Tahun 2009-2010)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
NURMILAH SARI Nim: 207044100474
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AKHWAL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
DISPENSASI NIKAH DI BAWAH UMUR
(Di Pengadilan Agama Tangerang Tahun 2009-2011)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (Ssy)
Oleh :
NURMILAH SARI Nim: 207044100474
Di bawah bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Nahrowi, SH., MH Dr. Moh. Ali Wafa, S.Ag., M.Ag NIP: 197302151999031002 NIP: 150 321 584
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AKHWAL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
Pengadilan Agama Tangerang Tahun 2009-2010) telah diujikan dalam Sidang
Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta Pada 20 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu
syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Peradilan
Agama.
Jakarta, 20 Juni 2011 Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. M. Amin Suma., SH., MA., MM NIP. 195505051982031012
Panitia Ujian Munaqasyah
1. Ketua : Prof. Dr. H. M. Amin Suma., SH., MA., MM NIP. 195505051982031012
2. Sekretaris : Mufidah, S.Hi
3. Pembimbing I : Nahrowi, SH.,MH NIP: 197302151999031002
4. Pembimbing II : Dr. Moh. Ali Wafa, S. Ag., M. Ag NIP: 150 321 584
5. Penguji I : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA NIP: 195003061976031001
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidfayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi dari Allah SWT dan sanksi yang berlaku di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 20 Juni 2011
i
ميحرلا نمرلا ها مسب
Alhamdulillah, segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
berkah dan inayah-Nya dalam memberikan kesehatan, kekuatan dan ketabahan
sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan merampungkan skripsi ini. Dengan
berbagai rasa yang menjadi satu lelah, kesal, sedih bahkan rasa sedikit putus asa yang
muncul dibeberapa waktu, namun semuanya berakhir dengan kelegaan dan keharuan
sehingga timbul semangat luar biasa. Tidak lupa salam serta shalawat dihaturkan atas
baginda besar Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga para sahabat dan para
umatnya yang senantiasa istiqomah dijalan-Nya.
Penulis menyadari bahwasanya manusia tidaklah mungkin hidup tanpa bantuan
orang lain dan tidaklah mungkin terwujud semua usaha tanpa bantuan orang lain.
Dengan ini penulis dalam rangka menyelesaikan tugas, dalam kerendahan hati ini,
penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM., sebagai Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif hidayatullah Jakarta.
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., sebagai Ketua Jurusan Peradilan Agama
ii
3. Dr. Ahmad Yani, M.Ag., sebagai Ketua Koordinator Teknis Program Non
Reguler dan Mufidah, S.Hi., sebagai Sekretaris Koordinator Teknis Program
Non Reguler.
4. Bapak Nahrowi, SH., MH. Sebagai Dosen Pembimbing I dan Dr. Moh. Ali
Wafa., S.Ag., M.ag. Sebagai Dosen Pembimbing II.
5. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. Sebagai Penguji I dan Dr. Jaenal Arifin,
MA. Sebagai Penguji II.
6. Pimpinan Perpustakaan beserta seluruh staff Fakultas Syariah dan Hukum,
yang selalu memberikan penulis fasilitas dalam keperluan perkuliahan.
7. Pimpinan Perpustakaan Utama beserta seluruh staff yang sudah membantu
memberikan penulis fasilitas dalam keperluan perkuliahan.
8. Drs. H. Ali Fikri, SH., MH, Sdra. Irfan Yunan, Sdr. M. Affan Gofar dan
seluruh Staff Pengadilan Agama Tangerang tempat penulis mengadakan
penelitian serta mendapatkan data dan informasi serta wawancara.
9. Yang tercinta dan terkasih untuk keluarga dan kedua orang tua khusunya
untuk Ibuku yang terhebat yang senantiasa selalu ada dalam memberikan doa
dan semangatnya, serta seluruh sahabat seperjuanganku yakni Peradilan
Agama angkatan 2007 khususnya sdri Marlianita, Syarifah Ummi Hanni, sdra
Deni. K, Deni. H, Arifin, Muhiddin, Charis, Hakim, Syarifudin, Royhan,
Indro, Bapak Tamim yang selalu ada waktunya bersama-sama menitih masa
iii
selalu memberikan bantuan berupa materil dan semangatnya sehingga saya
bisa sampai tingkat ini, dengan segala kerendahan hati saya ucapkan banyak
terimakasih.
11.Dan seluruh sahabatku yang tidak dapat aku sebutkan dan Semua Pihak yang
telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak
mungkin penulis sebutkan namanya satu persatu.
Akhirnya, kepada semua pihak yang telah membatu saya dalam penyelesaian
skripsi ini, saya menghanturkan terimakasih banyak atas bantuan semuanya baik
yang berupa doa maupun materill yang tidak dapat penulis balas dengan baik,
semoga Allah SWT yang akan membalas kebaikan kalian semuanya. Amin
Jakarta, 20 Juni 2011
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
BAB I: PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan Masalah ... 5
C. Perumusan Masalah ... 6
D. Tujuan Penelitian ... 6
E. Pemanfaatan Penelitian ... 7
F. Metode Penelitian ... 8
G. Review Penelitian ... 12
H. Sistematika Penulisan ... 15
BAB II: TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERNIKAHAN ... 17
A. Pengertian dan Dasar Hukum Pernikahan ... 17
B. Rukun dan Syarat Pernikahan ... 22
C. Tujuan dan Hikmah Pernikahan ... 28
D. Pencegahan atau Larangan Dalam Pernikahan ... 32
BAB III : DISPENSASI NIKAH DI BAWAH UMUR ... 36
A. Pengertian Dispensasi Nikah ... 36
v
BAB IV: PERTIMBANGAN HUKUM TENTANG PERMOHONAN
DISPENSASI NIKAH OLEH PENGADILAN AGAMA
TANGERANG ... 50
A. Prosedur Pengajuan Dispensasi Nikah ... 50
B. Wewenang Pengadilan Agama ... 52
C. Keterangan Pejabat Pengadilan Agama Tangerang Tentang Permohonan Dispensasi Nikah di Bawah Umur ... 63
D. Analisa Penulis ... 69
BAB V: PENUTUP ... 76
A. Kesimpulan ... 76
B. Saran- Saran ... 78
DAFTAR PUSTAKA ... 80
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama sempurna yang Allah SWT ciptakan untuk kita
manusia. Serta ayat-ayat Al-Qur’an yang Allah SWT turunkan kepada Rasul
melalui wahyu Allah SWT, sebagai pedoman dan petunjuk jalan manusia menuju
surganya Allah dan petunjuk untuk keselamatan umat manusia di dunia dan
akhirat.1
Islam sangat membuka jalan dan tidak menginginkan manusia
mempersulit diri karena sesungguhnya Allah SWT tidak suka dengan manusia
yang mempersulit diri, dan Allah SWT sangat memberikan kesempatan bagi
manusia yang ingin memperbaiki diri dengan niat tulus karena Allah taala.
Islam sangat bijaksana dan sempurna mengenai permasalahan hidup,
bahkan tidak ada satu aspekpun yang tidak dibicarakan oleh hukum Allah, yakni
mencakup semua aspek kehidupan yang mengatur hubungan dengan khaliknya
dan mengatur juga hubungan dengan sesamanya.
Dalam hal ini Islam banyak mengatur mengenai hal perkawinan yang
burtujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dunia maupun akhirat di
bawah cinta kasih dari ridho Allah SWT. Dan tujuan lain dari pernikahan ialah
1
ingin membentuk generasi yang bermanfaat untuk hari tua dengan mendidik dan
menjadikan keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Dan menjaga pandangan masyarakat, dan menghindari diri dari kerusakan seksual dan
perjinahan yang sangat besar, serta tujuan dari sebuah perkawinan yang sah baik
Agama dan Negara, yang sangat penting ialah memperjelas nasab si anak dan
hukum waris itu sendiri.
Dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan, serta kompilasi hukum islam (KHI) mempunyai tujuan yang sama
mengenai arti perkawinan itu sendiri yakni bahwa pernikahan mempunyai tujuan
yang mulia dalam melestarikan dan menjaga keseimbangan hidup dalam rumah
tangga yang baik, namun bukanlah suatu hal yang mudah untuk dijalankan,
karena akan banyak sekali permasalahan yang akan timbul dalam sebuah
pernikahan. Tetapi tidak ada satu permasalahanpun yang tidak bisa diselesaikan,
karena Allah SWT akan selalu memberi jalan kepada siapapun yang tidak
sombong terhadap kebesaran Allah dan keyakinan pada diri sendiri bahwa segala
sesuatu permasalahan akan selesai pada jalannya dan waktunya sendiri, karena
yang berkaitan dengan iman dan takwa kepada Allah SWT akan manis dan indah
jika dijalankan dengan kehidupan yang ikhlas dan selalu bersyukur kepada Allah
dengan penuh kesabaran.
Perkawinan suami isteri sering kali adanya permasalahan, maka dari itu
3
bersikap tenang dan sabar dalam berbagai hal, karena menerima kelebihan dan
kekurangan pasangan adalah hal yang paling baik untuk mengurangi konflik
dalam berumah tangga, karena sesungguhnya konflik dalam berumah tangga yang
sering muncul ketika ego tidak dapat dikendalikan, seringkali ego yang muncul
karena faktor usia, oleh sebab itu pernikahan cukup usia atau usia yang matang
akan lebih baik untuk menjalani sebuah pernikahan.
Dalam sebuah pernikahan batas usia sudah ada batas umurnya, baik diatur
dalam Undang-undang Pernikahan Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
maupun dalam kompilasi hukum islam (KHI), dan Pernikahan yang baik adalah
Pernikahan yang kedua pasangan dalam posisi umur yang cukup. Namun ketika
salah satu pasangan yang ingin menikah dalam posisi di bawah umur maka
langkah selanjutnya adalah mengajukan dispensasi nikah atau penetapan nikah,
agar bisa pernikahannya disahkan oleh kantor urusan agama (KUA), karena
apabila salah satu pasangan diketahui di bawah umur atau umurnya belum
diperbolehkan untuk menikah maka pihak kantor urusan agama (KUA) berhak
menolak pernikahan tersebut dan meminta kedua pasangan mengajukan
dispensasi nikah di Pengadilan Agama setempat.
Pentingnya penetapan dari Pengadilan Agama untuk menjalankan proses
hukum atau aturan hukum yang jelas karena demi masa depan bagi sepasang
calon yang ingin menikah, karena agar tidak terjerumus dalam pernikahan sirri
terjerumus dalam pergaulan bebas atau kebiasaan kehidupan orang-orang barat
yakni mengedepankan kebiasaan “Kumpul Kebo” atau kumpul sepasang lawan
jenis tanpa adanya ikatan sebuah pernikahan yang sah baik Agama maupun
Negara.
Maka dari itu wawasan atau ilmu pengetahuan yang luas harus
dikedepankan untuk pendidikan si anak, baik ilmu pengetahuan secara umum
maupun ilmu agama, karena apapun yang anak itu lakukan baik atau buruk adalah
tanggung jawab orang tua yang utama, kemudian guru atau pihak-pihak sekolah,
namun hal yang lebih banyak diserap adalah ilmu sosial atau hubungannya
dengan masyarakat, jika si anak tidak mempunyai kekebalan atau ilmu yang baik
dalam dirinya, maka akan gampang terjerumus dalam kehidupan negatif.
Dengan adanya penjelasan dan keterangan mengenai perkawinan di atas
serta permasalahannya, maka dengan adanya keterangan atau penjelasan lebih
lanjut diharapkan mampu memberikan seuatu jawaban dan penjelasan yang lebih
jelas dan akurat, sedangkan untuk mendapatkan kepastian dan kejelasan mengenai
permasalahan di atas maka diperlukan suatu penglihatan yang secara baik dan
bijaksana.
Dengan adanya tulisan ini, serta pemahaman dan terlibatnya langsung
penulis ke tempat lokasi penelitian, maka penulis dapat memberikan keterangan
yang lebih luas dan lebih lebih jelas agar dapat dibaca dan dipahami secara baik
5
penelitian yang baik untuk menambah pengetahuan bagi penulis secara khusus
dan pembaca secara umum, yakni judul yang dimaksud ialah : “DISPENSASI
NIKAH DI BAWAH UMUR (Studi kasus di Pengadilan Agama Tangerang
Tahun 2009-2010).
B. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dipaparkan oleh penulis
di atas, maka penelitian yang akan diteliti oleh penulis adalah mengetahui
bagaimana pengaplikasian pernikahan di bawah umur oleh Pengadilan Agama
Tangerang? Bagaimana proses jalannya dispensasi nikah di bawah umur oleh
pihak Pengadilan Agama Tangerang? Bagaimana pendapat atau pandangan para
hakim perihal putusan dispensasi nikah di bawah umur?
Untuk lebih fokus pada penelitian ini, maka penelitian ini dibatasi pada
para pihak saja yang mempunyai keterkaitan pada tulisan ini, baik para hakim
atau pihak dari Pengadilan Agama Tangerang lainnya, namun para pihak yang
melangsungkan pernikahan tidak dapat penulis wawancarai, dikarenakan info atau
data administrasi mengenai judul yang penulis ingin tulis, sudah diputuskan atau
sudah ada putusan atau penetapan dari pihak Pengadilan Agama, dan selama
penulis mencari data di Pengadilan, tidak ada satu kasus atau permohonan
dispensasi yang masih berjalan dimuka sidang, semua putusan yang penulis dapati
sudah berbentuk penetapan dari pihak Pengadilan Agama Tangerang. Sebagai
Pengadilan Agama Tangerang dan beberapa Pengadilan Agama lainnya sebagai
suatu perbandingan dan pertimbangan penulis yakni untuk melengkapi penulis
dalam mencari data serta mengobservasi data perihal sebuah kasus yang penulis
ingin tulis dan pertimbangan hukum dari beberapa hakim tentang putusan
dispensasi nikah di bawah umur oleh Pengadilan Agama Tangerang tahun
2009-2010.
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan masalah-masalah yang muncul terkait dengan pernikahan di
bawah umur yang diperbolehkan oleh pihak Pengadilan Agama Tangerang
dengan pernyataan dispensasi pernikahan di bawah umur, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini dapat diformulasikan sebagai berikut:
1. Bagaimana batasan usia minimal nikah menurut hukuk positif?
2. Apakah nikah di bawah umur bisa terjadi di luar Pengadilan Agama?
3. Bagaimana pertimbangan para ahli hukum di Pengadilan Agama Tangerang
tentang permohonan dispensasi nikah di bawah umur?
D. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang masalah dan rumusan yang telah disebutkan
di atas maka tujuan sebuah penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui batasan minimal usia nikah menurut hukum positif.
2. Untuk mengetahui fakta hukum tentang nikah di bawah umur yang terjadi di
7
3. Untuk mengetahui pertimbangan para ahli hukum di Pengadilan Agama
Tangerang tentang permohonan dispensasi nikah di bawah umur.
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi pemikiran bagi
masyarakat Islam dalam menyingkapi permasalahan hiduh bagi para keluarga di
dalam bermasyarakat. Dalam hal inipun pengakuan hukum atas peresmian
seseorang yang ingin melangsungkan sebuah pernikahan yang disahkan oleh
Agama serta Negara, menjadi acuan yang sangat penting karena untuk hal
kedepannya agar lebih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, ataupun
lingkungan di dalam masyarakat.
1. Untuk terciptanya sebuah pernikahan yang memang sudah semestinya ada
dengan proses yang cepat dan mudah, namun karena beda hal dengan
seseorang yang ingin menikah secara normal di kantor urusan agama (KUA),
karena tidak mempunyai banyak faktor yang menghalangi, dengan cepat dan
mudah seseorang untuk mengesahkan pernikahannya menurut Agama dan
Negara.
2. Untuk mengetahui proses mendapatkan sebuah penetapan hukum dari
Pengadilan Agama perihal sepasang calon mempelai yang ingin menikah
karena usia di bawah umur yang disebut dengan dispensasi, yang dalam
hukum positif batasan umur bagi para calon yang ingin menikah sudah sangat
nikah yang sudah ditetapkan, maka proses untuk menikah atau kawin harus
meminta penetapan nikah dari pihak Pengadilan Agama setempat bukan dari
kantor urusan agama (KUA). Dan prosedur atau proses di Pengadilan Agama
tidaklah lama sesuai dengan jalannya persidangan yang baik oleh para pihak
yang terkait. Namun jika proses persidangan mengalami hambatan atau
persidangan tidak berjalan lancar, maka persidangan bisa mengalami
hambatan dan akan berlangsung lama dengan proses yang begitu panjang.
3. Terakhir penelitian ini diharapkan dapat merumuskan cara yang tepat dalam
hal penerapan hukum yang memperbolehkan adanya dispensasi nikah di
bawah umur yang diperbolehkan oleh Pengadilan Agama Tangerang serta
pengakuan hukum yang sah baik Agama serta Negara.
F. Metode Penelitian
Metode Penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan,
mengembangkan dan menguji kebenaran atau menguji pengetahuan penulis
dalam melakukan pendalaman secara kritis dan bijaksana.
1. Obyek Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, penulis mengambil lokasi sesuai
dengan judul skripsi “Dispensasi Nikah Di Bawah Umur (Studi Kasus di
Pengadilan Agama Tangerang Tahun 2009-2010). Sehingga berdasarkan
9
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian adalah suatu tindakan untuk mencari jawaban secara
dinamis dengan tujuan yang terfokus untuk memecahkan masalah serta
mengikuti langkah-langkah yang logis, terorganisasi dan ketat untuk
mengindentifikasi masalah, mengumpulkan dan menganalisis data serta
menarik suatu kesimpulan yang lengkap dan akurat.
3. Metode Pendekatan
Metode ini dilakukan dan ditunjukan pada praktek pelaksanaan hukum
(law in action) terhadap peraturan perundang-undangan yang tertulis serta prateknya dan dokumen-dokumen hukum yang ada di Indonesia (law in books), maka metode pendekatannya bersifat Kualitatif Yuridis Normatif. 4. Jenis Data
Penelitian ini merupakan penelitian hukum bersifat kualitatif yuridis
normatif yang bersumber dari temuan fakta data dari lapangan, maka selain
melakukan metode wawancara (interview) dan metode penyelidikan (investigation), juga mencari temuan fakta data dari bahan hukum.
Data sekunder adalah jenis data yang dipakai dalam penulisan ini,
diantaranya dilengkapi dari bahan-bahan hukum primer seperti
Undang-undang Pernikahan Nomor 1 tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam (KHI),
Undang-Undang Peradilan Agama, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPer), Undang-Undang Tentang Hak-Hak Anak, serta aturan hukum
mengenai Kesehatan dan Hak-Hak Wanita dan Sebuah Putusan Penetapan
Bahan hukum sekunder yakni bersumber dari buku-buku perihal
penjelasan tentang pernikahan seperti hukum perkawinan di Indonesia
pengarang Wirjono Prodjodikoro dan buku perihal pernikahan lainnya.
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum untuk melengkapi bahan
hukum primer dan sekunder, adapaun beberapa wawancara dengan
orang-orang yang terkait seperti wawancara dengan beberapa pihak di Pengadilan
Agama diantaranya para hakim serta panitera yang terkait yakni hakim dan
panitera dari Pengadilan Agama Tangerang digunakan untuk mendukung
penelitian normatif yang didapat.
5. Sumber Data
Data adalah sumber penelitian yang dilakukan oleh seseorang yang
meneliti dan mencari informasi penelitiannya berdasarkan jenis data dan
sumber data yang didapatkan.
a. Metode kepustakaan, yaitu dengan cara mengumpulkan data-data dari
literatur buku atau teks-teks tulisan lainnya, serta membaca, memahami
dan menganalisa hal-hal yang berkaitan dengan masalah pernikahan,
khususnya dispensasi nikah di bawah umur.
b. Metode Lapangan, yaitu melakukan penelitian berupa wawancara
(informan), lansung dengan para pihak Pengadilan Agama Tangerang. 6. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
11
a. Wawancara (interview)
Wawancara dilakukan oleh penulis dengan mewawancari beberapa hakim,
panitera serta orang-orang yang terkait.
b. Studi Literatur (literatureReview)
Dengan ini penulis mencari data tentang proses dispensasi nikah di bawah
umur yang diperbolehkan oleh Pengadilan Agama Tangerang dengan
menggunakan metode literature atau kepustakaan, berupa buku-buku,
artikel, tabloid, dan sebagainya yang berkaitan dengan penelitian ini. Dari
hasil tersebut kemudian penulis mengklasifikasikan dan dianalisa secara
sistimatis sesuai dengan cara penulisan hasil skripsi.
7. Teknik Analisa Data
Dalam penelitian kualitatif yuridis normatif, analisa data yang
digunakan adalah secara induktif. Proses data dimulai dengan penyeleksian
data yang telah dikumpulkan, kemudian dikelasifikasikan menurut katagori
tertentu. Tahap selanjutnya, ialah meninjau aturan hukum positif perihal nikah
di bawah umur. Adapun langkah oprasionalnya adalah sebagai berikut:
a. Mendiskripsikan hasil-hasil penelitian dalam bentuk kronologis.
b. Dari data yang sudah tersusun, kemudian diklasifikasikan untuk dijadikan
dasar pijakan dalam menyelesaikan dan pemberi jawaban atas persoalan
yang diteliti, yakni sebab timbulnya adanya dispensasi pernikahan di
bawah umur yang diperbolehkan di Pengadilan Agama dari segi Agama,
c. Interpretasi data yaitu mengumpulkan seluruh data yang diperoleh baik
dari data primer, data sekunder maupun data tersier.
d. Menarik kesimpulan terhadap persoalan yang sedang penulis teliti.
Setelah semua data yang diperlukan terkumpul, maka selanjutnya
diadakan analisis secara kualitatif, yaitu bersumber dari data primer dan bahan hukum sekunder dan dilengkapi dengan wawancara atau data tersier.
G. Review Penelitian
Penelitian yang dikajikan pada alasan-alasan adanya atau
diperbolehkannya dispensasi nikah yang sudah dilakukan atau yang sudah terjadi
diantaranya:
No. Nama Judul Isi Tahun
1. Ayatullah Pemberian
Dispensasi Kawin
di Bawah Umur
oleh Pengadilan
Agama (Studi
Kasus PA Jakarta
Pusat)
Skripsi ini mengungkap
sebuah pertanyaan besar
dikalangan masyarakat
yang menyatakan kenapa
disebagian besar
Pengadilan Agama
membolehkan Pernikahan
di bawah umur.
2004/
PA
2. Ahmad Rifa’i Dispensasi Kawin
di Bawah Umur
Skripsi ini lebih
mengungkap atau
2006/
13 oleh Pengadilan Agama. (Studi Analisa Keputusan No. 07/Pdt.P/2002/
PA.cbn di PA
Cibinong).
menjelaskan mengenai
Analisis Keputusan No.
07/Pdt.P/2002/PA tentang
diperbolehkan pernikahan
di bawah umur.
3. Muhawwaroh Pernikahan di
Bawah Umur
Akibat Hamil di
Luar Nikah (Studi
Kasus di Desa
Pulo Timaha
Babelan Bekasi).
Skripsi ini menjelaskan
Perkawinan di Bawah
Umur yang dibolehkan
bersumber karena dasar
Psikologi anak yang ingin
menikah di bawah umur,
sehingga jika dibatasi atau
dicegah akan mengganggu
psikologi anak.
2006/
SJAS
4. Wahyudi. A Pandangan
Masyarakat
Terhadap
Perkawinan
Hamil di Luar
Skripsi ini lebih
Nikah (Studi pada
Masyarakat Desa
Curug Kec.
Gunungsindur
Kab. Bogor).
melangsungkan
pernikahan yang di bawah
umur.
5. Nurmilah Sari Dispensasi
Nikah Di Bawah
Umur (Studi
Kasus Di
Pengadilan
Agama
Tangerang tahun
2009-2011).
Isi dari skripsi saya ini,
berbeda dengan skripsi
yang terdahulu, isi dari
skripsi saya lebih luas
penjelasannya karena
mencakup beberapa
aspek aturan hukum, baik
hukum positif maupun
beberapa hukum lainnya
yang terkait. Dan
mencari sumber data dari
beberapa pengadilan
agama yang berbeda.
Serta menganalisa alasan
terbanyak dari beberapa
putusan atau penetapan
2011/
15
dari pengadilan agama
tangerang tentang
dispensasi nikah di
bawah umur.
H. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan yakni sebagai berikut :
Bab pertama berisi pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, pemanfaatan penelitian,
metode penelitian, review penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua menjelaskan mengenai tinjauan teoritis tentang pernikahan
yang isinya meliputi, pengertian dan dasar hukum pernikahan, syarat dan rukun
pernikahan, serta tujuan dan hikmah pernikahan, dan pencegahan atau larangan
dalam pernikahan.
Bab ketiga merupakan pembahasan perihal dispensasi nikah di bawah
umur, yang isinya ialah pengertian dispensasi nikah di bawah umur, batas usia
nikah menurut hukum positif, serta faktor penyebab terjadinya pernikahan di
bawah umur, dan dampak akibat nikah di bawah umur.
Bab keempat merupakan hasil dari penelitian yang penulis laporkan dalam
skripsi ini, yang didalamnya dijelaskan mengenai pertimbangan hukum tentang
mengenai prosedur pengajuan dispensasi nikah, wewenang Pengadilan Agama,
dan keterangan Pejabat Penggadilan Agama tentang permohonan dispensasi nikah
di bawah umur serta analisa penulis.
Bab kelima berisi penutup yang meliputi kesimpulan yang dapat penulis
ambil dari keseluruhan skripsi ini, dan diakhiri dengan saran dan rekomendasi
17
BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERNIKAHAN
A. Pengertian dan Dasar Hukum Pernikahan
1. Pengertian Pernikahan
Kata “Pernikahan” berasal dari kata “Nikah” atau “Zawaj” yang dari
bahasa Arab dilihat secara bahasa berarti berkumpul dan mendidih atau
dengan ungkapan lain bermakna “Akad dan Bersetubuh” yang secara syara
berarti akad Pernikahan. Secara terminologi (istilah) “Nikah” atau “Zawaj”,
yakni: “Akad yang mengadung kebolehan memperoleh kenikmatan biologis
dari seorang wanita dengan jalan ciuman, pelukan, dan bersetubuh atau
sebagai akad yang ditetapkan Allah SWT bagi seorang laki-laki atas diri
seorang perempuan atau sebaliknya untuk dapat menikmati secara biologis
antara keduanya.
Akad nikah yang telah dilakukan akan memberikan status kepemilikan
bagi kedua belah pihak (suami-isteri), dimana status kepemilikan akibat akad
tersebut bagi si lelaki (suami) berhak memperoleh kenikmatan biologis dan
segala yang terkait itu secara sendirian tanpa dicampuri atau diikuti oleh
lainnya yang dalam ilmu fiqh disebut “milku al-intifa” yakni hak memiliki
penggunaan atau pemakaian terhadap suatu benda (isteri), yang digunakan
untuk dirinya sendiri.2
2
Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan: Analisis Perbandingan antar Mazhab
Dalam bahasa Indonesia kata perkawinan bersal dari kata “kawin”
yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis,
melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.3 Dalam Al-Qur’an dan Hadist
Rasulullah SAW, pernikahan disebut dengan An-Nikah dan Az-Ziwaj az-Zawaj, yang artinya berkumpul atau menindas dan saling memasukan. Kata Nikah yang terdapat dalam Surat Al-Baqarah (2) ayat : 230, yang berbunyi:
Artinya: Maka Jika Suami menolaknya (sesudah talak dua kali), maka perempuan tidak boleh dinikahinya hingga perempuan itu kawin dengan laki-laki lain. (QS. al-Baqârah [2] ayat : 230).Pendapat Ahli Ushul, mengartikan arti nikah, sebagai berikut: a. Ulama Syafi’iyah, berpendapat :
Kata nikah, menurut arti sebenarnya (hakiki) berarti “akad”, dan dalam arti
tidak sebenarnya (majazi) arti nikah berarti “bersetubuh” dengan lawan
jenis.
b. Ulama Hanafiyah, berpendapat :
Kata nikah, menurut arti sebenarnya (hakiki) berarti “bersetubuh”, dan
dalam arti tidak sebenarnya (majazi) arti nikah berarti “akad” yang
19
menghalalkan hubungan kelamin antara pria dan wanita. pendapat ini
sebaliknya dari pendapat ulama syafi’iyah.
c. Ulama Hanabilah, Abu Qasim al-Zajjad, Imam Yahya, Ibnu Hazm,
berpendapat : Bahwa kata nikah untuk dua kemungkinan tersebut yang
disebutkan dalam arti sebenarnya sebagaimana terdapat dalam kedua
pendapat di atas yang disebutkan sebelumnya,4 mengandung dua unsur
sekaligus, yaitu kata nikah sebagai “Akad” dan “Bersetubuh”.5
Adapun menurut Ahli Fiqh, nikah pada hakikatnya adalah akad yang diatur oleh agama untuk memberikan kepada pria hak memiliki dan
menikmati faraj dan atau seluruh tubuh wanita itu dan membentuk rumah tangga.6
Menurut para sarjana hukum ada beberapa pengertian perkawinan, sebagai berikut, yakni :
a. Scholten yang dikutip oleh R. Soetojo Prawiro Hamidjojo mengemukakan
: Arti Perkawinan adalah hubungan suatu hukum antara seorang pria dan
seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui oleh
Negara.
4 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Di Indonesia, cet.II, ( Jakarta: Prenada Mulia, 2007), h. 36-37.
5
Chuzaimah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer Buku Pertama (Jakarta: LSIK, 1994), h.53.
6
b. Subekti, mengemukakan : Arti Perkawinan adalah pertalian yang sah
antara seorang laki- laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang
lama.
c. Wirjono Prodjodikoro, mengemukakan: Arti Perkawinan adalah suatu
hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang
memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan tersebut baik
Agama maupun aturan hukum Negara.7
Dari pengertian perkawinan di atas, dapat disimpulkan beberapa
unsur-unsur dari suatu Perkawinan, yaitu:
a. Adanya suatu hubungan hukum;
b. Adanya seorang pria dan wanita;
c. Untuk membentuk keluarga (rumah tangga);
d. Untuk waktu yang lama;
e. Dilakukan menurut Undang-undang dan aturan hukum yang berlaku.
Abu Yahya Zakariya Al- Anshary,8 memberikan arti “Nikah” menurut
istilah Syara ialah aqad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan
hubungan seksual dengan lafadz nikah atau dengan kata-kata yang semakna
dengannya.
7
Eoh, O.S., Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, cet.II, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h.27-28.
8
Abu Yahya Zakariya Al-Anshary, Fath al-Wahhab (Singapura: Su laiman Mar’iy, t.t),
21
2. Dasar Hukum Pernikahan
Pada dasarnya arti “Nikah’ adalah Akad yang menghalalkan pergaulan
dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara seorang
laki-laki dengan seorang perempuan dalam pertalian suami-isteri.9
Islam menganjurkan dengan beberapa cara, dimana salah satunya
adalah mengikuti sunah Rasulullah SAW, dan firman Allah SWT Surat
Ar-Ra’ad (13) ayat : 38, yang berbunyi:
Artinya: “Dan sesungguhnya kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunannya.
Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul ayat (mu’jizat) melainkan dengan izin
Allah SWT. Bagi tiap-tiap masa ada kitab (yang tertentu)”. (QS. Ar- Râd [13] ayat : 38).
Dan salah satu tanda kekuasaan Allah SWT terhadap orang yang ragu
untuk melakukan akad atau “Nikah”, maka Allah SWT menjanjikan suatu hal
untuk memberikan kepadanya penghidupan yang berkecukupan, dan
menghilangkan kesulitan-kesulitan dan memberikan kekuatan yang mampu
mengatasi kemiskinan, dan apabila keraguan menghilang dan timbul sifat
positif dan keberanian, maka Allah SWT akan kabulkan yang mempunyai
nilai yang baik dan pantas menurut Allah SWT.
9
Seperti dalam firman Allah SWT Surat An-Nissa (4) ayat : 3, yang berbunyi:
. Artinya: “Dan jika kamu takut akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua. tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah yang lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya”. (QS. Ar- Râd [13] ayat : 38).
Sehingga dasar hukum perkawinan yakni mengacu kepada Firman
Allah SWT yakni Al-Quran nur karim dan Sunnah Rasulullah SAW. Karena
inilah dasar hukum yang utama, sehingga hukum-hukum yang ada sekarang
mengacu kepada sumber utama yang di atas.
B. Rukun Dan Syarat Pernikahan
Rukun dan Syarat pernikahan dalam Islam merupakan dua hal yang tidak
dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lain. Karena kebanyakan aktifitas
ibadah yang ada dalam Agama Islam senantiasa ada yang namanya rukun dan
syarat, sehingga sedikit bisa dibedakan dari pengertian keduanya yakni syarat
merupakan suatu hal yang harus atau dipenuhi sebelum perbuatan dilaksanakan.
Sedangkan rukun adalah hal yang harus ada dalam suatu akad atau perbuatan.
23
1. Rukun Pernikahan
Dalam Islam pernikahan tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau
kontrak keperdataan biasa, akan tetapi mempunyai nilai ibadah dan dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 2 ditegaskan bahwa pernikahan
merupakan akad yang sangat kuat, hal tersebut dilakukan untuk mentaati
perintah Allah SWT, dan dengan melaksanakannya merupakan suatu nilai
ibadah kepada Allah SWT.10
Karena perkawinan yang syara akan ibadah dan tujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan
warahmah, perlu diatur dengan syarat dan rukun tertentu agar tujuan disyaratkannya perkawinan tercapai. Dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam
untuk melaksanakan perkawinan dalam rukun nikah harus ada :
a. Calon Suami;
b. Calon Isteri;
c. Wali Nikah;
d. Dua Orang Saksi dan;
e. Ijab dan Kabul.11
Kaitannya pada bidang perkawinan adalah bahwa rukun perkawinan
merupakan sebagian dari hakikat perkawinan, seperti keharusan atau
10
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, cet.IV, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h.69.
11
kewajiban ada kedua calon memepelai baik laki-laki dan perempuan, wali,
ijab-qabul serta dua orang saksi.12
2. Syarat Pernikahan
Sedangkan dalam memenuhi persyaratan perkawinan, karena banyak
info yang dapat mempermudah masyarakat melangsungkan pernikahan dan
mengurus prosedur perkawinan berdasarkan hukum Islam dan aturan-aturan
hukum di Indonesaia.
Dalam melangsungkan dan mengurus administrasi Pernikahan di
kantor urusan agama (KUA) mengacu kepada aturan hukum yakni
berdasarkan Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang pelaksanaan
Peradilan Agama ayat (4), dan hal-hal yang berkenaan dengan perkawinan
dapat diatur di Pengadilan Agama sebagaimana Undang-undang Nomor 7
tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada pasal 1 ayat (1) yang menegaskan
bahwa Peradilan Agama adalah Peradilan bagi orang-orang yang beragama
Islam.13
Sedangkan dalam prosedurnya Pernikahan bagi Warga Negara
Indonesai yang beragama Non Muslim, maka perkaranya akan dilangsungkan
di Kantor Catatan Sipil.
12
Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), h. 24.
13
25
Di masyarakat masih banyak permasalahan yang ada timbul karena
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan persyaratan perkawinan atau
hal-hal yang berkaitan dengan administrasinya.
Adapun syarat merupakan suatu hal yang mesti dijalani dalam
perkawinan. Apabila syarat tidak dipenuhi maka bisa menimbulkan
pencegahan terhadap perkawinan, yakni keterangan terdapat dalam Kompilasi
Hukum Islam Pasal 60 ayat (1) yaitu: Pencegahan perkawinan bertujuan untuk
menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan Peraturan
Perundang-undangan. Dan pada ayat (2) yaitu: Pencegahan perkawinan dapat
dilakukan bila calon suami atau isteri yang akan melangsungkan perkawinan
tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut
hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan.14
Dan ada beberapa pendapat diantara para mazhab fiqh mengenai syarat
sah suatu perkawinan. Pada garis besarnya pendapat tentang syarat-syarat
sahnya perkawinan ada dua:
a. Calon mempelai perempuannya halal dikawini oleh laki-laki yang ingin
menjadikan isterinya;
b. Aqad harus disaksikan oleh saksi.15
Sedangkan menurut Ulama Hanafiyah, mengatakan bahwa sebagian
syarat-syarat pernikahan yakni berkaitan atau berhubungan dengan:
14
Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, cet. II, (Bandung: Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2008), h. 19
15
a. Aqad, serta sebagian lainnya berkaitan dengan saksi.16
1) Shigot, yaitu ibarat ijab qabul, dengan syarat sebagai berikut:
a) Menggunakan lafaz tertentu, baik dalam Lafaz “Sarih”. Misalnya: Tazwij atau Nikah.
Maupun Lafaz “Kinayah”, seperti: “Saya sedekahkan anak saya
kepada kamu” dan sebagainya;
b) Ijab-qabul dilakukan di dalam satu majelis;
c) Sighat didengar oleh orang-orang yang menyaksikan;
d) Ijab-qabul tidak berbeda maksud dan tujuan;
e) Lafaz sighat tidak disebutkan untuk waktu tertentu.
2) Akad, dapat dilaksanakan dengan syarat apabila kedua calon pengantin
berakal, baligh, dan merdeka.
3) Saksi, harus terdiri atas dua orang. Maka tidak sah apabila akad nikah
hanya disaksikan oleh satu orang saksi. Dan syarat-syaratnya adalah :
a) Berakal;
b) Baliqh;
c) Merdeka;
d) Islam;
e) Kedua orang saksi mendengar.17
16
Ahmad Rofiq, Op, Cit, h. 69.
17
27
b. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Syarat-syarat
perkawinan disebutkan dalam pasal 6:
1) Perkawinan harus didasarkan pada persetujuan kedua calon mempelai;
2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai
umur 21 tahun harus mendapat ijin orang tua;
3) Dalam hal orang tua yang telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka ijin yang
dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih
hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya;
4) Dalam hal orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka ijin diperoleh dari wali,
orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan
darah dalam garis keturunan ke atas selama mereka masih hidup dan
dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya;
5) Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang disebut dalam ayat
(2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau diantara mereka tidak
menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum
tempat tinggal orang yang melangsungkan perkawinan atas permintaan
orang tersebut dalam memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar
6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang
hukum masing-maing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain.18
C. Tujuan Dan Hikmah Pernikahan
Setiap manusia dalam melakukan sesuatu hal perbuatan hukum tentunya
memiliki tujuan, dan setiap perbuatan hukum memiliki hikmah tersendiri yang
berkenaan dengan hidup baik dalam hal pernikahan maupun perihal lainnya.
1. Tujuan pernikahan;
Tujuan makhluk allah yakni secara khusus adalah manusia, tujuan
pernikahan sangat beragam, sesuai dengan pola fikir masing-masing individu
di masyarakat yang sangat beragam. Ada yang bertujuan hanya sekedar
meningkatkan karir, untuk meraih jabatan tertentu ataupun hanya sekedar
status semata di masyarakat, dan sebagainya. Tetapi dalam Islam tidaklah
seperti itu. Islam memberikan akal pikiran yang sehat lagi dewasa sehingga
mampu melihat dan memilih suatu hal, dengan niat ataupun tujuan yang
sangat logis dan manusiawi. Islam memberikan rumusan mengenai tujuan
pernikahan yang sedikitnya ada tiga tujuan pernikahan sebagai berikut:
a. Menentramkan Jiwa;
b. Perkawinan dapat membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan penuh
rasa kasih dan sayang, sehingga merasa damai, tenang, dan tentram;
18
29
c. Mewujudkan (melestarikan) keturunan;
d. Insting untuk mendapatkan keturunan juga dimiliki oleh pria maupun
wanita. Akan tetapi perlu diketahui juga bahwa mempunyai anak bukanlah
suatu kewajiban saja namun amanat dari Allah SWT yang diharap lahir
dengan membawa ketaatan kepada Allah SWT;
e. Menyelamatkan masyarakat dari kerusakan akhlak.
Manusia memiliki berbagai macam rasa, niat, perilaku dan sifat yang
sering kali berbeda-beda dan berubah-ubah. Baik dalam hal kebaikan maupun
dalam hal keburukan atau hal-hal yang condong ke perilaku yang negatif.
Maka dalam hal tujuan perkawinan Islam sangat tegas menyatakan bahwa
dalam menikah atau seorang yang ingin menikah, atau memiliki tujuan yakni
dapat menyelamatkan akhlak manusia dari kerusakan dan perjinahan, baik
dikalangan remaja maupun dewasa.
Menurut Imam Al- Ghajali dalam kitab Ihya Ulumuddin tentang faedah melangsungkan perkawinan. Tujuan perkawinan dapat dikembangkan
menjadi lima, yaitu:
a. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan;
b. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan
menumpahkan kasih sayang;
c. Memenuhi panggilan agama. Memelihara diri dari kejahatan dan
d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak,
serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta
kekayaan yang halal;
e. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram
atas penuh cinta dan kasih yang halal.
Sedangkan menurut Asaf A. A. Fyzee, tujuan nikah dapat dilihat dari
tiga Aspek, yaitu:
a. Aspek Agama (Ibadah);
1) Memperoleh keturunan.
2) Perkawinan merupakan salah satu sunnah Nabi Muhammad SAW.
3) Perkawinan mendatangkan Rejeki dan menghilangkan
kesulitan-kesulitan.
b. Aspek Sosial (Masyarakat);
1) Memberikan perlindungan kepada kaum wanita yang secara umum
dinilai fisiknya yang lemah karena setelah pernikahan si isteri akan
mendapat perlindungan dari suaminya, baik masalah nafkah atau
gangguan orang lain serta mendapat pengakuan yang sah dan baik dari
masyarakat.
31
c. Aspek Hukum (Negara).
Perkawinan sebagai akad, yaitu perikatan dan perjanjian luhur
antara suami dan istri untuk membentuk rumah tangga yang bahagia.
Dengan akad yang sah dimata Agama dan Negara, maka akan
menimbulkan hak dan kewajiban suami istri serta perlindungan dan
pengakuan hukum baik Agama maupun Negara.19
2. Hikmah Perkawinan
Allah SWT, telah menjadikan makhluk-Nya berpasang- pasangan.
Dengan kata lain, ketika manusia dijadikan makhluk Allah SWT yang paling
sempurna, dan kesempurnaannya dapat dilihat dari kehidupan manusia yang
saling berpasang- pasangan dari lawan jenis kamu.
Perkawinan dalam Islam menurut Abdurrahman Wahid bukan sekedar
akad nikah, melainkan memiliki dimensi lain yang tidak boleh hilang yaitu
cinta dan kasih sayang (mawaddah dan warrahmah), dengan menjadikan ikatan yang kokoh. Rahman disini bukan berarti kesejahteraan saja, melainkan
pengikat dengan dimensi fisik termasuk biologis seperti reproduksi.20 Menurut
beberapa para pakar hukum, perkawinan adalah suatu ikatan atau perjanjian
lahir batin antara kedua pasangan hingga penjaminan suatu hal ataupun
perbuatan yang bisa menjadikan perbuatan hukum. Antara lain hikmah yang
19
Chuzaimah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshary A.Z, Loc. Cit., h. 57-63.
20
dapat dilihat dalam perkawinan itu ialah menghalangi umat dari hal-hal atau
perbuatan yang tidak diizinkan syara dan menjaga kehormatan diri dari
kerusakan seksual.21
Dari hikmah- hikmah perkawinan yang disebutkan di atas, dapatlah
penulis ambil untuk ilmu secara pribadi dan pada saatnya semua manusia juga
dapat merasakan dan menjadikan hikmah ini sebagai motivasai untuk
kedepannya dan menjadikan kita selalu manusia yang selalu bersyukur kepada
Allah SWT.
D. Pencegahan atau Larangan dalam Pernikahan
Larangan perkawinan dalam aturan perdata di Indonesia di atur dalam
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Pasal 13 yang
berbunyi: “Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi
syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.22 Tidak memenuhi persyaratan
seperti yang dimaksudkan dalam ayat di atas mengacu kepada dua hal, yakni:
Pertama; Persyaratan Administrasi, dan Kedua; Persyaratan Materil. Persyaratan Administrasi berhubungan dengan Administrasi Perkawinan. Adapun Syarat
Materil menyangkut hal-hal yang mendasar seperti larangan perkawinan.
Misalnya, Perkawinan yang dapat dicegah apabila salah seorang atau kedua
mempelai masih terikat perkawinan dengan orang lain, pecegahan ini tidak
21
Amir Syarifuddin, Garis- Garis Besar Fiqih (Jakarta : Prenada Media, 2003), h.81.
22
33
berlaku terhadap seorang suami yang telah mendapat izin dispensasi poligami
oleh Pengadilan Agama.
Larangan Kawin BAB VI Pasal 39 dalam Kompilasi Hukum Islam,
Larangan melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita
disebabkan, sebagai berikuti:23
1. Karena pertalian nasab :
a. Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau
keturunannya;
b. Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu;
c. Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.
2. Karena pertalian kerabat semenda :
a. Dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya;
b. Dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya;
c. Dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas istrinya, kecuali
putusnya hubungan perkawinan bekas isterinya itu qobla Dukhul;
d. Dengan seorang wanita bekas isteri kerturunannya.
3. Karena Pertalian Sesusuan;
a. Dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis
lurus ke atas;
b. Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis
lurus ke bawah;
23
c. Dengan saudara wanita sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah;
d. Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;
e. Dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.
Adapun mekanisme yang ditempuh dari pihak-pihak yang akan
melakukan pencegahan adalah dengan cara mengajukan pencegahan perkawinan
ke Pengadilan Agama dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan
dan diberitahukan kepada pegawai pencatat nikah atau KUA (kantor urusan
agama).
Dan pasal 14 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan,
yang berbunyi:24
1. Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis lurus ke
atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, dari salah seorang calon mempelai dan
pihak-pihak yang berkepentingan.
2. Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini juga berhak mencegah
berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang calon mempelai berada di
bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut mengakibatkan
kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang masing-masing
mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti dalam ayat (1) Pasal 1.
Pasal 15 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,
menyatakan : “Barangsiapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah
24
35
satu dari kedua belah pihak dan atas dasar adanya perkawinan, dapat mencegah
perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan
pasal 4 Undang-undang ini”.25
Pasal 16 Undang- undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,
mempunyai kewenangan untuk melakukan pencegahan perkawinan. Dan pada
ayat (1), yakni Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya
perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi. Dan pada ayat (2),
yakni Mengenai pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal
ini diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
Dan Dipertegas dengan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974
Pasal 20, yaitu: “Pegawai pencatatan perkawinan tidak diperbolehkan
melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui
adanya pelanggaran dalam dalam pasal 7 ayat (1), pasal 8, pasal 9, pasal 10 dan
pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.26
25
Aulia Nuansa, Kompilasi Hukum Islam: Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Perwakafan, cet. II, (Bandung: Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2008), h. 84- 85.
36
BAB III
DISPENSASI NIKAH DI BAWAH UMUR
A. Pengertian Dispensasi Nikah Di Bawah Umur
Pernikahan di bawah umur atau Dispensasi Nikah ialah pernikahan yang
terajdi pada pasangan atau salah satu calon yang ingin menikah pada usia di
bawah standar batas usia nikah yang sudah ditetapkan oleh aturan hukum
perkawinan.
Perkawinan di bawah umur tidak dapat diizinkan kecuali pernikahan
tersebut meminta izin nikah atau dispensasi nikah oleh pihak Pengadilan Agama
untuk bisa disahkan pernikahannya di Kantor Urusan Agama (KUA), dan
sebelum mengajukan permohonan izin menikah di Pengadilan Agama terlebih
dahulu kedua calon pasangan yang ingin menikah harus mendapat izin dari kedua
orang tua.
Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pada
Bab II pasal 7 disebutkan bahwasannya perkawinan hanya diizinkan jika pihak
pria sudah mencapai umur sekurang-kurangnya 19 tahun, dan pihak wanita sudah
mencapai umur sekurang-kurangnya 16 tahun. Dalam batas usia pernikahan
menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) sama dengan Undang-undang Nomor 1
tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 15
ayat 2 menegaskan bahwa untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum
37
dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) Undang-undang Perkawinan Nomor 1
tahun 1974.
Keterangan di atas, memberikan petunjuk bahwa pasal di atas menjelaskan
arti dispensasi atau batasan umur dapat dilihat dari:
1. Bahwa umur 19 tahun bagi usia pria adalah batas usia pada masa SLTA,
sedangkan untuk wanita usia 16 tahun adalah batas usia pada masa SLTP, dari
masa di atas adalah masa dimana kedua pasangan masih sangat muda. Oleh
sebab itu peran orang tua sangat penting disini dalam membimbing, menolong
dan memberi arahan untuk masa depan bagi si anak.
2. Izin orang tua sangat diperlukan. Tanpa izin orang tua, perkawinan tidak dapat
dilaksanakan, khusus bagi calon wanita wali orang tua harus ada sebagai
syarat yang sudah ditentukan oleh aturan hukum perihal syarat pernikahan.
Dalam penjelasan umum Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan dijelaskan sebagai berikut: Prinsip Undang-undang ini
bahwa calon (suami isteri) itu harus siap jiwa raganya untuk dapat
melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara
baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.
Dari sisi lain, perkawinan juga mempunyai hubungan dengan masalah
kependudukan. Terbukti bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita
dengan batas umur seseorang yang menikah pada usia yang lebih matang atau
usia yang lebih tinggi.27
Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam tidak ada aturan hukum yang menjelaskan batasan
minimal usia bagi para pelaku nikah di bawah umur, sehingga dalam hal ini
Hakim mempunyai Ijtihad atau pertimbangan hukum sendiri untuk bisa
memutuskan perkara permohonan nikah di bawah umur, dan hakim mempunyai
wewenang penuh untuk mengabulkan sebuah permohonan baik mengabulkan
maupun menolak sebuah permohonan penetapan nikah di bawah umur tersebut.28
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam hal ini
menyimpulkan pendapat bahwa hal ini menjadi suatu kelemahan terhadap
Undang-undang Perkawinan itu sendiri. Dan ditafsirkan bahwa pemberian
dispensasi nikah di bawah umur, untuk putusan sepenuhnya diserahkan kepada
pejabat yang berwenang yaitu hakim dalam Peradilan Agama setempat.29
Walaupun tidak ada batas usia nikah bagi calon suami, sama hal terhadap
batas usia bagi calon isteri juga tidak ada ketentuannya. Namun ada sumber
hukum yang diambil dari Aisyah r.a, yang artinya sebagai berikut yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, yakni : “Dari Aisyah r.a
27
K. Wancik Saleh, Hukum Perkawinan Di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1976 ), h.30.
28
Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan (Jakarta: Kencana, 2007), h.136.
29
39
sesungguhnya Nabi SAW telah menikah dengannya pada saat ia berumur enam
tahun dan ia diserahkan kepada Nabi SAW pada usia sembilan tahun”.30
Hadist di atas hanyalah bersifat khabariyah (kabar) saja tentang perkawinan Nabi Muhammad SAW, namun di dalamnya tidak dijumpai khitab
(pernyataan), baik berupa pernyataan yang mesti diikuti ataupun pernyataan untuk
ditinggalkan.
Karena itu pernyataan usia yang ada dalam hadist di atas tidak dapat
disimpulkan sebagai pernyataan batas usia terendah kebolehan melangsungkan
pernikahan bagi kaum wanita.
Menurut Abdul Rahim Umran, batasan usia nikah dapat dilihat dalam
beberapa arti sebagai berikut:31
1. Biologis, secara biologis hubungan kelamin dengan isteri yang terlalu muda
(yang belum dewasa secara fisik) dapat mengakibatkan penderitaan bagi isteri
dalam hubungan biologis. Lebih-lebih ketika hamil dan melahirkan.
2. Sosio-Kultural, secara sosio-kultural pasangan suami isteri harus mampu
memenuhi tuntutan sosial, yakni mengurus rumah tangga dan mengurus
anak-anak.
3. Demografis (kependudukan), secara demografis perkawinan di bawah umur
merupakan salah satu faktor timbulnya pertumbuhan penduduk yang lebih
tinggi.
30
Imam Abi Muslim al- Hijaj, Shahih Muslim (Beirut: Darul Fikr, 1992), h.650.
31
Menurut para Ulama, dalam Islam menentukan batasan usia nikah bisa
dikembalikan kepada tiga landasan, yaitu:
1. Usia kawin yang dihubungkan dengan usia dewasa (baligh);
2. Usia kawin yang didasarkan kepada keumuman arti ayat Al-Qur’an yang
menyebutkan batas kemampuan untuk menikah.
3. Hadist yang menjelaskan tentang usia Aisyah waktu nikah dengan Rasulullah
SAW.
Sedangkan para Ulama Ushul Fiqh menyatakan bahwa yang menjadi
ukuran dalam menentukan seseorang telah memiliki kecakapan bertindak hukum
setelah Aqil Balig (mukallaf) dan cerdas, sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat An-Nissa (4) ayat : 6, yang berbunyi:
Artinya: “Dan ujilah anak itu sampai mereka cukup umur untuk kawin, kemudian jika menurut pendapatmu mereka lebih cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya”. (QS. An- Nissâ [4] ayat : 6)
Dalam hal ini untuk menentukan kedewasaan dengan umur terdapat
beberapa pendapat diantaranya:32
1. Menurut Abu Hanifah, kedewasaan itu datangnya mulai usia 19 tahun bagi
laki-laki dan 17 tahun bagi wanita. Sedangkan Imam Malik menetapkan 18
tahun, baik untuk pihak laki-laki maupun untuk perempuan.
32
Helmi Karim, Kedewasaan Untuk Menikah Problematika Hukum Islam Kontemporer,
41
2. Menurut Syafi’i dan Hanabillah menentukan bahwa masa untuk menerima ke
dewasaan dengan tanda-tanda di atas, tetapi karena tanda-tanda itu datangnya
tidak sama untuk semua orang, maka kedewasaan ditentukan dengan umur.
Disamakannya masa kedewasaan untuk pria dan wanita adalah karena
kedewasaan itu ditentukan dengan akal, dengan akallah ada taklif, dan karena
akal pula adanya hukum.
3. Sarlito Wirawan Sarwono melihat bahwa usia kedewasaan untuk siapnya
seseorang memasuki hidup berumah tangga harus diperpanjang menjadi 20
tahun untuk wanita dan 25 tahun untuk pria. Hal ini karena diperlukan karena
zaman modern menuntut untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari
kemaslahatan dan menghindari kerusakan, baik dari segi kesehatan maupun
tanggung jawab sosial.
4. Yusuf Musa mengatakan, bahwa usia dewasa itu setelah seseorang berumur 21
tahun. Hal ini dikarenakan pada zaman modern ini orang memerlukan
persiapan yang matang.
Dari perbedaan pendapat di atas menunjukan bahwa berbagai faktor ikut
menentukan cepat atau lambatnya seseorang mencapai usia kedewasaan, terutama
kedewasaan untuk berkeluarga.
Angka-angka atau usia di atas tidaklah selalu cocok untuk setiap wilayah
di dunia ini. Setiap wilayah dapat menentukan usia kedewasaan masing-masing
B. Batas Usia Nikah menurut Hukum Positif
Batas usia nikah ialah suatu batasan umur untuk menikah atau kawin.
Batasan usia nikah disini menurut aturan hukum yang berkaitan dengan perkara
atau masalah perkawinan, seperti pengajuan permohonan nikah di bawah umur,
penulis akan paparkan batas usia nikah di bawah ini dalam hukum positif, yaitu
sebagai berikut:
1. Batas usia nikah menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan, terdapat dalam BAB II Syarat-syarat Perkawinan pasal 6 ayat (2),
yaitu: “Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua”.
Sedangkan Pada pasal 7 ayat (1) Undang-undang Perkawinan: “Perkawinan
hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan
pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Dan pada ayat (2)
“Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta
dispensasi nikah kepada Pengadilan Agama atau pejabat lain yang ditunjuk
oleh kedua orangtua pihak pria maupun pihak wanita. Dan pada ayat (3)
“Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orangtua
tersebut dalam pasal 6 ayat (3), dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga
dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak
mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).33
2. Batas Usia Nikah menurut Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 15 ayat (1),
yaitu: “Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya
33
43
boleh di