BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar BelakangTanaman Jati (Tectona grandis Linn.f.) merupakan tanaman yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan memiliki prospek yang bagus di masa mendatang (Jumani 2009). Kayu jati merupakan kayu kelas satu karena kekuatan, keawetan dan keindahannya. Secara teknis, kayu jati memiliki kelas kekuatan I dan kelas keawetan I. Kayu ini sangat tahan terhadap serangan rayap. Meskipun keras dan kuat, kayu jati mudah dipotong dan dikerjakan, sehingga disukai untuk membuat furnitur dan ukir-ukiran. Oleh sebab itu kayu jati sangat diminati oleh konsumen. Tidak hanya konsumen dalam negeri, konsumen luar negeri juga sangat menggemari jati sebagai bahan baku furnitur. Jati Indonesia selain juga dikirim ke Jepara sebagai pusat furnitur jati di Indonesia juga diekspor ke luar negeri seperti di negara-negara Amerika, Taiwan, Hongkong, Korea, Uni Emirat Arab dan Italia.
inventarisasi hutan karena data yang dihimpun akan menjadi dasar bagi usaha pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang akan dilakukan.
Mengingat semakin cepatnya pertumbuhan hutan maka data informasi yang dibutuhkan adalah data terbaru yang diperoleh secara cepat, akurat dan efisien. Penerapan teknik penginderaan jauh melalui citra dijital yang menggabungkan antara metode terestris dan penginderaan jauh lebih mendapatkan hasil yang maksimal. Sebab dapat menekan biaya yang tinggi tetapi tetap mendapatkan data yang akurat dan tepat. Sehingga memberikan kesempatan penelitian dengan menggunakan citra dijital non-metrik tak berawak (unmanned) beresolusi tinggi untuk dapat mengetahui potensi yang tinggi yang ada di wilayah hutan tersebut.
Salah satu alat yang sangat membantu dalam penerapan inventarisasi hutan guna mengetahui sediaan hutan adalah dengan tersedianya tabel volume. Tabel volume dapat dikelompokkan atas tabel volume lokal, tabel volume standar, dan tabel kelas bentuk. Tabel volume lokal adalah tabel yang disusun berdasarkan peubah bebas diameter pohon setinggi dada (Dbh) atau tinggi pohon saja, tetapi pada umumnya yang digunakan adalah diameter pohon setinggi dada (Dbh) sebagai peubah bebasnya. Tabel ini dapat disusun untuk individu spesies maupun kelompok spesies dari berbagai wilayah geografis yang lebih khusus lagi tidak hanya terutama pada spesies maupun tempat, tetapi juga pada kesamaan karakteristik-karakteristik tinggi, diameter, dan bentuk pohon. Sedangkan tabel kelas bentuk disiapkan untuk menunjukkan volume menurut beberapa ukuran bentuk pohon disamping diameter pohon setinggi dada (Dbh) dan tinggi pohon (Husch 1987).
Tabel volume inilah yang nantinya digunakan dalam pembentukan pendugaan volume tegakan, yang gunanya adalah sebagai pembanding volume dugaan hasil penginderaan jauh dengan volume hasil pengukuran di lapangan. Menurut Simon (1993) persamaan volume dan tabel volume semestinya disusun dengan sampel yang cukup dan hanya berlaku di daerah pengambilan sampel tersebut. Berdasarkan pengukuran–pengukuran rinci sejumlah kecil pohon dalam suatu wilayah hutan, tabel volume dapat membantu pendugaan sejumlah besar volume pohon di daerah tersebut. Tabel volume ini nantinya dapat juga digunakan untuk menduga volume total dari suatu wilayah (Pambudhi 1995, dalam Tyas 2009). Menurut Jaya (2006) pembuatan tabel volume pohon udara hanya baik digunakan pada potret-potret berskala besar maka oleh karena itu dengan menggunakan citra dijital non-metrik beresolusi 20 cm ini akan menghasilkan tabel volume yang baik untuk menduga potensi hutan.
Selain penyusunan tabel volume dari pemanfaatan citra dijital non-metrik ini, dapat pula diketahui nilai estimasi biomassa dari sediaan tegakan jati. Sehingga selain pemanfaatan kayunya, jati juga dapat berperan dalam menjaga keseimbangan kapasitas gas rumah kaca di atmosfer dari nilai biomassanya. Brown (1997) mendefinisikan biomassa hutan sebagai bahan-bahan organik hidup maupun yang sudah mati dan berada di atas permukaan tanah hutan atau di bawah permukaan tanah hutan, seperti: pohon, tumbuhan bawah, semak, serasah, akar dan lain-lain. Biomassa di atas permukaan tanah terdiri atas semua biomassa hidup di atas permukaan tanah meliputi batang, tungak, cabang, kulit, buah/biji dan daun. Biomassa dibawah permukaan tanah terdiri atas semua akar pohon yang masih hidup kecuali serabut akar (berdiameter < 2mm).
Sehingga dalam penelitian ini akan dikaji pemanfaatan citra dijital non-metrik beresolusi tinggi dalam penyusunan tabel volume dan estimasi biomassa sediaan tegakan jati.
1.2 Perumusan Masalah
inventarisasi secara terestris biaya yang dikeluarkan relatif mahal dan memerlukan waktu yang lama maka perlunya menggunakan citra dijital resolusi tinggi non metrik dalam penginderaan jauh untuk melakukan kegiatan inventarisasi hutan.
1.3 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyusun model penduga sediaan tegakan jenis jati (Tectona grandis Linn.f) dan pendugaan biomassanya di areal kerja KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa Timur dengan menggunakan citra dijital non-metrik resolusi tinggi.
1.4 Manfaat
Hasil penelitian ini berupa model penduga sediaan tegakan jati menggunakan citra dijital non metrik resolusi tinggi yang dapat digunakan untuk menduga potensi di areal kerja KPH Madiun secara cepat, murah, dan akurat dalam rangka pengaturan kelestarian hasil, menambah wawasan dan pengembangan ilmu pengetahuan serta dapat sebagai alat pemantauan potensi hutan secara cepat.
1.5 Kerangka Pemikiran
Inventarisasi terestris dalam menduga estimasi volume tegakan dalam luasan kecil akan dapat menghasilkan data yang teliti dan akurat, namun apabila arealnya luas maka akan memerlukan biaya, waktu dan tenaga yang banyak dan hasilnya cenderung kurang teliti dan akurat. Sedangkan dengan pengukuran penginderan jauh dengan menggunakan citra dijital resolusi tinggi untuk menduga estimasi volume tegakan akan lebih cepat dan relatif akurat, namun memerlukan investasi awal yang mahal meskipun nantinya dari citra dijital tersebut menyebabkan biaya operasional pengelolaan hutan menjadi rendah.
Kombinasi kegiatan inventarisasi hutan menggunakan penginderaan jauh (remote sensing) dan lapangan (terestris) akan menghasilkan data yang akurat dengan waktu yang relatif singkat untuk areal yang luas.
Dari hasil permasalahan-permasalahan yang muncul yaitu sudah jarangnya menggunakan foto udara dalam melakukan inventarisasi hutan, mahalnya harga citra satelit dengan didukung resolusi yang rendah dan inventarisasi secara terestris yang relatif mahal dengan waktu yang lama maka untuk melakukan inventarisasi hutan saat ini tepat dengan memanfaatkan penginderaan jauh dengan citra dijital non-metrik resolusi tinggi.
Menurut Lu (2006) dalam bidang kehutanan, penggunaan teknologi penginderaan jauh telah banyak diaplikasikan dalam kegiatan pemetaan tutupan lahan, evaluasi perubahan tutupan dan penggunaan lahan. Selain itu, penggunaan peubah-peubah biofisik yang dapat ditaksir melalui data citra satelit seperti kerapatan tutupan tajuk dan diameter tajuk untuk menduga tegakan hutan di lapangan seperti volume tegakan dan biomassa tegakan.
Dari hasil estimasi volume tegakan dengan citra resolusi tinggi tersebut maka dapat diketahui juga estimasi biomassa dari suatu pohon berdiri. Penggunaan teknologi penginderaan jauh yang dikombinasikan dengan pengukuran lapangan (survey lapangan) dapat digunakan dalam pendugaan biomassa (Foody et al. 2003).
Gambar 1 Kerangka pemikiran dalam penelitian. Pengelolaan Hutan Lestari Perencanaan Hutan
Inventarisasi Hutan
Pengukuran Terestris: –Biaya mahal
–Waktu relatif lama –Akurasi relatif tinggi
Pengukuran Remote Sensing: –Biaya relatif murah
–Waktu relatif cepat
–Akurasi relatif lebih rendah –Dimensi tegakan bisa diukur
lebih cermat
Estimasi Volume Tegakan
Korelasi
Verifikasi Tabel Volume Tegakan
Tabel Volume Tegakan Citra Dijital Resolusi Tinggi
Estimasi Volume Tegakan dengan Citra Dijital Resolusi
Tinggi
BAB II
METODE PENELITIAN
2.1 Waktu dan Tempat Pengambilan Data
Pengambilan data dilakukan di BKPH Dungus dan BKPH Dagangan KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa Timur pada bulan Oktober sampai November 2011. Pengolahan data di lakukan di Laboratorium fisik remote sensing dan GIS Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB Desember sampai Maret 2012.
2.2 Data, Software, Hardware dan Alat
a. Data utama yang digunakan adalah sebagai berikut: (1). Peta kawasan kerja KPH Madiun (Gambar 2).
(2). Citra dijital resolusi sedang Landsat TM KPH Madiun (Gambar 3)
Gambar 3 Citra dijital resolusi sedang (Landsat TM perekaman 18 Juli 2006) KPH Madiun.
(3). Peta citra dijital non-metrik resolusi tinggi lokasi Dungus (Gambar 4)
Gambar 4 Citra dijital non-metrik resolusi tinggi lokasi penelitian BKPH Dungus. (4). Peta citra dijital non-metrik resolusi tinggi lokasi Dagangan (Gambar 5)
b. Data Pendukung yang digunakan pada penelitian ini adalah peta kerja di lokasi BKPH Dungus dan lokasi BKPH Dagangan serta koordinat GPSnya pada setiap BKPH yang disajikan pada Lampiran 1 dan 2.
c. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS map 60CSx (Gambar 6a), kompas brunton (Gambar 6b), meteran, tali tambang, Haga (Gambar 6c), kamera SLR dengan lensa fish eye, kamera digital, dan alat tulis.
(a) (b)
(c)
Gambar 6 (a) GPSmap 60CSx (b) kompas brunton, dan (c) Haga Hipsometer.
d. Software yang digunakan dalam pengolahan data adalah software Arcview 3.2, Microsoft Excel 2007 dan SPSS ver 16.
2.3 Metode Penelitian
Tahapan dalam kegiatan penelitian adalah sebagai berikut:
2.3.1 Pra Pengolahan Data Citra
Sebelum melakukan pengolahan citra lebih lanjut, citra foto udara perlu dilakukan koreksi geometrik. Sedangkan koreksi geometrik adalah koreksi yang dilakukan untuk menghilangkan distorsi geometrik dari suatu citra dan sistem koordinat geometrik. Koreksi yang umum dilakukan adalah koreksi geometrik atau rektifikasi. Citra dijital yang telah terkoreksi dengan menggunakan koreksi geometrik lalu di overlay dengan data citra pada citra Landsat TM. Desain untuk plot contoh di lapangan ditentukan dengan menggunakan extension IHMB dengan menggunakan metode purposive sampling. Agar mewakili keseluruhan area maka untuk setiap kelompok umur, jumlah minimum plot contoh yang diambil adalah 3 sampai 4 plot.
a. Koreksi Geometrik (rektifikasi)
Rektifikasi yang dilakukan adalah rektifikasi citra-ke-citra (image-to-image rectification). Pada penelitian ini dilakukan koreksi yang digunakan untuk mengoreksi citra digital non-metrik menggunakan citra LANDSAT yang telah terkoreksi sebelumnya, hal ini dilakukan agar koordinat geografis sama. Sistem koordinat yang digunakan dalam koreksi geometrik adalah Universal Transvers Mercator (UTM), zone 48 selatan (south UTM 1984).
Koreksi geometrik dimulai dengan memilih sejumlah titik-titik control lapangan (GCP). Untuk penelitian ini jumlah total titik GCP (Lampiran 1 dan 2) adalah sebanyak 17 titik, 7 titik GCP di BKPH Dungus dan 10 titik GCP di BKPH Dagangan. GCP adalah suatu titik-titik pada permukaan bumi yang diketahui koordinatnya baik pada citra (kolom/piksel dan baris) maupun pada peta (yang diukur dalam lintang bujur meter). Syarat pemilihan GCP adalah tersebar merata di seluruh citra dan relatif permanen atau tidak berubah dalam kurun waktu yang pendek (seperti jalan, jembatan, sudut bangunan dan sebagainya) (Jaya 2009). Jumlah GCP minimum dihitung dengan menggunakan persamaan :
dimana,
t : orde dari persamaan transformasi.
RMSE (Root Mean Square Error) yang dihasilkan pada koreksi geometrik ini adalah didapatkan dari GCP yang terpilih. Nilai RMSE tidak boleh lebih dari 0,5 piksel. Kesalahan rata-rata dari rektifikasi ini dihitung dengan rumus sebagai berikut:
� �= − � 2+ ( −
�)2
Dimana:
RMSE = Root Mean Square Error
xr, xi dan yr, yi = Kesalahan ke arah x dan y untuk GCP ke-i
b. Desain Sampling
Gambar 7 Peta pembuatan grid plot contoh. c. Pemilihan Plot Contoh
Gambar 8 Peta sebaran plot penelitian lokasi BKPH Dungus.
Gambar 9 Peta sebaran plot penelitian lokasi BKPH Dagangan.
2.3.2 Pengambilan Data Lapangan
Pengambilan data lapangan dilakukan di atas peta kerja dan peta administrasi KPH Madiun, Perhutani Unit II Jawa Timur. Pemilihan titik plot pengukuran lapangan dilakukan berdasarkan sebaran kelas umur di lokasi penelitian, Bagian Hutan dan kenampakan citra dijital non metrik resolusi tinggi. Terpilih masing-masing 38 titik pada lokasi BKPH Dungus dan pada lokasi BKPH Dagangan. Plot contoh yang digunakan berbentuk lingkaran dengan luasan sesuai dengan KU (Kelas Umur) yang disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Luas petak ukur pada hutan tanaman jati
Kelas Hutan Petak Ukur
Luas (Ha) Radius (m)
Kelas Umur I - II 0,02 7,92
Kelas Umur III - IV 0,04 11,28
Kelas Umur V ke atas 0,1 17,85
Data yang diambil di lapangan di antaranya adalah : a. nomor plot
b. keliling pohon setinggi dada c. keliling pohon setinggi 0,5 meter d. tinggi total pohon
e. tinggi bebas cabang (tbc). f. diameter tajuk
g. jarak dan sudut azimuth setiap pohon dari titik pusat plot h. koordinat plot contoh
i. koordinat pohon
2.3.3 Pengolahan Data Lapangan
Sebelum pengolahan data lapangan, data pada citra diolah terlebih dahulu, yaitu dengan mencari persentase penutupan tajuk (crown cover) dari masing-masing plot, menghitung jumlah pohon pada citra dan menghitung diameter tajuk pohon di setiap plot.
a. Teknik mengukur persentase tutupan tajuk pada citra (crown cover) (C) 1) Mengukur persentase tajuk citra
Persentase penutupan tajuk merupakan persentase areal tertutup oleh proyeksi vertikal tajuk-tajuk pohon. Menghitung persentase penutupan tajuk (crown cover) pada citra dilakukan secara perhitungan visual dengan menghitung antara areal tutupan tajuk dan gap tajuk. Adapun rumus dalam menghitung persentase penutupan tajuk yaitu :
Persentase penutupan tajuk citra (%) = Luas wilayah bertajuk
Luas plot contoh
x
100%Pada Gambar 10 dapat dilihat bahwa hasil luasan tajuk tersebut didapatkan dari hasil deliniasi areal tutupan tajuk dan gap tajuk.
Gambar 10 Plot contoh persentase penutupan tajuk (crown cover) pada citra. 2) Memetakan persentase penutupan tajuk hasil pengukuran lapangan
Memetakan hasil pengukuran tajuk di lapangan didapatkan dari persamaan y = 0,173x + 1,443 yaitu yang berasal dari hasil perhitungan setiap kerapatan pohon (jari-jari tajuk) di satu keterwakilan plot pada setiap kelas umur di lapangan dengan nilai dbh-nya. Kemudian dipetakan pada masing-masing plot contoh, sehingga dapat membandingkannya antara
hasil di citra dan di lapangan (Gambar 10 dan 11). Terdapat pada plot contoh 105 dengan persentase tajuk di citra sebesar 72% dan persentase tajuk lapangannya 48%.
Gambar 11 Plot contoh persentase penutupan tajuk (crown cover) pada lapangan.
b. Teknik mengukur jumlah pohon pada citra (N)
Menghitung jumlah pohon pada citra dilakukan secara visual langsung dengan memberikan tanda pada pohon yang berada dalam luasan tajuk. Kemudian dibandingkan antara pohon citra dengan lapangan seperti pada Gambar 12.
(a) (b)
Gambar 12 (a) Plot contoh jumlah pohon pada citra. (b) Plot contoh jumlah pohon di lapangan.
Posisi pohon
c. Menghitung diameter tajuk (crown diameter) (D)
Menghitung diameter tajuk (crown diameter) dilakukan dengan metode interpretasi visual dengan mengukur panjang diameter terpanjangnya dengan arah dari utara ke selatan dan barat ke timur (Gambar 13). Perhitungan tersebut dengan menggunakan icon measure pada software Arc View Gis ver 3.2.
Gambar 13 Plot contoh diameter tajuk. d. Penyusunan model
1). Model-model alternatif
Penyusunan model regresi dan pemilihan parameter tegakan di citra foto udara (citra dijital non-metrik resolusi tinggi) yang akan digunakan sebagai peubah bebas dibuat sesederhana mungkin, tetapi mempunyai ketelitian yang cukup tinggi. Pada penelitian ini model penduga potensi yang dikembangkan antara lain dijelaskan pada Tabel 2.
Tabel 2 Bentuk model-model yang diuji cobakan dalam melakukan penyusunan model sediaan tegakan jati
Model Persamaan
1) Linier
a. Sederhana V = a + b.C
V = a + c.D V = a + d.N
b. Berganda V = a + b.C + c.D + d.N
2) Non Linier
a. Sederhana V = a.Cb
V = a.Dc V = a.Nd
b. Berganda V = a.Cb.Dc.Nd
c. Kuadratik V = a + b.C2 + c.D2 + d.N2
d. Polynomial V = a + b.C + c. C2
V = a + b.D + c. D2
V = a + b.C + c. D + d. C. D + e. C2 + f. D2
Pada Tabel 3 disajikan beberapa model penduga sediaan tegakan dengan foto udara.
Tabel 3 Model-model penduga potensi sediaan tegakan dengan foto udara
No Persamaan R
2
(%) Penelitian Sumber
1. Log V = 0,06 + 1,11 Log C + 0,133 Log D
69,2 Model penduga volume tegakan dengan foto udara di hutan alam studi kasus di HPH PT. Sura Asia, Propinsi Dati I Riau
Budi 1998
2. V = 1,47.10-4 H1,42D0,35 N2,21
81 Model penduga volume
terbaik dengan foto udara skala 1 : 20000 untuk tegakan pinus (Pinus merkusii) di KPH
Pekalongan Barat
dengan pendekatan
stratifikasi dan tanpa stratifikasi
Hidayatullah 1996
3 a). V = 54,2 – 0,469 C untuk SFNAP
b). V = 32,4 – 0,246 C untuk CAP
76,2
69,1
Kajian teknis
pemanfaatan potret
udara non-metrik format
kecil pada bidang
kehutanan
Cahyono 2001
4. a). Ln V = -1,65 + 0,798LnC + 1,58 Ln D untuk bonita ≤ 3
b). Ln V = -0,713 + 1,206 LnC + 0,219 Ln D untuk bonita ≥ 4
74,5
64,9
Tabel volume udara
(Aerial Volume Tabel)
Hardjoprajitno S. 1996
5. V = 35481338,92 C3,00 79,3 Penyusunan tabel
tegakan hutan tanaman dengan potret udara
Prihanto 1996
6. V = -10,2 + 0,169N + 8,20D
53,8 Penduga Volume
Tegakan Jati di BKPH
Cikampek KPH
Purwakarta melalui foto udara
Suar 1993
7. Ln V = -5,577 + 0,427 Ln N + 2,591Ln H
67,4 Hubungan Antara
Volume Tegakan
Dengan Peubah Potret
Udara Sebagai Alat
Inventarisasi Hutan
2). Penduga regresi
Tahap selanjutnya berkaitan dengan pembangunan model di atas adalah penyusunan persamaan regresi. Penduga regresi bagi nilai tengah (rata-rata) populasi dapat diperoleh sebagai berikut:
(a). Penyusunan model dengan peubah tunggal y = a + b. x
Dimana: y = V dalam m3 /ha x = dapat berupa C, D, N
Kemiringan (slope) garis regresi dapat dihitung dengan rumus:
x xy
JK JHK
b dan a - b
JHKxy =
− �
�−1 JKx =
2− 2/�
�−1
Dimana: = Rata-rata peubah tak bebas (y berupa V dalam m3 /ha) = Rata-rata peubah bebas (x berupa C, D, N)
JHK = Jumlah hasil kuadrat JK = Jumlah kuadrat a = Koefisien elevasi b = Koefisien regresi n = Banyaknya plot
(b). Penyusunan model dengan peubah ganda y = a + b.x1 + c.x2
Dimana: y = V dalam m3 /ha x = x berupa C, D, N a, b, c= Konstanta
Maka kemiringan (slope) garis regresi antar pasangan data dapat dihitung dengan rumus: � 1� 2� 1�
12� 1� 2�
2� 1� 2�
12�
=
(c). Korelasi Antar Peubah
Penyusunan model pendugaan sediaan tegakan ini masing-masing menggunakan metode persamaan regresi terbaik. Namun, sebelumnya dilakukan terlebih dahulu perhitungan koefisien korelasi menggunakan pendekatan korelasi product moment (r) yang menyatakan tingkat keeratan hubungan antar peubah yang akan digunakan dalam pendugaan tegakan. Nilai r dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
r =
Dimana:
xi = Dimensi pohon ke – i
yj = Dimensi pohon lainnya ke – j
n = Jumlah pohon
Besarnya nilai r berkisar antara -1 sampai +1. Jika nilai r = -1 maka hubungan antara dua peubah adalah korelasi negatif sempurna. Artinya, apabila salah satu peubah nilainya menurun, maka peubah lainnya akan meningkat. Sebaliknya jika nilai r = 1 maka hubungan antara dua peubah merupakan korelasi positif sempurna. Artinya, apabila salah satu peubah meningkat, maka peubah lainnya akan meningkat pula. Bila r mendekati -1 atau +1 maka hubungan antara peubah itu kuat dan terdapat korelasi yang tinggi antara kedua peubah itu (Walpole 1995). Hipotesisnya: H0 : p = 0, artinya tidak ada korelasi antara 2
peubah H1 : p ≠ 0, artinya ada korelasi antara 2 peubah H0 diterima apabila p > α
dan H1 diterima apabila p < α.
Untuk menguji apakah nilai koefisien korelasi memiliki nilai yang signifikan (nilai r > 0,7071 dalam hubungannya terhadap tegakan), perlu dilakukan perhitungan Uji-Z pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,005).
Hipotesis yang digunakan dalam pengujian keeratan koefisien korelasi adalah H0 : ρ ≥ 0,7071 dan H1 : ρ < 0,7071. Rumus yang digunakan dalam Uji Z
yaitu:
n
n
n
j
i ( x ) / y ( y ) /
x / ) y )( x ( y x 2 j 2 2 i 2 j i j i
)
(
Z
Zr
Dimana:
Z = Sebaran normal Z
σ = Pendekatan simpangan baku tranformasi Z
ρ = Nilai koefisien korelasi yang diharapkan pada populasi r = Nilai koefisien korelasi
n = Jumlah data
Jika hasil Z-hitung ≤ 1,96, maka H0 diterima, yang berarti bahwa
hubungan antara peubah bebas dengan volume cukup erat dengan r ≥ 0,7071. Sedangkan jika Z-hitung > 1,96, maka H1 diterima, yang berarti bahwa hubungan
antara peubah bebas dalam model dengan volume adalah kurang erat.
3) Uji Koefisien regresi
Pengujian hipotesis dilakukan terhadap model guna mengetahui keberartian hubungan peubah pada citra dengan volume tegakan di lapangan. Analisis yang digunakan dalam pengujian hipotesis adalah analisis ragam sebagai berikut:
Tabel 4 Analisis ragam untuk regresi sederhana Sumber
Keragaman
db JK KT F Hit
Regresi Dbr = p-1 JKR =b.JHKxy KTR =JKR/dbr KTR/KTS
Sisa Dbs = n-p JKS = JKy - JKR KTS = JKS/dbs
Total n-1 JKT = JKy
Keterangan: p = banyaknya peubah regresi
n = banyaknya plot contoh yang diamati
Tabel 5 Analisis ragam untuk regresi berganda
Keragaman db JK KT F Hit
Regresi Dbr = p-1 JKR = b.JHKxy KTR = JKR/dbr KTR/KTS
Sisa Dbs = (m-1)–(p-1) JKS = JKy - JKR KTS = JKS/dbs
Total m-1 JKT = JKy
Keterangan: p = banyaknya parameter m = banyaknya plot contoh Hipotesis yang diuji adalah: H0: βi = 0, i = 1,2,3,…,p
Bila hasil analisis keragaman tersebut diperoleh F-hit > F-tab maka terima H1, yang berarti minimal ada satu peubah yang bebas yang berpengaruh nyata
terhadap peubah tak bebas dan sebaliknya (Walpole 1995).
Jika H1 diterima melalui Uji –F, maka selanjutnya dilakukan uji signifikansi
koefisien masing-masing peubah bebas dengan menggunakan perhitungan Uji-t. Rumus yang digunakan dalam perhitungan Uji-t adalah:
n s thitung
/
Dimana:
X = Pengamatan μ = Nilai tengah
= Standar deviasi n = Jumlah sampel
Dengan hipotesis sebagai berikut: H0: μ = μ0,
H1: μ ≠ μ0.
Selanjutnya kriteria uji bagi hipotesis dengan menggunakan t-hitung, yaitu jika thitung > ttabel maka terima H1, yang berarti pengukuran di lapangan dan di
citra berbeda nyata. Sedangkan jika thitung < ttabel maka terima H0, yang berarti
pengukuran di lapangan dan di citra tidak berbeda nyata. 4) Uji Verifikasi Model
Dimana:
χ2 = Nilai Chi-square �� = Nilai ekspetasi/ dugaan �� = Nilai observasi/ aktual
RMSE digunakan untuk mengetahui seberapa besar error yang terjadi pada hasil perhitungan model jika dibandingkan dengan nilai aktual. Semakin kecil nilai RMSE, maka semakin kecil pula kesalahan yang terjadi pada penggunaan model. Perhitungan RMSE menggunakan rumus sebagai berikut:
% 100 ] [ 1 2
n Ha Ha Ht RMSE n i i i i Dimana:RMSE = Root Mean Square Error Hti = Nilai dugaan
Hai = Nilai aktual
n = Jumlah pengamatan
Bias (℮) adalah kesalahan sistematis yang dapat terjadi karena kesalahan dalam pengukuran, baik kesalahan teknis pengukuran maupun kesalahan karena alat ukur. Nilai
℮
yang dapat diterima adalah jika nilainya mendekati nol. Perhitungan ℮ (Bias) dapat dirumuskan sebagai berikut:n
Y
Y
Y
n i Ai AiTi
)
100
%
}
{(
e
1
Dimana: ℮ = BiasYT = Nilai dugaan
YA = Nilai aktual
N = Jumlah pengamatan
k i i i i hitung E E O 1 22 ( )
Simpangan Agregat (SA) adalah perbedaan antara jumlah nilai aktual dan jumlah nilai dugaan (Spur 1952). Nilai SA diharapkan berkisar antara -1 sampai +1.
Nilai SA dapat dihitung dengan rumus:
Ti A Ti Y Y Y SA i Dimana:SA = Simpangan Agregat YT = Nilai dugaan
YA = Nilai aktual
Nilai SR menunjukkan suatu model dapat dikatakan baik jika nilainya tidak lebih dari 10%. Perhitungan SR yaitu dengan rumus sebagai berikut:
n Y Y Y SR n i Ti Ai Ti
1 %} 100 | {| Dimana:SR = Simpangan Rata-rata YT = Nilai dugaan
YA = Nilai aktual
n = Jumlah pengamatan
Untuk mendapatkan model yang akurat dan valid, perlu adanya penyusunan peringkat terhadap model dengan acuan kriteria-kriteria uji yang dilakukan. Penyusunan peringkat dilakukan dengan memberikan skor pada model-model yang diperoleh. Kemudian akan terbentuk model terbaik yang dapat digunakan sesuai kriteria yang ada yaitu model yang memuat sedikit peubah penduga, kemudahan mengukur peubah bebas dan potensial kesalahannya rendah. Pemberian skor dilakukan berdasarkan nilai SA, SR, RMSE, dan
е
dengan menggunakan rumus sebagai berikut:1 4 max min max SA SA
Skor 4 1
max min
max
e
e Skor 1 4 max min max SR SR
Skor 4 1
2.4 Pendugaan Biomassa
Biomassa didefinisikan sebagai jumlah total bahan organik hidup di atas tanah pada pohon termasuk ranting, daun, cabang, batang utama dan kulit yang dinyatakan dalam berat kering oven ton per unit area (Brown 1997). Biomassa dibedakan menjadi dua kategori, yaitu biomassa di atas permukaan tanah (above ground biomass) dan biomassa di bawah permukaan tanah (bellow ground biomass). Biomassa di atas permukaan tanah terdiri atas semua biomassa hidup di atas permukaan tanah yang meliputi batang, tunggak, cabang, kulit, buah/biji, dan daun. Biomassa dibawah permukaan tanah terdiri atas semua akar pohon yang masih hidup kecuali serabut akar (diameter < 2mm).
Biomassa hutan di atas permukaan merupakan komponen penting yang sangat terkait dengan siklus karbon, alokasi nutrisi hutan, akumulasi bahan bakar fosil dan habitat dalam ekosistem hutan. Ekosisitem hutan juga mempunyai peranan penting dalam siklus karbon secara global. Hutan menyimpan karbon sekitar 80% (IPCC 2001). Tegakan hutan yang masih produktif untuk tumbuh mampu menyerap gas CO2 yang ada di atmosfer dan menyimpannya dalam bentuk biomassa pohon (Losi et al. 2003).
Metode pengukuran biomassa pada dasarnya ada empat cara utama yaitu metode sampling dengan pemanenan (destructive sampling), metode sampling tanpa pemanenan (non-destructive sampling), metode pendugaan melalui pengindraan jauh, dan metode pembuatan model. Metode sampling dengan pemanenan (destructive sampling) merupakan metode pengukuran biomassa dengan cara merusak atau menebang pohon untuk selanjutnya dilakukan pengukuran berat basah di berbagai carbon pool yang terdiri dari biomassa atas, biomassa bawah/akar, biomassa kayu mati, biomassa serasah dan biomassa tanah organik (Ostwald 2008). Sedangkan metode sampling tanpa pemanenan (non-destructive sampling) merupakan pengukuran biomassa dengan cara tidak merusak pohon dan hanya mengukur biomassa atas kemudian mengukur diameter dan tinggi pohon serta serasah yang ada.
besar. Selain kerusakan yang cukup besar, mahalnya biaya dan lamanya waktu serta besarnya tenaga yang dibutuhkan dibandingkan dengan teknik pendugaan biomassa lain menjadi bahan pertimbangan dalam penggunaan teknik ini. Metode sampling tanpa pemanenan (non-destructive sampling) merupakan teknik pendugaan yang saat ini banyak dilakukan karena tidak perlu melakukan pemanenan pohon. Teknik ini memiliki efisiensi yang baik jika dibandingkan dengan teknik sampling destruktif. Parameter penyusun metode non-destructive sampling yaitu diameter pohon, tinggi pohon, volume batang, dan basal area untuk menduga biomassa.
Menurut Brown (1997) ada dua pendekatan untuk menduga biomassa pohon, yang pertama berdasarkan pendugaan volume kulit sampai batang bebas cabang yang kemudian diubah menjadi jumlah biomassa (ton/ha) dan yang kedua secara langsung dengan menggunakan regresi biomassa. Seperti dikemukakan oleh Tiryana (2005), potensi biomassa hutan juga dapat diketahui melalui data hasil inventarisasi baik dengan menggunakan faktor konversi volume ke biomassa maupun persamaan alometrik yang menghubungkan dimensi pohon (diameter dan atau tinggi) dengan biomassanya.
Diameter pohon merupakan salah satu variabel yang penting bagi pendugaan biomassa selain kerapatan jenis pohon dan tipe hutan (Chave et al. 2001). Sehubungan dengan pernyataan tersebut Ketterings et al. (2001) membuat model penduga biomassa hutan dengan menggunakan variabel diameter dan kerapatan jenis dalam persamaan sebagai berikut:
W = 0,11 ρ D2,62 Dimana:
W = biomassa (kg/pohon)
ρ = kerapatan jenis (gr/cm3) ρ pohon jati sebesar 0,75 ton/m3 (Martawijaya 1992).
D = diameter setinggi dada (cm)
(2011) di daerah KPH Cepu. Hutan Tanaman jati di KPH Cepu memiliki iklim yang sama dengan hutan jati di KPH Madiun yaitu tipe iklim C sehingga kurang lebih kondisi umum lapangan baik kondisi tegakannya memiliki kesamaan. Berikut ini adalah persamaan alometrik Brown yang digunakan:
W = 0,2759D2,2227 (R2 = 0,941) Dimana:
W = biomassa tegakan (kg/pohon) D = diameter setinggi dada (cm)
Dapat pula dengan menggunakan metode perhitungan Vademecum Kehutanan (1976) dalam Ginoga et al. (2005) sebagai berikut:
B = (4/3) V ρ Dimana:
B = biomassa tegakan (ton/ha) V = volume pohon (m3 /ha)
ρ = kerapatan jenis kayu (ton/m3 )
Model Vademecum tersebut digunakan karena mudah diaplikasikan serta cukup sederhana.
Menurut IPCC (2003) dalam Janiatri 2012 terdapat dua pendekatan untuk mengestimasi nilai kandungan biomassa yaitu, pendekatan langsung, menggunakan persamaan allometrik pada sampel plot dan pendekatan tidak langsung menggunakan nilai Biomass Exspansion Factor (BEF). Metode ini termasuk metode non-destructive sampling karena tidak memerlukan pemanenan pohon contoh dalam pendugaan biomassanya. Pengkonversian hasil inventarisasi hutan dalam bentuk volume dilakukan dengan mengalikan nilai tersebut dengan konstanta nilai Biomass Exspansion Factor (BEF).
daerah tropis Panama, di hitung dengan membagi total proporsi biomassa dengan biomassa cabang sehingga menghasilkan nilai BEF sebesar 1,53186 (Kraenzel et al. 2003). Pendugaan biomassa atas permukaan menggunakan Biomass Expansion Factor (BEF) dilakukan dengan menggunakan rumus :
BAP = V x � x BEF Dimana:
BAP = Biomassa Atas Permukaan (ton/ha) V = Volume tegakan (m3 /ha)
ρ = Berat jenis kayu (ton/m3)
BEF = Biomass Expansion Factor dengan koefisien 1,53186 untuk Jati pada hutan tropis (Kraenzel et al. 2003).
2.5 Penyusunan Tabel Volume
Penyusunan tabel volume berasal dari model penduga yang terpilih berdasarkan hasil penentuan peringkat gabungan tersebut diatas. Dari model penduga volume yang terpilih akan didapatkan nilai volume untuk nilai tertentu yang diukur atau diamati dilapangan. Kemudian terakhir dapat disusun dalam bentuk tabel volume lokal atau standar untuk jenis tegakan jati (Tectona grandis Linn f.) di KPH Madiun Unit II Jawa Timur pada BKPH Dungus dan BKPH Dagangan.
2.6 Monogram
2.7 Pelaporan
[image:33.595.63.549.84.737.2]
Gambar 14 Diagram alir kegiatan. Ya
Analisis Statistik dan Penyusunan Model Tabel Volume Tegakan
Model Penduga Sediaan Mulai
Persiapan Data
Pendukung Citra
Dijital
Rektifikasi
Pra Pengolahan Citra Desain Penarikan Contoh
Pengambilan Data Lapangan
Model Penduga Sediaan Diterima
Verifikasi Model Terbaik Peubah
Lapangan
Citra Terkoreksi
Selesai Pembuatan Monogram Tabel Volume
Estimasi Biomassa Tidak
BAB III
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
3.1 Letak dan Luas
Letak Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Madiun secara administratif berada di daerah tingkat II dalam tiga wilayah Kabupaten yaitu Kabupaten Madiun (16.075,4 Ha), Kabupaten Ponorogo (12.511,2 Ha) dan Kabupaten Magetan (1.642,6 Ha). Dari ketiga kabupaten tersebut, wilayah hutan KPH Madiun terbagi ke dalam beberapa distrik yaitu Madiun, Caruban dan Kanigoro yang berada dalam wilayah Kabupaten Madiun; Ponorogo, Arjowinangum dan Sumoroto dalam wilayah Ponorogo; serta Gorang-gareng dan Magetan berada dalam wilayah Kabupaten Magetan.
Secara geografis KPH Madiun terletak diantara garis lintang selatan 70 30” –7050” dan 4030” – 4050” BT dengan baris batas sebagai berikut:
1). Sebelah Utara : KPH Saradan
2). Sebelah Timur : KPH Saradan dan Lawu Ds 3). Sebelah selatan : KPH Lawu Ds.
4). Sebelah Barat : KPH Lawu Ds dan Ngawi
Luas Kawasan Hutan KPH Madiun adalah 31.221,62 Ha dengan Kelas Perusahaan Jati 29.063 Ha dan Kelas Perusahaan Kayu Putih 3.137,7 Ha yang dibagi menjadi empat bagian hutan, termasuk didalamnya alur dan sungai. Empat bagian hutan tersebut adalah sebagai berikut:
(a) Bagian Hutan Caruban yang terletak di Kabupaten Madiun dengan luas 11.955,72 Ha.
(b) Bagian Hutan Pagotan di Kabupaten Madiun dan Kabupaten Ponorogo dengan luas 4.076 Ha.
(c) Bagian Hutan Ponorogo Timur terletak di Kabupaten Ponorogo dengan luas 5.193,7 Ha untuk kelas perusahaan jati dan Bagian Hutan Ponorogo Timur/Sukun untuk kelas perusahaan kayu putih terletak di Kabupaten Ponorogo dengan luas 3.736,1 Ha.
Keempat bagian hutan kelas perusahaan jati tersebut terbagi lagi menjadi 11 BKPH dan 34 RPH.
Secara struktural, KPH Madiun terbagi menjadi dua SKPH, yaitu SKPH Madiun Utara dan SKPH Madiun Selatan, masing-masing dibagi menjadi beberapa BKPH dengan pembagian sebagai berikut:
1. SKPH Madiun Utara, membawahi enam BKPH: a. BKPH Brumbun : 1.756,2 Ha
b. BKPH Caruban : 3.316,8 Ha c. BKPH Dagangan : 2.240,4 Ha d. BKPH Dungus : 3.456,9 Ha e. BKPH Mojorayung : 2.833,5 Ha f. BKPH Ngadirejo : 2.238,5 Ha
2. SKPH Madiun Selatan, membawahi lima BKPH: a. BPKH Bondrang : 2.925,5 Ha
b. BKPH Pulung : 2.207,4 Ha c. BKPH Sampung : 3.613,5 Ha d. BKPH Sukun : 3.701,1 Ha e. BKPH Somoroto : 2.538,6 Ha
3.2 Topografi, Daerah Aliran Sungai, Tanah, dan Iklim
Wilayah kawasan hutan KPH Madiun mempunyai kemiringan lereng, landai, bergelombang, sampai dengan bergunung-gunung. Sungai yang ada yaitu anak sungai madiun yang membentang dari arah selatan ke utara. Wilayah kawasan hutan KPH Madiun termasuk DAS Solo Hulu dan merupakan salah satu penyangga kestabilan serta keseimbangan ekosistem pada Sub DAS Solo Hulu.
Gambaran secara lebih terinci kondisi setiap bagian hutan adalah sebagai berikut :
1. Bagian Hutan Caruban
Keadaan lapangan rata-rata bergelombang sebelah tenggara curam, secara keseluruhan miring kearah barat laut (daerah kecamatan Balerejo). 2. Bagian Hutan Pagotan
Keadaan lapangan rata, bergelombang, lapangan pada umumnya miring ke barat.
3. Bagian Hutan Ponorogo Barat
Madiun, sedangkan sebelah selatan Kali Galah bergunung-gunung sampai dengan curam dengan aliran sungai ke arah timur merupakan hulu Kali Madiun.
4. Bagian Hutan Ponorogo Timur
Keadaan lapangan bergunung-gunung sampai dengan curam. dengan gunung-gunung antara lain; Gunung Rayang Kaki dan Gunung Tumpak Pring. Pada lereng sebelah utara dan barat laut miring ke utara//barat sehingga aliran sungai di daerah ini menuju ke arah barat, di bagian barat aliran sungai menuju ke arah barat, sedangkan di bagian barat laut bertemu dengan Kali Madiun.
Wilayah kawasan KPH Madiun termasuk DAS Solo Hulu dan merupakan salah satu penyangga kestabilan serta keseimbangan ekosistem pada sub DAS Solo Hulu. Sungai yang ada di Wilayah KPH Madiun yaitu sungai Catur yang melintasi Bagian Hutan Caruban dan Bagian Hutan Pagotan yang bermuara di Kali Madiun terus ke Bengawan Solo.
Sebagian besar jenis tanah di kawasan hutan KPH Madiun untuk SKPH Madiun Utara terdiri dari Mediteran Cokelat Kemerahan dan Litosol Coklat Kemerahan, sedangkan di wilayah KPH Madiun Selatan terdiri dari jenis Aluvial Kelabu Tua, Glei humus dan Mediteran Coklat Kemerahan.
Wilayah hutan KPH Madiun terletak pada suatu daerah dengan musim hujan dan musim kemarau yang jelas. Berdasarkan perbandingan bulan basah dan bulan kering selama empat tahun yaitu tahun 1996-1999 maka menurut klasifikasi type iklim Schmidt dan Ferguson (1951), KPH Madiun termasuk ke dalam tipe curah hujan C dimana mempunyai nilai Q = 57% (33,3% - 60%) dengan rata-rata bulan basah adalah 7 bulan dan rata-rata bulan kering 4 bulan selama setahun. Dengan tipe iklim C. KPH Madiun cocok untuk tempat tumbuh jati.
3.3 Kondisi Sosial Ekonomi 1. Pengembangan Desa Hutan
Tingkat kemampuan suatu desa dalam penyelenggaraan pemerintahan yang berkaitan dengan sosial ekonomi, dinyatakan pengembangan desanya dengan status swakarya, swadaya dan swasembada. Desa-desa dilingkungan kawasan hutan KPH Madiun pada urnumnya mempunyai kategori Desa Swasembada. 2. Kependudukan
Jumlah penduduk dalarn kecamatan yang masuk dalam wilayah kerja KPH Madiun adalah ; 804.789 orang, terdiri dan ; 393.121 laki-laki dan 411.667 perempuan.
3. Mata Pencaharian
Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa mata pencaharian masyarakat sekitar bervariasi yaitu petani, pedagang, buruh, pegawai negeri/ABRI, dan lain-lain, seperti yang terlihat pada Tabel 6 berikut:
Tabel 6 Mata pencaharian penduduk di kecamatan sekitar hutan tahun 1998 di wilayah KPH Madiun
Mata pencaharian
(orang)
Kabupaten
Jumlah
Madiun Magetan Ponorogo
Petani 324.041 219.333 108.463 651.463
Pedagang 47.809 93.491 5.912 1.928
Pensiunan 534 45 1.349 1.928
Buruh 37.185 81.779 85.147 204.111
Peg/TNI 58.443 63.772 8.884 131.099
Lain-lain 10.624 52.009 49.043 111.676
Jumlah 478.636 510.429 258.424 1.247.489
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Korelasi antar peubah
[image:38.595.109.511.370.578.2]Besarnya kekuatan hubungan antar peubah dapat dilihat dari nilai koefisien korelasinya (r). Nilai koefisien korelasi memberikan pengertian seberapa saling berhubungannya bila secara positif atau negatif. Nilai koefisien korelasi ini tidak dapat menggambarkan hubungan kausal atau sebab akibat antara nilai dua peubah tersebut. Matrik hubungan korelasi antar peubah bebas C (persentase penutupan tajuk (crown cover)), D (diameter tajuk), dan N (jumlah pohon) yang diukur di lapangan dan hasil pengamatan pada citra dijital resolusi tinggi dengan volume bebas cabang (Vbc) di lapangan. Hubungan keeratan tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Matrik korelasi antara peubah pada lokasi BKPH Dungus
Peubah Vbc-Lap Cc Dc Nc C-Lap D-Lap
Cc 0,784
(0,000**)
Dc 0,585 0,301
(0,000**) (0,066tn)
Nc -0,115 0,097 -0,647
(0,491tn) (0,562tn) (0,000**)
C-Lap 0,500 0,72 -0,169 0,59
(0,001**) (0,000**) (0,310tn) (0,000**)
D-Lap 0,830 0,577 0,813 -0,547 0,114
(0,000**) (0,000**) (0,000**) (0,000**) (0,496tn)
N-Lap -0,303 -0,075 -0,786 0,883 0,494 -0,747
(0,064tn) (0,656tn) (0,000**) (0,000**) (0,002**) (0,000**) Keterangan: Angka yang diatas menunjukkan nilai koefisien korelasi
Angka dalam kurung adalah nilai P-valuenya.
dengan (ρ = 0,000) pada taraf nyata 1%. Nilai korelasi positif dan p-value yang sangat nyata memiliki arti bahwa antara dua peubah apabila terjadi kenaikan satu satuan diameter tajuk maka akan diikuti dengan kenaikan volume pohon sebesar 0,830 satuan dan sebaliknya. Selanjutnya nilai koefisien korelasi antara Vbc-lap dengan N-lap adalah sebesar -0,303 (ρ = 0,064) tidak nyata. Nilai negatif dari koefisien korelasi tersebut memiliki arti bahwa jika jumlah pohonnya banyak maka volume perpohon akan bernilai kecil dan sebaliknya. Hal tersebut disebabkan karena pertumbuhannya yang tidak normal dan juga belum dilakukannya penjarangan pada kelas umur kecil sehingga mengakibatkan hubungannya negatif. Untuk hubungan korelasi antara Vbc-lap dengan C-lap memiliki nilai sebesar 0,500 (ρ = 0,001) sangat nyata. Nilai ini menunjukkan bahwa apabila nilai C-lap meningkat maka akan selalu diikuti oleh nilai Vbc-lap nya.
Hubungan antara peubah citra dengan sediaan tegakan di lapangan yang memiliki korelasi tinggi adalah antara Vbc-lap dengan Cc (persentase penutupan tajuk (crown cover) citra). Nilai koefisien korelasinya sebesar 0,784 (ρ = 0,000) sangat nyata. Demikian pula hubungan antara Vbc-lap dengan Dc (diameter tajuk citra). Nilai korelasinya sebesar 0,585 (ρ = 0,000) sangat nyata. Hal tersebut memiliki arti bahwa apabila terjadi kenaikan satu satuan pada persentase penutupan tajuk (crown cover) dan diameter tajuknya maka diikuti pula kenaikan pada satu satuan volumenya. Lain halnya dengan jumlah pohon yang memiliki nilai korelasi yang negatif. Korelasi antara Vbc-lap dengan Nc (jumlah pohon citra) bernilai sebesar -0,115 (ρ = 0,491) seperti yang sudah dijelaskan pada paragraf sebelumnya.
Tabel 8 Hubungan matrik korelasi antar peubah pada lokasi BKPH Dagangan
Peubah Vbc-Lap Cc Dc Nc C-Lap D-Lap
Cc 0,655
(0,000**)
Dc 0,494 0,222
(0,002**) (0,181tn)
Nc 0,786 0,615 -0,022
(0,000**) (0,000**) (0,895tn)
C-Lap 0,334 0,69 -0,091 0,388
(0,041*) (0,000**) (0,588tn) (0,016*)
D-Lap 0,180 0,125 0,777 -0,317 0,009
(0,280tn) (0,454tn) (0,000**) (0,052*) (0,959tn)
N-Lap 0,773 0,644 0,027 0,942 0,52 -0,295
(0,000**) (0,000**) (0,871tn) (0,000**) (0,001**) (0,073tn)
Keterangan: Angka yang diatas menunjukkan nilai koefisien korelasi Angka dalam kurung adalah nilai P-valuenya.
Nilai-p {** = sangat nyata (α = 0,01); * = nyata (α = 0,05); tn = tidak nyata }
Korelasi tertinggi pada BKPH Dagangan adalah antara Vbc-Lap dengan N-lap dengan nilai korelasi sebesar 0,773 (ρ = 0,000). Ini berarti bahwa semakin besar pohon maka semakin besar pula volumenya. Hubungan terendah adalah antara diameter tajuk lapangan (D-Lap ) dengan Vbc-lap sebesar 0,180 (ρ = 0,280). Hal itu disebabkan pada saat dilakukannya penelitian ini pada saat musim kemarau yang menyebabkan tegakan jati meranggas yang mempengaruhi interpretasi visual di lapangan terganggu dan hasilnya menjadi kecil. Korelasi antara volume lapangan (Vbc-lap) dengan jumlah pohon citra (Nc) memiliki korelasi yang sangat tinggi yaitu sebesar 0,786 (ρ = 0,000) sehingga memiliki hubungan yang positif dan erat. Sedangkan untuk hubungan terendahnya yaitu hubungan antara Vbc-lap dengan Dc (diameter tajuk citra) yaitu sebesar 0,494 (ρ = 0,002) sangat nyata.
4.2 Konsistensi Dimensi Tegakan
Tabel 9 dijelaskan tentang nilai kisaran rata-rata antara peubah berdasarkan data hasil pengamatan pada citra dan lapangan yang dilampirkan pada Lampiran 3 dan 4.
Tabel 9 Kisaran dan rata-rata hasil pengukuran
BKPH Peubah Kisaran
Dungus C (Persentase penutupan tajuk (crown cover)) citra 45% - 87% C (Persentase penutupan tajuk (crown cover)) lapang 29% - 86%
D (Diameter tajuk) citra 3,57 m- 8,5 m
D (Diameter tajuk) lapang 4,48 m – 11,57 m
N (Jumlah pohon) citra 5 - 22
N (Jumlah pohon) lapang 6 - 25
Dagangan C (Persentase penutupan tajuk (crown cover)) citra 62% - 94% C (Persentase penutupan tajuk (crown cover)) lapang 40% - 85%
D (Diameter tajuk) citra 6 m - 10,49 m
D (Diameter tajuk) lapang 7,49 m – 12,21m
N (Jumlah pohon) citra 5 – 17
N (Jumlah pohon) lapang 4 - 17
[image:41.595.106.518.166.422.2]Berdasarkan rata-rata konsistensi tersebut, maka dapat digambarkan pada diagram pencar dari hasil pengamatan di citra dijital non-metrik dengan hasil pengukuran dilapangan (Gambar 15 sampai dengan Gambar 17) untuk BKPH Dungus. Sedangkan data hasil lapangan dan citra dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4.
Gambar 15 Diagram pencar hubungan antara diameter tajuk pada citra dijital non-metrik dan di lapangan BKPH Dungus.
y = 1,203x + 0,416 R² = 66,1% 0 2 4 6 8 10 12 14
0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00
D iam e te r l ap an g (m )
Diameter citra (m)
Gambar 16 Diagram pencar hubungan antara persentase penutupan tajuk (crown cover) pada citra dijital non-metrik dan di lapangan BKPH Dungus.
Gambar 17 Diagram pencar hubungan antara jumlah pohon pada citra dijital non-metrik dan di lapangan BKPH Dungus.
Berdasarkan hasil diagram pencar tersebut diketahui bahwa ada konsistensi yang tinggi antara hasil pengukuran peubah tegakan pada citra dan lapangan. Nilai koefisien determinasi jumlah pohon, diameter tajuk dan persentase penutupan tajuk (crown cover), adalah sebesar 78%; 66,1%; dan 51,8%. Hal ini menunjukkan bahwa pengukuran jumlah pohon memiliki keberagaman yang tinggi.
y = 0,938x - 7,565 R² = 51,8%
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
0 50 100
C l ap an gan (% )
C citra (%)
Persentase penutupan tajuk citra & lapangan (C)
y = 1,079x - 1,148 R² = 78% 0 5 10 15 20 25 30
0 5 10 15 20 25
N
Lap
an
gan
N citra
Diagram pencar pada BKPH Dagangan disajikan pada Gambar 18 sampai dengan Gambar 20.
Gambar 18 Diagram pencar hubungan antara diameter tajuk pada citra dijital non-metrik dan di lapangan BKPH Dagangan.
Gambar 19 Diagram pencar hubungan antara persentase penutupan tajuk (crown cover) pada citra dijital non-metrik dan di lapangan BKPH
Dagangan.
y = 4,537e0,086x
R² = 59,8% 0 2 4 6 8 10 12 14
0 5 10 15
D l ap an gan (m )
D Citra (m)
Diameter tajuk citra & lapangan (D)
y = 16,80e0,015x
R² = 52,7%
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
0 50 100
C La p an ga n (% )
C Citra (%)
Gambar 20 Diagram pencar hubungan antara jumlah pohon pada citra dijital non-metrik dan di lapangan BKPH Dagangan.
Diagram pencar pada BKPH Dagangan yang memiliki koefisien determinasi yang tinggi yaitu antara jumlah pohon adalah sebesar 88,7%. Sedangkan persentase penutupan tajuk (crown cover) memiliki hasil koefisien determinasi yang relatif kecil yaitu 52,7%.
Berdasarkan hasil perbandingan tersebut diketahui bahwa konsistensi yang tinggi yaitu perbandingan antara jumlah pohon citra dan jumlah pohon lapangan untuk di kedua BKPH. Sedangkan konsistensi yang rendah baik di BKPH Dungus maupun di BKPH Dagangan yaitu antara persentase penutupan tajuk citra dengan persentase penutupan tajuk lapangan. Hal tersebut disebabkan oleh pengamatan persen penutupan tajuk yang sangat subyektif, yaitu tergantung kepada keahlian dan ketrampilan interpreter. Sehingga menyebabkan hasil yang berbeda antara interpreter satu dengan yang lain.Salah satu sifat jati yang meranggas pada musim kemarau juga menjadi salah satu penyebab nilai konsistensi antara penutupan tajuk citra dengan lapangan kecil. Sebab adanya perbedaan musim saat pengambilan sampel dengan pemotretan foto udara yang dapat menyebabkan nilai konsistensinya kecil.
4.3 Pemilihan Model Persamaan Regresi Antar Peubah
Dalam pemilihan model yang digunakan pertama yaitu pertimbangan besarnya nilai koefisien determinasi. Koefisien determinasi (R2 ) merupakan suatu ukuran dari besarnya keragaman peubah tidak bebas yang dapat diterangkan oleh
y = 1,007x - 0,100 R² = 88,7% 0
2 4 6 8 10 12 14 16 18
0 5 10 15 20
N
l
ap
an
gan
N citra
keragaman bebasnya. Dimana koefisien ini digunakan untuk mengetahui tingkat ketelitian dan keeratan hubungan antar peubah yang digunakan pada model terpilih. Namun dalam pemilihan model tidak hanya di titik beratkan pada nilai koefisien determinasi yang terbesar. Sebab masih harus dilakukan uji verifikasi model berdasarkan peringkat hasil skor uji verifikasi dari masing-masing nilai Uji-χ2 ,
е
(Bias), SA (Simpangan Agregat), SR (Simpangan Rata-rata) dan RMSE (Root Mean Square Error) untuk dapat menentukan hasil pemilihan model terbaik.Model-model yang memenuhi syarat untuk pendugaan volume tegakan disajikan pada Tabel 10. Berdasarkan hasil analisis korelasi, model-model tersebut memiliki nilai r yang relatif tinggi. Seperti pada lokasi BKPH Dungus nilai r berkisar antara 0,77 sampai 0,89 sedangkan pada BKPH Dagangan kisaran nilai r relatif tinggi yaitu sebesar 0,75 sampai 0,93.
Berdasarkan analisis uji Z, diketahui bahwa peubah bebas pada keseluruhan model yang terbangun memiliki hubungan yang cukup erat terhadap nilai volumenya. Hal tersebut diketahui dari nilai Z-hitung yang lebih kecil dari nilai Z-tabelnya. Demikian pula dengan nilai koefisien determinasinya (R2 ). Baik di BKPH Dungus dan BKPH Dagangan memiliki nilai R2 yang lebih dari 50%. Rata-rata di BKPH Dungus sebesar 57,2% - 79,3% dan di BKPH Dagangan sebesar 56% - 85,7% sehingga model terbangun pada BKPH Dungus dan Dagangan layak untuk digunakan.
Tabel 10 Model penduga volume tegakan
BKPH No Model R2(%) R
2 -adj (%)
F- tabel
F- hit r Z-hitung
α= 0.05 α= 0.01
Dungus 1 Vbc = -93,741+1,107C+5,451D+0,419N 75,4 72,6 2,98 4,64 26,59 0,87 -0,298
2 Vbc = -62,221+1,266C 57,2 55,7 4,20 7,64 37,48 0,76 -0,216
3 Vbc = -36,72+0,008C2
+0,422D2+0,015N2 74,6 69,3 2,98 4,64 80,56 0,86 -0,381
4 Vbc = 90,582-3,033C+0,03C2 60 51,6 4,20 7,64 49,64 0,77 -0,463
5 Vbc = -16,190-2,068C+21,02D-0,004CD+0,022C2
-1,323D2 79,3 75 2,51 3,67 99,96 0,89 -0,195
6 Vbc = 1,735E-5C3,336 59,6 51,1 4,18 7,6 49,10 0,77 -0,339
7 Vbc = 1,499E-5C2,693
D1,159 N0,267 73,7 68,1 2,93 4,54 77,57 0,86 -0,36 8 Vbc = -32,512 + 0,008C2
+ 0,359D2 74 68,5 3,35 5,49 78,58 0,86 -1,08
Dagangan
1 Vbc=10,361+1,169N 56,4 54,8 4,20 7,64 36,18 0,75 -0,24
2 Vbc=-10,164+1,027N+1,752D+0,081C 85,7 84 2,98 4,64 51,78 0,93 -0,15
3 Vbc=6,909N0,507 56 50,9 4,20 7,64 588,88 0,75 -0,22
4 Vbc=0,461 C0,278 D0,744 N0,449 85,5 83,85 2,98 4,64 1800,89 0,93 -0,22
5 Vbc=3,945+0,001C2+0,102D2+0,05N2 85,1 83,4 2,98 4,64 1752,96 0,92 -4,47
6 Vbc=-28,279-0,595C+14,229D+0,045CD+0,003C2-0,989D2 71,5 65,6 2,51 3,67 560,57 0,84 -3,96
Keterangan: Z-tabel = 1,96
4.4 Verifikasi Model
Berdasarkan peringkat hasil skor uji verifikasi dari masing-masing nilai Uji-χ2 ,
е
(Bias), SA (Simpangan Agregat), SR (Simpangan Rata-rata) dan RMSE (Root Mean Square Error) (Tabel 12), maka dapat diketahui bahwa model terbaik untuk menduga sediaan tegakan jati pada lokasi BKPH Dungus yaitu Vbc = 1,499E-5C2,693 D1,159 N0,267 dengan R2 = 73,7% dan skor total sebesar 18,99 sedangkan model terbaik untuk menduga sediaan tegakan jati pada lokasi BKPH Dagangan yaitu Vbc= -10,164+1,027N+1,752D+0,081C dengan R2 = 85,7% dan skor totalnya sebesar 22,79. Hal ini dapat diketahui berdasarkan nilai uji koefisien regresi, nilai koefisien determinasi serta nilai uji verifikasi seperti pada Tabel 10, 11, dan 12.Tabel 11 Uji verifikasi model
BKPH No Model SA SR
e
RMSE t- hit t- tabel χ2-hit
χ2 -tabel (0.05)
Dungus 1 Vbc = -93,741+1,107C+5,451D+0,419N 0,04 51,57 54,71 33,54 0,343 1,895 56 66,34
2 Vbc = -62,221+1,266C 0,01 51,76 66,88 3,53 -0,091 1,895 56 66,34
3 Vbc = -36,72+0,008C2+0,422D2+0,015N2 0,02 37,50 39,82 26,02 0,208 1,895 56 66,34
4 Vbc = 90,582-3,033C+0,03C2 0,12 28,82 64,70 36,55 -1,322 1,895 56 66,34
5 Vbc = -16,190-2,068C+21,02D-0,004CD+0,022C2-1,323D2 0,01 48,17 35,91 21,54 0,111 1,895 56 66,34
6 Vbc = 1,735E-5C3,336 0,05 25,75 48,78 29,52 -0,53 1,895 56 66,34
7 Vbc = 1,499E-5C2,693 D1,159 N0,267 0,05 20,65 30,77 16,29 -0,667 1,895 56 66,34
8 Vbc = -32,512 + 0,008C2 + 0,359D2 0,11 77,00 48,30 28,15 0,986 1,895 56 66,34
Dagangan
1 Vbc= 10,361+1,169N 0,05 13,58 15,76 8,62 0,872 1,895 48 58,12
2 Vbc= -10,164+1,027N+1,752D+0,081C 0,04 7,60 7,44 2,91 1,33 1,895 56 66,34
3 Vbc= 6,909N0,507 0,05 13,74 15,78 8,34 1,028 1,895 48 58,12
4 Vbc= 0,461 C0,278 D0,744 N0,449 0,04 8,54 8,44 3,42 1,367 1,895 56 66,34
5 Vbc= 3,945+0,001C2+0,102D2+0,05N2 0,05 8,61 10,00 4,86 -1,763 1,895 56 66,34
6 Vbc= -28,279-0,595C+14,229D+0,045CD+0,003C2-0,989D2 0,02 9,99 9,93 4,55 0,333 1,895 56 66,34
Tabel 12 Peringkat hasil verifikasi model terbaik
BKPH No Model SA SR
е
RMSE SkorR2 Total Peringkat
Dungus 1 Vbc = -93,741+1,107C+5,451D+0,419N 3,72 2,80 2,35 1,36 1,71 11,94 7
2 Vbc = -62,221+1,266C 4,92 2,79 1,00 5,00 5,00 18,71 2
3 Vbc = -36,72+0,008C2+0,422D2+0,015N2 4,63 3,80 4,00 2,28 1,85 16,56 4
4 Vbc = 90,582-3,033C+0,03C2 1,00 4,42 1,24 1,00 4,49 12,15 6
5 Vbc = -16,190-2,068C+21,02D-0.004CD+0,022C2-1,323D2 5,00 3,05 4,43 2,82 1,00 16,30 5
6 Vbc = 1,735E-5C3,336 3,49 4,64 3,01 1,85 4,57 17,55 3
7 Vbc = 1,499E-5C2,693 D1,159 N0,267 3,52 5,00 5,00 3,45 2,01 18,99 1
8 Vbc = -32,512 + 0,008C2 + 0,359D2 1,18 1,00 3,06 2,02 1,96 9,22 8
Dagangan
1 Vbc= 10,361+1,169N 1,71 1,11 1,00 1,00 1,05 5,87 5
2 Vbc= -10,164+1,027N+1,752D+0,081C 2,79 5,00 5,00 5,00 5,00 22,79 1
3 Vbc= 6,909N0,507 1,00 1,00 0,99 1,19 1,00 5,18 6
4 Vbc= 0,461 C0,278 D0,744 N0,449 2,20 4,39 4,52 4,64 4,97 20,72 2
5 Vbc= 3,945+0,001C2+0,102D2+0,05N2 1,06 4,34 3,77 3,63 4,92 17,72 4
6 Vbc= -28,279-0,595C+14,229D+0,045CD+0,003C2-0,989D2 5,00 3,45 3,80 3,85 3,09 19,19 3
4.5 Pendugaan Biomassa
Setelah mendapatkan volume dari hasil model pendugaan sediaan tegakan kemudian dapat pula menentukan nilai biomassanya. Brown (1997) mendefinisikan biomassa hutan sebagai bobot total materi organisme hidup setiap pohon di atas permukaan tanah yang dinyatakan dalam bobot kering ton per unit area. Biomassa dapat pula didefinisikan sebagai bobot dari material tumbuhan hidup per unit area.
Pada penelitian ini nilai estimasi biomasa dibedakan dalam KU (Kelas Umur) pada kedua BKPH. Pada BKPH Dungus kelas umur yang ada yaitu kelas umur III, VI, VII, dan VIII. Sedangkan pada BKPH Dagangan dibedakan dalam kelas umur IV, V, VI, VII, dan VIII. Pada penelitian ini menggunakan rumus alometrik Brown (1997), Ketterings, Vademecum Kehutanan (1976) dan menggunakan rumus biomassa menggunakan BEF. Berdasarkan Gambar 21 dan perhitungan biomassa pada Lampiran 9 total nilai biomassa pada BKPH Dungus dengan menggunakan BEF (Biomassa Expantion Factor ) memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan pendugaan biomassa Brown, Ketterings, dan Vademecum.
Gambar 21 Grafik total biomassa alometrik Brown, Ketterings, Vademecum, dan BEF pada BKPH Dungus.
Nilai biomassa total terendah yang disajikan pada Tabel 13 pada lokasi BKPH Dungus terdapat pada kelas umur III dengan nilai sebesar 451,17ton/ha
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000
III VI VII VIII
B iom a ss a ( ton /h a)
KU (Kelas Umur)
Brown
Ketterings
Vademecum
untuk persamaan Brown, 452,05 ton/ha untuk persamaan Ketterings, 1.291,35 ton/ha untuk persamaan Vademecum dan 1.483,63 ton/ha untuk persamaan menggunakan BEF. Sedangkan nilai total biomassa tertinggi pada kelas umur VII sebesar 2.988,09 ton/ha untuk persamaan Brown, 4.310,8 ton/ha pada persamaan Ketterings, 5.503,57 ton/ha untuk persamaan Vademecum dan 6.323,03 ton/ha dengan menggunakan BEF.
Tabel 13 Total biomassa di BKPH Dungus
KU ∑ Plot per
KU
Total Biomassa per KU(ton/ha)
Brown Ketterings Vademecum BEF
III 4 451,17 452,05 1291,36 1483,63
VI 7 930,07 1226,77 2201,81 2529,65
VII 16 2988,09 4310,80 5503,57 6323,03
VIII 3 478,03 685,86 1028,31 1181,43
Sedangkan pada lokasi BKPH Dagangan seperti yang disajikan pada Gambar 22, kelas umur V memiliki nilai total biomassa yang rendah untuk keempat persamaan pendugaan biomassa dan pada kelas umur VII memiliki nilai biomassa total tertinggi.
Gambar 22 Grafik total biomassa alometrik Brown, Ketterings, Vademecum, dan BEF pada BKPH Dagangan.
0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000
IV V VI VII VIII
B iom a ss a ( ton /h a )
KU (Kelas Umur)
Brown
Ketterings
Vademecum
Berdasarkan Tabel 14 dan hasil perhitungan total (Lampiran 10) nilai estimasi biomassa terendah terdapat pada kelas umur V yaitu sebesar 633,68 ton/ha untuk persamaan Brown, 750,74 ton/ha untuk persamaan Ketterings, 887,51 ton/ha untuk persamaan Vademecum dan 1.019,65 ton/ha dengan menggunakan BEF.
Tabel 14 Total biomassa di BKPH Dagangan
KU ∑ Plot per
KU
Total Biomassa per KU(ton/ha)
Brown Ketterings Vademecum BEF
IV 4 916,36 1068,12 1384,64 1590,80
V 4 633,68 750,74 887,51 1019,65
VI 4 713,90 1061,60 1043,36 1042,76
VII 14 2134,05 3056,13 3110,50 3573,64
VIII 4 749,21 1069,08 987,82 1134,91
Sedangkan untuk nilai estimasi total tertinggi terdapat pada kelas umur VII yaitu sebesar 2.134,05 ton/ha untuk persamaan Brown, 3.056,13 ton/ha untuk persamaan Ketterings, 3.110,50ton/ha untuk persamaan Vademecum dan 3.573,64 ton/ha dengan menggunakan formula BEF.
Perhitungan biomassa dengan menggunakan BEF menghasilkan nilai biomassa yang lebih tinggi baik di lokasi BKPH Dungus dan BKPH Dagangan sedangakan menggunakan alometrik Brown cenderung underestimate sehingga lebih tepat menggunakan persamaan Ketterings dan Vedemecum. Pada alometrik Ketterings peubah yang digunakan yaitu diameter untuk mencari estimasi biomassanya. Sedangkan pada persamaan Vedemecum peubah yang digunakan adalah volume. Volume tersebut didapatkan dari hasil pemilihan persamaan model terbaik yang memiliki unsur peubah C-c(persentase penutupan tajuk citra), D-c (diameter tajuk citra), N-c (jumlah pohon citra), sehingga dapat dihubungkan bahwa dengan menggunakan pemanfaatan citra dijital non-metrik dapat pula diduga nilai estimasi biomassanya.
tegakan jati secara destruktif di daerah Panama. Oleh sebab itu nilai estimasi biomassanya sangat overestimate sebab nilai BEF tersebut tidak mewakili kondisi tegakan di KPH Madiun baik di BKPH Dungus ataupun di BKPH Dagangan. Sehingga sebaiknya pendugaan biomassa menggunakan BEF tidak digunakan pada lokasi ini.
Berdasarkan Gambar 21 dan Gambar 22 dapat dilihat bahwa baik pada BKPH Dungus dan BKPH Dagangan memiliki nilai estimasi tertinggi pada kelas umur VII. Hal tersebut disebabkan pada kelas umur tersebut yang hampir mendominasi pada KPH Madiun khususnya pada BKPH Dungus dan BKPH Dagangan. Pada kelas umur VIII nilai estimasi biomassanya selalu menurun sebab jumlah pohonnya sedikit. Hal tersebut disebabkan salah satunya oleh pencurian kayu yang terjadi di daerah tersebut. Menurut (Lugo dan Snedaker 1974 dalam Kusmana 1993) besarnya biomassa tegakan hutan dipengaruhi oleh umur tegakan
hutan, sejarah perkembangan vegetasi, komposisi dan struktur tegakan serta faktor iklim seperti curah hujan dan suhu merupakan faktor yang mempengaruhi laju peningkatan biomassa pohon.
4.6 Penyusunan Tabel Volume
Tabel 15 Tabel Volume (m3 /ha) BKPH Dungus
C
(%) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
50 10,79 23,45 36,11 48,77 61,43 74,09 86,75 99,41 112,07 124,73
60 137,39 150,05 162,71 175,37 188,03 200,69 213,35 226,01 238,67 251,33
70 263,99 276,65 289,31 301,97 314,63 327,29 339,95 352,61 365,27 377,93
80 390,59 403,25 415,91 428,57 441,23 453,89 466,55 479,21 491,87 504,53
90 517,19 529,85 542,51 555,17 567,83 580,49 593,15 605,81 618,47 631,13
Keterangan: SA = 0,01 e = 66,88
SR = 51,76 RMSE = 3,53
Tabel 16 Tabel Volume (m3 /ha) BKPH Dagangan
N 1 2 3 4 5 6 7 8 9
0 22,05 33,74 45,43 57,12 68,81 80,50 92,19 103,88 115,57
10 138,95 150,64 162,33 174,02 185,71 197,40 209,09 220,78 232,47
20 255,85 267,54 279,23 290,92 302,61 314,30 325,99 337,68 349,37
Keterangan: SA = 0,05 e = 15,76
SR = 13,58 RMSE = 8,62
4.7 Monogram
Monogram merupakan hasil interpretasi dan model penduga pada citra yang disajikan dalam bentuk gambar. Profil tajuk pada hutan tanaman jati ini dapat dilihat penampakannya dengan suatu bahasa pemrograman yang disebut dengan script avenue. Dari script ini dapat dilihat profil pohon dan profil tajuk pada hutan tersebut dengan cepat dan efisien sehingga tidak memerlukan banyak waktu.
Gambar 23 Monogram dan profil pohon plot 241 KU III BKPH Dungus.
Gambar 25 Monogram dan profil pohon plot 215 KU VII BKPH Dungus.
Sedangkan pada lokasi BKPH Dagangan, yang disajikan pada Gambar 27 sampai dengan Gambar 31 hasil pengukuran persentase penutupan tajuk (crown cover) pada KU IV, V dan VII termasuk dalam kategori kelas sedang dengan kisaran 73% - 84%. Pada KU VI dan VIII masing-masing memiliki kelas persentase penutupan tajuk besar dengan rata-rata 84% - 95%. Nilai kisaran untuk diameter tajuk, pada KU IV termasuk dalam kelas diameter tajuk kecil dengan kisaran 6m – 7,5 m. KU VI dan KU VIII termasuk dalam diameter tajuk besar (9m – 10,5m) sedangkan KU V dan VII termasuk dalam kelas diameter tajuk sedang dengan nilai kisaran 7,5 m – 9 m. Berbeda dengan jumlah pohon. Pada jumlah pohon, KU IV dan VIII termasuk dalam jumlah pohon kecil dengan nilai kisaran sebesar 5 – 9 sedangkan pada untuk KU VI, V dan VII termasuk dalam jumlah pohon sedang dengan kisaran 10 – 13 pohon.
Gambar 28 Monogram dan profil pohon plot 18 KU V BKPH Dagangan.
[image:58.595.115.511.75.367.2]Gambar 30 Monogram dan profil pohon plot 194 KU VII BKPH Dagangan.
BAB V
KESIMPULAN
5.1 KesimpulanDari hasil dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1) Pada BKPH Dungus model pendugaan sediaan tegakan terbaik adalah Vbc = 1,499E-5C2,693 D1,159 N0,267 dengan R2 = 73,7%
2) Pada BKPH Dagangan model pendugaan sediaan tegakan terbaik adalah Vbc= -10,164+1,027N+1,752D+0,081C dengan R2 = 85,7%
3) Hasil verifikasi model menunjukkan bahwa volume tegakan yang diduga melalui citra dijital non metrik resolusi tinggi cukup akurat, baik pada BKPH Dungus ataupun pada BKPH Dagangan.
4) Kerapatan tajuk, diameter tajuk dan jumlah pohon dapat digunakan sebagai indikator untuk menentukan sediaan tegakan.
5) Hasil estimasi biomassa menggunakan persamaan Brown bernilai lebih rendah (underestimate), sedangkan menggunakan nilai BEF terlalu tinggi atau overestimate.
5.2 Saran
1) Perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut dengan menggunakan citra resolusi tinggi yang lain dengan studi kasus yang sama untuk menghasilkan pendugaan tegakan yang lebih akurat.
MENGGUNAKAN CITRA DIJITAL NON-METRIK
RESOLUSI TINGGI
ERI SEPTYAWARDANI
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKU