• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Bionomika Dalam Perencanaan Pembangunan Wilayah Peternakan Ruminansia Di Kabupaten Tasikmalaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Bionomika Dalam Perencanaan Pembangunan Wilayah Peternakan Ruminansia Di Kabupaten Tasikmalaya"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS BIONOMIKA DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN

WILAYAH PETERNAKAN RUMINANSIA

DI KABUPATEN TASIKMALAYA

WAHYU DARSONO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Bionomika dalam Perencanaan Pembangunan Wilayah Peternakan Ruminansia di Kabupaten Tasikmalaya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2016

Wahyu Darsono

(4)

RINGKASAN

WAHYU DARSONO. Analisis Bionomika dalam Perencanaan Pembangunan Wilayah Peternakan Ruminansia di Kabupaten Tasikmalaya. Dibimbing oleh EKA INTAN KUMALA PUTRI dan NAHROWI.

Komoditas peternakan, khususnya ternak ruminansia secara umum berada di perdesaan yang terkait dengan sumberdaya alam sesuai dengan bionomikanya, yang terdiri dari tiga komponen utama yaitu lahan, ternak dan pakan. Ruang lingkup penelitian ini adalah pada aspek biofisik dan manajemen sumberdaya lingkungan dalam pembangunan wilayah melalui pengembangan komoditas ternak ruminansia. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji aspek-aspek bionomika dalam perencanaan pembangunan wilayah peternakan ruminansia terutama untuk menetapkan wilayah prioritas pengembangannya. Metode analisis yang digunakan adalah metode Location Quotion (LQ), analisis potensi sumberdaya pakan dan kapasitas tampung serta karakteristik usaha dan tingkat pendapatan peternak.

Populasi ternak ruminansia di Kabupaten Tasikmalaya adalah 127.847,89 satuan ternak (ST) yang terdiri dari sapi potong 50.137 ST, sapi perah 2.106,00 ST, kerbau 13.568,85 ST, kambing 47.55,80 ST and domba 14.482,24 ST. Karakteristik usaha masih bersifat semi intensif dengan kelembagaan usaha berbentuk kelompok atau gabungan kelompok peternak. Rata-rata pendapatan peternak dari usaha peternakan adalah sebesar Rp. 2.678.619,- per satuan ternak per tahun dengan Return on Investment (ROI) paling baik pada komoditas kerbau (152,92%) dan kambing (87,40%). Terdapat enam kecamatan yang merupakan wilayah basis untuk sapi potong (Cipatujah LQ=1,62; Karangnunggal LQ=1,16; Cikalong LQ=1,13; Pancatengah LQ=1,38; Cikatomas LQ=1,40), satu kecamatan (Pagerageung LQ=10,23) sebagai wilayah basis sapi perah, empat kecamatan (Cipatujah LQ=1,36; Karangnunggal LQ=1,22; Culamega LQ=1,05; dan Cigalontang LQ=1,02) sebagai wilayah basis kerbau, tiga kecamatan (Leuwisari LQ=1,20; Sariwangi LQ=2,23; dan Cigalontang LQ=1,22) sebagai wilayah basis kambing, dan tidak ada wilayah basis ternak domba. Potensi pakan hijauan sebanyak 801,202.62 ton bahan kering (BK) yang menyebar di seluruh kecamatan, terutama di wilayah basis. Kapasitas tampung wilayah sebesar 341.174.08 ST untuk ternak ruminansia dan dapat ditingkatkan sebanyak 213.326.19 ST atau sekitar 160% dari populasi yang ada saat ini.

Wilayah prioritas pengembangan ternak ruminansia secara umum masih mengarah pada wilayah selatan Kabupaten Tasikmalaya, terutama di wilayah basis. Namun demikian, lokasi-lokasi non basis dapat dijadikan prioritas kedua untuk pengembangannya sesuai dengan kapasitas tampung wilayahnya dan daya dukung potensi produksi pakan hijauan. Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya perlu mendorong kebijakan pengembangan wilayah ternak ruminansia melalui penetapan kawasan sentra peternakan dengan komoditas unggulannya sesuai komoditas basis, peningkatan ketersediaan infrastruktur dasar berupa lahan sebagai basis ekologi ternak, sumberdaya manusia, kelembagaan dan sarana penunjang lainnya.

(5)

SUMMARY

WAHYU DARSONO. Bionomics Analysis in Regional Planning Development for Ruminants in Tasikmalaya District. Supervised by EKA INTAN KUMALA PUTRI and NAHROWI

Livestock commodities, particularly ruminants in Indonesia are generally located in rural areas related to natural resources in accordance with bionomics aspect, consists of three main components i.e: land, livestock and feed. Characteristics of the livestock faming are still traditional such as a sideline business and low scale of operations or ownership of livestock. This condition can affect the economic development of the area of the livestock subsector. The scope of this study was the biophysical and management of environmental resources in the development of the region through the development of ruminants based on population distribution and potential carrying capacity of land and forage resources. The objectives of research were to determine the priority of ruminant development region in Tasikmalaya District. Methods of the research used analysys area base using Location Quotion (LQ) method, feed resources potential and carryng capacity analysis.

Ruminants population in Tasikmalaya District were 127,847.89 animal unit (AU) consisted of beef cattle 50,137 AU, dairy cattle 2,106.00 AU, buffaloes 13,568.85 AU, goats 47,55.80 AU and sheep 14,482.24 AU. Characteristics of livestock farming are semi-intensive and join in a group of farmer or unigroup of farmer. The average of income in ruminants farming are Rp. 2,678,619,- per animal unit per year, buffaloes (152,92%) and goat (87,40%) has good level in return on investment (ROI). There were six subdistricts (Cipatujah LQ=1.62; Karangnunggal LQ=1.16; Cikalong LQ=1.13; Pancatengah LQ=1.38; Cikatomas LQ=1.40) as area base of beef cattle, one subdistrict (Pagerageung LQ=10.23) as area base of dairy cattle, four subdistrict (Cipatujah LQ=1.36; Karangnunggal LQ=1.22; Culamega LQ=1.05; Cigalontang LQ=1.02) as area base of buffaloes, three subdistrict (Leuwisari LQ=1.20; Sariwangi LQ=2.23; Cigalontang LQ=1.22) as area base of goats, and no area base for sheep. Potential production of feedstuff was 801,202.62 dry matter (DM) tons/year spread in every subdistrict, especially in the area base of ruminants. Tasikmalaya District had the carrying capacity 341,174.08 AU of ruminant and was still able to increase up to 213,326.19 AU or 160% of the real population.

The priority areas for the development of ruminants is generally still located in the southern of Tasikmalaya, especially in the area base. However, the locations of non area base can be used as a second priority to development in accordance with carrying capacities and feedstuff support. Government of Tasikmalaya needs to encourage policy of regional development through the establishment of regional ruminant farm centers with superior commodity based on commodity basis, the increase in the availability of basic infrastructure such as base land of animal ecology, human resources, institutional and other institutional supporting facilities.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

ANALISIS BIONOMIKA DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN

WILAYAH PETERNAKAN RUMINANSIA

DI KABUPATEN TASIKMALAYA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2016

(8)
(9)

Judul Tesis : Analisis Bionomika dalam Perencanaan Pembangunan Wilayah Peternakan Ruminansia di Kabupaten Tasikmalaya

Nama : Wahyu Darsono NIM : H152120101

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Eka Intan Kumala Putri MSi Ketua

Prof Dr Ir Nahrowi MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Prof Dr Ir Bambang Juanda MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah MScAgr

Tanggal Ujian: 31 Agustus 2016

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penelitian tesis ini berhasil disusun. Topik penelitian merupakan kajian pada aspek biofisik lingkungan dan manajemen sumberdaya alam dalam perencanaan pembangunan wilayah dan perdesaan dengan ternak ruminansia sebagai komoditas kajiannya. Penelitian yang dilaksanakan pada bulan Maret 2016 sampai dengan Juni 2016 ini berjudul Analisis Bionomika dalam Perencanaan Pembangunan Wilayah Peternakan Ruminansia di Kabupaten Tasikmalaya.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Eka Intan Kumala Putri MS dan Bapak Prof Dr Ir Nahrowi MSc selaku pembimbing, serta Dr Ir Sri Mulatsih MScAgr selaku dosen penguji, yang telah banyak memberi saran. Penghargaan dan terima kasih juga disampaikan kepada Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Ahli Nutrisi dan Pakan Indonesia (AINI), Asosiasi Sarjana Membangun Desa (ASMD), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Tasikmalaya dan Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tasikmalaya atas segala dukungan, fasilitasi dan kesempatan yang diberikan. Terima kasih juga disampaikan kepada ema, bapa, anak-anak tersayang (khalda dan syauqi) dan istri tercinta (Dewi Siska) atas kesabaran dan kasih sayangnya, serta rekan-rekan PWD 2012 atas kebersamaan dan dukungannya.

Semoga penelitian dan karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Agustus 2016

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

Ruang Lingkup Penelitian 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 5

Bionomika Peternakan 5

Pembangunan Wilayah 7

Potensi dan Daya Dukung Wilayah 8

Sumberdaya Pakan Lokal 9

Penelitian Terkait 10

Kerangka Pemikiran 12

3 METODE 14

Lokasi dan Waktu Penelitian 14

Jenis dan Sumber Data 14

Analisis Data 15

4 GAMBARAN UMUM 17

Kondisi Umum Wilayah 17

Perekonomian Wilayah 21

Kebijakan Wilayah Pembangunan 21

Subsektor Peternakan 23

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 26

Ekologi dan Potensi Peternakan 27

Karakteristik Usaha dan Pendapatan Peternak 38

Wilayah Basis Ternak Ruminansia 43

Potensi Pakan Hijauan 51

Kapasitas Tampung Wilayah 58

Prioritas Wilayah Pengembangan 65

6 SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 68

Simpulan 69

Implikasi Kebijakan 70

DAFTAR PUSTAKA 70

LAMPIRAN 73

(12)

DAFTAR TABEL

1. Tujuan analisis, jenis data dan sumber data ... 14

2. Distribusi penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha ... 19

3. Jumlah penduduk berdasarkan kelompok usia ... 19

4. Penggunaan lahan pertanian ... 19

5. Kontribusi lapangan usaha terhadap PDRB (%) ... 21

6. Wilayah pembangunan utama dan arah pembangunan ... 23

7. Populasi Ternak di Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2010-2014 ... 24

8. Jumlah peternak di Kabupaten Tasikmalaya tahun 2010-2014 ... 25

9. Produksi peternakan di Kabupaten Tasikmalaya tahun 2010-2014 ... 25

10.Pemasukan, pengeluaran dan pemotongan ternak ruminansia tahun 2014 ... 26

11.Nilai konversi satuan ternak ruminansia ... 27

12.Pasar hewan di Kabupaten Tasikmalaya ... 37

13.Karakteristik peternak (responden) ruminansia di Kabupaten Tasikmalaya ... 39

14.Rata-rata biaya dan pendapatan peternak ruminansia di Kabupaten Tasikmalaya (Rp/ST/tahun) ... 41

15.Pengelompokan wilayah prioritas pengembangan berdasarkan nilai LQ dan PPTR efektif ... 65

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka pemikiran penelitian ... 13

2. Luas wilayah dan kepadatan penduduk di setiap kecamatan ... 18

3. Peta administrasi Kabupaten Tasikmalaya dan luas wilayah setiap kecamatan (ha) ... 20

4. Populasi ternak ruminansia di setiap kecamatan tahun 2014 (ST) ... 27

5. Populasi ternak sapi potong di setiap kecamatan tahun 2014 (ST) ... 28

6. Populasi ternak sapi perah di setiap kecamatan tahun 2014 (ST) ... 29

7. Populasi ternak kerbau di setiap kecamatan tahun 2014 (ST) ... 29

8. Populasi ternak kambing di setiap kecamatan tahun 2014 (ST) ... 30

9. Populasi ternak domba di setiap kecamatan tahun 2014 (ST) ... 31

10.Peta penyebaran populasi ternak ruminansia tahun 2014 ... 32

11.Luas sawah, lahan kering, padang gembalaan dan hutan (ha)... 33

12.Rumah tangga petani dan jumlah penduduk tahun 2014 ... 34

13.Peta penyebaran rumah tangga petani di setiap kecamatan ... 35

14.Tingkat pendapatan peternak ruminansia di Kabupaten Tasikmalaya (Rp/ST/Tahun) ... 40

15.Wilayah basis komoditas ternak ruminansia (LQ>1) di Kabupaten Tasikmalaya ... 44

16.Nilai LQ sapi potong ... 44

17.Peta wilayah basis (LQ>1) ternak sapi potong ... 45

18.Nilai LQ sapi perah... 46

19.Nilai LQ kerbau ... 46

20.Peta wilayah basis (LQ>1) ternak sapi perah ... 47

(13)

22.Nilai LQ kambing ... 49

23.Nilai LQ domba... 50

24.Peta wilayah basis (LQ>1) ternak kambing ... 51

25.Potensi pakan hijauan (ton BK/tahun) ... 52

26.Peta potensi pakan hijauan ... 53

27.Potensi pakan rumput (ton BK/tahun)... 54

28.Peta potensi pakan rumput di Kabupaten Tasikmalaya ... 55

29.Potensi pakan jerami (ton BK/tahun) ... 56

30.Peta potensi produksi pakan jerami di Kabupaten Tasikmalaya ... 57

31.Kapasitas tampung wilayah (KWT) berdasarkan potensi pakan (ST) ... 58

32.Peta kapasitas tampung wilayah (KWT) berdasarkan potensi pakan (ST) .... 59

33.Kapasitas tampung wilayah (KWT) berdasarkan potensi rumah tangga petani (ST) ... 60

34.Peta kapasitas tampung wilayah (KWT) berdasarkan potensi rumah tangga petani ... 61

35.Peningkatan populasi ternak ruminansia (PPTR) berdasarkan potensi pakan (ST) ... 62

36.Peta penambahan populasi ternak ruminansia (PPTR-efektif) berdasarkan potensi pakan (ST) ... 64

37.Urutan prioritas wilayah pengembangan berdasarkan potensi penambahan populasi ternak ruminansia (PPTR-Efektif)... 66

DAFTAR LAMPIRAN

1. Peta wilayah pengembangan utama (WPU) di Kabupaten Tasikmalaya ... 73

2. Luas wilayah, jumlah penduduk, kepadatan penduduk dan jumlah rumah tangga petani di Kabupaten Tasikmalaya tahun 2014... 74

3. Ketinggian, iklim/suhu dan curah hujan di Kabupaten Tasikmalaya ... 75

4. Populasi ternak ruminansia di Kabupaten Tasikmalaya tahun 2014 (Satuan Ternak/ST) ... 77

5. Hasil penghitungan analisis pendapatan peternak sapi potong ... 78

6. Hasil penghitungan pendapatan peternak sapi perah ... 79

7. Hasil penghitungan pendapatan peternak kerbau ... 80

8. Hasil penghitungan pendapatan peternak kambing... 81

9. Hasil penghitungan pendapatan peternak domba ... 82

10.Nilai Location Quotion ternak ruminansia di Kabupaten Tasikmalaya tahun 2014 ... 83

11.Potensi pakan hijauan di Kabupaten Tasikmalaya tahun 2014 ... 84

12.Kapasitas tampung wilayah (KWT-Pakan) dan potensi penambahan ternak ruminansia berdasarkan potensi pakan (PPTR-Pakan) ... 85

13.Kapasitas tampung wilayah (KWT-KK) dan potensi penambahan ternak ruminansia berdasarkan rumah tangga petani (PPTR-KK) ... 86

14.Wilayah kecamatan dengan nilai penambahan populasi ternak (PPTR-Efektif) ... 87

(14)
(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kemajuan pembangunan nasional tidak terlepas dari peran bidang peternakan. Subsektor peternakan memiliki peran yang strategis dalam menyediakan sumber pangan, energi, dan sumber pendukung lainnya. Pengembangan subsektor peternakan yang berkembangan di perdesaan diprediksi akan berdampak pada kemajuan kehidupan perekonomian dan pembangunan sumberdaya manusia Indonesia. Kebijakan otonomi daerah mendorong setiap daerah untuk mengembangan peternakan dengan perhitungan kecukupan pangan hewani berupa daging, telur dan susu. Pengembangan ternak tersebut diarahkan pada wilayah-wilayah tertentu sebagai sentra pengembangan berbasis kawasan yang mengacu pada Permentan 50/2012 tentang pedoman pengembangan kawasan pertanian, Kepmentan 43/2015 tentang penetapan kawasan sapi potong, kerbau, kambing, sapi perah, domba dan babi nasional dan peraturan pemerintah nomor 6 tahun 2013 tentang pemberdayaan peternak, maka pendekatan pembangunan peternakan dan kesehatan hewan ke depan diarahkan ditempuh melalui pengembangan sentra peternakan rakyat berbasis kawasan (DPKH, 2015).

(16)

2

Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu daerah yang memiliki keunggulan komparatif dalam pengembangan peternakan. Keunggulan tersebut ditunjukan dengan populasi ternak unggas pada tahun 2012 sebagai berikut: ternak ayam ras pedaging 610.436.303 ekor; ayam buras 27.224.219 ekor; ayam ras petelur 12.271.938 ekor; dan Itik 8.773.043 ekor. Populasi ternak ruminanasia yang terdiri dari domba sebanyak 8.249.844 ekor; kambing 2.303.256 ekor; sapi potong 429.637 ekor; dan sapi perah 136.054 ekor (Disnak Provinsi Jawa Barat, 2012). Namun demikian, keunggulan tersebut sampai saat ini belum sepenuhnya mampu memberikan kesejahteraan bagi para peternak serta terhadap masyarakat secara wajar dan merata. Salah satu komoditas potensial yang belum dikembangkan secara optimal adalah komoditas ternak ruminansia, padahal komoditas ini menyumbang kontribusi penyediaan hewani yang cukup baik dan diusahakan oleh masyarakat di pedesaan. Penyediaan kebutuhan masyarakat terhadap komoditas telur, daging dan susu sampai saat ini baik jumlah maupun keterjangkauan masih kurang dan memerlukan pasokan dari luar wilayah bahkan dari luar negeri, karena produksi dan distribusi produk masih terkendala berbagai faktor. Dilain pihak melihat laju pertumbuhan penduduk di Jawa Barat relatif tinggi dibandingkan dengan daerah lain yaitu tercatat laju pertumbuhan penduduk selama sepuluh tahun terakhir yaitu pada tahun 2000-2010 adalah sebesar 1,90%, demikian pula pengaruh dari income per kapita Jawa Barat serta tingkat pendidikan, akan mendorong permintaan konsumsi produk peternakan terus meningkat. Pada tahun 2012 tingkat konsumsi protein yang berasal dari ternak di Jawa Barat baru mencapai konsumsi rata-rata 6,71 gram protein/kapita/hari (Disnak Provinsi Jawa Barat, 2012). Semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi protein hewani harus didukung dengan ketersediaan produk ternak yang dapat dihasilkan dari sentra-sentra pengembangan peternakan.

(17)

3 Wilayah Kabupaten Tasikmalaya terdiri dari 39 kecamatan dan 351 desa, dengan karakteristik wilayah terdiri dari 34 daerah perkotaan dan 317 daerah perdesaan, 11 desa diantaranya merupakan wilayah pesisir. Kabupaten Tasikmalaya memiliki luas 270.882 hektar dengan luas lahan pertanian 242.416 hektar (sawah 51.188 hektar dan bukan sawah 191.228 hektar) dan lahan non pertanian 28.466 hektar (BPS Kab. Tasikmalaya, 2015). Penggunaan lahan di Kabupaten Tasikmalaya yang didominasi oleh kegiatan pertanian merupakan potensi untuk menghasilkan hijauan pakan ternak dari tanaman rumput maupun dari limbah pertanian. Menurut Wiyatna et al (2012), penyediaan hijauan pakan sebagian besar berasal dari pemanfaatan lahan garapan seperti sawah, ladang dan hutan. Penyediaan hijauan pakan ternak sangat dipengaruhi oleh musim, dimana pada musim penghujan hijauan pakan sangat berlimpah sedangkan pada musim kemarau sebaliknya. Faktor lain yang mempengaruhi menurunnya ketersediaan pakan adalah pergeseran lahan-lahan pertanian penghasil limbah pertanian yang mengalami penurunan luas akibat persaingan dengan penggunaan lahan untuk keperluan non pertanian (Nahrowi, 2015). Oleh karena itu, menurut Preston dan Leng (1987) diperlukan suatu pola yang jelas antara ketersediaan rumput, leguminosa, jerami padi serta limbah pertanian lainnya untuk menjamin ketersediaan pakan secara berkesinambungan yang sesuai dengan kondisi wilayah-wilayah pengembangan peternakan ruminansia terkait dengan potensi, kapasitas tampung dan ekologinya.

Perumusan Masalah

Subsektor peternakan merupakan salah satu kegiatan yang potensial dan prospektif bagi peningkatan ekonomi perdesaan. Komoditas peternakan, khususnya ternak ruminansia secara umum berada di perdesaan yang terkait dengan sumberdaya alam sesuai dengan bionomikanya. Kesesuaian bionomika tersebut merupakan kunci keberhasilan pengembangan komoditas ternak ruminansia yang terdiri dari tiga komponen utama yang saling terkait, yaitu lahan, ternak dan pakan. Menurut Abdullah (2014), sistem pemeliharaan ternak ruminansia skala menengah ke bawah masih mengalami kendala signifikan dalam penyediaan bibit dan bahan pakan, hal ini menjadi penyebab belum maksimalnya produksi ternak lokal. Sementara itu, Tawaf dan Daud (2010) berpendapat bahwa kecukupan pakan pada usaha ternak ruminansia masih menjadi kendala yang sangat dipengaruhi oleh pergerakan musim dimana pada musim tertentu tingkat ketersediaan pakan akan menurun tajam dan sebaliknya. Ketersediaan pakan juga dipengaruhi oleh pola penggunaan/pemilikan lahan serta menyebarnya lokasi-lokasi sumberdaya pakan yang berjauhan dengan kawasan-kawasan usaha peternakan sehingga diperlukan suatu model pengelolaan sumberdaya pakan sesuai dengan supply-demand dan potensinya secara terintegrasi.

(18)

4

15%, sisanya sebesar 85% harus mendatangkan dari luar kabupaten dan bahkan dari luar Provinsi Jawa Barat antara lain Jawa Tengah, Jawa Timur dan impor (Disnakkanla Kab. Tasikmalaya, 2015).

Pada tahun 2013, lahan pengangongan dengan status milik desa tercatat 8.434 hektar, dengan perkiraan produksi rumput 164.733 ton bahan kering/tahun dengan estimasi kapasitas tampung mencapai 176.482 ekor, tersebar di Kecamatan Salopa, Cikatomas, Pancatengah, Cibalong, Karangnunggal, Bantarkalong dan Cikalong, cenderung mengalami penurunan fungsi dan daya dukungnya. Demikian juga dengan kondisi sosial ekonomi yang ditunjukan dengan jumlah kelompok peternak sebanyak 100 kelompok dengan anggota tiap kelompok berkisar 20-30 orang pada skala usaha dua sampai tiga ekor ternak ruminansia (khususnya sapi) juga cenderung stagnan (Disnakanla Kab. Tasikmalaya, 2014). Kondisi ini dikhawatirkan akan berdampak pada hilangnya lokasi-lokasi produksi peternakan akibat degradasi lahan dan alih fungsi lahan. Karakteristik usaha ternak yang masih tradisional sebagai usaha sambilan serta rendahnya skala usaha dan kepemilikan ternak juga dapat berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi wilayah dari subsektor peternakan. Oleh karena itu, pengembangan peternakan, khususnya ternak ruminansia di Kabupaten Tasikmalaya perlu kembali di arahkan pada wilayah-wilayah pengembangan yang tepat sesuai dengan bionomika dan potensi daya dukung wilayahnya. Berdasarkan uraian-uraian tersebut, pertanyaan-pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana potensi pengembangan ternak ruminansia berdasarkan tingkat penyebaran populasi, wilayah basis dan karakteristik ekologi serta karakteristik usaha dan pendapatan peternaknya ?

2. Bagaimana potensi dan daya dukung wilayah berdasarkan ketersediaan sumberdaya pakan lokal serta kapasitas tampungnya ?

3. Bagaimana prioritas perencanaan pembangunan wilayah untuk lokasi pengembangan usaha ternak ruminansia berdasarkan kesesuaian bionomikanya ?

Tujuan Penelitian

1. Mengidentifikasi sumberdaya peternakan berdasarkan penyebaran populasi ternak ruminansia untuk memperoleh lokasi wilayah basis, karakteristik usaha serta tingkat pendapatan peternak di Kabupaten Tasikmalaya.

2. Menganalisis potensi ekologi dan daya dukung wilayah berdasarkan ketersediaan sumberdaya pakan lokal untuk mengetahui kapasitas tampung wilayah terhadap pengembangan ternak ruminansia.

3. Menetapkan lokasi prioritas pengembangan usaha ternak ruminansia dalam perencanaan pembangunan wilayah Kabupaten Tasikmalaya.

Manfaat Penelitian

(19)

5

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah pada aspek biofisik dan manajemen sumberdaya lingkungan dalam pembangunan wilayah melalui pengembangan ternak ruminansia berdasarkan penyebaran populasi pada wilayah basis dan non basis, karakteristik usaha dan tingkat pendapatan peternak, dan potensi ekologi serta daya dukung wilayahnya (lahan dan sumberdaya pakan lokal) sebagai suatu sistem bionomika ternak ruminansia. Kesesuaian aspek-aspek dalam bionomika tersebut dikaji untuk menetapkan lokasi-lokasi prioritas pengembangan usaha ternak ruminansia dalam perencanaan pembangunan wilayah.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Bionomika Peternakan

Menurut Soeharsono (2008), bionomika adalah ilmu yang membahas interaksi manusia dengan hewan dalam suatu ekosistem sehingga berkembang kondisi adaptif tekno-sosio-ekonomi yang mendukung pemanfaatan ternak dan pengembangan potensinya untuk kesejahteraan manusia. Lokasi geografis merupakan salah satu faktor yang menentukan berkembangnya jenis peternakan dengan basis ekologis manusia dan ternak yang tidak dapat dipisahkan. Manusia berusaha memanfaatkan ternak melalui teknologi pemeliharaan tertentu dan berorientasi ekonomi. Untuk dapat meningkatkan produksi ternak, upaya memperkecil hambatan lingkungan dilakukan dengan mempertimbangan faktor klimatologi dan nutrisi yang sesuai dengan genetika ternak.

Peternakan merupakan suatu ekosistem yang bersifat artificial dalam skala kecil dibandingkan dengan yang alami. Terdapat empat karakteristik utama ekosistem yang digunakan dalam penyusunan kriteria lingkungan ekologis dalam pengembangan ternak ruminansia, yaitu: temperatur (suhu rata-rata dan kelembaban); ketersediaan air (curah hujan, bulan kering, dan sumber air) dan kualitas air; terrain (elevasi dan lereng); dan persentase kandungan batuan. Pemanfaatan lahan sebagai ekosistem peternakan didasarkan pada posisi bahwa; (a) lahan adalah sumber pakan untuk ternak; (b) semua jenis lahan cocok sebagai sumber pakan; (c) pemanfaatan lahan untuk peternakan diartikan sebagai usaha penyerasian antara peruntukan lahan dengan sistem pertanian; dan (d) hubungan antara lahan dan ternak bersifat dinamis (Suratman et al, 1998).

Ketersediaan lahan sebagai sumber pakan ternak semakin berkurang akibat digunakan lahan terbuka untuk perumahan dan kecendrungan dari petani untuk menanam lahan dengan tanaman pertanian yang dapat bermanfaat langsung untuk kebutuhan manusia. Maka pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan alternatif adalah salah satu solusi untuk menanggulagi kekurangan pakan ternak ruminansia. Dengan diversifikasi pemanfaatan produk samping (by-product) yang sering dianggap sebagai limbah (waste) dari limbah pertanian dan perkebunan menjadi pakan dapat mendorong perkembangan agribisnis ternak ruminansia secara integratif dalam suatu sistem produksi terpadu dengan pola pertanian dan

(20)

6

Ruminansia adalah kelompok hewan mamalia yang bisa memah (memakan) dua kali sehingga kelompok hewan tersebut dikenal juga sebagai hewan memamah biak. Prospek usaha ternak ruminansia (sapi, kambing, domba) di Indonesia seperti Jawa, Sumatera dan Sulawesi sangat menjanjikan baik dilihat dari segi teknis, ekonomis dan sosial. Secara teknis, usaha ternak ruminansia sudah cukup berkembang dan mudah menyesuaikan dengan lingkungan. Secara ekonomis memiliki pangsa pasar cukup besar baik untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri maupun untuk ekspor. Secara sosial, ternak sapi, kambing dan domba sudah memasyarakat di kalangan peternak dan dagingnya digemari masyarakat (Soetanto, 2000).

Yusdja (2004) menyatakan bahwa pada dasarnya ada enam bentuk struktur

penguasaan dan pengusahaan ternak ruminansia yang dapat dipahami yaitu: (a) kelompok peternakan rakyat wilayah tanaman pangan, pada kelompok ini

pemeliharaan ternak sapi bersifat tradisional dan pemilikan sapi erat kaitannya dengan usaha pertanian, bentuk ini umumnya ditemukan di pulau Jawa; (b) kelompok peternakan rakyat yang tidak terkait dengan tanaman pangan, dengan pola pemeliharaan sapi bersifat tradisional dan pemilikan erat kaitannya dengan ketersediaan padang penggembalaan atau hijauan, bentuk pemeliharaan ternak seperti ini sudah umum di Sumatera dan Indonesia Bagian Timur; (c) kelompok peternakan rakyat dengan sistem bagi hasil, dimana pola pemeliharaan ternak mempunyai tujuan yang tergantung pada kesepakatan; (d) kelompok usaha peternakan rakyat dan skala kecil dengan pemeliharaan bersifat intensif; (e) kelompok usaha peternakan skala menengah dengan pemeliharaan sapi sangat intensif, penggunaan teknologi rendah, contoh kelompok ini adalah kelompok usaha ternak sapi potong mandiri dan kelompok usaha ternak sapi potong bermitra; serta (f) kelompok usaha peternakan swasta skala besar (feedlotters).

(21)

7

Pembangunan Wilayah

Budiharsono (2001) memberikan definisi wilayah sebagai unit geografi yang dibatasi kriteria tertentu yang bagian-bagiannya tergantung secara internal. Wilayah dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu : (a) wilayah homogen adalah wilayah dipandang dari aspek atau kinerja yang mempunyai sifat-sifat dan ciri-ciri yang relatif sama dan dibatasi berdasarkan keseragaman internal; (b) wilayah nodal adalah wilayah yang secara fungsional mempunyai ketergantungan antara pusat (inti) dan daerah belakangnya (hinterland). Tingkat ketergantungan ini dapat dilihat dari arus penduduk, faktor produksi, barang dan jasa ataupun komunikasi dan transportasi. (c) wilayah administrasi adalah wilayah yang batas-batasnya ditentukan pemerintah atau politik seperti propinsi, kabupaten, kecamatan, desa atau kelurahan dan RT atau RW.

Menurut Sukirno (1985), teori perekonomian regional dibagi menjadi dua sektor yaitu kegiatan basis dan kegiatan non basis. Kegiatan basis adalah kegiatan-kegiatan yang mengekspor barang dan jasa ke tempat-tempat di luar batas perekonomian yang bersangkutan. Kegiatan non basis adalah kegiatan yang menyediakan barang-barang yang dibutuhkan oleh orang-orang yang bertempat tinggal di dalam batas-batas perkonomian masyarakat yang bersangkutan. Inti dari model ekonomi basis adalah bahwa arah dan petumbuhan suatu wilayah ditentukan oleh ekspor wilayah tersebut yang berupa barang dan jasa serta tenaga kerja.

Pembangunan wilayah yang berbasis pada peternakan sebagai komoditas unggulan harus didasarkan pada penetapan jenis ternak sebagai komoditas basis, pengembangan kelembagaan peternak, peningkatan usaha dan industri peternakan, optimalisasi pemanfaatan dan pengamanan serta perlindungan sumberdaya alam lokal yang didukung oleh pengembangan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan (Pambudy dan Sudardjat, 2000). Pembangunan subsektor peternakan pada dasarnya diarahkan untuk meningkatkan populasi maupun produksi ternak dan hasil ikutannya, yang pada gilirannya diharapkan dapat mendongkrak pendapatan petani ternak, mendorong diversifikasi pangan dan perbaikan mutu gizi masyarakat serta mengembangkan pasar ekspor terutama untuk mencapai kedaulatan pangan. Pengembangan usaha ternak ruminansia dilakukan melalui model kawasan sentra peternakan. Menurut Sunaryo dan Joshi (2003), kawasan peternakan adalah kawasan yang secara khusus diperuntukan untuk kegiatan peternakan atau terpadu sebagai komponen usahatani (berbasis tanaman pangan, hortikultura, perkebunan atau perikanan) dan terpadu sebagai komponen ekosistem tertentu (kawasan hutan lindung atau suaka alam)

(22)

8

kawasan ini juga diarahkan kepada peningkatan investasi yang menarik bagi semua pihak karena sudah tersedia ternak dan pelayanan yang bersifat teknis dan ekonomis. Pusat pertumbuhan komoditas tersebut dapat menjadi sentra produksi utama suatu komoditas peternakan yang mengarah kepada keunggulan komparatif suatu wilayah (one village one product).

Ahmad (2004) menambahkan bahwa minimal dalam satu kawasan peternakan satu rumah tangga peternak memiliki dua sampai tiga ekor sapi potong, sehingga akan terdapat sekitar 300 ekor dalam satu klaster yang tergabung dalam satu Gapoktan. Kelayakan secara ekonomi dalam satu kawasan/klaster harus memenuhi batas minimal usaha yaitu dua ekor kerbau; 30 ekor ayam buras; enam ekor domba/kambing; dan 15 ekor itik. Jumlah ternak ini sudah dianggap memenuhi syarat minimal untuk disebut sebagai skala ekonomi sehingga memerlukan layanan teknis yaitu layanan perbibitan, budidaya, pakan, layanan kesehatan hewan dan layanan kesehatan masyarakat veteriner. Selain itu, dalam satu klaster harus terdapat layanan bersifat ekonomi dan kelembagaan yaitu layanan infrastruktur terpadu yang mencakup pengolahan dan pemasaran, layanan permodalan, layanan transportasi yaitu untuk pengangkutan ternak dan jalan usaha tani serta layanan pendampingan (kelembagaan).

Potensi dan Daya Dukung Wilayah

Menurut Suratman et al (1998), lahan merupakan sumberdaya alam yang berkaitan erat dengan usaha peternakan, khususnya untuk ternak ruminansia sebagai pemakan hijauan (herbivora). Berdasarkan kebutuhan lahan, usaha peternakan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: usaha peternakan yang berbasis lahan (land base agriculture) dan usaha peternakan yang tidak berbasis lahan (non land base agriculture). Khusus untuk usaha peternakan yang berbasis lahan yaitu ternak dengan komponen pakannya sebagian besar terdiri atas tanaman hijauan (rumput dan leguminosa), lahan merupakan faktor penting sebagai lingkungan hidup dan pendukung pakan.

Sumberdaya lahan yang dapat dimanfaatkan oleh peternak antara lain: lahan sawah, padang penggembalaan, lahan perkebunan, dan hutan rakyat, dengan tingkat kepadatan tergantung kepada keragaman dan intensitas tanaman, ketersediaan air, serta jenis ternak yang dipelihara. Luasnya lahan sawah, kebun, dan hutan tersebut memungkinkan pengembangan pola integrasi ternak-tanaman yang merupakan suatu proses saling menunjang dan saling menguntungkan, melalui pemanfaatan tenaga sapi untuk mengolah tanah dan kotoran sapi sebagai pupuk organik. Sementara lahan sawah dan lahan tanaman pangan menghasilkan jerami padi dan hasil sampingan tanaman yang dapat diolah sebagai makanan sapi. Sedangkan kebun dan hutan memberikan sumbangan rumput alam dan jenis tanaman lain. Pemanfaatan pola integrasi diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan pakan sepanjang tahun, sehingga dapat meningkatkan produksi dan produktivitas ternak (Imam, 2003).

(23)

9 dimana pertumbuhan populasi tidak dapat didukung lagi oleh sumberdaya dan lingkungan yang ada; (b) pengertian daya dukung yang dikenal dalam ilmu pengelolaan margasatwa, daya dukung adalah jumlah individu yang dapat didukung oleh suatu habitat; (c) pengertian daya dukung yang dikenal dalam pengelolaan padang penggembalaan, daya dukung adalah jumlah individu yang dapat didukung oleh lingkungan dalam keadaan sehat tanpa mengganggu kerusakan tanah. Daya dukung menunjukkan besarnya kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan hewan, yang dinyatakan dalam jumlah ekor per satuan luas lahan. Jumlah hewan yang dapat didukung kehidupannya itu tergantung pada biomas (bahan organik tumbuhan) yang tersedia untuk hewan.

Sumberdaya Pakan Lokal

Menurut Nahrowi (2015), Indonesia sebenarnya memiliki sumber-sumber bahan baku pakan lokal yang melimpah, namun belum dimanfaatkan secara optimal. Kendala dalam pemanfaatan bahan baku lokal diantaranya adalah ketersediaan yang menyebar dan tidak kontinyu, kualitas yang masih rendah karena penanganan pasca panen yang kurang tepat, adanya pemalsuan dan kontaminasi. Salah satu sumber daya pakan adalah hijauan merupakan semua bahan yang berasal dari tanaman dalam bentuk daun-daunan. Kelompok hijauan makanan ternak meliputi famili rumput (gramineae), leguminosa, dan hijauan dari tumbuhan lain, seperti daun waru, nangka, dan lain-lain. Hijauan sebagai pakan ternak dapat diberikan dalam keadaan segar dan dalam keadaan kering.

Peningkatan produksi dan produktivitas ternak ruminansia sangat tergantung dari tiga faktor yaitu pakan, pemuliabiakan dan pemeliharaan. Pakan bagi ternak ruminansia tergantung dari penyediaan hijauan dengan jumlah cukup, berkualitas tinggi dan berkesinambungan sepanjang tahun. Rendahnya nilai gizi dan fluktuasi produksi hijauan pakan sepanjang tahun merupakan masalah penyediaan pakan di Indonesia sampai saat ini. Pakan merupakan salah satu faktor dasar yang penting dalam usaha ternak karena mempunyai pengaruh yang besar terhadap produktivitas ternak. Pakan dari sudut nutrisi merupakan salah satu unsur yang sangat penting untuk menunjang kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan, produksi dan atau reproduksi ternak. Pakan yang baik akan menjadikan ternak sanggup menjalankan fungsi proses dalam tubuh secara normal. Dalam batas normal, pakan bagi ternak berguna untuk menjaga keseimbangan jaringan tubuh, dan menghasilkan energi sehingga mampu melakukan peran dalam proses metabolisme (Sutrisno, 2009).

(24)

10

bahan baku pakan tidak seluruhnya dipenuhi dari lokal sehingga masih mengandalkan impor; (b) bahan baku pakan lokal belum dimanfaatkan secara optimal; (c) ketersediaan pakan lokal tidak kontinyu dan kurang berkualitas; (d) penggunaan tanaman legum sebagai sumber pakan belum optimal; (e) pemanfaatan lahan tidur dan lahan integrasi masih rendah; (f) penerapan teknologi pakan masih rendah; (g) produksi pakan nasional tidak pasti akibat akurasi data yang kurang tepat, serta (h) penelitian dan aplikasinya tidak sejalan.

Pengembangan pakan seharusnya mengembangkan potensi sumberdaya pakan lokal dengan teknologi yang sesuai. Ketersediaan dan harga jenis pakan sangat tergantung pada musim. Jika musim kemarau atau musim hujan terlalu panjang, maka para peternak akan kesulitan mencari bahan pakan untuk ternaknya dan harga rumput sangat tinggi pada musim kemarau karena kelangkaannya, sedangkan pada musim penghujan ketersediaanya sangat melimpah dan harganya murah. Sementara untuk limbah pertanian dan industri pertanian, secara umum keberadaannya masih melimpah dan pemanfaatan masih belum optimal, maka perlu adanya sebuah teknologi untuk mengolah maupun mengawetkan sumber pakan baik yang berasal dari limbah maupun hijauan. Teknologi pengolahan pakan sebagai sebuah teknologi pendukung untuk usaha ternak, relatif sudah dikembangkan untuk peternakan unggas, namun belum banyak untuk ruminansia (Sutrisno, 2009; Sudardjat, 2000; Budiman, 2001).

Penelitian Terkait

Penelitian terkait dengan topik pengembangan peternakan berbasis wilayah sudah banyak dilakukan. Topik-topik penelitian tersebut pada umumnya mengkaji aspek potensi wilayah berdasarkan kesesuaian lahan dan kapasitas tampung penambahan populasi ternak. Berikut beberapa topik penelitian terkait :

1. Penelitian dengan judul Regional Analysis of Climate, Primary Production, and Livestock Density in Inner Mongolia bertujuan untuk menganalisis wilayah pengembangan peternakan dengan analisis spasial terhadap iklim dan produksi peternakan berdasarkan daya dukung lahan. Alat analisis yang digunakan adalah daya dukung hijauan dan biomass serta analisis spasial. Penelitian ini dilakukan oleh Mei Y, James EE, and Howard EE, dipublikasikan pada Jurnal Environment Qual Nomor 33 tahun 2004:1675– 1681.

(25)

11 dengan sumberdaya lahan besar namun sumberdaya tenaga kerja kecil (atau pun sebaliknya), akan memiliki nilai KPPTS efektif yang kecil pula, tergantung pada sumberdaya fisik mana yang paling terbatas; dan (b) skala prioritas wilayah tidak didominasi wilayah dengan jumlah sapi terbanyak saja. Jumlah kepala keluarga dan lahan garapan berpengaruh positif dan dominan (dibanding luas padang rumput) terhadap KPPTS Efektif. Penelitian ini dilakukan oleh UR Lole, S Hartoyo, Kuntjoro, & IW Rusastra, dipublikasikan pada Jurnal Media peternakan Volume April 2013:70-78.

3. Penelitian dengan judul Inventarisasi dan Pemetaan Lokasi Budidaya dan Lumbung Pakan Ternak Sapi Potong. Penelitian ini bertujuan untuk menginventarisir dan memetakan wilayah-wilayah pusat sapi potong dan lumbung pakan terutama hijauan dan sumber konsentrat di Provinsi Jawa Barat. Alat analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis laju pertumbuhan populasi, analisis kesesuaian ekologi ternak, analisis potensi pakan, analisis kapasitas tampung wilayah dan analisis komoditas peternakan basis. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sekitar 50% wilayah Jawa Barat berpotensi sebagai wilayah untuk lokasi budidaya/pengembangan ternak sapi potong yaitu di 14 wilayah kabupaten di Karesidenan Bogor dan Priangan Timur, serta 17 wilayah kabupaten berpotensi untuk pengembangan lumbung pakan. Penelitian ini dilakukan oleh Hasni Arief, Achmad Firman, Lizah Khaerani dan Romi Zamhir Islami, dipublikasikan pada Jurnal Ilmu Ternak, Desember 2012 Volume 12 Nomor 2:26-34.

4. Penelitian dengan judul Pengembangan Ternak Ruminansia berdasarkan Ketersediaan Lahan Hijauan dan Tenaga Kerja di Kabupaten Muara Enim Sumatera Selatan, bertujuan untuk mengidentifikasi potensi dan kendala pengembangan ternak ruminansia berdasarkan ketersediaan lahan hijauan dan tenaga kerja serta memetakan dan menganalisis prioritas pengembangan ternak ruminansia di Kabupaten Muara Enim Sumatera Selatan. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis KPPTR. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa nilai kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia efektif Kabupaten Muara Enim bernilai positif sebesar 12661,40 atau dapat meningkat 16,24% dari populasi sebelumnya. Penelitian ini dilakukan oleh A Fariani, R Yulianti, dan A Imsya, dipublikasikan pada Jurnal Peternakan Sriwijaya Volume 3 Nomor 2 Desember 2014:35-42.

5. Penelitian yang berjudul arahan penataan kawasan penyebaran dan pengembangan peternakan sapi potong di Kabupaten Limapuluh Kota, bertujuan untuk: (a) mengidentifikasi lahan-lahan yang sesuai untuk pengembangan ternak sapi; (b) menghitung daya dukung lahan-lahan yang sesuai bagi usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Limapuluh Kota; dan (c) menentukan arahan kawasan penyebaran dan pengembangan serta kapasitas peningkatan sapi potong berdasarkan potensi sumberdaya lahan di Kabupaten Limapuluh Kota. Penentuan kawasan penyebaran dan pengembangan peternakan sapi potong, menggunakan analisis Nilai Kriteria Karakterisasi Kunci, analisis Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis

(26)

12

ternak menunjukkan bahwa lahan-lahan yang sesuai untuk pengembangan ternak sapi potong adalah lahan pada kebun campuran, tegalan/ladang, perkebunan, semak/rerumputan, sawah dan hutan produksi dengan luas keseluruhan 107 719 hektar, dengan daya dukung 128 214 Satuan Ternak (ST). Pada kebun campuran, tegalan/ladang, perkebunan dan sawah pengembangan peternakan dapat dilakukan dengan sistem diversifikasi, sedangkan pada lahan semak/rerumputan dan hutan produksi dengan sistem ekstensifikasi. Kawasan penyebaran dan pengembangan peternakan sapi potong di Kabupaten Limapuluh Kota adalah Kecamatan Pangkalan, Kecamatan Suliki dan Kecamatan Lareh Sago Halaban, dengan luas wilayah pengembangan 28 386 ha, Daya Dukung Hijauan Makanan Ternak 148 151 ST dan kapasitas penambahan ternak sapi potong 24 882 ST (35 546 ekor). Penelitian ini merupakan tesis atas nama Susi Herlinda pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Tahun 2007.

Kerangka Pemikiran

Pembangunan wilayah berbasis peternakan mampu mengintegrasikan keunggulan komoditas, kesesuaian ekologi/lahan dan karakteristik sosial ekonomi serta dukungan ketersediaan pakan yang berbasis pada potensi daya dukung wilayah itu sendiri. Menurut Soeharsono (2008), bionomika membahas interaksi manusia dengan hewan dalam suatu ekosistem sehingga berkembang kondisi adaptif tekno-sosio-ekonomi yang mendukung pemanfaatan ternak dan pengembangan potensinya untuk kesejahteraan manusia. Abdullah (2014) menyatakan bahwa dalam pengembangan ternak ruminansia di Indonesia, hijauan makanan ternak adalah faktor yang sangat penting dengan komposisi yang terbesar yaitu 70-80% dari total biaya pemeliharaan. Tingkat ketersediaan hijauan makanan ternak pada suatu wilayah merupakan salah satu faktor yang sangat penting serta turut mempengaruhi dinamika populasi dalam keberhasilan pengembangan ternak khususnya ternak herbivora. Menurut Sudardjat (2000), dalam memperhitungkan potensi suatu wilayah untuk mengembangkan ternak secara teknis, perlu dilihat populasi ternak yang ada di wilayah tersebut dihubungkan dengan potensi hijauan makanan ternak yang dihasilkan oleh wilayah yang bersangkutan.

(27)

13 tampung wilayah serta daya dukung pakan yang berkelanjutan akan menjadi kunci keberhasilan pengembangan peternakan berbasis wilayah. Oleh karena itu, kesesuaian bionomika dan daya dukung wilayah khususnya dukungan sumberdaya lingkungan dalam pengembangan ternak ruminansia akan berdampak terhadap kebijakan pembangunan daerah dalam menetapkan prioritas wilayah pengembangan ternak ruminansia di Kabupaten Tasikmalaya. Pembangunan wilayah melalui pengembangan usaha ternak ruminansia harus dilakukan melalui penetapan lokasi-lokasi prioritas sebagai kawasan sentra peternakan. Kawasan peternakan yang ditetapkan selanjutnya diarahkan pada kegiatan peternakan secara terpadu dengan komponen usaha tani (berbasis tanaman pangan, hortikultura, perkebunan atau perikanan) dan terpadu dengan komponen ekosistem tertentu (kawasan hutan lindung atau suaka alam).

Kabupaten Tasikmalaya sebagai salah satu sentra peternakan di Provinsi Jawa Barat sangat potensial untuk meningkatkan produksi peternakan pada komoditas strategis yang meliputi ternak sapi potong, kerbau, kambing, domba dan unggas. Peningkatan produksi tersebut perlu diarahkan pada optimaliasi pewilayahan sentra produksi yang sesuai dengan ekologi dan daya dukungnya. Penetapan wilayah-wilayah prioritas pembangunan berbasis komoditas merupakan implementasi kebijakan dan strategi penataan ruang yang mengacu pada Perda Nomor 2 Tahun 2012 tentang RTRW Kabupaten Tasikmalaya. Implementasi kebijakan dan strategi penataan ruang khususnya dalam pewilayahan pembangunan peternakan berbasis ternak ruminansia, perlu didukung informasi yang spesifik terkait penyebaran populasi ternak, potensi dan daya dukung serta ketersediaan sumberdaya pakan dan kapasitas tampungnya. Oleh karena itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pertimbangan kebijakan implementasi perencanaan pembangunan wilayah berbasis ternak ruminansia.

(28)

14

3

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di 39 kecamatan di wilayah Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Juni 2016.

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data sekunder yang digunakan terdiri dari data tabular yang berupa data statistik yang berasal dari dinas/instansi terkait. Data sekunder dikumpulkaan untuk menganalisis: (a) wilayah basis; (b) kapasitas tampung; dan (c) daya dukung pakan, di 39 kecamatan atau di seluruh kabupaten. Lokasi sampel pengumpulan data primer dilakukan di kecamatan terpilih untuk komoditas ternak ruminansia dari hasil analisis data sekunder pada kecamatan yang merupakan wilayah basis, kapasitas tampung dan daya dukung pakan dengan nilai terbesar. Selanjutnya pada lokasi sampel tersebut dianalisis secara deskriptif data primer untuk mengetahui karakteristik usaha, sarana pendukung dan gambaran fisik di lapangan. Data primer dikumpulkan melalui observasi langsung di kelompok peternak dan wawancara dengan narasumber peternak yang ditetapkan secara

purposive di setiap kecamatan sampel yang merupakan kecamatan basis untuk komoditas ternak tertentu. Responden adalah peternak yang memiliki pengalaman beternak minimal tiga tahun dan tergabung dalam kelompok tani atau gabungan kelompok tani.

Tabel 1 Tujuan analisis, jenis data dan sumber data

(29)

15

Analisis Data

Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini adalah: (a) analisis wilayah basis; (b) analisis potensi pakan; (c) analisis kapasitas tampung; dan (d) analisis deskriptif. Pengolahan data dilakukan dengan software Microsoft Excel

dan software lainnya yang relevan.

1. Analisis wilayah basis dengan metode Location Quotion yang merupakan perbandingan antara populasi ternak ruminansia ke-j terhadap populasi ternak ruminansia di wilayah kecamatan ke-i dengan populasi ternak ruminansia ke-j terhadap populasi ternak ruminansia di wilayah kabupaten. Persamaan LQ yang digunakan sebagai berikut (Panuju dan Rustiadi, 2012) :

( )

=

/ . . / ..…(a)

dimana :

( ) = nilai komoditas basis, bila LQ>1 maka wilayah tersebut merupakan

wilayah basis dan bila LQ<1 maka wilayah tersebut bukan merupakan wilayah basis.

=populasi ternak ruminansia ke-j (dalam satuan ternak) di wilayah atau kecamatan ke-i

. =populasi ternak ruminansia di wilayah atau kecamatan ke-i

. =populasi ternak ruminansia ke-j (dalam satuan ternak) di seluruh wilayah atau kecamatan (se-kabupaten)

..= populasi ternak ruminansia (dalam satuan ternak) di seluruh wilayah atau kecamatan (se-kabupaten)

Hasil analisis LQ diinterpretasikan sebagai berikut :

(1) Jika nilai LQ>1, maka terdapat indikasi konsentrasi populasi ternak ke-j di wilayah ke-i atau terjadi pemusatan aktivitas ke-j di wilayah ke-i. Hal ini dapat diartikan bahwa wilayah ke-i berpotensi untuk mengekspor produk aktivitas ke-j ke wilayah lain secara relating produksinya di atas rata-rata produksi di seluruh cakupan wilayah analisis atau kabupaten.

(2) Jika nilai LQ=1, maka wilayah ke-i mempunyai pangsa populasi ternak ruminansia ke-j setara dengan pangsa populasi ternak ke-j di seluruh wilayah/kabupaten. Jika diasumsikan sistem perekonomian tertutup, dimana pertukaran produk atau perdagangan hanya terjadi dalam wilayah atau kabupaten tersebut, maka wilayah ke-i secara relatif mampu memenuhi kebutuhan internalnya, namun tidak memiliki surplus produksi yang potensial bisa diekspor ke wilayah lain atau kabupaten lain.

(3) Jika LQ<1, maka wilayah ke-i mempunyai pangsa populasi relatif lebih kecil dibandingkan dengan pangsa populasi ke-j di seluruh wilayah atau kabupaten. Hal ini dapat diartikan bahwa pangsa relative populasi ternak ke-j di wilayah ke-i lebih rendah dibandingkan rata-rata populasi ternak ke-j di seluruh wilayah atau kabupaten.

(30)

16

(1) Ketersediaan rumput (indeks produksi x luas lahan x indeks bahan kering): Lahan sawah = (0,77591 x luas lahan x 0,36498) ton BK/tahun …(b) Lahan kebun = (1,062 x luas lahan x 0,59522) ton BK/tahun …(c) Lahan padang rumput = (1,062 x luas lahan x 6,083) ton BK/tahun …(d) Lahan hutan = (2,308 x luas lahan x 0,5322) ton BK/tahun …(e)

(2) Ketersediaan jerami (indeks produksi x luas panen x indeks bahan kering): Jerami padi = (3,86 x luas panen x 0,9) ton BK/tahun … (f)

3. Analisis kapasitas tampung wilayah untuk ternak (KWT) dilakukan untuk melalui perhitunan berdasarkan potensi pakan dan potensi rumah tangga petani. Hasil penghitungan kapasitas tampung tersebut selanjutnya digunakan untuk menentukan kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia (PPTR-Efektif), yaitu nilai terendah dari perbandingan antara kapasitas tampung berdasarkan potensi pakan dengan kapasitas tampung berdasarkan potensi rumah tangga petani (Lole et al, 2013).

Persamaan untuk menghitung kapasitas tampung ternak berdasarkan potensi pakan (KWT-pakan) digunakan persamaan sebagai berikut (Arief H, et al, 2012) :

�� ��

=

� + �

� …..(m) dimana :

KWT pakan = kemampuan wilayah dalam menampung ternak berdasarkan potensi pakan

KH = kebutuhan hijauan setiap satuan ternak per tahun (9,1kg BKx365) PHR = produksi hijauan rumput (ton BK/tahun)

PHJ = produksi hijauan jerami (ton BK/tahun)

Sedangkan persamaan untuk menghitung kapasitas tampung ternak berdasarkan rumah tangga petani (KWT-kk) adalah sebagai berikut (Lole et al, 2013) :

=

2,78 …..(n) dimana :

KWT-kk= kemampuan wilayah dalam menampung ternak berdasarkan potensi rumah tangga petani

= jumlah rumah tangga petani (KK)

2,78 = indeks kemampuan rumah tangga petani memelihara ternak ruminansia

4. Analisis pendapatan peternak dilakukan secara kuantitatif dengan persamaan pendapatan (Soekartawi, 1993) untuk mengetahui besarnya pendapatan peternak dari usaha peternakan, digunakan persamaan berikut :

Π= − �….(o) dimana :

(31)

17 TR (Total revenue) = Total penerimaan yang diperoleh peternak (Rp/tahun) TC (Total cost) = Total pengeluaran peternak (Rp/tahun)

Lebih lanjut, untuk mengetahui tingkat efektivitas pendapatan peternak dengan komoditas ternak ruminansia yang diusahakan berbeda jenis ternaknya maka dilakukan penghitungan liquiditas pendapatan peternak terhadap pengembalian modal/investasi melalui persamaan return on investment (ROI). Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut (Garrison dan Noreen, 2000):

ROI = [( Total Penjualan – Investasi ) / Investasi] x 100%... (p)

5. Analisis deskriptif dilakukan terhadap karakteristik usaha dan kondisi ekologi yang meliputi luas wilayah, kondisi fisik/tata guna lahan, sarana pendukung, rumah tangga petani/kelompok tani dan kebijakan tata ruang wilayah. Analisis deskriptif dilakukan melalui pendekatan spasial untuk mendapatkan keluaran berupa peta tematik berdasarkan hasil-hasil analisis sebelumnya sebagai sebuah sistem informasi geografis (Puntodewo et al, 2003).

4

GAMBARAN UMUM

Kondisi Umum Wilayah

Kabupaten Tasikmalaya berada di sebelah tenggaran wilayah Provinsi Jawa Barat, secara geografis terletak di antara 7º02’ dan 7º50’ Lintang Selatan serta 109º97’ dan 108º25’ Bujur Timur. Jarak membentang utara selatan sejauh 75 km dan arah barat timur sepanjang 56,25 km. Secara administratif memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut :

(1) Sebelah Utara : Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis (2) Sebelah Selatan : Samudera Hindia

(3) Sebelah Barat : Kabupaten Garut (4) Sebelah Timur : Kabupaten Ciamis

Secara administratif Kabupaten Tasikmalaya terdiri dari 39 Kecamatan dan 351 desa, dengan luas wilayah 270.882 hektar setelah pemekaran dengan Kota Tasikmalaya (Gambar 3). Kecamatan Cipatujah merupakan kecamatan terluas, yaitu 24.667 hektar atau 8,82% dari wilayah Kabupaten Tasikmalaya. Kecamatan Sukaresik adalah kecamatan dengan luas wilayah paling kecil, yaitu 1.781 hektar atau 0,61% dari luas wilayah Kabupaten Tasikmalaya. Wilayah Kabupaten Tasikmalaya memiliki ketinggian berkisar antara 0-2.500 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sebagian besar bentuk wilayah adalah bergelombang sampai berbukit, kecuali di kecamatan-kecamatan bagian Utara yang berbukit sampai bergunung. Kecamatan Leuwisari, Cigalontang, Sukaratu, Kadipaten, Pagerageung, dan Taraju merupakan kecamatan yang mempunyai ketinggian wilayah 1.000 mdpl. Kecamatan Cipatujah, Cikalong, dan Karangnunggal merupakan daerah dataran rendah dengan ketinggian berkisar antara 0-100 mdpl (Lampiran 2).

(32)

18

rata-rata 1.298 mm per tahun yang terjadi pada bulan oktober, November dan Desember. Curah hujan kering rata-rata 650 mm per tahun terjadi pada bulan Maret-Juni, sebaran curah hujan diuraikan pada Lampiran 2 (BPS Kab. Tasikmalaya, 2015).

Jumlah penduduk Kabupaten Tasikmalaya pada tahun 2014 tercatat sebanyak 1.720.124 jiwa. Rasio penduduk berdasarkan jenis kelamin terdiri dari 853.812 jiwa laki-laki dan 866.312 jiwa perempuan dengan sex ratio

sebesar 98.58%. Kecamatan-kecamatan dengan sex ratio diatas 100% terdapat di Kecamatan Cipatujah, Bantarkalong, Sukaraja, Manonjaya, Cigalontang dan Kadipaten. Tingkat kepadatan penduduk di Kabupaten Tasikmalaya adalah sebesar 899 jiwa per per km2 (Lampiran 1). Kecamatan Singaparna merupakan kecamatan dengan kepadatan tertinggi yaitu 2.712 jiwa per km2, sedangkan kecamatan Pancatengah merupakan wilayah dengan kepadatan terendah yaitu 227 jiwa per km2 (Gambar 2).

Gambar 2 Luas wilayah dan kepadatan penduduk di setiap kecamatan

(33)

19 Tabel 2 Distribusi penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha

Jenis Lapangan Usaha Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

Pertanian 343.556,53 48,45

Pertambangan 2.269,10 0,32

Industri pengolahan 85.091,40 12,00 Listrik, gas dan air 425,46 0,06

Bangunan 34.036,56 4,80

Perdagangan 171.600,99 24,20

Angkutan 36.589,30 5,16

Keuangan 3.545,48 0,50

Jasa kemasyarakatan 31.767,46 4,48

Lainnya 212,73 0,03

Jumlah 709.095,00 100,00

Sumber : BPS Kab. Tasikmalaya, 2015 (diolah)

Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur menunjukan bahwa secara umum penduduk Kabupaten Tasikmalaya berada pada kelompok usia produktif dengan persentase sebesar 60,26%. Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur diuraikan pada Tabel 3 berikut :

Tabel 3 Jumlah penduduk berdasarkan kelompok usia

Kelompok Umur (Tahun) Jumlah (Jiwa) Persentase (%) < 15 514.029,00 29,74 > 15 - 60 1.041.674,00 60,26 > 60 172.915,00 10,00

Jumlah 1.728.618,00 100,00 Sumber : BPS Kab. Tasikmalaya, 2015 (diolah)

Luas daratan diartikan sebagai luas lahan tanah di Kabupaten Tasikmalaya yaitu 270.882 hektar yang terdiri dari lahan pertanian seluas 242.416 hektar dan lahan non pertanian seluas 28.466 hektar. Lahan pertanian terdiri dari lahan sawah seluas 51.188 hektar dan lahan non sawah seluas 191.228 hektar. Uraian lahan pertanian disajikan pada Tabel 4 berikut :

Tabel 4 Penggunaan lahan pertanian

(34)

20

(35)

21

Perekonomian Wilayah

Salah satu dimensi sasaran pembangunan adalah pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dapat diukur dengan menggunakan parameter Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Perekonomian Kabupaten Tasikmalaya pada tahun 2014 mengalami percepatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, dengan laju pertumbuhan PDRB sebesar 4.76%. PDRB Kabupaten Tasikmalaya pada tahun 2014 berdasarkan harga berlaku mencapai Rp. 23,42 triliun, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan tercatat sebesar Rp. 18,79 triliun. Tingkat perkembangan perekonomian Kabupaten Tasimalaya sejak tahun 2013 sampai dengan tahun 2014 terus mengalami peningkatan. Nilai PDRB atas dasar harga berlaku pada tahun 2013 tercatat sebesar Rp. 21,31 triliun. Struktur perkonomian masyarakat Kabupaten Tasikmalaya adalah berbasis pada sektor pertanian, terutama tanaman pangan. Kontribusi pertanian terhadap PDRB Kabupaten Tasikmalaya adalah sebesar 39,29%, diikuti sektor perdagangan sebesar 20,60%. (BPS Kab. Tasikmalaya, 2015).

Sektor pertanian sebagai sektor penyedia lapangan kerja di Kabupaten Tasikmalaya terbesar, yaitu sekitar 39,29% kesempatan kerja berasal dari sektor pertanian, diikuti perdagangan 20,60%, dan jasa-jasa 15,08%. Sektor pertanian merupakan penyedia utama kebutuhan pangan masyarakat yang merupakan kebutuhan dasar dan hak asasi manusia. Sektor pertanian juga menyediakan pasar yang sangat besar untuk produk manufaktur karena jumlah penduduk perdesaan yang besar dan terus mengalami peningkatan. Dengan demikian, sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang paling efektif untuk mengentaskan kemiskinan di wilayah perdesaan melalui peningkatan pendapatan mereka yang bekerja di sektor pertanian. Komoditas unggulan sektor pertanian Kabupaten Tasikmalaya yang sudah berorientasi ekspor antara lain: Padi Organik (SRI) dengan sentra di 7 (tujuh) Kecamatan. (Sukaresik, Cisayong, Sukaraja, Manonjaya, Cineam, Sukahening dan Salawu), Manggis dengan sentra di Puspahiang, Mendong dan Golok Galonggong Manonjaya. Sedangkan pada sektor industri adalah kerajinan dengan sentra di Rajapolah dan bordir dengan sentra di Sukaraja. Kontribusi lapangan usaha terhadap PDRB Kabupaten Tasikmalaya diuraikan pada Tabel 5 berikut :

Tabel 5 Kontribusi lapangan usaha terhadap PDRB (%)

Jenis Lapangan Usaha 2013 2014 ---(%)---

Pertanian 39,69 39,29

Pertambangan 0,31 0,30

Industri pengolahan 7,13 7,55 Listrik, gas dan air 0,07 0,08

Bangunan 9,1 9,04

Perdagangan 20,94 20,60

Angkutan 3,72 3,80

Keuangan 2,93 2,91

Jasa kemasyarakatan 14,73 15,08

Lainnya 1,38 1,35

(36)

22

Kebijakan Wilayah Pembangunan

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tasikmalaya, yang selanjutnya disebut RTRW Kabupaten Tasikmalaya, yang diatur melalui Perda Nomor 2 Tahun 2012, adalah arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten Tasikmalaya. Ruang wilayah Kabupaten Tasikmalaya adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, ruang udara dan termasuk juga ruang di dalam bumi, sebagai tempat masyarakat Kabupaten Tasikmalaya melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya, serta merupakan suatu sumberdaya yang harus ditingkatkan upaya pengelolaannya secara bijaksana. Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah di Kabupaten Tasikmalaya adalah sebagai berikut (Bappeda Kab. Tasikmalaya, 2015) : 1. Pemantapan lahan sawah beririgasi serta meningkatkan produktivitas

pertanian

2. Pemantapan pemanfaatan ruang kawasan lindung sesuai dengan fungsinya 3. Pengelolaan wilayah pesisir dan laut dengan pendekatan keterpaduan

ekosistem, sumberdaya dan kegiatan pembangunan berkelanjutan 4. Pengembangan sistem perkotaan perdesaan

5. Pengembangan sistem jaringan prasarana wilayah

6. Pengoptimalan potensi lahan budidaya dan sumberdaya alam yang mendorong pertumbuhan sosial ekonomi di wilayah belum berkembang

7. Pengembangan kawasan permukiman perkotaan dengan mempertimbangkan keserasian, keseimbangan dan pembangunan berkelanjutan

Wilayah pembangunan Kabupaten Tasikmalaya terdiri atas wilayah pengembangan utama utara, tengah dan selatan (Tabel 6). Wilayah pengembangan utama selatan terdiri dari 10 kecamatan, wilayah pengembangan utama tengah terdiri dari 20 kecamatan dan wilayah pengembangan utama utara terdiri dari sembilan kecamatan (Lampiran 1). Wilayah pengembangan utama utara yang merupakan satuan wilayah pengembangan (SWP) I, memiliki luas area 35.804,15 hektar. Wilayah pengembangan utama utara terdiri dari Kecamatan Ciawi, Kadipaten, Pagerageung, Sukaresik, Jamanis, Sukahening, Rajapolah, Sukaratu dan Cisayong. Wilayah pengembangan utama utara meliputi pengembangan industri manufaktur, pertanian lahan basah dan kering, palawija dan hortikultura, agroindustri, perikanan darat, peternakan, perkebunan, pertambangan wisata agro, pusat pelayanan informasi pariwisata, perdagangan dan jasa komersial skala regional.

(37)

23 luas 39.373,12 hektar meliputi Kecamatan Manonjaya, Cineam, Karangjaya, Salopa, Jatiwaras, dan Gunungtanjung. Satuan wilayah pengembangan ini diarahkan pada pengembangan bidang agribisnis, konservasi hutan dan pusat pengembangan pendidikan dan latihan.

Wilayah pengembangan utama selatan terdiri dari satuan wilayah pengembangan (SWP) V dan VI. Satuan wilayah pengembangan V memiliki luas 70.576,08 hektar yang meliputi wilayah Kecamatan Karangnunggal, Bantarkalong, Culamega, Bojongasih, Parungponteng, Cibalong dan Cipatujah. Satuan wilayah pengembangan ini diarahkan pada pengembangan bidang perkebunan karet, peternakan, hortikultura, pariwisata, perikanan darat, pengembangan jasa transportasi laut, pusat pengolahan industri pertambangan, agribisnis dan pertahanan keamanan. Satuan wilayah pengembangan (SWP) VI dengan luas area 47.634,17 hektar yang meliputi Kecamatan Cikatomas, Cikalong dan Pancatengah diarahkan pada pengembangan bidang pertambangan umum, industri, bahan bangunan, hortikultura dan palawija, konservasi hutan, budidaya perkebunan, peternakan, agroindustri pengolahan kelapa dan industri kecil.

Tabel 6 Wilayah pembangunan utama dan arah pembangunan Wilayah

Sumber : Bappeda Kab. Tasikmalaya, 2015 (diolah)

(38)

24

Subsektor Peternakan

Pembangunan peternakan belum menjadi perhatian utama dalam lingkup kebijakan pembangunan pemerintah Kabupaten Tasikmalaya. Meskipun Secara historis kegiatan peternakan telah menyatu dengan kehidupan masyarakat sehingga menjadi bagian dari kultur masyarakat serta menjadi penopang perekonomian masyarakat. Komoditas ternak strategis di Kabupaten Tasikmalaya meliputi sapi potong, domba, sapi perah, kambing, ayam ras pedaging dan itik. Pada tahun 2014 perkembangan populasi ternak tersebut meningkat antara 8-12% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Perkembangan populasi ternak di Kabupaten Tasikmalaya tahun 2010-2014 diuraikan pada Tabel 7 sebagai berikut :

Tabel 7 Populasi Ternak di Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2010-2014 Jenis Ternak Jumlah Ternak (Ekor) Sumber : Disnakkanla Kab. Tasikmalaya, 2015 (diolah)

(39)

25 Tabel 8 Jumlah peternak di Kabupaten Tasikmalaya tahun 2010-2014

Jenis Ternak Jumlah Peternak (Jiwa)

2010 2011 2012 2013 2014 Sumber : Disnakkanla Kab. Tasikmalaya, 2015 (diolah)

Pemenuhan kebutuhan daging unggas, telur, daging sapi/kerbau dan susu di Kabupaten Tasikmalaya masih tergantung dengan pasokan dari wilayah sekitar. Hal ini terjadi karena hasil produksi peternakan di dalam wilayah Kabupaten Tasikmalaya masih belum cukup memenuhi kebutuhan konsumsi penduduk Kabupaten Tasikmalaya, selain juga kebocoran hasil ternak yang keluar dari wilayah Kabupaten Tasikmalaya. Wilayah-wilayah pemasok kebutuhan daging unggas dan telur adalah Ciamis (ayam buras dan telur), Sukabumi, Bogor, Bandung, Purwakarta, Banten dan Subang (ayam ras pedaging). Produksi daging dan susu pada komoditas ternak ruminansia khususnya sapi potong dan domba menunjukan produksi yang meningkat, namun tidak pada ternak kerbau dan kambing yang cenderung menurun. Untuk produk komoditas unggas secara umum cenderung meningkat, terutama pada produksi daging ayam ras broiler. Produksi telur, daging dan susu di Kabupaten Tasikmalaya pada tahun 2010-2014 diuraikan pada Tabel 9 sebagai berikut :

(40)

26

Khusus untuk komoditas ternak ruminansia ketersediaan produksi di Kabupaten Tasikmalaya dipengaruhi juga oleh jumlah pemasukan dan pengeluaran serta pemotongan ternak. Ternak ruminansia yang masuk secara umum berasal dari Kabupaten Ciamis, Garut dan Sumedang serta dari luar Provinsi Jawa Barat yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ternak ruminansia yang keluar sebagain besar menuju Kota Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis, Garut, Bandung dan wilayah Jabodetabek. Pemasukan dan pengeluaran ternak ruminansia sebagaian besar berupa ternak hidup siap potong dan bibit. Jumlah ternak yang masuk tidak sebanding dengan jumlah ternak yang keluar dan dipotong, sehingga populasi riil yang ada di wilayah Kabupaten Tasikmalaya menjadi penting untuk ditingkatkan. Ternak domba dan sapi merupakan jenis ternak dengan jumlah pemotongan terbesar pada tahun 2014. Tingginya jumlah pemotongan ternak ini berpengaruh terhadap laju pertumbuhan populasi, dan dikhawatirkan akan menjadi ancaman terhadap pemotongan bibit apabila ternak siap potong tidak mencukupi. Jumlah pemasukan, pengeluran dan pemotongan ternak ruminansia tahun 2014 diuraikan pada Tabel 10 sebagai berikut :

Tabel 10 Pemasukan, pengeluaran dan pemotongan ternak ruminansia tahun 2014 Jenis Ternak Pemasukan Pengeluaran Pemotongan Sumber : Disnakkanla Kab. Tasikmalaya, 2015 (diolah)

Gambar

Gambar 2 Luas wilayah dan kepadatan penduduk di setiap kecamatan
Gambar 3 Peta administrasi Kabupaten Tasikmalaya dan luas wilayah setiap
Tabel 6 Wilayah pembangunan utama dan arah pembangunan
Tabel 8 Jumlah peternak di Kabupaten Tasikmalaya tahun 2010-2014
+7

Referensi

Dokumen terkait

Setelah total penerimaan dikurangi dengan total biaya maka diperoleh pendapatan tunai tanpa memperhitungkan biaya alat, biaya tenaga kerja dalam keluarga dan luar keluarga

By opposition, the combined interval analysis and homotopy continuation technique calibration obtained by continuous deformation of the function mapping the

Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam contoh 2 yang telah diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, apabila dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sesudah

Pelapukan batuan umumnya terjadi pada batuan yang kurang resisten sehingga mudah lapuk, akibat adanya pelapukan batuan, pergerakan air maupun angin dapat mengikis dan

Jaringan komputer merupakan sekelompok komputer otonom yang dihubungkan satu dengan lainnya dengan menggunakan protokol komunikasi melalui media transmisi atau media

Tujuan penelitian ini adalah untuk : (1) mengetahui kelayakan kualitas air selama pemeliharaan pada lahan bekas galian batu merah, (2) menganalisis laju

Masalah kemiskinan di negara berkembang seperti di Indonesia merupakan salah satu masalah kompleks yang wajib dicarikan solusi agar menciptakan masyarakat yang sejahtera

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sejauh mana pengaruh iklan terhadap citra merek mie instan merek Supermie di Surabaya Selatan khususnya untuk yang membeli produk