• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manusia yang Berjalan Memaknai Ziarah da

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Manusia yang Berjalan Memaknai Ziarah da"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Manusia yang Berjalan

(Memaknai Ziarah dalam Mistisme Jawa dan Metafisika Pengharapan Gabriel Marcel)

Manusia Peziarah

Urip iku mung mampir ngombe. Inilah salah satu ungkapan masyarakat Jawa mengenai makna kehidupan. Ungkapan tersebut dapat digambarkan demikian. Bayangkan kita sedang melakukan perjalanan panjang. Kemudian kita berhenti sebentar untuk beristirahat. Kita meminum seteguk atau lebih dari air yang kita bawa, atau yng kita beli, atau yang kita minta dari orang lain. Setelah itu kita melanjutkan perjalanan.

Mungkin gambaran itu terlalu sederhana untuk mau mengungkapkan makna hidup yang sangat luas ini. Benar. Meskipun ungkapan tersebut mempunyai arti yang sederhana tetapi makna yang terkandung sangat dalam. Untuk dapat memahami makna ungkapan itu kita dituntut untuk memahami kehidupan manusia secara menyeluruh. Dalam gambaran itu, poin yang juga mau ditunjukkan adalah bagaimana hidup itu seharusnya diisi dimaknai.

Terkait dengan itu, kita dapat menyebut bahwa hidup adalah sebuah peziarahan. Oleh karena itu, manusia yang hidup itu adalah seorang peziarah. Berbicara mengenai ziarah itu sendiri merupakan fenomena lazim yang dijumpai dalam masyarakat, baik di bumi bagian Timur maupun bumi bagian Barat. Sebagian besar umat beragama di dunia menjalankan praktik ziarah sebagai bagian dari ungkapan rasa keberagamaan, di samping ritus-ritus keagamaan yang ada. Kita bisa melihat praktik-praktik ziarah ini dijalankan dalam masyarakat.

Bagi orang Jawa dikenal ziarah kubur untuk mengingat atau menghormati sanak saudara yang sudah meninggal. Bagi umat Islam, mereka mempunyai kewajiban untuk berziarah ke Mekkah, yang sering disebut sebagai Ibadah naik Haji. Dalam umat umat Kristiani dikenal tradisi ziarah ke gua Maria dan juga ziarah ke tanah suci Yerusalem. Selain yang bercirikan agamis dan religius, ziarah ternyata juga dijalankan dalam konteks non-religius. Ambil contoh, dalam masyarakat kita sering dijumpai adanya praktik ziarah ke makam tokoh atau orang-orang penting, seperti ziarah ke makam Bung Karno dan ziarah ke makam Gus Dur.

Apa sebenarnya ziarah itu? Dalam tulisan ini akan dipaparkan mengenai apa itu ziarah, terlebih dalam kaitannya dengan pemahaman konteks budaya Timur (dalam mistisme Jawa) dan Barat (dalam Filsafat Gabriel Marcel). Keduanya akan dipakai sebagai pisau bedah untuk melihat fenomena ziarah ini. Pada intinya, tulisan ini merupakan sebuah refleksi kritis tentang perjalanan manusia yang berhadapan dengan realitas dirinya sendiri, orang lain, dan terlebih dengan Realitas Agung yang membuatnya ada di dunia ini.

Berziarah: Memaknai Hidup

Sebelum memahami makna ziarah secara lebih lanjut, mari sekarang kita mencoba melihat hidup itu sendiri. Hidup inilah yang sebenarnya akan bersama dengan kita melewati sebuah perjalanan. Dalam kamus bahasa Indonesia, kata hidup merupakan kata kerja, bukan kata sifat. Hidup dalam arti ini berarti merupakan sebuah aktivitas hidup. Hidup dalam arti aktif ini juga dapat dipahami sebagai menghayati diri, dan makin menjadi diri sendiri.

(2)

sendiri akhirnya bukan hanya soal makan, minum, membaca, menulis, tetapi bagaimana proses atau dinamika di dalamnya terus menerus digali.

Hidup ini perlu kita lihat juga dalam keterbatasannya. Baik menurut waktu dan tempat, serta dengan kemungkinan bergerak yang amat terbatas. Di sinilah hidup manusia itu memiliki aspek lokalitas serta historisnya. Sifat ini, walaupun membatasi hidup manusia, tetapi sebenarnya memiliki peran penting, khususnya dalam perkembangan kebudayaannya. Oleh karena itu selanjutnya dapat dikatakan bahwa hidup itu senantiasa mengalami perubahan, dinamis.

Makna hidup itu juga harus ditempatkan dalam konteks kebersamaan, hidup bersama. Ini adalah sebuah kenyataan, bukan sebuah teori atau dogma atau kewajiban. Dalam arti ini bisa kita kaitkan dengan makna hidup yang mengalami perkembangan di atas. Pengharapan hidup itu mulai dengan penghargaan terhadap hidup itu sendiri. Dan ini dikerjakan dalam kebersamaan. Aku menghargai engkau, engkau juga menghargai aku. Sebab, tujuan perjalanan hidup kita itu baru mempunyai arti sejauh bila hidup itu dimengerti. Arti itu bukan terletak pada pemahaman tentang apakah hidup itu, melainkan terletak pada proses perkembangan yang dinamis dalam hidup itu sendiri.

Hidup itu juga perlu disadari. Dengan kesadaran bahwa kita hidup, berarti kita juga sudah mencoba memberi makna dalam hidup ini. Bila kita tidak sadar akan hidup ini, maka kita pun juga tidak akan memiliki makna atas hidup ini.

Sangkan Paraning Dumadi: Mistisisme Jawa

Bila dilihat dalam sejarahnya, budaya Jawa tidaklah muncul secara pribadi. Artinya, budaya Jawa yang kita kenal sekarang cenderung merupakan warisan budaya budaya awali dalam Hindu, Budha dan Islam.1 Namun demikian, budaya itu telah menjadi bagian dalam

perjalanan hidup manusia Jawa sendiri. Dan budaya Jawa itu telah mengahantar perjalanan manusia Jawa tersebut untuk memaknai hidupnya.

Bagi orang Jawa hakikat hidup Kejawennya adalah kebatinan, yaitu mistisisme. Sampai saat ini mistik Kejawen masih dilakukan para penganutnya, yang tersebar di seluruh pulau Jawa, bahkan di luar Pulau Jawa, baik di desa maupun di kota. Kebatinan itu sendiri sering dianggap sebagai intisari dari kejawen, yaitu usaha manusia jawa dalam memupuk batinnya. Dengan olah batinnya, manusia bisa terlepas dari segala sesuatu yang semu, sehingga membuat hidup itu kehilangan makna dan menjadi tidak otentik.

Dalam budaya Jawa, nilai-nilai kearifan lokal seperti dalam kebatinan tersebut mengarahkan kesadaran pada kesejatian diri masing-masing manusia, pengenalan diri pada kehidupan, dan menghidupkan kembali kesejatian yang ada dalam diri manusia. Kebatinan merupakan spiritualitas yang berhubungan dengan manusia dan sekaligus dunianya, dan terlebih berhubungan dengan Sangkan paraning dumadi.

Dalam hidup ini, manusia senantiasa diingatkan untuk memahami filosofi Kejawen yang berbunyi "Sangkan Paraning Dumadi". Apa sebenarnya Sangkan Paraning Dumadi? Jika kita mendalami Sangkan Paraning Dumadi, maka kita akan mengetahui kemana tujuan kita setelah hidup ini. Inilah yang juga disebut sebagai peziarahan dalam mistisme orang Jawa

Mistik Jawa secara umum disebut sebagai kebatinan. Praktik kebatinan itu sendiri merupakan suatu usaha berkomunikasi dengan sesuatu yang transensen, yang melampaui realitas eksistensi manusia. Kebatinan ini sendiri sebenarnya juga suatu usaha dalam melihat eksistensi

(3)

manusia dalam susunan kosmologis. Dalam paham Jawa sering diungkapkan bahwa terdapat dua

jagad dalam hidup ini; jagad alit, dan jagad Gedhe.

Dalam upaya-upaya mistik ini, manusia (jagad alit) perlu juga mengatasi segi badaniah, sepertiu nafsu, emosi dan naluri, nafsu dan rasionalitas duniawi, agar batinnya bebas untuk bersatu, manunggal dalam keseluruhuan alam ini (jagad Gedhe)2. Inilah yang diharapkan dalam mistisisme Jawa, yaitu dimana kita bisa mencapai keteraturan dan mengalami keharmonisan. Keteraturan dan harmoni inilah yang dalam arti terdalam terjadi suatu kemanunggalan, kesatuan dari segala-galanya, pencipta dengan yang diciptakan, kawula dengan Gusti, sangkan paraning dumadi.

Dalam perjalanan menuju makna kehidupannya, manusia diajak masuk ke dalam dirinya sendiri. Sebuah kisah Pewayangan Jawa menampilkan sebuah “drama perjalanan” ke dalam dirinya. Perjalanan ini juga menggambarkan bagaimana manusia juga pada akhirnya harus menyadari dirinya, masuk bersatu dengan dirinya, dan pada akhirnya akan bersatu dengan

Gustinya, manunggaling kawula Gusti. Kisah ini adalah kisah Dewa Ruci. Gagasan dalam kisah Dewa Ruci ini menyatakan bahwa menelusuri jalan mistik adalah sebuah perjalanan menuju kebenaran dan realisasi diri3. Perjalanan ini dilukiskan dengan amat hidup yang menuturkan pencarian Bima untuk menemukan rahasia kehidupan.

Dalam tulisan ini memang tidak dijelaskan secara detail tentang kisah Dewa Ruci ini. Penulis mengambil kisah ini sebagai contoh bagaimana mistisisme kebatinan orang Jawa itu digeluti. Cerita Dewa Ruci merupakan sebuah ciptaan yang sangat indah dalam segala hal (adhiluhung), sekaligus juga rumit dan penuh nilai-nilai filosofis (kebatinan) yang amat dalam dan luas, penuh dengan ajaran yang sangat besar pengaruhnya dalam tata hidup manusia sehari-hari.

Esensi kebatinan terletak dalam penguasaan diri dan kepekaan. Esensi itu berpusat pada diri, dalam harapan merealisasikan kesempurnaan hidup, tanpa memandang lingkungan sosial seseorang. Dalam perspektif mistik Jawa, pandangan ini diekspresikan dalam gagasan pencapaian kemanunggalan antara hamba dan Tuhan (manunggaling kawula Gusti). Untuk mencapai ini, orang harus mengatasi belenggu yang mengikat setiap individu dengan eksistensi fenomenal, seperti nafsu dan rasionalitas duniawi, yang hanya menggiring pada persepsi menyesatkan tentang kebenaran4.

Sehubungan dengan itu, dalam perjalanan mistiknya, dengan melihat tujuan akhirnya adalah manunggalnya dengan sangkan paraning dumadinya, dunia menjadi tidak penting lagi. Namun di sini juga bukan sebuah penolakan yang mutlak terhadap dunia, melainkan sebuah tuntunan bagi kita agar tidak terjebak dalam kefanaan dunia ini. Mistisisme kebatinan Jawa ini membantu kita agar tidak terlekat dengan dunia, dan membawa peziarahan hidup ini kepada sangakan paraning dumadi tersebut.

Homo Viator: Mistisisme Pengharapan dalam Gabriel Marcel

Seorang filosof Perancis, Gabriel Marcel merefleksikan eksistensi manusia sebagai yang berada dalam suatu perjalanan menuju kesempurnaan. Dalam refleksinya, manusia dilihat sebagai seorang pengembara atau peziarah (homo viator) yang sedang mengembara menuju tujuan hidupnya. Namun, Marcel menyadari bahwa tujuan manusia tidak pernah tercapai selama

2 Ibid., hlm. 27.

3 Ibid.

(4)

ia masih berada di dunia ini. Manusia memiliki keterbatasannya. Namun meskipun terbatas, manusia memiliki harapan.Di sini Marcel menawarkan sebuah metafisika harapan.

Berkaitan dengan harapan itu sendiri muncul pertanyaan dalam benak penulis: “Mengapa manusia harus berharap dalam hidupnya? Dan bagaimana manusia harus berharap?” Di sini pula panulis mencoba merefleksikan jawaban tersebut menurut pandangan Gabriel Marcel. Marcel melihat keberadaan manusia sebagai sebuah misteri ketimbang problem5. Sebuah problem pada dasarnya dapat diselesaikan sedangkan misteri tak dapat diselesaikan secara tuntas. Oleh karena itu, refleksi tentang manusia sebagai mahkluk yang sedang berkembang tidak pernah terpecahkan karena eksistensi manusia lebih dalam dan lebih kompleks daripada apa yang dapat dikatakan dan apa yang dapat dijelaskan secara rasional.

Ia mengemukakan bahwa eksistensi manusia selalu berarti ada bersama yang lain (esse est co-esse)6. Keberadaan itu mengandaikan adanya korelasi atau hubungan timbal balik dalam

suatu kebersamaan. Kebersamaan yang dibangun itu akan menjadikan manusia sungguh-sungguh manusia. Pengalaman kebersamaan akan menjadi dasar bagi harapan manusia dalam hidup ini7.

Harapan dalam diri manusia akan mengarahkan manusia pada sesuatu yang ada di luar dirinya. Harapan itu berangkat dari sebuah kerendahan hati dan penyerahan diri yang total. Dalam kerendahan hati itu ada keterbukaan kepada yang lain yang tidak didasarkan pada kehendak untuk memaksa agar harapan itu terpenuhi. Dengan demikian, harapan itu bukan sebuah keinginan, sebab keinginan memaksa manusia untuk segera memenuhinya.

Di sini Gabriel Marcel sendiri juga memberikan perbedaan antara keinginan dan harapan. Di dalam keiinginan terkandung sebuah nilai kepuasan tertentu bila apa yang diinginkannya itu tercapai. Hal ini menunjukkan bahwa dalam keingginan diandaikan sebuah sifat egosentris, serta cenderung mengarah kepada kekuasaan. Dengan demikian, sebuah relasi yang dibangun berdasarkan keinginan ini akan menjadikan sesama sebagai objek pemuas kebutuhan. Namun, harapan tidaklah demikian. Di dalam harapan tidak dimunculkan sesuatu yang diinginkan secara bernafsu. Harapan tidak membayangkan hal yang bakal muncul. Harapan sejati berasal dari keterbukaan dan kesetiaan total dari pihak yang berharap. Harapan adalah penjamin akhir dari kesetiaan. Artinya, harapan itu memungkinkan manusia untuk tidak putus asa, yang memberikannya kekuatan, untuk terus menciptakan diriku dalam kebersamaan dengan yang lain.

Berbicara mengenai harapan, Marcel juga mengemukakan bahwa asar pengharapan itu tidak terletak dalam dunia serta dinamikanya, melainkan dalam diri manusia itu sendiri, khususnya dalam kepribadiannya. Pengharapan di sini berarti bahwa manusia berani menerima dirinya sendiri, apa adanya, dan tetap percaya pada potensi pengembangan dirinya. Dalam kesadaran bahwa perkembangan itu hanya terlaksana dalam aneka kegiatan, yang masing masing tidak dapat menentukan dinamika pengharapan itu sendiri, manusia berani menerima hidup dalam keseluruhannya.8

Berkaitan dengan hidup manusia yang terbatas ,dan manusia yang berharap, Marcel menunjukkan kaitan eksistensi manusia ini dengan realitas lain yang mengatasinya, yang menjadikan manusia ada. Begini kaitannya. Setelah menyadari hakikat keterbatasan hidup manusia yang senantiasa mengancam eksistensinya, Marcel kemudian menawarkan konsep harapan kepada Engkau Absolut. Dia merupakan dasar terakhir manusia untuk meletakkan harapannya. Engkau Absolut yang dimaksudkan Marcel, yaitu Allah. Ia adalah dasar metafisis

5 Gabriel Marcel, Homo Viator, Sketch of Phenomenology and a Metaphysic of Hope, Terj. Emma Craufurd, (Chicago: Henry Regnery Company), hlm. 29-30

6 Ibid.

7 Ibid., hlm. 39-40.

(5)

bagi manusia sekaligus dasar terdalam dari harapan manusia. Harapan ini lahir dari sebuah kesadaran bahwa manusia tidak mampu menjamin keutuhannya, demikian juga sesamanya yang merupakan tempat bersandarnya harapan itu. Baginya sesama sering ingkar janji dan mengkhianati cinta. Keyakinan ini bukan berarti di antara manusia tidak ada rasa percaya sehingga terjadi pengingkaran terhadap kebersamaan. Namun, manusia hanya beralih menuju Yang Transenden, yang merupakan sumber arti dan nilai bagi eksistensinya.

Yang Absolut (Engkau Absoluti) ini, diakui sebagai dasar dan penjamin hidup manusia, yang merupakan sumber segala arti dan nilai. Pengakuan akan Yang Absolut ini membuat manusia meletakkan harapan padaNya, karena manusia menyadari dirinya sebagai yang terbatas dalam ruang dan waktu. Harapan manusia ini lahir dari suatu keterbukaan total dan penyerahan diri seutuhnya untuk mencapai kepenuhan di dalam Dia Yang Absolut.

Suatu kenyataan keterbatasan manusia adalah bahwa manusia tidak akan pernah sampai pada titik kesempurnaan yang diharapkannya. Sering kali manusia dihadapkan pada situasi batas, rasa kecewa, putus asa, cemas dan tidak pasti dalam hidup. Kenyataan-kenyataan ini tidak dapat dihindari begitu saja. Pokok pikiran kenyataan keterbatasan eksistensi dalam refleksi Gabriel Marcel tentang harapan absolut kepada Engkau Absolut akan membantu manusia untuk menyadari keterbatasannya sekaligus menghantar manusia kepada sebuah penyerahan diri yang mendalam pada Yang Absolut. Dengan adanya harapan pada Engkau Absolut, manusia dapat menerima kenyataan hidupnya dan semakin bergairah dalam memaknai setiap pengalaman hidupnya.

Ziarah: Askese Eskatologis

Dalam melihat perjalanan manusia, kita tidak hanya berbicara mengenai perkembangan hidupnya serta harapannya. Kita tidak boleh melupakan satu sisi dalam kehidupan ini yang perlu kita lihat secara lebih dalam. Manusia sadar dan mengambil jarak terhadap dunia dan seluruh isinya. Hal ini terkaitdengan sifat dunia yang hanya sementara. Kita manusia, sebagai makhluk yang terus berjalan, tidak akan mungkin terus menerus terikat di dalam dunia yang sementara ini. Mungkin hal ini menimbulkan kesan akan suatu dualisme, namun lebih dari itu sebenarnya yang mau dijelaskan yaitu, mengenai berjalan terus,tanpa memikirkan apa yang akan ia pakai, apa yang akan ia makan dan minum.

Inilah bentuk askese dalam perjalanan hidup manusia. Askese adalah sebuah usaha manusia yang menyadari dirinya. Dalam mistisisme Jawa telah kita lihat bagaimana manusia yang sadar itu adalah manusia yang mencoba masuk ke dalam dirinya, dan bersatu menuju sangkan paraning dumadi. Banyak praktek laku tapa yang dijalankan untuk mencapai kemanunggalan tersebut. Seperti misalnya orang yang berziarah di Gua Maria Pohsarang, Kediri. Mereka rela datang jauh-jauh dari seluruh penjuru Indonesia untuk menyerahkan harapannya kepada Sang Ibu Maria. Mereka dengan rela mengikuti perayaan Jumah Legian untuk menimba kesegaran dan ketenangan batin. Beberapa diantara mereka juga bertirakat agar permohonannya dikabulkan. Bentuk laku tapa atau tirakatnya bermacam-macam. Ada yang berpuasa pada hari Senin dan Kamis, atau juga berjaga semalaman suntuk saat Hari Jumah Legi tersebut.

(6)

demikian, harapan itu bukan sebuah keinginan, sebab keinginan memaksa manusia untuk segera memenuhinya.

Maka dalam makna mistisisme Jawa dan Gabriel Marcel ini dapat dikatakan bahwa homo viator ini memiliki aspek eskatologis dalam perjalanan peziarahan hidupnya. Hal ini benar, bahwa segala sesuatu tadi adalah sementara belaka. Maka orang tidak dapat dengan sepenuhnya memberikan diri. Manusia berada di dalam dunia, tetapi ia bukan dari dunia. Di satu sisi, masa yang akan datang juga tidak diharapkan datang begitu saja. Orang harus melibatkan diri di dalam dunia ini untuk memperjuangkan masa depannya.

Manunggaling Kawula Gusti adalah tujuan peziarahan ini. Hamba dan Gusti tidak dapat dipisahkan secara total. Maka Homo Viator dapat dilukiskan bukan hanya berjalan kepada Gusti, tetapi juga berjalan bersama Gusti. Dalam memahami bahwa ia berjalan bersama Gustinya,

manusia perlu mengambil jarak, paling sedikit dalam hatinya. Poin penting yang ingin dikatakan di sini adalah soal kesadaran diri. Kesadaran diri inilah yang oleh Marcel juga dihubungkan dengan penerimaan diri, keterbukaan. Sadar bahwa manusia itu adalah makhluk terbatas, maka ia pun membuka dirinya untuk berelasi dengan Yang Absolut. Yang Absolut (Engkau Absoluti)ini,

diakui sebagai dasar dan penjamin hidup manusia, yang merupakan sumber segala arti dan nilai. Pengakuan akan Yang Absolut ini membuat manusia meletakkan harapan padaNya, karena manusia menyadari dirinya sebagai yang terbatas dalam ruang dan waktu. Harapan manusia ini lahir dari suatu keterbukaan total dan penyerahan diri seutuhnya untuk mencapai kepenuhan di dalam manunggaling kawula Gusti.

Ziarah: Berjalan Menjadi-Mencintai9

Orang yang berjalan menjadi capai, lelah. Orang yang menempuh perjalanan hidup yang panjang ini juga tidak selalu bisa kreatif, dan penuh semangat. Kadang-kadang malah hanya diam dan mengikuti arus yang ada. Bila demikian apa yang harus dilakukan? Haruskah perjalanan ini dihentikan?

Bila melihat apa yang sudah dibahas di atas, maka jawaban yang tepat adalah tetap berjalan. Berjalan terus, tetapi pelan-pelan. Sesekali juga perlu rehat, tetapi tidak seterusnya. Menjalankan yang biasa, dengan tetap mencari, dengan mata terbuka kepada sesuatu yang menginspirasi jiwanya. Dengan kata lain dalam perjalanan itu manusia perlu sebuah sikap refleksif. Dengan bertanya apa yang sebetulnya dicari dalam perjalanan ini. Refleksi di sini berarti tidak terjebak dalam aneka kegiatan atau tugas-tugas yang terbatas sifatnya. Tetapi terbuka untuk berkontak dengan orang lain. Di sinilah makna ziarah sebagai bentuk refleksi itu seharusnya dihayati.

Ziarah dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk refleksi. Namun sekali lagi, ziarah di sini bukan hanya sekedar touring. Memang dalam perkembangan jaman, kiranya ziarah mengalami pergeseran makna. Makna ziarah, yang bagi mistisme Jawa serta metafisika harapan Gabriel Marcel, adalah sebuah perjalanan yang membawa manusia menuju kepada sangkan paraning dumadi atau Yang Absolut itu, kini telah berganti. Dapat dikatakan bahwa ziarah sudah bukan lagi soal makna. Ziarah menjadi soal manfaat dan keindahan. Cara ziarah juga telah berganti.

Ziarah sebagai perjalanan makna bagi manusia kini telah dicampuri oleh kepentingan-kepentingan pribadi maupun kelompok. Yang ujung-ujungnya adalah hanya menjadi sebuah touring. Di sini dimaksudkan adanya bahaya bahwa ziarah tidak lagi mencari makna, tetapi

(7)

mencari kepuasan pribadi. Pada jaman ini banyak sekali para agen-agen tour ziarah ke Tanah Suci, tour ke Eropa. Memang tujuannya adalah untuk membantu para peziarah untuk bisa dengan mudah dan nyaman dalam peziarahannya. Namun kiranya peziarahan semacam ini juga sangat menghilangkan maknanya bila tidak benar-benar disadari oleh peziarah itu sendiri.

Ziarah bukan dimaksud hanya dengan mengadakan kunjugan-kunjungan pada tempat keramat atau kudus. Ziarah di sini harus dimaknai sebagai sebuah perjalanan pendakian, sebuah perjalanan dalam suasana doa dan refleksi. Biasanya orang duduk atau bersila ketika berdoa. Dalam ziarah orang berdoa, dan reflesksi, sambil berjalan. Bahkan perjalanan itu sendiri adalah bagian dari perwujudan doanya.

Inilah yang seharusnya juga disadari dan dialami oleh kita, para peziarah. Seperti orang-orang yang yang berziarah di Gua Maria Pohsarang, atau Ke Gunung Kawi, atau ke Yerusalem, ke Mekkah, dan lainnya, misalnya, mereka tak hanya sekedar mencari serta memenuhi keinginannya. Lebih dari itu ada sebuah doa, refleksi, serta pengharapan dalam hidupnya yang melebihi keiinginan. Harapan itu muncul dalam kesetiaan mereka melakukan tirakatan, entah dalam misa Jumah Legian atau dalam ziarah-ziarah devosional yang mereka lakukan. Armada Riyanto, dalam bukunya “Menjadi-Mencintai” juga menulis “Kemudahan hidup tak menampilkan produk pengharapan. Pengharapan merupakan buah dari pergulatan untuk tidak larut dalam derasnya derita kehidupan. pengharapan mengatakan sebuah pesona kemanusiaan yang tiada taranya.10 Mistisisme harapan inilah yang ditawarkan oleh Gabriel Marcel, dan patut kita bawa sebagai bekal perjalanan peziarahan hidup kita.

Berziarah pada akhirnya juga merupakan suatu proses perkembangan. Meminjam judul dari buku Armada Riyanto, CM, “Menjadi-Mencintai”, proses menjadi-mencintai inilah yang juga menjadi tujuan dari ziarah manusia. Manusia pada akhir perjalanannya akan mencapai pada suatu kepenuhan. Kepenuhan ini menjadikannya sebagai manusia yang utuh. Ia menjadi utuh dan ada di dalam sangkan paraning dumadi-nya. Dan dalam kemanunggalan ini manusia juga menampakkan wajah Sang Cinta itu sendiri. Ziarah merupakan pendakian yang Agung untuk menemukan makna terdalam hidup ini. Selamat berjalan.

DAFTAR BACAAN:

Marcel, Gabriel. Homo Viator, Sketch of Phenomenology and a Metaphysic of Hope,

Terj. Emma Craufurd. Chicago: Henry Regnery Company, 1951.

Mulder, Niels. Mistisisme Jawa. Yogyakarta: Penerbit LKiS, 2001.

Purwadi, Dr. Penghayatan Keagamaan Orang Jawa, Refleksi atas Religiositas Serat Bima Suci. Yogyakarta: Penerbit Pressindo, 2002.

Riyanto, Armada, CM. Menjadi-Mencintai. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2013.

Referensi

Dokumen terkait

Sinar Mayang Lestari dalam melaksanakan program direct marketing hendaknya mengoptimalkan semua bentuk direct marketing yang dilakukan sehingga akan terjadi keseimbangan

Berdasarkan pemahaman mengenai PTK diatas, maka dapat disimpulkan bahwa penelitian tindakan kelas (PTK) merupakan suatu kegiatan pengamatan yang dilakukan didalam

Tujuan dari penelitian in adalah mendesain alternatif layout gudang bahan baku Repoeblik Telo berdasarkan faktor komoditi dalam pengaturan layout gudang yang

Laporan data PPOK berdasarkan World Health Organization (WHO) terdapat 600 juta orang menderita PPOK di dunia dengan 65 juta orang menderita PPOK derajat sedang hingga

Bervariasinya nilai faktor kondisi pada ikan-ikan terkoleksi, selain faktor ketersediaan makanan dan jenis kelamin, juga diduga disebabkan oleh perbedaan umur ikan terkoleksi,

Analisis biaya yang lebih cost-minimize antara terapi antibiotik ceftriaxone dan cefotaxime dengan luaran sembuh pada pasien pneumonia dewasa di instalasi rawat inap

 perjanjian untuk melakukan aksi balap liar, setelah itu mereka mem#di%ikasi dan setelah itu mereka mem#di%ikasi dan memperbaiki sepeda m#t#r mereka agar dapat berlari secepat

Dalam teori demokrasi pemerintahan yang terbuka adalah suatu hal yang esensial atau penting terutama akses bebas setiap warga negara terhadap berbagai sumber informasi, supaya