• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Model Distribusi Habitat Musim Dingin SMA

Hasil analisis regresi logistik yang diperoleh dengan menggunakan independen sampel t-tes (α <0,01) dengan sig (p-value)>0,05 menunjukkan bahwa hanya sebelas variabel lingkungan yang bisa dianalisis lebih lanjut karena variabel tersebut berbeda nyata (significant) atau memiliki perbedaan antara presence dan pseudo-absence (Tabel 4.1). Namun tidak untuk tujuh variabel.

Tabel 4.1 Hasil uji T-test untuk 18 variable lingkungan

Parameter t-test for Equality of Means Keterangan

t df Sig. (2-tailed)

Air (JTBA) 3.987 584.0 7,54E+00 Signifikan

3.987 434.4 7,84E+00

Hutan (JTHT) -3.344 584.0 0.000879 Signifikan

-3.344 317.5 0.000925

Kebun (JTKB) -3.880 584.0 0.000116 Signifikan

-3.880 431.7 0.000120

Lahan Kering (JTLK) -3.709 584.0 0.000227 Signifikan

-3.709 491.0 0.000231

Permukiman (JTPK) -0.105 584.0 0.916090 Tidak Signifikan

-0.105 333.9 0.916117

Sawah (JTSH) 2.548 584.0 0.011092 Signifikan

2.548 576.8 0.011095

Semak (JTSB) -0.452 584.0 0.651396 Tidak Signifikan

-0.452 541.5 0.651409

Slope 0%-3% (JTK1) 0.870 584.0 0.384907 Tidak Signifikan

0.870 582.1 0.384908

Slope 3%-8% (JTK2) 0.525 584.0 0.599594 Tidak Signifikan

0.525 578.6 0.599596

Slope 8%-15% (JTK3) 0.921 584.0 0.357628 Tidak Signifikan

0.921 581.7 0.357629

Slope 15%-25% (JTK4) -1.211 584.0 0.226325 Tidak Signifikan

-1.211 574.9 0.226333

Slope 25%-40% (JTK5) -3.323 584.0 0.000945 Signifikan

-3.323 569.6 0.000947

Slope >40% (JTK5) 1.637 584.0 0.102146 Tidak Signifikan

1.637 560.3 0.102169

Elevasi 0-300 (JTE1) -2.004 584.0 0.045481 Signifikan

-2.004 328.7 0.045840

Elevasi 300-500 (JTE2) -9.469 584.0 6,88E-15 Signifikan

-9.469 335.1 5,22E-14

Elevasi 500-700 (JTE3) -5.310 584.0 1,56E-02 Signifikan

-5.310 396.9 1,83E-02

Elevasi 700-1000 (JTE4) -5.917 584.0 5,58E-04 Signifikan

-5.917 442.6 6,56E-04

Elevasi > 1000 (JTE5) -6.758 584.0 3,39E-06 Signifikan

-6.758 438.9 4,46E-06

Variabel yang tidak berbeda nyata (tidak signifikan) diantaranya adalah variabel jarak terdekat dengan permukiman, jarak terdekat dengan semak belukar (JTSB), jarak terdekat dengan slope 0-3% (JTK1), jarak terdekat dengan slope 3-

8% (JTK2), jarak terdekat dengan slope 8-15% (JTK3), jarak terdekat dengan slope 15-25% (JTK4) dan jarak terdekat dengan slope diatas 40% (JTK6). Berikut adalah tabel hasil uji T-test untuk 18 variabel lingkungan. Hasil analisis regresi logistik juga menunjukan bahwa dari 18 variabel lingkungan, hanya 7 variabel yang terdeteksi sebagai variabel penting bagi karakteristik distribusi habitat musim dingin SMA. Hasil analisis regresi logistik terhadap 18 variable pada taraf nyata α = 5% dengan metode Forward Stepwise yaitu sebagai berikut :

Dilihat dari hasil regresi logistik dengan metode Forward Stepwise (LR), diketahui bahwa model habitat musim dingin SMA dipengaruhi oleh variabel jarak terdekat dari kemiringan 25%-40% (JTK5), jarak terdekat dari elevasi 0-300 m (JTE1), jarak terdekat dari elevasi 300-500 m (JTE2), jarak terdekat dari elevasi> 1000 m (JTE5), jarak terdekat dari hutan (JTHT), jarak terdekat dari sawah (JTSH) dan jarak terdekat dari badan air (JTBA). Model dapat diterima karena memiliki tingkat akurasi yang tinggi, baik untuk akurasi Hosmer- Lemeshow (86,2%) dan Nagelkerke R² (94%). Berikut merupakan hasil koefisien, p-value, akurasi Hosmer-Lemeshow dan Nagelkerke (R²) dengan metode Forward Stepwise (LR) yang dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 T-test, akurasi Hosmer-Lemeshow dan Nagelkerke (R²) dengan metode Forward Stepwise (LR)

Variabel Coeffi p-value (sig) Hosmer &

Lemeshow Nagelkerke R2 Slope 25%-40% (JTK5) 3,366 0,000 86,2% 94% Elevasi 0-300 m (JTE1) 4,304 0,000 Elevasi 300-500 m (JTE2) -5,752 0,000 Elevasi >1000 m (JTE5) -2,811 0,002 Hutan (JTHT) -2,467 0,013 Sawah (JTSH) -0,914 0,011

Badan Air (JTBA) 1,259 0,034

Konstanta -1,610 0,001

Sebelum model regresi logistik diektrapolasi di Jawa Barat, telah dilakukan validasi terlebih dahulu. Hasil validasi menunjukan bahwa model ini memiliki commision error dan omission error sebesar 20,34%. Gambar 4.1 dan Tabel 4.3 menunjukan model habitat musim dingin SMA di Talaga Bodas beserta patch habitatnya. Sedangkan gambar 4.2 menunjukan model validasi habitat musim dingin SMA.

Karakteristik core habitat dan edge habitat dipengaruhi oleh ketujuh variabel lingkungan, diantaranya adalah kemiringan dan elevasi. Kemiringan dan elevasi adalah ciri fisik berupa topografi wilayah/bentukan lahan (Syartinilia et al, 2013). Kombinasi kedua fitur ini beserta pengaruh cuaca akan menghasilkan angin termal (ARRCN 2012). Angin termal yaitu angin yang bergerak karena panas cuaca dari matahari, sehingga udara akan naik dan menimbulkan angin yang mengarah ke atas.

 

. ( . (JTK ) . (JTE ) . (JTE ) . (JTE ) . (JTHT) . (JTSH) . (JTBA)

i P 259 1 914 0 467 2 5 811 2 2 752 5 1 304 4 5 366 3 610 1 exp 1 1          

Gambar 4.1 Model habitat musim dingin SMA di Talaga Bodas

Tabel 4.3 Patch model habitat musim dingin SMA di Talaga Bodas

Lokasi Status Tipe Ancaman Nomer

Patch

Area (km²)

Edge (km)

Gunung Talaga Bodas Gunung Burangrang Gunung Tangkuban Perahu Bukit Tunggul Gunung Masigit-Kareumbi Gunung Sawal,Ciamis CA/TR CA CA/TR CA/HL AP SM A1,A2,A3,B,C A1,A2,B A1,A2,A3 A1,A2,B A1,A2,A3,B A1,A2,B 1 6605 639

Sumber : Setiadi et al., analisis dan survey lapang Keterangan :

CA Cagar Alam; TR Taman Rekreasi; AP Area Perburuan; HL Hutan Lindung; SM Suaka Margasatwa; A1 Perdagangan ilegal (bahan bakar kayu, material, arang); A2 Konversi Lahan (Pertanian, Perkebunan); A3 Pengembangan Fasilitas (Tenaga Listrik Panas Bumi, Pariwisata); B Perdagangan; C Bencana Alam (Letusan Gunung, Kebakaran, Tanah Longsor)

Selama migrasi, sebagian besar raptor bergerak meluncur dengan menggunakan angin termal untuk menghemat energi (Panuccio 2011). Bildstein (2006) menyebutkan bahwa angin termal dipengaruhi oleh variasi permukaan medan dan radiasi matahari. Hal ini menjelaskan mengapa slope dan elevasi menjadi variabel yang berpengaruh bagi habitat musim dingin SMA. Bentukan lereng yang beragam di core habitat akan memberikan angin termal yang diperlukan untuk SMA ketika terbang atau soaring.

Menurut Cooper dan Alley (1994), raptor mengurangi energi yang digunakannya dengan memanfaatkan angin thermal. Raptor membubung dengan meningkatkan aliran udara pada sayap-sayapnya dan tetap tertahan dalam aliran udara yang cukup kuat. Udara yang berhembus ke atas merupakan nilai tambah bagi raptor. Memanfaatkan aliran udara untuk menghemat energi terbang disebut membubung. Membubung memiliki dua keuntungan utama. Pertama, membubung menghemat energi yang dibutuhkan di udara ketika mencari makanan atau ketika mempertahankan tempat buruan. Kedua, membubung memungkinkan raptor untuk meningkatkan jarak tempuh penerbangannya. Begitupun dengan Sikep Madu Asia.

Oleh karena itu, dari hasil analisis regresi logistik dengan metode Forward Stepwise (LR) diketahui bahwa model Habitat Musim Dingin pada SMA juga dipengaruhi oleh angin thermal yang dihasilkan karena bentukan pada alam, yakni pengaruhnya pada jarak terdekat dengan jarak terdekat dengan slope 25%-40% (JTK5), elevasi 0-300 m (JTE1), jarak terdekat dengan elevasi 300-500 m (JTE2), dan jarak terdekat dengan elevasi diatas 1000 m (JTE5).

Tidak hanya slope dan elevasi, habitat musim dingin bagi SMA juga dipengaruhi oleh jarak terdekat dengan hutan (JTHT). Hal ini sejalan dengan pernyataan Petit (2000), Moore dan Aborn (2000) yang menyatakan bahwa habitat raptor migran dipengaruhi oleh kelimpahan makanan lokal dan adanya pesaing. Ini bisa berkaitan dengan ketersediaan pangan di hutan Talaga Bodas. Oleh karena itu, mencari tempat dengan kelimpahan makanan cenderung menjadi habitat musim dingin SMA. Dari penelitian Yamaguchi et al. (2008) juga diketahui bahwa pemilihan habitat musim dingin SMA akan tergantung pada preferensi habitat lebah, terutama lokasi pohon dengan koloni sarang lebah sebagai sumber

pakannya. Dalam penelitiannya diketahui bahwa koloni lebah dan tawon sebagian besar membangun sarang di hutan dan makan di sekitar lahan pertanian/sawah. Hal ini mendukung hasil analisis yang menunjukkan bahwa jarak terdekat dengan sawah (JTSH) adalah salah satu variabel pembentuk habitat musim dingin bagi SMA.

Setelah dilakukan ground check, ternyata diketahui bahwa hutan di kawasan Talaga Bodas merupakan daerah penghasil madu. Madu-madu tersebut berasal dari bunga kaliandra, pohon kelapa, varian aren, pinang, kapuk randu, kelengkeng, rambutan, karet, kaliandra, multifolra, mangga, kopi, mahoni dan sonokeling yang berada didalam hutan Talaga Bodas. Dimana madu tersebut dimakan oleh lebah dan larvanya merupakan santapan dari Sikep Madu Asia. Berikut ini adalah gambaran mengenai keadaan alam di Talaga Bodas.

Gambar 4.3 Kondisi sawah di Talaga Bodas

Gambar 4.5 Kaliandra Gunung yang banyak ditemukan di Talaga Bodas

Habitat musim dingin di Talaga Bodas memiliki kondisi lanskap yang menggabungkan antara sawah atau lahan pertanian dan hutan yang disebut Satoyama. Satoyama umumnya ditemukan dalam pemandangan alam di daerah pedesaan di Jepang dan Indonesia. Mengingat habitat asli dan berkembang biak bagi Sikep Madu Asia adalah distrik Shiojiri-shi, Nagano, Jepang. Satoyama merupakan kawasan yang dikenal sebagai habitat yang cocok bagi berbagai jenis burung karena kelimpahan makanan di daerah tersebut.

Gambar 4.7 Kondisi lanskap di Talaga Bodas

Gambar 4.8 Pemandangan di Talaga Bodas

Dokumen terkait