sama kepada kader tanpa ada penekanan atas pandangan kader yang satu dengan pandangan yang lain. Interupsi dalam rapat merupakan bentuk tidak adanya intervensi atau penekanan dan pemaksaan dalam menyampaikan pendapat maupun saran. Mengutarakan jawaban, pendapat, masukan, kritik serta ide antara kader dan pendamping tidak ada pembatas, antara kader dan pendamping sejajar sehingga

tidak ada yang merasa “digurui” ataupun “menggurui.” Dialog dalam

menyelesaikan atau mengatasi hambatan atau kendala dilakukan untuk mencari kesepakatan antara sesama kader. Melalui dialog terjadi saling menghargai dan saling memiliki kegiatan dalam Posdaya Kenanga sehingga menimbulkan rasa tanggung jawab sesama kader untuk menyelesaikan permasalahan. Konsep karnaval pada Posdaya Kenanga dilakukan oleh bidang kesehatan, ekonomi, dan lingkungan.

(31)

Kerangka Penelitian

Komunikasi partisipatif adalah bentuk komunikasi pada suatu kegiatan yang berdasar kepada keterlibatan masyarakat dalam setiap tahapan pelaksanaanya. Tahapan komunikasi partisipatif diawali dengan penggalian ide, perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi dan pengawasan. Komunikasi partisipatif oleh kelompok sadar wisata dipengaruhi oleh karakteristik individu, kredibilitas fasilitator, dan dukungan kelembagaan. Karakteristik individu merupakan ciri-ciri yang melekat pada seseorang terdiri dari umur, pendidikan, pekerjaan, dan motivasi. Kredibilitas fasilitator merupakan suatu tingkat kepercayaan sampai sejauh mana fasilitator dapat dipercaya oleh responden. Tingkat kepercayaan ini penting karena pada umumnya orang lebih dulu melihat siapa yang membawa pesan sebelum akhirnya dapat menerima pesan yang akan disampaikan. Kredibilitas fasilitator terdiri dari kejujuran, keahlian, daya tarik, dan keakraban.

Dukungan kelembagaan merupakan suatu upaya memenuhi kebutuhan yang diberikan oleh pihak yang berhubungan langsung terhadap kegiatan komunikasi partisipatif kelompok sadar wisata. Dukungan kelembagaan ini meliputi modal, sarana, dan prasarana.

Komunikasi partisipatif dilaksanakan oleh kelompok sadar wisata (Pokdarwis). Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) terdiri dari Karang Taruna Bukit Putra Mandiri, Pemerintah Desa, kelompok tani, ibu-ibu PKK, dan pemilik rumah singgah, memiliki tujuan yang sama dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran. Komunikasi partisipatif memiliki prinsip yaitu adanya sebuah dialog, aspirasi, serta aksi dan refleksi dari suatu kegiatan. Dialog merupakan bentuk proses komunikasi yang terjadi antara partisipan sebagai pelaku kegiatan dalam sebuah program dengan ciri memberikan hak yang sama dalam memberikan suara dalam pertemuan tersebut, saling menghormati dan menghargai pendapat dalam sebuah forum kegiatan. Aspirasi adalah ide-ide masyarakat yang tergali serta kehendak masyarakat yang diangkat dalam ruang pertemuan. Aksi dan refleksi adalah bentuk kegiatan yang dilakukan yang merupakan aksi komunikatif yang dilakukan pada program sehingga memiliki komitmen yang sama dalam pelaksanaannya.

(32)

Gambar 1. Kerangka pemikiran komunikasi partisipatif kelompok sadar wisata dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

(Y1) Komunikasi Partisipatif Kelompok Sadar Wisata Y1.1. Dialog

Y1.2. Aspirasi

Y1.3. Aksi dan refleksi (X1) Karakteristik

Individu X1.1. Umur X1.2.Tingkat

Pendidikan X1.3. Motivasi

(Y2) Pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran

Y2.1. Prinsip ramah lingkungan (alam dan budaya ) Y2.2. Tingkat keramahan masyarakat

Y2.3. Tingkat keramahan wisatawan (X2) Kredibilitas

Fasilitator X2.1. Tingkat Kejujuran X2.2. Tingkat Keahlian X2.3. Daya Tarik X2.4. Keakraban

[image:32.595.86.527.93.587.2]
(33)

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dirumuskan, maka disusun hipotesis penelitian ini sebagai berikut:

(1) : Terdapat hubungan nyata antara karakteristik individu, kredibilitas fasilitator, dan dukungan kelembagaan dengan komunikasi partisipatif kelompok sadar wisata.

(34)

METODE PENELITIAN

Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif didesain menggunakan deskriptif yang bertujuan untuk merangkum berbagai kondisi situasi ataupun berbagai variabel yang timbul di tempat penelitian. Jenis penelitian deskriptif bersifat korelasional yaitu menjelaskan dan mempelajari hubungan dua variabel atau lebih yang dinyatakan dengan derajat hubungan variabel dalam satu indeks yang dinamakan koefisien korelasi (Sugiyono 2011). Pendekatan kualitatif digunakan untuk menangkap dan mendeskripsikan realita di lapangan yang bisa melengkapi data dari pendekatan kuantitatif.

Penelitian ini mempunyai tujuan menganalisis dan mendeskripsikan hubungan antara variabel penelitian. Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel terikat dan variabel bebas. Variabel terikat adalah komunikasi partisipatif dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran, sedangkan variabel bebas terdiri dari karakteristik individu, kredibilitas fasilitator, dan dukungan kelembagaan.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di lokasi wisata Gunung Api Purba Nglanggeran, Desa Nglanggeran, Provinsi DI Yogyakarta mulai Desember – Januari 2016. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive dengan pertimbangan lokasi penelitian tersebut merupakan tempat wisata yang berdiri atas aspirasi dan usaha dari kelompok sadar wisata Desa Nglanggeran. Disamping itu wisata Gunung Api Nglanggeran merupakan wisata unggulan Daerah Istimewa Yogyakarta dan banyak dikunjungi wisatawan karena keunikannya. Aspirasi dan partisipasi masyarakat di Desa Nglanggeran dalam mengelola tempat wisata menjadi hal yang menarik untuk diteliti khususnya dalam aspek komunikasi partisipatif.

Populasi dan Sampel Penelitian

(35)

n : Jumlah sampel N: Jumlah Populasi

e : Batas Toleransi Kesalahan

2

) 05 , 0 ( 76 1

76  

n = 63,8655 = 64 orang

Dari anggota Pokdarwis sebanyak 76 orang yang berada di Desa Nglanggeran, didapatkan sampel penelitian minimal sebanyak 64 orang yang dapat dijadikan responden.

Penelitian ini diperkuat dengan data kualitatif yang diambil dari informan, informan terdiri dari tokoh desa, dan masyarakat sekitar yang tidak termasuk kedalam kelompok sadar wisata namun memiliki pengetahuan yang cukup informatif dalam memberikan data.

Data dan Instrumen Penelitian

Data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari responden. Data primer dalam penelitian ini meliputi :

(1) Karakteristik individu yang terdiri dari umur, pendidikan, pekerjaan, dan motivasi.

(2) Kredibilitas fasilitator terdiri dari tingkat kejujuran, tingkat keahlian, daya tarik, keakraban.

(3) Dukungan kelembagaan terdiri dari modal, sarana dan prasarana.

(4) Komunikasi partisipatif kelompok sadar wisata terdiri dari dialog, aspirasi, aksi dan refleksi.

(5) Pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran terdiri dari prinsip ramah lingkungan (alam dan budaya), ramah masyarakat, ramah wisatawan.

Selain dari data kuisioner, juga data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari literatur dan dokumen-dokumen yang telah diarsipkan dan berhubungan dengan penelitian seperti profil Pokdarwis, dan profil Desa.

Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan metode :

(36)

a) Wawancara yaitu mengadakan tanya jawab dengan masyarakat setempat dan kelompok sadar wisata sebagai pengelola yang berhubungan dengan penelitian ini

b) Oberservasi, yaitu mengadakan pengamatan secara langsung pada subyek penelitian untuk menguji kebenaran jawaban responden pada kuesioner

c) Dokumentasi yaitu mengadakan penelitian terhadap data-data yang telah didokumentasikan

Definisi Operasional

Definisi operasional dari variabel yang digunakan dalam penelitian ini seperti ditunjukan pada Tabel 1-5.

[image:36.595.106.519.313.711.2]

Tabel 1. Karakteristik individu (X1)

Tabel 2. Kredibilitas Fasilitator (X2)

No. Indikator Definisi Operasional Parameter Indikator

1. Umur Usia responden hidup

pada waktu penelitian dilaksanakan, yang diukur dalam satuan tahun dengan pembulatan ke ulang tahun terdekat

1. Diukur berdasarkan lama hidup responden sejak dilahirkan hingga penelitan berlangsung

1. Muda ( 15 – 25 ) 2. Dewasa ( 26 – 45 ) 3. Tua ( 46 - 60 )

2. Tingkat Pendidikan

Tingkatan responden dalam menempuh sekolah dari awal hingga penelitian berlangsung

1. Diukur berdasarkan tingkatan pendidikan formal dari jenjang awal sampai jenjang pendidikan terakhir

1. Rendah ( Tidak Sekolah ) 2. Sedang ( SD – SMP ) 3. Tinggi ( SMA – Sarjana)

3. Motivasi Dorongan yang timbul

dari diri responden untuk aktif mengikuti kelompok sadar wisata

1. Diukur berdasarkan tingkat kekuatan keinginan bergabung dalam kelompok sadar wisata

1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi

No. Indikator Definisi Operasional Parameter Indikator

1. Kejujuran Tingkat kepercayaan

yang dimiliki oleh fasilitator

1. Diukur berdasarkan kemampuan fasilitator dalam berbicara apa adanya, keterbukaan informasi, memegang amanah

1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi

2. Keahlian Kemampuan yang

dimiliki oleh fasilitator baik dari pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman dalam bidang pengelolaan wisata

1. Penilaian responden yang memiliki kemampuan dan pengetahuan yang memadai tentang desa wisata

1.Rendah 2.Sedang 3.Tinggi

3. Daya Tarik Kemampuan sifat dan

karakter fasilitator yang diminati oleh responden mencakup kemampuan intelektual, kepribadian, gaya hidup dan lainnya

1. Diukur berdasarkan tingkat minat responden terhadap fasilitator

1.Rendah 2.Sedang 3.Tinggi

4. Keakraban Kemampuan fasilitator

dalam bersosialisasi dengan responden

1. Diukur berdasarkan tingkat kedekatan fasilitator dengan responden dalam

berinteraksi

(37)
[image:37.595.78.490.103.229.2] [image:37.595.77.493.277.439.2]

Tabel 3. Dukungan Kelembagaan (X3)

Tabel 4. Komunikasi Partisipatif Kelompok Sadar Wisata (Y1)

Tabel 5. Pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran (Y2)

Validitas Instrumentasi

Pengujian validitas instrumen diperlukan untuk mendapatkan data sesuai dengan tujuan penelitian. Upaya yang dilakukan untuk memperoleh validitas instrumen yang baik dilakukan dengan konsultasi dengan ahli yang menguasai materi pertanyaan yang ditanyakan, dan pertanyaan diuji coba dengan peserta yang memiliki karakteristik yang sama pada daerah lain yang akan diambil sampel. Suatu instrumen dikatakan layak untuk digunakan dalam pengukuran apabila telah memenuhi syarat dalam validitas (kesahihan) dan reliabilitas (keterandalan). Untuk keperluan uji validitas dan reliabilitas dilakukan uji coba terhadap Kelompok Karang Taruna di

No. Indikator Definisi Operasional Parameter Indikator

1. Modal Dana yang menjadi

awalan dalam membetuk kelompok sadar wisata

1. Diukur berdasarkan tingkat kecukupan dana dalam mendukung berlangsungnya kegiatan wisata

1. Tidak Tercukupi 2. Tercukupi 3. Sangat Tercukupi

2. Sarana Segala sesuatu yang

dapat dipakai sebagai alat dalam mencapai maksud atau tujuan.

1. Diukur berdasarkan ketersediaan alat

1. Tidak Tercukupi 2. Tercukupi 3. Sangat Tercukupi

3. Prasarana Segala sesuatu yang merupakan penunjang utama terselenggaranya suatu proses.

1. Diukur berdasarkan akses

pendukung di Desa Wisata 1. Tidak Tercukupi 2. Tercukupi 3. Sangat Tercukupi

No. Indikator Definisi Operasional Parameter Indikator

1. Dialog Keaktifan responden

dalam bertukar pendapat untuk merefleksikan masalah dan kebutuhan di Desa wisata

1. Diukur berdasarkan tingkat keaktifan responden untuk berpendapat dalam setiap pertemuan kelompok

1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi

2. Aspirasi Kemampuan anggota

dalam menyampaikan ide maupun pendapat dalam setiap pertemuan dan kegiatan

1. Diukur berdasarkan tingkat keaktifan responden dalam mengungkapkan ide pendapat

1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi

3. Aksi dan refleksi Kemampuan responden dalam bekerjasama dan melakukan tindakan kolektif lainnya

2. Diukur berdasarkan tingkat keaktifan anggota dalam bentuk tindakan kolektif (gotong royong, kerja bakti, pertemuan kelompok)

1.Rendah 2.Sedang 3.Tinggi

No. Indikator Definisi Operasional Parameter Indikator

1. Prinsip ramah lingkungan ( alam dan budaya )

Kesadaran anggota dalam menerapkan rasa cinta kepada lokasi desa wisata

1.Diukur berdasarkan tingkat rasa mencintai lingkungan

1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi

2. Tingkat keramahan masyarakat Penerimaan masyarakat dalam bersosialisasi antara sesama penduduk

1.Tingkat penerimaan responden dalam menciptakan kerukunan antar masyarakat desa

1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi

3. Tingkat keramahan wisatawan Penerimaan masyarakat dalam bersosialisasi dengan pengunjung wisata

1.Tingkat penerimaan responden dalam menciptakan kenyamanan pengunjung

[image:37.595.76.493.484.611.2]
(38)

desa wisata Goa Pindul Gunung Kidul Yogyakarta. Kelompok tersebut dipilih berdasarkan kemiripan karakteristik dengan desa wisata Gunung Api Purba Nglanggeran. Responden yang dilakukan uji coba terdiri dari 10 responden. Dalam penelitian ini, uji validitas yang digunakan adalah korelasi produk momen (product moment correlation).

Reliabilitas Instrumentasi

Reliabilitas menunjukkan kepercayaan suatu alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik (Arikunto 2005). Reliabilitas (keterandalan) instrumen dilakukan dengan cara uji kuesioner. Hal tersebut dilakukan untuk memperkuat keterandalan instrumen kuesioner dengan cara mengoptimalkan keragaman kesalahan dengan mengungkapkan pertanyaan secara tepat, memberikan pertanyaan pendukung dengan satu pertanyaan yang sama dan mutunya, serta memberikan petunjuk pengisisan kuesioner secara tepat dan jelas. Untuk mencapai reliabilitas alat ukur yang maksimal maka akan dilakukan penyempurnaan instrumen melalui pengujian dengan menggunakan rumus Cronbach Alpha (Riduan 2004) sebagai berikut :

) )( 1 ( ) 1 )( ( 11 St k Si k r   

keterangan :

r11 = nilai reliabillitas k = jumlah item

Ʃsi = jumlah varian skors

St = Varian total

Berdasarkan hasil analisis statistik dengan menggunakan SPSS versi 21 terhadap seluruh instrumen terhadap 64 responden mendapatkan angka 0,574 seperti yang tersaji pada Tabel 1. Artinya alat ukur yang digunakan untuk mengambil data di lapangan adalah cukup reliabel. Kuesioner yang diberikan kepada 64 responden berisikan semua pertanyaan yang diharapkan dapat mendapatkan dan menggali informasi dari responden sesuai dengan tujuan penelitian yang dilakukan. Setelah mengadakan uji validitas terhadap masing-masing pertanyaan dalam kuesioner, hasilnya adalah valid. Pengujian reliabilitas dengan menggunakan uji Cronbach Alpha untuk menentukan apakah setiap instrumen reliabel atau tidak, yakni dengan skala 0 sampai dengan 1. Interpretasi reliabilitas instrumen adalah sebagai berikut :

(1). Nilai alpha Cronbach 0,00 – 0,20 = kurang reliabel/diabaikan (2). Nilai alpha Cronbach 0,21 – 0,40 = agak reliabel

(3). Nilai alpha Cronbach 0,41 – 0,60 = cukup reliabel (4). Nilai alpha Cronbach 0,61 – 0,80 = reliabel

(5). Nilai alpha Cronbach 0,81 – 1,00 = sangat reliabel (Arikunto 2005)

(39)

Analisis Data

Analisis data menggunakan analisis statistik deskriptif dan inferensial. Analisis statistik deskriptif menggunakan frekuensi dan persentase untuk menganalisis deskripsi dari variabel karakteristik individu, kredibilitas fasilitator, dukungan kelembagaan, komunikasi partisipatif, dan pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran. Analisis inferensial yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis korelasi rank Spearman. Korelasi rank Spearman digunakan untuk menganalisis hubungan antar variabel yang memiliki data ordinal dengan ordinal. Rumus koefisien rank Spearman adalah sebagai berikut:

) 1 (

6 1

2 2

   

N N

d rho

Keterangan:

Rs (rho) : Koefisien korelasi rank Spearman 1 : Bilangan konstan

6 : Bilangan konstan

d :Perbedaan antara pasangan jenjang

Σ : Sigma atau jumlah

N : Jumlah individu dalam sampel

(40)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Wilayah Kabupaten Gunungkidul terletak antara 7o 46’- 8o 09’ Lintang

Selatan dan 110o21’ - 110o50’ Bujur Timur, yang berbatasan dengan Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah di sebelah utara. Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah di sebelah timur. Samudra Indonesia di sebelah selatan dan Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta di sebelah barat. Luas wilayah Kabupaten Gunungkidul tercatat 1.485,36 Km2 yang meliputi 18 kecamatan dan 144 desa/kelurahan. Kecamatan Semanu merupakan kecamatan terluas dengan luas sekitar 108,39 Km2 atau sekitar 7,30 persen luas Kabupaten Gunungkidul.

Kabupaten Gunungkidul terdiri dari 18 kecamatan dan 144 desa, yaitu Kecamatan Panggang, Purwosari, Paliyan, Saptosari, Tepus, Tanjungsari, Rongkop, Girisubo, Semanu, Ponjong, Karangmojo, Wonosari, Playen, Patuk, Gedangsari, Nglipar, Ngawen dan Semin. Dari 144 desa, 16 desa masuk klasifikasi Swasembada dan 128 desa masih Swadaya. Jumlah penduduk Kabupaten Gunungkidul tahun 2014 berdasarkan hasil Estimasi Sensus Penduduk 2010, berjumlah 698.825 jiwa yang tersebar di 18 kecamatan dan 144 desa, dengan jumlah penduduk terbanyak yaitu Kecamatan Wonosari dengan 81.493 jiwa. Secara keseluruhan jumlah penduduk perempuan lebih banyak daripada penduduk laki-laki, yang tercermin dari angka rasio jenis kelamin 93,63. Penduduk Usia Kerja didefinisikan sebagai penduduk yang berumur 15 tahun ke atas. Penduduk Usia Kerja terdiri dari Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan Kerja. Mereka yang termasuk dalam Angkatan Kerja adalah penduduk yang bekerja atau yang sedang mencari pekerjaan, sedangkan Bukan Angkatan Kerja adalah mereka yang bersekolah, mengurus rumahtangga atau melakukan kegiatan lainnya. Dilihat dari status pekerjaan utama, sebagian besar penduduk Kabupaten Gunungkidul bekerja sebagai pekerja keluarga sekitar 28,14 persen dari jumlah penduduk yang bekerja, sedangkan yang berusaha dengan dibantu buruh tetap masih sangat sedikit yaitu hanya sekitar 2,05 persen. Berdasarkan data Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Gunungkidul, jumlah pencari kerja pendaftar baru di Kabupaten Gunungkidul tahun 2014 sebanyak 2.219 orang atau mengalami penurunan yang cukup signifikan yakni hampir mencapai 44 persen bila dibandingkan dengan tahun 2013.

(41)

Batas administratif Nglanggeran adalah:

1. Sebelah Utara : Desa Ngoro – oro 2. Sebelah Timur : Desa Nglegi 3. Sebelah Selatan : Desa Putat 4. Sebelah Barat : Desa Salam

Desa Nglanggeran terdiri dari 5 dusun/pedukuhan yaitu Dusun Karangsari, Dusun Doga, Dusun Nglanggeran Kulon, Dusun Nglanggeran Wetan dan Dusun Gunungbutak. Pusat pemerintahan desa terletak di Dusun Doga.

Terdapat potensi pariwisata di Desa Nglanggeran yaitu adanya Gunung Nglanggeran dan kini lebih dikenal dengan sebutan Gunung Api Purba. Secara fisiografi Gunung Api Purba Nglanggeran terletak di Zona Pegunungan Selatan Jawa Tengah-Jawa Timur (Van Bemmelen 1949) atau tepatnya di Sub Zona Pegunungan Baturagung (Baturagung Range) dengan ketinggian 700 meter dari permukaan laut dan kemiringan lerengnya curam-terjal (>45%). Gunung Nglanggeran berdasarkan sejarah geologinya merupakan gunung api purba yang berumur tersier (Oligo- Miosen) atau 0,6 – 70 juta tahun yang lalu. Material batuan penyusun Gunung Nglanggeran merupakan endapan vulkanik tua berjenis andesit (Old Andesite Formation). Jenis batuan yang ditemukan di Gunung Nglanggeran antara lain breksi andesit, tufa dan lava bantal. Singkapan batuan vulkanik klastik yang ditemukan di Gu

Gambar

Gambar 1.  Kerangka pemikiran komunikasi partisipatif  kelompok sadar wisata dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Tabel 2. Kredibilitas Fasilitator (X2)
Tabel 3. Dukungan Kelembagaan (X3)
Tabel 6 . Jumlah dan persentase karakteristik individu Pokdarwis
+7

Referensi

Dokumen terkait

V.2 Fasies Proksimal Gunung api Tersier Menoreh

Sesar turun yang berpola radier menunjukkan bahwa daerah ini merupakan zona fasies proksimal gunung api, hal ini ber-dasarkan pernyataan Bronto (2006) dalam papernya yang

Pengaruh positif juga “Semakin meningkatkan daya tarik wisata akan semakin dapat dibuktikan pada analisis diskriptif yang meningkatkat pula loyalitas wisatawan di Gunung Api

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi-potensi yang ada pada Gunung Api Purba sebagai kawasan ekowisata dan mengeksplorasi, menganalisis serta memformulasikan

Produk Atribut Wisata berupa Infografis 2 bahsa, Roll banner dan Spanduk Tabel dibawah adalah hasil kegiatan PKM di Gunung Padang, Tabel 1 Hasil Kegiatan PKM Pokdarwis Gunung