• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Role of Female Common Carp (Cyprinus carpio) to Induce Spawning of Java Carp (Barbonymus gonionotus) Using Cangkringan Method

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Role of Female Common Carp (Cyprinus carpio) to Induce Spawning of Java Carp (Barbonymus gonionotus) Using Cangkringan Method"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN IKAN MAS (Cyprinus carpio L.) BETINA

UNTUK MERANGSANG PEMIJAHAN IKAN TAWES

(Barbonymus gonionotus B.) DALAM METODE CANGKRINGAN

LITA MASITHA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

1

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Peran Ikan Mas (Cyprinus

carpio L.) Betina untuk Merangsang Pemijahan Ikan Tawes (Barbonymus

gonionotus B.) dalam Metode Cangkringan” adalah karya saya dengan arahan dari

komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2013

Lita Masitha

NIM 100211

(3)

RINGKASAN

LITA MASITHA.Peran ikan mas (Cyprinus carpio L.) betina untuk merangsang

pemijahan ikan tawes (Barbonymus gonionotus B.) dalam metode Cangkringan.

Dibimbing oleh MUHAMMAD ZAIRIN JUNIOR, MUHAMMAD AGUS SUPRAYUDI dan RUDHY GUSTIANO

Pemijahan ikan secara alami lebih banyak memberikan keuntungan dibanding dengan kawin suntik. Metode Cangkringan merupakan salah satu cara pemijahan ikan secara alami. Metode ini dilakukan dengan memijahkan ikan mas di dalam hapa dan ikan tawes di luar hapa, dimana ikan tawes akan memijah setelah ikan mas memijah. Pada metode di atas terjadi stimulasi dari ikan mas ke ikan tawes. Stimulasi yang bekerja kemungkinan besar diakibatkan oleh semacam feromon yang dilepas oleh ikan mas. Penggunaan feromon pada pemijahan ikan, memiliki nilai praktis yang sangat tinggi karena dapat diterapkan tanpa menangani ikan sehingga meniadakan stres, dan merangsang proses endogenus normal sehingga mengeliminir kegagalan dalam pembuahan dan hanya bekerja pada induk yang benar-benar matang. Stimulasi pemijahan dengan feromon sangat potensial untuk dikembangkan pada ikan yang biasa memijah secara masal.

Keterlibatan feromon pada pemijahan ikan mas dengan metode Cangkringan, dapat menimbulkan respon primer dan atau respon pelepas pada ikan tawes, yang selanjutnya menyebabkan pemijahan pada ikan tawes. Metode ini bersifat alami, lebih efektif dan lebih aman dibandingkan dengan metode kawin suntik. Pada metode kawin suntik, baik dengan teknik hipofisasi maupun dengan menggunakan hormon gonadotropin lain memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan pada teknik hipofisasi antara lain hilangnya ikan donor karena diambil hipofisisnya, standarisasi kandungan ekstrak kelenjar hipofisis ikan sukar dilakukan karena terlalu banyak hormon yang terlibat, ada kekhawatiran akan terjadi interaksi antar hormon-hormon yang ada, dan penyakit dapat menular dengan mudah dari ikan donor ke ikan resipien.

Pemijahan dengan metode Cangkringan juga memiliki beberapa kelebihan antara lain induk tidak mengalami stres karena penanganan sehingga resiko

mortalitas kecil, induk ikan mas dapat digunakan sebagai perangsang untuk

beberapa kali pemijahan, dan metode Cangkringan memberikan alternatif untuk pengembangan feromon sebagai perangsang. Namun, sampai saat ini belum diketahui peran ikan mas betina dalam merangsang pemijahan ikan tawes dengan metode Cangkringan. Metode ini perlu dikembangkan untuk menemukan feromon

yang dapat dijadikan sebagai perangsangpada pemijahan ikan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi peran ikan mas betina dalam merangsang pemijahan ikan tawes dalam metode cangkringan. Setiap pasang induk ikan tawes ditempatkan dalam wadah yang sama dengan 3 ekor ikan mas baik disuntik atau tidak disuntik ovaprim sebagai pengimbas dengan komposisi

♂♂♀ tidak disuntik (A), ♂♂♀ disuntik (B), ♂♂ tidak disuntik dan ♀ disuntik

(C), ♀♀♀ disuntik (D) dan ♀♀♀ tidak disuntik (E). Pengambilan contoh telur

dilakukan sebelum penyuntikan pertama dengan teknik kanulasi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata diameter telur ikan mas berkisar 0.99–

1.96 mm, sedangkan rata-rata diameter telur ikan tawes berkisar 0.67–0.75 mm.

(4)

pemijahan ikan dengan metode cangkringan ini adalah ikan mas karena ikan tawes mijah jika ada ikan mas yang mijah. Ikan tawes tidak memijah mendahului ikan mas. Pengaruh pemijahan ikan mas pada ikan tawes dapat disebabkan baik oleh

pasangan ikan mas heteroseks (♂♂♀) yang berovulasi maupun pasangan

monoseks betina (♀♀♀) yang berovulasi . Pencapaian interval waktu imbas

tercepat pada pemijahan ikan tawes secara alami karena pengaruh pemijahan ikan mas secara berturut-turut ditunjukkan oleh perlakuan B3 yaitu 6 jam 55 menit, E3 yaitu 6 jam 58 menit, dan C3 yaitu 8 jam 5 menit. Derajat pemijahan ikan tawes tertinggi diperoleh pada perlakuan B yaitu sebesar 100% kemudian perlakuan D, E, C dan A masing-masing sebesar 66.7%, 66.7%, 33.3% dan 0%.

Hasil analisis hormon testosteron dan estradiol menunjukkan bahwa konsentrasi testosteron ikan mas jantan dan konsentrasi estradiol ikan mas betina pada akhir pemijahan sangat menentukan status pemijahan ikan tawes.

Konsentrasi testosteron 2.2–10.19 ng mL-1 dapat memberikan pengaruh

pemijahan baik secara stripping maupun secara alami pada ikan tawes (perlakuan B1, A1, B3 dan C3). Terjadinya pemijahan ikan tawes pada keempat perlakuan di

atas juga didukung oleh rendahnya konsentrasi estradiol yaitu berkisar antara

0.62–1.46 ng mL-1. Konsentrasi testosteron yang terlalu rendah (kurang dari 1 ng

mL-1 : perlakuan A2 dan C2) atau terlalu tinggi (12.83 ng mL-1 pada ikan mas

jantan dan >16.8 ng mL-1

Keseluruhan dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ovulasi pada ikan mas betina yang disuntik atau tidak disuntik ovaprim dapat memberikan pengaruh imbas pada pemijahan ikan tawes. Namun, pengaruh imbas tersebut akan semakin kuat jika terdapat ikan mas jantan sebagai pengimbas.

pada ikan mas betina: perlakuan A3) tidak memberikan

pengaruh pemijahan pada ikan tawes.

(5)

SUMMARY

LITA MASITHA. The Role of Female Common Carp (Cyprinus carpio) to

Induce Spawning of Java Carp (Barbonymus gonionotus) Using Cangkringan

Method. Supervised by MUHAMMAD ZAIRIN JUNIOR, MUHAMMAD AGUS SUPRAYUDI and RUDHY GUSTIANO

Natural spawning in fish is more preferable than induce breeding.

Cangkringan method offer an alternative that very close to natural spawning, since this method using spawning common carp to stimulate java carp to spawn. The stimulation most likely caused by pheromone which released from common carp. The use of pheromones in fish spawning has a highly practical because it can be applied without handling fish too much thus eliminating stress, and stimulate the endogenous normal processes of mature brood stock that eliminating failures in fertilization. Stimulation of spawning by pheromones potential to be developed further on mass spawner fish.

The evidence of pheromones of common carp spawning in Cangkringan method may cause primary responses or releaser responses in Java carp to spawn, which in turn cause spawning of Java carp. In induce breeding, either by using hypophyzation technique or other gonadotropin hormone has several disadvantage. For using pituitary gland, the weakness are the loss of donor fish because it was taken their hypophysis, standardized pituitary gland extract is difficult to do because there are too many hormones involved, there are fears of an interaction among the hormones, and disease transmition.

Spawning fish using Cangkringan method have several advantages such as reducing stress and avoid mortality risk, repeating inducer for spawning several times, and providing alternative to develop pheromones as an inducer. However, it is not clear until now the control of female common carp to induce spawning of Java carp in Cangkringan method. Therefore it is important to find the responsible pheromone in future.

This study aimed to evaluate control of female common carp to induce spawning of Java carp in Cangkringan method. Each pair of Java carp was placed

in the same tank with three common carp (♂♂♀ or ♀♀♀) injected or not injected

with ovaprim. Between common carp and Java carp, they were separated by net. This study consist of three treatments, and two controls with three replications.

The composition of this treatment were ♂ ♂ ♀ not injected (A), ♂ ♂ ♀ injected

(B), ♂ ♂ not injected and ♀ injected ( C), ♀ ♀♀ injected (D) and ♀ ♀♀ not

injected (E). Sampling for egg was conducted before the first injection by cannulation tecniques. Observation indicated that egg diameter ranged from 0.99 to 1.96 mm for common carp eggs, while the diameter of Java carp eggs ranged from 0.67 to 0.75 mm. Results of this study showed that fish which act as inducer spawning in Cangkringan method is common carp because Java carp would spawn only if common carp was spawn. The Java carp never spawn precedes before common carp. These results indicated that inducing of common carp on

spawning of Java carp enabled due to ovulating heterosexual couple carp (♂♂ ♀)

or ovulating couples monosex (♀♀♀). The fastest interval time induction of

(6)

hours 55 minutes, then E3 is 6 hours 58 minutes, and C3 is 8 hours 5 minutes

Analysis of testosterone and estradiol showed that testosterone concentration of male common carp and estradiol concentration of female common carp at the end of spawning determine the spawning status of Java carp. Testosterone concentrations 2.26 to 10.19 ng mL

.

Application of ovaprim injection in ♂♂♀ common carp (treatment B) gave 100%

spawning rate of Java carp, while treatment D, E, C and A gave 66.7%, 66.7%, 33.3% and 0%, respectively.

-1

could affect both stripping and natural spawning in Java carp (treatment B1, A1, B3 and C3). The occurrence of spawning of Java carp in the four treatments is also supported by the low estradiol

concentrations ranged between 0.62–1.46 ng mL-1. Testosterone concentrations

those were too low (less than 1 ng mL-1: treatment A2 and C2) or too high (12.83

ng mL-1 in male carp and > 16.8 ng mL-1

Overall result of this study showed that both ovulating female common carp injected or not injected with ovaprim was able to influence the spawning of Java carp. The influence was stronger when male common carp was present.

in female one: A3 treatment) did not impact on spawning of Java carp.

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(8)

PERAN IKAN MAS (

Cyprinus carpio

L.) BETINA

UNTUK MERANGSANG PEMIJAHAN IKAN TAWES

(

Barbonymus gonionotus

B.) DALAM METODE CANGKRINGAN

LITA MASITHA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

Judul Tesis : Peran ikan mas (Cyprinus carpio L.) betina untuk merangsang

pemijahan ikan tawes (Barbonymus gonionotus B.) dalam metode

Cangkringan

Nama : Lita Masitha

NIM : C151100211

Disetujui

Komisi Pembimbing

Ketua

Prof Dr Ir Muhammad Zairin Junior, MSc

Dr Ir Muhammad Agus Suprayudi, MSi

Anggota Anggota

Dr Ir Rudhy Gustiano, MSc

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Akuakultur

Prof Dr Ir Enang Harris, MS Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(11)

PRAKATA

Alhamdulillah, puji dan syukur hanyalah kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, karunia, dan hidayah-Nya, sehingga penelitian yang

berjudul ”Peran Ikan Mas (Cyprinus carpio L.) Betina untuk Merangsang

Pemijahan Ikan Tawes (Barbonymus gonionotus B.) dalam Metode Cangkringan”

ini dapat terlaksana dengan baik. Dalam proses penelitian hingga terangkumnya tesis ini, cukup banyak hambatan yang dijumpai, sehingga disadari karya ini tidak dapat tersusun tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak.

Terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Muhammad Zairin Junior, M.Sc., Bapak Dr. Ir. Muhammad Agus Suprayudi, M.Si dan Bapak Dr. Ir. Rudhy

Gustiano, M.Sc yang telah memberi bimbingan dan ilmu yang sangat berharga

kepada penulis, kepada Ibu Dr. Ir. Dinar Tri Soelistyowati, DEA atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi, juga kepada Ibu Dr. Ir Widanarni, M.Si dan Bapak Prof. Dr. Ir. Enang Harris, M.S atas saran dan bimbingannya. Teristimewa penulis ucapkan terima kasih kepada suamiku tercinta Lukmanul Hakim dan putriku tersayang Fathimah atas limpahan kasih sayang, doa, pengorbanan, dukungan moril dan materi serta kesabarannya telah menyertai penulis untuk melanjutkan pendidikan. Penghargaan dan terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada orang tua tercinta, Ayahanda Mashud Ade Basu, S.Pd, Ibunda Mahadiah (Alm) dan Ibunda Samriati atas kasih sayang, doa restu, pengorbanan, serta dukungan moril dan materi yang diberikan kepada penulis.

Penghargaan dan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas program Beasiswa BPPS, serta kepada Rektor Unidayan Baubau Bapak La Ode Muhammad Arsal S.Sos., M.Si atas rekomendasi yang diberikan, Bapak Ir. Tamar Mustari, M.S dan Bapak Ir. Musrif, M.P atas segala dorongan sehingga penulis dapat melanjutkan pendidikan pada Mayor Ilmu Akuakultur IPB.

Terima kasih kepada para dosen dalam lingkup Mayor Ilmu Akuakultur IPB, atas ilmu berharga yang telah penulis peroleh; seluruh sahabat di Akuakultur angkatan 2010, atas kebersamaan, semangat, dan kenangan indah selama menempuh pendidikan bersama; rekanku Lysa Simanjuntak, S.Pi., M.Si atas dukungan dan kebersamaannya. Kepada Bapak Gholib S.Pt, M.Si terimakasih atas bantuannya dalam analisis hormon dan kepada para peneliti dan teknisi di Instalasi Penelitian Plasma Nutfah Budidaya Air Tawar Cijeruk Bogor, terima kasih telah berbagi ilmu dan bantuan yang diberikan selama penelitian.

Kepada kakak-kakakku tercinta, Nur Kamariah, S.E; La Ode Herdin; Hardono Manan, S.Pi; Suparmi, S.Sos; adik-adikku tersayang Asad Hamzah, A.Ma.Pd; Noni Baali, A.Ma.Pd; Masriati; Masriadi; Siti Maryam dan Siti Fathimah Az-zahra, kepada Abi Ust. Syamsi bin La Onda dan Ummi Wa Ode Ahi beserta seluruh keluarga besarku, terima kasih atas doa, dukungan dan kasih sayangnya. Terima kasih untuk keluargaku di Pondok Edelweis’88 serta para sahabat seperantauan di Pondok Al-Lulu, atas kebersamaan dan semangat dari kalian. Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas bantuan, dukungan, serta doanya.

Semoga tesis ini dapat memberikan faedah bagi semua pihak.

Bogor, Januari 2013

(12)

DAFTAR ISI

Manfaat Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Mas 3

Ikan Tawes 3

Proses Pematangan Gonad 4

Vitellogenesis dan Proses Pematangan Oosit Tahap Akhir 6

Ovulasi dan Pemijahan 7

Metode Cangkringan 9

Feromon 9

Hormon Testosteron dan Estradiol 11

3 METODOLOGI PENELITIAN

Materi Uji dan Rancangan Penelitian 12

Metode Penelitian 12

Persiapan Induk 12

Persiapan Wadah 13

Pemberokan Induk 13

Pengambilan Sampel Telur 13

Pengambilan Sampel Darah 14

Penyuntikan Induk 14

Pemijahan dengan Sistem Imbas 14

Parameter Penelitian 15

Tingkat Kematangan Gonad 15

Tingkah Laku Reproduksi Ikan 15

Diameter Telur 15

Waktu Induk Mencapai Ovulasi 15

Derajat Pemijahan (DP) Ikan Tawes 15

Jumlah Telur yang Diovulasikan (TO) Pada Ikan tawes 15

Derajat Pembuahan (Fertilization Rate, FR) Telur Ikan Tawes 16

Derajat Penetasan (Hatching Rate, HR) Ikan Tawes 16

Konsentrasi Hormon Testosteron dan Estradiol Ikan Mas 16

Parameter Kualitas Air 16

(13)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat Kematangan Gonad 16

Diameter Telur 17

Posisi Inti Telur 18

Tingkah Laku Pemijahan 19

Imbas Pemijahan Ikan Mas Terhadap Ikan Tawes 21

Fekunditas, Derajat Pembuahan (FR) dan Derajat Penetasan Telur (HR) 22

Profil Hormon Testosteron (T) dan Estradiol (E2

Kualitas Air 25

) Ikan Mas 23

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 25

Saran 25

DAFTAR PUSTAKA 26

LAMPIRAN 30

(14)

DAFTAR GAMBAR

1 Oosit dengan lapisan folikel pada ikan cod (Gadus morhua),

A : bagian dari keseluruhan oosit dengan kuning telur (Y), B : Zr menunjukkan zona radiata dan sel-sel folikel (teka, T, dan

granulosa, G) ditandai dengan panah 4

2

(Acanthopagrus schlegeli). A: Butiran kuning telur terlihat lebih Perubahan morfologi pada oosit matang Black Porgy

besar dan kurang padat dalam sitoplasma. B: Secara perlahan inti bergeser dari pusat telur. C: Ooplasma transparan. D: Inti telur bergerak ke bagian peripheral. E: Oosit matang dengan satu butiran minyak. F: inti telur melebur. g = germinal vesicle (inti telur),

o = butiran minyak 5

3 Skema kontrol hormon dalam reproduksi ikan 6

4 Proses perkembangan sel telur 7

5

ikan betina selama pematangan oosit dan ovulasi 8

Rantai endokrin, poros hipothalamus-pituitari-gonad (HPG) pada

6 Induk ikan mas (A) dan induk ikan tawes (B) 12

7

pemisah antara ikan mas dan ikan tawes (panah)

Wadah perlakuan yang digunakan selama penelitian; hapa sebagai

13 8

sampel darah dari vena ekor (B); penyuntikan induk dilakukan Pengambilan telur dengan metode kanulasi (A); pengambilan

secara intramuscular (C) 14

9 Posisi inti telur ikan tawes, inti telur pada fase istrahat (panah

(15)

DAFTAR TABEL

1 Desain perlakuan pemijahan ikan mas dalam merangsang pemijahan

ikan tawes dalam metode Cangkringan 12

2 Ukuran diameter (mm) telur ikan mas 17

3 Ukuran diameter (mm) telur ikan tawes 17

4

ovulasi (WOM), waktu ikan tawes mencapai ovulasi (WOT), dan Jumlah ikan mas dan tawes yang mijah, waktu ikan mas mencapai

derajat pemijahan (DP) ikan tawes 20

5

penetasan (HR) ikan tawes 23

Bobot tubuh, fekunditas, derajat pembuahan (FR) dan derajat

6 Konsentrasi hormon testosteron (T) dan estradiol (E2

7 Nilai parameter kualitas air selama penelitian 25

) ikan mas 24

DAFTAR LAMPIRAN

1 Desain percobaan

2 Diameter telur ikan mas dan ikan tawes pada ulangan 1,2,3

30 31

3 Posisi inti telur (panah) ikan mas pada ulangan 1,2,3 33

4 Waktu suntik, waktu ovulasi/pemijahan ikan mas, waktu ovulasi/

Pemijahan ikan tawes 35

5 Fekunditas, derajat pembuahan (FR) dan derajan penetasan (HR)

Ikan tawes 36

6 Konsentrasi hormon testosteron (T) dan estradiol (E2) pada setiap

(16)

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Upaya untuk menginduksi pemijahan ikan dapat dilakukan melalui beberapa cara, baik melalui manipulasi lingkungan, kawin suntik maupun dengan metode imbas. Sejak tahun 70-an, di Indonesia telah berkembang metode imbas untuk memijahkan ikan tawes yang dikenal dengan metode Cangkringan. Metode ini pertama kali ditemukan di Balai Benih Ikan Sentral (BBIS) Cangkringan, yang pada awalnya digunakan untuk memijahkan ikan tawes dengan rangsangan pemijahan ikan mas. Menurut Zairin (2003) pada metode di atas terjadi stimulasi dari ikan mas ke ikan tawes. Stimulasi yang bekerja kemungkinan besar diakibatkan oleh semacam feromon yang dilepas oleh ikan mas.

Feromon didefinisikan sebagai bau atau campuran zat berbau, yang dikeluarkan oleh suatu individu (pengirim) dan membangkitkan respon khas pada individu lain sebagai penerima (Sorensen dan Stacey 2004). Terdapat tiga kategori feromon yang dibedakan berdasarkan fungsinya yaitu isyarat anti-predator, isyarat sosial, dan isyarat reproduksi. Masing-masing kategori terdiri dari feromon yang dapat menimbulkan respon primer berupa efek fisiologis atau perubahan endokrinologis yang terjadi lebih lambat atau respon pelepas yaitu perubahan perilaku yang kuat (Sorensen dan Stacey 2004; Appelt dan Sorensen 2007; Burnard et al. 2008; Little et al. 2011). Meskipun demikian, feromon tidak terbatas pada jenis kelamin tertentu dan spesies yang berbeda dapat memproduksi dan melepaskan feromon yang sama, namun respon induksinya bervariasi (Burnard et al. 2008).

Lim dan Sorensen (2012) mengemukakan bahwa saat ovulasi, ikan betina dari berbagai spesies diketahui melepaskan F-prostaglandin, sebuah derivat feromon seks yang menarik ikan jantan sejenis. Feromon pada ikan mas

diidentifikasi sebagai campuran prostaglandin F2α (PGF2α) dan metabolit tubuh

lain yang tidak teridentifikasi, yang disebut sebagai feromon kompleks. Hasil penelitian pada ikan mas betina yang diimplan dengan PGF2α dapat menarik ikan jantan dewasa walaupun berjarak 20 m, tetapi tidak untuk ikan betina. Selanjutnya hasil penelitian Stacey et al. (2012) menjelaskan bahwa ikan Scardinius

erythrophthalmus betina yang sudah mengalami ovulasi dapat menginduksi

respon primer individu jantan sejenis yang disebabkan karena terjadi peningkatan konsentrasi 17α,20β-dihydroxy-4-pregnen-3-one (17α,20β-P) dan penurunan konsentrasi androstenedion.

Zheng et al. (1997) mengemukakan bahwa respon terhadap feromon

(17)

2

Penggunaan feromon pada pemijahan ikan memiliki nilai praktis yang sangat tinggi karena dapat diterapkan tanpa menangani ikan sehingga meniadakan stress, merangsang proses endogenus normal sehingga mengeliminir kegagalan dalam pembuahan dan hanya bekerja pada induk yang benar-benar matang. Stimulasi pemijahan dengan feromon sangat potensial untuk dikembangkan pada ikan yang biasa memijah secara masal (Zairin 2003).

Keterlibatan feromon pada pemijahan ikan mas dengan metode Cangkringan, mungkin menimbulkan respon primer dan atau respon pelepas pada ikan tawes, yang selanjutnya menyebabkan pemijahan pada ikan tawes. Metode ini merupakan cara alami yang lebih efektif dan lebih aman dibandingkan dengan metode kawin suntik. Pada metode kawin suntik, jika ikan yang disuntik tidak mijah maka peluang terjadinya mortalitas semakin tinggi karena nekrosis telur yang dapat menyebabkan keracunan internal (Woynarovich dan Horvath 1980). Dengan demikian, metode Cangkringan diharapkan menelurkan alternatif cara pemijahan ikan selain dengan metode kawin suntik dalam akuakultur.

Namun, sampai saat ini belum diketahui peran ikan mas betina dalam merangsang pemijahan ikan tawes dalam metode Cangkringan. Metode ini perlu dikembangkan untuk menemukan feromon yang dapat dijadikan sebagai perangsangpada pemijahan ikan.

Perumusan Masalah

Tahapan penting dalam siklus reproduksi ikan adalah proses pemijahan. Dewasa ini pemijahan ikan lebih banyak dilakukan dengan cara kawin suntik, baik dengan teknik hipofisasi maupun dengan menggunakan hormon gonadotropin lain seperti ovaprim maupun HCG (Human chorionic gonadotropin). Namun teknik hipofisasi memiliki beberapa kelemahan antara lain hilangnya ikan donor karena diambil hipofisisnya, standarisasi kandungan ekstrak kelenjar hipofisis ikan sukar dilakukan (Woynarovich dan Horvath 1980), terlalu banyak hormon yang terlibat sehingga dikhawatirkan akan terjadi interaksi antar hormon-hormon tersebut, dan penyakit dapat menular dengan mudah dari ikan donor ke ikan resipien (Dorafshan et al. 2003). Disamping itu metode kawin suntik dengan menggunakan ovaprim dan HCG harganya relatif mahal sehingga tidak ekonomis, sukar diperoleh dan spesifisitasnya tinggi.

Oleh karena itu metode Cangkringan dapat dijadikan metode alternatif pemijahan ikan. Beberapa keunggulan metode ini antara lain induk tidak mengalami stres karena penanganan sehingga resiko mortalitas kecil, induk ikan mas dapat digunakan sebagai perangsang untuk beberapa kali pemijahan, metode Cangkringan memberikan alternatif untuk pengembangan feromon sebagai perangsang.

Tujuan

(18)

3

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pengembangan feromon sebagai perangsang, sehingga menjadi solusi alternatif bagi pemijahan ikan secara alami.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Mas

Ikan mas termasuk famili Cyprinidae merupakan jenis ikan konsumsi air tawar, dengan daerah penyebaran alami di wilayah Eropa ke Cina dan telah dibudidayakan di berbagai daerah di dunia. Ikan ini merupakan ikan omnivora, sebagian besar memiliki cara makan dengan memakan makanan di dasar perairan. Memijah dengan menempelkan telur pada tumbuhan yang terendam di air atau di kolam (Woynarovich dan Horvath 1980).

Usia

Pada pemijahan ikan dengan teknik hipofisasi, ikan mas sering digunakan sebagai donor. Ikan mas diketahui sebagai donor universal, artinya dapat digunakan secara efektif untuk banyak jenis ikan, baik yang dalam satu famili maupun di luar famili (Sumantadinata 1983). Selain itu, ikan mas juga dikenal sebagai ikan yang mudah memijah. Pada pemijahan ikan dengan sistem Cangkringan, ikan yang biasa digunakan sebagai ikan donor atau perangsang adalah induk ikan mas.

matang gonad ikan mas berhubungan dengan letak garis lintang daerah dan jenis kelamin. Biasanya ikan jantan matang gonad lebih awal dibanding ikan betina. Ikan yang ada di daerah garis lintang rendah akan matang lebih awal dibandingkan dengan yang berada di daerah dengan garis lintang lebih tinggi. Pada kolam budidaya di India, ikan jantan matang gonad pada usia 6 bulan dan ikan betina pada usia 8 bulan, sedangkan di Kanada, ikan jantan matang gonad pada usia 3–4 tahun dan betina pada usia 4–5 tahun. Periode pemijahan ikan mas pada suhu air berkisar antara 18–28 °C (Tempero et al. 2006)

Ikan Tawes

Ikan tawes juga termasuk famili Cyprinidae. Hidup di perairan tawar dengan suhu tropis 22–28 °C dan pH 7. Ikan ini dapat ditemukan di sungai pada kedalaman hingga lebih dari 15 m, rawa banjiran dan waduk. Berkembangbiak dengan baik di daerah yang letaknya 50–800 m di atas permukaan laut. Di daerah dataran rendah yang jauh di bawah 50 m dari permukaan laut, pembiakan ikan tawes pada umumnya kurang baik (Sumantadinata 1983).

(19)

4

Ikan tawes dapat memijah dengan rangsangan alami lingkungan, suntikan hormon, dan rangsangan imbas (Sumantadinata 1983). Seperti ikan lainnya dalam famili Cyprinidae, kematangan gonad ikan tawes sangat dipengaruhi oleh suhu, pakan dan musim.

Proses Pematangan Gonad

Perkembangan gonad ikan secara garis besar dibagi atas dua tahap perkembangan utama, yaitu tahap pertumbuhan gonad sampai ikan mencapai tahap dewasa kelamin dan tahap pematangan produk seksual. Menurut Unal et al.

(2005) selama perkembangan gonad, setiap folikel ovarium terdiri dari oosit yang berkembang yang dikelilingi oleh dua lapisan sel somatik, yaitu sel-sel granulosa dalam dan sel-sel teka luar (Gambar 1).

Gambar 1 Oosit dengan lapisan folikel pada ikan cod (Gadus morhua), (A) bagian dari keseluruhan oosit dengan kuning telur, (B) zona radiata dan sel-sel folikel (Arukwe dan Goksoyr 2003). Akronim, Y – kuning telur, Zr – zona radiata, T – teka, G – granulosa

Selama awal pertumbuhan oosit (stadia perinukleolar), oosit dikelilingi oleh lapisan sederhana sel-sel granulosa yang rata (skuamosa) dan munculnya lapisan sederhana sel teka luar. Dua tipe sel tersebut dipisahkan oleh membran dasar nonselular (Arukwe dan Goksoyr 2003; Srijunngam

Hasil studi histologis dan histometrikal pada ovarium ikan mas yang dilakukan Shirali et al. (2012) menjelaskan bahwa terdapat tujuh jenis folikel yang berbeda dalam tahapan siklus reproduksi yaitu 1) folikel kromatin-nukleolus, beberapa nukleolus muncul dalam inti, tersusun teratur dan terletak pada posisi peri nuklear. Ooplasma tipis dan basofilik. Diameter folikel ini berukuran 35.96±4.52 μm. 2) folikel perinukleolus, nukleolus besar dan banyak berada di

(20)

5

pinggiran inti. Ooplasmanya mengandung organela-organela juxta nuklear kompleks (Balbiani body). Diameter rata-rata dari folikel ini 111.22±17.67 μm. 3) folikel kortical alveolus, kortikal alveoli muncul di berbagai kedalaman ooplasma. Ada juga butiran-butiran kecil lemak di sekitar inti. Zona radiata muncul seperti garis tipis. Balbiani body menjadi hilang. Diameter folikel ini adalah 200.46±22.57μm. Ketiga folikel di atas disebut sebagai folikel pra vitellogenik. 4) folikel vitelogenik primer, butiran-butiran kuning telur terletak diantara kortikal alveoli. Ooplasmanya kurang basofilik. Diameter inti mencapai diameter maksimum dalam tahap ini. Diameter folikel ini 413.10±27.53 μm. 5) folikel vitelogenik sekunder, butiran-butiran kuning telur bergerak ke tengah sedangkan kortikal alveoli dan butiran-butiran lemak bergerak ke bagian peripheral. Membran nukleus menjadi tidak beraturan. Zona radiata menebal dan diameter folikel-folikel mencapai ukuran maksimum pada tahap ini yaitu 769.50±44.41 μm. 6) folikel vitelogenik tersier, butiran-butiran kuning telur meningkat, bergabung bersama-sama dan mengisi keseluruhan ooplasma. Nukleoli secara bertahap bergerak menuju pusat nukleus. 7) Maturasi, secara bertahap nukleus bergerak ke kutub animalia. Selanjutnya membran nukleus menghilang. Folikel primer, sekunder, tersier dan maturasi dianggap sebagai folikel-folikel vitelogenik.

Selanjutnya Kucharczyk et al. (2008) menjelaskan posisi inti telur untuk menentukan tahap kematangan telur dibagi dalam empat tahap (Gambar 2) yaitu : tahap 1: inti telur (GV) berada di tengah, tahap 2: awal migrasi inti (kurang dari setengah jari-jari telur), tahap 3: akhir migrasi inti (lebih dari stengah jari-jari telur), dan tahap 4: peleburan inti atau germinal vesicle breakdown (GVBD).

(21)

6

Vitelogenesis dan Proses Pematangan Oosit Tahap Akhir

Prinsip umum yang terjadi pada semua ikan bahwa untuk memproduksi telur besar perlu pengisian kuning telur (large yolky eggs) yang diperoleh melalui perkembangan oosit. Pembentukan, perkembangan dan pematangan gamet betina dan sel telur (oogenesis) merupakan proses yang rumit yang membutuhkan koordinasi hormon (Gambar 3) (Arukwe dan Goksoyr 2003). Hormon-hormon tersebut berada di bawah kontrol poros hipothalamus-pituitari-gonad (HPG).

Selama fase reproduksi vertebrata ovipar betina, hati mensistesis sebuah prekursor protein kuning telur yang disebut sebagai vitelogenin. Sintesis vitelogenin di dalam hati (vitelogenesis) di kontrol oleh aksi hormon estrogen (Matty 1985). Vitelogenesis merupakan rangkaian dari proses pematangan gonad. Pada proses pematangan gonad, sinyal lingkungan seperti hujan, perubahan suhu, substrat, petrichor dan lain-lain, diterima oleh sistem syaraf pusat dan diteruskan ke hipotalamus. Sebagai respon, hipotalamus akan melepaskan hormon GnRH

(Gonadotropin Releasing Hormone) yang selanjutnya bekerja pada kelenjar

hipofisis. Selanjutnya hipofisis akan melepaskan hormon FSH (Follicle Stimulating Hormon) yang bekerja pada lapisan teka pada oosit (Woynarovich dan Horvath 1980).

(22)

7

Akibat kerja FSH, lapisan teka akan mensintesis testosteron dan di lapisan granulosa, testosteron akan diubah menjadi estradiol-17β (E2) oleh enzim

aromatase. Selanjutnya E2

Dalam proses pematangan oosit, tidak semua oosit yang telah mengalami vitelogenesis dapat diovulasikan. Bila keadaan lingkungan tidak mendukung, oosit akan mengalami degradasi atau kegagalan ovulasi yang dikenal dengan proses atresia (Gambar 4). Proses ini terjadi karena penyerapan materi oosit oleh sel-sel granulosa yang mengalami hipertropi. Bila keadaan lingkungan mendukung, maka akan terjadi proses praovulasi dan ovulasi (Woynarovich dan Horvath 1980).

akan merangsang hati mensintesis vitelogenin yang merupakan bakal kuning telur. Vitelogenin akan dibawa oleh aliran darah menuju gonad dan secara selektif akan diserap oleh lapisan folikel oosit (Nagahama et al.

1995). Akibat menyerap vitelogenin, oosit akan tumbuh membesar sampai kemudian berhenti apabila telah mencapai ukuran maksimum. Pada kondisi ini dikatakan bahwa telur telah berada pada fase dorman dan menunggu sinyal lingkungan untuk pemijahan (Zairin 2003).

Gambar 4 Proses perkembangan sel telur (Woynarovich dan Horvath 1980)

Ovulasi dan Pemijahan

Ovulasi adalah proses terlepasnya oosit matang dari sel-sel follikel (Yueh dan Chang 2000) untuk dibuahi (Nagahama dan Yamashita 2008). Sama halnya dengan pematangan gonad, pada proses ovulasi dan pemijahan, sinyal lingkungan

perbanyakan sel

perkembangan folikel

Fase dorman

ovulasi

(23)

8

diterima oleh sistem syaraf pusat dan diteruskan ke hipotalamus. Sebagai respon, hipotalamus akan melepaskan GnRH yang selanjutnya bekerja pada kelenjar hipofisis. Pada tahap ini hipofisis mensekresikan hormon LH (Luteinizing hormon) yang bekerja pada lapisan teka oosit. Akibat kerja LH, lapisan teka akan

mensintesis hormon 17α-hidroksiprogesteron yang kemudian di lapisan granulosa akan diubah menjadi 17α,20β-dihidroksiprogesteron (maturation inducing steroid,

MIS) oleh enzim 20β-hidroxysteroid dehidrogenase (Zairin 2003). Selain

17α,20β-dihidroxy progesteron sebagai MIS atau MIH (maturation-inducing

hormone) yang umum pada ikan, pada sebagian ikan menggunakan 17α,20β

,21-trihidroxy-4-pregnen-3-one (20β-S) sebagai MIH (Nagahama dan Yamashita 2008).

Sinyal MIH akan merangsang pembentukan faktor perangsang kematangan (maturation promoting factor, MPF) yang akan menyebabkan inti telur bermigrasi ke arah mikrofil kemudian melebur (Gambar 5). Setelah proses peleburan inti (GVBD), lapisan folikel akan pecah dan telur dikeluarkan menuju rongga ovari, sehingga terjadi proses ovulasi (Yaron 1995). Setelah proses ovulasi, telur dikatakan telah mencapai kematangan secara fisiologis dan siap dibuahi sperma.

Gambar 5 Rantai endokrin, poros hipothalamus-pituitari-gonad (HPG) pada ikan betina selama pematangan oosit dan ovulasi (Yaron dan Levavi-Sivan 2011).

(24)

9

dikeluarkan sedikit demi sedikit ke rongga ovarium dan kemudian dikeluarkan sekaligus pada saat pemijahan.

Terdapat dua faktor perangsang pemijahan yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang utama adalah kematangan gonad ikan, kandungan testosteron dan estradiol; sedangkan faktor eksternal merupakan lingkungan termasuk faktor fisika (cahaya, suhu, arus), faktor kimia (pH, kelarutan oksigen, feromon), dan faktor biologis (adanya lawan jenis, dan hormon). Untuk mempercepat pemijahan dapat pula diberikan rangsangan buatan berupa manipulasi lingkungan, suntikan hormon dan imbas (Zairin et al. 2005).

Metode Cangkringan

Pada awalnya metode imbas atau metode Cangkringan muncul karena kenyataan di BBIS (Balai Benih Ikan Sentral) Cangkringan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menunjukkan bahwa tetua ikan tawes tidak mau memijah di dalam hapa bila tidak disuntik terlebih dahulu dengan ekstrak hipofisa, meskipun kolam pemijahan telah dipersiapkan sesuai dengan keperluan cara pemijahan tradisional. Secara kebetulan dicobalah memijahkan ikan tawes bersama dengan ikan mas dalam satu kolam pemijahan. Kemudian diketahui bahwa ikan tawes dapat memijah mengikuti pemijahan ikan mas (Soedarman 1979).

Metode induksi ini dinamakan sebagai "metode Cangkringan" karena cara ini mulai dicoba dan ditemukan di BBIS Cangkringan DIY. Sejak itu pemijahan ikan tawes di BBIS Cangkringan dilakukan dengan cara induksi. Pada pelaksanaannya, pemijahan ikan mas yang juga berfungsi sebagai perangsang pemijahan ikan tawes dapat dilakukan di dalam dan di luar hapa. Umumnya pemijahan ikan tawes mengikuti pemijahan ikan mas dengan selang waktu antara 10 menit sampai dengan 1 jam 45 menit (Lestari 1998).

Feromon

Sorensen dan Stacey (2004) menjelaskan istilah feromon sebagai bau atau campuran zat berbau, yang dikeluarkan oleh suatu individu (pengirim) dan membangkitkan respon khas yang adaptif, spesifik, serta ekspresi yang tidak memerlukan pengalaman sebelumnya atau pembelajaran pada individu lain sebagai penerima. Selanjutnya Little et al. (2011), mengemukakan bahwa feromon adalah faktor kimia yang disekresikan atau dikeluarkan oleh spesies yang memicu respon sosial dalam anggota spesies yang sama.

Sebagian besar spesies ikan mengandalkan feromon untuk memediasi perilaku sosial (Sorensen dan Stacey 2004). Feromon juga memediasi tingkah laku dan respon fisiologis yang beragam dan terjadi pada berbagai spesies ikan air tawar (Burnard et al. 2008). Terdapat tiga kategori feromon yang dibedakan berdasarkan fungsinya yaitu isyarat anti-predator, isyarat sosial, dan isyarat reproduksi. Masing-masing kategori terdiri dari feromon yang dapat menimbulkan respon primer yaitu efek fisiologis atau perubahan endokrinologis yang terjadi lebih lambat dan atau respon pelepas yaitu perubahan perilaku yang kuat (Sorensen dan Stacey 2004; Appelt dan Sorensen 2007; Burnard et al. 2008; Little

(25)

10

Meskipun demikian, feromon tidak terbatas pada jenis kelamin tertentu dan spesies yang berbeda dapat memproduksi dan melepaskan feromon yang sama, namun respon induksinya bervariasi (Burnard et al. 2008). Misalnya konjugat (sulfat) 17α,20β-P menginduksi respon pelepas pada ikan Carassius auratus

jantan (Kobayashi et al. 2002) dan pada hill trout (Barilius bendelisis Ham) menginduksi respon primer (Bhatt dan Sajwan 2001).

Sinyal kimia memainkan peran sangat penting dalam koordinasi aktivitas reproduksi pada sebagian besar organisme, dan tidak terkecuali ikan (Stacey dan Sorensen 2006). Yambe et al. (2006) mengemukakan bahwa selama 20 tahun terakhir, steroid dan prostaglandin telah diidentifikasi sebagai feromon seks yang dilepaskan ikan dalam urinnya. Hasil penelitian Appelt dan Sorensen (2007) menunjukkan bahwa ikan mas koki mengontrol pelepasan feromon prostaglandin pada urin untuk mempromosikan lokasi dan status reproduksi sebagai tahap awal sistem komunikasi kimia mereka. Selanjutnya dijelaskan bahwa frekuensi pelepasan urin ikan mas koki betina yang diinjeksi prostaglandin F2α (PGF2α) yang ditempatkan bersama-sama dengan jantan aktif lebih tinggi dibanding betina tanpa jantan aktif. Ikan mas koki jantan dewasa melepaskan sejumlah besar androstenedione (AD), yaitu suatu steroid androgenik kuat yang pada jantan maupun betina dapat merasakan sensitivitas yang sangat kuat dan merangsang interaksi agresif diantara jantan, walaupun tanpa isyarat steroid lainnya (Stacey dan Sorensen 2006). Secara bersamaan, betina dewasa melepaskan produk hormon lainnya dalam berbagai campuran, tiga diantaranya ditemukan dalam urin mereka. Interaksi yang sama diduga terjadi pula pada ikan mas karena ikan mas memiliki perilaku, fisiologis dan juga feromon yang hampir identik dengan ikan mas koki (Sorensen dan Stacey 2004).

Pada saat ovulasi, betina menjadi aktif secara seksual dan meresponnya dengan mensintesis PGF2α di dalam saluran telur. PGF2α dan metabolitnya yang dirilis sebagai postovulatory feromon yang menyebabkan perilaku pemijahan pada jantan yang selanjutnya akan meningkatkan produksi LH dan sperma jantan (Kobayashi et al. 2002). Pada ikan mas, feromon ini diidentifikasi sebagai

campuran PGF2α dan metabolit tubuh lain yang tidak teridentifikasi, yang disebut

sebagai feromon kompleks (Lim dan Sorensen 2012).

Stacey et al. (2012), mengemukakan bahwa ikan S. erythrophthalmus

betina yang sudah mengalami ovulasi dapat menginduksi respon primer individu jantan sejenis yang mencakup perubahan dalam sirkulasi steroid dan peningkatan volume sperma. Respon primer individu jantan tersebut dimediasi oleh peningkatan serum LH jantan yang disebabkan karena terjadi peningkatan konsentrasi 17α,20β-P dan penurunan konsentrasi androstenedion. Namun S. erythrophthalmus dan ikan silver bream (Blicca bjoerkna) betina yang sudah

mengalami ovulasi yang ditempatkan dalam satu wadah dengan Carassius

carassius jantan tidak menyebabkan peningkatan volume sperma pada

C. carassius. Begitu pula pada ikan mas betina yang di implan dengan PGF2α

dapat menarik ikan mas jantan dewasa walaupun berjarak 20 m, tetapi tidak demikian untuk ikan betina (Lim dan Sorensen 2012).

(26)

11

Hormon Testosteron dan Estradiol

Spesies yang bereproduksi secara seksual harus menyinkronkan kematangan gamet dengan perilakunya, baik dengan sesama jenis maupun antar lawan jenis. Ikan teleostei mengatasi tantangan ini dengan menggunakan hormon reproduksi baik sebagai sinyal endogen untuk menyinkronkan perilaku seksual dengan pematangan gamet maupun sebagai sinyal eksogen (feromon) untuk menyinkronkan interaksi pemijahan antara ikan (Kobayashi et al. 2002).

Pertumbuhan gonad dan vitelogenesis pada betina dirangsang oleh E2

(Ohga et al. 2012) juga membangkitkan pelepasan feromon (Kobayashi et al. 2002). Pada ikan rainbow trout betina, plasma E2 meningkat dari 54 hari sebelum

ovulasi dan terus meningkat mencapai puncaknya pada 18 hari sebelum ovulasi. Selanjutnya turun mencapai 15–17 ng mL-1 pada 12 hari sebelum ovulasi dan mencapai level basal (2–3 ng mL-1

Kobayashi et al. (2002) menyatakan bahwa pada akhir proses vitelogenesis, plasma E

) pada 4 hari sebelum ovulasi, kemudian tetap rendah sampai 32 hari setelah ovulasi (Pavlidis et al. 1994).

2

Penelitian Hong et al. (2006) menunjukkan bahwa ekstrak ovari ikan

Chinese black sleeper (B. sinensis) dapat menarik lebih banyak jantan dibanding betina, dan ekstrak testikular dan ekstrak vesikula seminalis dapat menarik lebih banyak betina daripada jantan. Persentase pemijahan tertinggi diperoleh pada tempat yang diberikan 17α,20β-P dan PGE

ovarium turun dan plasma testosteron meningkat, yang dapat meningkatkan sistem kepekaan LH betina terhadap lingkungan (suhu, substrat pemijahan, feromon). Isyarat ini akhirnya memicu lonjakan LH yang mengubah jalur steroidogenik untuk mendukung produksi progesteron termasuk

17α,20β-P. Plasma 17α,20β-P merangsang pematangan oosit tetapi juga dirilis ke air bersama dengan sulfat 17α,20β-P dan androstenedion sebagai feromon praovulasi. Feromon ini merangsang perilaku pemijahan yang selanjutnya meningkatkan pelepasan LH, dan produksi sperma pada jantan.

2, sementara jumlah telur yang

dikeluarkan dan pembuahan tertinggi diperoleh pada tempat yang diberikan PGE2. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa organ seks B. sinensis mengandung

17α-progesteron (17α-P), 17α,20β-P, PGE2 dan PGF2

Steroid 17α,20β-P juga diketahui sebagai steroid yang berfungsi mempromosikan inisiasi meiosis sel germinal dan pematangan folikel serta ovulasi pada betina. Pada jantan steroid ini juga menginisiasi pembelahan meiosis spermatogonium dan mengendalikan pematangan spermatozoa serta spermiasi (Mylonas dan Zohar 2001; Yaron dan Levavi-Sivan 2011). Steroid 17α,20β-P dalam bentuk bebas dan konjugatnya berfungsi sebagai feromon (Yaron dan Levavi-Sivan 2011).

(27)

12

3 METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Maret sampai dengan bulan November 2012 di Instalasi Penelitian Plasma Nutfah Perikanan Air Tawar, Cijeruk, Bogor. Analisis hormon testosteron dan estradiol dilakukan di Laboratorium Hormon Unit Rehabilitasi dan Reproduksi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Materi Uji dan Rancangan Penelitian

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah induk ikan mas dengan bobot ± 1.5 kg per ekor (betina) dan ± 0.5 kg per ekor (jantan), berasal dari Instalasi Penelitian Plasma Nutfah Perikanan Air Tawar Cijeruk Bogor (Gambar 6A). Induk ikan tawes (jantan dan betina) dengan bobot sekitar 0.5 kg per ekor, berasal dari petani ikan di Desa Petir Kecamatan Darmaga Bogor (Gambar 6B).

Gambar 6 Induk ikan mas (A) dan induk ikan tawes (B)

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan satu faktor dalam RAL dengan 5 perlakuan dan 3 kali ulangan (Tabel 1 dan Lampiran 1).

Tabel 1 Desain perlakuan pemijahan ikan mas dalam merangsang pemijahan ikan tawes dalam metode Cangkringan

Perlakuan Keterangan

A Ikan Mas (♂♂♀ tidak disuntik) dan ikan tawes (♂♀) B Ikan Mas (♂♂♀ disuntik) dan ikan tawes (♂♀)

C Ikan Mas (♂♂ tidak disuntik, disuntik) dan ikan tawes (♂♀) D Ikan Mas (♀♀♀disuntik) dan ikan tawes (♂♀)

E Ikan Mas (♀♀♀ tidak disuntik) dan ikan tawes (♂♀)

Metode Penelitian Persiapan Induk

Induk telah siap digunakan sebagai organisme uji ketika telah matang gonad. Kematangan gonad pada ikan mas betina ditandai dengan perut yang membesar, gerakan lamban, lubang genital agak terbuka dan memerah. Pada ikan

(28)

13

tawes betina, kematangan gonad ditandai dengan perut yang membuncit pula ke arah anus dan bila diraba terasa lunak. Tanda lain adalah terlihatnya pembuluh darah pada sirip dada, sirip perut dan sirip ekor lebih jelas daripada biasanya dan berwarna kemerah-merahan. Kematangan induk jantan ditunjukkan oleh keluarnya cairan putih dengan mudah jika perutnya diurut dari bagian perut ke arah anus.

Persiapan wadah

Wadah yang digunakan berupa bak fiber berbentuk bulat dengan volume 2.25 ton sebanyak 15 unit yang masing-masing di dalamnya ditempatkan hapa sebagai pemisah antara ikan mas dan ikan tawes (Gambar 7). Kakaban ditempatkan dalam bak untuk tempat penempelan telur ikan mas. Air dialirkan ke bak pemijahan hingga tinggi air kira-kira 75 cm setelah pemasangan hapa selesai kemudian diaerasi. Temperatur berkisar antara 25–27 oC. Pada setiap wadah ditempatkan kamera perekam dengan jarak 50 cm dari atas permukaan air untuk pengamatan tingkah laku ikan sebelum, selama dan setelah pemijahan.

Gambar 7 Wadah perlakuan yang digunakan selama penelitian; hapa sebagai pemisah antara ikan mas dan ikan tawes (panah)

Pemberokan Induk

Induk-induk ikan diberok terlebih dahulu sebelum dipijahkan, yaitu dengan memelihara induk jantan dan induk betina secara terpisah untuk menghindari pemijahan liar. Pemberokan juga bertujuan untuk membuang sisa pakan dan mengurangi lemak pada daerah ovarium induk betina sehingga tidak mengganggu kelancaran pelepasan telur. Pemberokan ikan mas dilakukan selama 2 hari dan ikan tawes selama 5 hari.

Pengambilan Contoh Telur

(29)

14

dilakukan dengan metode kanulasi pada semua induk ikan mas dan ikan tawes (Gambar 8A). Contoh telur diambil minimal sebanyak 30 butir per ekor (Taufek

et al. 2009). Pengamatan posisi inti telur dilakukan dengan meneteskan secara merata larutan serra (alkohol 99% : formaldehida 40% : asam asetat 100% dengan perbandingan 6 : 3 : 1) pada sampel telur (Yueh dan Chang 2000; Zarski et al.

2011), kemudian diamati di bawah mikroskop. Diameter telur diukur dengan menggunakan mikroskop dengan pembesaran 40x yang dilengkapi dengan mikrometer okuler.

Pengambilan Contoh Darah

Contoh darah diambil untuk keperluan analisis hormon testosteron dan estradiol. Pengambilan contoh darah dilakukan hanya pada induk ikan mas, sebanyak dua kali, yaitu sebelum penyuntikan pertama dan setelah pemijahan. Ikan dianestesi terlebih dahulu sebelum pengambilan contoh darah dengan cara direndam ke dalam larutan 2-fenoksi etanol (0.3 mL L-1 air media). Ikan kemudian di beri tanda dan contoh darahnya diambil sebanyak 1.5 mL dari vena ekor (MUAWC 2008) dengan menggunakan spuit 23G (UNZEN) yang telah diisi larutan antikoagulan (Natrium citrat hydrat 3.8%) 0.1 mL (Gambar 8B), kemudian disentrifus selama 15 menit dengan kecepatan 3000 rpm pada suhu 4 oC. Supernatan berupa plasma diambil kemudian dimasukkan ke dalam tabung polietilen dan disimpan pada suhu -20 o

Penyuntikan Induk

C sampai saat analisis hormon dilakukan. Ikan uji kemudian dimasukkan ke dalam bak fiber untuk pemulihan selama 2 jam sebelum penyuntikan dilakukan.

Induk ditimbang terlebih dahulu sebelum penyuntikan dilakukan untuk menentukan banyaknya hormon yang disuntikkan.Induk disuntik dengan ovaprim pada dosis 0.6 mL kg-1 bobot tubuh secara intramuskular (Gambar 8C) untuk merangsang ovulasi. Penyuntikan hanya dilakukan pada ikan mas. Penyuntikan dilakukan sebanyak 2 kali untuk ikan betina (dosis 30 : 70) dengan interval penyuntikan masing-masing selama 6 jam dan 1 kali untuk ikan jantan. Pada perlakuan K(-) atau perlakuan A tidak dilakukan penyuntikan.

Gambar 8 Pengambilan telur dengan metode kanulasi (A); pengambilan sampel darah dari vena ekor (B); penyuntikan induk dilakukan secara

intramuscular (C)

Pemijahan dengan sistem imbas

Sesaat setelah penyuntikan, induk-induk ikan kemudian dimasukkan kedalam wadah penelitian. Padat penebaran pada masing-masing bak adalah

(30)

15

3 ekor ikan mas (jenis kelamin sesuai perlakuan) dan 2 ekor ikan tawes (1 jantan + 1 betina). Setelah penyuntikan kedua pada ikan mas, dilakukan pengamatan terhadap respon ikan tawes selama 12 jam. Jika induk-induk ikan tawes belum mijah, maka pengamatan dilanjutkan sampai 36 jam kemudian, dengan interval pemeriksaan setiap 3 jam.

Parameter Penelitian Tingkat Kematangan Gonad

Tingkat kematangan gonad pada induk ikan mas dan ikan tawes dapat dilihat dari diameter dan posisi inti telurnya. Telur yang telah matang memiliki ukuran diameter maksimum dan inti telur yang tampak jelas, lebih kecil dan berada di tengah (fase dorman) atau sudah mulai bergerak ke tepi (germinal vesicle migration, GVM) (Rottmann et al. 1991; Yueh dan Chang 2000).

Tingkah Laku Reproduksi Ikan

Diameter Telur

Tingkah laku reproduksi ikan dapat dibagi menjadi tiga yaitu tingkah laku pada fase prapemijahan, pemijahan dan pasca pemijahan. Pengamatan dilakukan pada ikan mas dan ikan tawes pada ketiga fase tersebut.

Pengukuran diameter telur dipengaruhi oleh perbesaran lensa objektif. Penghitungan pengukuran diameter telur menggunakan rumus :

A = B/C x 0.01 mm

A = ukuran sebenarnya dalam mm, B = nilai yang diperoleh dari pengamatan mikrometer, C = pembesaran lensa dibagi 100.

Waktu Induk Mencapai Ovulasi

Setelah penyuntikan kedua, dilakukan pencatatan terhadap lama waktu masing-masing ikan memijah. Waktu ikan mas mencapai ovulasi (WOM) dihitung sebagai waktu yang diperlukan ikan mas dari mulai penyuntikan kedua hingga mijah. Waktu ikan tawes mencapai ovulasi (WOT) dihitung sebagai waktu yang diperlukan ikan tawes mulai dari ikan mas mijah hingga ikan tawes mijah.

Derajat Pemijahan (DP) Ikan Tawes

Persentase induk yang berovulasi ditentukan dari jumlah induk yang mengalami ovulasi pada setiap perlakuan dibagi dengan total induk pada perlakuan tersebut dan dinyatakan dalam persen, yaitu dapat dihitung dihitung dengan menggunakan rumus :

Jumlah induk yang mengalami ovulasi

DP = x 100 %

Jumlah seluruh induk

Jumlah Telur yang Diovulasikan (TO) pada Ikan Tawes

Jumlah telur yang diovulasikan dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

(31)

16

TO = jumlah telur yang diovulasikan, Bg = bobot gonad (g), Bs = bobot sub sampel gonad (g), N = jumlah telur dalam sub sampel gonad (butir).

Derajat Pembuahan (Fertilization Rate, FR) Telur Ikan Tawes

Derajat pembuahan telur merupakan persentase telur yang dibuahi dari sejumlah telur yang dipijahkan. Telur yang dibuahi akan tampak berwarna bening transparan, sedangkan telur yang tidak dibuahi akan berwarna putih keruh. Derajat pembuahan telur dapat dihitung dengan rumus :

Jumlah telur yang dibuahi

FR = x 100 %

Jumlah Telur yang dipijahkan

Derajat Penetasan (Hatching Rate, HR) Ikan Tawes

Derajat penetasan pada ikan tawes ditentukan dari jumlah telur yang menetas dibagi dengan total telur yang dibuahi dan dinyatakan dalam persen. Derajat penetasan dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Jumlah telur yang menetas

HR = x 100 %

Jumlah Telur yang dibuahi

Konsentrasi Hormon Testosteron dan Estradiol Ikan Mas

Hormon testosteron dan estradiol dianalisis dengan Enzyme Linked Immuno Absorbent Assay (ELISA).

Parameter Kualitas Air

Pada penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap beberapa parameter kualitas air sebagai data penunjang seperti suhu, DO dan pH.

Analisis Data

Data dianalisis secara deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat Kematangan Gonad

(32)

17

Diameter Telur

Ukuran diameter telur pada masing-masing induk ikan mas dan ikan tawes yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 2, Tabel 3 dan Lampiran 2.

Tabel 2 Ukuran diameter (mm) telur ikan mas

Ulangan Perlakuan n = 30, rerata±simpangan baku

Tabel 3 Ukuran diameter (mm) telur ikan tawes

Ulangan Perlakuan

A B C D E

1 0.7±0.03 0.7±0.04 0.7±0.04 0.7±0.04 0.7±0.05

2 0.7±0.03 0.7±0.05 0.7±0.05 0.7±0.05 0.7±0.03

3 0.7±0.03 0.7±0.04 0.7±0.04 0.7±0.03 0.7±0.04

n = 30, rerata±simpangan baku

Semakin berkembang tingkat kematangan gonad, diameter telur yang ada dalam gonad akan menjadi semakin besar sampai mencapai ukuran maksimum. Secara umum, ukuran diameter telur ikan termasuk ikan mas dan ikan tawes sangat dipengaruhi oleh umur, lingkungan, genetik, nutrisi dan siklus reproduksi. Kematangan seksual pada ikan dicirikan oleh perkembangan diameter rata-rata telur dan melalui distribusi penyebaran ukuran telurnya (Effendie 2002). Telur yang matang pada ikan zebra (Brachydanio rerio) berbentuk bulat, transparan, dan tidak terikat satu sama lain, sedangkan telur yang belum matang berwarna buram, bentuk dan ukurannya tidak teratur dan saling menempel satu sama lain (Chen dan Martinich 1975).

Berdasarkan kedua tabel di atas terlihat bahwa rata-rata diameter telur ikan mas berkisar antara 0.99–1.96 mm, sedangkan ikan tawes berkisar antara 0.67– 0.75 mm. Hasil pengukuran diameter oosit matang untuk ikan mas oleh Rottmann

(33)

18

Posisi Inti Telur

Keberhasilan metode Cangkringan ditandai dengan memijahnya ikan tawes karena pengaruh pemijahan ikan mas. Keberhasilan tersebut sangat ditentukan oleh kematangan induk ikan mas dan ikan tawes. Meskipun ukuran diameter telur beragam, tetapi jika dilihat dari kematangan secara fisiologis, yaitu dari posisi inti telur semua induk ikan tawes dan ikan mas yang digunakan pada setiap perlakuan sudah berada pada kondisi siap mijah (Gambar 9 dan Lampiran 3).

Gambar 9 Posisi inti telur ikan tawes, inti telur pada fase istrahat (panah putih); inti telur bergerak ke tepi : GVM (panah hitam)

Pengamatan terhadap posisi inti telur merupakan metode yang baik untuk menentukan perkembangan dan tingkat kematangan telur. Rottmann et al. (1991) menyatakan bahwa diameter, penampilan dan posisi inti telur adalah indikator visual perkembangan telur. Menurut Kucharczyk et al. (2008) posisi inti telur sebagai tanda kematangan telur, ditentukan dalam empat tahap kematangan yaitu tahap 1 : inti telur (GV) berada di tengah, tahap 2 : awal migrasi inti (kurang dari setengah jari-jari telur), tahap 3 : akhir migrasi inti (lebih dari setengah jari-jari telur), tahap 4 : inti periferal atau germinal vesicle breakdown (GVBD).

Inti telur yang terlihat lebih kecil dari ooplasma dan terletak di tengah berada pada fase istrahat/dorman, menunggu sinyal pemijahan. Gerakan inti dari pusat telur ke tepi (germinal vesicle migration) merupakan langkah awal untuk ovulasi (Woynarovich dan Horvath 1980; Rottmann et al. 1991). Inti telur yang berada pada posisi lebih dekat ke pusat dibanding ke pertengahan jari-jari telur diklasifikasikan telah mencapai keadaan matang tahap II (Zarski et al. 2011). Selanjutnya Yueh dan Chang (2000) menjelaskan bahwa telur yang matang ditandai dengan ooplasma yang transparan dan inti yang bergerak menuju ke bagian peripheral.

(B) 1

(B) 2 (C) 2 (D) 2

(E) 2

(A) 1 (C) 1 (D) 1 (E) 1

(E) 3

(D) 3

(C) 3

(B) 3

(A) 3

(34)

19

Tingkah Laku Pemijahan

Tingkah laku induk-induk ikan pada semua perlakuan hampir sama sesaat setelah dimasukkan ke dalam bak pemijahan. Pada perlakuan A, B dan C (♂♂♀), induk-induk ikan mas baik jantan maupun betina berenang secara perlahan mengelilingi bak pemijahan dengan arah berbeda satu sama lain. Induk ikan akan membelokkan badannya ketika bertemu dengan ikan mas lainnya. Demikian pula pada perlakuan D dan E (♀♀♀), induk-induk ikan berenang perlahan, beriringan, terkadang berlawanan arah kemudian berbelok, sesekali kepalanya menyundul kakaban atau diam bergerombol di dasar memperhatikan ikan tawes. Hal yang sama terjadi pula pada ikan tawes, dimana induk-induk ikan tawes (♂♀) pada semua perlakuan berenang perlahan sesaat setelah dimasukkan ke dalam bak pemijahan. Kadang terlihat berenang di bawah kucuran air, terkadang berenang perlahan mengitari pinggiran sekat hapa kemudian diam memperhatikan ikan mas.

Pada perlakuan B dan C, aktifitas induk-induk ikan mas mulai terlihat aktif setelah penyuntikan kedua. Ketika mereka aktif secara seksual, ikan mas jantan mengejar dan menyentuh bagian urogenital ikan mas betina. Terkadang berenang disamping ikan betina, menempelkan badannya dan mendorong ikan betina sambil mengitari bak pemijahan. Kadang-kadang ikan akan berenang ke atas kakaban, untuk mengevaluasi manfaatnya dalam oviposisi (Kobayashi et al.

2002). Selanjutnya pemijahan terjadi, ditandai dengan ikan jantan semakin agresif mengejar ikan betina, memastikan dirinya selalu berada di samping ikan betina. Kadang-kadang ikan tersebut menyembulkan kepalanya ke permukaan air. Gerakan-gerakan ini semakin agresif sehingga menimbulkan percikan-percikan air ke permukaan. Ikan betina terlihat membalikkan badannya tepat di bawah kakaban untuk oviposisi. Pada saat itulah ikan jantan berenang cepat melepaskan sperma untuk membuahi telur. Selama masa pemijahan ikan jantan dan betina secara langsung menyamakan tingkah lakunya untuk mencapai pelepasan gamet yang serempak (terkoordinasi) seperti oviposisi dan pelepasan sperma (Liley dan Stacey 1983). Setelah terjadi pemijahan, air terlihat seperti berminyak, berbusa dan berbau amis.

Hal yang sama juga terjadi pada ikan tawes. Ketika ikan mas terlihat agresif, ikan tawes juga mulai menunjukkan perilaku agresif. Ikan-ikan tawes jantan menempelkan badannya ke badan ikan tawes betina, berputar-putar dan berusaha untuk menggiring ikan tawes betina dari satu tempat ke tempat lain dengan gerakan yang cepat disertai suara gaduh berupa dengungan.

Perilaku yang sama juga terjadi pada perlakuan D dan E. Jika waktu untuk memijah telah tiba, maka perilaku agresif dan kejar-kejaran juga terjadi walaupun tanpa ikan mas jantan. Namun yang terlihat beda dengan perlakuan lain adalah ikan tawes lebih dahulu menunjukkan perilaku agresif baru diikuti ikan-ikan mas betina. Meskipun demikian, ikan tawes tidak mendahului ikan mas untuk memijah. Ikan tawes memijah mengikuti pemijahan ikan mas dengan interval waktu antara 51 menit sampai 31 jam 19 menit, dimana pemijahan alami terjadi dengan interval waktu antara 6 jam 55 menit sampai 8 jam 5 menit (Tabel 4).

(35)

20

Imbas Pemijahan Ikan Mas Terhadap Ikan Tawes

Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa ikan tawes dapat memijah secara alami atau melalui stripping karena rangsangan ikan mas yang memijah baik disuntik maupun tidak disuntik ovaprim (Tabel 4 dan Lampiran 4).

Tabel 4 Jumlah ikan mas dan tawes yang mijah, waktu ikan mas mencapai ovulasi (WOM), waktu ikan tawes mencapai ovulasi (WOT), dan derajat pemijahan (DP) ikan tawes

* Mijah sesaat sebelum penyuntikan kedua.

(36)

21

Pencapaian interval waktu imbas tercepat pada pemijahan ikan tawes secara alami karena pengaruh pemijahan ikan mas terjadi pada perlakuan B3 (K+), yaitu 6 jam 55 menit, kemudian perlakuan E3 yaitu 6 jam 58 menit, dan C3 yaitu 8 jam 5 menit. Begitu pula hasil pengamatan pada jumlah induk ikan tawes yang mijah karena pengaruh imbas ikan mas, hasil tertinggi diperoleh pada perlakuan B yaitu sebesar 100%, kemudian diikuti oleh perlakuan D dan E yang memberikan hasil yang sama yaitu 66.7%. Hasil terendah diperoleh pada perlakuan C sebesar 33.3% dan perlakuan A (K-) sebesar 0% (Tabel 4).

Perlakuan B memberikan interval waktu imbas tercepat dan derajat pemijahan tertinggi, diduga karena penyuntikan ovaprim pada semua induk ikan mas baik jantan maupun betina pada perlakuan ini membantu meningkatkan konsentrasi LH. Akibat kerja LH, lapisan teka akan mensintesis hormon 17α -hidroksiprogesteron yang kemudian di lapisan granulosa akan diubah oleh enzim

20β-hidroxysteroid dehidrogenase (20β-HSD) menjadi 17α,20β-P yang beraksi sebagai maturation inducing steroid (MIS) (Zairin 2003; Nagahama et al. 2005; Nagahama dan Yamashita 2008). Steroid ini akan mendorong inisiasi meiosis inti dan pematangan folikel serta ovulasi pada betina. Pada jantan steroid ini juga menginisiasi pembelahan meiosis spermatogonium dan mengendalikan pematangan spermatozoa serta spermiasi (Mylonas dan Zohar 2001; Yaron dan Levavi-Sivan 2011). Steroid 17α,20β-P dalam bentuk bebas dan konjugatnya berfungsi sebagai feromon (Yaron dan Levavi-Sivan 2011).

Selama proses ovulasi dan spermiasi, terjadi perubahan tingkah laku ikan mas yang menjadi lebih agresif. Perubahan tingkah laku tersebut menyebabkan banyaknya urin yang dikeluarkan oleh ikan mas yang mengakibatkan banyaknya feromon yang dilepaskan ke air melalui urin tersebut (Appelt dan Sorensen 2007). Feromon yang dilepaskan ke air merupakan stimulasi dari ikan mas yang memicu terjadinya pemijahan pada ikan tawes. Isyarat-isyarat feromon ini pada ikan dapat masuk melalui organ penciuman (olfactory bulb), kemudian di teruskan ke sistem syaraf pusat, selanjutnya mengaktifkan poros hipothalamus-pituitari-gonad (Zielinski dan Hara 2007).

Selanjutnya pada perlakuan D yang juga diinjeksi ovaprim terdapat dua pasang ikan tawes yang mijah, yaitu pada ulangan ke-2 dan ke-3 dengan jumlah ikan mas yang memijah masing-masing sebanyak 2 ekor, tetapi pada ulangan ke-1 tidak terjadi pemijahan pada ikan tawes. Hal ini diduga karena feromon yang dikeluarkan ikan mas betina pada ulangan ini tidak cukup untuk mengimbas tawes, karena ketiadaan ikan mas jantan. Selain itu hanya terdapat 1 ekor induk ikan mas yang memijah yang berperan sebagai pengimbas.

(37)

22

diketahui, namun Greene (1966) menduga bahwa metabolit tersebut adalah amonia.

Pada kedua perlakuan D dan E di atas, tidak terdapat ikan mas jantan namun ikan mas betina pun dapat mengimbas ikan tawes (DP = 66.7%). Hal ini disebabkan karena ikan betina juga melepaskan feromon pada saat ovulasi (Kobayashi et al. 2002; Lim dan Sorensen 2012). Pemijahan ikan mas yang terjadi pada perlakuan E yang tidak disuntik ovaprim dan tanpa kehadiran ikan jantan, diduga disebabkan oleh mekanisme stres. Mekanisme ini mengaktifkan poros hyphothalamus-hipofisis-ginjal-gonad. Gonadotropin tampaknya merangsang interrenal ginjal untuk memproduksi kortikosteroid yang pada gilirannya beraksi pada oosit sebagai MIS (Sundararaj dan Goswami 1977) yang membantu gonad membentuk maturation promoting factor (MPF) yang menyebabkan inti telur bermigrasi ke arah mikrofil kemudian melebur (Yaron 1995).

Pada perlakuan A1 terjadi pemijahan pada induk ikan mas walaupun induk-induk ikan mas pada perlakuan ini tidak disuntik ovaprim. Hal ini dapat diduga bahwa gonad ikan betina sudah cukup matang dan didukung oleh kehadiran ikan jantan sebagai lawan jenis (Woynarovich dan Horvath) dapat merangsang ikan betina untuk ovulasi. Begitupula ikan jantan akan menunjukkan peningkatan aktivitas berenang bila terkena bau ikan betina yang matang gonad (Sorensen dan Stacey 2004). Peningkatan aktivitas berenang tersebut menyebabkan banyaknya urin yang dikeluarkan oleh ikan mas jantan yang mengakibatkan banyaknya feromon yang dilepaskan ke air melalui urin (Appelt dan Sorensen 2007). Pelepasan feromon oleh ikan mas jantan dapat menyebabkan ovulasi pada ikan mas betina yang selanjutnya memberikan pengaruh imbas pada pemijahan ikan tawes.

Hasil penelitian ini membuktikan bahwa feromon dari ikan mas yang berovulasi dapat menyebabkan ikan tawes mijah dan metode Cangkringan berpotensi tinggi menjadi solusi alternatif pemijahan ikan menggantikan metode kawin suntik yang menggunakan ekstrak kelenjar hipofisa atau hormon gonadotropin lain yang selama ini biasa diterapkan dalam akuakultur.

(38)

23

Tabel 5 Bobot tubuh, fekunditas, derajat pembuahan (FR) dan derajat penetasan (HR) ikan tawes

* Dihitung dari jumlah telur yang terbuahi.

Derajat pembuahan dan penetasan telur ikan tawes memberikan hasil yang tinggi dan hampir sama pada semua perlakuan hasil permijahan alami (perlakuan B, C dan E) masing-masing berkisar antara 79.3–81.7% dan 93.4–96.7% (Tabel 5). Nilai yang hampir sama yang ditunjukkan pada perlakuan-perlakuan tersebut diduga terjadi karena terdapat pasangan induk ikan tawes dalam jumlah yang sama pula baik jantan maupun betina pada setiap perlakuan. Namun pada perlakuan D dan A dimana ikan tawes memijah dengan cara distripping, tidak terdapat telur yang menetas karena tidak terbuahi.

Derajat pembuahan sangat ditentukan oleh kualitas dan kuantitas sperma yang dipengaruhi oleh nutrisi, musim, temperatur, frekuensi pemakaian jantan dan hereditas. Banyaknya jumlah sperma yang dikeluarkan dari seekor ikan jantan bergantung pula kepada umur, ukuran dan frekuensi ejakulasi. Selain itu, tingkat pembuahan juga dipengaruhi oleh kondisi kematangan telur yang berkaitan dengan proses vitelogenesis sebelum telur diovulasikan (Zairin et al. 2005). Derajat penetasan dipengaruhi oleh faktor internal berupa kerja hormon dan volume kuning telur serta faktor eksternal berupa suhu, oksigen terlarut dan intensitas cahaya (Affandi dan Tang 2002). Rendahnya derajat pembuahan dan penetasan pada perlakuan yang memijah secara stripping diduga sangat dipengaruhi oleh kesalahan manusia.

Telur ikan tawes yang terbuahi berwarna bening transparan dan embrio berbentuk huruf koma. Telur-telur tersebut umumnya akan menetas selama 2–3 hari setelah masa inkubasi. Larva yang hidup terlihat transparan, berukuran sangat kecil dan aktif berenang mencari makan, sedangkan larva yang mati berwarna putih keruh dan melayang di kolom air atau tenggelam di dasar kolam.

Profil Hormon Testosteron (T) dan Estradiol (E2

Berdasarkan hasil analisis hormon testosteron dan estradiol pada plasma ikan mas, diperoleh hasil bahwa nilai T dan E

) Ikan Mas

2 ikan mas berhubungan erat dengan

(39)

24

Tabel 6 Konsentrasi hormon testosteron (T) dan estradiol (E2

Status

Konsentrasi T ikan mas jantan sebesar 2.26–10.19 ng mL-1

Konsentrasi E

pada akhir pemijahan dapat memberikan pengaruh pemijahan baik secara stripping maupun secara alami pada ikan tawes (perlakuan B1, A1, B3 dan C3). Testosteron maupun steroid C19 lainnya diketahui dapat menginduksi peleburan inti pada konsentrasi yang tinggi (Nagahama dan Yamashita 2008) dan konjugat testosteron yang dilepaskan ke air bertindak sebagai feromon seks (Yaron dan Levavi-Sivan 2011).

2 ikan mas betina cenderung meningkat dari pemijahan alami

ikan tawes ke tidak memijah. Pada pemijahan alami, terlihat konsentrasi berada di

bawah 1 ng mL-1. Pada pemijahan alin konsentrasi meningkat di atas nilai 1 ng mL-1 pada 66.7% data yang dimiliki. Sedangkan pada ikan tawes yang tidak

memijah, didapatkan informasi nilai konsentrasi meningkat hingga 3 ng mL-1 yang ditunjukkan oleh 50% data yang ada. Konsentrasi E2

Konsentrasi T yang terlalu rendah (kurang dari 1 ng mL

ikan mas betina yang rendah pada pemijahan alami menunjukkan bahwa konsentrasi steroid C21 terutama 17α,20β-P tinggi (Kobayashi et al. 2002) karena terjadi penurunan

aktivitas enzim aromatase P450 sedangkan aktivitas enzim 20β-HSD meningkat (Nagahama dan Yamashita 2008). Steroid 17α,20β-P dalam bentuk bebas dan konjugatnya berfungsi sebagai feromon (Yaron dan Levavi-Sivan 2011).

-1

; perlakuan A2

dan C2) atau terlalu tinggi (12.83 ng mL-1 pada ikan mas jantan dan >16.8 ng mL-1 pada ikan mas betina ; perlakuan A3) tidak memberikan pengaruh

(40)

25

Kualitas air

Dalam penelitian ini kualitas air yang diukur meliputi pH, oksigen terlarut dan suhu. Nilai pH, oksigen terlarut dan suhu air selama penelitian berada pada

kisaran yang dapat ditoleransi oleh ikan mas dan ikan tawes, yaitu suhu 25–27 oC, oksigen terlarut 6.10–6.75 mg L-1 dan pH 6.5. Kondisi ini masih pada

kisaran optimum bagi ikan mas dan ikan tawes (Tabel 7).

Tabel 7 Nilai parameter kualitas air selama penelitian

Parameter kualitas air Nilai pengukuran

Nilai

optimum Pustaka

Suhu (o C) 25–27 25–30

SNI 1999 Oksigen terlarut (mg L-1) 6.10–6.75 > 5

pH 6.5 6.5–8.5

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Ikan mas betina yang berovulasi, baik secara alami maupun dengan suntikan ovaprim dapat memberikan pengaruh imbas pada pemijahan ikan tawes. Pengaruh tersebut dapat disebabkan baik berpasangan dengan jantan (heteroseks: ♂♂♀) maupun pasangan monoseks betina (♀♀♀) saja. Namun keberadaan ikan mas jantan memberikan pengaruh yang lebih kuat.

Saran

Gambar

Gambar 1 Oosit dengan lapisan folikel pada ikan cod (Gadus morhua), (A)
Gambar 2 Perubahan morfologi pada oosit matang Black Porgy (Acanthopagrus
Gambar 3  Skema kontrol hormon dalam reproduksi ikan (Nagahama 1994)
Gambar 4  Proses perkembangan sel telur (Woynarovich dan Horvath 1980)
+7

Referensi

Dokumen terkait

- Bapak dan Ibu dosen program studi Magister Ilmu Hukum Universitas Narotama Surabaya yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang bermanfaat baik bagi penulis maupun

Namun tidak sama halnya pada saat manusia tersebut memiliki kondisi fisik yang tidak normal atau tergolong manusia dengan disabilitas, maka kemampuan untuk

Untuk mengatasi hambatan tentang perbedaan karakter atau watak dan kurangnya tanggungjawab yang dimiliki para pegawai, Camat Kecamatan Jebres hendaknya lebih

3) Gerakan Kebangsaan Filipina; Gerakan rakyat Filipina digerakkan dan dikobarkan oleh Dr. Jose Rizal dengan tujuan untuk mengusir penjajah bangsa Spanyol dari wilayah Filipina.

Alasan utamanya, dan untuk kepopuleran pendanaan pada proyek, adalah para donatur butuh untuk menyebarkan resiko finansialnya (financial risks), dan tidak seperti pendanaan inti

Intensitas cahaya ataupun pemangkasan daun tidak berpengaruh nyata terhadap hasil umbi daun dewa... Kata kunci : daun dewa, intensitas cahaya, pemangkasan

Diproduksi oleh: Junaidi ( http://junaidichaniago.wordpress.com )... Diproduksi oleh: Junaidi (

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian seduhan daun katuk selama 14 hari dapat mempengaruhi proses spermatogenesis kelinci jantan Oryctolagus cuniculus bila dibandingkan