• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN DIVERSI PADA ANAK DALAM KASUS PENCURIAN SEPEDA MOTOR DI WILAYAH HUKUM KABUPATEN SLEMAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENERAPAN DIVERSI PADA ANAK DALAM KASUS PENCURIAN SEPEDA MOTOR DI WILAYAH HUKUM KABUPATEN SLEMAN"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN DIVERSI PADA ANAK DALAM KASUS

PENCURIAN SEPEDA MOTOR DI WILAYAH HUKUM

KABUPATEN SLEMAN

Skripsi ini disusun untuk memenuhi

Persyaratan guna memperoleh gelas kesarjanaan Strata Satu Pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh:

Nama : Elvi Wahyuliana Siregar NIM : 20120610166

Fakultas : Hukum Jurusan : Ilmu Hukum Bagian : Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

(2)

PENERAPAN DIVERSI PADA ANAK DALAM KASUS

PENCURIAN SEPEDA MOTOR DI WILAYAH HUKUM

KABUPATEN SLEMAN

Skripsi ini disusun untuk memenuhi

Persyaratan guna memperoleh gelas kesarjanaan Strata Satu Pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh:

Nama : Elvi Wahyuliana Siregar NIM : 20120610166

Fakultas : Hukum Jurusan : Ilmu Hukum Bagian : Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

(3)
(4)

HALAMAN MOTTO

“ Rahasia menjadi yang terdepan (berhasil) dalam segala hal adalah dengan Sesegera mungkin memulainya “ (Mark Twain)

“ Harga kebaikan manusia adalah di ukur menurut apa yang telah dilaksanakan

(5)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah, kupersembahkan karya kecilku ini untuk orang-orang yang kusayangi :

 Teruntuk Bidadari Surgaku, mama tercinta yang selalu menjadi alasan terbesarku untuk terus menjadi wanita yang tak pernah lelah untuk menjadi lebih baik.

 Teruntuk bapak tercinta yang selalu menjadi penyemangat dalam setiap langkah kakiku.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan rasa syukur mendalam penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat limpahan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya maka skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Salam dan salawat semoga selalu tercurahkan kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW.

Skripsi yang berjudul "Aspek Hukum Pidana Terhadap Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis Di Daerah Istimewa Yogyakarta" ini penulis susun untuk memenuhi syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Penulis mengucapkan rasa terimasih yang sebesar-besarnya atas semua bantuan yang telah diberikan, baik secara langsung maupun tidak langsung selama penyusunan tugas akhir ini hingga selesai. Secara khusus rasa terimakasih tersebut penulis sampaikan kepada:

1. Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.H selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta sekaligus dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan dukungan, 2. Mukhtar Zuhdy, S.H., M.H selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan bimbingan dan dorongan dalam penyusunan penulisan hukum (skripsi) ini,

3. Dr. Hj. Yeni Widowaty., S.H.,M.Hum selaku ketua penguji sidang skripsi yang juga memberikan bimbingannya kepada saya,

(7)

5. Seluruh Karyawan di Jurusan Ilmu Hukum, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

6. Bapak Alm Darmansyah dan Ibu Isnaniah, selaku orang tua penulis yang selalu memberikan dukungan dan doa terhadap penulis

7. Rekan-rekan di Jurusan Ilmu Hukum, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang juga telah banyak membantu penulis.

8. Teruntuk Seluruh keluarga besarku yang tak pernah lelah memberi dukungan dan doa.

9. Teruntuk Nantulang dan Tulang gusti yang telah membangun aku untuk mengenal arti penting pendidikan dan beliau telah banayak member semangat dalam hidupku.

10. Teruntuk Almarhum Ujing Purnama yang telah memberiku semangat semoga engkau senang melihat perjuanganku.

11. Teruntuk Sahabat-sabahat seperjuanganku, I’ll be miss you all. 12. Teruntuk sahabat terbaik ku Wahyuni yang mendukung ku dalam

penyusunan skripsi ini dan selalu ada saat susah dan senang.

13. Dan teruntuk Calon imamku Gilang syahputra hasibuan yang telah mendukung dan semangat hidupku.

(8)

Terakhir penulis berharap, semoga tugas akhir ini dapat memberikan hal yang bermanfaat dan menambah wawasan bagi pembaca dan khususnya bagi penulis juga.

(9)

DAFTAR ISI

F. Sistematika Penulisan Skripsi...

BAB II TINDAK PIDANA PENCURIAN OLEH ANAK

A. Tinjauan Tentang Anak ... B. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Pencurian ... C. Tindak Pidana Pencurian oleh Anak ...

BAB III PENERAPAN DIVERSI DALAM TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

A. Diversi dan Restoratif Justice ... B. Penerapan Diversi dalam Tindak Pidana yang Dilakukan Anak C. Diversi dan Restoratif Justice dalam Perspektif Islam...

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A. Penerapan Diversi pada Anak yang Terlibat Tindak Pidana Pencurian Sepeda Motor di Polres Sleman ... B. Pelaksanaan Diversi yang Dilakukan Polres Sleman Terhadap

Anak yang Terlibat Tindak Pidana Pencurian Sepeda

(10)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... B. Saran...

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(11)
(12)
(13)

ABSTRAK

Tindak pidana pencurian sepeda bermotor mulai banyak dilakukan oleh anak-anak, salah satunya di Sleman. Anak yang melakukan tindak pidana seharusnya diberi perlakuan hukum yang berbeda dengan orang dewasa mengingat hak-hak anak yang masih harus dilindungi demi menjaga masa depannya sehingga perlu adanya diversi (penyelesaian di luar pengadilan), sementara untuk melaksanakan diversi ada syarat dan pertimbangan. Berdasarkan hal tersebut maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: Bagaimana penerapan diversi pada anak yang terlibat tindak pidana pencurian sepeda bermotor di Polres Sleman, dan Bagaimana pelaksanaan diversi yang dilakukan Polres Sleman terhadap anak yang terlibat tindak pidana pencurian sepeda bermotor tersebut.

Metode dalam penelitian ini yaitu menggunakan penelitian hukum normatif dengan metode kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan Polres Sleman serta bahan hukum primer dan sekunder. Analisis data dilakukan dengan deksriptif kualitatif

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan diversi yang dilakukan di Polres Sleman terhadap anak yang melakukan tindak pidana pencurian sepeda bermotor didasarkan pada 2 syarat diversi yaitu ancaman hukuman dibawah 7 tahun dan bukan merupakan residivis. Sejak tahun 2013 hingga 2015, 56 kasus pencurian yang melibatkan anak, hanya 1 perkara. Pelaksanaan diversi yang dilakukan Polres Sleman terhadap anak yang terlibat tindak pidana pencurian sepeda bermotor yaitu menempatkan MR di PSBR (Panti Sosial Bina Remaja) dengan pengawasan Bapas selama 3 bulan dengan pertimbangan agar MR mendapatkan pembinaan dan ketrampilan sesuai bakat yang dimiliki. Hal ini berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bapas dengan mempertimbangan berbagai hal meliputi identitas dan latar belakang anak dan keluarganya serta sikap dan tanggapan orang tua/keluarga, korban, masyarakat dan pemerintah setempat yang menyimpulkan bahwa pada dasarnya anak tersebut baik, namun karena kurang perhatian dan pergaulan dari luar sehingga melakukan pencurian sepeda bermotor.

(14)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Pencurian adalah tindak pidana yang ditujukan terhadap harta benda atau harta kekayaan seseorang. Tindak pidana ini adalah jenis tindak pidana yang paling sering terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Meskipun tindak pidana ini bukan merupakan tindak pidana yang tergolong tindak pidana berat seperti pembunuhan, akan tetapi dapat menimbulkan keresahan dalam masyarakat khususnya yang berdiam atau bertempat tinggal di lingkungan tempat terjadinya pencurian.1

Kasus pencurian semakin lama semakin meningkat hingga tahun 2015 di wilayah Sleman. Sejak Januari hingga Juli 2015, kasus pencurian sebanyak 108 perkara. Jumlah ini meningkat 5 persen dibandingkan tahun 2014. Latar belakang meningkatnya tindak pencurian kebanyakan karena terhimpit kebutuhan ekonomi dan sulitnya mencari lapangan pekerjaan sehingga mereka terpaksa melakukan aksi pencurian,2 bahkan ada beberapa kasus yang melibatkan anak. Kasus pencurian yang menonjol di Sleman yakni pencurian dengan pemberatan (curat). Kasus curat selama Januari 2014 mencapai 20 kasus, dengan 5 kasus diantaranya berhasil diungkap kepolisian.3

1

Novelina MS. Hutapea, 2014, “Penerapan Hak Diskresi Kepolisian dalam Perkara

Anak Pelaku Tindak Pidana Pencurian”, Jurnal Elektronik DELIK, Vol.2, No.1, hlm.1

2 Van Aditya, 2015, “Kasus Pencurian Mendominasi di Kejari Sleman”,

http://krjogja.com/read/268315/kasus-pencurian-mendominasi-di-kejari-sleman.kr, diakses tanggal 23 November 2015 jam 18.45 WIB

3

(15)

Fakta-fakta sosial yang belakangan ini terjadi dalam kehidupan bermasyarakat adalah permasalahan yang terkait dengan anak, dimana dalam kehidupan sosial yang sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor tersebut masih dihadapkan dengan permasalahan penanganan anak yang diduga melakukan tindak pidana. Anak merupakan tumpuan harapan masa depan bangsa, negara, masyarakat ataupun keluarga sehingga diperlukan perlakuan khusus agar dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik fisik, mental dan rohaninya.4

Tindak pidana pencurian yang dilakukan anak juga terjadi di Yogyakarta khususnya Sleman. Pada tahun 2015, kasus pencurian dengan pemberatan semakin berkurang, namun kasus dengan tersangka di bawah umur masih tergolong tinggi. Dalam beberapa kasus, tersangkanya merupakan anak-anak (di bawah 17 tahun) yang telah melakukan tindak kejahatan di puluhan Tempat Kejadian Perkara (TKP) di kawasan Sleman. Beberapa tersangka mempunyai alasan bahwa tindakan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak tersebut merupakan tuntutan untuk memenuhi kebutuhan sehingga terpaksa melakukan tindak kejahatan. Alasan lain adalah anak yang melakukan tindak pidana tersebut kurang perhatian dari orang tuanya.5

Tindak pidana pencurian mulai banyak dilakukan oleh anak-anak terutama dengan latar belakang perekonomian keluarga yang sangat rendah, terlantar, pengaruh pergaulan yang buruk atau karena putus sekolah.

http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-tengah-diy-nasional/14/02/12/n0vsqy-kasus-curanmor-di-sleman-tinggi, diakses tanggal 23 November 2015 jam 18.52 WIB

4

Darwan Prinst, 1997, Hukum Anak Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 98

5Agus Sigit, 2015, “Duh...Kasus Curat di DIY Didominasi Tersangka di Bawah Umur”,

(16)

Keterlibatan anak sebagai pelaku pencurian tentu yang tidak bisa dianggap sebagai sesuatu hal yang tidak penting untuk dikaji, apalagi jika anak dijatuhi pidana penjara walau hanya pencurian yang objeknya mempunyai nilai yang tergolong rendah seperti pencurian 2 (dua) gelondong kelapa sawit, makanan ringan di warung atau sepasang sandal jepit.6 Sanksi tindak pidana pencurian diatur dalam Pasal 362-367 KUHPidana, bergantung pada bagaimana dilakukannya tindak pencurian tersebut, misalnya pencurian yang diatur dalam Pasal 362 KUHPidana yaitu “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus

rupiah”. Jika ini diberlakukan bagi anak maka dapat berakibat buruk bagi masa

depannya.

Jenis pencurian yang dilakukan oleh anak di wilayah Sleman salah satunya adalah pencurian sepeda bermotor. Pencurian sepeda bermotor umumnya dilakukan oleh orang dewasa, selain harus membawa sepeda bermotor yang berat dan beresiko, pencurian sepeda bermotor juga membutuhkan teknik untuk membobolnya. Jika melibatkan anak maka hal ini sudah mengkhawatirkan.

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak mendefinisikan anak sebagai amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya dan untuk menjaga

6

Novelina MS. Hutapea, 2014, “Penerapan Hak Diskresi Kepolisian dalam Perkara

(17)

harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum dalam sistem peradilan. Sayangnya, praktek penyelesaian perkara pencurian oleh anak selama ini masih memprioritaskan pada proses formal (menempuh jalur hukum) dalam arti menindak dan menghukum anak dengan suatu putusan hakim. Hal ini dapat memberikan dampak buruk bagi anak dan mempengaruhi bagi perkembangan mentalnya7. Salah satunya yang terjadi di Sleman, dimana selama kurun waktu hampir 4 tahun sejak Undang-Undang Peradilan Anak diberlakukan, bantuan hukum yang diberikan kepada anak dalam kasus pencurian sepeda bermotor masih sangat kurang. Hal tersebut dapat dilihat dari kasus pencurian sepeda bermotor yang melibatkan anak, hanya 2 anak yang mendapatkan bantuan hukum.

Bantuan hukum yang diberikan kepada anak yang melakukan tindak pidana adalah diversi. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, diversi diartikan sebagai pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Dapat dipahami bahwa diversi merupakan upaya penyelesaian hukum bagi anak yang melakukan tindak pidana yang dapat dilakukan sebelum peradilan pidana yaitu selama masa penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak.

Diversi yang dilakukan dapat membantu anak untuk menghindari tekanan mental dan menyelamatkan masa depan. Disisi lain, perlu upaya tegas menegakkan hukum sebagai efek jera bagi pelaku kejahatan/pelanggar hukum termasuk anak di bawah umur. Jika diversi yang dilakukan mudah diberikan

7

(18)

maka pelaku tindak pidana di bawah umur lainnya akan cenderung menganggap ringan dan tidak ada rasa jera sehingga diversi tetap mempertimbangkan banyak faktor sehingga bantuan hukum berupa diversi anak tetap dalam jalur hukum yakni menegakkan hukum sekaligus melindungi hak-hak anak.

Untuk menegakkan hukum sekaligus memberikan bantuan hukum bagi anak maka diversi tetap mempertimbangkan syarat-syarat tertentu. Seperti yang dituangkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang memuat:

1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi.

2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan:

a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Berdasarkan uraian di atas dimana sejak tahun 2012 diversi baru dapat diterapkan kepada anak yang terlibat pencurian sepeda bermotor di wilayah Polres Sleman dan hanya 1 perkara, peneliti tertarik untuk mendalami mengenai penerapan diversi pada kasus pencurian sepeda bermotor yang dilakukan anak di Polres Sleman.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

(19)

2. Bagaimana pelaksanaan diversi yang dilakukan Polres Sleman terhadap anak yang terlibat tindak pidana pencurian sepeda bermotor tersebut?

C.Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah maka tujuan penelitian adalah:

1. Untuk mengetahui penerapan diversi pada anak yang terlibat tindak pidana pencurian sepeda bermotor di Polres Sleman.

2. Untuk mengetahui pelaksanaan diversi yang dilakukan Polres Sleman terhadap anak yang terlibat tindak pidana pencurian sepeda bermotor tersebut.

D.Tinjauan Pustaka 1. Anak

Apabila ditinjau dari aspek yuridis, maka pengertian “anak” di mata

hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjaring atau person under age), orang yang di bawah umur atau keadaan di bawah umur (minderjaringheid atau inferionity) atau sering juga disebut sebagai anak yang di bawah pengawasan wali (minderjarige onvervoodij).8 Pengertian anak itu sendiri jika ditinjau lebih lanjut dari segi usia kronologis menurut hukum dapat berbeda-beda tergantung tempat, waktu dan untuk keperluan apa, hal ini juga akan mempengaruhi batasan yang digunakan untuk menentukan umur anak.9

Anak juga didefinisikan sebagai mereka yang belum dewasa dan

8

Lilik Mulyadi, 2005, Pengadilan Anak Di Indonesia, Bandung, CV.Mandar Maju, hlm.3

9

(20)

yang menjadi dewasa karena peraturan tertentu mental, fisik masih belum dewasa.10 Sebagaimana diatur dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur tentang pengertian anak yang sangat bervariatif tergantung jenis tindak pidana yang dilakukan. Ketentuan Pasal 45, 46, 47 KUHPidana ini telah dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Batas usia anak dalam pengertian Hukum Pidana dirumuskan dengan jelas dalam ketentuan hukum yang terdapat pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Pengadilan Anak yang menjelaskan bahwa anak adalah orang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 12 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin. Batas usia tersebut juga ditegaskan dalam Putusan PU No.1/PUU-VIII/2010.

Dalam Pasal 1 Konvensi Anak, pengertian anak dirumuskan sebagai

“setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun kecuali berdasarkan

Undang-Undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal”.11

Berdasarkan Konvensi Hak Anak yang diadopsi dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, terdapat empat prinsip umum perlindungan anak yang menjadi dasar bagi negara dalam menyelenggarakan perlindungan anak yaitu:

a. Prinsip Nondiskriminasi

b. Prinsip Kepentingan Terbaik bagi Anak

c. Prinsip Kelangsungan Hidup dan Tumbuh Kembang Anak

10

Shanty Dellyana, 1988, Wanita dan Anak di Mata Hukum, Yogyakarta, Liberty, hlm. 50

11

(21)

d. Prinsip Penghargaan terhadap Pendapat Anak

Anak yang terlibat dalam hukum, menurut Ruth Strang dalam sabrina hidayat diistilahkan dengan juvenile delinquency, yaitu kenakalan yang dilakukan anak-anak, istilah ini untuk menghindarkan penggunaan kata kejahatan bagi anak-anak.12 Juvenile delinquency adalah suatu tindakan atau perbuatan melanggar norma, baik norma hukum maupun norma sosial yang dilakukan oleh anak-anak usia muda.13 Adapun menurut Romli Atmasasmita, juvenile delinquency adalah setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan.14 Hukum internasional telah menetapkan standar perlakuan yang harus atau dapat dirujuk oleh setiap negara dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum. Hukum internasional mensyaratkan negara untuk memberikan perlindungan hukum dan penghormatan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum melalui pengembangan hukum, prosedur, kewenangan dan institusi (kelembagaan).15

12

Sabrina Hidayat, 2007, “Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Proses

Peradilan Pidana”, Jurnal Hukum Gema Pendidikan, No 1, hlm. 40

13

Wagiati Soetodjo, 2006, Hukum Pidana Anak, Bandung, PT Refika Aditama, hlm.11

14

Romli Atmasasmita, 1983, Problem Kenakalan Anak-anak Remaja, Bandung, Armico, hlm.40

15

(22)

2. Tindak Pidana Pencurian

Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu16. Pengertian tindak pidana atau strafbaar feit atau delict adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dijatuhi pidana.17

Strafbaar feit yang diterjemahkan dengan perbuatan pidana adalah

“perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, yang mana larangan

tersebut disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut”18. Moeljatno merupakan penganut aliran dualisme yang mana memisahkan unsur perbuatan dan unsur tanggung jawab dalam strafbaar feit. Alasan Moeljatno dalam menggunakan istilah perbuatan pidana adalah karena:

a. Bahwa yang dilarang adalah perbuatan manusia, yaitu suatu kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya, sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orangnya.

b. Antara larangan yang ditujukan pada perbuatan dengan ancaman hukuman yang ditujukan kepada orangnya, ada hubungan yang erat, oleh karena itu perbuatan yang dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan yang erat pula.

16

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung, Alumni, hlm. 2

17

Sabar Slamet, 1998, Hukum Pidana, Surakarta, Universitas Sebelas Maret, hlm. 18 18

(23)

c. Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat tadi maka digunakan istilah perbuatan pidana yang merupakan suatu pengertian abstrak yang menunjuk pada dua keadaan kongkrit, yaitu adanya kejadian tertentu (perbuatan) dan adanya orang yang berbuat.

Dalam tindak pidana yang dilakukan anak, pihak berwenang wajib mengupayakan diversi. Hal tersebut dipertegas dalam Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2012 tentang Peradilan Anak Pasal 7 ayat (1) yaitu “Pada

tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di

pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi”, didukung Peraturan

Pemerintah No. 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun, Pasal 3 ayat

(1) “Setiap Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam memeriksa Anak

wajib mengupayakan Diversi”. Dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 7 ayat

(24)

3. Teori Diversi

Diversi merupakan wewenang dari aparat penegak hukum yang menangani kasus tindak pidana untuk mengambil tindakan meneruskan perkara atau mengehentikan perkara, mengambil tindakan tertentu sesuai dengan kebijakan yang dimiliknya.19 Diversi yang diimplementasikan ke dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 diartikan sebagai pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Dapat dipahami bahwa diversi merupakan upaya penyelesaian hukum bagi anak yang melakukan tindak pidana yang dapat dilakukan sebelum peradilan pidana yaitu selama masa penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak.

Tujuan dari diversi adalah untuk mendapatkan cara menangani pelanggaran hukum di luar pengadilan atau sistem peradilan yang formal. Ada kesamaan antara tujuan diskresi dan diversi. Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi keinginan menghindari efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana. Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum didasari oleh kewenangan aparat penegak hukum yang disebut discretion atau “diskresi”.20

Diversi dilakukan dengan alasan untuk memberikan suatu kesempatan kepada pelanggar hukum agar menjadi orang yang baik kembali melalui jalur non formal dengan melibatkan sumber daya masyarakat. Diversi berupaya memberikan keadilan kepada kasus anak yang telah

19

Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana, 2010, Medan, USU Press,hlm. 1

20

(25)

terlanjur melakukan tindak pidana sampai kepada aparat penegak hukum sebagai pihak penegak hukum. Kedua keadilan tersebut dipaparkan melalui sebuah penelitian terhadap keadaan dan situasi untuk memperoleh sanksi atau tindakan yang tepat (appropriate treatment), tiga jenis pelaksanaan program diversi dilaksanakan yaitu:

a. Pelaksanaan kontrol secara sosial (social control orintation) yaitu aparat penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung jawab pengawasan atau pengamatan masyarakat, dengan ketaatan pada persetujuan atau peringatan yang diberikan. Pelaku menerima tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak diharapkan adanya kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh masyarakat.

b. Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service orientation), yaitu melaksanakan fungsi untuk mengawasi, mencampuri, memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada pelaku dan keluarganya. Masyarakat dapat mencampuri keluarga pelaku untuk memberikan perbaikan atau pelayanan.

c. Menuju proses restorative justice atau perundingan (balanced or restorative justice orientation), yaitu melindungi masyarakat, memberi kesempatan pelaku bertanggung jawab langsung pada korban dan masyarakat dan membuat kesepakatan bersama antara korban pelaku dan masyarakat, pelaksanaanya semua pihak yang terkait dipertemukan untuk bersama-sama mencapai kesepakatan tindakan pada pelaku.21

21

(26)

Adapun beberapa kriteria tindak pidana yang melibatkan anak sebagai pelaku, yang harus diupayakan penyelesaiannya dengan pendekatan prinsip diversi. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Peradilan Anak Pasal 7 ayat (2) dan Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 65 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun, Pasal 3 ayat (2) disebutkan bahwa,

Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan:

a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana

Yudiansah mengemukakan beberapa syarat dalam diversi terhadap anak adalah22:

a. Kategori tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana sampai 1 (satu) tahun harus diprioritaskan untuk diterapkan diversi, tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana di atas 1 (satu) tahun sampai dengan 5 tahun dapat dipertimbangkan untuk melakukan diversi, semua kasus pencurian harus diupayakan penerapan diversi kecuali menyebabkan atau menimbulkan kerugian yang terkait dengan tubuh dan jiwa.

b. Memperhatikan usia pelaku, semakin muda usia pelaku maka urgensi penerapan prinsip diversi semakin diperlukan.

(27)

c. Hasil penelitian dari BAPAS, bila ditemukan faktor pendorong anak terlibat dalam kasus pidana adalah faktor yang ada di luar kendali anak maka urgenitas penerapan prinsip diversi semakin diperlukan.

d. Kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana anak, bila akibat yang ditimbulkan bersifat kebendaan dan tidak terkait dengan tubuh dan nyawa seseorang maka urgenitas penerapan diversi semakin diperlukan. e. Tingkat keresahan masyarakat yang diakibatkan oleh perbuatan anak. f. Persetujuan korban/keluarga

g. Kesediaan pelaku dan keluarganya

h. Dalam hal anak melakukan tindak pidana bersama-sama orang dewasa maka orang dewasa harus diproses hukum sesuai prosedur biasa.

Beberapa acuan yang dapat digunakan dalam melaksanakan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, khususnya sebagai pelaku adalah:

a. Peraturan Internasional

1) Convenion on The Right of The Child (Konvensi Hak-Hak Anak) 2) The United Nation Standard Minimum Rules for Administration of

Juvenile Justice – the Beijing Rules (Peraturan Standar Minimum PBB untuk Pelaksanaan Peradilan Anak- Peraturan Beijing)

(28)

b. Peraturan Nasional

1) Undang-Undang RI No.2 Tahun 2002 Tentang Polisi Republik Indonesia

2) Undang RI No.35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

3) Undang-Undang RI No.11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

4) Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun

5) TR Kabareskrim No.1123/XI/2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Bagi Kepolisian

E.Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Berdasarkan fokus penelitian, penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif yaitu suatu penelitian yang meletakkan hukum sebagai suatu norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, kaidah dari peraturan perundangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran).23

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan bahan hukum primer dan sekunder.

23 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris,

(29)

a. Bahan Hukum Primer. Bahan hukum ini mencakup peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan obyek penelitian yaitu:

1) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

2) Undang RI No.35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

3) Undang-Undang RI No.2 Tahun 2002 Tentang Polisi Republik Indonesia

4) Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya dengan hukum primer, dan dapat membantu untuk proses analisis, yaitu :

1) Buku-buku ilmiah yang terkait. 2) Hasil penelitian yang terkait. 3) Makalah dan jurnal yang terkait. 3. Narasumber

Narasumber adalah seorang yang memberikan pendapat atas objek yang diteliti. Hubungan narasumber dengan objek yang diteliti disebabkan karena kompetensi keilmuan yang dimiliki.24 Narasumber dalam penelitian ini adalah pihak Polres Sleman yang menangani tindak kriminal di Sleman yaitu Brigadir Purwanto sebagai Kepala Satresrim Polres Sleman.

24

(30)

4. Teknik Pengumpulan Data

a. Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan dengan cara menghimpun semua peraturan perundangan, dokumen-dokumen hukum dan buku-buku serta jurnal ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan.

b. Wawancara

Bahan hukum sekunder yang merupakan pendapat dari ahli hukum yang terkait dengan penelitian cara pengambilannya dilakukan dengan menggunakan metode wawancara kepada narasumber secara tertulis.25 5. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dianalisis secara deskriptif kualitatif,26 yaitu suatu teknik yang menggambarkan dan menginterprestasikan data yang telah terkumpul dengan menggambarkan perhatian dan merekam sebanyak mungkin aspek situasi yang diteliti pada saat itu, sehingga memperoleh gambaran secara umum dan menyeluruh tentang keadaan sebenarnya.

25Ibid, hlm. 319 26

(31)

F. Sistematika Penulisan Skripsi

Untuk mempermudah dalam menjabarkan pembahasan maka skripsi ini dibagi dalam 5 bab yang masing-masing bab dibagi lagi menjadi beberapa sub bab, yaitu:

BAB I Bab ini memuat mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan skripsi.

BAB II Dalam bab ini dijelaskan tentang tinjauan anak yang meliputi pengertian anak, hak dan kewajiban anak, dan perlindungan anak secara hukum. Dalam bab ini juga dibahas mengenai tindak pidana pencurian yang meliputi pengertian pencurian, tindak pidana pencurian dan sanksi hukum dalam tindak pidana pencurian. Pada bab ini juga diuraikan mengenai tindak pidana pencurian oleh anak.

BAB III Pada bab ini dijelaskan mengenai diversi yang meliputi pengertian diversi, syarat dan ketentuan diversi, serta prosedur pemberian diversi. Bab ini juga menguraikan mengenai penerapan diversi dalam tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak.

(32)

menjelaskan tentang bentuk diversi yang diberikan Polres Sleman kepada anak tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku.

(33)

BAB II

TINDAK PIDANA PENCURIAN OLEH ANAK

A.Tinjauan Tentang Anak 1. Pengertian Anak

Ditinjau dari aspek yuridis, maka pengertian “anak” di mata hukum

positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjaring atau person under age), orang yang di bawah umur atau keadaan di bawah umur (minderjaringheid atau inferionity) atau kerap juga disebut sebagai anak yang di bawah pengawasan wali (minderjarige onvervoodij).27 Pengertian anak itu sendiri jika ditinjau lebih lanjut dari segi usia kronologis menurut hukum dapat berbeda-beda tergantung tempat, waktu dan untuk keperluan apa, hal ini juga akan mempengaruhi batasan yang digunakan untuk menentukan umur anak.28

Definisi tentang anak cukup beraneka ragam di beberapa negara, misalnya di Amerika Serikat yang mayoritas negara bagian menentukan batasan umur anak antara 8-17 tahun, negara Inggris menentukan batas umur antara 12-16 tahun, negara Australia mayoritas negara bagiannya menentukan batas umur antara 8-16 tahun, di negara Belanda umur antara 12-18 tahun. Negara-negara di Asia misalnya Srilanka menentukan batas umur antara 8-16 tahun, Iran 6-18 tahun, Jepang dan Korea umur antara 14-18 tahun, Kamboja antara 15-14-18 tahun dan di Filipina umur antara 7-16

27

Lilik Mulyadi, 2005, Pengadilan Anak Di Indonesia, CV.Mandar Maju, Bandung,,hlm.3

28

(34)

tahun.29 Di Indonesia, batas usia anak dirumuskan dengan jelas dalam ketentuan hukum yang terdapat pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Pengadilan Anak bahwa anak adalah orang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 12 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin.

Di dalam Pasal 1 Konvensi Anak, pengertian anak dirumuskan

sebagai “setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun kecuali

berdasarkan Undang-Undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia

dewasa dicapai lebih awal”.30

Berbagai uraian batasan usia anak pada dasarnya adalah pengelompokkan usia maksimum sebagai perwujudan kemampuan seorang anak dalam status hukum sehingga anak tersebut akan beralih status menjadi usia dewasa atau menjadi seorang subyek hukum yang dapat bertanggung jawab secara mandiri terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan oleh anak itu.31 Dapat disimpulkan bahwa seseorang dikategorikan sebagai anak yaitu usia di bawah 18 tahun, belum pernah kawin dan belum mampu bertanggung jawab secara mandiri atas perbuatan-perbuatan yang melawan hukum.

29

Paulus Hadisuprapto, 1997, Juvenile Deliquency Pemahaman dan Penanggulangannya, PT.Aditya Bakti, Bandung, hlm.8

30

Chandra Gautama, 2000, Konvensi Hak Anak Panduan Bagi Jurnalis, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Jakarta, hlm.21

31

(35)

2. Hak dan Kewajiban Anak a. Hak Anak

Berdasarkan Konvensi Hak Anak yang diadopsi dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, terdapat empat prinsip umum perlindungan anak yang menjadi dasar bagi negara dalam menyelenggarakan perlindungan anak yaitu:

1) Prinsip Nondiskriminasi

2) Prinsip Kepentingan Terbaik bagi Anak

3) Prinsip Kelangsungan Hidup dan Tumbuh Kembang Anak 4) Prinsip Penghargaan terhadap Pendapat Anak

Hak-hak anak yang dituangkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yaitu:

1) Hak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.

2) Hak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna.

3) Hak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.

(36)

Di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, hak-hak anak dijelaskan dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17 dan Pasal 18. Hak anak yang tertuang dalam pasal-pasal tersebut yaitu:

1) Hak untuk tumbuh, berkembang dan berpartisipasi serta didengar pendapatnya.

2) Hak mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman dan kekerasan, ketidakadilan.

3) Hak untuk memperoleh nama identitas dan status kewarganegaraan. 4) Hak untuk beribadah menurut agamanya

5) Hak untuk dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri dan jika anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut dapat diasuh oleh orang lain sehingga sejahtera.

6) Hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial.

7) Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran , termasuk anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa. 8) Hak untuk mengembangkan diri.

9) Hak untuk memperoleh bantuan dan perlindungan hukum.

(37)

b. Kewajiban Anak

Di dalam ranah hukum, seorang anak selain mempunyai hak juga memiliki beberapa kewajiban. Kewajiban anak juga dituangkan dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014tentang Perlindungan Anak yaitu menghormati orang tua, wali dan guru; mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; mencintai tanah air, bangsa dan negara; menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

3. Perlindungan Anak Secara Hukum

Anak yang kurang atau tidak memperoleh perhatian secara fisik, mental maupun sosial sering berperilaku dan bertindak asosial dan bahkan antisosial yang merugikan dirinya, keluarga dan masyarakat. Pertimbangan (consideran) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak yaitu bahwa anak merupakan generasi muda yang meneruskan cita-cita perjuangan bangsa dan memiliki peranan strategis sehingga memerlukan pembinaan dan perlindungan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang.

(38)

dalam penanganannya. Dellyana mengemukakan bahwa usaha pencarian solusi terhadap permasalahan tersebut bukan hanya menjadi tanggung jawab negara saja, tetapi juga membutuhkan peran serta yang aktif dari seluruh lapisan masyarakat. penyelesaian tersebut harus mengacu pada pemenuhan hak dan pemberian perlindungan bagi anak.perlindungan anak merupakan suatu usaha untuk mengadakan kondisi dimana setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.32

Anak yang berhadapan dengan hukum dan menjalani proses persidangan perlu mendapat perhatian khusus demi menjaga hak-hak anak dan masa depannya. Hak yang dimiliki anak sebagai pelaku tindak pidana dapat diberikan pada waktu sebelum, selama dan setelah masa persidangan. Dalam persidangan dengan terdakwa anak, maka hakim yang memimpin sidang pun merupakan hakim khusus yaitu hakim yang menangani perkara anak, penuntut umum anak, penyidik anak, dan petugas pemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan. Dalam menjalani proses hukum tersebut, hak anak lebih diperhatikan dibandingkan kewajibannya.

Perlindungan terhadap anak juga didasarkan pada beberapa pertimbangan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu:

a. Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa

b. Anak berhak mendapatkan perlindungan khusus,terutama perlindungan hukum dalam sistem peradilan

32

(39)

c. Indonesia sebagai Negara Pihak dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of the Child) yang mengatur prinsip perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Perlindungan hak-hak anak juga tertuang dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan berbagai pertimbangan yaitu:

a. Negara wajib menjamin perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia;

b. Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa

c. Anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan;

d. Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia

Anak yang mendapatkan perlindungan hukum dalam kasus pidana merupakan anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban dalam tindak pidana dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Pasal 1 angka 3 bahwa “Anak yang Berhadapan dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak

(40)

Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik,

mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana”,

sedangkan dalam Pasal 1 angka 5 disebutkan bahwa, “Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri”.

Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan anak membawa akibat hukum, baik kaitannya dengan hukum tertulis maupun tidak tertulis. Menurut Arif Gosita dalam Maidin Gultom33, kepastian hukum diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaannya.

Perlindungan anak yang tersangkut kasus hukum dituangkan dalam Pasal 16 angka 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, yaitu:

“Pengangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya

dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat

dilakukan sebagai upaya terakhir”.

33

(41)

Secara khusus penyelenggaraan perlindungan diatur dalam BAB IX Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014tentang Perlindungan Anak. Perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum diatur dalam Bagian kelima yaitu Perlindungan Khusus yang meliputi Pasal 59 dan Pasal 64.

Dari uraian di atas jelas bahwa anak mendapatkan perlindungan secara hukum sekalipun terlibat dalam tindak pidana. Hal tersebut melalui berbagai pertimbangan untuk menyelamatkan masa depan anak sebagai generasi penerus.

B.Tinjauan Tentang Tindak Pidana Pencurian 1. Pengertian Tindak Pidana Pencurian

Menurut Sudarsono, pencurian adalah mengambil barang-barang atau harta dengan sembunyi-sembunyi.34 Pencurian dalam Kamus Hukum adalah mengambil milik orang lain tanpa izin atau dengan tidak sah, biasanya dengan sembunyi-sembunyi.35

Masalah pencurian juga dituangkan dalam Pasal 362 KUHPidana. Moeljanto berpendapat bahwa masalah pencurian yang terdapat dalam Pasal 362 KUHPidana dirumuskan sebagai tindak pidana pencurian, pengambilan barang orang lain. Akan tetapi dengan maksud untuk memiliki barang dengan cara melawan hukum, namun jika dilihat dari sifat melawan hukum di dalam Pasal 362, perbuatan tidak dilihat dari hal-hal yang lahir, tetapi tergantung pada niat orang yang mengambil barang.36

34

Soedarsono, 1998, Pokok-Pokok Hukum Islam, Jakarta, Rineka Cipta, hlm. 547

35

Sudarsono, 1992, Kamus Hukum, Jakarta, Rineka Cipta, hlm. 85.

36

(42)

Jika dilihat dari definisi pencurian di atas maka pencurian terdiri dari 3 unsur yaitu:

a. mengambil barang

b. barang harus kepunyaan orang lain seluruhnya atau sebagian,

c. pengambilan barang yang demikian itu harus dengan maksud memiliki dengan cara melawan hukum.

Dari uraian di atas disimpulkan bahwa pencurian adalah mengambil barang orang lain dengan maksud memiliki dengan cara melawan hukum.

Tindak pidana diambil dari istilah dalam Hukum Pidana Belanda yang disebut strafbaar feit. Tindak pidana atau strafbaar feit atau delict didefinisikan sebagai suatu perbuatan yang pelakunya dapat dijatuhi pidana37. Strafbaar feit yang diterjemahkan dengan perbuatan pidana adalah

“perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, yang mana larangan

tersebut disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi siapa

yang melanggar larangan tersebut”38 .

Berdasarkan definisi pencurian dan tindak pidana, maka disimpulkan bahwa tindak pidana pencurian adalah perbuatan mengambil barang milik orang lain untuk dimiliki sendiri yang cara-caranya dilarang oleh hukum dan dapat menerima sanksi jika melanggarnya.

2. Pemidanaan dalam Tindak Pidana Pencurian

Jenis pidana yang diatur dalam KUHP dimuat dalam Pasal 10 yang terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari

37

Sabar Slamet, 1998, Hukum Pidana, Surakarta, Universitas Sebelas Maret, hlm. 18

38

(43)

pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan, sedangkan pidana tambahan terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentum dan pengumuman putusan hakim.

Pemidanaan dalam kasus pencurian yang dimuat dalam Pasal 362-365 KUHPidana bisa dikenakan dengan pidana mati, pidana penjara dan denda. Pidana mati diberikan kepada pelaku yang melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati. Dalam Pasal 365 ayat 4, sanksi pidana mati dilakukan jika pencurian dengan kekerasan tersebut dilakukan lebih dua orang atau lebih, jika dilakukan oleh satu orang maka dipidana penjara paling lama 15 tahun.

Menurut Effendi, pidana penjara adalah pidana berupa pembatasan kemerdekaan bagi pelaku tindak pidana ke dalam suatu rumah penjara. Diharapkan dengan adanya perampasan kemerdekaan si terpidana akan menjadi tidak bebas untuk mengulangi tindak pidana dan selama waktu dirampasnya kemerdekaan itu, si terpidana juga diharapkan melakukan perenungan untuk menyadari kesalahan yang telah dibuatnya.39 Pidana penjara paling lama 9 tahun diberikan bagi pelaku pencurian dengan didahului dengan ancaman atau kekerasan kepada korban, sedangkan jika pencurian dilakukan saat kondisi force majour misalnya bencana atau huru hara maka dikenakan pidana paling lama 7 tahun.

39

(44)

Sanksi denda diberikan kepada pelaku tindak pidana pencurian ringan, seperti perbuatan yang dimuat dalam Pasal 362 dan 363. Sanksi yang diberikan dengan dasar jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari Rp.250,00 maka dikenakan pidana penjara paling lama 3 bulan atau pidana denda paling banyak Rp.900,00.

Sanksi pidana bagi orang dewasa maksimal dapat dijatuhi pidana mati, namun pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak sebagai pelaku tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang SPPA Pasal 3 yaitu anak tidak dapat dijatuhi hukuman mati atau pidana seumur hidup. Lebih spesifik pidana bagi anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Pidana yang diberikan dapat berupa pidana dan tindakan. Sanksi pidana yang dapat dijatuhkan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana adalah pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap anak sebagai pelaku delik diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 23 ayat (2) yaitu pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah pidana penjara,pidana kurungan,pidana denda atau pengawasanJika anak belum mencapai umur 12 tahun melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka anak tersebut hanya dapat dijatuhkan tindakan yaitu menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.

(45)

dewasa. Pidana denda dimuat dalam Pasal 28 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997 yaitu denda yang dapat dijatuhkan kepada anak paling banyak satu perdua dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa, jika tidak mampu membayar maka diganti dengan wajib latihan kerja maksimal 4 jam per hari.

Pidana tambahan yang dapat dijatuhkan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana yaitu jika melakukan perampasan barang-barang tertentu maka membayar ganti rugi dan merupakan tanggung jawab dari orang tua/wali. Sanksi Tindakan yang dapat dijatuhkan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana yaitu mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh, menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja, dan menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.

Tabel 1. Pemidanaan tindak pidana pencurian

No Pasal Pidana

1 362 Maksimal pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah

2 363 Maksimal pidana penjara paling lama 3 bulan atau pidana denda paling banyak Rp.900,00 jika kerugian tidak lebih dari Rp 250,-

Pencurian pemberatan maksimal 7 tahun (dilakukan saat huru hara/force majour)

3 364

4 365 Maksimal pidana penjara 9 tahun (pencurian yang disertai diawali dengan ancaman/kekerasan)

(46)

Maksimal pidana penjara 15 tahun (pencurian yang dilakukan sendiri dan mengakibatkan kematian)

Maksimal pidana mati atau seumur hidup selama kurun waktu 20 tahun (pencurian yang dilakukan dua orang atu lebih yang mengakibatkan kematian)

5 366 Pencabutan hak jika melakukan tindak pidana seperti pada Pasal 362, 363, dan 365

6 367 Pencurian dalam keluarga

C.Tindak Pidana Pencurian oleh Anak

Tindak pidana pencurian adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang dengan mengambil barang orang lain dengan maksud memiliki dengan cara melawan hukum. Jika melawan hukum maka proses penyelesaiannya melalui peradilan umum dan sanksi yang diberikan juga sesuai dengan hukum. Hal tersebut jika tindak pidana pencurian dilakukan oleh orang yang bisa bertanggung secara hukum.

Tindak pidana pencurian dapat dilakukan oleh siapa saja baik orang dewasa maupun anak. Pelanggaran terhadap hukum atau norma, khususnya dalam hukum pidana dapat dikenakan sanksi atau hukuman. Seperti yang dikemukakan oleh Moeljanto yang dikutip oleh Erdianto40, bahwa tindak

pidana sebagai “perbuatan pidana”, yakni perbuatan yang dilarang dan diancam

dengan pidana (barang siapa melanggar barang tersebut) dan perbuatan itu harus betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau menghambat akan terciptanya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat itu.

40

(47)

Hukum dalam tindak pidana meliputi 2 aspek yaitu materiil dan formil. Hukum pidana tentang aspek materiil berisikan peraturan-peratuan tentang perbuatan yang diancam dengan hukuman, mengatur pertanggungjawaban terhadap hukum pidana, dan hukuman yang akan dijatuhkan terhadap orang-orang yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, sedangkan aspek formil merupakan sejumlah peraturan yang mengandung cara-cara negara mempergunakan haknya untuk mengadili serta memberikan putusan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana.

Aspek materiil dalam tindak pidana pencurian diatur dalam Pasal 362 sampai dengan Pasal 367 KUHPidana dengan ancaman hukuman kurungan minimal 5 (lima) dan paling lama diancam dengan penjara seumur hidup atau pidana mati seperti penjelasan di atas. Dalam proses peradilan tindak pidana pencurian, secara formil hukum pelaku harus menjalani proses peradilan meliputi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dakwaaan sidang pengadilan, pemeriksaan alat bukti, tuntutan jaksa dan putusan majelis hakim. Aspek materiil dan formil tersebut umum diterapkan kepada pelaku tindak pidana dewasa, yaitu yang sudah mampu mempertanggungjawabkan sendiri perbuatannya di hadapan hukum. Jika dilihat usianya maka dikatakan dewasa jika usia 18 tahun ke atas atau sudah kawin.

(48)

peradilan tetap dilakukan di wilayah peradilan umum, namun dengan sistem peradilan anak.

Di dalam menyelesaikan perkara tindak pidana anak, anak harus diberlakukan secara khusus. Perlindungan khusus ini terdapat pada Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Hal ini mengingat sifat dan psikis anak dalam beberapa hal tertentu memerlukan perlakuan khusus, serta perlindungan yang khusus pula, terutama pada tindakan-tindakan yang dapat merugikan perkembangan mental maupun jasmani anak. Perlakuan khusus dimulai pada saat tahap penyidikan, harus dibedakan pemeriksaan terhadap anak di bawah umur dengan orang dewasa. Dalam melakukan penyidikan terhadap perkara anak, Penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan.

Secara formil, pihak kepolisian mengikuti prosedur dalam sistem

peradilan pidana anak untuk menyelesiakan perkara yang dilakukan oleh

pelaku anak. Pihak penyidik dan penuntut umum wajib mengupayakan

pendekatan restoratif justice dengan pemberian diversi sehingga secara materiil

(49)

Anak yang tersangkut kasus hukum mendapat perlakuan hukum sesuai dengan statusnya sebagai anak yaitu melalui peradilan anak. Sanksi bagi anak yang melakukan tindak pidana pencurian tidak dapat diberikan seperti sanksi kepada orang dewasa karena bersinggungan dengan perlindungan anak. Seperti dijelaskan dalam Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

(50)

perbedaan umur anak, yaitu bagi anak yang masih berumur kurag dari 12 tahun hanya dikenai tindakan, sedangkan bagi anak yang telah mencapai umur 12 tahun sampai dengan 18 tahun dapat dijatuhi tindakan dan pidana.

Mengingat ciri dan sifat yang khas pada anak dan demi perlindungan terhadap anak, perkara anak yang berhadapan dengan hukum wajib disidangkan di pengadilan pidana anak yang berada di lingkungan peradilan umum. Proses peradilan perkara anak sejak ditangkap, ditahan dan diadili pembinaannya wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami masalah anak. Sebelum masuk proses peradilan, para penegak hukum, keluarga, dan masyarakat wajib mengupayakan proses penyelesaian di luar jalur pengadilan yaitu melalui diversi.

(51)

BAB III

PENERAPAN DIVERSI DALAM TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

A.Diversi dan Restoratif Justice

1. Pengertian Diversi dan Restoratif Justice

Dalam Pasal 1 Nomor 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

disebutkan bahwa restorative justice (keadilan restorasi) adalah

penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban,

keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama

mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali

pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Bentuk restorative justice

yang diberikan kepada anak yang melakukan tindak pidana adalah dengan

diversi.

Diversi merupakan wewenang dari aparat penegak hukum yang menangani kasus tindak pidana untuk mengambil tindakan meneruskan perkara atau mengehentikan perkara, mengambil tindakan tertentu sesuai dengan kebijakan yang dimiliknya.41 Menurut Polk42, “Diversion as program and practices which are employed for young people who have

initial contact with the police, but are diversted from the traditional juvenile

justice processes before children’s court adjudication”. Dapat dipahami

41

Marlina, 2010, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana, Medan, USU Press, hlm. 1.

42

(52)

penulis bahwa diversi merupakan suatu program dan implementasi yang diterapkan bagi orang dengan usia muda yang berhadapan secara hukum dengan polisi, tetapi dialihkan dari proses peradilan anak secara konvensional/formal sebelum penyelesaian keputusan pengadilan diberikan kepada anak yang bermasalah tersebut.

Di Indonesia, istilah diversi pernah dimunculkan dalam perumusan hasil seminar nasional peradilan anak yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung tanggal 5 Oktober 1996. Di dalam perumusan hasil seminar tersebut tentang hal-hal yang disepakati, antara

lain “Diversi”, yaitu kemungkinan hakim menghentikan atau

mengalihkan/tidak meneruskan pemeriksaan perkara dan pemeriksaan terhadap anak selama proses pemeriksaan di muka sidang.43

Tujuan dari diversi adalah untuk mendapatkan cara menangani pelanggaran hukum di luar pengadilan atau sistem peradilan yang formal. Ada kesamaan antara tujuan diskresi dan diversi. Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi keinginan menghindari efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana. Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum didasari oleh kewenangan aparat penegak hukum yang disebut discretion atau “diskresi”.44

Di dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, diuraikan mengenai tujuan diversi yaitu:

a. Mencapai perdamaian antara korban dan Anak;

43

Romli Asasmita, 2003, Peradilan Anak di Indonesia, Bandung, Mandar Maju, hlm. 201

44

(53)

b. Menyelesaikan perkara Anak di luar proses pengadilan; c. Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan; d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.

2. Syarat dan Ketentuan Diversi serta Restorative Justice

Dalam pemberian diversi, diperlukan suatu syarat dan ketentuan sebagai dasar pengambilan keputusan bisa atau tidaknya diversi diterapkan kepada anak. Adanya syarat dan ketentuan juga mengacu pada peraturan hukum internasional dan nasional sehingga diversi dapat dilaksanakan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Seperti dikutip dalam Zebua45, hukum internasional dan nasional dijelaskan sebagai berikut:

a. Hukum Internasional

1) Convention on The Rights of The Child (Konvensi Hak-Hak Anak)

Konvensi Hak-Hak Anak yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November 1989 dalam Pasal 40 menegaskan bahwa negara-negara peserta harus berupaya meningkatkan pembentukan hukum, prosedur, kewenangan dan lembaga yang secara khusus berlaku untuk anak-anak yang diduga, disangka, dituduh atau dinyatakan melanggar hukum pidana dan khususnya:

a) Menetapkan usia minimum sehingga anak-anak yang berusia di bawahnya dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk melanggar hukum pidana

45 Rahmaeni Zebua, 2014, Analisis Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam Undang-Undang

(54)

b) Bilamana layak dan diinginkan, melakukan langkah untuk menangani anak-anak seperti itu tanpa harus menempuh jalur hukum, dengan syarat bahwa hak asasi manusia dan perangkat pengamanan hukum sepenuhnya dihormati.

2) The United Nations Standard Minimum Rules for Administration of

Juvenile Justice the Beijing Rules (Peraturan Standar Minimum

PBB untuk Pelaksanaan Peradilan Anak-Peraturan Beijing) The United Nations Standard Minimum Rules for Administration of Juvenile Justice atau The Beijing Rules disahkan

melalui Resolusi Majelis Umum PBB 40/33 tanggal 29 November 1985). Dalam peraturan ini dijelaskan mengenai kebebasan dalam membuat keputusan dalam hal diskresi pada semua tahap dan tingkat peradilan dan pada tahap-tahap berbeda dari administrasi peradilan bagi anak/remaja, termasuk pengusutan, penuntutan, pengambilan keputusan dan peraturan-peraturan lanjutannya. Namun dalam pelaksanaannya dituntut agar dilaksanakan dengan pertanggungjawaban, dalam membuat keputusan tersebut juga harus benar-benar berkualifikasi dan terlatih secara khusus untuk melaksanakannya dengan bijaksana dan sesuai dengan fungsi dan tugasnya masing-masing.

(55)

memberikan saling periksa dan imbang dengan tujuan untuk mengekang penyalahgunaan kekuasaan, kebebasan membuat keputusan dan untuk melindungi hak-hak pelanggar hukum berusia muda, pertanggungjawaban dan profesionalisme merupakan instrumen-instrumen yang paling tepat untuk mengekang kebebasan membuat keputusan yang luas. Dengan demikian kualifikasi profesional dan pelatihan yang berkeahlian dalam hal ini diutamakan sebagai sarana-sarana berharga untuk memastikan pelaksanaan yang bijaksana dalam kebebasan membuat keputusan mengenai persoalan pelanggar-pelanggar hukum berusia di bawah umur.

Dalam Rule 11 poin (1), (2), (3) dan (4) beserta penjelasan disebutkan bahwa dalam hal pengalihan juga diatur bahwa:

a) Apabila perlu, pertimbangan harus diberikan kepada pejabat yang berwenang dalam menangani anak pelaku tindak pidana tanpa mengikuti proses peradilan.

b) Polisi, jaksa, atau Lembaga lain yang menangani kasus anak-anak nakal harus diberi kewenangan untuk menangani kasus tersebut dengan kebijakan mereka tanpa melalui peradilan formal, sesuai dengan kriteria yang tercantum dalam tujuan sistem hukum yang berlaku dan sesuai dengan asas-asas dalam ketentuan lain.

(56)

kasus harus tunduk pada peninjauan kembali pejabat yang berwenang pada prakteknya.

d) Untuk mempermudah disposisi kebijakan kasus-kasus anak, upaya-upaya yang dilakukan untuk mengadakan program masyarakat seperti pengawasan dan panduan secara temporer, restitusi, dan kompensasi kepada korban.

Ide diversi dicanangkan dalam The Beijing Rules dimana diversi (Diversion) tercantum dalam Rule 11.1, 11.2 dan Rule 17.4. Ide dasar diversi atau pengalihan ini adalah untuk menghindari efek negatif pemeriksaan konvensional peradilan pidana terhadap anak, baik efek negatif proses peradilan maupun efek negatif stigma (cap jahat) proses peradilan, maka pemeriksaan konvensional dialihkan, dan kepada anak tersebut dikenakan program-program diversi. Syarat-syarat dilakukan ide diversi dalam perkara anak yaitu:

a) Pelaku anak yang baru pertama kali melakukan tindak pidana b) Umur anak relatif masih muda.

c) Implementasi bentuk program-program diversi yang dikenakan pada anak mendapat persetujuan pada orang tua/wali, maupun anak yang bersangkutan.

d) Kejahatan yang dilakukan dapat tindak pidana yang ringan ataupun yang berat (dalam kasus tertentu).

(57)

f) Masyarakat mendukung dan tidak keberatan, atas pengalihan pemeriksaan ini.

g) Jika pelaksanaan program diversi gagal, maka pelaku anak tersebut dikembalikan untuk diperiksa secara formal.

Prinsip-prinsip diversi dalam Beijing Rules ini adalah:

a) Anak tidak boleh dipaksa untuk mengakui bahwa ia telah melakukan tindakan tertentu. Tentunya jika ada pemikiran akan lebih mudah apabila tidak bertindak untuk kepentingan terbaik bagi anak dengan memaksanya mengakui perbuatannya sehingga kasusnya dapat ditangani secara formal. Hal ini tidak dapat dibenarkan.

b) Program diversi hanya digunakan untuk anak yang mengakui bahwa ia telah melakukan suatu kesalahan, tapi tidak boleh ada pemaksaan.

c) Pemenjaraan tidak dapat menjadi bagian dari diversi. Mekanisme dan struktur diversi tidak mengijikan pencabutan kebebasan dalam segala hal karena hal ini melanggar hak-hak dasar dalam proses hukum.

(58)

e) Adanya hak untuk memperoleh persidangan atau peninjauan kembali. Anak harus tetap dapat mempertahankan haknya untuk memperoleh persidangan dan peninjauan kembali.

3) The United Nations Rules for The Protection of Juvenile Deprived of Their Liberty (Peraturan PBB untuk Perlindungan Anak yang

Terampas Kebebasannya)

Peraturan ini disahkan melalui Resolusi Majelis PBB No. 45/133 Tanggal 14 November 1990. Dalam peraturan ini dijelaskan

bahwa “Perenggutan Kemerdekaan” adalah segala bentuk penahanan

atau hukuman penjara apapun atau penempatan seseorang pada suatu tempat penahanan, dimana orang tersebut tidak diperkenankan pergi sesukanya, atas perintah suatu kehakiman, administratif, atau pihak umum lainnya. Tujuan dari peraturan ini adalah menetapkan standar minimum bagi perlindungan anak yang kehilangan kebebasannya dalam segala bentuk, yang konsisten dengan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar, dan bermaksud meniadakan pengaruh merugikan dari semua jenis penahanan, dan untuk membina reintegerasi dalam masyarakat.

Mengenai hal anak ditangkap atau yang menunggu persidangan maka hal yang harus dilakukan adalah:

a) Tindakan penahanan harus dihindari

(59)

d) Semua anak harus dianggap tidak bersalah e) Proses pengadilan yang cepat

f) Penahanan harus dipisahkan dari anak-anak yang dipidana g) Bantuan hukum untuk anak

4) The United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile

Delinquency the Riyadh Guidelines (Panduan PBB untuk

Pencegahan Kenakalan Anak – Panduan Riyadh)

Peraturan ini disahkan dan dinyatakan dalam Resolusi Majelis Umum PBB No.45/112 tanggal 14 Desember 1990. Dalam butir 10 dijelaskan bahwa peraturan ini berisikan bagaimana langkah-langkah yang dapat diambil dalam hal pencegahan terjadinya kenakalan anak. Penekanan harus diberikan terhadap kebijakan-kebijakan pencegahan yang membantu keberhasilan sosialisasi dan integrasi seluruh anak dan remaja, terutama melalui keluarga, masyarakat, kelompok-kelompok sebaya mereka, sekolah-sekolah, pelatihan kejuruan dan dunia kerja, serta melalui organisasi-organisasi sukarela. Perkembangan pribadi anak-anak dan remaja yang sesuai agar diperhatikan serta dalam proses sosialisasi dan integrasi mereka agar diterima sebagai mitra penuh dan seimbang.

(60)

mengenai hal ini secara tegas diatur dan terbatas pada situasi-situasi seperti:

a) Dalam hal anak atau remaja mengalami bahaya yang diakibatkan oleh orang tua atau walinya.

b) Dalam hal ini anak atau remaja telah mengalami kesewenang-wenangan seksual, fisik dan emosi yang dilakukan oleh orang tua atau walinya

c) Dalam hal anak atau remaja terabaikan, disia-siakan atau dieksploitasi oleh orang tua atau walinya

d) Dalam hal anak atau remaja terancam bahaya fisik atau moral sehubungan dengan perilaku orang tua atau walinya

e) Dalam hal bahaya serius atau psikologis terhadap anak atau remaja itu sendiri serta pelayanan-pelayanan masyarakat di luar lingkungan tinggalnya, kecuali melalui institusionalisasi, tidak dapat mengatasi bahaya yang dimaksud.

Gambar

Tabel 1. Pemidanaan tindak pidana pencurian
Tabel 4.1 Kasus pencurian di wilayah hukum Sleman

Referensi

Dokumen terkait

Rekapitulasi Nilai Perdagangan Saham Berdasarkan Tipe Investor

Makna ziarah, yang bagi mistisme Jawa serta metafisika harapan Gabriel Marcel, adalah sebuah perjalanan yang membawa manusia menuju kepada sangkan paraning dumadi atau Yang

Nilai input tersebut kemudian diproses fuzzifi-kasi-inferensi-komposisi-defuzzifikasi se-hingga terbentuk daerah kesimpulan, Output penilaian properti berupa nilai crisp

Tujuan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan strategi bauran promosi serta kendala yang dihadapi dalam penerapan strategi bauran

Silika sekam padi dapat dijadikan sebagai cross linking dalam pembuatan membran kitosan untuk filtrasi limbah. Membran B2 dengan jumlah silika 2 gram dan kitosan 3 gram

Sedangkan menurut Sugiyono Analisa data merupakan proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dengan cara mengorganisir data kedalam kategori,

What are the student’s response toward the teaching reading using Presentation, Practice and Production technique in the first year of SMP N 3 Dawe Kudus when the English class

Beban bahan organik dan unsur hara (terutama N dan P) yang berasal dari kegiatan budidaya ikan intensif dalam keramba jaring apung maupun sungai yang masuk waduk Djuanda