• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Diri Pengguna NAPZA di Pusat Rehabilitasi Al-Kamal Sibolangit Centre

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Konsep Diri Pengguna NAPZA di Pusat Rehabilitasi Al-Kamal Sibolangit Centre"

Copied!
146
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

oleh

Khairiyatul Munawwarah 111101007

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)
(3)
(4)
(5)

Nama Mahasiswa : Khairiyatul Munawwarah

NIM : 111101007

Jurusan : S1 Ilmu Keperawatan USU Tahun akademik : 2014 / 2015

Penggunaan NAPZA yang begitu marak terjadi bukan lagi merupakan suatu hal asing bagi kita. Semakin bertambahnya jumlah pengguna, maka hal ini akan berpengaruh pada ketahanan berbangsa dan bernegara. NAPZA yang digunakan juga akan menimbulkan berbagai efek baik dari segi fisik, psikologis dan lain sebagainya. Salah satunya akan berdampak pada konsep diri. Orang yang menggunakan NAPZA cenderung dinilai dan menilai dirinya secara negatif. Adapun penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana konsep diri pengguna NAPZA di Pusat Rehabilitasi Al-Kamal Sibolangit Centre. Desain penelitian yang digunakan yaitu kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling. Jumlah partisipan sebanyak 6 orang. Analisa data dilakukan dengan metode Colaizzi. Dari hasil penelitian didapatkan 6 tema terkait konsep diri yaitu (1) kehidupan yang dijalani pengguna NAPZA, (2) perubahan setelah menggunakan NAPZA, (3) respon psikologis pengguna selama menggunakan NAPZA, (4) respon orang lain saat dirinya menggunakan NAPZA, (5) tanggung jawab selama menggunakan NAPZA, (6) memiliki harapan dalam hidupnya. Dengan hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi institusi pendidikan keperawatan untuk lebih memperdalam pembahasan blok komunitas/psikososial. Dan juga diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi gambaran untuk pengguna NAPZA lainnya agar lebih memahami tentang konsep diri yang dialami oleh pengguna NAPZA.

(6)

Substances (NAPZA) Users in Al-Kamal Rehabilitation Center of Sibolangit

Student Name : Khairiyatul Munawwarah Student ID Number : 111101007

Departement : S1 (Undergraduate) Nursing Academic Year : 2014 / 2015

The prevalent abuse of Narcotic, Psychoactive, and Addictive Substances (NAPZA) has become a common sight. The increasing number of abusers can affect the resistance of a nation and state. NAPZA abuse can also cause various effects both physically and psychologically, as well as other effects. Among these other effects is the self-concept. Drug abusers tend to judge themselves and be judged by others negatively. The aim of this research is to understand the self concept of NAPZA Users in Al-Kamal Rehabilitation Center of Sibolangit. The research design used was the qualitative phenomenological design. The sampling technique used was purpossive sampling. The number of participants were six people. Data analysis was conducted using Colaizzi’s method. The results of the research showed that there were six themes relating to self concept : (1) the life of NAPZA users, (2) changes after using NAPZA, (3) the psychological response during NAPZA abuse, (4) the environmental response during the use of NAPZA, (5) the responsibility during the use of NAPZA, (6) having of hope in life. The results of this research are hoped to be beneficial for nursing science institutions to further extend researches and studies in psychosocial/community blocks, as well as for other NAPZA users as an illustration to understand more about the self concept experienced by NAPZA users.

(7)

dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul “Konsep Diri Pengguna NAPZA di Pusat Rehabilitasi Al-Kamal Sibolangit Centre”

dengan tepat pada waktu yang telah ditentukan. Shalawat dan salam juga turut penulis hanturkan kepada Rasulullah SAW. Karena dengan jasa beliau, kita dapat merasakan nikmatnya ilmu pengetahuan dan telah bebas dari alam jahiliyah.

Dalam penyusunan skripsi ini, tidak sedikit hambatan dan tantangan yang dialami penulis. Baik dari proses awal perumusan judul, hingga proses penyelesaian skripsi. Namun, dengan adanya Allah SWT yang selalu mendampingi dan membukakan jalan pikiran maka alhamdulillah segala hambatan tersebut dapat ditanggulangi dan dilewati dengan baik oleh penulis.

Dalam penelitian ini, penulis banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, maka dalam kesempurnaan ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua terhebat yang pernah ada dalam kehidupan penulis. Ibunda tercinta Alm. Hj. Sa’diyah Aziz, S.Ag yang telah

mendahului bertemu Allah SWT., juga Ayahanda terkasih H. Zailani Ibrahim, B.Sc yang juga sangat berjasa selama ini. Kepada dua sosok ini penulis tak habis-habisnya bersyukur dan berterimakasih atas motivasi, dukungan, dan cinta yang telah diberikan selama ini dalam kehidupan penulis.

(8)

staf dan dosen pengajar Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan fasilitas, dan juga ilmu kepada penulis selama mengenyam pendidikan di Fakultas Keperawatan ini.

Penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Wardiyah Daulay, S.Kep., Ns., M.Kep., selaku dosen pembimbing paling baik dan pengertian yang telah dengan sabar menghadapi penulis dan bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan memberikan pencerahan kapanpun itu. Yang selalu memotivasi penulis dalam pembuatan skripsi ini.

Kata Terimakasih juga penulis ucapkan kepada dosen penguji yang telah memberikan banyak saran dan masukan membangun dalam penulisan skripsi ini, yaitu Ibu Dr. Siti Saidah Nasution, S.Kep., M.Kep., Sp.Mat., dan Ibu Roxsana Devi Tumanggor, S.Kep., Ns., MNurs.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada segenap keluarga besar pengurus Rehabilitasi Al-Kamal yang sangat ramah dan selalu siap sedia membantu penulis dengan ikhlas dalam berbagai hal terkait proses penelitian. Baik dari kemudahan dalam mengurus urusan perizinan dan lain sebagainya. Buat Kak Tia Arisanti dkk, dan Bang Yayan dkk., Allah yang akan membalas semuanya.

(9)

kekurangan. Hal ini bukan merupakan suatu kesengajaan. Penulis masih dalam masa belajar dan baru pertama kali mengahadapi proses skripsi sehingga memiliki keterbatasan ilmu dan kemampuan. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi terciptanya kesempurnaan dari isi skripsi ini.

Atas segala bantuan dan arahan yang diterima, penulis berdoa semoga Allah SWT membalas segala jasa berharga dan tak henti memberikan nikmatNya kepada kita semua. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh aspek pengembangan ilmu pengetahuan yang terkait, terutama bagi profesi keperawatan.

Medan, Agustus 2015 Penulis

(10)

Lembar persetujuan sidang ... iv

2.1.2. Jenis dan tingkatan konsep diri ... 10

2.1.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri... 12

2.1.4. Komponen-komponen konsep diri ... 15

2.1.5. Dimensi konsep diri ... 22

2.1.6. Peranan konsep diri dalam pembentukan perilaku ... 23

2.1.7. Kepribadian yang sehat ... 24

2.1.8. Konsep diri pengguna NAPZA ... 25

2.2 Konsep NAPZA 2.2.1. Definisi NAPZA ... 29

2.2.2. Faktor yang mempengaruhi penyalahgunaan NAPZA... 31

2.2.3 Dampak penyalahgunaan NAPZA... 34

2.2.4. Klasifikasi penyalahgunaan NAPZA... 36

2.2.5. Penanggulangan ... 37

(11)

3.3.2. Waktu pengumpulan data ... 43

3.4 Pertimbangan etik ... 43

3.5 Pengumpulan data ... 44

3.6 Analisa data ... 47

3.8 Tingkat kepercayaan data ... 49

3.8.1. Credibility... 49

4.1.2. Konsep diri pengguna NAPZA di pusat rehabilitasi Al-kamal sibolangit centre ... 52

Lampiran 1. Informed consent ... 103

Lampiran 2. Lembar persetujuan menjadi partisipan ... 105

Lampiran 3. Instrumen penelitian (Kuesioner Data Demografi) ... 106

Lampiran 4. Panduan wawancara ... 107

Lampiran 5. Surat uji validitas pertanyaan wawancara ... 108

Lampiran 6. Surat izin penelitian ... 109

Lampiran 7.Transaksi dana ... 113

Lampiran 8. Lembar bukti bimbingan ... 114

Lampiran 9. Transkrip wawancara partisipan 1 ... 116

(12)
(13)

Nama Mahasiswa : Khairiyatul Munawwarah

NIM : 111101007

Jurusan : S1 Ilmu Keperawatan USU Tahun akademik : 2014 / 2015

Penggunaan NAPZA yang begitu marak terjadi bukan lagi merupakan suatu hal asing bagi kita. Semakin bertambahnya jumlah pengguna, maka hal ini akan berpengaruh pada ketahanan berbangsa dan bernegara. NAPZA yang digunakan juga akan menimbulkan berbagai efek baik dari segi fisik, psikologis dan lain sebagainya. Salah satunya akan berdampak pada konsep diri. Orang yang menggunakan NAPZA cenderung dinilai dan menilai dirinya secara negatif. Adapun penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana konsep diri pengguna NAPZA di Pusat Rehabilitasi Al-Kamal Sibolangit Centre. Desain penelitian yang digunakan yaitu kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling. Jumlah partisipan sebanyak 6 orang. Analisa data dilakukan dengan metode Colaizzi. Dari hasil penelitian didapatkan 6 tema terkait konsep diri yaitu (1) kehidupan yang dijalani pengguna NAPZA, (2) perubahan setelah menggunakan NAPZA, (3) respon psikologis pengguna selama menggunakan NAPZA, (4) respon orang lain saat dirinya menggunakan NAPZA, (5) tanggung jawab selama menggunakan NAPZA, (6) memiliki harapan dalam hidupnya. Dengan hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi institusi pendidikan keperawatan untuk lebih memperdalam pembahasan blok komunitas/psikososial. Dan juga diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi gambaran untuk pengguna NAPZA lainnya agar lebih memahami tentang konsep diri yang dialami oleh pengguna NAPZA.

(14)

Substances (NAPZA) Users in Al-Kamal Rehabilitation Center of Sibolangit

Student Name : Khairiyatul Munawwarah Student ID Number : 111101007

Departement : S1 (Undergraduate) Nursing Academic Year : 2014 / 2015

The prevalent abuse of Narcotic, Psychoactive, and Addictive Substances (NAPZA) has become a common sight. The increasing number of abusers can affect the resistance of a nation and state. NAPZA abuse can also cause various effects both physically and psychologically, as well as other effects. Among these other effects is the self-concept. Drug abusers tend to judge themselves and be judged by others negatively. The aim of this research is to understand the self concept of NAPZA Users in Al-Kamal Rehabilitation Center of Sibolangit. The research design used was the qualitative phenomenological design. The sampling technique used was purpossive sampling. The number of participants were six people. Data analysis was conducted using Colaizzi’s method. The results of the research showed that there were six themes relating to self concept : (1) the life of NAPZA users, (2) changes after using NAPZA, (3) the psychological response during NAPZA abuse, (4) the environmental response during the use of NAPZA, (5) the responsibility during the use of NAPZA, (6) having of hope in life. The results of this research are hoped to be beneficial for nursing science institutions to further extend researches and studies in psychosocial/community blocks, as well as for other NAPZA users as an illustration to understand more about the self concept experienced by NAPZA users.

(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Berita-berita terkait tindakan kriminal diberbagai media banyak menampilkan tentang maraknya kasus penyalahgunaan NAPZA. NAPZA merupakan singkatan dari narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adikfif lainnya. NAPZA berupa zat yang apabila masuk ke dalam tubuh akan mempengaruhi tubuh, terutama susunan saraf pusat yang dapat menyebabkan gangguan pada fisik, psikis dan fungsi sosial (Sumiati, dkk, 2009).

Masalah penyalahgunaan NAPZA semakin banyak dibicarakan baik di kota besar maupun kota kecil diseluruh wilayah Republik Indonesia. Peredaran NAPZA sudah sangat mengkhawatirkan sehingga cepat atau lambat penyalahgunaan NAPZA akan menghancurkan generasi bangsa atau disebut dengan lost generation (Joewana, 2005). Penyalahgunaan NAPZA menduduki ranking 20 dunia penyebab angka kematian dan ranking ke 10 di negara berkembang, termasuk Indonesia (Viva News, 2014).

(16)

terungkap 108.107 kasus kejahatan NAPZA dengan jumlah tersangka 134.117 orang (Viva News, 2014).

Sumatera Utara menempati urutan kedua nasional sebagai pecandu NAPZA terbanyak setelah DKI Jakarta. Angka mengejutkan ditunjukkan dari jumlah 13.251.401 warga Sumatera Utara, terdapat 228.246 warga yang mengkonsumsi NAPZA. Bahkan 97.269 diantaranya masih berstatus pelajar. Setiap tahunnya sebanyak Rp. 3.116.997.611.148 digunakan oleh 228.246 warga Sumatera Utara untuk belanja NAPZA dengan berbagai jenis. Medan merupakan salah satu daerah pengguna napza tertinggi dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di sumatera Utara (Sumut Pos, 2013).

Faktor resiko yang menyebabkan penyalahgunaan NAPZA menurut Soetjiningsih (2004) antara lain faktor genetik, lingkungan keluarga, pergaulan (teman sebaya), dan karakteristik individu.

(17)

Berkembangnya jumlah pecandu NAPZA juga ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor internal diri meliputi: minat, rasa ingin tahu, lemahnya rasa ketuhanan, dan kestabilan emosi. Dan faktor eksternal diri yang meliputi: gangguan psikososial keluarga, lemahnya hukum terhadap pengedar dan pengguna narkoba, lemahnya sistem sekolah termasuk bimbingan konseling, dan lemahnya pendidikan agama.

Dampak penyalahgunaan NAPZA diantaranya adalah terhadap kondisi fisik, kehidupan mental emosional dan kehidupan sosial. Gangguan mental emosional pada penyalahgunaan obat akan mengganggu fungsinya sebagai anggota masyarakat, bekerja atau sekolah. Pada umumnya prestasi akan menurun, lalu dipecat/dikeluarkan yang berakibat makin kuatnya dorongan untuk menyalahgunakan NAPZA. Dalam posisi demikian, hubungan anggota keluarga dan teman dekat pada umumnya akan terganggu. Kemudian pemakaian yang lama akan menimbulkan toleransi, serta kebutuhan akan zat bertambah. Akibat selanjutnya akan memungkinkan terjadinya tindak kriminal, keretakan rumah tangga sampai perceraian. Semua pelanggaran baik norma sosial maupun hukum umumnya terjadi karena kebutuhan akan penggunaan zat yang tidak tertahankan pada keadaan intoksikasi yang bersangkutan bersifat agresif dan impulsif (Alatas, dkk, 2006).

(18)

bersumber dari dukungan keluarga yang positif, dan dari masyarakat sekitar (Joewana, 2005). Sesuai dengan hal yang di ungkapkan oleh beberapa pengguna NAPZA saat dilakukan survey awal, bahwa keinginan untuk berubah atau untuk berhenti menggunakan NAPZA itu sering terlintas, namun untuk mewujudkannya sangatlah sulit. Selain dari kurangnya dukungan dari hal-hal yang diatas, hal ini juga disebabkan oleh ketidaktetapannya pemikiran dan pendirian pengguna yang juga disebabkan oleh NAPZA. Hari ini ingin berhenti, namun esok kembali menggunakannya.

Apabila seseorang yang sudah berusaha untuk berhenti menggunakan NAPZA tetapi tidak mendapatkan dukungan dari salah satu faktor diatas tentunya akan menimbulkan dampak yang lain. Sikap keluarga yang selalu mencurigai, memojokkan, mengungkit masa lalu, serta menjadikan pecandu sebagai “kambing hitam” atas setiap permasalahan yang tidak menyenangkan sering menyebabkan

terjadinya relaps (Joewana, 2005). Hal ini juga akan berdampak pada konsep diri pengguna, karena peran keluarga dalam pembentukan konsep diri seora ng anak itu sangat penting, meliputi: perasaan mampu atau tidak mampu, perasaan diterima atau ditolak, kesempatan untuk identifikasi, dan penghargaan yang pantas tentang tujuan, perilaku dan nilai (Stuart & Sundeen, 1998).

(19)

menggunakannya. Untuk memperbaharui konsep diri yang telah dimiliki sebelumnya, pengguna NAPZA sangat membutuhkan bantuan dari orang disekitarnya untuk membantu membentuk konsep dirinya agar menjadi lebih baik (Yuanna, 2011).

Konsep diri dipelajari melalui kontak sosial dan pengalaman berhubungan dengan orang lain. Pandangan individu tentang dirinya dipengaruhi oleh bagaimana individu mengartikan pandangan orang lain tentang dirinya. Konsep diri ini pada dasarnya berasal dari perasaan dihargai atau tidak dihargai. Perasaan inilah yang menjadi landasan dari pandangan, penilaian, atau bayangan seseorang mengenai dirinya sendiri (Sujono & Teguh, 2009).

Konsep diri juga termasuk persepsi individu akan sifat dan kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan obyek, tujuan serta keinginannya (Sujono & Teguh, 2009).

Konsep diri meliputi gambaran diri, ideal diri, harga diri, peran dan identitas diri (Stuart & Sundeen, 1998). Individu yang memiliki kepribadian sehat pasti memiliki konsep diri yang positif. Ciri individu yang memiliki konsep diri positif yaitu memiliki gambaran diri yang positif dan akurat, ideal diri realistis, harga diri tinggi, kepuasan penampilan peran, serta identitas yang jelas (Sujono & Teguh, 2009).

(20)

tanggapan. Tanggapan yang diberikan tersebut akan dijadikan cermin bagi individu untuk menilai dan memandang dirinya (Pudjigjoyanti, 1991). Berdasarkan survey awal yang telah dilakukan pada pengguna NAPZA di rehabilitasi Al-Kamal Sibolangit Centre, beberapa diantara mereka mengatakan bahwa setelah orang-orang disekitarnya mengetahui bahwa mereka adalah pengguna, tidak sedikit dari masyarakat atau bahkan dari keluarga sendiri memandang mereka “sebelah mata”. Dukungan, motivasi, dan perhatian dari

orang disekitar juga dirasakan sangat berpengaruh terhadap pandangan pengguna NAPZA pada dirinya, bagaimana mereka bersikap pada sosial, dan dalam menjalani kehidupannya. Jika hal yang diterima itu positif, maka semangat untuk menjalani kehidupan yang lebih baik setelah di rehabilitasi pun semakin baik. Mereka mengungkapkan bahwa motivasi terbesar untuk menjalani rehabilitasi dengan semangat adalah karena dorongan positif yang diterima dari keluarga, kepedulian keluarga yang ditunjukkan dengan datang menjenguk setiap waktu kunjungan, dan juga dukungan dari teman-teman yang selalu mensupport agar dirinya bisa berhenti menjadi pengguna NAPZA.

(21)

seluruh perilaku individu, maka seseorang harus memiliki konsep diri yang positif atau baik (Rakhmat, 2008).

Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk menggali lebih lanjut tentang bagaimana konsep diri pengguna NAPZA terhadap dirinya yang sedang menjalani proses rehabilitasi di Pusat Rehabilitasi Al-Kamal Sibolangit Centre. 1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, perlu dilakukan penelitian tentang Konsep Diri Pengguna NAPZA di Pusat Rehabilitasi Al-Kamal Sibolangit Centre meliputi gambaran diri, ideal diri, harga diri, peran dan identitas diri.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui konsep diri pengguna NAPZA di Pusat Rehabilitasi Al-Kamal Sibolangit Centre

1.3.2. Tujuan Khusus

1.3.2.1. Mengetahui gambaran diri pengguna NAPZA 1.3.2.2. Mengetahui ideal diri pengguna NAPZA 1.3.2.3. Mengetahui harga diri pengguna NAPZA 1.3.2.4. Mengetahui peran pengguna NAPZA

1.3.2.5. Mengetahui identitas diri pengguna NAPZA 1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Bagi praktik keperawatan

(22)

diri yang positif pada pengguna NAPZA dalam memberikan askep di berbagai pusat rehabilitasi, rumah sakit dan tempat-tempat lainnya.

1.4.2. Bagi peneliti selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber data atau masukan dalam melaksanakan penelitian lebih lanjut mengenai konsep diri pengguna NAPZA di pusat rehabilitasi.

1.4.3. Bagi pusat rehabilitasi

(23)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Diri

2.1.1. Definisi Konsep Diri

Menurut Rifa (2009 dalam Imam, 2013) konsep diri adalah kesadaran atau pengertian tentang diri sendiri, yang mencakup pandangan tentang dunia, kepuasan tentang kehidupan, dapat menghargai atau menyakiti diri sendiri, mampu mengevaluasi kemampuan diri, dan persepsi mengenai diri sendiri.

Konsep diri juga merupakan semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui oleh individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain, termasuk persepsi individu akan sifat dan kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek, tujuan serta keinginannya (Ermawati dkk, 2009). Bech, William & Rawlin (1986 dalam Sujono, 2009) menjelaskan bahwa konsep diri adalah cara individu memandang dirinya secara utuh, fisik, emosional, intelektual, sosial dan spiritual.

(24)

positif-negatifnya. Keempat hal itu terdiri dari dua komponen, yaitu komponen konsep diri yang bersifat stabil (core self concept), dan komponen konsep diri yang bersifat tidak stabil (working self concept).

Konsep diri merupakan bangunan persepsi yang merujuk pada “self”, sehingga individu dapat mengatakan pada dirinya “who i am” atau “who he/she is”, dan tersusun dari berbagai ide atau konsep tentang “himself/herself”, “who he

is, what he stand for, where he lives, what he does or does not do, and the like”

(Haber & Runyon, 1984 dalam Nyoman & Olga, 2014)

Konsep diri tidak hanya sekedar apa yang dipersepsikan seseorang dan seperti apa ia, melainkan apa yang terdapat dibalik persepsinya, apa yang dipikirkan, dan sebagainya. Konsep diri tidak dapat dipisahkan antara diri pribadi dengan bagaimana ia menghayati dunianya dan merupakan suatu keutuhan yang membentuk self atau self-concept (Nyoman & Olga, 2014).

Menurut Potter (2005) konsep diri memberikan kita kerangka acuan yang mempengaruhi manajemen terhadap situasi dan hubungan individu dengan orang lain. Ketidaksesuaian antara aspek tertentu dari kepribadian dan konsep diri dapat menjadi sumber stres dan konflik. Konsep diri dan persepsi seseorang tentang kesehatan berkaitan erat satu sama lain. Klien yang mempunyai keyakinan yang baik akan dapat meningkatkan konsep diri.

2.1.2. Jenis dan Tingkatan Konsep Diri

(25)

a. Konsep diri positif. Konsep diri ini bersifat stabil dan bervariasi. Individu yang memiliki konsep diri positif adalah individu yang tahu betul tentang dirinya sehingga dapat menerima segala kekurangan dan kelebihan dalam dirinya. Seorang individu ini akan merancang tujuan-tujuan yang sesuai dengan realitas, yaitu tujuan yang memiliki kemungkinan besar untuk dapat dicapai, mampu menghadapi kehidupan di depannya serta menganggap bahwa hidup merupakan proses suatu penemuan.

Orang yang memiliki konsep diri positif ditandai dengan lima hal, yaitu: (1) yakin akan kemampuan mengatasi masalah, (2) merasa setara dengan orang lain. (3) menerima pujian tanpa rasa malu, (4) menyadari bahwa setiap orang memiliki perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat, (5) mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha untuk mengubahnya.

(26)

2.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri

Argyle (2008) menyatakan bahwa terdapat empat faktor yang sangat berkaitan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep diri, yaitu:

a. Reaksi dari orang lain.

Orang lain yang sangat berarti bagi sebagian besar anak-anak adalah orang tua. Seorang anak sangat dipengaruhi oleh pandangan orang tuanya sendiri terhadap dirinya sebagai seorang yang pandai, nakal, gemuk, kuat dan sebagainya. Bagaimana orang tua memperlakukan anak-anak mereka akan sangat mempengaruhi harga diri anak tersebut.

b. Pembandingan dengan orang lain

Konsep diri sangat bergantung kepada cara bagaimana seseorang membandingkan dirinya dengan orang lain. Orang-orang dewasa pada umumnya membuat perbandingan antara kakak dengan adik. Rata-rata seorang anak akan menganggap dirinya sebagai seorang yang kurang pandai karena secara terus-menerus membandingkan dirinya dengan salah seorang saudaranya yang lebih pandai. Jadi bagian-bagian dari konsep diri dapat berubah cukup cepat di dalam suasana sosial.

c. Peranan seseorang

(27)

pengalaman-pengalaman yang berkaitan dengan peran yang berbeda mungkin berpengaruh terhadap konsep diri orang lain.

d. Identifikasi terhadap orang lain.

Perubahan yang terjadi dalam konsep diri biasanya tidak bertahan lama, dapat terjadi sesudah anak melihat sebuah film yang sangat dramatis yang menimbulkan identifikasi terhadap seorang pahlawan. Namun identifikasi ini segera menghilang sesudah kenyataan menegaskan kembali pengidentifikasian ini.

Sedangkan menurut William D. Brooks dalam Imam (2013), terdapat empat faktor yang mempengaruhi perkembangan kosep diri seseorang, yaitu:

Pertama, self appraisal–viewing self as an object. Istilah ini berkaitan dengan pandangan seseorang terhadap dirinya mencakup kesan-kesan yang diberikan kepada dirinya. Ia menjadikan dirinya sebagai objek dalam komunikasi sekaligus memberikan penilaian terhadap dirinya.

Kedua, reaction and response of others. Pandangan terhadap dirinya, tidak hanya dipengaruhi oleh pandangan terhadap dirinya sendiri, namun juga dipengaruhi oleh reaksi dan respon dari orang lain yang diperoleh dari hasil interaksi yang berkesinambungan.

(28)

Keempat, reference groups merupakan kelompok dimana individu menjadi salah satu didalamnya. Jika kelompok ini dianggap penting, maka hal ini akan menjadi kekuatan untuk menentukan konsep diri seseorang.

Adapun Tarwonto & Wartonah (2003) membagi sesuatu yang mempengaruhi konsep diri menjadi beberapa faktor, yaitu:

a. Tingkat perkembangan dan kematangannya

Perkembangan anak seperti dukungan mental, perlakuan dan pertumbuhan anak akan mempengaruhi konsep dirinya.

b. Budaya

Pada masa kanak-kanak, nilai-nilai akan diadopsi dari orang tuanya, kelompok serta lingkungannya. Orang tua yang sibuk bekerja seharian akan menyebabkan anak menjadi lebih dekat dengan lingkungannya. Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan fisik dan lingkungan psikososial. Lingkungan fisik merupakan segala sarana yang dapat menunjang perkembangan konsep diri, sedangkan lingkungan psikososial merupakan setiap lingkungan yang dapat menunjang kenyamanan dan perbaikan psikologis yang dapat mempengaruhi perkembangan konsep diri.

c. Sumber eksternal dan internal

(29)

d. Pengalaman sukses dan gagal

Terdapat kecenderungan bahwa semakin banyak kesuksesan yang didapat individu akan meningkatkan konsep diri seseorang, begitu juga sebaliknya.

e. Stresor

Stresor dalam kehidupan manusia misalnya perkawinan, pekerjaan baru, ujian, dan ketakutan. Jika koping individu tidak adekuat maka akan menimbulkan depresi, menarik diri dan juga kecemasan.

f. Usia, keadaan sakit dan trauma

Usia lanjut, keadaan sakit akan mempengaruhi persepsi dirinya. 2.1.4. Komponen-komponen Konsep Diri

Konsep diri menurut Stuart & Sudeen (1998) terdiri atas lima komponen, yaitu:

2.1.4.1. Gambaran Diri (body image)

Gambaran diri merupakan kumpulan sikap individu terhadap tubuhnya yang disadari maupun tidak disadari. Termasuk persepsi dan perasaan masa lalu dan sekarang tentang ukuran dan bentuk, fungsi, penampilan dan potensi (Stuart & Sundeen, 1998). Gambaran diri dapat dimodifikasi atau diubah secara berkesinambungan dengan persepsi dan pengalaman baru. Disaat seseorang lahir sampai mati, maka selama waktu itu pula individu hidup dengan tubuhnya. Sehingga setiap perubahan tubuh akan mempengaruhi kehidupan individu.

(30)

1. Fokus individu terhadap fisik lebih menonjol pada usia remaja.

2. Bentuk tubuh, TB dan BB serta tanda-tanda pertumbuhan kelamin sekunder (mamae, menstruasi, perubahan suara, pertumbuhan bulu), menjadi gambaran diri. 3. Cara individu memandang diri berdampak penting terhadap aspek psikologis. 4. Gambaran yang realistik terhadap menerima dan menyukai bagian tubuh, akan memberi rasa aman dalam menghindari kecemasan dan meningkatkan harga diri. 5. Individu yang stabil, realistik, dan konsisten terhadap gambaran dirinya, dapat mendorong sukses dalam kehidupannya.

Gangguan gambaran diri menurut Sujono & Teguh (2009) adalah persepsi negatif tentang tubuh yang diakibatkan oleh perubahan ukuran bentuk, struktur, fungsi, keterbatasan, makna dan obyek yang terkait dengan tubuh. Tanda dan gejala gangguan gambaran diri yaitu:

1. Menolak untuk melihat atau menyentuh bagian tubuh tertentu yang berubah. 2. Tidak menerima perubahan tubuh yang telah maupun yang akan terjadi. 3. Menolak penjelasan perubahan tubuh.

4. Persepsi yang negatif terhadap tubuh.

5. Preokupasi dengan bagian tubuh yang hilang. 6. Mengungkapkan keputusasaan dan ketakutan. 2.1.4.2. Ideal Diri (self ideal)

(31)

pribadi berdasarkan norma sosial (keluarga, budaya) dan kepada siapa ia ingin melakukannya.

Ideal diri menurut Sujono & Teguh (2009) mulai berkembang sejak masa kanak-kanak yang dipengaruhi oleh orang penting dalam dirinya yang memberikan tuntutan dan harapan. Penetapan ideal diri sebaiknya lebih tinggi dari kemampuan individu saat ini yang masih dalam batas yang dapat dicapai. Tujuannya agar individu dapat memacu dirinya ke tingkat yang lebih tinggi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi individu dalam membentuk ideal diri, yaitu: 1. Kecenderungan individu dalam menetapkan ideal diri dari batas kemampuannya.

2. Faktor budaya, pembentukan standar ini dibandingkan dengan standar kelompok teman dan norma yang ada di masyarakat

3. Ambisi dan keinginan untuk melebihi dan berhasil, kebutuhan yang realistis, keinginan untuk menghindari kegagalan, perasaan cemas dan rendah diri.

Ideal diri hendaknya ditetapkan tidak terlalu tinggi, namun masih lebih tinggi dari kemampuannya agar tetap menjadi motivasi dalam hidupnya. Gangguan ideal diri dapat terjadi akibat ideal diri yang terlalu tinggi, sukar dicapai dan tidak realistis (Sujono & Teguh, 2009).

2.1.4.3. Harga Diri (self esteem)

(32)

namun apabila individu sering gagal maka cenderung memiliki harga diri rendah (Sujono & Teguh, 2009).

Harga diri dapat diperoleh dari diri sendiri maupun dari orang lain. Aspek utama adalah perasaan dicintai dan menerima penghargaan dari orang lain. Manusia cenderung negatif, walaupun ia cinta dan mengakui kemampuan orang lain namun jarang mengekspresikannya. Harga diri dapat menjadi rendah jika seseorang kehilangan kasih sayang dan penghargaan dari orang lain (Sujono & Teguh, 2009).

Gangguan harga diri atau harga diri rendah dapat digambarkan sebagai perasaan yang negatif terhadap diri sendiri, hilangnya kepercayaan diri serta merasa gagal mencapai keinginan (Sujono & Teguh, 2009).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi gangguan harga diri, yaitu: 1. Perkembangan individu.

Faktor predisposisi dapat dimulai sejak masih bayi, seperti penolakan orang tua menyebabkan anak merasa tidak dicintai dan mengakibatkan anak gagal mencintai dirinya dan akan gagal untuk mencintai orang lain.

(33)

2. Ideal diri tidak realistis

Individu yang selalu dituntut untuk berhasil akan merasa tidak punya hak untuk gagal dan berbuat kesalahan. Ia membuat standar yang tidak dapat dicapai, seperti cita-cita yang terlalu tinggi dan tidak realistis. Yang pada kenyataannya tidak dapat dicapai membuat individu menghukum diri sendiri dan percaya diri akan hilang.

3. Gangguan fisik dan mental

Gangguan ini dapat membuat individu dan keluarga merasa rendah diri. 4. Sistem keluarga yang tidak berfungsi

Orang tua yang mempunyai harga diri yang rendah tidak mampu membangun harga diri anak dengan baik. Orang tua memberi umpan balik yang negatif dan berulang-ulang akan merusak harga diri anak. Harga diri anak akan terganggu jika kemampuan menyelesaikan masalah tidak adekuat. Akhirnya anak memandang negatif terhadap pengalaman dan kemampuan dilingkungannya. 5. Pengalaman traumatik yang berulang, misalnya akibat aniaya fisik, emosi dan seksual.

(34)

2.1.4.4. Peran (role)

Peran adalah serangkaian pola perilaku yang diharapkan oleh lingkungan sosial berhubungan dengan fungsi individu di berbagai kelompok sosial (Stuart & Sundeen, 1998). Peran ini diperlukan individu untuk aktualisasi diri. Stres peran terdiri dari konflik peran, peran yang tidak jelas, peran yang tidak sesuai dan peran yang berlebihan (Sujono & Teguh, 2009).

Banyak faktor yang mempengaruhi dalam penyesuaian diri dengan peran yang harus dilakukan (Stuart & Sundeen, 1998):

1. Kejelasan perilaku dan peran yang sesuai dengan peran.

2. Konsistensi respon orang yang berarti terhadap peran yang dilakukan. 3. Kesesuaian dan keseimbangan antar peran yang diemban.

4. Keselarasan budaya dan harapan individu terhadap perilaku peran.

5. Pemisahan situasi yang akan menciptakan ketidaksesuaian perilaku peran. Menurut Stuart & Sundeen (1991 dalam Salbiah, 2003) berbagai gangguan peran dapat juga terjadi berbagai gangguan peran yang diakibatkan oleh : (1) konflik peran interpersonal, (2) contoh peran yang adekuat, (3) kehilangan hubungan yang penting, (4) perubahan peran seksual (5) keragu-raguan peran, (6) perubahan kemampuan fisik untuk menampilkan peran sehubungan dengan proses menua, (7) kurangnya kejelasan peran atau pengertian tentang peran, (8) ketergantungan obat, (9) kurangnya keterampilan sosial, (10) perbedaan budaya (11) harga diri rendah, (12) konflik antar peran yang sekaligus diperankan.

(35)

kemampuan menampilkan peran, (2) mengingkari atau menghindari peran, (3) kegagalan transisi peran, (4) ketegangan peran, (5) kemunduran pola tanggung jawab yang biasa dalam peran, (6) proses berkabung tidak berfungsi, (7) kejenuhan pekerjaan (Stuart & Sundeen, 1998).

2.1.5.5. Identitas Diri (identity)

Identitas merupakan kesadaran akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian, juga merupakan sintesa dari semua aspek konsep diri sebagai suatu kesatuan yang utuh (Stuart & Sundeen, 1998).

Identitas berkembang sejak masa kanak-kanak bersamaan dengan perkembangan konsep diri. Hal yang paling penting dari identitas adalah jenis kelamin. Identitas jenis kelamin berkembang sejak bayi secara bertahap, dimulai dengan konsep laki-laki dan wanita yang banyak dipengaruhi oleh pandangan dan perlakuan masyarakat terhadap masing-masing jenis (Sujono & Teguh, 2009).

Enam ciri identitas ego (Stuart & Sundeen, 1998):

1. Mengenal diri sendiri sebagai manusia yang utuh dan terpisah dari orang lain. 2. Mengakui jenis kelamin diri.

3. Memandang seluruh aspek dalam dirinya sebagai suatu keselarasan. 4. Menilai diri sesuai dengan penilaian masyarakat.

5. Menyadari hubungan masa lalu, sekarang dan yang akan datang. 6. Mempunyai tujuan yang bernilai dan dapat direalisasikan.

(36)

individu mengakui dan menghargai berbagai aspek tentang dirinya, peran, nilai dan perilaku secara harmonis, individu mengaku dan menghargai diri sendiri sesuai dengan penghargaan lingkungan sosialnya, individu sadar akan hubungan masa lalu, saat ini dan masa yang akan datang, serta individu mempunyai tujuan yang dapat dicapai dan direalisasikan (Stuart & Sundeen, 1998).

2.1.5. Dimensi Konsep Diri

Menurut Calhoun (1990) konsep diri memiliki tiga dimensi, yaitu: pengetahuan tentang diri sendiri, harapan terhadap diri sendiri dan evaluasi diri. a. Pengetahuan tentang diri sendiri

Dimensi pertama dari konsep diri adalah apa yang kita ketahui tentang diri sendiri. Biasanya ini berkaitan dengan hal-hal yang bersifat dasar, seperti: usia, jenis kelamin, kebangsaan, latar belakang etnis, profesi, dan lain sebagainya.

Faktor dasar ini juga akan menentukan seseorang dalam sebuah kelompok sosial. Melalui perbandingan dengan orang lain, seseorang memberikan penilaian kualitas dirinya. Kualitas diri ini tidak permanen tetapi dapat berubah, bila individu tersebut mengubah tingkah lakunya atau dapat mengubah kelompok pembandingnya.

b. Harapan terhadap diri sendiri

(37)

c. Evaluasi diri

Setiap hari seorang individu berkedudukan sebagai penilai dirinya. Evaluasi terhadap diri sendiri ini disebut harga diri (self esteem), yang mana akan menentukan seberapa jauh seseorang itu menyukai dirinya. Dalam hal ini tidak menjadi masalah apabila standar itu masuk akal atau pengharapan itu realistis. Jadi jelas sekali bahwa evaluasi diri ini merupakan komponen konsep diri yang sangat kuat.

2.1.6. Peranan Konsep Diri dalam Pembentukan Perilaku

Konsep diri memiliki peranan penting dalam pembentukan perilaku manusia. Bagaimana seseorang akan memandang dirinya akan tampak pada perilakunya. Apabila individu memandang dirinya sebagai orang yang tidak mempunyai kemampuan yang cukup untuk melakukan sesuatu, maka seluruh perilakunya akan menunjukkan ketidakmampuannya tersebut. Terdapat tiga hal yang menjelaskan tentang peranan penting konsep diri dalam menentukan perilaku menurut Pudjigjogyanti (1991), yaitu:

Pertama, konsep diri memiliki arti penting dalam mempertahankan keselarasan batin. Alasan ini berdasarkan dari pendapat bahwa pada dasarnya individu selalu berusaha mempertahankan keselarasan batinnya. Apabila timbul perasaan, pikiran ataupun persepsi yang tidak seimbang atau saling bertentangan, maka akan terjadi situasi psikologis yang tidak menyenangkan. Untuk menghilangkan ketidakselarasan tersebut, individu akan mengubah perilakunya.

(38)

kejadian akan ditafsirkan secara berbeda antara individu yang satu dengan lainnya karena masing-masing individu mempunyai sikap dan pandangan yang berbeda terhadap diri mereka.

Ketiga, konsep diri menentukan pengharapan individu. Menurut beberapa ahli, pengharapan ini merupakan inti dari konsep diri sesuai dengan pendapat McCandless (1970 dalam Pudjigjogyanti, 1991) bahwa konsep diri merupakan seperangkat harapan serta penilaian perilaku yang merujuk kepada harapan-harapan tersebut.

2.1.7. Kepribadian yang Sehat

Kepribadian tidak cukup hanya diuraikan melalui teori perkembangan dan dinamika diri sendiri. Pengalaman individu yang mempunyai kepribadian sehat (Stuart & Sundeen, 1998) meliputi:

a. Gambaran diri positif dan akurat

Kesadaran diri berdasarkan observasi mandiri dan perhatian yang sesuai dengan kesehatan diri. Termasuk persepsi saat ini dan yang lalu akan diri sendiri dan perasaan tentang ukuran, fungsi, penampilan dan potensi tubuh.

b. Ideal diri realistis

Memiliki tujuan hidup yang dapat dicapai. c. Konsep diri positif

(39)

d. Harga diri tinggi

Individu akan memandang dirinya sebagai individu yang berarti dan bermanfaat. Ia memandang dirinya sesuai dengan apa yang diinginkan.

e. Kepuasan penampilan peran

Individu dapat berhubungan dengan orang lain secara intim dan mendapat kepuasan, dapat mempercayai, terbuka pada orang lain dan membina hubungan interdependen.

f. Identitas jelas

Individu merasakan keunikan yang memberi arah kehidupan dalam mencapai tujuan.

2.1.8. Konsep Diri Pengguna NAPZA

Konsep diri merupakan gambaran atau penilaian seseorang terhadap dirinya baik yang diperoleh dari diri sendiri maupun orang lain yang akan mempengaruhi cara seseorang dalam berprilaku. Setiap individu memiliki konsep diri, baik itu positif maupun negatif.

Individu yang memiliki konsep diri positif sangat mengetahui siapa dirinya sehingga ia menerima segala kelebihan dan kekurangan, evaluasi terhadap dirinya menjadi lebih positif serta ia mampu merancang tujuan-tujuan sesuai dengan realitas (Calhoun & Acoccela, 1990).

(40)

ketergantungan terhadap NAPZA. Namun disisi lain, masih banyak orang disekitarnya yang memberikan penilaian negatif terhadap dirinya.

Terdapat dua komponen dalam konsep diri, yaitu komponen kognitif yang merupakan pengetahuan individu tentang keadaan dirinya. Kemudian komponen afektif yaitu penilaian individu terhadap dirinya dan penilain tersebut akan membentuk penerimaan terhadap diri (self acceptance) serta harga diri (self esteem) pada individu (Pudjijogyanti,1991).

Menurut Sitasari (2007) setiap subyek memiliki cara untuk menumbuhkan konsep diri sehingga mereka mampu menyesuaikan diri di masyarakat. Cara mereka antara lain mengubah penampilan menjadi lebih rapi, mengkonsumsi makanan bergizi, menjauhi teman-teman yang merugikan, berolahraga dan sebagainya. Cara itulah yang mampu meningkatkan konsep diri mantan penggu na NAPZA sehingga mereka dapat menyesuaikan diri di masyarakat.

(41)

Hasil penelitian kualitatif Siti (2012) terhadap remaja mantan pengguna NAPZA adalah subyek memiliki konsep diri positif saat berada dilingkungan pondok Inabah karena dilingkungan tersebut subyek mendapat penilaian positif dari orang-orang sekitarnya. Sedangkan sebaliknya, lingkungan keluarganya memberikan penilaian negatif terhadap dirinya sehingga konsep diri subyek menjadi negatif dilingkungan tersebut.

Menurut Rita (2010) sebagai individu yang memiliki pengalaman buruk dengan obat-obat terlarang, subjek yang ditelitinya yang merupakan seorang laki-laki yang telah berhenti menggunakan narkoba selama setahun dan telah kembali dalam lingkungan tempat tinggalnya, telah menemukan konsep diri yang dapat ditanamkan dalam dirinya. Dengan konsep diri yang baik, subjek menjadi tahu bagaimana dia harus memperlakukan dirinya sendiri dalam berbagai kondisi sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh hal-hal buruk lagi dan pada akhirnya bisa diperlakukan dengan baik oleh orang lain sehingga subjek dapat bergaul dengan bebas tetapi sesuai dengan norma yang berlaku di lingkungannya berada. Dengan tidak menggunakan narkoba, subjek menjadi lebih dapat untuk mengontrol emosinya, menyadari akan kekurangannya dan bisa menutupinya. Walaupun keadaan kesehatan, penampilan dan gerak tubuh subjek tidak seperti dulu sebelum menggunakan narkoba, tetapi subjek yakin akan dirinya yang sekarang ini dan menjadikannya jauh lebih percaya diri.

(42)

dirinya untuk terus berubah menjadi lebih baik lagi. Dalam hal ini, subjek sudah mempunyai semangat untuk meninggalkan dunia penasun.

Dari segi penerimaan, Ita juga menjelaskan bahwa subjek menyadari betul bahwa dirinya adalah seorang penasun yang sudah 21 tahun masuk di dunia penasun.

Dan dari segi sikap lingkungan sekeliling terhadap konsep diri subjek, memberikan pengaruh terhadap perkembangan konsep dirinya. Adanya support dari masyarakat untuk penasun semakin membuat konsep diri yang terbentuk pada penasun menjadi lebih positif.

Menurut Yuniarti (2005) mantan pengguna NAPZA yang memiliki konsep diri yang baik adalah mantan pengguna yang dapat menerima dan memahami kekurangan dan kelebihan terhadap kondisi yang telah terjadi pada dirinya sehingga mantan pengguna NAPZA tersebut dapat menemukan jati dirinya. Konsep diri positif dapat menentukan arah seseorang melihat permasalahan, keberhasilan dan berhubungan dengan orang lain. Sedangkan konsep diri negatif menentukan cara pandang seseorang yang bersikap pesimis terhadap kompetisi seperti terungkap dalam keengganan untuk bersaing dengan orang lain dalam membuat prestasi.

(43)

2.2. NAPZA

2.2.1. Definisi NAPZA

NAPZA merupakan singkatan dari narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. NAPZA berupa zat yang bila masuk ke dalam tubuh akan mempengaruhi fungsi tubuh, terutama susunan saraf pusat yang dapat menyebabkan gangguan pada fisik, psikis dan fungsi sosial (Sumiati, dkk, 2009).

Narkotika dalam UU No. 22 tahun 1997 didefinisikan sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman yang bersifat sintesis maupun semisintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi atau bahkan sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika yang berasal dari alam yaitu tumbuh-tumbuhan dan bahan ini hanya tersedia dalam jumlah yang relatif kecil serta diproses dengan cara yang sederhana, sedangkan narkotika yang sintesis maupun yang semisintesis muncul karena keterbatasan narkotika alamiah yang tersedia di alam (BNN, 2009).

Narkotika diatur dalam UU RI No. 35 tahun 2009. Didalam UU ini selain terdapat pengertian dan hukuman atau sanksi bagi pengguna, pengedar, penyimpan maupun yang memproduksi, narkotika juga digolongkan menjadi tiga golongan yaitu sebagai berikut:

(44)

b. Golongan II: adalah narkotika yang berkhasiat dalam pengobatan dan digunakan sebagai pilihan terakhir, dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi mengakibatkan ketergantungan yang tinggi.

c. Golongan III: adalah narkotika yang berkhasiat dalam pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan dalam menyebabkan ketergantungan (BNN, 2009).

Psikotropika adalah zat adiktif yang dapat mempengaruhi psikis dan menyerang susunan saraf pusat. Menyebabkan perubahan yang khas pada aktivitas mental dan perilaku. Menurut UU RI No. 5 tahun 1997, psikotropika adalah jenis obat yang diproduksi dengan tujuan penyembuhan dan pemulihan kesehatan bagi penderita penyakit tertentu. Namun, apabila disalahgunakan dapat mengakibatkan ketergantungan mekanisme susunan saraf pusat (Depkes, 2009).

Psikotropika diatur dalam UU RI No. 5 tahun 1997. Didalam UU ini psikotropika digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu:

a. Golongan I: adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan dalam pengembangan ilmu pengetahuan saja karena mempunyai potensi ketergantungan yang sangat tinggi.

(45)

c. Golongan III: adalah psikotropika yang berkhasiat dalam pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi maupun untuk pengembangan ilmu pengetahuan serta memiliki tingkat ketergantungan yang ringan.

Zat adiktif adalah zat yang tergolong NAPZA, akan tetapi tidak diatur dalam UU Narkotika ataupun psikotropika. Zat adiktif ini ternyata juga berbahaya. Karenanya, jika disalahgunakan dapat menimbulkan ketergantungan psikis (Depkes, 2009).

Yang termasuk zat adiktif adalah:

a. Minuman alkohol, yang berpengaruh menekan susunan saraf pusat dan sering kali menjadi bagian dari kehidupan manusia.

b. Inhalasi (gas yang dihirup) dan solven (zat pelarut) mudah menguap berupa senyawa organik yang terdapat pada berbagai barang keperluan rumah tangga, kantor, dan sebagai pelumas mesin. Yang sering disalahgunakan adalah : lem, tiner, bensin.

c. Tembakau, yang sering ditemukan pada kehidupan masyarakat adalah pemakaian tembakau yang menggunakan nikotin (Depkes, 2009).

2.2.2. Faktor yang Mempengaruhi Penyalahgunaan NAPZA

Penyalahgunaan dalam pemakaian NAPZA adalah pemakaian obat-obatan atau zat berbahaya dengan tujuan bukan untuk tujuan pengobatan atau penelitian serta digunakan tanpa mengikuti dosis yang benar (Imam, 2013).

(46)

a) Faktor individu, meliputi keingintahuan yang besar untuk mencoba tanpa sadar atau berpikir panjang tentang akibat jangka panjangnya, keingintahuan untuk mencoba-coba karena penasaran, keingintahuan untuk bersenang-senang, keinginan untuk dapat diterima dalam suatu kelompok, lari dari masalah, keranjingan kerja, jadi agar bisa terus beraktivitas seseorang akan menggunakan stimulan, mengalami kelelahan dan menurunnya semangat belajar, menderita kecemasan atau keterasingan, mengidap kecanduan merokok atau minuman beralkohol, sebagai penghibur diri dan menikmati kepuasan hidup, sebagai obat penahan rasa lapar, ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan lingkungannya, pengertian yang salah bahwa mencoba narkoba sekali tidak menyebabkan masalah, tidak mampu mengatakan tidak pada narkoba, dan lain sebagainya.

Penyalahgunaan NAPZA juga disebabkan oleh seseorang yang memiliki konsep diri negatif dan harga diri yang rendah. Perkembangan emosi yang terhambat, yang ditandai dengan ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara wajar, mudah cemas, pasif agresif dan cenderung depresi juga turut mempengaruhi. Penggunaan NAPZA pada usia remaja, dapat disebabkan karena seseorang membutuhkan pengakuan dari lingkungan sebagai bagian dari pencarian identitas dirinya.

(47)

berusaha mengatasinya seorang individu akan memberontak salah satunya dengan cara mengkonsumsi NAPZA.

b) Faktor lingkungan, meliputi keluarga bermasalah atau broken home, mempunyai ayah atau ibu atau saudara yang menjadi pengguna atau pengedar narkoba, lingkungan keluarga yang tidak memberikan kasih sayang, orang tua yang permisif, tidak acuh, orang tua yang terlalu sibuk dengan urusan pribadinya dan mengabaikan pendidikan serta perkembangan anaknya, berteman dengan seorang pecandu NAPZA, sering berkunjung ke tempat hiburan (cafe, diskotik, bar, karaoke, dsb), mempunyai banyak waktu luang atau menganggur, lingkungan sosial yang penuh persaingan dan ketidakpastian, kemiskinan, putus sekolah, dan keterlantaran (Imam, 2013). Menurut Sumiati, dkk (2009) alasan lain dari faktor lingkungan adalah terpengaruh oleh iklan yang menampilkan orang-orang yang menggunakan tampil OK dan keren, bujukan /tawaran dari teman-teman yang lebih dulu menjadi pengguna, diiming-imingi teman bahwa NAPZA itu nikmat dan dianggap sebagai lambang anak gaul, kurangnya perhatian dari keluarga maupun pergaulan temannya, serta kurangnya informasi atau pendidikan pencegahan.

Berdasarkan hasil penelitian BNN (2014) pada siswa SMU diketahui bahwa sebagian besar responden (89,9%) berada dalam keluarga yang memiliki komunikasi yang buruk dan sebanyak 49,0% responden memiliki teman yang menggunakan NAPZA.

(48)

NAPZA yang sudah masuk ke pelosok wilayah, harga narkoba yang semakin murah dan dijangkau oleh daya beli masyarakat, narkoba semakin beragam jenis, modus operandi tindak pidana kasus narkoba semakin sulit diungkap secara hukum, masih banyak laboratorium narkoba gelap yang belum terungkap, semakin mudahnya akses internet yang memberikan informasi tentang pembuatan narkoba, bisnis narkoba menjanjikan keuntungan yang besar, perdagangan narkoba dikendaikan oleh sindikat yang kuat dan profesional (Imam, 2013).

Selain dari tiga faktor diatas, faktor lain yang perlu mendapatkan perhatian serius adalah banyaknya penyajian informasi tentang NAPZA tanpa dijelaskan tentang bahaya dari penyalahgunaan zat tersebut sehingga dapat menimbulkan rasa penasaran dan ingin mencoba (Imam, 2013).

Faktor yang menyebabkan seorang individu menggunakan NAPZA:

a. Faktor internal, adalah faktor individu dari dalam dirinya yang kurang memiliki konsep akan nilai-nilai kebaikan.

b. Faktor eksternal, dapat berasal dari faktor ligkungan, pengaruh, dorongan atau gaya hidup dari lingkungan tempat tinggal.

(49)

2.2.3. Dampak Penyalahgunaan NAPZA

Dampak penyalahgunaan NAPZA antara lain dapat merugikan dan membahayakan kesehatan, fungsi sosial, pendidikan atau pekerjaan, ekonomi (keuangan) dan hukum (Sumiati, dkk, 2009). Menurut Nu siriska (2012) efek NAPZA bagi tubuh tergantung pada jumlah atau dosis yang digunakan, frekuensi pemakaian, cara menggunakan, faktor psikologis dan biologis. Secara fisik, organ tubuh yang paling banyak dipengaruhi adalah sistem saraf pusat yaitu otak dan sumsum tulang belakang, organ-organ otonom (jantung, paru, hati dan ginjal).

Penyalahgunaan NAPZA juga akan membawa dampak dan efek yang sangat negatif dan sangat berpengaruh pada psikis, fisik, perilaku dan kehidupan sosial, antara lain sebagai berikut:

a. Kondisi psikis: sangat sensitif dan cepat bosan, emosinya naik turun, nafsu makan tidak teratur, timbulnya perasaan depresi dan ingin bunuh diri, gangguan persepsi dan daya pikir, menunjukkan sikap membangkang. b. Kondisi fisik: berat badan turun drastis, mata terlihat cekung dan merah,

muka pucat, bibir kehitam-hitaman, buang air besar dan buang air kecil kurang lancar, sakit perut tanpa alasan yang jelas, gangguan impotensi, rawan terinfeksi berbagai penyakit, seperti hepatitis, HIV serta AIDS, gangguan fungsi ginjal, perdarahan otak.

(50)

janji, mengeluarkan keringat berlebihan, gangguan terhadap prestasi disekolah, kuliah dan pekerjaan.

d. Kehidupan sosial: gangguan fungsi dalam anggota masyarakat, bekerja dan sekolah, prestasi menurun, lalu dipecat/dikeluarkan yang mengakibatkan makin kuatnya dorongan untuk menyalahgunakan obat, hubungan antara anggota keluarga dan teman dekat terganggu, memungkinkan terjadinya tindak kriminal, keretakan rumah tangga hingga berujung perceraian, melakukan pelanggaran, baik norma sosial maupun hukum.

Dampak lain yang dapat dilihat dari penggunaan narkoba menurut Reza (2007) adalah dari segi perasaan, pikiran dan perilaku.

1. Perasaan.

Beberapa efek jangka panjang dari pengkonsumsian narkoba adalah: a. Kecemasan, mulai dari perasaan takut hingga hilangnya kepercayaan dan paranoid (kecurigaan berlebihan terhadap pihak lain).

b. Hilangnya rasa percaya diri.

c. Amarah, bervariasi mulai dari perasaan terlalu sensitif hingga mudah mengamuk yang disertai dengan mengkambinghitamkan pihak lain.

(51)

f. Boredom, pola kecanduan menjadi tidak pernah berakhir, berputar-putar dengan alur adiksi yang sama.

2. Pikiran.

Walaupun kerap kali sudah ada kesadaran kognitif bahwa perilaku mereka keliru, kebanyakan distorsi pola pikir para pecandu bersifat defensif dan ditujukan untuk memberikan rasionalisasi terhadap adiksi mereka. Disamping sebagai sebuah mekanisme pertahanan diri psikologis (psychological defence mechanism), penyimpangan pola pikir juga merupakan pengaruh langsung kerusakan kimiawi yang diakibatkan oleh penggunaan narkoba. Sejumlah penampakan distorsi kognitif tersebut antara lain adalah :

a. Pengingkaran terhadap realitas, meyakinkan diri sendiri dan pihak lain bahwa kecanduan yang mereka alami tidaklah seburuk kelihatannya. b. Ketergantungan, meyakini bahwa pihak lain bertanggung jawab sekaligus dapat membantu (mirip dengan keyakinan mereka terhadap manfaat narkoba).

c. Obsesif, pemikiran yang terpusat dan repetitif seputar bagaimana mendapatkan narkoba.

d. Waham kebesaran, si pecandu berpendapat bahwa masalah yang ia hadapi jauh lebih kompleks daripada masalah orang lain.

(52)

f. Menyakiti diri sendiri, adiksi merupakan buah pemikiran untuk meredakan penderitaan.

g. Kemampuan mental, menurun bahkan menghilangnya konsentrasi dan daya ingat.

3. Perilaku.

Dengan dinamika afektif dan kognitif diatas, beberapa tingkah laku tipikal para pecandu meliputi:

a. Menghindar, mengisolasi diri sendiri, dan menolak tanggung jawab. b. Mengendalikan pihak lain, termasuk perilaku manipulatif, bahkan kekerasan.

c. Menyakiti diri sendiri, mulai dari melukai hingga usaha bunuh diri. d. Mengorbankan pihak lain, dilakukan sebagai usaha memenuhi kebutuhan akan narkoba.

2.2.4. Klasifikasi Penyalahgunaan NAPZA

Secara sederhana, pemakai NAPZA dapat diklasifikasikan menjadi: a. Experimental Users (eksperimental)

(53)

b. Recreational Users/ Causal Users (rekreasional)

Mereka sudah lebih sering menggunakan NAPZA, namun pemakaiannya terbatas hanya dalam waktu tertentu seperti saat pesta, atau sewaktu-waktu sedang berekreasi bersama. Pemakai biasanya memiliki keterikatan yang tinggi dengan teman-temannya. Dan umumnya mereka belum mengarah pada pemakaian yang terlalu berlebihan.

c. Situational Users/ Circumtantional Users (situasional)

Mereka hanya menggunakan NAPZA bila tengah menghadapi situasi yang sulit karena mereka beranggapan tidak sanggup utnuk mengatasi masalah tanpa bantuan NAPZA. Pengguna NAPZA pada golongan ini dapat merupakan suatu pola tingkah laku tertentu yang mendorong individu untuk lebih sering mengulangi perbuatannya, sehingga resiko untuk menjadi pecandu lebih besar daripada golongan a dan b.

d. Intensified Users (penyalahgunaan)

Mereka sudah menggunakannya secara kronis, paling tidak sehari sekali. Kelompok ini sudah merasa butuh menggunakan NAPZA untuk melarikan diri dari tekanan atau masalah yang sedang dihadapi.

e. Convulsive Dependence Users (ketergantungan)

(54)

2.2.5. Penanggulangan Terapi (pengobatan)

1. Terapi Medik Psikiatri (detoksifikasi)

Metode ini berlaku untuk jenis heroin, kanabis, kokain, alkohol (minuman keras), amphetamine, dan zat adiktif lainnya. Dalam terapi detoksifikasi gunanya untuk menghilangkan racun NAPZA dari tubuh pasien dan penyalahgunaan NAPZA. Terapi ini tergolong jenis major tranquilizer yang ditujukan terhadap gangguan sistem neurotransmitter susunan saraf pusat (otak).

2. Terapi Psikofarmaka

Terapi ini berguna untuk memperbaiki gangguan dan memulihkan fungsi neuro transmitter pada susunan saraf pusat (otak), yaitu psikofarmaka golongan tranquilizer.

3. Terapi Psikoterapi

Terapi psikoterapi banyak macamnya tergantung dari kebutuhan, yaitu: a. Psikoterapi suportif: Memberikan dorongan, semangat dan motivasi agar pasien penyalahguna NAPZA tidak merasa putus asa untuk berjuang dan melawan ketergantungannya terhadap zat yang digunakannya.

b. Psikoterapi re-edukatif: Memberikan pendidikan ulang yang maksudnya yang memperbaiki kesalahan pendidikan di waktu lalu.

c. Psikoterapi rekonstruktif: Memperbaiki kembali kepribadian yang telah mengalami gangguan.

(55)

e. Psikoterapi psikodinamik: Menganalisa dan menguraikan proses dinamika kejiwaan yang dapat menjelaskan mengapa seseorang terlibat penyalahguna NAPZA.

f. Psikoterapi keluarga: Hubungan kekeluargaan dapat pulih kembali dalam suasana harmonis dan religius sehingga resiko kekambuhan dapat dicegah.

4. Terapi Medik Somatik

Penggunaan obat-obat yang berkhasiat terhadap kelainan-kelainan fisik baik sebagai akibat dilepaskannya NAPZA dari tubuh yaitu gejala putus zat maupun komplikasi.

5. Terapi Psikososial

Terapi psikososial adalah upaya untuk memulihkan kembali kemampuan adaptasi penyalahgunaan NAPZA dalam kehidupannya sehari-hari.

6. Terapi Psikoreligius

Merupakan terapi keagamaan terhadap pasien penyalahgunaan NAPZA. Memegang peranan penting, baik dari segi pencegahan maupun rehabilitasi.

7. Rehabilitasi

(56)

2.3. Studi Fenomenologi

Riset fenomenologi didasarkan pada falsafah fenomenologi yang didukung oleh Edmen Husserl. Dirinya menyatakan bahwa “makna” merupakan

pengalaman pribadi yang dapat dibagikan atau disampaikan kepada orang lain secara objektif dan diambil intinya saja agar orang lain lebih dapat memahami. Penelitian fenomenologi berusaha untuk memahami respon manusia terhadap suatu hal atau sejumlah situasi (Polit & Beck, 2012).

Fenomenologi adalah suatu ilmu yang memiliki tujuan untuk menjelaskan fenomena dalam bentuk pengalaman hidup. Penggunaan desain penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi bertujuan untuk memperoleh data yang lebih komprehensif, mendalam, credible dan bermakna. Pendekatan fenomenologi digunakan ketika sedikit sekali definisi atau konsep terhadap suatu fenomena yang akan diteliti. Penelitian dalam pandangan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitannya terhadap orang-orang yang berada dalam situasi tertentu. Tujuan penelitian fenomenologi sepenuhnya adalah untuk menggambarkan pengalaman hidup dan persepsi yang muncul (Polit & Beck, 2012).

Didalam studi fenomenologi, sumber data utama berasal dari perbincangan yang cukup dalam (in-depth interview) antara peneliti dan partisipan dimana peneliti membantu partisipan untuk menggambarkan pengalaman hidupnya tanpa adanya suatu diskusi (Polit & Beck, 2012).

(57)

akan dipilih dengan menggunakan teknik purposive sampling. Dalam hal ini, partisipan harus memenuhi kriteria-kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti (Polit & Beck, 2012).

Hasil penelitian dalam studi fenomenologi diperoleh melalui proses analisis data. Fenomenologist dalam proses analisis data yang terkenal adalah Collaizi, Giorgi dan Van Kaam. Ketiga tokoh tersebut berpedoman pada filosofi Husserl yang mana fokus utamanya adalah mengetahui gambaran sebuah fenomena (Polit & Beck, 2012).

Colaizzi (1978, dalam Polit & Beck, 2012) menyatakan bahwa ada tujuh langkah yang harus dilalui untuk menganalisa data. Proses analisa tersebut meliputi (a) membaca semua transkrip wawancara untuk mendapatkan perasaan mereka, (b) meninjau setiap transkrip dan menarik pernyataan yang signifikan, (c) menguraikan arti dari setiap pernyataan yang signifikan, (d) mengelompokkan makna-makna tersebut kedalam kelompok-kelompok tema, (e) mengintegrasikan hasil kedalam bentuk deskripsi, (f) memformulasikan deskripsi lengkap dari fenomena yang diteliti sebagai identifikasi pernyataan setegas mungkin, (g) memvalidasi apa yang telah ditemukan kepada partisipan sebagai tahap validasi akhir .

Menurut Lincoln & Guba (1985, dalam Polit & Beck, 2012) untuk memperoleh hasil penelitian yang dapat dipercaya (trustworthiness) maka data divalidasi dengan beberapa kriteria, yaitu:

(58)

oleh semua pembaca secara kritis dan dari responden sebagai informan. Credibility termasuk validitas internal. Cara memperoleh tingkat kepercayaan yaitu perpanjangan kehadiran peneliti/pengamat (prolonged engagement), ketekunan pengamatan (persistent observation), triangulasi (triangulation), diskusi teman sejawat (peer debriefing), analisis kasus negatif (negative case analysis), pengecekan atas kecukupan referensial (referencial adequacy checks), dan pengecekan anggota (member checking).

2. Transferability adalah kriteria yang digunakan untuk menunjukkan bahwa hasil penelitian yang dilakukan dalam konteks tertentu dapat ditransfer ke subyek lain yang memiliki topologi yang sama. Transferability termasuk dalam validitas eksternal.

3. Dependability mengacu pada kekonsistenan peneliti dalam mengumpulkan data, membentuk dan menggunakan konsep-konsep ketika membuat interpretasi untuk menarik kesimpulan. Kriteria ini dapat digunakan untuk menilai apakah proses penelitian kualitatif bermutu atau tidak. Teknik terbaik adalah dependability audit yaitu meminta dependen atau independen auditor untuk memeriksa aktifitas peneliti. Dependability menurut istilah konvensional disebut reliabilitas atau syarat bagi validitas.

(59)
(60)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif melalui jenis pendekatan fenomenologi. Fenomenologi merupakan pendekatan yang digunakan untuk memahami pengalaman hidup individu. Fokus utama dari studi fenomenologi adalah bagaimana orang mengalami suatu pengalaman hidup dan menginterpretasikan pengalamannya (Polit & Beck, 2012). Dari fokus utama tersebut diharapkan dapat memperoleh pemahaman yang mendalam tentang Konsep Diri Pengguna NAPZA yang tengah menjalani proses rehabilitasi di Pusat Rehabilitasi Al-Kamal Sibolangit Centre.

3.2. Partisipan

(61)

yang dinyatakan secara verbal atau dengan menandatangani surat perjanjian penelitian (lihat Lampiran 2).

Jumlah partisipan pada penelitian ini berjumlah 6 orang. Pengambilan sampel pada penelitian kualitatif tidak diarahkan berdasarkan jumlah tetapi sesuai dengan kecukupan informasi sampai mencapai saturasi data (Moleong, 2005). Pada penelitian ini sudah terjadi saturasi data saat penelitian dilakukan kepada 6 partisipan.

3.3. Lokasi dan Waktu Pengumpulan Data 3.3.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pusat Rehabilitasi Al-Kamal Sibolangit Centre. Pemilihan lokasi ini ditentukan dengan pertimbangan sebagai berikut: (a) Al-Kamal merupakan pusat rehabilitasi terbesar dan terkenal dengan peringkat akreditasi A di wilayah Sumatera Utara dan berada dibawah naungan yayasan GAN (Gerakan Anti Narkoba) Indonesia, (b) menampung pengguna NAPZA dari berbagai daerah, (c) berlokasi strategis.

3.3.2. Waktu Pengumpulan Data

Pengumpulan data dimulai dari bulan April 2015 sampai dengan bulan Juni 2015, yaitu saat penelitian mulai dilakukan hingga pengumpulan data selesai.

3.4. Pertimbangan Etik

(62)

mencari partisipan sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan dengan meminta bantuan pada pengurus rehabilitasi.

Setelah terbina trust (hubungan saling percaya) antara peneliti dan partisipan, peneliti menjelaskan maksud dan tujuan dari penelitian dan prosedur dari pelaksanaan penelitian. Apabila calon partisipan bersedia berpartisipasi dalam penelitian, maka partisipan dibenarkan untuk menandatangani lembar informed consent.

Peneliti tidak berhak memaksa jika partisipan menolak untuk diwawancarai dan menghormati hak-haknya sebagai partisipan dalam penelitian ini. Peneliti juga menjamin kerahasiaan identitas partisipan dengan menerapkan prinsip etika penelitian yaitu tidak mencantumkan nama partisipan (anonimity) dan menggantikan nama dengan inisial serta menjaga kerahasiaan partisipan (confidentiality) dimana hanya mencantumkan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian.

3.5. Pengumpulan Data 3.5.1. Instrumen Penelitian

(63)

(Lampiran 4). Panduan wawancara ini telah divalidasi oleh salah satu dosen Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang pakar dibidang ilmu keperawatan jiwa, yaitu Walter S.Kep, Ns., M.Kep, Sp.Kep.J (Lampiran 5). Hasil dari validasi pertanyaan tersebut didapatkan enam pertanyaan yang dibuat peneliti telah clear, credible, dan relevant dengan judul penelitian.

3.5.2. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan setelah mendapat izin dari Dekan Fakultas Keperawatan USU, bagian Humas Pusat Rehabilitasi Al-Kamal Sibolangit Centre dan ethical clearance dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Selanjutnya peneliti melakukan pilot study. Pilot study dilakukan untuk menguji apakah peneliti sebagai instrumen sudah cukup baik dalam melakukan wawancara dan analisa data kualitatif.

(64)

dilakukan tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Lalu bagaimana respon dirinya terhadap perubahan yang terjadi pada saat menggunakan NAPZA, serta bagaimana dirinya menanggapi berbagai penilaian yang diterima dari orang-orang disekitarnya. Dengan didapatkannya hasil ini, peneliti mengkonsultasikannya kepada pembimbing, dan setelah mendapatkan perbaikan tentang bagaimana cara bertanya yang baik, akhirnya hasil pilot study ini dapat dijadikan sebagai partisipan pertama karena hasilnya sudah relevan dengan apa yang ingin diketahui dan sesuai dengan tujuan penelitian. Selanjutnya setelah mendapatkan persetujuan pembimbing, kemudian peneliti melakukan wawancara kepada partisipan berikutnya.

Proses wawancara dimulai dengan melakukan prolonged engagement yaitu dengan cara melakukan pendekatan dengan melakukan sedikit bincang-bincang pada awal wawancara diluar pertanyaan penelitian untuk menciptakan suasana akrab, terbuka dan saling mempercayai sehingga tidak ada informasi yang disembunyikan. Dengan terbentuknya hubungan ini dapat membuat informasi yang diperoleh lebih banyak, tepat dan akurat. Pada tahap ini, peneliti memperkenalkan diri, kemudian menjelaskan maksud dan tujuan dari pengumpulan data yang dilakukan terhadap partisipan.

Gambar

Tabel 4.1
Tabel 4.2.

Referensi

Dokumen terkait

Dasar : Berita Acara Hasil Klarifikasi Teknis dan Negosiasi Biaya Kegiatan Penyusunan Data dan Informasi Kerusakan dan Pencemaran Pekerjaan Penyusunan Data dan

Pada hari ini Rabu tanggal Enam belas bulan Mei tahun Dua Ribu Duabelas (16-05-2012) dimulai pada jam 12.00 WIB, Panitia Pengadaan Barang/Jasa Pengadaan Citra

Dasar : Hasil Evaluasi Dokumen Penawaran dan Negosiasi Teknis dan Biaya Kegiatan DAK

[r]

Dari uraian diatas dapat kita simpulkan : Pemikiran pendidikan Islam adalah serangkaian proses kerja akal dan kalbu secara bersungguh- sungguh dalam melihat

Untuk Rumah Sakit Umum Daerah Mayjend HM Ryacudu Kotabumi Lampung Utara, diharapkan setelah dilakukan penelitian ini: pada faktor risiko umur, paritas, riwayat abortus

Dari hasil tersebut diketahui bahwa ( p <0,05), sehingga dapat dinyatakan terdapat pengaruh yang positif pada promosi kesehatan tentang kanker serviks terhadap minat

Bisa dikatakan perangkat ini merupakan kebalikan dari input device (unit masukan), dimana dalam sistem kerjanya bertindak sebagai komponen yang mengeluarkan hasil