• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penanganan Terorisme di Indonesia Ditinjau Dalam Fiqh Siyasah dan Hak Asasi Manusia (HAM)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penanganan Terorisme di Indonesia Ditinjau Dalam Fiqh Siyasah dan Hak Asasi Manusia (HAM)"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENANGANAN TERORISME DI INDONESIA DITINJAU

DALAM FIQH SIYASAH DAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S. Sy)

DisusunOleh :

MUHAMMAD ARIFIN SALEH NIM. 1110045200012

PROGRAM STUDI HUKUM TATANEGARA (SIYASAH) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)

i ABSTRAK

Muhammad Arifin Saleh NIM 1110045200012. Penanganan Terorisme Di Indonesia Ditinjau Dalam Fiqh Siyasah Dan Hak Asasi Manusia (HAM). Konsentrasi Ketatanegaraan Islam, Program Studi Jinayah Siyasah, Fakultas

Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1436

H / 2015 M, vi + 70 halaman.

Penanganan terorisme yang dilakukan Densus 88 sering kali menuai protes dari berbagai kalangan. Tindakan represif Densus 88 dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia dan asas Islam, sehingga membuat kredibilitas Densus 88 dipertanyakan oleh masyarakat.

Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan dan menjelaskan penanganan terorisme di Indonesia yang dilakukan Densus 88 ditinjau dalam fiqh siyasah dan hak asasi manusia. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan hukum normatif. Pengumpulan data dilakukan dengan metode kepustakaan di mana penulis melakukan pengidentifikasian secara sistematis dari sumber yang berkaitan dengan objek kajian.

Hasil penelitian ini adalah pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan dalam penanganan terorisme baik di dalam maupun diluar negeri, dalam objek fiqih siyasah keberadaan Densus 88 masih diperlukan untuk menjaga keamanan masyarakat, penangan terorisme yang dilakukan Densus 88 bertentangan dengan asas Islam dan HAM karena masih menggunakan kekerasan dalam penangkapan.

Kata kunci : Densus 88, Terorisme, , Undang-undang, Fiqih Siyasah, Hak Asasi Manusia (HAM).

(6)

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT, penguasa alam semesta yang berkat segala limpahan rahmat, taufik, inayah dan hidayah-Nya, al-hamdulillah penulis dapat merampungkan penyusunan skripsi ini.

Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw, beserta keluarga, sahabat dan umatnya, penutup para nabi dan Rasul yang tidak ada Nabi dan Rasul lagi sesudanya.

Skripsi ini dapat terselesaikan berkat dorongan semangat dan bantuan dari berbagai pihak yang sangat penulis hargai. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga serta penghargaan yang setinggi-tingginya terutama kepada :

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dra. Hj. Maskufa, MA, Ketua Program Studi Hukum Tatanegara

(Siyasah) Fakultas Syari’ah dan Hukum.

3. Sri Hidayati, MA, Sekretaris Program Studi Hukum Tatanegara

(Siyasah) Fakultas Syari’ah dan Hukum.

4. Prof. Dr. Zaitunah Subhan, Dosen Pembimbing Akademik yang senantiasa mengingatkan penulis selama mengikuti perkuliahan hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

(7)

iii

6. Seluruh dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang amat bermakna selama penulis mengikuti perkuliahan di FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Moh. Soleh dan ibunda Samiah

yang selalu mendukung, memotivasi, dan mendo’akan yang tak kenal

henti kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi.

8. Kepada adik ku tercinta Amelia Lestari Saleha dan Rima Maulida serta adik ipar Ferry Yolanda yang selalu memberikan dorongan, dukungan , dan motivasi kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi.

9. Kepada keponakan kembar ku Alfy dan Arfy yang lucu, gemesin dan suka becanda bareng, canda tawa mu yang membuat semangat penulis untuk mengerjakan skripsi.

10.Keluarga besar SS ( siyasah syar’iyah ) angkatan 2010, yaitu Fany, Imas,

Vicky, Ade, Lulu, Ilal, Eli, Ika, Sholiyah, Ihda, Dawud, Hafiz , Juki, Pa’i,

Riski, Rois, Taslim, Syaifudin, Ikul, Ela, dan Anita, yang selalu memberikan masukan dan dukungan kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi. Terima kasih atas kebaikan kalian semoga persahabatan ini terjaga selamanya.

11.Kawan-kawan “KKN Sahabat 2013” yang telah menemani penulis dalam kegiatan kampus dan berdiskusi dalam membangun masyarakat Desa Mauk Kecamatan Mauk Kabupaten Tangerang.

(8)

iv

Sofyadi, Irwan Gunawan, Ricky Rochyana, Rian Susanto, Henda H, Yogya FN, Isnaini Rokhwati, Ade NB, Rifqoh Azizah, Suartinih, Fauziah KH, Desi Hilma, Indah Sari, Fikah Awaliyah, Risma. yang selalu mengingatkan dan memberikan dukungan kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi.

13.Untuk staf PF dan PU, terimakasih atas fasilitas dan referensi yang diberikan kepada penulis sehingga mempermudah dalam menyelesaikaan skripsi ini.

14.Semua pihak yang tak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu, terima kasih atas segala bantuan dan sumbangsihnya, baik moril ataupun materil dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini.

Semoga bantuan yang telah diberikan oleh berbagai pihak tersebut mendapat balasan pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT, dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca.

Jakarta, 1 Oktober 2015

(9)

v DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Tinjauan Pustaka/ Penelitian Terdahulu ... 7

E. Metode Penelitian ... 8

F. Sistematika Pembahasan ... 9

BAB II TINJAUAN UMUM TERORISME DI INDONESIA A. Pengertian Terorisme………. 11

B. Sejarah Terorisme di Indonesia ... 13

C. Faktor-faktor Timbulnya Terorisme ... 19

D. Akibat Terorisme ... 23

BAB III DATASEMEN KHUSUS 88 (DENSUS 88) A. Sejarah Pembentukan Densus 88 ... 26

B. Tugas dan Wewenang Densus 88 ... 29

(10)

vi

BAB IV KEBIJAKAN PENANGANAN TERORISME OLEH DENSUS 88 DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF FIQH SIYASAH DAN HAM

A. Kebijakan Pemerintah dalam Pemberantasan Terorisme di

Indonesia………... 41

B. Kebijakan Penangan Terorisme oleh Densus 88 dalam Perspektif Fiqh Siyasah ... 50 C. Kebijakan Penangan Terorisme oleh Densus 88 dalam Perspektif

Hak Asasi Manusia……… .. 60 BAB V PENUTUP

(11)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Maraknya aksi teror dewasa ini menyebabkan hilangnya rasa aman di tengah-tengah masyarakat, selain juga menurunkan wibawa pemerintah sebagai badan yang seharusnya memberikan perlindungan dan rasa aman di tengah-tengah masyarakat. Indonesia merupakan salah satu negara yang dianggap memiliki ancaman besar, terutama dengan maraknya aksi teror bom di sejumlah tempat. Untuk menyebut beberapa di antaranya, yang terbesar dari segi jumlah korban dan pemberitaan internasional adalah Bom Bali I dan II, bom di lobi Hotel Marriot 1, Kedutaan Filipina, Kedutaaan Australia, Pasar Tentena, Poso, Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton pada 17 Juli 2009.1

Ibarat tanaman, terorisme di Indonesia telah menjelma sebagai tanaman yang tumbuh subur. Patah tumbuh, hilang berganti. Setelah Dr.Azhari tertembak mati, masih ada Noordin M. Top. Setelah Noordin M.

Top tewas dalam baku tembak di Solo, masih ada “pengantin-pengantin

(calon pelaku pengeboman bunuh diri) lain yang masih menghirup udara bebas. Tidak ada jaminan langkah mereka akan terhenti. Sebab itu, semua

1

(12)

2

pihak menghimbau agar pemerintah dan masyarakat tidak lengah dengan tumbuh-suburnya terorisme.

Terorisme bukan persoalan pelaku. Terorisme lebih terkait pada keyakinan teologis. Artinya, pelakunya bisa ditangkap, bahkan dibunuh, tetapi keyakinannya tidak mudah untuk ditaklukkan. Sejarah membuktikan,

usia keyakinan tersebut seumur usia agama itu sendiri.2

Salah satu bentuk tegas pemerintah dalam memerangi terorisme adalah dengan mengeluarkan Perpu Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang 15 Tahun 2003, kemudian melalui Inpres Nomor 4 tahun 2002, Presiden menginstruksikan agar dibentuknya tim pemberantasan tindak pidana terorisme. Hal ini adalah cikal bakal terbentuknya Datasemen Khusus 88 (Densus 88), yang bergerak dalam bidang pemberantasan jaringan terorisme di wilayah Indonesia. Densus 88 AT Polri didirikan sebagai bagian dari respon makin berkembangnya ancaman teror dari organisasi yang merupakan bagian dari jaringan Al-Qaeda, yakni; Jama’ah Islamiyah (JI).3

Detasemen 88 dirancang sebagai unit antiteroris yang memiliki kemampuan mengatasi gangguan teroris mulai dari ancaman bom hingga penyanderaan. Densus 88 di pusat (Mabes Polri) berkekuatan 400 personel ini terdiri dari ahli investigasi, ahli bahan peledak (penjinak bom), dan unit

2

A.M. Hendropriyono, Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam, (Jakarta: Kompas, 2009), hal.vii

3

(13)

3

pemukul yang di dalamnya terdapat ahli penembak jitu. Selain itu masing-masing kepolisian daerah juga memiliki unit antiteror yang disebut Densus 88, beranggotakan 45-75 orang, namun dengan fasilitas dan kemampuan yang lebih terbatas. Fungsi Densus 88 Polda adalah memeriksa laporan aktivitas teror di daerah dan melakukan penangkapan kepada personel atau seseorang atau sekelompok orang yang dipastikan sebagai anggota jaringan teroris yang dapat membahayakan keutuhan dan keamanan negara RI.4

Kebijakan-kebijakan lain pun digulirkan oleh pemerintah seperti pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme pada tahun 2010, serta jalinan kerjasama dengan Negara-negara seperti; Australia, Amerika Jerman, dan Pakistan, serta kerjasamanya antara departemen dengan lembaga pemerintah non departemen. Departemen dan lembaga-lembaga Negara tersebut antara lain: Departemen Dalam Negeri RI, Departemen Luar Negeri RI, Departemen Keuangan RI, Departemen Komunikasi dan Informasi RI, Departemen Perdagangan dan Perindustriaan RI, Badan Intelejen Negara, Polri, dan TNI.

Namun dengan seiring berjalannya waktu setelah ditetapkannya Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 dan banyaknya kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, serta terbentuknya Densus 88 masih banyak saja persoalan terorisme di Indonesia yang kerap muncul di tengah-tengah masyarakat bahkan bisa saja ledakan bom terjadi di belahan wilayah

4

(14)

4

Indonesia dimana saja. Tidak hanya di situ saja permasalahan muncul, tindakan tim Densus 88 juga menuai banyak kritikan dari berbagai kalangan masyarakat dalam menangani terorisme di tanah air yang justru cenderung melanggar hak-hak asasi manusia. Mulai dari salah tangkapnya Densus 88 dalam menangkap tersangka teroris, adanya penyiksaan terhadap tersangka teroris, sampai hilangnya nyawa seseorang.

Dalam pasal 9 Undang-undang No 39 Tahun 1999 menyatakan bahwa

Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan

taraf kehidupannya”. Dan dalam pasal 18 Undang-undang No 39 Tahun

1999 yang berbunyi “Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut

karena disangka ,elakuakan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak

bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu siding

pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk

pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Penanganan terorisme di Indonesia yang banyak jadi bahan pembicaraan orang menyebabkan kredibilitas Densus 88 sebagai tim khusus pemberantasan terorisme menjadi menurun serta menjadi masalah baru yang harus segera diperbaiki agar masyarakat kembali mempercayai Densus 88 dalam memberantas terorisme di Indonesia.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan tersebut menjadi sebuah skripsi dengan judul “PENANGANAN TERORISME DI INDONESIA DITINJAU DALAM

(15)

5 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Melihat topik ini tentang “Penanganan Terorisme di Indonesia Ditinjau

Dalam Fiqh Siyasah Dan HAM”, yang menjadi pokok permasalahan dalam

penelitian ini adalah kebijakan, yaitu kebijakan atau tindakan pemerintah Indonesia dalam menangani terorisme di Indonesia. Dengan permasalahan yang ada, maka penulis membatasi masalah kebijakan penanganan terorisme yang dilakukan oleh Densus 88 ditinjau dalam fiqh siyasah dan hak asasi manusia.

Dari pembatasan masalah diatas dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pandangan Fiqh Siyasah terhadap kebijakan penanganan terorisme yang dilakukan Densus 88 Anti Teror Polri?

2. Bagaimanakah pandangan HAM terhadap kebijakan penanganan terorisme yang dilakukan Densus 88 Anti Teror Polri?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

a) Mengetahui kebijakan penanganan terorisme di Indonesia.

b) Mengetahui pandangan Fiqh Siyasah terhadap penanganan terorisme yang dilakukan Densus 88 Anti Teror Polri.

(16)

6 2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penenlitian ini adalah:

a. Bagi penulis, untuk mengetahui tentang kebijakan pemerintah Republik Indonesia dalam menangani terorisme serta pandangan fiqh siyasah dan hak asasi manusia terhadap kebijakan pemerintah.

b. Bagi pemerintah atau Lembaga Densus 88, diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat dan dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam mengambil langkah kebijakan-kebijakan dalam menangani permasalahan terorisme di Indonesia.

D. Riview Terdahulu

Kajian tentang penangan terorisme sudah banyak dilakukan oleh sejumlah sarjana atau peniliti diantaranya sebagai berikut:

Pertama, Tahsis Alam Robitho, meneliti penanganan terorisme yang berjudul, Peranan Guru Pendidikan Agama Islam dalam Menangkal Bahaya Terorisme (Studi di SMA Negeri 9 Tangerang Selatan) (2013). Tahsis menemukan bahwa peranan guru pendidikan agama Islam di SMA Negeri 9 Tangerang Selatan dalam menangkal bahaya terorisme sudah baik. Artinya pengalaman siswa tidak terpengaruh oleh doktrin-doktrin bahaya yang dilakukan terorisme yang selama ini mengincar para remaja

(17)

7

aksi terorisme di media massa dapat dibagi dalam tiga kategori. Pertama, Respon Kognitif. Pada respon ini mahasiswa berpendapat bahwa media yang ada di Indonesia masih belum bisa memegang teguh pada prinsip kode etik jurnalistik sehingga berpengaruh pada berita-beritanya. Kedua, Respon Afektif. Ada rasa benci pada diri mahasiswa atas tindakan terorisme yang menurut mereka melanggar HAM dan tidak berperikemanusiaan serta melukai banyak korban, dan menelan banyak korban. Ketiga, Respon Psikomotorik. Agar selalu dalam koridor yang benar dan tidak menyimpang pada paham yang melenceng dan yang tidak diajarkan oleh agama mereka, para mahasiswa membentengi diri dengan Ilmu Agama.

(18)

8 E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang diterapkan dalam menyusun skripsi ini adalah menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan hukum normatif.5 Penelitian ini menggambarkan kebijakan penanganan terorisme yang dilakukan Densus 88 ditinjau dari aspek fiqh siyasah dan hak asasi manusia.

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan yang diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

3. Sumber Data

a) Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang yakni berupa Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, Undang-Undang-undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2000, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan Peraturan Perundang-undangan tang berkaitan dengan permasalahan ini, serta KUHP.

b) Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang kejahatan yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme, seperti karya tulis ilmiah tentang kejahatan yang berkaitan

5

(19)

9

dengan tindak pidana terorisme, majalah-majalah, artikel, Koran, dan beberapa sumber dari situs internet yang berkaitan dengan persoalan diatas.

4. Teknik Analisa Data

Pada tahap analisis data, data diolah dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai berhasil menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat di pakai untuk menjawab persoalan yang diajukan dalam penelitian. Adapun data-data tersebut dianalisis dengan analisis komperatif, yaitu membandingkan penanganan terorisme di Indonesia yang dilakukan Densus 88 dalam tinjauan fiqh siyasah dan hak asasi manusia.

5. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan proposal skripsi ini menggunakan buku

“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Tahun 2012”.

F. Sistematika Penulisan

Dalam pembahasan skripsi ini penulis membagi pada lima bab, dengan sistematika sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan

Terdiri dari latarbelakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

(20)

10

Membahas tentang pengertian terorisme, sejarah terorisme di Indonesia, faktor-faktor timbulnya terorisme, dan akibat dari terorisme.

Bab III Datasemen Khusus 88

Membahas tentang sejarah pembentukan Densus 88, tugas dan wewenang Densus 88, dan kasus penanganan terorisme oleh Densus 88.

Bab IV Kebijakan Penanganan Terorisme oleh Densus 88 Di Indonesia dalam Perspektif Fiqh Siyasah dan Hak Asasi Manusia

Membahas tentang penanganan terorisme di Indonesia oleh Densus 88 yang ditinjau dalam fiqh siyasah, hukum dan ham serta langkah-langkah kebijakan pemerintah dalam menangani terorisme di Indonesia.

Bab V Penutup

(21)

11 BAB II

TINJAUAN UMUM TERORISME DI INDONESIA

A. Pengertian Terorisme

Dari segi bahasa, istilah terorisme sesungguhnya berkaitan erat dengan kata teror dan juga teroris. Secara sistematik leksikal terror berarti kekacauan, tindak kesewenang-wenangan untuk menimbulkan kekacauan dalam masyarakat, tindakan kejam dan mengancam.6 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata terorisme sendiri memiliki makna yakni, penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik); praktik tindakan teror;.7 Sedangkan menurut

Federal Buraeu Of Investigation (FBI) atau Biro investigasi Amerika Serikat, terorisme adalah tindakan kekerasan melawan hukum atau kejahatan melawan orang-orang atau perbuatan dengan mengintimidasi atau memaksa satu pemerintah, warga sipil dan unsur masyarakat lainnya, dengan tujuan mencapai target sosial politik tertentu.8 Menurut Perpu No 1 Tahun 2002 jo (UU Nomor 15 Tahun 2003), tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pengganti Undang-undang, yang mana dimaksud

6

Abdurrahman Pribadi & Abu Hayyan, Membongkar Jaringan Teroris, (Jakarta:Abdika Press.2009), hal.9

7

Tim Bentang Pustaka, Kamus Saku Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Bentang Pustaka, 2010), hal.187

8

(22)

12

yakni setiap orang yang dengan sengaja menggunakan, kekerasan, bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas Internasional.9

Dengan demikian terorisme adalah kekerasan yang terorganisir, menempatkan kekerasan sebagai kesadaran, metode berpikir sekaligus alat pencapaian tujuan. Dari berbagai pengertian diatas, menurut pendapat para ahli bahwasanya kegiatan terorisme tidak akan pernah dibenarkan karena ciri utamanya yaitu:

1. Aksi yang digunakan menggunakan cara kekerasan dan ancaman untuk menciptakan ketakutan publik.

2. Ditujukan kepada negara, masyarakat atau individu atau kelompok masyarakat tertentu.

3. Memerintah anggota-anggotanya dengan cara teror juga.

4. Melakukan kekerasan dengan maksud untuk mendapat dukungan dengan cara yang sistematis dan terorganisir.10

9

Pasal 7 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003

10

(23)

13 B. Sejarah Terorisme di Indonesia

Rekam jejak sejarah terorisme di Indonesia telah ada sejak lama. Bahkan, bisa dikatakan riwayatnya seusia dengan lahirnya negeri ini. Faktanya, sejak awal proklamasi kemerdekaan Indonesia, pemberontakan dan gerakan perlawanan terorisme di Indonesia terbagi menjadi tiga bentuk. Pertama, aksi pemisahan diri yang disebabkan hubungan dekat dengan bekas penjajah, Belanda. Contohnya, peristiwa pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS), yang hingga kini sisa-sisa perlawanannya masih membekas.

Kedua, aksi terorisme yang ingin mendirikan negara atau memisahkan diri dengan ideologi politik tertentu, seperti kisruh PKI/FDR tahun 1948 meski banyak perdebatan mengenai hal ini dan DI/TII yang diproklamasikan pada 7 Agustus 1949 oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewiryo. Ketiga, gerakan pemberontakan yang disebabkan oleh semangat keetnisan, dimana ledakannya dipicu kebijakan yang tidak berimbang antara pusat dan daerah. Contohnya, peristiwa PPRI/Permesta di Sumatera dan Sulawesi.

(24)

14

dimana motivasi dari gerakan teroris tersebut yakni mendirikan negara global berbasis agama yang sangat anti-barat.

Respon tersebut dapat dilihat dengan semakin memanasnya konflik komunal berbasis keagamaan yang terjadi di beberapa wilayah, seperti, Poso, Maluku, dan Kupang. Konflik-konflik tersebut yang mulai memanas tahun 1999 masa transisi Orde Baru ke Orde Reformasi diwarnai dengan peledakan beberapa gereja di malam Natal dan tempat Ibadah lainnya di berbagai kota besar di Indonesia. Kemudian, ruang-ruang konflik inilah yang melahirkan benih-benih baru gerakan terorisme yang lebih besar.11

Pada Tanggal 3 Agustus 2000, bom meledak di depan kantor Konsulat Jenderal Amerika Serikat dan kantor agen perjalanan Filipina di Manado. Di sini, bom tersebut tidak mengambil korban, tampaknya lebih banyak

berfungsi sebagai “bunga rampai” oleh siapapun yang memasang bom

tersebut, untuk menyatakan kehadiran Al-Qaidah di Indonesia.12 Keberadaan keompok teroris di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan jaringan Internasional. Ramakhrisna dan See Seng Tan menggambarkan keterkaitan Al-Qaeda dengan organisasi atau kelompok lainnya termasuk Jamaah Islamiyah yang berada di Kawasan Asia tenggara. Menurut keduanya, bagi kelompok teroris lain Al-Qaeda adalah; pemimpin atau rujukan dasar aktifitas spiritual; sebagai penyedia tempat pelatihan di Afganisthan, Pakistan, dan

11

Galih Priatmodjo, Densus 88 The Under Cover Squad:Mengungkap Kesatuan Elite

“Pasukan Hantu” Anti Teror, (Yogyakarta: Narasi, 2010), hal.12-14

12

(25)

15

lain sebagainya; sebagai penyedia pelatih; sebagai penyedia dana bagi aktifitas regional; sebagai penyedia logistik dan bahan peledak; dan sebagai yann menentukan atau meminta sasaran operasi di tingkat regional.13

Selanjutnya, terjadi aksi pengeboman di Bali, pada tanggal 12 September 2002. Jumlah korban yang tewas merupakan terbesar dalam sejarah peledakan bom di Indonesia. Ledakan terjadi di tiga lokasi hampir bersamaan,

yaitu Renon (dekat konsulat AS), Peddy’s Café dan Sari Club merenggut

nyawa banyak warga negara asing, sebagian besar warga Negara Australia. Aparat kepolisian Indonesia, bekerja sama dengan aparat keamanan luar negeri, berhasil mengidentifikasi dan menangkap sejumlah pelaku. Mereka antara lain Amrozi, Imam Samudera, Mukhlas, Ali Imron. Hasil pemeriksaan tersangka disimpulkan para pelaku Bom Bali I merupakan anggota sebuah jaringan organisasi berbasis luas, yaitu Jamaah Islamiyah (JI).14

Rangkaian ledakan bom Indonesia semenjak tahun 2000 selalu dikaitkan dengan aktifitas Noordin M Top yang pernah menjadi anggota JI. Studi yang dilakukan oleh Direktur Program Asia Tenggara di Internasional Crisis Group Sidney Jones mengungkapkan bahwa JI merupakan jaringan radikal yang memiliki anggota di berbagai negara seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina dan Australia. Jaringan Noordin M Top merupakan

13

http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20313777-T31325-Disengagement%20strategi.pdf di akses 30 September 2014

14

(26)

16

mantan angota JI yang berpahaman radikal dan menggunakan pemboman sebagai pola serangan teror.15

Dalam kurun waktu 2000-2010 saja, Polri mencatat sebanyak 298 orang tewas akibat serangan teroris, 838 orang luka-luka, belum termasuk 19 orang polisi yang tewas dan 29 orang yang luka-luka (“298 Orang Tewas Akibat Serangan Teroris”, antarnews.com), selain menimbulkan korban jiwa, serangan teroris juga menimbulkan kerugian materi, ekonomi dan sosial (terutama terhadap hubungan antar umat beragama).16

Untuk lebih jelasnya mengenai perkembangan ancaman terorisme di Indonesia dapat dilihat di table berikut.

NO TAHUN TEMPAT KORBAN

1 4 Oktober 1984 BCA Pacenongan, Glodok dan Gajah Mada.

2 orang tewas

2 Desember 1984 Gedung Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang, Jawa Timur.

-

3 20 Januari 1984 Candi Borobudur - 4 16 Maret 1985 Bus Pemudi Ekspres di

Banyuwangi Jawa Timur

5 13

September1991

Mranggen, Demak, Jawa Tengah

6 18 Januari 1998 Rumah Susun, tanah tinggi Jakarta

7 11 Des. 1998 Atrium Plaza Senen, Jakarta Pusat

8 Januari 1999 Ramayana, Jl. Sabang, Jakarta

9 April 1999 Plaza Hayam Wuruk

10 19 April 1999 Masjid Istiqlal 2 orang Luka

15

http://eprints.undip.ac.id/38355/3/BAB_2.pdf di akses 30 September 2014

16

(27)

17

11 20 Oktober 1999 Depan Balai Sidang Senayan dan Bundaran HI

1 Orang Tewas, 15 Luka-luka

12 28 Mei 2000 Gereja Kristen Protestan dan Gereja Katolik, Medan

23 Orang Luka-luka

13 4 Juli 2000 Gedung Bundaran Kejagung

14 4 Juli 2000 Kejaksaaan Agung, Jakarta Selatan

15 3 Agustus 2000 Kediaman Dubes Filipina, Jakarta Pusat

2 Orang Tewas, 21 Orang Luka-luka

16 27 Agustus 2000 Depan Dubes Malaysia

17 13September 2000

Gedung Bursa Efek Jakarta

10 Orang Tewas, 90 Orang Luka-luka

18 24 Desember 2000

Gereja-gereja Jakarta 17 Orang Tewas, 100 Orang Luka-luka

19 18 April 2001 Tiga Boks Telpon Umum di Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat

20 10 Mei 2001 Asrama Mahasiswa Aceh, Manggarai, Jakarta Pusat

21 19 Juni 2001 Rumah Kontrakan, Pancoran, Jakarta Selatan

5 Orang Luka-luka

22 4 Juli 2001 Kejaksaan Agung 23 11 Juli 2001 Jembatan Fly Over

Slipi, Jakarta Barat

1 Orang Tewas, 13 Orang Luka-luka

24 22 Juli 2001 Gereja Santa Anna, Duren Sawit, Gereja HKBP, Cipinang, melayu, Jakarta

5 Orang Tewas, 72 Orang Luka-luka

25 1 Agutus 2001 Plaza Atrium Senen, Jakarta Pusat

6 Orang Luka-luka 26 12 Oktober 2001 KFC Makassar

27 6 November 2001 Sekolah Australia (AIS) Jakarta

28 1 Januari 2002 Rumah Makan Ayam Bulungan, Kebayoran Baru, Jakarta

29 4 April 2002 Hotel Amborina dan Pembakaran Kantor

(28)

18 Gubernur Maluku 30 9 Juni 2002 Tempat Parkir Hotel

Jakarta, Diskotik Eksotiskota

4 Orang Luka-luka

31 1 Juli 2002 Mal Graha Cijantung, Jakarta

7 Orang Luka-luka

32 12 Oktober 2002 Bom Bali I 202 Orang Tewas, Ratusan Lainnya Luka-luka

33 5 Desember 2002 Mcdonald, Makassar 3 Orang Tewas 34 3 Februari 2003 Wisma Bhayangkara

35 27 April 2003 Terminal Bandara Soekarno-Hatta

2 Orang Luka-luka 36 5 Agutus 2003 Hotel JW Marriot,

Jakarta

12 Orang Tewas, 150 Orang Luka-luka

37 10 Januari 2004 Lokasi Karaoke, Kafe Sampodo, Palopo, Sulawesi

4 Orang Tewas

38 9 September 2004 Kedutaan Australia, Jakarta

10 Orang Tewas, 100 Orang Luka-luka

39 13November2004 Kantor Polisi Kendari, Sulawesi

5 Orang Tewas, 4 Orang Luak-luka

40 12 Desember2004 Gereja Immanuel Palu 41 21 Maret 2005 Ambon

42 28 Mei 2005 Pasar Tentena, Sulawesi

22 Orang Tewas, 90 Orang Luka-luka

43 8 Juni 2005 Pamulang, Tangerang

44 1 Oktober 2005 Bom Bali II 20 Orang Tewas, 129 Orang Luka-luka

45 31Desember 2005 Pasar Palu, Sulawesi 8 Orang Tewas, 48 Orang Luka-luka

46 17 Juli 2009 Hotel JW Marriot, Ritz Carlton, Jakarta

9 Orang Tewas, 41 Orang Luka-luka

Sumber : http://eprints.undip.ac.id/38355/3/BAB_2.pdf di akses 28 September 2014 &

Mardenis, Pemberantasan Terorisme Politik Internasional dan Politik Hukum Nasional Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hal.130

(29)

19

kerusakan yang ditimbulkannya). Maka dari itu dalam rangka mengantisipasi dan melawan terorisme tidak dapat dianggap hal yang sepele, perlu langkah-langkah dan kebijakan pemerintah yang tegas. Tidak hanya mampu menangkap bahkan membunuh pelaku teror akan tetapi pemerintah harus sanggup memberantas sumber aksi terorisme tersebut.

C. Faktor-faktor Timbulnya Terorisme

Pada umumnya, ada enam faktor yang menjadi sebab/motivasi timbulnya terorisme, yaitu faktor ekonomi, sosial budaya, identitas, pendidikan, politik, dan faktor psikologi:

Pertama, faktor ekonomi. Terorisme dapat terjadi dimana saja, namun kebanyakan studi menunjukkan bahwa terorisme lebih banyak terjadi di dalam masyarakat yang berkembang (depeloving societies) dari pada di negara-negara miskin (poor countries) atau negara-negara kaya (rich countries). Problematika ekonomi telah mempengaruhi setiap orang tidak hanya secara material, tetapi juga secara kejiwaan. Itulah sebabnya pembagian pendapatan yang tidak seimbang di dalam masyarakat merupakan salah satu elemen penting yang menjadi sebab dilakukannya terorisme.17

A.C. Manullang menyatakan salah satu pemicu dilakukannya terorisme adalah kemiskinan dan kelaparan. Rasa takut akan kelaparan dan kemiskinan yang ekstrim akan mudah menyulut terjadinya aksi-aksi

17

(30)

20

kekerasan dan konflik, yang juga merupakan lahar subur bagi gerakan terorisme. Terorisme dan gerakan-gerakan radikal juga terjadi di negara-negara maju dan kaya. Ketidakpuasan atau sikap yang berbeda akabiat kecemburuaan sosisal yang terus hadi dan berkembang antara kelompok yang dominan dan kelompok minoritas dan terpinggirkan (di negara maju), serta mengalami marginalisasi secara kontinyu dalam jangka panjang akibat kebijakan pemerintah pusat, terlebih lagi karena kebijkan multilateral yang membuat kelompok margianal tersebut tidak dapat lagi mentoleransi keadaan tersebut melalui jalur-jalur formal dan legal, memotivasi mereka secara lebih kuat lagi untuk mengambil jalur alternatif melalui aksi kekerasan.18

Kedua, faktor sosial-budaya. Perubahan budaya dapat menyebabkan perubahan dalam kehidupan sosial. Dengan kata lain, kehidupan masyarakat merupakan bagian dari pada perubahan kebudayaan. Bila perubahan di dalam struktur sosisal terlalu cepat dan hanya terjadi pada bagian tertentu dari masyarakat akan dapat membuat yang lainnya tidak berkembang dan jauh ketinggalan. Hal inilah yang mengakibatkan timbulnya kesenjangan sosial.19

Ketiga, faktor identitas. Sementara itu adanya faktor identitas yang kuat dalam masyarakat Indonesia yang pluralitas dengan berdasarkan perbedaan ras, agama, kultur, bahasa dan sebagainya. Kemudian dengan adanya rasa tidak puas dan ketidakadilan dalam pendistribusian sumber daya

18

Abdul Wahid, dkk, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM, dan Hukum, (Bandung: Pt. Rafika Aditama, 2004), hal.69

19

(31)

21

ekonomi, politik, dan sosial, terjadinya kesenjangan dalam pembangunan di bidang politik, idiologi, sosial ekonomi, dan budaya. Semuanya itu saling berkolerasi memicu keinginan masyarakat untuk menuntut pengakuan atas identitas mereka.20

Keempat, faktor pendidikan. Sistem pendidikan yang tidak berkembang, yang tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, dapat menyebabkan ketidakpuasan masyarakat. Adanya ketidakpuasan di dalam masyarakat ini telah membuat masyarakat melakukan tindakan dengan penggunaan kekerasan untuk memenuhi kebutuhannya. Orang-orang yang tidak mendapatkan pendidikan yang cukup pada umumnya lebih mudah termakan oleh propaganda dari pihak-pihak yang hendak mengacaukan negara. Masyarakat seperti ini mudah menjadi bagian dari organisasi dan gerakan teroris.21

Kelima, faktor politik. Menurut Wawan H. Purwanto, ancaman terorisme di Indonesia tidak lepas dari tatanan politik global yang kini dikendalikan AS dan sekutunya. Selain itu sistem politik dalam negeri pun ikut memicu aksi terorisme di Indonesia dengan dua konteks itu.

20

Peter Harris dan Ben Rielly (ed), Demokrasi dan Konflik yang mengakar: Sejumlah Pilihan Untuk Negosiator, (Depok,: Amerro,2002), hal.11

21

(32)

22

Menurutnya, ancaman terorisme di Indonesia akan terus mengganggu keamanan nasional.22

Keenam, faktor psikologi. Mereka yang tidak mempunyai kemampuan yang cukup biasanya tidak menyukai aturan-aturan, tempat-tempat, dan posisi-posisi dimana mereka berada. Mereka berasumsi bahwa mereka tidak mendapatkan penghormatan, perhatian, dan cinta dari masyarakat. Atas dasar itu mereka melakukan kejahatan dan bertingkah laku secara agresif dan melakukan perbuatan lain untuk mendapatkan perhatian dan penghormatan dari yang lainnya sebagai ekspresi diri mereka.23

Melihat fakta-fakta mengenai kondisi ketidak stabilan Indonesia secara keseluruhan ditambah dengan kenyataan bahwa Indonesia tengah menghadapi konflik-konflik internal di beberapa tempat, maka sangat beralasan kiranya kekhawatiran masyarakat internasional bahwa kondisi demikian akan dimanfaat kan oleh jaringan terorisme internasional untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu basis gerakannya.24

Melihat dari berbagai faktor yang menimbulkan terorisme hal ini jelas bukan lah perkara mudah bagi pemerintah dalam memerangi terorisme akan tetapi. Pemerintah wajib membenahi persoalan dasar yang menyebabkan timbulnya terorisme yakni, masalah ekonomi, sosial budaya, pendidikan,

22

Mardenis, Pemberantasan Korupsi Politik Internasional dan Politik Hukum Nasional Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hal.126

23

Aulia Rosa Nasution, Terorisme Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Dalam Perspektif Hukum Internasional & Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Kencana Prenada Grup, 2012), hal.118

24

(33)

23

kesejahteraan, politik, identitas, bahkan psikologi masyarakat yang sangat mudah dihasut oleh sekelompok orang yang ingin mengacaukan Negara Republik Indonesia dengan cara melakukan terror dengan mengatasnamakan berjihad dalam agama.

D. Dampak Terorisme di Masyarakat

Perkembangan teroris di negara ini memang bisa dikatakan sangat memprihatinkan, karena hampir setiap tahun pasti ada saja aksi-aksi teror yang selalu memakan korban baik korban luka-luka maupun korban tewas. Kegiatan para teroris yang meresahkan masyarakat memaksa masyarakat untuk lebih waspada dengan segala sesuatau yang berbau terorisme. Keresahan dan kewaspadaan tersebut sedikit banyak mempengaruhi pola kehidupan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara. Hal tersebut menimbulkan banyak akibat bagi kehidupan bangsa, dari hal tersebut rasa nasionalisme dari para generasi mudapun mulai dipertanyakan karena seringkali para teroris selalu merekrut anak-anak muda yang masih labil untuk dijadikan sebagai kurir maupun pelaku aksi teror yang meresahkan masyarakat.25

Paska peristiwa pemboman gedung WTC pada 11 September 2001, yang dijadikan referensi dilandanya dunia dengan ancaman teroris, ternyata diikuti oleh peristiwa-peristiwa pemboman di wilayah lain, termasuk di wilayah Indonesia. Peristiwa pemboman di Indonesia terjadi bekali-kali,

25

(34)

24

diawali dengan pemboman di Bali yang menewaskan banyak korban dan menghancurkan laju perkembangan ekonomi, khususnya industri pariwisata di Indonesia.26

Direktur perdagangan dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS), Rusman Hermawan, menyatakan bahwa pemerintah kehilangan devisa sedikitnya 850 juta USD sepanjang tahun 2002 dari sector pariwisata akibat peristiwa Bom Bali I. Angka ini belum termasuk kerugian yang diderita masyarakat sebagai efek berantai dari peristiwa Bom Bali I tersebut. Dari uraian diatas, terorisme secara factual dapat menimbulkan bahaya bagi nyawa dan perekonomian.27

Secara lebih luas, Abdullah Sumarahadi mengemukakan bahwa terorisme dapat menimbulkan bahaya yang kompleks, antara lain:

1) Kehidupan sosial dan masyarakat menjadi tertekan, tidak aman dan selalu dihantui oleh kekhawatiran dalam melakukan aktivitas kondisi ini dapat mengakibatkan terlanggarnya hak-hak individu maupun kelompok dalam masyarakat.

2) Merusak sendi-sendi politik, karena politik dijadiakan sebagai alat atau sarana untuk melakukan kejahatan oleh pihak tertentu serta kesewenang-wenangan oleh penguasa.

3) Kehidupan ekonomi menjadi carut-marut karena sentimen pasar cenderung mengikuti perilaku dan kejadian politik nasional maupun

26

Mardenis, Pemberantasan Terorisme Politik Internasional dan Politik Hukum Nasional Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hal.126

27

(35)

25

Internasional. Terjadinya terorisme disuatu wilayah menunjukkan bahwa keamanan suatu wilayah tersebut tidak aman sehingga kepercayaan pasar menjadi rendah.

4) Terorisme mengakibatkan pengembangan atau pembumian nilai budaya menjadi menipis karena seolah budaya masyrakat larut dalam suasana anarkis.

5) Kehidupan agama menjadi berada dalam bayang-bayang kekuasaan dan ketertindasan. Agama yang idealnya menjadi jalan pembebasan dari penindasan justru keberadaan terorisme yang bermotif agama menjadikan sebaliknya.28

Mahalnya akibat dari tindakan terorisme jelas harus dibayar dan ditanggung masyarakat dan pemerintah Indonesia. Terorisme tidak hanya menghilangkan materi akan tetapi dapat menyebabkan hilangnya nyawa seseorang dan yang lebih parah lagi aksi terorisme dapat mengganggu psikis korban bom terorisme yang selamat dari tindakan bom terorisme yang terjadi di tanah air. Keadaan yang tidak aman pun membuat gelisah dan memberikan rasa takut terhadap masyarakat luas. Untuk itu diperlukan kerjasama antara pemerintah dan masyarakat guna menanggulangi tindakan terorisme di Indonesia agar terciptanya suasana aman bagi seluruh masyarakat Indonesia sehingga masyarakat tidak merasa khawatir dalam melakukan aktifitas sehari-hari.

28

(36)

26 BAB III

DATASEMEN KHUHUS 88 (DENSUS 88)

A. Sejarah Pembentukan Densus 88

Banyaknya aksi teror pemboman yang terjadi di Indonesia era tahun 2000-2005, mulai dari bom kedubes Filipina dan Malaysia, BEJ, Plaza atrium, bali I dan II, bom Kuningan, bom JW marriot dan lainnya sering dapat travel warning dari negara lain di dunia. Sebelum satuan khusus ini terbentuk sudah ada detasemen yang mirip. Namanya Sat-1 Gegana brimob.29

Nama Gegana Brimob sempat dikenal seiring maraknya kasus teror dan ancaman bom di tanah air. Pasukan inilah yang datang memeriksa jika ada laporan terkait teror bom dan bahan peledak di suatu tempat. Pasukan Korps Brimob ini juga sering ditugaskan membantu aparat keamanan organik

ke berbagai “wilayah panas” seperti Aceh, Ambon, Poso, untuk mengatasi

gangguan keamanan dan kerusuhan sosial. Dapat dikatakan keamampuan pasukan ranger milik Polri ini secara umum bisa disejajarkan dengan satuan tempur Tentara Nasional Indonesia (TNI). Tetapi, tugas dan peran satuan Gegana Brimob Polri dipandang masih memiliki kelemahan. Hal ini terutama karena tugas mereka masih terfokus pada upaya refresif, belum mengembangkan upaya preventif. Sehingga Gegana dinilai kurang memenuhi kriteria sebagai unit anti-teror karena hanya berfungsi sebagai satuan

29

(37)

27

penindak (striking force). Apalagi dengan meningkatnya aktifitas terorisme pasca-peristiwa 11 September, praktis tugas detasemen Gegana menjadi semakin berat dan kurang memadai.30

Sejak itulah wacana pembentukan Densus 88 Polri yang kualifikasinya penanggulangan anti-teror makin menguat. Cikal bakal Densus 88 lahir dari Inpres No. 4 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Terorisme. Instruksi ini dipicu oleh maraknya teror bom sejak 2001. Aturan ini kemudian dipertegas dengan diterbitkannya paket Kebijakan Nasional terhadap pemberantasan terorisme dalam bentuk Perpu No. 1 dan 2 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan merespons perintah itu dengan membentuk Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme pada tahun 2002. Desk ini langsung berada di bawah koordinasi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. Desk ini berisi Kesatuan Antiteror Polri yang lebih dikenal dengan Detasemen C Resimen IV Gegana Brimob Polri, dan tiga organisasi antiteror TNI dan intelijen. 31

Dalam perjalanannya, institusi-institusi antiteror tersebut melebur menjadi SatuanTugas (Satgas) Antiteror di bawah koordinasi Departemen Pertahanan. Namun, inisiatif Matori Abdul Djalil, Menteri Pertahanan saat itu, berantakan. Masing-masing kesatuan antiteror lebih nyaman berinduk

30

Galih Priatmodjo, Densus 88 The Under Cover Squad, (Yogyakarta: Narasi, 2010), hal.39

31

Harris.Y.P. Sibuea, Keberadaan Datasemen Khusus (DENSUS) 88 Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Jurnal Info Singkat Hukum,

(38)

28

kepada organisasi yang membawahinya. Satgas Antiterorpun tidak berjalan efektif, masing-masing kesatuan antiteror berjalan sendiri-sendiri. Akan tetapi, eskalasi teror tetap meningkat. Polri terpaksa membentuk Satgas Bom Polri. Tugas pertama Satgas Bom adalah mengusut kasus Bom Natal pada 2001 dan dilanjutkan dengan tugas-tugas terkait ancaman bom lainnya.32

Satgas Bom Polri menjadi begitu dikenal publik saat menangani beberapa kasus peledakan bom yang melibatkan korban warga negara asing, seperti Bom Bali I, Bom Bali II, Bom Marriot, dan Bom Kedubes Australia. Satgas ini berada di bawah Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri, dan dipimpin oleh perwira polisi bintang satu. Namun, di samping ada satuan antiteror Gegana Brimob Polri dan Satgas Bom Polri, kepolisian memiliki organisasi sejenis dengan nama Direktorat VI Antiteror di bawah Bareskrim Mabes Polri. Keberadaan Direktorat VI Antiteror ini tumpang-tindih dan memiliki fungsi dan tugas yang sama sebagaimana yang diemban oleh Satgas Bom Polri.

Mabes Polri akhirnya mereorganisasi Direktorat VI Antiteror dengan menerbitkan SK Kapolri No. 30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003 untuk melaksanakan UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, sesuai ketentuan Pasal 26 dan Pasal 28 bahwa kewenangan Densus 88 melakukan penangkapan dengan bukti awal yang dapat berasal dari laporan intelijen

32

(39)

29

manapun selama 7 x 24 jam. Sejak itulah Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri yang disingkat Densus 88 Antiteror Polri terbentuk.33

B. Tugas dan Wewenang Densus 88

Detasemen Khusus 88 atau Densus 88 adalah satuan khusus Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk penanggulangan teroris di Indonesia. Pasukan khusus berompi merah ini dilatih khusus untuk menangani segala ancaman teror, termasuk teror bom. Beberapa anggota juga merupakan anggota tim Gegana.

Detasemen 88 dirancang sebagai unit antiteroris yang memiliki kemampuan mengatasi gangguan teroris mulai dari ancaman bom hingga penyanderaan. Densus 88 di pusat (Mabes Polri) berkekuatan diperkirakan 400 personel ini terdiri dari ahli investigasi, ahli bahan peledak (penjinak bom), dan unit pemukul yang di dalamnya terdapat ahli penembak jitu. Selain itu masing-masing kepolisian daerah juga memiliki unit antiteror yang disebut Densus 88, beranggotakan 45-75 orang, namun dengan fasilitas dan kemampuan yang lebih terbatas. Fungsi Densus 88 Polda adalah memeriksa laporan aktivitas teror di daerah. Melakukan penangkapan kepada personel atau seseorang atau sekelompok orang yang dipastikan merupakan anggota

33

Harris.Y.P. Sibuea, Keberadaan Datasemen Khusus (DENSUS) 88 Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Jurnal Info Singkat Hukum,

(40)

30

jaringan teroris yang dapat membahayakan keutuhan dan keamanan negara R.I.34

Dalam rangka pemberantasan terorisme di Indonesia Densus 88 memiliki tugas dan wewenang yang sama dengan anggota kepolisian lainnya hal ini karena densus 88 merupakan satuan khusus Kepolisian Negara Republik Indonesia yang masih dibawah nauangan Kepolisian Negara Republik Indonesia hanya saja Densus 88 satuan unit khusus yang bergerak dibidang pemberantasan tindak pidana terorisme, adapun tugas dan wewenangnya sebagai berikut:

1. Tugas dan Wewenang dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Dalam menjalani tugasnya Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki tugas pokok sebagaimana yang tertera dalam pasal 13 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 yakni: 35

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. Menegakkan hukum; dan

c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat

Wewenang secara umum pasal 15 ayat 1 undang-undang No. 2 tahun 2002 menyebutkan:

34

http://id.wikipedia.org/wiki/Detasemen_Khusus_88_%28Anti_Teror%29 di akses tanggal 4 Januari 2015

35

(41)

31

(1) Dalam rangka penyelenggaraan tugas sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang36:

a. Menerima laporan dan/atau pengaduan;

b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat menggangu ketertiban umum;

c. mencegah dan menanggulangi tumbuuhnya penyakit masyarakat; d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau

mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;

e. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalm lingkup kewenangan administratif kepolisian;

f. Melakukan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;

g. Melakukan tindakan pertama ditempat kejadian;

h. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;

i. Mencari keterangan dan barang bukti;

j. Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;

k. Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyrakat;

36

(42)

32

l. Memberikan bantuan pengamanan dalam siding dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lainnya, serta kegiatan masyarakat;

m. Meneriama dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.

Kewenangan di bidang proses pidana (pasal 16 ayat 1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia berbunyi:37

(1) Dalam rangka penyelenggaraan tugas sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk:

a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;

b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;

c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;

d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

37

(43)

33

g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

h. Mengadakan penghentian penyidikan;

i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;

j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dan keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; k. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik

pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan

l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

(44)

34

kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk bertindak atau melakukan sesuatu yang tidak tertulis di dalam hukum namun harus memperhatikan unsur bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dengan kata lain pasal ini memberikan wewenang kepada Kepolisian Republik Indonesia untuk melakukan tindakan lain yang dianggap perlu namun dapat dipertanggung jawabkan.

Akan tetapi, tindakan lain sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf l memiliki pengertian dan persyaratan yang harus dimiliki Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dalam pasal 16 ayat 2 yang berbunyi yakni: Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Tidak bertentangan dengan suatu hukum;

b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan ;

c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan e. Menghormati hak asasi manusia.

(45)

35

yang berbunyi: “Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara

Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat

bertindak menurut penilainnya sendiri.”

Dalam pasal ini dapat dibandingankan substansi pengaturan dalam pasal 16 ayat (1) huruf l dan pasal 18 ayat 1 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 dalam pasal 18 ayat 1 sangat jelas terlihat bahwa pasal ini memberikan kekuasaan atau wewenang yang lebih luas dibandingkan pasal 16 ayat (1) huruf l karena kepolisian dapat bertugas berdasarkan penilaiainnya sendiri. Akan tetapi, pelaksanaan ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 18 ayat 1 tersebut harus memperhatikan pasal 18 ayat 2 yang mana pelaksanaan tersebut dapat dilaksanakan dengan pengecualaian sebagaimana

dalam pasal 18 ayat 2 yang berbunyi: “pelaksanaan ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam ayat 1 hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undanngan, serta kode

etik profesi kepolisian Negara Republik Indonesia”.

(46)

36

2. Tugas dan Wewenang Densus 88 dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003

Kewenangan Densus 88 dalam penanggulangan tindak pidana terorisme di Indonesia diatur pula dalam Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam pasal 25, pasal 26, pasal 28, pasal 29, dan padal 31 yang berisikan tentang penyidikan sampai pada kewenangan melakukan penyadapan.

Dalam Undang-undang nomor 15 tahun 2003, densus 88 memiliki tugas dan wewenang seperti dalam pasal 28 yaitu dapat menangkap seseorang yang terduga kuat sebagai teroris berdasarkan hasil dari pembuktian awal yang dianggap cukup sebagaimana dalam pasal 26 ayat 2 Undang-undang nomor 15 tahun 2003. Densus 88 juga memiliki waktu selama 7 x 24 jam dalam melakukan penangkapan. Hal ini sesuai berdasarkan Undang-undang nomor 8 tahun 1981 KUHAP pasal 19 ayat 1 yang memberikan jangka waktu penangkapan 1 x 24 jam dan dapat diperpanjang 7 x 24 jam demi kepentingan penyelidikan dan penyidikan.

(47)

37

waktu selama 110, sebagaimana diatur dalam pasal 24 ayat 1 dan serta pasal 25 ayat 1 dan 2.

Dalam hal laporan intelejen yang diatur dalam pasal 26 ayat 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, Densus 88 mendapatkan wewenang khusus menggunakan setiap laporan intelejen untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, artinya Densus 88 dapat memiliki laporan yang berkaitan dengan keamanan nasional atau dapat membahayakan situasi negara, yang diperoleh dari Badan Intelejen Negara, maupun instansi-instasi pemerintah yang berkaitan dengan masalah keamanan negara yang dapat memberikan laporan cukup untuk bukti permulaan bagi densus 88 untuk menangkap seseorang terduga teroris.

C. Kasus Penanganan Teroris Oleh Densus 88

(48)

38

Pada bulan agustus 2009 Densus 88 berhasil menembak Ibrahim di Temanggung, Ibrahim diduga sebagai aktor terkait pengeboman di hotel, JW Marriott dan Ritz Carlton yang terjadi pada tanggal 17 Juli 2009. Semula polisi menduga yang terdapat di dalam rumah tersebut adalah Noordin M. Top namun, setelah polisi berhasil menyergap rumah tersebut dan membombardir hingga belasan jam serta menurunkan enam kompi prajurit, akhirnya polisi hanya menemukan satu orang terduga terkait bom JW Marriott dan Ritz Carlton di dalam rumah tersebut yang bernama Ibrahim. Densus 88 baru berhasil melumpuhkan Noordin M. Top pada bulan oktober 2009 di Solo.

(49)

39

dan menemukan lima orang yang tewas tertembak dalam penyergapannya Densus 88 menemukan 6 senjata api, 6 bom rakitan, uang sejumlah 200 juta, 6 kendaraan bermotor, dan sejumlah dokumen. Para terduga diduga kuat terlibat dalam penembakan anggota polisi di Pondok Aren, Tangerang Selatan dan pengeboman di Vihara Ekayana, Jakarta.38

Tidak hanya keberhasilan Densus 88 menembak mati seorang terduga teroris, beberapa kali pun Densus 88 pernah melakukan salah tangkap terhadap terduga teroris seperti yang pernah dialami Iwan, kejadian terjadi pada 1 Agustus 2013, bermula dari pencarian Densus 88 terhadap pelaku penembakan dua anggota polisi di Pondok Aren Tangsel. Densus 88 mencari pemilik motor dengan nomor polisi D 6632 WD yang katanya digunakan oleh penembak untuk melakukan aksinya kemudian, penulusuran polisi mengarah kepada anggota FPI DPC Kawalu Tasikmalaya Jabar bernama Iwan Priyadi yang selanjutnya, Iwan ditangkap. Padahal faktanya Iwan memiliki motor yang bernopol D 6630 WD dan sepeda motor itupun sudah dijual oleh Iwan kepada orang lain.39

Kesalahan Densus 88 dalam menangkap serta menggunakan kekerasan terhadap terduga teroris pun pernah dialami oleh Kadir warga Kampung Banyuharjo Kelurahan Gandekan Kecamatan Jebres Solo, ia mengaku ditangkap oleh tim Densus 88 yang kemudian disekap, pahanya dicubit pakai

38

http://nasional.kompas.com/read/2014/01/01/1445421/Ini.Kronologi.Penyergapan.Terd uga.Teroris.di.Ciputat di akses 2 Desember 2014

39

(50)

40

tang, dan dicambuk punggungnya hingga memar. Kejadian itu bermula ketika Kadir hendak melaksanakan shalat Jumat di Masjid At Taqwa tak jauh dari rumahnya. Namun sebelum sampai masjid, tepat di Gedung Pancasila Jalan RE Martadinata ia ditangkap secara paksa oleh dua orang yang menggunakan pakaian serba hitam layaknya Densus 88 dan dibawa ke dalam mobil serta wajahnya ditutup rapat. Dia dipaksa untuk mengaku terlibat dalam pengeboman di Poso. Namun, Kadir tetap tidak mengetahui hal tersebut. Setelah ditangkap dan di siksa dengan kondisi wajahnya ditutup dan Kadir tetap tidak mengakuinnya karena memang tidak tahu menahu, barulah Densus 88 melepasnya pada pukul 16:00 di Jalan Juanda.40

40

(51)

41

BAB IV

KEBIJAKAN PENANGANAN TERORISME OLEH DENSUS 88 DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF FIQH SIYASAH DAN HAM

A. Kebijakan Pemerintah dalam Pemberantasan Terorisme Di Indonesia

Kejahatan terorisme yang bersifat Internasional merupakan kejahatan yang terorganisir, sehingga pemerintah dan bangsa Indonesia wajib meningkatkan kewaspadaan, dan bekerja sama memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kejahatan terorisme merupakan ujian berat bagi masyarakat Indonesia. Jika Indonesia lulus menghadapi ujian maka kepercayaan masyarakat internasional akan pulih. Tetapi jika Indonesia masih

menjadi “rumah yang sakit” atau sarang bagi terjadinya kejahatan kekerasan

dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dengan kategori pemberatan, maka Indonesia yang akan rugi, misalnya gampang dilecehkan dan dikucilkan masyarakat Internasional.

(52)

42

Pemberantasan tindak pidana terorisme dengan ketiga tujuan tersebut menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang menjunjung tinggi peradaban umat manusia, cinta perdamaian dan mendambakan kesejahteraan serta memiliki komitmen yang kuat untuk tetap menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berdaulat ditengah-tengah gelombang pasang surut perdamaian dan keamanan dunia.41

Kebijakan nasional di Indonesia dalam penanggulangan terorisme saat ini dalam proses penyidikannya dimotori oleh aparat Densus 88 Anti Teror POLRI. Disebabkan detasemen khusus dan elit milik POLRI ini baik pembentukan begitu juga pengembangannya (Peralatan, pelatihan, doktrin dan finansial lainnya) hampir kesemuanya berasal dari AS dan Australia, maka tidaklah mengherankan jika sepak terjang Densus 88 ini di lapangan juga mengikuti kecenderungan sebagaimana kecenderungan pandangan AS dalam memberantas terorisme.42

Indonesia pasca peledakan Bom Bali I dan beberapa tempat lain di tanah air telah mengambil beberapa langkah, sebagai berikut:

1. Aksi teror bom Bali pada tanggal 12 Oktober 2002, mendorong pemerintahan Indonesia menyatakan perang melawan terorisme dan mengambil langkah-langkah pemberantasan serius dengan dikeluarkannya Perpu Nomor 1/2002, Perpu Nomor 2/2002 dan Inpres Nomor 4/2002

41

Abdul Wahid, dkk, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM, dan Hukum, (Bandung: Pt. Rafika Aditama, 2004), Hal. 14

42

(53)

43

2. Disusul dengan penetapan Surat Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Nomor Kep-26/Menkopolkam/11/2002 tentang Pembentukan Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme.

3. Perpu Nomor 1/2002 dan Perpu Nomor 2/2002 telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 15/2003 dan Undang-Undang Nomor 16/200343

4. Dibentuknya satuan tugas Bom Polri (Satgas Bom Polri) melalui surat keputusan Polri No: 2/X/2002 Tentang pembentukan Satuan Tugas Penanganan Kasus Bom Bali

5. Pembentukan Densus 88 melalui Surat Keputusan No. Pol: Kep/30/VI/2003 yang dibuat oleh Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia (Kapolri), saat itu dijabat oleh Da’i Bachtiar.

Densus 88 secara structural berada di bawah Badan Reserse Kriminal (Bareskrim). Tugas Densus 88 adalah membina dan menyelenggarakan fungsi penyelidikan dan penyidikan tindak pidana terorisme dalam rangka penegakan hukum.

Pemberantasan terorisme pun menjadi fokus dalam kerangka kerja Kabinet Indonesia Bersatu yang dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Penanggulangan terorisme dimasukkan dalam program kerja 100 hari Kabinet. Untuk melaksanakan program-program yang telah dicanangkan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) yang

43

(54)

44

pada waktu tu dijabat oleh Widodo A. S., dalam kerjanya Menko polhukam didukung oleh sejumlah departemen dan lembaga pemerintah non departemen. Departemen dan lembaga-lembaga tersebut antara lain, Departemen Dalam Negeri RI, Departemen Luar Negeri RI, Departemen Keuangan RI, Departemen Komunikasi dan Informasi RI, Departemen Perdagangan dan Perindustriaan RI, Badan Intelejen Negara, Polri, dan TNI.

Bahkan penanggulangan terorisme masuk dalm program 100 hari kabinet Indonesia Bersatu yang di motori oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, meliputi:

a. Peningkatan daya tangkal terhadap terorisme

Pengetatan izin kepemilikan senjata dianggap sebagai langkah pertama dalam peningkatan daya tangkal terhadap terorisme. Langkah ini diupayakan dengan npengetatan izin kepemilikan senjata, untuk itu dilaksanakan razia kepemilikan senjata api.pemerintah juga berkampe kepada masyarakat agar menyadari bahaya terorisme. Operasi tersebut dilaksanakan oleh sejumlah instansi pelaksanaan dikoordinasikan oleh Menko Polhukam.

b. Pemberantasan Terorisme

(55)

45

pelaksanaan operasi yustisi untuk meningkatkan pengawasan keimigrasian.

c. Penguatan Kelembagaan

Penguatan kelembagaan dilakukan dengan mengubah institusi Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme menjadi Badan Koordinasi Pemberantasan Terorisme. Kemudian, dilakukan pengukuhan terhadap struktur laboratorium forensic DNA lembaga Eijkman. Pengukuhan ini diharapkan dapat lebih memberi dukungan dalam upaya pemberantasan terorisme dengan cara mengidentifikasi jenazah melalui identifikasi DNA.44

Selanjutnya pemerintahan pun terus meningkatkan upaya pemberantasan terorisme di Indonesia dengan membuat berbagai macam kebijakan antara lain:

1) Mengutamakan isu terorisme dan meningkatkan kerjasama dengan Australia terkait kontra-terorisme untuk menjaga keamanan nasional Indonesia. Beberapa bentuk kerjasama Indonesia-Australia, diantaranya : a) Pembentukan rencana untuk membantu dalam mengembangkan badan

intelijen dan memberikan pengawasan dalam hal keamanan di wilayah pelabuhan Indonesia pada Februari 2005.

b) Mengadakan perjanjian mengenai Aviation Security Capacity Building Project guna mencegah dan mengantisipasi teroris yang masuk lewat

44

(56)

46

jalur laut atau jalur darat yang melewati perbatasan wilayah Indonesia pada bulan Maret 2005.

c) Mengadakan pertemuan bilateral antara Indonesia-Australia pada 3-6 April 2005, dimana didalam pertemuan tersebut juga terdapat 11 penandatanganan Joint Declaration of Comprehensive Partnership Between Indonesia and Australia tentang pembentukan struktur keamanan yang baru guna meningkatkan kerjasama keamanan dan memperkuat dukungan tentang kebijakan Indonesia di berbagai wilayah. Penandatangan kerjasama tersebut dikenal sebagai perjanjian Lombok yang dilakukan pada 13 November 2006.45

2) Melakukan kerja sama regional dengan ASEAN dalam memberantas terorisme dengan menandatangani ASEAN Convention on Counter Terrorism (Konvensi ASEAN mengenai Pemberantasan Terorisme) pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-12, di Cebu, Filipina tanggal 13 Januari 2007. Upaya ini dilakukan karena terorisme dianggap sebagai suatu ancaman bagi perdamaian dan keamanan internasional terutama di kawasan Asia Tenggara dan juga merupakan suatu rintangan atau hambatan terhadap upaya perdamaian, kemajuan, dan kesejahteraan ASEAN, serta perwujudan Visi ASEAN 2020.

3) Meningkatkan kerjasama internasional untuk mencegah dan memberantas terorisme, dengan cara multilateral atau melalui PBB, bilateral, regional, yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan, menegakkan hukum,

45

(57)

47

memperbaiki legislasi/kerangka hukum, bertukar informasi dan saling berbagi pengalaman, mengirimkan ahli dan memberikan saran ahli, dan kerjasama teknis lainnya. Selain itu, pemerintah juga mencegah dan

memberantas terorisme dengan cara “soft power” atau diplomasi, yang

didalamnya termasuk usaha-usaha untuk bekerjasama dalam memberantas underlying causes of terrorisme. Hal tersebut dibantu oleh Kementerian Luar Negeri dengan cara melakukan upaya-upaya guna meningkatkan dorongan terhadap interfaith dialogue untuk membangun rasa saling peduli dan percaya serta meningkatkan hubungan yang baik antar umat beragama dari Negara-negara di dunia.46

4) Melakukan kerjasama pemberantasan terorisme dengan Pakistan pada tahun 2010. Kerjasama antar kedua Negara ini berupa pertukaran data intelijen dengan maksud memberikan pengalaman dan pembelajaran bagi kedua Negara terkait persoalan terorisme dan keamanan Negara.47

5) Menetapkan UU No. 17 Tahun 2011 tentang intelijen Negara yang berperan melakukan upaya, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan untuk mendeteksi dini dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan terhadap setiap hakikat ancaman yang mungkin timbul yang mengancam kepentingan dan keamanan nasional. Dalam upaya pemberantasan terorisme maksud dari dibentuknya intelijen

46

http://www.kemlu.go.id/Pages/IIssueDisplay.aspx?IDP=25&l=id di akses 12 Januari 2015

47

(58)

48

Negara ialah untuk mencegah dan menanggulangi ancaman daripada terorisme itu sendiri yang dapat mengancam keamanan negara.48

6) Menyampaikan empat pemikiran untuk pemberantasan terorisme di PBB lewat Menteri Luar Negeri Marti Natalegawa pada September 2011, guna menata kembali citra Indonesia di mata dunia internasional. Adapun keempat pemikiran tersebut, diantaranya yaitu : 49

a) Pertama, meningkatkan dukungan di tingkat nasional dan regional terlebih dahulu guna menjalankan usaha-usaha di tingkat global. b) Kedua, mengatasi akar permasalahan munculnya terorisme dengan

cara mencegah faktor-faktor yang mendorong aksi terorisme serta saling bekerjasama satu sama lain guna memberantas terorisme. c) Ketiga, menggunakan soft power atau strategi diplomasi sebagai

suatu strategi jangka panjang untuk mengatasi terorisme. Adapun cara yang ditempuh yakni dengan membebaskan pikiran, pluralisme dan toleransi.

d) Keempat, menjunjung tinggi hukum dan HAM dan tetap dalam jalur demokrasi dalam meningkatkan upaya-upaya di tingkat global, regional dan nasional serta dengan tetap menjaga perdamaian, keadilan sosial dan kesejahteraan bersama.

7) Mengadakan kerjasama dengan pemerintah Jerman yang dilakukan oleh PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) lewat seminar internasional yang bertujuan untuk memberantas terorisme. Dalam seminar ini juga

48

Undang-undang No.17 Tahun 2011

49

(59)

49

diharapkan agar masukan yang ada terkait pemberantasan terorisme dapat diterapkan di Indonesia serta Jerman maupun di Negara-negara lainnya.50 8) Membentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) lewat

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 46 Tahun 2010 yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 16 Juli 2010. BNPT ialah suatu lembaga nonkementerian yang bertugas menyusun kebijakan atau program nasional, membantu mengkoordinasikan lembaga pemerintah dalam pelaksanaan, serta membentuk satuan tugas atau satgas terdiri dari unsur-unsur instansi pemerintah sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing terkait kebijakan di bidang terorisme. Posisi BNPT berada di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. BNPT dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) dalam menjalankan fungsi dan tugasnya.51

9) Menindak dengan tegas pemberantasan terorisme melalui pendekatan preventif atau pencegahan dengan cara deradikalisasi bersama-sama dengan masyarakat sebagai bagian dari upaya untuk menegakkan hukum.

50

h

Referensi

Dokumen terkait

At the same time, Bank Indonesia shared that it may maintain the benchmark rate at 7.5%, this would trigger more selling activity as market will start to

Proses Enkripsi Modifikasi Hill cipher menggunakan 2 kunci yaitu inisial awal Linear Feedback Shift Register dan matriks kunci yang invertible5. Untuk prosesnya ditunjukkan

Fenomena tersebut disertai dengan adanya beberapa peneliti terdahulu seperti Kartono yang telah melakukan studi mengenai tata arsitektur beberapa TITD yang dibangun

masyarakat Mandar di Kecamatan Sendana Kabupaten Majene ialah diantaranya: (1) penentuan calon dilihat dari akhlaknya yang baik (agama); (2) penjajakan dengan maksud

Course work includes basic apparel construction, pattern drafting, draping, textiles, historic and current fashion trends, hand and computer illustration, and

beberapa tipe dari threshold atau ambang yaitu absolute threshold atau ambang mutlak yaitu jumlah rangsang terkceil yang sudah mulai menimbulkan

Dari hasil penelitian, diketahui bahwa koefisien korelasi dinotasikan dengan (R) besarnya 0,529 yang artinya kekuatan hubungan yang positif antara variabel

Data primer berupa pendapat dari beberapa stakeholder tentang pelaksanaan studi lingkungan (AMDAL/UKLUPL) dan implementasi ISO 14001 pada industri kimia yang dicatat