• Tidak ada hasil yang ditemukan

Modeling wintering habitat distribution of migratory raptor “Oriental Honey-buzzards” based on satellite tracking data in West Java.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Modeling wintering habitat distribution of migratory raptor “Oriental Honey-buzzards” based on satellite tracking data in West Java."

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

PEMODELAN DISTRIBUSI HABITAT MUSIM DINGIN DARI

RAPTOR MIGRAN SIKEP MADU ASIA

(Pernis ptylorhynchus)

DI JAWA BARAT BERBASIS DATA

SATELLITE-TRACKING

PRESTI AMELIAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Permodelan Distribusi Habitat Musim Dingin dari Raptor Migran Sikep Madu Asia (Pernis Ptylorhynchus) di Jawa Barat Berbasis Data Satellite-Tracking adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

PRESTI AMELIAWATI. Permodelan Distribusi Habitat Musim Dingin Dari Raptor Migran Sikep Madu Asia (Pernis Ptylorhynchus) di Jawa Barat Berbasis Data Satellite-Tracking. Dibimbing oleh SYARTINILIA dan YENI A MULYANI.

Raptor berada di puncak rantai makanan, oleh karena itu keberadaan mereka telah diakui secara luas sebagai spesies indikator untuk keberlanjutan ekosistem dalam skala global (makro). Tujuan penelitian ini di antaranya adalah : 1) membangun model distribusi habitat musim dingin Sikep Madu Asia (SMA) berdasarkan data satellite tracking di Talaga Bodas dan sekitarnya; 2) mengekstrapolsi model untuk seluruh Provinsi Jawa Barat; 3) menganalisis habitat mikro khusus aspek vegetasi di Talaga Bodas; 4) menyusun implikasi pengelolaan habitat musim dingin SMA di Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan di Talaga Bodas dan area sekitarnya, selanjutnya model telah divalidasi di sekitar provinsi Jawa Barat.

Metode yang dilakukan adalah mengombinasikan data satellite tracking dari SMA dengan analisis GIS atau remote sensing, permodelan spasial dan analisis vegetasi. Analisis berdasarkan perbandingan variabel lingkungan dari titik presence dan pseudo-absence SMA, dengan titik presence didapat dari data satellite tracking. Kondisi vegetasi dinyatakan dengan Indeks Nilai Penting dan Indeks keragaman Shanon Wiener di Talaga Bodas.

Analisis dari 18 variabel lingkungan menghasilkan hanya 7 variabel yang terdeteksi sebagai variabel penting bagi karakteristik distribusi habitat musim dingin SMA. Model habitat musim dingin ini dipengaruhi oleh variabel jarak terdekat dari kemiringan 25%-40% (JTK5), jarak terdekat dari elevasi 0-100 m (JTE1), jarak terdekat dari elevasi 100-300 m (JTE2), jarak terdekat dari elevasi> 1000 m (JTE5), jarak terdekat dari hutan (JTHT), jarak terdekat dari sawah (JTSH) dan jarak terdekat dari badan air (JTBA). Model regresi logistik telah di validasi dan di ektrapolasi di Jawa Barat. Hasil validasi menunjukan bahwa model memiliki ommission error sebesar 20,34%. Dua puluh empat patches telah terdeteksi dari ektrapolasi model yang tersebar di wilayah Jawa Barat. Hasil analisis vegetasi mendapatkan bahwa keragaman di core habitat sedikit lebih rendah dari edge habitat. Hasil studi ini mengusulkan empat implikasi untuk pengelolaan habitat musim dingin SMA.

(5)

SUMMARY

PRESTI AMELIAWATI. Modeling wintering habitat distribution of migratory raptor “Oriental Honey-buzzards” based on satellite tracking data in West Java. Supervised by SYARTINILIA and YENI A MULYANI.

Raptors are at the top of the food chain, so their health depends on the health of the ecosystems they live in or migrate through. Thus, declines in raptor populations can indicate a problem in an ecosystem that raptors depend on. This study aims : 1) to build the distribution model of the OHB wintering habitat based on the data of satellite tracking in Talaga Bodas and surrounding areas; 2) to extrapolate the model for the entire province of West Java; 3) to analyze specific aspects of vegetation microhabitats in Talaga Bodas; 4) to develop wintering habitat management implications of OHB in West Java. This project was conducted in Talaga Bodas and surrounding areas then the model were validated in the other areas in West Java Province.

Main methodology was combining satellite-tracking data of OHB with the GIS/remote sensing analysis, spatial modeling and vegetation analysis. Analyses were based on the comparison features (environmental variables) at the presence and pseudo-absence sites of OHB, which were detected from satellite-tracking data. Vegetation analysis to count Important Value Index and Diversity - Shanon Wiener Index in Talaga Bodas.

The result, from 18 environmental variables, only 7 variables were detected as important variable for characteririzing the distribution of wintering habitat. Wintering habitat distribution model were predominantly influenced by slope 25%-40% (DS5), elevation 0-100 m (DE1), elevation 100-300 m (DE2), elevation >1000 m (DE5), forest (DFT), paddy field (DPF) and water body (DWB). Before the logistic regression model extrapolated in West Java, has been validated beforehand. Validation results showed that this model has an ommision error of 20,34%. 24 patches were detected from model extrapolation which is scattered in the region of West Java. The results of the vegetation analysis’s known that the core habitat biodiversity tend to have slightly less variable than the edge habitats. Results of this study suggested four implications for wintering habitat management of OHB.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Arsitektur Lanskap

PEMODELAN DISTRIBUSI HABITAT MUSIM DINGIN DARI

RAPTOR MIGRAN SIKEP MADU ASIA

(Pernis ptylorhynchus)

DI JAWA BARAT BERBASIS DATA

SATELLITE-TRACKING

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(8)
(9)

Judul Tesis : Pemodelan Distribusi Habitat Musim Dingin dari Raptor Migran Sikep Madu Asia (Pernis ptylorynchus) di Jawa Barat Berbasis Data Satellite Tracking

Nama : Presti Ameliawati NIM : A451110071

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Syartinilia, SP, MSi Ketua

Dr Ir Yeni A Mulyani, MSc Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Arsitektur Lanskap

Dr. Ir. Nizar Nasrullah, MAgr Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2012 ini ialah pengelolaan dan pemodelan, dengan judul Pemodelan Distribusi Habitat Musim Dingin dari Raptor Migran Sikep Madu Asia (Pernis ptylorynchus) di Jawa Barat Berbasis Satellite Tracking.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Syartinilia, SP, MSi dan Ibu Dr Ir. Yeni A Mulyani, MSc selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Dr Ir. Nizar Nasrullah, MAgr selaku Ketua Program Studi Arsitektur Lanskap atas semangat dan dukungannya. Penelitian ini merupakan rangkaian penelitian dalam kerjasama peneliti yang berjudul “Hibah Kerjasama Luar Negeri dan Publikasi Internasional No. 203/SP2H/PL/Dit.Litabmas/IV/2012 Tahun Anggaran 2012 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) dengan ketua tim Dr Syartinilia SP, MSi.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof Hiroyoshi Higuchi (Prof Keio University, Jepang) atas kesediannya memberikan izin kepada penulis untuk menggunakan data Satellite Tracking dari individu Sikep Madu Asia (SMA) juga kepada teman-teman penulis yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(12)

DAFTAR ISI

1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2Perumusan Masalah 4

1.3 Tujuan Penelitian 4

1.4 Manfaat Penelitian 4

1.5 Ruang Lingkup Penelitian 4

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

2.1 Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat 6

2.2 Habitat Burung Migrasi 6

2.3 Core Habitat dan Edge Habitat 7

2.4 Sikep Madu Asia (Pernis ptilorhyncus) 8

2.5 Pola Habitat Raptor 10

2.6 Sistem Informasi Geografis dan Satellite tracking 10

3 METODE 12

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 12

3.2 Alat dan Bahan 12

3.3 Metodologi Penelitian 18

3.3.1 Penutupan Lahan 18

3.3.2 Variabel Lingkungan 23

3.3.3 Analisis Regresi Logistik 24

3.3.4 Uji Kelayakan Model 26

3.3.5 Validasi Model 26

3.3.6 Analisis Vegetasi 26

3.3.7 Ekstrapolasi Model 30

3.3.8 Output 30

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 31

4.1 Model Distribusi Habitat Musim Dingin SMA 31

4.2 Ekstrapolasi Model di Jawa Barat 38

4.3 Habitat Mikro Khusus Aspek Vegetasi di Talaga Bodas 43 4.4 Implikasi Pengelolaan Habitat Musim Dingin SMA 48

(13)

DAFTAR TABEL

3.1 Jenis Data, Sumber dan Kegunaannya 12

3.2 Kelas Penutupan Lahan dan Deskripsinya 19

3.3 Luas Penutupan Lahan dari Alos Avnir2/29 Oktober 2009 21

3.4 Klasifikasi Faktor Kemiringan Lahan 23

3.5 Data Variabel Lingkungan 23

4.1 Hasil uji T-test untuk 18 Variable Lingkungan 31 4.2 T-test, Akurasi Hosmer-Lemeshow dan Nagelkerke (R²) dengan

metode Forward Stepwise (LR)

(14)

DAFTAR GAMBAR

1.1 Sikep Madu Asia (Pernis ptilorhyncus) 1

1.2 Mekanisme Satellite Tracking dengan ARGOS 2

1.3 Jalur Migrasi Sikep Madu Asia 3

1.4 Grafik Distribusi Situs-Situs Habitat Musim Dingin (49 SMA) dari Tahun 2003-2010

3 1.5 Kerangka Pikir dalam Pembuatan Model Distribusi Habitat

Musim Dingin untuk Sikep Madu Asia

5

3.1 Lokasi Penelitian 13

3.2 Peta Elevasi untuk Model 14

3.3 Peta Kemiringan Lahan untuk Model 15

3.4 Data Satellite- Tracking SMA di Jawa Barat 16

3.5 Data Core - Edge Habitat SMA di Jawa Barat 17

3.6 Bagan Alir Studi 18

3.7 Penutupan lahan di Talaga Bodas sebagai core dan edge habitat 20 3.8 Peta Penutupan Lahan Alos Avnir2/29 Oktober 2009 21 3.9 Peta Penutupan Lahan Untuk Ekstrapolasi Model 22 3.10 Contoh petak pengamatan menggunakan metode Jalur Berpetak 27 3.11 Letak titik petak pengamatan untuk analisis vegetasi 28 4.1 Model Habitat Musim Dingin SMA di Talaga Bodas 33 4.2 Model Validasi Habitat Musim Dingin SMA di Talaga Bodas 33 4.3 Kondisi Sawah di Talaga Bodas 35 4.4 Hutan Pinus di Talaga Bodas 35 4.5 Kaliandra Gunung yang Banyak ditemukan di Talaga Bodas 36 4.6 Kontur Daerah Perbukitan di Talaga Bodas 36 4.7 Kondisi Lanskap di Talaga Bodas 37 4.8 View Pemandangan di Talaga Bodas 37 4.9 Kondisi Satoyama di Talaga Bodas 37 4.10 Grafik Ekstrapolasi model di Jawa Barat 38 4.11 Ekstrapolasi Model Habitat Musim Dingin SMA di Jawa Barat 40 4.12 Kaliandra Gunung (Calliandra callothyrsus) 46 4.13 Apis Mellifera di Tanaman Kaliandra 46 4.14 Struktur Vertikal Vegetasi di Core Habitat 47 4.15 Struktur Vertikal Vegetasi di Edge Habitat 47 4.16 Ilustrasi dari patch-patch habitat yang terisolasi dapat kembali

dihubungkan oleh koridor hijau (green corridor)

48

4.17. Ilustrasi shelterbelts 49

4.18 Pola Tanam Shelterbelts 49

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Nilai Akurasi Umum dan Akurasi Kappa 58

2. Penampakan Training Area pada ALOS AVNIR2 tahun 2009 58 3. Peta Euclidean (Jarak Terdekat dengan Badan Air) 59 4. Peta Euclidean (Jarak Terdekat dengan Hutan) 60 5. Peta Euclidean (Jarak Terdekat dengan Ladang) 61 6. Peta Euclidean (Jarak Terdekat dengan Lahan Terbuka) 62 7. Peta Euclidean (Jarak Terdekat dengan Permukiman) 63 8. Peta Euclidean (Jarak Terdekat dengan Sawah) 64 9. Peta Euclidean (Jarak Terdekat dengan Semak Belukar) 65 10. Peta Euclidean (Jarak Terdekat dengan Kemiringan 0-3%) 66 11. Peta Euclidean (Jarak Terdekat dengan Kemiringan 3-8%) 67 12. Peta Euclidean (Jarak Terdekat dengan Kemiringan 8-15%) 68 13. Peta Euclidean (Jarak Terdekat dengan Kemiringan 15-25%) 69 14. Peta Euclidean (Jarak Terdekat dengan Kemiringan 25-40%) 70 15. Peta Euclidean (Jarak Terdekat dengan Kemiringan >40%) 71 16. Peta Euclidean (Jarak Terdekat dengan Elevasi 0-300 m) 72 17. Peta Euclidean (Jarak Terdekat dengan Elevasi 300-500 m) 73 18. Peta Euclidean (Jarak Terdekat dengan Elevasi 500-700 m) 74 19. Peta Euclidean (Jarak Terdekat dengan Elevasi 700-1000 m) 75 20. Peta Euclidean (Jarak Terdekat dengan Elevasi >1000 m) 76

21. Uji - T test 77

22. Prosedur Stepwise Forward 78 23. Data Hasil Pengamatan Fase Pohon di Core Habitat SMA dengan

metode petak contoh yang luasannya 20 m x 20 m

79 24. Data Hasil Pengamatan Fase Tiang di Core Habitat SMA dengan

metode petak contoh yang luasannya 10 m x 10 m

79 25. Data Hasil Pengamatan Fase Pancang di Core Habitat SMA

dengan metode petak contoh yang luasannya 5 m x 5 m

80 26. Data Hasil Pengamatan Fase Semai di Core Habitat SMA dengan

metode petak contoh yang luasannya 2 m x 2 m

80 27. Data Hasil Pengamatan Fase Pohon di Edge Habitat SMA dengan

metode petak contoh yang luasannya 20 m x 20 m

80 28. Data Hasil Pengamatan Fase Tiang di Core Habitat SMA dengan

metode petak contoh yang luasannya 10 m x 10 m

81 29. Data Hasil Pengamatan Fase Pancang di Core Habitat SMA

dengan metode petak contoh yang luasannya 5 m x 5 m

81 30. Data Hasil Pengamatan Fase Semai di Core Habitat SMA dengan

metode petak contoh yang luasannya 2 m x 2 m

(16)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Raptor merupakan pemangsa (top predator) yang berada di puncak rantai makanan, sehingga populasinya tergantung pada ekosistem dimana mereka tinggal atau bermigrasi (Meyburg dan Lobkow 1994). Kata ‘raptor’ secara khusus bisa bermakna “pemburu binatang lain yang ganas” (Supriatna 2010). Kata ‘raptor’ berasal dari bahasa Latin ‘raptare’ yang artinya “mencengkram dan membawa pergi”. Menurut Sujatnika et al. (1995) secara anatomis raptor adalah burung yang memiliki ciri-ciri khas yang membedakan mereka dari kelompok burung lainnya, yaitu kaki dengan cakar yang tajam, paruh yang kuat dan bagian atasnya melengkung, serta mata yang tajam.

Raptor cukup sensitif terhadap perubahan ekosistem dan rentan terhadap polutan (Yamaguchi et al. 2008). Oleh karena itu, keberadaan mereka telah diakui secara luas sebagai spesies indikator untuk keberlanjutan ekosistem dalam skala global (makro). Sebagai top predator dalam ekosistem, raptor memiliki ciri diantaranya yaitu populasi sedikit, sensitif terhadap kontaminasi polutan kimia, dan sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan (Supriatna 2010). Jadi hilangnya jenis raptor merupakan indikasi terganggunya keseimbangan ekologis. Dengan adanya perlindungan raptor, akan mengakibatkan adanya konservasi keanekaragaman hayati dan perlindungan ekosistem yang sehat untuk menjaga kelangsungan lingkungan hidup manusia.

Indonesia tercatat memiliki 75 jenis raptor (Sukmantoro 2007). Jenis-jenis raptor ada yang penetap, endemik, dan bermigrasi. Salah satu raptor yang bermigrasi adalah Sikep Madu Asia (SMA) (Gambar 1.1). Sikep Madu Asia (Pernis ptilorhynchus) atau sering dikenal dengan istilah Oriental Honey Buzzards (OHB) adalah burung migran pemangsa yang hidup di kawasan hutan, kawasan lahan yang terolah, dan semi-gurun (Ferguson dan Christie 2005). SMA mempunyai kebiasaan mengambil sarang tawon larva dan lebah (Hasanah et al. 2011). SMA memiliki habitat yang umumnya digunakan untuk tiga tujuan, yaitu reproduksi (breeding habitat), persinggahan (stop-over habitat), dan tinggal sementara pada waktu musim dingin (wintering habitat).

(17)

Menyadari betapa pentingnya keberadaan suatu jenis raptor secara ekologis, maka sangat penting mengetahui status keterancaman dan upaya konservasinya agar keberadaan raptor bisa terselamatkan dari kepunahan. Menurut Birdlife International IUCN (The International Union for Conservation of Nature) (2012), SMA merupakan salah satu spesies yang masuk dalam daftar merah. Degradasi hutan yang parah dan perburuan liar telah mengancam dan menghancurkan habitat raptor-raptor penting di Indonesia termasuk SMA (Syartinilia et al. 2013). Perdagangan ilegal juga diakui sebagai salah satu ancaman besar yang masih ditemukan di beberapa lokasi di Indonesia meskipun semua spesies raptor dilindungi oleh Undang-Undang No 5 tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah No 7 dan 8 tahun 1999. Alasan tersebut telah mengancam kelangsungan hidup raptor migran di Asia khususnya SMA. Penurunan populasi SMA dapat menunjukkan adanya masalah dalam sebuah ekosistem. Oleh karena itu, diperlukan sebuah model yang dapat memprediksi kemungkinan distribusi habitat musim dingin bagi SMA.

Dalam penelitian Syartinilia and Tsuyuki (2008), diketahui bahwa untuk mempelajari gerakan dan melacak rute migrasi raptor dibutuhkan data satellite tracking. Data satellite tracking merupakan alat yang ampuh untuk mengetahui pergerakan satwa terutama ketika satwa tersebut melakukan pergerakan pada skala global/bermigrasi (Cohn 1999; Webster et al. 2002). Menurut Argos (1996), teknik ini berguna untuk mengetahui gerakan burung jarak jauh pada skala spasial yang lebih besar (Gambar 1.2).

Gambar 1.2 Mekanisme Satellite Tracking dengan ARGOS (Sumber : Higuchi et al. 2005)

(18)

tracking juga diketahui bahwa sebanyak 49 SMA telah berhasil dilacak sejak tahun 2003 yang salah satu habitat musim dinginnya (wintering habitat) berada di kawasan Jawa Barat (Gambar 1.3) dan sebagian besar telah mengunjungi Kalimantan (47%).

Gambar 1.3 Jalur migrasi Sikep Madu Asia (Sumber : Argos 2003-2004) Sikep Madu Asia (Pernis ptilorhynchus) merupakan salah satu burung yang memiliki data base paling bangus dan lengkap untuk membangun data presence dan data absence sehingga diketahui variabel dependent dan variabel lingkungannya untuk membuat permodelan. Tapi hanya dua individu SMA yang berhasil terlacak di Pulau Jawa (Gambar 1.4) dan hanya satu individu yang berada di Jawa Barat, tepatnya di daerah Talaga Bodas.

(19)

Talaga Bodas merupakan core habitat (habitat inti) dari SMA. Core habitat adalah habitat utama SMA dan memiliki tingkat perlindungan yang cukup tinggi, terutama dari gangguan seperti bising, angin, radiasi surya, dan peningkatan predator (Tietje 2000). Core habitat memiliki bagian terluar atau bagian penyangga yang disebut edge habitat (habitat pinggir). Edge habitat SMA berada dikawasan sekitar Talaga Bodas. Kurangnya informasi dan minimnya data distribusi habitat musim dingin SMA telah memberikan dampak degradasi lahan dan pembangunan liar dibeberapa kawasan disekitar Talaga Bodas. Oleh karena itu, informasi mengenai distribusi habitat musim dingin habitat bagi SMA di Jawa Barat benar-benar diperlukan karena kerusakan habitat menjadi sangat tinggi (Pemda 2008).

1.2 Perumusan Masalah

Permasalahan yang dikaji adalah belum diketahuinya distribusi spasial habitat musim dingin SMA yang merupakan prasyarat untuk memahami ekologi, karakteristik lanskap, serta pengelolaan habitat raptor migran pada umumnya dan habitat musim dingin SMA pada khususnya. Untuk mengetahui hal tersebut perlu diidentifikasi komponen penting yang membentuk karakter habitat musim dingin SMA. Dengan mengintegrasikan data presence dan pseudo-absence (variabel dependent) dengan variabel lingkungan (variabel independent) dan teknik GIS dapat menjadi data yang lebih akurat untuk menganalisis raptor migrasi dan membuat pemodelan distribusi habitat mereka. Untuk sampel lokasi permodelan, dipilih kawasan Talaga Bodas dan sekitarnya sebagai core habitat wintering dari SMA. Model ini juga diekstrapolasi di wilayah Jawa Barat (skala meso) dan dilakukan analisis vegetasi untuk melihat perilaku dan habitat SMA (Gambar 1.5).

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang dilakukan adalah : 1) membangun model distribusi habitat musim dingin SMA berdasarkan data satellite tracking di Talaga Bodas dan sekitarnya; 2) mengekstrapolasi model untuk seluruh Provinsi Jawa Barat; 3) menganalisis habitat mikro khusus aspek vegetasi di Talaga Bodas; 4) menyusun implikasi model distribusi habitat musim dingin untuk pengelolaan habitat musim dingin SMA di Jawa Barat.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak pengelola kawasan untuk mengembangkan rencana pengelolaan habitat musim dingin SMA pada khususnya dan raptor migran pada umumnya.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

(20)
(21)

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat

Model diartikan sebagai abstraksi atau penyederhanaan dari sistem yang sebenarnya (Darsihardjo 2004). Model juga dapat diartikan sebagai suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses (Muhammad et al. 2001). Semakin sederhana dan mewakili kenyataan, maka model tersebut semakin baik. Bentuknya dapat berupa model fisik (maket, bentuk prototipe), model citra (gambar, komputerisasi, grafis), atau rumusan matematis. Untuk setiap model keputusan berisi variabel-variabel keputusan. Solusi model merupakan nilai numerik (Muhammad et al. 2001). Dalam konteks model keputusan kuantitatif, keputusan-keputusan diwakili oleh bilangan-bilangan keputusan berdasarkan atas evaluasi dari data numerik. Menurut Muhammad et al. (2001) model kuantitatif mendasarkan pada data numerik. Sifat model terdiri dari deterministik (data sudah diketahui secara pasti tingkat kevalidannya) dan probabilistik (sejumlah data masih tidak pasti kevalidannya).

Permodelan model merupakan penyederhanaan bentuk nyata. Sedangkan lanskap merupakan bentang alam yang ada di permukaan bumi. Pemodelan Arsitektur lanskap adalah bagaimana membangun model yang dapat menerangkan hubungan antar parameter/variabel dalam lanskap dan dengan simulasi yang dibuat dapat menciptakan lanskap yang ideal (harmonis, serasi, indah, dan nyaman) (Hadi 2012).

Permodelan kesesuaian habitat satwa liar merupakan suatu analisis hubungan kompleks antara beberapa variasi faktor lingkungan yang tersedia, yang merupakan kabutuhan hidup dari satwa liar dalam bentuk geografis (Coop dan Catling 2002). Model kesesuaian habitat diperlukan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan tentang pengelolaan, menjelaskan manfaat relatif teknik-teknik mitigasi, evaluasi metode restorasi, dan membantu dalam evaluasi dampak habitat (Korman et al. 1994).

2.2 Habitat Burung Migrasi

Selama migrasi, burung pemangsa memiliki habitat-habitat yang umumnya digunakan untuk tiga tujuan, yaitu reproduksi (breeding site), persinggahan (stop-over), dan tinggal sementara pada masa musim dingin (wintering site). Tempat reproduksi ialah tempat yang digunakan oleh suatu spesies untuk melakukan proses reproduksi. Stopover didefinisikan sebagai tempat burung yang bermigrasi berhenti sementara untuk beberapa waktu tertentu pada rute migrasi. Selama pemberhentian sementara, burung menggunakan habitat untuk beristirahat, berkumpul dan mencari makan. Lokasi stopover ialah lokasi yang menjadi rute migrasi dan tempat singgah sementara bagi burung pemangsa selama sekitar satu minggu atau lebih. Aktivitas persinggahan ini seringkali digunakan untuk antisipasi terhadap migrasi yang melewati habitat yang tidak terlalu baik (Bildstein 2006).

(22)

karena itu, burung pemangsa bermigrasi menuju lokasi yang lebih hangat. Lokasi yang lebih hangat ini disebut sebagai habitat musim dingin. Habitat musim dingin (wintering site) didefinisikan sebagai area dimana SMA tinggal di dalam area yang kurang dari diameter 30 km dalam kurun waktu 24 jam (Higuchi dan Pierre 2005).

2.3 Core Habitat dan Edge Habitat

Habitat adalah kawasan yang terdiri dari berbagai komponen, baik fisik maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang biaknya satwa liar (Alikodra 1990). Satwa liar menempati habitat sesuai dengan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya (Alikodra1990). Habitat inti (core habitat) atau interior ialah habitat yang memiliki tingkat isolasi yang tinggi dari gangguan seperti bising, angin, radiasi surya, dan peningkatan predator (Tietje 2000). Habitat pinggir (edge habitat) adalah tempat yang terdiri dari sekumpulan tumbuhan bertemu dengan daerah suksesi atau sekumpulan tumbuhan lain. Area ini dipengaruhi oleh transisi antara komunitas yang disebut sebagai ecotone. Area ini umumnya lebih kaya satwaliar dibanding area sekitarnya. Edge habitat memiliki karakteristik yang mempengaruhi ukuran dari edge habitat dan tingkat kekayaan habitat tersebut (Thomas 1979).

Edge habitat merupakan bagian terluar dari suatu inti (patch) yang memiliki nilai lingkungan berbeda dengan bagian inti. Luasan area ini dapat berukuran kecil sampai ratusan meter bergantung pada faktor lingkungan (Tietje 2000). Core habitat merupakan area yang memiliki tingkat perlindungan yang cukup tinggi. Core habitat umumnya dikelilingi oleh edge habitat. Fungsi dari edge habitat ini di antaranya sebagai penyangga yang dapat menjamin aktivitas penggunaan lahan yang tidak mengancam integritas dari fungsi core habitat. Edge habitat ini juga berfungsi untuk menciptakan koridor satwa liar dan konektivitas diantara kedua core habitat.

Area yang dikelilingi oleh kawasan lahan basah (wetlands) dan sungai memiliki fungsi lebih dari sekedar area untuk melindungi sumber daya akuatik, tetapi area ini dapat disebut sebagai core habitat untuk spesies tertentu. Area ini dapat dijadikan sebagai kriteria baru untuk mengevaluasi, melindungi dan mengelola area kritis. Habitat ini penting untuk menyelamatkan jumlah spesies dan melestarikan keanekaragaman biologis (Semlitsch and Jensen 2001). Zona penyangga (edge habitat) mendapat perhatian yang lebih besar dari para ahli konservasi dan peneliti dikarenakan nilainya dalam melindungi sumber akuatik. Keberadaan zona penyangga (edge habitat) harus berada di sekitar area daratan yang menjadi core habitat. Edge habitat ini diperlukan untuk melindungi habitat daratan dan akuatik dari pemanfaatan tata guna lahan yang bisa merusak area tersebut. Ketika core habitat menopang populasi agar dapat hidup, edge habitat berfungsi untuk melindungi sumber daya air (Semlitsch dan Jensen 2001).

2.4 Sikep Madu Asia (Pernis ptilorhyncus)

(23)

masuk dalam subphyllum Vertebrata dan kelas Aves. Sementara dalam pembagian Ordo, dimasukkan kedalam golongan Falconiformes yaitu keluarga Elang dengan Familly Accipitridae dan Genus Pernis. Seperti makhluk lainnya, Sikep Madu Asia (SMA) memiliki perbedaan fisik untuk golongan jantan dan betina. Sikep Madu Asia (Pernis ptilorhynchus) atau sering dikenal dengan istilah Oriental Honey Buzzards adalah burung pemangsa yang hidup di kawasan hutan, kawasan lahan yang terolah, dan semi-gurun (Ferguson and Christie 2005).

Burung ini berukuran sedang antara 45 cm-50cm. Warna sangat bervariasi dalam bentuk, terang, normal, dari dua ras yang berbeda. Masing-masing ,meniru elang yang berbeda dalam pola warna bulu. Terdapat garis-garis pada ekor yang tidak teratur. Semua bentuk memiliki tenggorokan berbercak pucat kontras, dibatasi oleh garis tebal hitam. Ciri khas ketika terbang, kepala relatif kecil menyempit, leher agak panjang, sayap panjang menyempit, ekor berpola. Pada saat soaring ekor cenderung mengembang. Iris jingga, paruh abu-abu, beberapa perjumpaan memiliki sera kuning, bulu berbentuk sisik (Ornithological Society of Japan 2000).

Sikep Madu Asia (SMA) berkembang biak di bagian Selatan Siberia, Utara Mongolia, Timur Laut Cina, Korea dan Jepang yang kemudian bermigrasi ke arah Selatan pada musim dingin (Ornithological Society of Japan 2000). SMA ini merupakan salah satu dari burung pemangsa yang bermigrasi yang menghabiskan waktu musim dingin di Asia Tenggara yang dijadikan sebagai habitat musim dingin. SMA terdistribusi ke Filipina, Malaysia, Indonesia, dan Timor Leste. (Ornithological Society of Japan 2000). Semua SMA yang bermigrasi ke Asia Tenggara akan bergerak menuju semenanjung Malaysia, tetapi arah dan titik pangkalan berbeda antar individu. Setelah mencapai Sumatera, tujuh burung mengubah arah pergerakan ke arah timur laut: satu individu tiba di Pulau Mindanau dan enam individu mengakhiri migrasi untuk menetap selama musim dingin di Pulau Kalimantan (Yamaguchi et al. 2008).

Setiap tahunnya, SMA melakukan dua tipe migrasi, yaitu migrasi musim gugur (autumn migration) dan migrasi musim semi (spring migration). Migrasi musim gugur yang dilakukan oleh individu SMA dilakukan pada bulan September dari breeding habitat di Jepang kemudian sampai di habitat musim dingin di kawasan Asia Tenggara sekitar bulan Desember (Argos 2003). Migrasi musim semi dilakukan pada akhir bulan Februari dari habitat musim dingin. Individu SMA kembali ke habitat asalnya sekitar bulan Mei (Higuchi et al. 2005). Alasan adanya perbedaan rute migrasi di antara dua spesies SMA belum diketahui.

2.5 Pola Habitat Raptor

Elang merupakan satwaliar pengguna ruang yang cukup baik, yang terlihat dari penyebarannya, baik secara horizontal maupun vertikal. Berdasarkan stratifikasi penggunaan ruang pada profil hutan maupun penyebaran secara horizontal pada berbagai tipe habitat, menunjukkan adanya kaitan yang erat antara raptor dengan lingkungan hidupnya terutama dalam pola adaptasi dan strategi untuk memperoleh sumber pakan (Peterson 1980).

(24)

melakukan aktivitasnya, dibandingkan dengan habitat yang rapat dan tertutup. Penyebaran vertikal pada jenis-jenis raptor dapat dilihat dari stratifikasi ruang pada profil hutan.

Berdasarkan stratifikasi profil hutan maka dapat diperoleh gambaran mengenai raptor dalam memanfaatkan ruang secara vertikal, yang terbagi dalam kelompok raptor penghuni bagian paling atas tajuk hutan, raptor penghuni tajuk utama, raptor penghuni tajuk pertengahan, penghuni tajuk bawah, raptor penghuni semak dan lantai hutan, selain itu juga terdapat kelompok raptor yang sering menghuni batang pohon (Peterson 1980). Penyebaran jenis-jenis raptor sangat dipengaruhi oleh kesesuaian tempat hidup raptor, meliputi adaptasi raptor terhadap lingkungan, kompetisi, strata vegetasi, ketersediaan pakan dan seleksi alam (Peterson 1980)

2.6 Sistem Informasi Geografis dan Satellite Tracking

Sistem Infomasi geografis (SIG) merupakan perangkat lunak komputer yang mampu memetakan dan menganalisa data geografis. SIG juga dikenal sebagai sistem komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi geografis (Aronoff 1991). Menurut ESRI (1995), Sebuah sistem komputer yang mampu memegang dan menggunakan data, yang menggambarkan tempat-tempat di permukaan bumi. Sedangkan menurut Lang (1998), GIS adalah berbagai aplikasi perangkat lunak yang berjalan pada PC atau workstation, yang menyimpan, menganalisis, dan menampilkan beberapa lapisan informasi geografis. Teknologi ini dirancang untuk pengumpulan, penyimpanan, dan menganalisis objek dan fenomena dimana lokasi geografis merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk suatu analisis, meng-overlay, memetakan, membuat modeling, dan mencari solusi yang dibuat dalam bentuk geografis.

SIG juga merupakan sebuah sistem komputerisasi yang memungkinkan kita untuk mempelajari fenomena geografis melalui representasi komputer. Untuk tujuan ini, SIG akan memungkinkan kita untuk melakukan tiga tahapan dasar kerja, diantaranya:

1. Data entry: tahap awal di mana data tentang fenomena dipelajari, dimasukkan ke dalam SIG, dan merepresentasikan yang akan dibuat,

2. Analisis data: tahap menengah di mana representasi dapat dimanipulasi dan dipelajari untuk mendapatkan wawasan baru,

3. Data presentasi: tahap akhir di mana hasil analisis disajikan (dalam peta atau sebaliknya)

(25)

3

METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian terletak di kawasan Talaga Bodas yang merupakan core habitat dari SMA. Secara administratif, Talaga Bodas merupakan daerah yang berlokasi ditengah-tengah Kabupaten Tasikmalaya dan Garut, Provinsi Jawa Barat. Sedangkan model ektrapolasi dilakukan di daerah lain yang termasuk wilayah Jawa Barat. Penelitian ini telah berlangsung sejak bulan September 2012 dan diakhiri sampai bulan Februari 2014. Adapun Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.1.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dan penelitian ini adalah kamera digital, teropong binokular, Global Positioning System (GPS), alat tulis, meteran, perangkat lunak (software) seperti ArcGIS 10, SPSS 16, ERDAS Imagine 9.1, dan RAMAS GIS yang juga digunakan untuk proses analisis dan pembuatan model. Penelitian memerlukan data yang dikumpulkan meliputi aspek fisik dan biologi. Adapun kebutuhan untuk jenis data, sumber dan kegunaannya dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Jenis data, sumber dan kegunaannya

Jenis Data Unit Sumber Kegunaan Data

Aspek Fisik

a. Peta Administrasi Jawa Barat

Vektor, Polygon Syartinilia 2012 Membangun

model habitat

Raster, Polygon Syartinilia 2012 (Gambar 3.5)

Spesies Survei (mencatat) Menganalisis

habitat mikro b. INP & Indeks

(26)

Ga

mbar

3.

1

L

oka

si

p

ene

li

ti

an

(S

umber

:

S

ya

rti

nil

ia

(27)
(28)

Ga

mbar

3.

3

P

eta

Ke

mi

ringan/

slope

di

J

awa

B

ar

at

(S

umber

:

AST

E

R

GD

E

M

(29)
(30)
(31)

3.3 Metodologi Penelitian

Metodologi utama yang digunakan dalam penelitian adalah menggabungkan data satellite tracking (presence) dan pseudo absence dengan variabel lingkungan. Analisis dilakukan dalam dua tahap yang berbeda. Tahap pertama untuk pembuatan model distribusi habitat musim dingin dan ekstrapolasi se-Jawa Barat. Tahap kedua adalah analisis vegetasi di kawasan core dan edge habitat di Talaga Bodas. Pada tahap pertama dilakukan berbagai kegiatan antara lain pembuatan peta penutupan lahan, data presence dan pseudo-absence, peta variabel lingkungan, model regresi logistik, validasi model dan ekstrapolasi model. Tahap kedua dilakukan perhitungan Indeks Nilai Penting (INP) dan tingkat keanekaragaman vegetasi pada fase pohon, tiang, pancang dan semai di core dan edge habitat di Talaga Bodas. Setelah itu, barulah disusun implikasi pengelolaan habitat musim dingin SMA di Jawa Barat sesuai hasil penelitian. Bagan alir studi ini disajikan pada Gambar 3.6.

Gambar 3.6 Bagan alir studi

3.3.1 Penutupan Lahan

(32)

pengambilan titik tujuh kelas penutupan lahan, pengamatan secara langsung di lokasi penelitian dan melakukan dokumentasi keadaan tapak. Data satelit citra yang digunakan pada penelitian ini adalah citra ALOS AVNIR2/29 Oktober 2009 dengan resolusi 10 m x 10 m dan citra LANDSAT (path/row: 121/065/13 Oktober 2009 dan path/row: 122/065/Agustus 2009) dengan resolusi 30 m x 30 m. Sebelum diinterpretasi, dilakukan pra-proses pada citra atau proses koreksi geometrik (WGS 1984 UTM Zone 48S).

Menurut Ariyanty (2011), klasifikasi citra dihasilkan dari Supervised Classification dengan menggunakan metode Maximum Likelihood yang menggunakan area latihan (training area) yang diperoleh dari hasil ground check. Penutupan lahan yang diperoleh kemudian diuji akurasinya menggunakan accuracy assesment dari software ERDAS Imagine 9.1. Tingkat akurasi yang bisa dipercaya adalah minimal 75% untuk akurasi keseluruhan (Ariyanty 2011). Klasifikasi ini dilakukan dengan menggunaan arahan analisis (supervised).

Kriteria pengelompokkan kelas ditetapkan berdasarkan penciri kelas yang diperoleh dari pembuatan training area. Pada penelitian ini, metode yang digunakan adalah Metode Peluang Maksimum (Maximum Likelihood Classifier). Metode ini merupakan metode yang paling umum digunakan dan merupakan metode standar. Metode ini mempertimbangkan peluang dari suatu piksel untuk dikelaskan ke dalam kelas atau kategori tertentu. Dapat dihitung dengan menghitung persentase tutupan pada citra yang akan diklasifikasi.

Training area diperlukan dalam setiap kelas yang dibuat dan harus bisa melihat secara jelas perbedaan yang tampak pada citra. Masing-masing training area mewakili satu kelas atau kategori penutupan lahan. Sebelum dilakukan training area, ditetapkan batasan mengenai kelas yang akan diklasifikasikan. Training area tidak hanya digunakan untuk proses klasifikasi, tetapi juga digunakan untuk proses akurasi hasil klasifikasi (Ariyanty 2011). Perbandingan bobot training area sebagai sampel untuk proses klasifikasi dan akurasi adalah 75% : 25% dari total training area yang dibuat. Adapun kelas penutupan lahan yang terdapat di wilayah Telaga BODAS dibagi menjadi tujuh kelas (Gambar 3.7 dan Tabel 3.2).

Tabel 3.2 Kelas penutupan lahan dan deskripsinya

No Kelas Penutupan

Lahan

Deskripsi

1 Badan Air Seluruh kawasan dengan kenampakkan perairan, termasuk

sungai, danau dan waduk.

2 Sawah Seluruh kawasan berupa pertanian lahan yang ditanami padi.

3 Permukiman Seluruh kawasan pemukiman padat (perumahan) atau bangunan

lainnya.

4 Semak/Belukar Seluruh kawasan yang terdiri dari campuran antara vegetasi tinggi dan vegetasi rendah yang tumbuh secara liar dan belum termanfaatkan.

5 Kebun/Perkebunan Seluruh kawasan kenampakkan kebun dengan jenis vegetasi teh. 6 Lahan Kering Seluruh kawasan berupa pertanian lahan kering yang ditanami

non-padi seperti singkong, umbi-umbian, jagung, sayuran.

7 Hutan Seluruh hamparan baik kering maupun basah yang didominasi

(33)

Gambar 3.7 Penutupan lahan di Talaga Bodas sebagai core dan edge habitat SMA (Sumber : Data Lapang)

Hasil penutupan lahan (ALOS AVNIR2) yang didapat untuk pembuatan model habitat musim dingin bagi SMA dapat dilihat pada Gambar 3.8. Nilai akurasi umum hasil klasifikasi terbimbing dalam peta penutupan lahan tahun 2009 ini adalah sebesar 88,60%, sedangkan akurasi kappa yang diperoleh sebesar 85,62%. Akurasi ini dapat diterima karena sesuai dengan tingkat akurasi yang bisa dipercaya, yaitu minimal 75% untuk akurasi keseluruhan menurut Syartinilia, 2004.

(34)

Gambar 3.8 Peta penutupan lahan Alos Avnir2/29 Oktober 2009 (Sumber : Data Analisis)

Tabel 3.3 Luas penutupan lahan dari Alos Avnir2/29 Oktober 2009

No Penutupan Lahan Luasan (ha) Persentase

1 Hutan 100,574.00 21,28%

2 Kebun 38,176.90 8,07%

3 Semak 9,441.31 1,99%

4 Lahan Kering 50,604.80 10,7%

5 Sawah 219,374.00 46,01%

6 Permukiman 54,217.70 11,47%

7 Badan Air 230.00 0,048%

(35)
(36)

3.3.2 Variabel Lingkungan

Setiap peta memiliki beberapa variabel lingkungan yang terklasifikasi, dimulai dari klasifikasi kemiringan lahan (slope), klasifikasi elevasi dan klasifikasi penutupan lahan. Menurut SK. Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980 dan No: 683/Kpts/Um/8/1981, kemiringan lahan (slope) dibagi menjadi enam kelas (Tabel 3.4). Sedangkan Klasifikasi elevasi berbentuk data kontinyu yang disesuaikan dengan distribusi data. Sebanyak 18 variabel lingkungan (euclidean distance) digunakan untuk pembuatan model distribusi habitat SMA (Tabel 3.5). Variabel lingkungan pada penelitian ini berbentuk jarak terdekat (euclidean distance) dengan rincian berupa enam jarak terdekat terhadap faktor kemiringan lahan, lima jarak terdekat terhadap faktor elevasi dan tujuh jarak terdekat terhadap penutupan lahan.

Tabel 3.4 Klasifikasi faktor kemiringan lahan

Kelas Kemiringan Lahan Klasifikasi

I 0-3% Datar

II 3-15% Agak datar

III 8-15% Bergelombang

IV 15-25% Berbukit

V 25-40% Pegunungan

VI >40% Pegunungan

Sumber :

SK. Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980 dan No: 683/Kpts/Um/8/1981 Tabel 3.5 Data variabel lingkungan

No Parameter Variabel Lingkungan Singkatan Sumber

1 Elevasi Jarak Terdekat ke Elevasi 0-300 meter JTE1 Ekstraksi

ASTER DEM menjadi

euclidean distance

2 Jarak Terdekat ke Elevasi 300-500 meter JTE2

3 Jarak Terdekat ke Elevasi 500-700 meter JTE3

4 Jarak Terdekat ke Elevasi 700-1000 meter JTE4

5 Jarak Terdekat ke Elevasi > 1000 meter JTE5

6 Kemiringan Lahan

Jarak Terdekat ke Kemiringan 0-3% JTK1 Ekstraksi dari

ASTER DEM yang dibuat menjadi peta

euclidean distance

7 Jarak Terdekat ke Kemiringan 3-8% JTK2

8 Jarak Terdekat ke Kemiringan 8-15% JTK3

9 Jarak Terdekat ke Kemiringan 15-25% JTK4

10 Jarak Terdekat ke Kemiringan 25-40% JTK5

11 Jarak Terdekat ke Kemiringan >40% JTK6

12 Penutupan Lahan

Jarak Terdekat ke Badan Air JTBA Ekstraksi peta

penutupan

14 Jarak Terdekat ke Lahan Kering JTLK

15 Jarak Terdekat ke Permukiman JTPK

16 Jarak Terdekat ke Semak Belukar JTSB

17 Jarak Terdekat ke Kebun JTKB

18 Jarak Terdekat ke Hutan JTHT

(37)

topografi yang disimpan dalam format raster, dimana setiap pikselnya dapat diolah untuk memperoleh model yang menunjukkan sudut arah datangnya sinar, kelas kemiringan lereng, serta relief bumi (Ambagau2010).

Untuk memperoleh jarak terdekat tersebut, seluruh peta diubah melalui proses recode/reclassify yang bertujuan untuk menyeragamkan informasi masing-masing piksel data menjadi bernilai 0 dan 1 dengan menggunakan Spatial Analysis Tools. Nilai 1 adalah nilai variabel lingkungan yang ingin diinformasikan sedangkan nilai 0 adalah nilai variabel lngkungan yang sementara dihilangkan informasinya. Setelah itu, peta-peta diubah melalui proses vector polygon. Proses ini bertujuan untuk mengubah data raster menjadi bentuk vektor. Pada akhirnya, peta-peta bentuk vektor akan diubah menjadi peta jarak terdekat (euclidean distance).

Fungsi euclidean distance adalah memberikan informasi tentang jarak dari setiap sel dalam raster ke sumber terdekat (ESRI 2007). Peta-peta euclidean distance yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari peta jarak terdekat dengan badan air (JTBA), peta jarak terdekat dengan hutan (JTHT), peta jarak terdekat dengan kebun (JTKB), peta jarak terdekat dengan lahan kering (JTLK), peta jarak terdekat dengan permukiman (JTPK), peta jarak terdekat dengan sawah (JTSH), peta jarak terdekat dengan semak (JTSB), peta jarak terdekat dengan slope 0-3% (JTK1), peta jarak terdekat dengan slope 3-8% (JTK2), peta jarak terdekat dengan slope 8-15% (JTK3), peta jarak terdekat dengan slope 15-25% (JTK4), peta jarak terdekat dengan slope 25-40% (JTK5), peta jarak terdekat dengan slope >40% (JTK6), peta jarak terdekat dengan elevasi 0-300 m (JTE1), peta jarak terdekat dengan elevasi 300-500 m (JTE2), peta jarak terdekat dengan elevasi 500-700 m (JTE3), peta jarak terdekat dengan elevasi 700-1000 m (JTE4), dan peta jarak terdekat dengan elevasi >1000 m (JTE5). Setelah mendapatkan 18 peta variabel lingkungan, maka seluruh peta di overlay dengan 500 titik presence dan pseudo-absence untuk diperoleh nilai ekstraksi yang dapat digunakan dalam analisis regresi logistik.

3.3.3 Analisis Regresi Logistik

Analisis regresi logistik dilakukan untuk melihat pengaruh antara variabel terikat (lokasi perjumpaan dengan SMA atau 250 titik presence) dan variabel bebas (lokasi yang diduga tidak ada SMA atau 250 titik pseudo-absence). Untuk mengetahui adanya pengaruh nyata (significant) atau tidak antar variabel bebas, maka dilakukan uji t-tes (α <0,01). Prosedur penanggulangan yang ditempuh untuk mengatasi masalah variabel yang tidak berpengaruh nyata (tidak significant) adalah dengan mengeliminasi peubah-peubah lingkungan yang memiliki sig (p-value)>0,05. Uji dua sampel independen t-test (α <0,01) ini dilakukan untuk menentukan variabel lingkungan yang berbeda secara signifikan antara presence dan pseudo-absence. Kemudian, pengembangan model dimulai dengan regresi logistik dengan menggunakan software SPSS (SPSS 1998). Selanjutnya di masukan kedalam software GIS (Syartinilia and Tsuyuki 2008).

(38)

(peubah-peubah lingkungan yang berpengaruh nyata) ke dalam sebuah peta kesesuaian dengan fungsi regresi logistik (Syartinilia dan Tsuyuki, 2008). Rumus yang digunakan untuk menggambarkan fungsi regresi logistik (LR) sebagai berikut:

Pi : Peluang titik observasi ke-i sesuai untuk habitat SMA 0

 : Intersep

k : Jumlah variabel penduga (=n)

j

: Koefisien regresi logistik biner dari variabel penduga ke-j

ji

x : Variabel penduga ke-j

Tingkat kesesuaian habitat ditentukan berdasarkan pada dua kategori yaitu tidak sesuai (non suitability) dengan nilai probabilitas 0,0 dan sesuai (suitability) dengan nilai probabilitas 1,0. Penelitian ini juga menggunakan nilai ambang batas 0,5 untuk mengidentifikasi setiap patch dimana subpopulasi SMA dapat bertahan hidup. Threshold sebesar 0,5 digunakan dalam memprediksi distribusi spesies (Syartinilia dan Tsuyuki, 2008). Beberapa penelitian yang menggunakan regresi logistik sebagai metode analisis data antara lain :

1) Penelitian elang jawa di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango oleh Syartinilia and Tsuyuki (2008). Penelitian ini menggunakan sarang burung elang jawa sebagai variabel terikat/respon (P), sedangkan variabel bebas/penjelas (Xij) antara lain kemiringan, ketinggian tempat, NDVI, Sun Index, jarak ke jalan, jarak ke sungai dan jarak ke permukiman.

2) Penelitian burung hantu kerdil utara di Pegunungan Rocky, Kanada oleh Piorecky and Prescott (2006). Penelitian ini menggunakan lokasi perjumpaan dengan burung hantu kerdil utara sebagai variabel terikat/respon (Z), sedangkan variabel ebbas/penjelas (Xij) antara lain kelembaban, tutupan tajuk, komposisi vegetasi, komposisi umur vegetasi, komposisi tinggi tegakan, indeks fragmentasi, struktur alternatif, dan lain-lainnya.\ 3) Penelitian pemetaan kebakaran permukaan oleh Koutsias (2003). Penelitian

ini menggunakan piksel dimana terdapat titik kebakaran sebagai variabel terikat/respon (P).

(39)

3.3.4 Uji Kelayakan Model

Uji kelayakan model menilai bagaimana sebuah model dapat menggambarkan variabel terikat. Penilaian kelayakan model berkaitan dengan penelusuran seberapa dekat nilai prediksi dari sebuah model terhadap nilai pengamatan. Untuk melakukan uji kelayakan model, maka digunakan uji Hosmer-Lemeshow (>0,05 model dinyatakan layak). Uji ini cocok untuk model yang terdiri dari beberapa variabel bebas baik yang bernilai kontinu atau kategorik (Hosmer et al. 1997).

Koefisien determinasi ditentukan dengan menggunakan model Nagelkerke R2 yang analog dengan R2 pada metode kuadrat terkecil untuk fungsi regresi linear berganda (Piorecky dan Prescott 2006). Nagelkerke R2 menunjukkan seberapa penting variabel bebas dalam memprediksi variabel terikat.

3.3.5 Validasi Model

Validasi model berguna untuk menujukkan apakah model dapat diektrapolasi di kawasan lain atau tidak. Validasi model dilakukan di lokasi yang sama dengan lokasi pengambilan cara untuk membangun model. Teknis pelaksanannya adalah 30 % data pengamatan atau 118 titik yang digunakan sebagai data untuk menyusun model kesesuaian habitat, sedangkan sisanya yakni 70 % atau 500 titik digunakan untuk keperluan validasi model. Validasi model ditentukan berdasarkan dua kesalahan (error). Terdapat dua kesalahan (error) yang dijumpai dalam tahap validasi model baku pertama comission error, dimana model memprediksi suatu lokasi atau bisa disdefinisikan sebagai kesalahan karena mendeteksi kawasan yang tidak ditemukan adanya SMA (Syartinilia et al. 2013) dan kedua, ommision error, dimana model memprediksi suatu lokasi sebagai habitat yang sesuai namun tidak pernah dilaporkan adanya burung Sikep Madu Asia pada lokasi tersebut atau didefiniskan sebagai kesalahan karena gagal untuk memprediksi terjadinya spesies yang benar-benar hadir (Syartinilia et al. 2013).

3.3.6 Analisis Vegetasi

Menurut Indriyanto (2006), analisis vegetasi merupakan suatu cara mempelajari susunan atau komposisi jenis dan bentuk atau struktur vegetasi. Dalam ekologi hutan, satuan vegetasi yang dipelajari atau diselidiki berupa komunitas tumbuhan yang merupakan asosiasi konkret dari semua spesies tumbuhan yang menempati suatu habitat. Untuk melihat gambaran habitat yang dilakukan SMA dengan cara menganalisis vegetasi menggunakan lima petak contoh berukuran 20 m x 20 m yang ditempatkan secara acak pada masing-masing habitat yaitu di Core Habitat dan Edge Habitat.

(40)

hasil pengukuran dicatat dalam tally sheet yang telah disiapkan dimulai dari fase pohon, tiang, pancang hingga fase semai.

Berdasarkan stratifikasi penggunaan ruang pada profil hutan maupun penyebaran secara horizontal pada berbagai tipe habitat, menunjukkan adanya kaitan yang erat antara raptor dengan lingkungan hidupnya terutama dalam pola adaptasi dan strategi untuk memperoleh sumber pakan (Peterson 1980). Penjelasan tentang masing-masing struktur vegetasi adalah sebagai berikut:

a. Pohon

Tumbuhan dengan diameter lebih dari 20 cm. Ukuran petak (kuadran) untuk pengukuran pohon adalah 20 x 20 meter.

b. Tiang

Tumbuhan dengan diameter antara 10 - 20 cm. Pengukuran dilakukan pada petak subkuadran berukuran 10 x 10 meter.

c. Pancang

Pancang adalah regenerasi pohon dengan ukuran lebih tinggi dari 1,5 meter serta diameter batang kurang dari 10 cm. Ukuran petak pengamatan yang digunakan untuk pengukuran pancang ini adalah 5x5 meter.

d. Semai atau anakan

Anakan pohon adalah regenerasi awal dari pohon dengan ukuran ketinggian kurang dari 1,5 meter. Ukuran petak yang digunakan untuk pengukuran anakan adalah 2x2 meter. Contoh petak pengamatan yang menggunakan metode Jalur Berpetak pada Gambar 3.10. Sedangkan pada Gambar 3.11 merupakan letak titik petak pengamatan untuk analisis vegetasi yang dilakukan.

e. Semak dan tumbuhan bawah

Tumbuhan bawah adalah semua tumbuhan yang hidup di lantai hutan kecuali regenerasi pohon (anakan dan pancang). Beberapa tumbuhan bawah diantaranya adalah: (1) keluarga palma. jika tingkatan pohon dewasanya lebih tinggi dari 1,5 meter; (2) pandan. tidak ada kategori untuk jenis tumbuhan bawah ini: (3) pakupakuan: dan (4) semak atau herba lainnya. Ukuran petak yang digunakan untuk pengukuran anakan adalah 2x2 meter

Gambar 3.10 Contoh petak pengamatan yang menggunakan metode Jalur Berpetak

(41)

Penyebaran vertikal pada jenis-jenis raptor dapat dilihat dari stratifikasi ruang pada profil hutan. Untuk itu, perlu pengamatan mengenai struktur vertikal dan horizontal tanaman dengan menggunakan plot berukuran 10 x 40 m. Plot akan digambar dalam bentuk profil vertikal dan horizontal (Lampiran 1).Profil Vertikal dibuat dalam bentuk tampak samping dengan memasukkan data posisi pohon dan tiang pada sumbu X, tinggi total, tinggi bebas cabang dan diameter tajuk. Sedangkan profil Horizontal akan dibuat dalam bentuk tampak atas dengan menggunakan data koordinat (X,Y) pohon dan tiang dan diameter tajuk.

Gambar 3.11 Letak titik petak pengamatan untuk analisis vegetasi di core dan edge habitat

g) Indeks Nilai Penting (INP)

Indeks nilai penting (importance value index) adalah parameter kuantitatif yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominasi (tingkat penguasaan) spesies-spesies dalam suatu komunitas tumbuhan (Soegianto, 1994). Spesies-spesies yang dominan (yang berkuasa) dalam suatu komunitas tumbuhan akan memiliki indeks nilai penting yang tinggi, sehingga spesies yang paling dominan tentu saja memiliki indeks nilai penting yang paling besar.

Menurut Curtis dan Mc.Intosh (1950 dalam Gopal dan Bhardwaj, 1979) telah mengusulkan sebuah indeks yang disebut indeks nilai penting (INP) sebagai jumlah dari kerapatan relatif, frekuensi relatif, dan luas penutupan relatif. Dengan demikian, indeks nilai penting (INP) dan indeks nilai penting untuk spesies ke-i (INP-i) dapat dituliskan dengan rumus sebagai berikut :

INP = KR + FR + CR INP-i = KR-i + FR-i + CR-i Keterangan :

(42)

a) Jarak rata-rata individu pohon ke titik pengukuran (d) d = d1 + d2 + d3 + d4 + ... + dn

n

b) Kerapatan seluruh spesies (K) K = Luas area

(Jarak rata-rata pohon)

c) Kerapatan seluruh spesies per hektar (K) KR = 10.000m2

(Jarak rata-rata pohon)

d) Kerapatan relatif suatu spesies (KR)

KR = Jumlah individu suatu spesies x 100% Jumlah individu semua spesies pohon

e) Kerapatan suatu spesies (K-i) K-i = KR x L

100

f) Penutupan suatu spesies (C) C = (K-i) x (rata-rata penutupan spesies) g) Penutupan relatif suatu jenis (CR) CR = Penutupan suatu spesies x 100%

Penutupan seluruh spesies h) Frekuensi suatu spesies (F)

F = Jumlah titik ditemukannya suatu spesies Jumlah seluruh titik pengukuran i) Frekuensi relatif (FR)

FR = Frekuensi suatu spesies x 100% Frekuensi seluruh spesies

h) Indeks Keragaman

Keragaman spesies merupakan ciri tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologinya. Keanekaragaman spesies dapat digunakan untuk menyatakan struktur komunitas. Keanekaragaman spesies juga dapat digunakan untuk mengukur stabilitas komunitas, yaitu kemampuan suatu komunitas untuk menjaga dirinya tetap stabil meskipun ada gangguan terhadap komponen-komponennya. (Soegianto 1994). Metode yang dilakukan untuk mengetahui kompleksitas vegetasi dapat digambarkan dengan keragaman yang dihitung dengan metode Shannon-Wiener, yaitu:

(43)

Keterangan:

H’ : Indeks Keragaman Shannon-Wiener

Pi : Jumlah individu suatu spesies/jumlah total seluruh spesies Ni : Jumlah individu spesies ke-i

N total : Jumlah total individu

Nilai perhitungan indeks keragam (H’) tersebut menunjukkan bahwa jika: H’>3 : Keragaman spesies tinggi

1<H’<3 : Keragaman spesies sedang H’<1 : Keragaman spesies rendah

3.3.7 Ekstrapolasi Model

Ekstrapolasi model dilakukan di wilayah Jawa Barat. Hal ini untuk memberikan gambaran mengenai bagian-bagian kawasan Jawa Barat yang sesuai untuk habitat dan penyebaran SMA. Data dan informasi mengenai bagian-bagian kawasan yang sesuai bagi SMA merupakan hal mendasar dalam melaksanakan pengelolaan yang lebih baik.

3.3.8 Output

(44)

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Model Distribusi Habitat Musim Dingin SMA

Hasil analisis regresi logistik yang diperoleh dengan menggunakan independen sampel t-tes (α <0,01) dengan sig (p-value)>0,05 menunjukkan bahwa hanya sebelas variabel lingkungan yang bisa dianalisis lebih lanjut karena variabel tersebut berbeda nyata (significant) atau memiliki perbedaan antara presence dan pseudo-absence (Tabel 4.1). Namun tidak untuk tujuh variabel.

Tabel 4.1 Hasil uji T-test untuk 18 variable lingkungan

Parameter t-test for Equality of Means Keterangan

t df Sig. (2-tailed)

Air (JTBA) 3.987 584.0 7,54E+00 Signifikan

3.987 434.4 7,84E+00

Hutan (JTHT) -3.344 584.0 0.000879 Signifikan

-3.344 317.5 0.000925

Kebun (JTKB) -3.880 584.0 0.000116 Signifikan

-3.880 431.7 0.000120

Lahan Kering (JTLK) -3.709 584.0 0.000227 Signifikan

-3.709 491.0 0.000231

Permukiman (JTPK) -0.105 584.0 0.916090 Tidak Signifikan

-0.105 333.9 0.916117

Sawah (JTSH) 2.548 584.0 0.011092 Signifikan

2.548 576.8 0.011095

Semak (JTSB) -0.452 584.0 0.651396 Tidak Signifikan

-0.452 541.5 0.651409

Slope 0%-3% (JTK1) 0.870 584.0 0.384907 Tidak Signifikan

0.870 582.1 0.384908

Slope 3%-8% (JTK2) 0.525 584.0 0.599594 Tidak Signifikan

0.525 578.6 0.599596

Slope 8%-15% (JTK3) 0.921 584.0 0.357628 Tidak Signifikan

0.921 581.7 0.357629

Slope 15%-25% (JTK4) -1.211 584.0 0.226325 Tidak Signifikan

-1.211 574.9 0.226333

Slope 25%-40% (JTK5) -3.323 584.0 0.000945 Signifikan

-3.323 569.6 0.000947

Slope >40% (JTK5) 1.637 584.0 0.102146 Tidak Signifikan

1.637 560.3 0.102169

Elevasi 0-300 (JTE1) -2.004 584.0 0.045481 Signifikan

-2.004 328.7 0.045840

Elevasi 300-500 (JTE2) -9.469 584.0 6,88E-15 Signifikan

-9.469 335.1 5,22E-14

Elevasi 500-700 (JTE3) -5.310 584.0 1,56E-02 Signifikan

-5.310 396.9 1,83E-02

Elevasi 700-1000 (JTE4) -5.917 584.0 5,58E-04 Signifikan

-5.917 442.6 6,56E-04

Elevasi > 1000 (JTE5) -6.758 584.0 3,39E-06 Signifikan

-6.758 438.9 4,46E-06

(45)

3-8% (JTK2), jarak terdekat dengan slope 8-15% (JTK3), jarak terdekat dengan slope 15-25% (JTK4) dan jarak terdekat dengan slope diatas 40% (JTK6). Berikut adalah tabel hasil uji T-test untuk 18 variabel lingkungan. Hasil analisis regresi logistik juga menunjukan bahwa dari 18 variabel lingkungan, hanya 7 variabel yang terdeteksi sebagai variabel penting bagi karakteristik distribusi habitat musim dingin SMA. Hasil analisis regresi logistik terhadap 18 variable pada taraf nyata α = 5% dengan metode Forward Stepwise yaitu sebagai berikut :

Dilihat dari hasil regresi logistik dengan metode Forward Stepwise (LR), diketahui bahwa model habitat musim dingin SMA dipengaruhi oleh variabel jarak terdekat dari kemiringan 25%-40% (JTK5), jarak terdekat dari elevasi 0-300 m (JTE1), jarak terdekat dari elevasi 300-500 m (JTE2), jarak terdekat dari elevasi> 1000 m (JTE5), jarak terdekat dari hutan (JTHT), jarak terdekat dari sawah (JTSH) dan jarak terdekat dari badan air (JTBA). Model dapat diterima karena memiliki tingkat akurasi yang tinggi, baik untuk akurasi Hosmer-Lemeshow (86,2%) dan Nagelkerke R² (94%). Berikut merupakan hasil koefisien, p-value, akurasi Hosmer-Lemeshow dan Nagelkerke (R²) dengan metode Forward Stepwise (LR) yang dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 T-test, akurasi Hosmer-Lemeshow dan Nagelkerke (R²) dengan metode Forward Stepwise (LR)

Variabel Coeffi p-value (sig) Hosmer &

Lemeshow

Sebelum model regresi logistik diektrapolasi di Jawa Barat, telah dilakukan validasi terlebih dahulu. Hasil validasi menunjukan bahwa model ini memiliki commision error dan omission error sebesar 20,34%. Gambar 4.1 dan Tabel 4.3 menunjukan model habitat musim dingin SMA di Talaga Bodas beserta patch habitatnya. Sedangkan gambar 4.2 menunjukan model validasi habitat musim dingin SMA.

(46)

Gambar 4.1 Model habitat musim dingin SMA di Talaga Bodas

(47)

Tabel 4.3 Patch model habitat musim dingin SMA di Talaga Bodas

Lokasi Status Tipe Ancaman Nomer

Patch

Sumber : Setiadi et al., analisis dan survey lapang

Keterangan :

CA Cagar Alam; TR Taman Rekreasi; AP Area Perburuan; HL Hutan Lindung; SM Suaka Margasatwa; A1 Perdagangan ilegal (bahan bakar kayu, material, arang); A2 Konversi Lahan (Pertanian, Perkebunan); A3 Pengembangan Fasilitas (Tenaga Listrik Panas Bumi, Pariwisata); B Perdagangan; C Bencana Alam (Letusan Gunung, Kebakaran, Tanah Longsor)

Selama migrasi, sebagian besar raptor bergerak meluncur dengan menggunakan angin termal untuk menghemat energi (Panuccio 2011). Bildstein (2006) menyebutkan bahwa angin termal dipengaruhi oleh variasi permukaan medan dan radiasi matahari. Hal ini menjelaskan mengapa slope dan elevasi menjadi variabel yang berpengaruh bagi habitat musim dingin SMA. Bentukan lereng yang beragam di core habitat akan memberikan angin termal yang diperlukan untuk SMA ketika terbang atau soaring.

Menurut Cooper dan Alley (1994), raptor mengurangi energi yang digunakannya dengan memanfaatkan angin thermal. Raptor membubung dengan meningkatkan aliran udara pada sayap-sayapnya dan tetap tertahan dalam aliran udara yang cukup kuat. Udara yang berhembus ke atas merupakan nilai tambah bagi raptor. Memanfaatkan aliran udara untuk menghemat energi terbang disebut membubung. Membubung memiliki dua keuntungan utama. Pertama, membubung menghemat energi yang dibutuhkan di udara ketika mencari makanan atau ketika mempertahankan tempat buruan. Kedua, membubung memungkinkan raptor untuk meningkatkan jarak tempuh penerbangannya. Begitupun dengan Sikep Madu Asia.

Oleh karena itu, dari hasil analisis regresi logistik dengan metode Forward Stepwise (LR) diketahui bahwa model Habitat Musim Dingin pada SMA juga dipengaruhi oleh angin thermal yang dihasilkan karena bentukan pada alam, yakni pengaruhnya pada jarak terdekat dengan jarak terdekat dengan slope 25%-40% (JTK5), elevasi 0-300 m (JTE1), jarak terdekat dengan elevasi 300-500 m (JTE2), dan jarak terdekat dengan elevasi diatas 1000 m (JTE5).

(48)

pakannya. Dalam penelitiannya diketahui bahwa koloni lebah dan tawon sebagian besar membangun sarang di hutan dan makan di sekitar lahan pertanian/sawah. Hal ini mendukung hasil analisis yang menunjukkan bahwa jarak terdekat dengan sawah (JTSH) adalah salah satu variabel pembentuk habitat musim dingin bagi SMA.

Setelah dilakukan ground check, ternyata diketahui bahwa hutan di kawasan Talaga Bodas merupakan daerah penghasil madu. Madu-madu tersebut berasal dari bunga kaliandra, pohon kelapa, varian aren, pinang, kapuk randu, kelengkeng, rambutan, karet, kaliandra, multifolra, mangga, kopi, mahoni dan sonokeling yang berada didalam hutan Talaga Bodas. Dimana madu tersebut dimakan oleh lebah dan larvanya merupakan santapan dari Sikep Madu Asia. Berikut ini adalah gambaran mengenai keadaan alam di Talaga Bodas.

Gambar 4.3 Kondisi sawah di Talaga Bodas

(49)

Gambar 4.5 Kaliandra Gunung yang banyak ditemukan di Talaga Bodas

(50)

Habitat musim dingin di Talaga Bodas memiliki kondisi lanskap yang menggabungkan antara sawah atau lahan pertanian dan hutan yang disebut Satoyama. Satoyama umumnya ditemukan dalam pemandangan alam di daerah pedesaan di Jepang dan Indonesia. Mengingat habitat asli dan berkembang biak bagi Sikep Madu Asia adalah distrik Shiojiri-shi, Nagano, Jepang. Satoyama merupakan kawasan yang dikenal sebagai habitat yang cocok bagi berbagai jenis burung karena kelimpahan makanan di daerah tersebut.

Gambar 4.7 Kondisi lanskap di Talaga Bodas

Gambar 4.8 Pemandangan di Talaga Bodas

(51)

4.2 Ekstrapolasi Model di Jawa Barat

Adapun ekstrapolasi model habitat musim dingin SMA di Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 4.11. Dari peta ini, diketahui bahwa model ektrapolasi mendeteksi 24 patch yang tersebar di wilayah Jawa Barat (Tabel 4.4). Patch-patch tersebut terdiri dari area-area yang dilindungi dan memiliki status yang penting, diantaranya adalah Cagar Alam (CA), Taman Rekreasi (TR), Area Perburuan (AP), Hutan Lindung (HL) dan Suaka Margasatwa (SM).

Dari hasil suvei dan studi pustaka, ke-24 patch juga memiliki ancaman yang dapat merusak kawasan yang dilindungi tersebut, diantaranya adalah perdagangan ilegal (bahan bakar kayu, material, arang) (A1), konversi lahan (pertanian, perkebunan) (A2), pengembangan fasilitas (tenaga listrik panas bumi, pariwisata) (A3), perdagangan (B), bencana alam (letusan gunung, kebakaran, tanah longsor) (C).

Hasil dari ektrapolasi model mendeteksi 24 patch yang tersebar di wilayah Jawa Barat. Patch adalah area permukaan yang memiliki perbedaan tampilan terhadap lingkungan di sekitarnya (Forman dan Gordon 1986). Patch-patch ini merupakan area yang diduga menjadi daerah dimana SMA tinggal untuk menghindari musim dingin yang keras pada habitat berkembang biak sehingga dapat terus bertahan hidup. Pada Tabel 4.5 terlihat status dan ancaman yang terdapat pada patch-patch yang merupakan habitat musim dingin bagi SMA di Jawa Barat. Berikut ini adalah penjelasan mengenai pengertian status perlindungan dan foto lokasi kawasan yang diduga menjadi daerah dimana SMA tinggal untuk menghindari musim dingin.

Gambar 4.10 Grafik ekstrapolasi model di Jawa Barat

(52)

1

(53)
(54)

Lanjutan Tabel 4.4

Sumber : Setiadi et al. ; analisis dan survey lapang

Keterangan :

CA Cagar Alam; TR Taman Rekreasi; AP Area Perburuan; HL Hutan Lindung; SM Suaka Margasatwa; A1 Perdagangan ilegal (bahan bakar kayu, material, arang); A2 Konversi Lahan (Pertanian, Perkebunan); A3 Pengembangan Fasilitas (Tenaga Listrik Panas Bumi, Pariwisata); B Perdagangan; C Bencana Alam (Letusan Gunung, Kebakaran, Tanah Longsor)

Tabel 4.5 Status perlindungan dan beberapa foto lokasi kawasan dari hasil ektrapolasi model

No Status Kawasan Nama Kawasan Contoh Foto Kawasan

1 Cagar Alam

Cagar alam atau suaka alam dapat diartikan sebagai kawasan suaka

Cagar alam bernilai khas untuk penelitian dan pengembangan, 2 Taman Rekreasi/Taman Wisata

(55)

Lanjutan Tabel 4.5

3 Taman Buru/Area Perburuan Taman Buruadalah kawasan yang memiliki kekayaan alam yang mempunyai corak khas untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. khas bagi ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta merupakan kekayaan dan kebanggaan nasional.

Gunung Sawal,Ciamis

Gunung Sawal, Ciamis

Gambar

Gambar 3.6 Bagan alir studi
Tabel 3.2 Kelas penutupan lahan dan deskripsinya
Gambar 3.7 Penutupan lahan di Talaga Bodas sebagai core dan edge habitat
Gambar 3.8 Peta penutupan lahan Alos Avnir2/29 Oktober 2009
+7

Referensi

Dokumen terkait