KUANTIFIKASI DAN KARAKTERISASI
ACOUSTIC BACKSCATTERING DASAR PERAIRAN
DI KEPULAUAN SERIBU – JAKARTA
OBED AGTAPURA TARUK ALLO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kuantifikasi dan Karakterisasi
Acoustic Backscattering Dasar Perairan di Kepulauan Seribu – Jakarta adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2011
Obed Agtapura Taruk Allo
ABSTRACT
OBED AGTAPURA TARUK ALLO. Quantification and Characterization of Bottom Acoustic Backscattering In Seribu Islands – Jakarta. Under direction of INDRA JAYA and HENRY M. MANIK.
Seabed has a very important role as the habitat for various living creatures, and critical part of aquatic environment. Nowadays, new methods to obtain information on bottom types, sediment characteristics and underwater vegetation in shallow water by using echosounder has flourished. In this paper, normal incident of acoustic waves were used to determine values of bottom backscattering strength (volume backscattering strength (Sv), surface backscattering strength (SS) and echo level (EL)). Sediment properties (acoustic impedance, bulk density, porosity, sound speed and sediment composition) were used to explain the acoustic measurement results. Data collection was carried out in Seribu Islands, Jakarta using SIMRAD EY 60 scientific echosounder systems with operating frequency 120 kHz. The results show that the average value of volume backscattering strength (Sv) for sand is -13,23 dB and silty sand is -21,15 dB. The average value of surface backscattering strength (SS) for sand is -23,30 dB and silty sand is -31,22 dB. The average value of echo level (EL) for sand is 177,94 ± 8,61 dB and silty sand is 167,23 ± 6,07 dB (Source Level (SL) for split beam transducer ES 120-7C series is 214 dB). These acoustics values were then used as input for PCA analysis to cluster seabed characteristics. It’s shown that the acoustic technique can be used to identify and classify sediments and map sediment provinces.
RINGKASAN
OBED AGTAPURA TARUK ALLO. Kuantifikasi dan Karakterisasi Acoustic Backscattering Dasar Perairan di Kepulauan Seribu – Jakarta. Dibimbing oleh INDRA JAYA dan HENRY M. MANIK.
Dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai habitat bagi bermacam-macam makhluk hidup yang kehidupannya berasosiasi dengan lingkungan perairan. Hal ini dapat dilihat dari seberapa besarnya dasar perairan tersebut memberikan kontribusi bagi pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup yang berada di dasar perairan. Perkembangan metode baru untuk mendapatkan informasi mengenai tipe dasar, sedimen dasar dan vegetasi bawah air dengan menggunakan echosounder dan pengolahan data secara digital sudah mulai berkembang.
Untuk karakterisasi dasar perairan, incidence beam (normal incidence) yang vertikal dari sistem echosounding telah lama diakui sebagai proses pengukuran yang sangat berguna. Parameter seperti ukuran butir sedimen, relief permukaan antar muka air-sedimen dan variasi dalam sedimen secara umum mengendalikan sinyal backscattering dari dasar perairan. Pengukuran sifat akustik dari dasar laut sangat menarik untuk dikaji baik dari segi akustik kelautannya maupun aplikasi geofisiknya. Kecepatan suara akustik dan impedansi dasar laut memiliki kaitan langsung dengan propagasi gelombang akustik dimana nilai-nilai tersebut diperlukan untuk analisis yang lebih lengkap seperti masalah propagasi suara.
Berdasarkan dasar pemikirian tersebut, maka penelitian ini melakukan proses kuantifikasi dan karakterisasi dasar perairan melalui nilai volume backscattering strength (Sv), surface backscattering strength (SS) dan echo level
(EL) yang dikaitkan dengan parameter fisik sedimen “sediment properties” menggunakan metode hidroakustik dengan split beam echosounder systems. Pengambilan data akustik dilakukan pada tanggal 29 Januari – 2 Februari 2011 yang berlokasi di sekitar perairan Pulau Pramuka, Pulau Panggang, Pulau Karya dan Pulau Semak Daun – Kepulauan Seribu, Jakarta.
Akuisisi data akustik dengan menggunakan scientific echosounder
SIMRAD EY 60 yang bekerja pada frekuensi 120 kHz, transmitted power 50 watt, kecepatan suara sebesar 1546,35 m/dtk dan dengan nilai transmitted pulse length 0,128 mdtk. Selain itu, digunakan laptop untuk merekam data secara real
time dan juga GPS (Global Positioning System) untuk mengetahui posisi lintang (latitude) dan bujur (longitude). Pengambilan sampel sedimen diambil sebagai
ground truth data menggunakan pipa paralon pipa paralon berdiameter 7,6 cm (3
ketebalan lapisan yang diambil adalah 10 cm. Sampel sedimen ini selanjutnya dianalisa di Laboratorium Fisika Tanah, Balai Penelitian Tanah – Bogor.
Pengolahan data akustik dilakukan dengan perangkat lunak Echoview 4,00
dan Matlab. Ketebalan integrasi dasar perairan untuk mengekstrak nilai
backscattering disesuaikan dengan ketebalan sampel sedimen yaitu 10 cm. Hasil yang diperoleh dari pengolahan data akustik ini berupa nilai volume backscattering strength (Sv) yang selanjutnya digunakan untuk proses komputasi nilai surface backscattering strength (SS) dan echo level (EL). Selain itu, hasil analisis sedimen menunjukkan bahwa di lokasi penelitian ditemukan dua tipe substrat yaitu pasir dan pasir berlumpur.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perhitungan nilai volume backscattering strength (Sv) dasar perairan untuk substrat pasir berkisar antara -10,25 dB sampai -17,13 dB dan substrat pasir berlumpur berkisar antara -18,25 dB sampai -23,60 dB, sedangkan nilai surface backscattering strength (SS) dasar perairan untuk substrat pasir memiliki nilai yang berkisar antara -20,32 dB sampai -27,20 dB dan substrat pasir berlumpur berkisar antara -28,32 dB sampai -33,66 dB. Hasil perhitungan nilai echo level (EL) menunjukkan bahwa untuk substrat pasir memiliki nilai echo level (EL) sebesar 177,94 ± 8,61 dB dan substrat pasir berlumpur sebesar 167,23 ± 6,07 dB dengan nilai source level (SL) sebesar 214 dB (split beam transducer seri ES 120-7C). Nilai akustik ini kemudian digunakan sebagai masukan analisis PCA untuk cluster karakteristik dasar perairan. Adanya perbedaan nilai backscattering pada tiap jenis dasar perairan salah satunya disebabkan karakteristik fisik sedimen tersebut, dimana sedimen yang memiliki kenampakan makroskopis tentunya akan memberikan nilai backscattering yang lebih besar.
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
KUANTIFIKASI DAN KARAKTERISASI
ACOUSTIC BACKSCATTERING DASAR PERAIRAN
DI KEPULAUAN SERIBU – JAKARTA
OBED AGTAPURA TARUK ALLO
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Kuantifikasi dan Karakterisasi Acoustic Backscattering Dasar Perairan di Sekitar Pulau Pramuka, Teluk Jakarta
Nama : Obed Agtapura Taruk Allo
NRP : C552090041
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc Dr. Ir. Henry M. Manik, M.T Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Teknologi Kelautan
Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus Kristus karena kasih
dan karunia yang Dia berikan sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tesis yang
berjudul KUANTIFIKASI DAN KARAKTERISASI ACOUSTIC
BACKSCATTERING DASAR PERAIRAN DI KEPULAUAN SERIBU –
JAKARTA diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister
Sains pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar- besarnya kepada :
1. Orang tua dan saudara-saudara saya beserta sanak keluarga atas doa, dukungan dan semangat yang tak henti-hentinya diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan S1 dan S2 di Institut Pertanian Bogor.
2. Komisi pembimbing Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc dan Dr. Ir. Henry M. Manik, MT atas bimbingannya kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini. 3. Ketua Program Studi Mayor Teknologi Kelautan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir.
Djisman Manurung, M.Sc atas bimbingan selama penulis menempuh ilmu di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan – IPB.
4. Prof. Dr. Ir. Bonar P. Pasaribu, M.Sc, sebagai penguji tamu pada ujian akhir tesis yang telah memberikan saran dan masukan kepada penulis.
5. Staf pengajar bagian Akustik dan Instrumentasi Kelautan: Prof. Dr. Ir. Bonar P. Pasaribu, M.Sc, Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc, Dr. Ir. Totok Hestirianoto, M.Sc, Dr. Ir. Sri Pujiyati, M.Si, Dr. Ir. Henry M. Manik, MT dan Dr. Ir. I Nyoman Arnaya atas semua pendidikan dan ilmu yang telah diberikan kepada penulis dalam bidang Akustik dan Instrumentasi Kelautan.
6. Staf pengajar dan staf penunjang di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan atas pemberian ilmu dan bantuannya selama penulis menyelesaikan studi di IPB.
7. Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan (P4KSI) – KKP atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menggunakan instrumen akustik SIMRAD EY 60.
9. Teman-teman TEK 2009: Jefry Bemba, Zulkarnaen Fahmi, Dwi Fajriyati Inaku, Laole, Riza Aitiando Pasaribu dan Anggi Afif Muzaki atas kebersamaan dan kerjasamanya.
10.Teman-teman survei dalam rangka pengambilan data hidroakustik di lapangan.
Penulis menyadari bahwa tesis ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu
saran dan kritik sangat diharapkan demi kesempurnaan tesis ini. Akhir kata
penulis berharap agar tesis ini berguna bagi diri sendiri maupun orang lain.
Bogor, Juli 2011
mahasiswa Institut P
Penulis dilahirkan di Palu, Sulawesi Teng
1986 dari Ayah Ruben Taruk Allo da
Andilolo. Penulis merupakan anak ke
bersaudara. Tahun 2004 penulis menyelesai
di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Makale
Sulawesi Selatan. Pada tahun 2004 penulis di
ut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan
dan Teknologi Kelautan, Program Studi Ilmu
yelesaikannya pada tahun 2008 dengan menda
n. Pada tahun 2009 penulis melanjutkan jenj
ekolah Pascasarjana pada Mayor Teknologi K
ogor.
iah di Institut Pertanian Bogor, penulis pernah
dasar Akustik Kelautan, Akustik Kelautan,
partemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, IP
Diploma, IPB.
ka menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarja
san berjudul “Kuantifikasi dan Karakter
asar Perairan di Kepulauan Seribu – Jakarta
DAFTAR ISI
2.4. Backscattering dasar perairan ... 9
2.5. Pendekatan metode hidroakustik terhadap dasar perairan ... 13
3. METODOLOGI ... 16
3.1. Waktu dan lokasi penelitian ... 16
3.2. Perangkat dan peralatan penelitian ... 17
3.2.1.Instrumen SIMRAD EY 60 scientific echosounder system ... 17
3.2.2.Kapal ... 18
3.2.3.Alat pengambil contoh sedimen ... 19
3.3. Pengambilan data akustik ... 20
3.4. Pengambilan contoh sedimen ... 21
3.5. Pemrosesan data akustik ... 21
3.6. Analisis data ... 24
3.6.1.Komputasi acoustic bottom backscattering ... 24
3.6.2.Komputasi acousticreflection sedimen dasar perairan ... 26
3.6.3.Analisis sedimen ... 27
3.6.4.Principal Component Analysis ... 28
3.6.5.Clustering analysis ... 29
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31
4.1. Sedimen dasar perairan ... 31
4.2. Densitas dan porositas sedimen dasar perairan ... 34
4.3. Data akustik dari split beam echosounder ... 36
4.4. Komputasi acousticbackscattering dasar perairan ... 37
4.4.2.Surface backscattering strength (SS) dan echo level (EL) dasar
perairan ... 40
4.5.Normalisasi energi echo dasar perairan ... 46
4.6. Acoustic reflection (R) dan bottom loss (BL)dasar perairan ... 50
4.7. Principal Component Analysis (PCA) ... 54
4.8. Analisis Cluster ... 56
5. SIMPULAN DAN SARAN ... 58
5.1. Simpulan ... 58
5.2. Saran ... 59
DAFTAR PUSTAKA ... 60
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Klasifikasi sedimen berdasarkan ukuran ... 7
2. Spesifikasi SIMRAD EY 60 scientific echosounder system ... 17
3. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian akustik dasar perairan ... 18
4. Spesifikasi transducer seri ES 120-7C ... 19
5. Komposisi fraksi pada setiap stasiun ... 33
6. Nilai densitas dan porositas sedimen di lokasi penelitan ... 35
7. Nilai Sv, SS dan EL dasar perairan ... 41
8. Beberapa penelitian tentang nilai backscattering strength dasar perairan ... 45
9. Penelitian dengan beberapa instrumen akustik untuk dasar perairan ... 46
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka pemikiran penelitian ... 4
2. Prinsip hidroakustik ... 8
3. Skema transducer split beam ... 9
4. Echo dasar perairan ... 11
5. Sketsa backscattering akustik dasar perairan yang disebabkan kekasaran dari permukaan dan heterogenitas sedimen ... 12
6. Hubungan sudut datang dan pantulan dasar pada berbagai tipe dasar perairan ... 12
7. Contoh jejak dasar perairan kasar dan lunak pada perekaman hitam putih ... 13
8. Bentuk kurva dasar perairan dari dasar perairan yang keras dan lunak ... 14
9. Echo yang menunjukkan jejak dari pulsa yang dikirim dan dipantulkan dari dasar laut ... 15
10. Lokasi penelitian ... 16
11. Ilustrasi posisi paralon terhadap echogram ... 19
12. Diagram alir pengambilan data akustik ... 20
13. Bentuk sinyal keluaran echosounder ... 22
14. Formasi echo dasar perairan pertama ... 22
15. Geometri backscattering dari pantulan 1st dan 2ndecho dasar perairan ... 23
16. Ilustrasi stuktur sedimen dan kolom air ... 26
17. Proses klasifikasi nilai echo ... 29
18. Persentase sedimen di lokasi penelitian ... 31
19. Peta stasiun sebaran sedimen ... 33
20. Tipe bubble dasar perairan ... 34
21. Tampilan contoh echogram ... 36
22. Tampilan echogram tipe substrat pasir di lokasi penelitian ... 38
23. Tampilan echogram tipe substrat pasir berlumpur lokasi penelitian ... 39
24. Pola SS dan Sv tipe substrat pasir ... 42
26. Perbandingan nilai backscattering strength pada tipe substrat pasir,
pasir berlumpur, lumpur berpasir dan lumpur ... 45
27. Echoenvelope yang mengindikasikan tingkat intensitas energi tipe substrat pasir ... 48
28. Echoenvelope yang mengindikasikan tingkat intensitas energi tipe substrat pasir berlumpur ... 49
29. Grafik hubungan densitas, porositas dan velocity terhadap impedansi Sedimen ... 52
30. Grafik hubungan antara bottom loss dengan impedansi sedimen ... 53
31. PCA untuk parameter fisik sedimen dan nilai hidroakustik pada sumbu F1 dan F2 ... 55
32. Penyebaran stasiun pengamatan pada sumbu F1 dan F2 ... 55
33. Dendogram parameter sedimen ... 57
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Scientific echosounder Simrad EY 60 ... 65
2. Alat pengambilan sampel sedimen ... 65
3. Kapal survei ... 66
4. Echoview 4,00 dan dongle ... 66
5. Alat pengukur parameter fisik sedimen ... 67
6. Listing programMatlab_Rick Towler ... 68
7. Foto tipe substrat dasar perairan di lokasi penelitian ... 72
8. Tampilan echogram (lanjutan) ... 73
9. Grafik pola Sv dan SS (lanjutan) ... 74
10. Grafik intensitas energi acoustic backscattering dasar perairan (lanjutan) ... 75
11. Cluster data sedimen ... 76
12. Cluster data akustik ... 76
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai habitat
bagi bermacam-macam makhluk hidup yang kehidupannya berasosiasi dengan
lingkungan perairan. Hal ini dapat dilihat dari seberapa besarnya dasar perairan
tersebut memberikan kontribusi bagi pertumbuhan dan perkembangan makhluk
hidup yang berada di dasar perairan.
Dewasa ini metode baru untuk mendapatkan informasi mengenai tipe
dasar, sedimen dasar dan vegetasi bawah air dengan menggunakan echosounder
dan pengolahan data secara digital sudah mulai berkembang. Penelitian untuk
melihat hubungan tipe substrat dengan biota bentik, bento-pelagik dengan metode
akustik telah dilakukan di perairan Tasmania Australia. Alat yang dipergunakan
dalam penelitian ini adalah echosounder Simrad EK 500 dengan frekuensi 12, 38, 120 kHz. Hasil dari penelitian tersebut adalah diperoleh adanya empat tipe
substrat yang diklasifikasikan sebagai substrat lembut halus, keras halus, keras
kasar dan lembut kasar (Siwabessy, 2001).
Beberapa penelitian mengenai klasifikasi dasar perairan dengan metode
hidroakustik di Indonesia sendiri sudah dilakukan melalui pengukuran dasar laut
berdasarkan nilai surface backscattering strength dengan teknik integrasi echo
dasar dan pengembangan model numerik ring surface scattering menggunakan
Quantitative Echo Sounder di perairan selatan Jawa (Manik et al., (2006)). Pujiyati (2008) mengukur nilai backscattering volume (E1 dan E2) dari dasar perairan yang berlokasi di perairan Laut Jawa bagian Timur, perairan Belitung,
Kalimantan Timur dan perairan Laut Jawa. Taruk Allo et al., (2009) melakukan penelitian di perairan Sumur, Pandeglang – Banten untuk melihat nilai
backscattering volume yang dikaitkan dengan komposisi sedimen. Deswati (2009) melakukan penelitian dengan menggunakan teknologi akustik untuk
mendeteksi lamun di wilayah Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Berdasarkan
penelitian yang disebutkan diatas metode yang digunakan masih terpisah-pisah.
Pemahaman akan sinyal suara yang dihasilkan dari dasar perairan akibat
perbedaan parameter fisik pada skala yang berbeda. Untuk karakterisasi dasar
perairan, incidence beam (normal incidence) yang vertikal dari sistem
echosounding telah lama diakui sebagai proses pengukuran yang sangat berguna. Parameter seperti ukuran butir sedimen, relief permukaan antar muka air-sedimen,
dan variasi dalam sedimen secara umum mengendalikan sinyal backscattering
dari dasar perairan.
Pengukuran sifat akustik dari dasar laut sangat menarik untuk dikaji baik
dari segi akustik kelautannya maupun aplikasi geofisiknya. Kecepatan suara
akustik dan impedansi dasar laut memiliki kaitan langsung dengan propagasi
gelombang akustik dimana nilai-nilai tersebut diperlukan untuk analisis yang
lebih lengkap seperti masalah propagasi suara.
Bentuk dasar perairan cukup beragam serta jenis dasar perairan berbeda.
Pengetahuan akan jenis dasar perairan sangat berguna untuk kepentingan
geoteknik, perikanan dan lingkungan laut.
1.2. Perumusan masalah
Penerapan teknologi akustik di Indonesia dalam penelitian dan
pengembangan bidang kelautan hingga saat ini masih sangat terbatas. Minimnya
sarana dan prasarana menjadi salah satu faktor penghambat perkembangan
teknologi akustik di Indonesia. Pada kurun waktu terakhir ini teknik akustik
mulai banyak digunakan untuk memetakan dasar perairan dan kandungan sumber
daya hewan bentik yang ada di daerah dasar perairan (Siwabessy et al. 1999). Kemajuan teknik pemetaan dasar perairan saat ini yang dipicu oleh
perkembangan yang berkesinambungan dari sistem akustik (side scan sonar, multibeam sonar, acoustic discrimination systems) menawarkan potensi untuk pekerjaan pemetaan dan monitoring ekosistem dasar laut (Brown et al. 2005). Beberapa tahun belakangan ini, aplikasi metode pemetaan akustik, khususnya
penggunaan “Acoustic Ground Discrimination System” (ADGS) dikombinasikan dengan data sampling lapangan (ground truth), telah menjadi kegiatan yang biasa dalam pemetaan dan monitoring habitat dasar laut di sejumlah daerah perlindungan laut di pesisir Inggris. Pendekatan ini memiliki keunggulan yang
seringkali peta yang dihasilkan dari cara-cara lama itu dipertanyakan tingkat
aksurasinya (Brown et al. 2005).
Sistem klasifikasi akustik sedimen dasar laut yang dapat memperkirakan
tipe sedimen dan sifat geoteknik dari jarak jauh telah banyak digunakan di
berbagai bidang geologi kelautan, teknik sipil, ilmu militer dan perikanan
(Lambert et al. 2002; Richardson et al. 2002). Sistem klasifikasi dengan akustik ini telah mampu memprediksi secara akurat dan real time dari sifat akustik (kecepatan suara, akustik impedansi dan atenuasi), tipe sedimen (ukuran butiran),
dan sejumlah sifat geoteknik (densitas dan porositas).
Metode akustik dianggap mampu memberikan solusi dalam pendugaan
karakteristik dasar perairan yang mengakibatkan sejumlah penelitian lanjutan
mengenai dasar perairan pun dilakukan. Tingginya variasi yang terjadi pada dasar
perairan membuat banyak hal yang masih belum jelas dalam pendugaan
karakteristik dasar perairan dengan menggunakan metode akustik. Penambahan
persyaratan untuk perekaman data first echo dan second echo dapat memberikan beberapa informasi tentang karakteristik dari dasar perairan. Berbeda halnya
dengan echosounder multibeam, yang menyediakan area cakupan spasial yang luas, split beam echosounder memberikan informasi tentang dasar perairan tepat dibawah daerah lokasi tracking (normal incidence) yang ditimbulkan oleh pulsa akustik.
1.3. Kerangka pemikiran
Sistem klasifikasi akustik dasar perairan secara luas telah digunakan untuk
mempelajari karakteristik dasar perairan. Penentuan nilai backscattering dari dasar perairan dengan akurasi yang tinggi sangat dibutuhkan dalam dunia
perikanan. Hal ini berkaitan erat dimana dasar perairan memiliki peranan yang
sangat penting sebagai habitat dari makhluk hidup yang berasosiasi dengan
lingkungan perairan. Penentuan jenis substrat dari dasar perairan di suatu perairan
dengan metode hidroakustik tentunya memerlukan beberapa parameter-parameter
seperti ukuran partikel dari sedimen, kandungan bahan organik dan porositas.
Berdasarkan permasalahan di atas, perlu dilakukan pengkajian kuantifikasi
dari dasar perairan serta kaitannya dengan parameter fisika dari sedimen yang
diduga mempengaruhi nilai backscattering dari dasar perairan.
Secara diagramatik kerangka pemikiran yang mendasari penelitian ini
dapat dilihat pada Gambar 1.
1.4. Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Menghitung nilai backscattering strength dari dasar perairan dengan menggunakan instrumen hidroakustik split beam echosounder untuk kuantifikasi dan karakterisasi dasar perairan.
2) Mengukur beberapa parameter fisik sedimen (sediment properties) yang diduga mempengaruhi nilai backscattering dasar perairan.
1.5. Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1) Memberikan gambaran karakteristik dasar perairan berdasarkan nilai
backscattering strength yang dihasilkan oleh berbagai macam tipe substrat dasar perairan dengan menggunakan split beam echosounder.
2) Pola yang didapatkan diharapkan dapat dijadikan sebagai proses
mengklasifikasikan dasar perairan dengan menggunakan instrumen
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sedimen dasar laut
Sedimen yang merupakan partikel lepas (unconsolidated) yang terhampar di daratan, di pesisir dan di laut itu berasal dari batuan atau material yang
mengalami proses pelapukan, peluluhan pengangkutan dan pengendapan.
Sedimen itu berasal dari batuan beku, batuan metamorf, batuan sedimen atau dari
material biogenik, yang diangkut oleh air, angin dan gaya gravitasi.
Batuan sedimen adalah sedimen yang telah mengalami proses pengerasan
atau kompak (consolidated) yang meliputi proses pemampatan (compaction), penyemenan (cementation) dan penghabluran atau pengkristalan ( recrystal-lization). Batuan sedimen dicirikan dengan adanya perlapisan, butiran sedimen yang mengalami proses pengangkutan, struktur sedimen dan hadirnya mineral
atau fosil. Proses-proses sedimen, seperti pelapukan, pengangkutan dan
pengendapan, pada akhirnya menghasilkan sedimen yang berbeda. Ada sedimen
yang berbutir kasar, seperti kerikil dan pasir, yang berbutir halus, seperti lanau
atau lempung. Sedimen berbutir kasar berupa kerikil-pasir kuarsa akan
diendapkan di sekitar pantai atau pesisir, sedangkan sedimen yang lebih halus
seperti lanau dan lempung diendapkan di laut. Kerikil-pasir kuarsa, lanau dan
lempung hasil proses sedimentasi itu akan membentuk endapan sedimen.
Endapan sedimen itu dapat hanya berupa kerikil-pasir, atau campuran sehingga
sulit untuk dipisahkan. Endapan sedimen tersebut dikelompokkan sebagai
endapan klastik, seperti endapan pasir, lanau, lempung dan endapan campuran
pasir dan lanau (Dewi dan Darlan, 2008).
Sedimen dicirikan atau dikarakterisasi menurut sifat-sifat alami yang
dimilikinya, yaitu misalnya: ukuran butir (grain size), densitas, kecepatan jatuh, komposisi, porositas, bentuk dan sebagainya. Berdasarkan ukuran butirnya,
sedimen diklasifikasikan menurut: lumpur (mud), pasir (sand) dan kerikil (gravel) (Poerbondono dan Djunasjah, 2005).
Ukuran-ukuran partikel sedimen merupakan salah satu cara yang mudah
menurut Wentworth (1922) in Dale dan William (1989) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi sedimen berdasarkan ukuran
Jenis Partikel Diameter Partikel (mm)
Boulder > 256
Akustik merupakan ilmu yang mempelajari tentang gelombang suara dan
perambatannya dalam suatu medium. Prinsip dari pengoperasian alat akustik
adalah dengan gelombang suara yang ditransmisikan ke kolom perairan dalam
bentuk pulsa yang nantinya akan mengenai target kemudian dilakukan analisa
terhadap pantulan yang diberikan oleh target.
Prinsip dari pengoperasian metode hidroakustik (Gambar 2) adalah
dimulai dari timer yang berfungsi sebagai penanda pulsa listrik untuk mengaktifkan pemancaran pulsa yang akan dipancarkan oleh transmitter melalui
transducer. Transducer berfungsi mengubah energi listrik menjadi energi suara ketika suara akan dipancarkan ke medium. Gelombang akustik yang merambat di
kolom perairan akan mengenai target seperti ikan atau dasar perairan dimana
gelombang akustik ini akan dipantulkan kembali dalam bentuk echo dan akan diterima oleh transducer dan mengubahnya menjadi energi listrik dan diteruskan
ke receiver amplifier yang berfungsi untuk menguatkan sinyal listrik sebelum diteruskan ke unit peraga untuk ditampilkan dalam bentuk echogram (MacLennan
Gambar 2. Pri
erbedaan split beam dengan metode sebelumny
ducer yang digunakan, dimana pada echosounder
t kuadran. Pemancaran gelombang suara dilakuka
kan penggabungan dari keempat kuadran dal
elanjutnya, sinyal yang memancar kembali dari
g kuadran secara terpisah, output dari masing-gkan lagi untuk membentuk suatu full beam
t tunggal diisolasi dengan menggunakan output
Gambar 3. Skema transducer split beam (Simrad, 1993)
Split beam echosounder memiliki fungsi Time Varied Gain (TVG) di dalam sistem perolehan data akustik. TVG ini berfungsi secara otomatis untuk
mengeleminir pengaruh atenuasi yang disebabkan baik oleh geometrical spreading dan absorpsi suara ketika merambat ke dalam air.
Split beam SIMRAD EY 60 scientific echosounder system merupakan instrumen hidroakustik yang paling baru dan merupakan generasi keenam yang
dibuat oleh Simrad. SIMRAD EY 60 disebut sebagai alat hidroakustik pertama
yang serba bisa, yang mampu menyediakan sounder tiga frekuensi, target strength analyzer dan echo integrator lanjutan. Sinyal echo diproses secara on-line dan
hasilnya ditampilkan dengan echogram.
SIMRAD EY 60 disebut sebagai scientific echosounder karena konsep baru yang digunakan pada receiver memungkinkan alat ini mencapai rentang dinamis sampai dengan 160 dB. Sounder dapat beroperasi pada tiga frekuensi sebesar 12, 38 dan 120 kHz. Keunikan lain dari alat ini adalah kemampuannya
untuk mengamati posisi horizontal dari ikan yang berada pada beam, hal ini memungkinkan peneliti untuk mempelajari tingkah laku ikan.
2.4. Backscattering dasar perairan
Metode hidroakustik mampu melakukan pengukuran terhadap besar
kecilnya pantulan dasar perairan dari berbagai tipe partikel. Secara ringkas,
gelombang akustik yang terjadi pada permukaan antara air laut dan dasar laut
medium kedua. Proses ini secara umum ditentukan oleh beda impedansi akustik
(z = ρc) antara kedua media (Siwabessy, 2001).
Pada saat gelombang hidroakustik mengenai permukaan dasar perairan,
sebagian energi akan menembus dasar perairan dan sebagian kembali ke
transducer. Pada frekuensi rendah, pantulan dasar akustik ditentukan oleh sedimen dasar perairan yang berbeda-beda. Dasar perairan yang sangat keras
memiliki pantulan dasar yang lebih kuat dari dasar perairan yang lunak. Dasar
perairan yang keras memiliki pantulan yang lebih besar dari dasar perairan yang
halus dan seterusnya (Siwabessy, 2001).
Dasar perairan memiliki karakteristik memantulkan dan menghamburkan
kembali gelombang suara seperti halnya pada permukaan perairan laut. Namun
efek pantulan dan backscattering yang dihasilkan lebih kompleks karena sifat dasar laut yang tersusun atas beragam unsur mulai dari lapisan bebatuan yang
keras hingga lempung yang halus dan tersusun atas lapisan-lapisan yang memiliki
komposisi yang berbeda-beda (Urick, 1983).
Beberapa kendala yang mempengaruhi sinyal pantul menjadi berbeda dari
pulsa akustik yang dihasilkan adalah sebagai berikut (Siwabessy, 2001).
1. Ketidaksesuaian impedansi akustik dari air laut – dasar laut menyebabkan
pembauran permukaan dari pulsa utama;
2. Parameter akustik dari instrumen;
3. Penetrasi sinyal akustik pada dasar laut menyebabkan besarnya pembauran
pulsa utama;
4. Arah pemantulan pada interface air laut – dasar laut yang diakibatkan oleh kekasaran dasar laut;
5. Time delay dari hasil oblique karena spherical spreading terhadap perubahan kedalaman;
6. Respon dari scattering yang berasal dari second acoustic bottom pada permukaan air, gelembung pada kolom air dan kapal;
7. Kemiringan dasar laut;
8. Penyerapan akustik air laut; dan
Kloser et al. (2001b) dan Schlagintweit (1993) telah melakukan observasi klasifikasi dasar laut berdasarkan frekuensi akustik. Untuk dasar perairan yang
memiliki ciri yang sama, indeks kekasaran (roughness) telah diamati dengan dua frekuensi berbeda yang mereka gunakan. Schlagintweit (1993) menemukan
bahwa perbedaan muncul dari data frekuensi 40 dan 208 kHz yang disebabkan
perbedaan penetrasi dasar perairan dari frekuensi ini pada berbagai macam tipe
dasar perairan (Gambar 4).
Gambar 4. Echo dasar perairan (Hamouda and Abdel-Salam, 2010)
Besarnya tingkat penetrasi dan pantulan (refleksi) dasar perairan juga
ditentukan oleh jenis sedimen itu sendiri (Krastel et al. 2006) dimana dasar perairan atau sedimen yang memiliki sifat lebih keras akan memberikan pantulan
dengan nilai amplitudo yang lebih besar (Hamilton, 2001). Nilai backscattering strength dipengaruhi oleh impedansi akustik sebagai faktor utama, selain itu juga dipengaruhi oleh kekasaran (roughness) permukaan sedimen dan heterogenitas volume sedimen (Fonsesca dan Mayer, 2007).
Gelombang akustik yang dihamburkan secara acak karena ketidakteraturan
dari dasar perairan mencakup kekasaran dari permukaan sedimen dasar perairan,
variasi ruang dalam sifat fisis sedimen dan masukan oleh kulit karang atau
gelembung. Proses backscattering ini dapat dilihat pada Gambar 5. Pada frekuensi tinggi, semua dasar perairan memiliki banyak ketidakteraturan pada
Gambar 5. Sketsa backscattering akustik dasar perairan yang disebabkan kekasaran dari permukaan dan heterogenitas sedimen
(Jackson dan Richardson, 2006)
Adapun hubungan pantulan dasar perairan terhadap tipe dasar perairan
yang berbeda (batu, kerikil, pasir dan lumpur) ditunjukkan pada Gambar 6.
Gambar 6. Hubungan sudut datang dan pantulan dasar pada berbagai tipe dasar perairan (Siwabessy, 2001)
Incident wave
Reflected wave
2.5. Pendekatan metode hidroakustik terhadap dasar perairan
Informasi tentang jenis lapisan dasar perairan dan vegetasi bawah air
disandikan dalam sinyal echo. Sinyal tersebut dapat disimpan dan diperoleh secara bersamaan dengan data GPS. Sinyal yang disandikan dan informasi
tentang dasar perairan dapat diproyeksikan ke dalam bentuk grafik digital.
Untuk proses verifikasi hasil, sampling fisik dasar perairan harus ada dan
pengamatan dilakukan oleh penyelam atau kamera bawah air dan data yang
diperoleh harus dicatat sebagai data akustik. Setelah diverifikasi, hasil disimpan
sehingga jenis dasar perairan dapat diketahui dan dapat dibandingkan dengan data
dari sinyal echo (Burczynski, 2002).
Parameter sinyal echo selain tergantung pada jenis dasar perairan (khususnya kekasaran (roughness) dan kekerasan (hardness) juga dipengaruhi oleh parameter dari alat (frekuensi seperti beamwidth transducer dan lain-lain). Oleh karena itu, hasil verifikasi akan sah hanya untuk sistem akustik yang
digunakan untuk verifikasi (Burczynski, 2002).
Suatu perkiraan bahwa bagian dasar perairan keras akan menghasilkan
echo yang tajam dengan amplitudo yang tinggi sementara bagian dasar perairan lunak akan menghasilkan echo yang panjang dengan amplitudo yang lebih rendah. Fenomena ini dapat diamati pada osiloskop yang ada pada echogram di
echosounder selama survei (Gambar 7).
Gambar 8 memperlihatkan contoh echo dari dasar perairan yang keras dan lunak. Nilai amplitudo dari echo dikuadratkan, melalui pengintegrasian echo dan kemudian kurva kumulatif dari echo dasar perairan. Perbedaan yang nyata akan terlihat dari bentuk yang berbeda antara energi kumulatif dari sinyal dasar
perairan yang keras dan lunak. Dasar perairan yang keras akan menghasilkan
kurva dengan peningkatan yang tajam sementara bagian dasar perairan yang lunak
akan menghasilkan kurva yang meningkat dengan kemiringan yang relatif rendah.
Echo yang berasal dari dasar perairan yang ditampilkan dalam bentuk energi kumulatif dapat disimpan dalam database. Kemudian untuk jenis yang tidak diketahui dapat diimplementasikan sebagai “curve fitness algorithm” dan mengenali jenis dasar perairan sesuai dengan bentuk kurva energi kumulatif.
Gambar 8. Bentuk kurva dasar perairan dari dasar perairan yang keras dan lunak; (a) Amplitudo sinyal echo dan (b) Kurva energi kumulatif (Burczynski, 2002)
Amplitudo dan bentuk sinyal akustik yang dipantulkan dari dasar laut
ditentukan oleh kekasaran dasar laut, perbedaan densitas antara air dan dasar laut,
dan reverberasi di dalam substrat. Klasifikasi dasar laut memerlukan sistem
akuisisi data akustik dan suatu algoritma yang menganalisis data, menentukan
jenis dasar laut dan menghubungkannya dengan hasil klasifikasi akustik terhadap
sifat fisik sedimen laut (Tsemahman et al. 1997).
Penggunaan sistem klasifikasi dasar laut telah terintegrasi dengan
kombinasi perangkat keras dan perangkat lunak. Pengolahan data biasanya
Klasifikasi memasukkan semacam teknik penyaringan untuk kelompok echo
dengan fitur yang serupa.
Gambar 9. Echo yang menunjukkan jejak dari pulsa yang dikirim dan dipantulkan dari dasar laut (Collins dan McConnaughey, 1998)
3. METODOLOGI
3.1. Waktu dan lokasi penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 29 Januari – 2 Februari 2011
yang berlokasi di sekitar perairan Pulau Pramuka, Pulau Panggang, Pulau Karya
dan Pulau Semak Daun, Kepulauan Seribu – Jakarta Utara, yang memiliki
kedalaman relatif dangkal yang berkisar pada kedalaman 2 – 8 m dan diduga
memiliki tipe sedimen yang berbeda-beda pada beberapa lokasi. Pengambilan
data difokuskan pada beberapa macam tipe substrat yang menjadi fokus kajian
pada penelitian ini, dimana penulis terlibat langsung dalam proses pengambilan
data di lapangan. Lokasi ditentukan berdasarkan informasi dari nelayan dan
masyarakat di sekitar lokasi penelitian serta survei awal yang dilakukan dengan
penyelaman. Gambar 10 menunjukkan peta lokasi penelitian.
Pengolahan data akustik dilakukan di Laboratorium Akustik dan
Instrumentasi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK – IPB
dan Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan (P4KSI) – KKP, Jakarta. Analisis sampel sedimen dilakukan di Laboratorium Fisika Tanah, Balai Penelitian Tanah – Bogor.
3.2. Perangkat dan peralatan penelitian
3.2.1. Instrumen SIMRAD EY 60 scientific echosounder system
Pengambilan data akustik menggunakan perangkat SIMRAD EY 60
scientific echosounder system. Transducer split beam dioperasikan dengan menggunakan frekuensi 120 kHz, transmitted power 50 watt, kecepatan suara sebesar 1546,35 m/dtk dan dengan nilai transmitted pulse length 0,128 mdtk. Selain itu, digunakan laptop untuk merekam data secara real time dan juga GPS (Global Positioning System) untuk mengetahui posisi lintang (latitude) dan bujur (longitude). Spesifikasi SIMRAD EY 60 dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Spesifikasi SIMRAD EY 60 scientific echosounder system
Spesifikasi SIMRAD EY60 Operation setting
Operating frequency 120 kHz
Operating modes active
Transmission power adjustable in steps 50 watt
Ping rate adjustable 60 m
Maximum ping rate 20 pings/sec
Data collection range 0 to 1500 m
Receiver filtering matched digital filters
Receiver noise figure 4 dB
Split-beam complex digital demodulation
Synchronization internal and external
Bottom detection settings adjustable
Transmit power maximum 4 kW
3.2.2. Kapal
Survei pengambilan data akustik dilakukan dengan menggunakan kapal
nelayan setempat. Penempatan komponen SIMRAD EY 60 (Laptop dan GPT) harus berada pada tempat yang aman dan mudah dioperasikan. Penempatan
posisi transducer harus masuk ke dalam air, sehingga transducer diletakkan di sisi luar kapal tepatnya pada bagian kiri kapal dengan kedalaman transducer 0,5 m. Transducer diletakkan di sebelah kiri karena perputaran baling-baling kapal berlawanan dengan arah jarum jam. Hal ini dilakukan karena noise yang ditimbulkan oleh baling-baling lebih besar pada satu sisi kapal daripada sisi yang
lain. Dalam hal ini, sisi kanan kapal memiliki noise yang besar karena baling-baling kapal berputar ke arah kiri. Namun pada saat pengambilan data akustik,
lokasi pengambilan data hanya difokuskan pada posisi yang stasioner sehingga
mesin kapal dimatikan untuk mengurangi noise yang mungkin saja ditimbulkan oleh baling-baling kapal.
Tabel 3. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian akustik dasar perairan
Alat dan bahan Jenis Kegunaan
Split beam echosounder SIMRAD EY 60 Pengambilan data akustik
GPS Garmin Pengambilan data posisi stasiun
Notebook/Laptop Hp Compac Pemrosesan dan penyimpanan data akustik
Pipa paralon Diameter 7,6 cm
Panjang 10 cm
Alat untuk mengambil sampel
Spesifikasi transducer dalam sistem echosounder SIMRAD EY 60 adalah sebagai berikut (Tabel 4).
Tabel 4. Spesifikasi transducer seri ES 120-7C
Spesifikasi Besaran Satuan
Resonant frequency 120 kHz
Circular beamwidth 7 derajat
Directivity
DI=10 log D 28 dB
Equivalent two-way beam angle
10 log ψ -21 dB re 1 steradian
Impedance 19 ohm
Transmitting response 185 dB re 1 Pa per V
Receiving sensitivity, open circuit -190 dB re 1 V per Pa
Sumber: Simrad, 1993
3.2.3. Alat pengambil contoh sedimen
Pengambilan contoh sedimen dilakukan pada tiap stasiun pengamatan
yang memiliki data akustik. Proses pengambilan sedimen dilakukan melalui
penyelaman dengan SCUBA dan menggunakan pipa paralon berdiameter 7,6 cm
(3 inch) dengan panjang 10 cm yang ditancapkan ke dalam dasar perairan. Sedimen yang didapatkan dibiarkan berada dalam pipa paralon dalam keadaan
tertutup sehingga tidak mengubah struktur sedimen yang terdapat dalam sedimen.
Gambar 11. Ilustrasi posisi paralon terhadap echogram Posisi paralon
3.3. Pengambilan data akustik
Pengambilan data akustik dilakukan dengan menggunakan instrumen split beam echosounder SIMRAD EY 60, dimana prinsip kerja instrumen ini adalah pemancaran gelombang suara melalui transmitting transducer secara vertikal ke dasar perairan. Gelombang suara yang dikirim ke dasar perairan akan dipantulkan
lagi dan diterima oleh receiver transducer. Instrumen ini dilengkapi dengan frekuensi 120 kHz.
Instrumen split beam echosounder SIMRAD EY 60 dioperasikan pada tiap stasiun pengamatan (stasioner). Kondisi kapal dalam keadaan diam dan tetap
pada posisi yang telah ditentukan sehingga proses perekaman data diharapakan
berasal dari tipe sedimen yang telah ditentukan. Diagram alir pengambilan data
akustik dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Diagram alir pengambilan data akustik GPT
Transducer Laptop
SIMRAD EY 60
GPS
3.4. Pengambilan contoh sedimen
Pengambilan contoh sedimen dilakukan pada 9 stasiun pengamatan yang
memiliki data akustik. Lokasi pengambilan data sedimen dilakukan disekitar
Pulau Pramuka, Pulau Panggang, Pulau Karya dan Pulau Semak Daun yang
lokasinya tidak terlalu jauh antar pulau. Proses pengambilan sedimen dilakukan
melalui penyelaman dengan menggunakan SCUBA dan menggunakan pipa
paralon berdiameter 7,6 cm (3 inch) dengan panjang 10 cm yang ditancapkan ke dalam dasar perairan. Sedimen yang didapatkan dibiarkan berada dalam pipa
paralon dalam keadaan tertutup sehingga tidak mengubah struktur sedimen dan
kandungan air yang terdapat dalam sedimen yang selanjutnya dibawa untuk
dianalisis di laboratorium. Untuk mengetahui jenis/tipe substrat dari tiap sedimen
yang diambil dilakukan analisis besar butir (grain size) sedimen melalui proses fraksinasi sedimen, selain itu dilakukan pengukuran porositas (porosity) dari sedimen dan densitas (density).
3.5. Pemrosesan data akustik
Tampilan echo dasar perairan dengan jelas ditampilkan berdasarkan variabilitasnya dari ping ke ping. Proses membedakan echo dasar perairan untuk beberapa kategori dasar perairan dilakukan dengan pengrata-rataan nilai dari
sinyal echo dan menghasilkan suatu data berdasarkan rata-rata dari data. Nilai
roughness dan hardness dapat di ekstrak dari hamburan echo dasar perairan yang
pertama dan kedua. Data dasar perairan yang terbaik dihasilkan oleh specular reflection dari dasar perairan (transmisi yang tegak lurus dasar perairan) (Gambar
13).
Gambar 13. Bentuk sinyal keluaran echosounder (Siwabessy et al. 2005)
Bagian awal dari echo dasar perairan yang pertama disebabkan oleh pantulan pertama dasar perairan yang tegak lurus dengan transducer axis. Echo
pada bagian pertama ini (specular dan coherent) sangat sensitif terhadap pitch dan
roll dari kapal dan transducer. Sisa dari echo pertama dasar dari dasar perairan disebabkan oleh oblique back reflection (non coherent) dan lebih sedikit sensitif terhadap pitch dan roll. Echo pertama dasar perairan sebagian besar dihubungkan dengan nilai kekasaran (roughness) dan kekerasan (hardness) dari dasar perairan akan ditingkatkan dari bagian kedua dari echo pertama dasar perairan (oblique reflection) (Gambar 14).
Data yang diperoleh dari instrumen SIMRAD EY 60 split beam echosounder systems dalam bentuk raw data (echogram) selanjutnya diekstrak
dengan menggunakan software Echoview dan Matlab. Proses integrasi dasar perairan dilakukan pada kedua pantulan akustik dari dasar perairan (first bottom
dan second bottom) untuk melihat respon karakteristik backscattering dari dasar perairan yang diamati (Gambar 15). Respon akustik dari dasar perairan dilihat
dengan mengintegrasikan dasar laut dengan ketebalan integrasi 10 cm.
Elementary Distance Sampling Unit (EDSU) yang digunakan pada proses integrasi adalah berdasarkan dengan ping number sebesar 20 ping. Nilai
threshold yang digunakan untuk energy of the 1st bottom echo (E1) minimum pada -50 dB dan maksimum 0 dB, sedangkan threshold minimum untuk energy of the 2nd bottom echo (E2) sebesar -70 dB dan maksimum pada 0 dB.
3.6. Analisis data
3.6.1. Komputasi acoustic bottom backscattering
Nilai acoustic backscattering volume (Sv) dari dasar perairan diperoleh dengan menggunakan software Echoview. Nilai SS diperoleh menggunakan persamaan yang menghubungkan bottom volume backscattering coefficient (Sv) dan surface backscattering coefficient (Ss) (Manik et al. 2006).
Sv =
( ) ………. (1)
dimana, Φ= instantaneous equivalent beam angle for surface scattering
Ψ = equivalent beam angle for volume scattering
c = kecepatan suara (m/s) τ = pulse length
Pada peak bottom echo, nilai integrasi Ψ ≈ Φ sehingga persamaan (1) menjadi :
Ss = Sv ………. (2)
SS [dB] = 10*log Ss ………. (3)
Selanjutnya untuk beam dengan bukaan lebar beam yang sempit, dimana daerah insonifying terletak pada daerah normal incidence. Daerah permukaan
insonified adalah persimpangan dari directivity lobe (diasumsikan vertikal) dan daerah permukaan ini dirumuskan sebagai berikut (Lurton, 2002):
A = ψ*H2 ………. (4)
dimana H merupakan tinggi dari sumber ke target dan ψ equivalent beam angle, dalam steradians. Jika beam berbentuk kerucut (conical), daerah permukaan dapat dinyatakan sebagai fungsi dari setengah bukaan sudut konvensional φ
(Lurton, 2002):
Nilai maksimum dari intensitas echo level maka akan sama dengan
BSs(0) = backscattering surface strengthat normal incidence (dB) H = ketinggian dari sumber suara ke target (m)
α = koefisien absorpsi (dB/m)
Model ini menyatakan bahwa sinyal ditransmisikan dalam waktu yang
cukup lama untuk jejak beam pada satu daerah insonified.
Untuk pulsa pendek, bidang dari dasar perairan yang ter-insonified tidak ditentukan oleh bukaan beam, tapi berdasarkan pulse duration. Proyeksi ini berbentuk lingkaran di atas dasar perairan, radius yang diberikan berupa delay
antara tepi dan pusat. Kisaran antara sonar dengan tepian lingkaran adalah R = H
+ cτ/2. Radius lingkaran kira-kira sama dengan √ dan areanya adalah A =
beam yang berbentuk kerucut (conical) setengah dari bukaan φ, merupakan batas antara dua rezim tersebut yang terjadi pada kedalaman perairan H.
3.6.2. Komputasi acousticreflection sedimen dasar perairan
Koefisien refleksi didefinisikan sebagai bagian dari gelombang tekanan
suara yang dipantulkan oleh dasar perairan, dibagi dengan gelombang suara yang
mengenai dasar perairan, atau dengan kata lain rasio antara gelombang suara yang
dipantulkan (Pr) dengan gelombang suara yang mengenai dasar perairan (Pi). Dimana:
R =
………. (9)
Untuk gelombang akustik normal incidence, koefisien refleksi berkaitan dengan impedansi akustik yang ditandai melalui hubungan berikut:
R =
=
………. (10)
dimana Z1, ρ1, c1 dan Z2, ρ2, c2 masing-masing merupakan nilai akustik impedansi, densitas dan kecepatan suara di kolom air dan permukaan sedimen. Parameter
sedimen ditunjukkan pada Gambar 16.
Gambar 16. Ilustrasi stuktur sedimen dan kolom air (Medwin dan Clay, 1998)
Nilai kecepatan suara dan densitas di dalam perairan dan di sebagian
sedimen diketahui. Sedimen dasar perairan diasumsikan bertindak sebagai fluida
dan oleh karena itu digunakan persamaan (10) untuk menghitung koefisien
refleksi dasar perairan. Tekanan fraksional refleksi, R, sering disebut ”bottom loss”. Bottom loss sering dinyatakan dalam dB sebagai bilangan positif.
3.6.3. Analisis sedimen
Contoh sedimen yang diambil dengan menggunakan pipa paralon
berdiameter 7,6 cm dengan panjang 10 cm selanjutnya dianalisis sifat fisiknya
seperti tekstur sedimen, densitas dan porositas dari sedimen tersebut (Ruang Pori
Total) yang nantinya digunakan sebagai data insitu sekaligus sebagai data pembanding dari hasil hidroakustik.
Tekstur sedimen adalah susunan relatif dari besar butir sedimen, terdiri
dari pasir berukuran 2 mm – 50 , lumpur berukuran 50 – 2 dan liat berukuran
kurang dari 2 . Klasifikasi metode analisis tekstur dilakukan dengan
menggunakan metode ayakan bertingkat dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Contoh substrat diambil dari lapangan dan diperkirakan beratnya pada waktu
kering minimal 100 gram basah.
2. Substrat tersebut dikeringkan dalam oven dengan suhu 1000C sampai benar- benar kering (± 24 jam).
3. Contoh diayak dengan Shieve shaker berukuran 2 mm. 4. Berat asal kering contoh ditimbang dengan berat 10 gram.
5. Selanjutnya ditambahkan H2O2 30% sebanyak 100 ml dan didiamkan selama
semalam, setelah itu contoh substrat dimasak untuk menghilangkan bahan
organik.
6. Contoh substrat kemudian diayak dengan ayakan berukuran 325 mesh (mesh = banyaknya lubang (hole) dalam 1 mm2).
7. Hasil ayakan ini kemudian dimasukkan ke dalam Shieve shaker (5 ukuran mata ayakan) untuk kemudian diayak sehingga menghasilkan 5 ukuran besar butir
sedimen yang nantinya akan digolongkan ke dalam substrat pasir.
8. Hasil lain dari ayakan berukuran 325 mesh yang dalam keadaan cair ditambahkan larutan Na2P2O7 . 10H2O untuk selanjutnya dianalisis untuk
mengetahui substrat lumpur dan liat yang dilakukan dengan cara pemipetan
dengan ukuran pipet 20 cc.
9. Untuk menentukan fraksi lumpur, larutan didiamkan selama 1 – 15 menit.
Selanjutnya untuk fraksi liat dimana ukurannya sangat kecil, maka larutan
tersebut didiamkan selama 3,5 sampai 24 jam untuk selanjutnya ditentukan
Proses pengukuran sediment properties selain untuk melihat tekstur, sedimen juga digunakan untuk melihat ruang pori total dan densitas yang
terkandung dalam sedimen. Densitas sedimen merupakan berat suatu volume
sedimen dalam keadaan utuh yang dinyatakan dalam g/cc. Pengukuran densitas
dari sedimen dilakukan dengan menggunakan ring berukuran tinggi 5 cm dengan diameter 5 cm. Jika densitas (berat isi) telah diketahui, maka ruang pori total
dihitung dengan menggunakan persamaan:
Ruang pori total =
1 −
!"!" #" $%
&
x 100% ………. (12)Untuk klasifikasi tipe substrat di lokasi penelitian, maka dilakukan
pengklasifikasian dengan menggunakan diagram segitiga tekstur USDA.
3.6.4. Principal Component Analysis
Principal Component Analysis (PCA) adalah cara untuk mengidentifikasi pola-pola dalam data dan mengungkapkan data sedemikian rupa untuk melihat
persamaan dan perbedaan dari data (Smith, 2002). Prosedur PCA pada dasarnya
adalah bertujuan untuk menyederhanakan variabel yang diamati dengan cara
menyusutkan (mereduksi) dimensinya. Hal ini dilakukan dengan cara
menghilangkan korelasi diantara variabel bebas melalui transformasi variabel
bebas asal ke variabel baru yang tidak berkorelasi sama sekali atau yang biasa
disebut dengan principal component (Soemartini, 2008).
Principal Component Analysis (PCA) diterapkan pada data untuk
menghilang redundansi. Jumlah Principal Component yang dipilih ditentukan oleh banyaknya variasi yang ada. Principal Component Analysis (PCA) ini bertujuan untuk :
1. Mengidentifikasi peubah baru yang mendasari data peubah ganda.
2. Mengurangi banyaknya dimensi himpunan peubah yang biasanya terdiri
dari peubah yang banyak dan saling berkorelasi menjadi peubah baru yang
tidak berkorelasi dengan mempertahankan sebanyak mungkin keragaman
dalam data.
3. Menghilangkan peubah-peubah asal yang mempunyai sumbangan
Pada penelitian ini Principal Component Analysis (PCA) digunakan untuk melihat hubungan antar parameter akustik dengan beberapa parameter fisika
sedimen yang diduga dapat memberikan gambaran mengenai karakter dari dasar
perairan. PCA menghitung suatu set variabel baru yang lebih kecil, variabel
linear independen, yang disebut komponen utama (Principal Component) yang memberikan laporan dari sebagian besar perbedaan yang ada dalam data yang
sebenarnya (Gambar 17).
Gambar 17. Proses klasifikasi nilai echo (Preston, 2004)
3.6.5. Clustering analysis
Clustering adalah operasi analisis multidimensional yang terdiri dari pembagian parameter-parameter (deskriptor) dalam suatu penelitian (Legendre dan
Legendre, 1998). Clustering dapat diartikan sebagai proses pengelompokkan objek berdasarkan informasi yang diperoleh dari data yang menjelaskan hubungan antar
objek dengan prinsip untuk memaksimalkan kesamaan antar anggota satu kelas
dan meminimumkan kesamaan antar kelas/cluster.
Ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam mengembangkan metode
clustering. Dua pendekatan utama adalah clustering dengan pendekatan partisi (K-Means) dan clustering dengan pendekatan hirarki. Clustering dengan pendekatan partisi atau sering disebut dengan partition-based clustering
mengelompokkan data dengan memilah-milah data yang dianalisa ke dalam
cluster-cluster yang ada. Clustering dengan pendekatan hirarki atau sering
disebut dengan hierarchical clustering mengelompokkan data dengan membuat suatu hirarki berupa dendogram dimana data yang mirip akan ditempatkan pada
hirarki yang berdekatan dan yang tidak pada hirarki yang berjauhan.
Metode clustering yang akan digunakan pada penelitian ini untuk melihat hubungan antara nilai akustik dan sedimen properties yang ada adalah clustering
dengan pendekatan hirarki. Metode clustering dengan pendekatan hirarki mengelompokkan data yang mirip dalam hirarki yang sama dan yang tidak mirip
di hirarki yang agak jauh. Ada dua metode yang sering diterapkan yaitu
agglomerative hieararchical clustering dan divisive hierarchical clustering.
Agglomerative melakukan proses clustering dari N cluster menjadi satu kesatuan
cluster, dimana N adalah jumlah data, sedangkan divisive melakukan proses
clustering yang sebaliknya yaitu dari satu cluster menjadi N cluster.
Salah satu cara untuk mempermudah pengembangan dendogram untuk
hierarchical clustering ini adalah dengan membuat similarity matrix yang memuat tingkat kemiripan antar data yang dikelompokkan. Tingkat kemiripan
bisa dihitung dengan berbagai macam cara seperti dengan Euclidean Distance Space. Berangkat dari similarity matrix ini, kita bisa memilih lingkage jenis mana yang akan digunakan untuk mengelompokkan data yang dianalisa, dimana pada
4
n hasil analisis tekstur sedimen, sedimen permuk
n dapat dipisahkan menjadi 3 tipe sedimen yaitu
n 1.000 – 2.000 m, 500 – 1.000 m, 200 – 500
m), lumpur (3 fraksi, ukuran 20 – 50 m, 10 –
fraksi, ukuran 0 – 2 m). Hasil analisis menunj
i pengamatan secara keseluruhan di dominasi ol
entase rata-rata sebesar 80,85%. Fraksi lumpur
iliki nilai persentase rata-rata sebesar 18,32%
ndahnya tingkat persentase lumpur dan liat di l
disebabkan karena tidak adanya daratan utama
fraksi lumpur dan liat yang dapat disebabk
terjadi di daratan yang terbawa oleh alira
n. Wibisono (2005) menyatakan bahwa pera
salah satu contoh dimana memiliki sedimen
rtentu karang dan disampingnya adalah pasi
ang, pasir dan lumpur tertata rapih secara alami
bar 18. Persentase sedimen di lokasi penelitian
Fraksi pasir (sand) yang memiliki kenampakan makroskopis akan lebih cepat mengendap dibandingkan dengan fraksi lumpur (silt) dan liat (clay) pada daerah yang mengalami proses turbulensi yang tinggi karena fraksi lumpur dan
liat berukuran sangat kecil (mikroskopis) sehingga masih dapat dibawa oleh arus
ke tempat lain. Sedimen fraksi lumpur umumnya mudah terbawa oleh arus dan
mudah teraduk bila terjadi proses turbulensi atau upwelling. Pengendapan fraksi lumpur sangat lambat, sehingga posisi lumpur selalu di atas dari lapisan
permukaan dasar laut. Sedimen fraksi liat merupakan sedimen yang ukurannya
paling kecil sehingga butuh waktu yang lebih lama daripada lumpur untuk
mengalami proses pengendapan di dasar perairan. Istilah lumpur (silt) biasanya dalam konteks laut diganti dengan istilah yang lebih umum, yakni lanau agar tidak
membingungkan dengan pengertian mud. Menurut Wibisono (2005) jenis-jenis partikel tersebut sangat menentukan jenis hewan benthos yang mendiami sedimen
tersebut sebagai habitatnya, seperti untuk jenis sedimen pebbles dan granules
setidaknya akan ditemui hewan-hewan Gastropoda. Sedangkan untuk jenis
sedimen pasir mungkin kita akan mendapati hewan kerang-kerangan (Bivalva)
dan untuk jenis sedimen lanau biasanya dapat ditemukan hewan cacing.
Persentase komposisi fraksi pasir terbesar terdapat pada Stasiun 7 sebesar
90,26% yang berada pada posisi 5°44,389’ LS dan 106°35,953’ BT pada
kedalaman 2,79 meter dan terendah pada Stasiun 2 sebesar 72,37% pada posisi
5°44,275’ LS dan 106°36,538 BT yang berada pada kedalaman 4,07 meter.
Persentase komposisi fraksi lumpur terbesar terdapat pada Stasiun 2 sebesar
26,81% dan terendah pada Stasiun 7 sebesar 9,01%, sedangkan untuk fraksi liat
tertinggi terdapat pada Stasiun 6 dengan persentase sebesar 1,28% dimana stasiun
ini terletak pada posisi 5°43,703’ LS dan 106°34,379’ BT dengan kedalaman 5,60
Tabel 5. Komposisi fraksi pada setiap stasiun
Stasiun Posisi Persentasi fraksi (%) Tipe substrat Lintang Bujur Pasir Lumpur Liat
Sta 1 5°44,521’ 106°36,819’ 77,18 21,92 0,90 Pasir berlumpur Sta 2 5°44,275’ 106°36,538’ 72,37 26,81 0,82 Pasir berlumpur Sta 3 5°44,163’ 106°36,587’ 82,36 16,49 1,15 Pasir berlumpur Sta 4 5°44,166’ 106°36,052’ 78,36 20,75 0,89 Pasir berlumpur Sta 5 5°43,802’ 106°34,337’ 82,40 16,52 1,08 Pasir berlumpur Sta 6 5°43,703’ 106°34,379’ 72,86 25,86 1,28 Pasir berlumpur Sta 7 5°44,389’ 106°35,953’ 86,98 12,78 0,24 Pasir Sta 8 5°43,833’ 106°34,363’ 90,26 9,01 0,73 Pasir Sta 9 5°44,642’ 106°36,185’ 84,89 14,73 0,38 Pasir
Hasil analisis fraksinasi sedimen kemudian diklasifikasikan untuk
menentukan jenis tipe substrat yang terdapat di setiap stasiun pengamatan. Hasil
klasifikasi sedimen menunjukkan bahwa terdapat 2 jenis tipe substrat di lokasi
pengamatan yaitu substrat pasir (3 stasiun) dan substrat pasir berlumpur (6
stasiun) (Tabel 5). Pengelompokan atau klasifikasi jenis substrat ini ditentukan
berdasarkan komposisi substrat di setiap stasiun (Gambar 19).
4.2. Densitas dan porositas sedimen dasar perairan
Pengukuran densitas dan porositas dalam sedimen dasar perairan perlu
dilakukan untuk melihat sejauh mana pengaruh densitas sedimen dan porositas
dalam mempengaruhi dasar perairan dalam memberikan respon terhadap sinyal
akustik yang diterima. Salah satu contoh pengaruh densitas sedimen terhadap
sinyal akustik adalah berkaitan dengan impedansi akustik dari dasar perairan.
Selain itu porositas juga berkaitan dengan adanya ruang antar sedimen tentunya
memberikan pengaruh selama transmisi sinyal akustik. Adanya ruang antara
sedimen tentunya dapat menjadi tempat terperangkapnya bubbles yang timbul akibat adanya pergerakan arus dasar perairan.
Gambar 20. Tipe bubble dasar perairan (Jackson dan Richardson, 2006)
Semakin tinggi tingkat kerapatan (densitas) dari sedimen, maka ruang pori
total yang ada dalam sedimen tentunya akan kecil. Ini dikarenakan ikatan partikel
antar partikel dalam sedimen semakin solid. Berdasarkan hasil pengolahan
sedimen dasar laut, hasil pengukuran densitas (kg/m3) dan porositas (%) dari
Tabel 6. Nilai densitas dan porositas sedimen di lokasi penelitan
Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa substrat pasir memiliki nilai
densitas rata-rata sebesar 1536,67 kg/m3, sedangkan untuk pasir berlumpur
memiliki nilai rata-rata densitas sebesar 1388,33 kg/m3. Adanya hubungan antara
densitas dengan nilai porositas, karena nilai densitas diperlukan untuk menghitung
nilai porositas yang terdapat dalam tiap tipe substrat. Hasil perhitungan
persentase porositas dalam tiap tipe substrat menunjukkan bahwa rata-rata
persentase porositas untuk substrat pasir sebesar 40,80% dan substrat pasir
berlumpur memiliki rata-rata persentase sebesar 47,52%.
Adanya perbedaan nilai densitas dan porositas pada tipe substrat yang
sama adalah ukuran butiran dan komposisi substrat tersebut. Selain itu, penyebab
lain yang didugan memberi pengaruh kuat terhadap hasil pengukuran densitas dan
porositas adalah kondisi sampel dasar perairan pada saat dilakukan pengambilan
di lapangan. Untuk pengukuran densitas dan porositas yang ideal, ada baiknya
sampel dalam kondisi tidak terganggu (undisturbed) hingga pada saat dilakukan pengukuran. Kondisi ini tentunya memerlukan perlengkapan yang canggih dan
memadai dengan tingkat ketelitian yang tinggi. Namun pada penelitian ini hanya
digunakan paralon untuk pengambilan contoh sedimen, sehingga dapat dipastikan