BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kegiatan inventarisasi sumberdaya hutan merupakan salah satu kegiatan yang sangat penting dalam perencanaan hutan. Inventarisasi hutan diperlukan untuk mengetahui kekayaan yang terkandung di dalam suatu hutan pada saat tertentu. Umumnya, inventarisasi hutan dapat dilakukan dengan beberapa metode pengukuran, yaitu: pengukuran secara terestris (ground survey), pengukuran menggunakan teknologi penginderaan jauh (remote sensing), dan pengukuran dengan menggabungkan kedua metode tersebut (Simon 1993).
Pendugaan potensi tegakan secara terestris biasanya lebih akurat, walaupun dalam proses pengumpulan datanya membutuhkan waktu yang lama serta biaya dan tenaga yang besar (Husch 1987). Pada luasan yang cukup besar, metode terestris ini cenderung mempunyai kesalahan yang disebabkan oleh kesalahan manusia (non-sampling error). Berbeda dengan metode terestris, metode penginderaan jauh dapat dilakukan dalam waktu yang cepat dengan cakupan yang luas, juga informasi yang didapat relatif lebih lengkap. Metode ini memiliki keterbatasan yang bersumber dari citra, karena itu pada umumnya citra memerlukan koreksi sebelum dilakukan pengolahan baik koreksi geometrik maupun koreksi radiometrik. Keterbatasan lain dalam metode penginderaan jauh adalah kesalahan yang terjadi dalam penafsiran citra oleh manusia (Anwar 2008).
Penggabungan antara metode terestris dan penginderaan jauh merupakan solusi dari kelebihan dan kekurangan dari kedua metode tersebut. Pengukuran parameter pohon atau tegakan dapat dilakukan di atas potret udara, sedangkan pengukuran terestris hanya diperlukan untuk mengecek hasil pengukuran di atas potret (Simon 1993).
pemilihan contoh pada potretnya sendiri maupun pada lapangan. Selain itu, penggunaan potret udara juga dapat mempermudah dalam penetapan lokasi petak ukur di lapangan dan membantu dalam penyiapan informasi awal tentang kondisi lapangan yang akan di survey secara terestris. Pengukuran pada citra dijital diyakini dapat dilaksanakan dengan cepat, tetapi pengukuran dengan cara ini memiliki faktor ketelitian yang lebih rendah dibandingkan dengan pegukuran di lapangan. Untuk mengatasi rendahnya ketelitian, maka faktor konsistensi dalam pengukuran dan penafsiran citra harus diterapkan.
Teknik double sampling ini dikembangkan untuk memaksimalkan kelebihan dan meminimalkan kekurangan dari kedua metode, untuk mendapatkan hasil yang relatif teliti dan biaya yang relatif murah dengan jangka waktu pengerjaan yang reatif cepat. Penggunaan teknik ini terbukti sangat efisien apabila biaya pengukuran peubah bebas pada fase pertama jauh lebih murah dengan waktu yang lebih cepat pula bila dibandingkan dengan fase ke-dua. Menurut Simon (1993), metode sampling bertingkat ini akan memberi keuntungan yang lebih tinggi bila dalam inventarisasi digunakan potret udara.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa teknik ini efisien jika digunakan untuk kegiatan inventarisasi (Howard 1996). Penggunaan metode double sampling dalam rangka inventarisasi hutan digunakan pada penelitian yang dilakukan di KPH Randublatung Jaya dan Cahyono (2001) mengungkapkan bahwa teknik pengambilan contoh ganda menggunakan Potret Udara Format Kecil mampu memberikan efisiensi relatif sebesar 296,7%, sedangkan apabila menggunakan Potret udara Konvensional memberikan efisiensi relatif sebesar 225,7%. Anwar (2008) menyatakan bahwa teknik double sampling menggunakan citra SPOT 5 di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat memberikan efisiensi relatif sebesar 234,79% dengan kesalahan pengambilan contoh sebesar 10,81%.
double sampling berstratifikasi sebesar 282,32% dengan nilai sampling error (SE) sebesar 6,93%, sedangkan teknik double sampling tanpa stratifikasi sebesar 174,14% dengan nilai SE sebesar 11,25%. Yamin (1996) mengemukakan bahwa penggunaan teknik double sampling berstratifikasi memiliki efisiensi sebesar 4.207,6% dengan SE sebesar 11,23%, sedangkan penggunaan teknik double sampling tanpa stratifikasi sebesar 198,9% dengan SE sebesar 3,33%.
Dari penelitian yang telah dilakukan, penelitian ini merupakan penelitian pertama yang meggunakan citra dijital non-metrik resolusi tinggi. Dilakukannya penelitian ini adalah untuk melihat aplikasi dari citra dijital non-metrik resolusi tinggi dalam inventarisasi hutan, menganalisis efisiensi teknik double sampling-nya, juga melihat seberapa besar akurasi penggunaan citra tersebut.
1.2 Kerangka Pemikiran
Gambar 1 Diagram alir kerangka pikir. Inventarisasi Hutan
Terestris - Akurat - Mahal
- Tenaga kerja dan biaya yang tinggi
Penginderaan Jarak Jauh -Murah
-Tenaga kerja dan biaya yang rendah
-Kurang akurat
Kombinasi Terestris dan Penginderaan
Jarak Jauh
Multi Phase Sampling (Double Sampling)
Data Penginderaan Jarak Jauh
Efisien dan Akurat Data
Terestris
Potret Udara -Relatif Mahal -3 Dimensi
-Analog Analisis/ Dijital Citra Satelit - Relatif Murah - Dijital
- Relatif Akurat
Citra Dijital Airbone Pesawat Tak Berwak
Non-metrik - Murah
- Teliti - Dijital - Akurat Citra Analog
Multi Stage Sampling
Inventarisasi hutan dapat dilakukan dengan beberapa metode, antara lain: metode terestris, penginderaan jarak jauh, dan kombinasi antara keduanya. Metode kombinasi antara terestris dan penginderaan jarak jauh dapat dilakukan untuk mengoptimalkan kedua metode, salah satunya dengan double sampling.
Dalam metode double sampling, data terestris dikombinasikan dengan data penginderaan jauh berupa potret udara, citra satelit analisis atau dijital, dan citra dijital non-metrik resolusi tinggi. Pada Gambar 1 dapat dilihat perbedaan yang mendasar antara potret udara, citra satelit, dan citra dijital non-metrik. Dengan pertimbangan tersebut, maka pada penelitian ini citra dijital non-metrik resolusi tinggi digunakan untuk mendapatkan data yang murah, teliti, dan akurat.
Dalam penelitian ini, teknik double sampling digunakan untuk mengetahui seberapa besar akurasi serta efisiensi relatif citra dijital non-metrik resolusi tinggi. Diagram alir kerangka pikir penelitian ini disajikan pada Gambar 1.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi aplikasi teknik double sampling menggunakan citra dijital non-metrik resolusi tinggi guna menduga sediaan tegakan jati.
1.4 Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang terdahulu, maka masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah penggunaan citra dijital non-metrik dengan teknik double sampling dapat meningkatkan nilai efisiensi relatif.
1.5 Manfaat Penelitian
BAB II
METODOLOGI PENELITIAN
2.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Gambar 2 Peta kawasan hutan KPH Madiun Perum perhutani Unit II Jatim.
2.2 Alat dan Data Penelitian
2.2.1 Alat yang digunakan di lapangan
Alat yang digunakan selama di lapangan adalah sebagai berikut: 1. Peta desain sampling
2. Global Positioning System (GPS) 3. Kompas
4. Kamera dijital dan kamera SLR dengan lensa fish eye 5. Haga hypsometer
6. Suunto clinometers 7. Meteran
8. Tali tambang.
2.2.2 Software dan Hardware untuk Pengolahan Data
Penelitian ini menggunakan hardware komputer yang dilengkapi dengan seperangkat periferalnya. Software yang digunakan adalah MS Excel dengan fungsi analysis data, SPSS, Erdas Imagine, Hemiview, dan ArcView dengan sistem pendukung ekstensi image analysis, geoprocessing, graticules and measured grid, projection utility wizard, xtools, dan ekstensi IHMB-Jaya versi 6.
2.2.3 Data Penelitian 1. Data Utama
a. Citra Dijital Non-metrik
Citra yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra dijital non-metrik resolusi tinggi KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa Timur yang direkam menggunakan pesawat tak berawak (Unmaned aircraft). Perekaman citra dilakukan pada bulan April 2011. Citra ini memiliki resolusi tinggi sampai dengan 20 cm.
b. Data Hasil Pengukuran Lapangan dan Hasil Interpretasi
2. Data Pendukung
Gambar 4 Peta citra dijital non-metrik BKPH Dungus.
Gambar 5 Peta jaringan jalan.
2.3 Metode Penelitian 2.3.1 Persiapan 1. Koreksi Geometrik
Tahapan persiapan penelitian ini diawali dengan koreksi geometrik atau rektifikasi. Koreksi geometrik adalah suatu proses memproyeksikan data pada suatu bidang, sehingga mempunyai proyeksi yang sama dengan proyeksi peta. Koreksi ini dilakukan untuk memudahkan pengecekan objek citra di lapangan, memudahkan penggabungan citra dengan sumber data lain agar tidak mengalami distorsi luas atau memungkinkan dilakukan perbandingan piksel demi piksel (Jaya 2002).
Rektifikasi dilakukan dengan proses resampling yang merupakan suatu proses transformasi citra dengan memberikan nilai piksel terkoreksi. Pelaksanaan resampling dilakukan dengan proses transformasi dari suatu sistem koordinat ke sistem koordinat lain, sedangkan metode yang digunakan adalah Nearest Neighbour. Tahapan melakukan rektifikasi adalah sebagai berikut:
a. Memilih titik kontrol lapangan (Ground control point). GCP tersebut sedapat mungkin adalah titik-titik atau obyek yang tidak mudah berubah dalam jangka waktu lama. GCP harus tersebar merata pada citra yang akan dikoreksi. Pemilihan GCP dilakukan secara visual pada lokasi yang dirasa cukup jelas dan mudah dijangkau. GCP yang digunakan pada lokasi BKPH Dagangan adalah sebanyak 10 GCP dan pada lokasi Dungus sebanyak 7 GCP. GCP dibuat untuk mempermudah menemukan titik plot pada lokasi penelitian dan untuk memperoleh akurasi geometri ketika foto udara telah dibuat atau sedang digunakan dalam penyiapan peta. Jumlah minimum GCP yang ditentukan di lapangan tergantung pada beberapa faktor termasuk tujuan survey, luasan wilayah yang diliput, serta kondisi medan.
Orde I disebut juga Affine transformation (diperlukan minimal 3 GCP):
………(1) ... (2) Keterangan :
p' dan l' = posisi piksel pada citra yang belum terkoreksi X dan Y = posisi koordinat peta (geodetik)
, = koefisien elevasi , = koefisien regresi
c. Menghitung kesalahan RMSE (root mean squared error) dari GCP yang terpilih. Nilai RMSE tidak boleh lebih dari 0,5 piksel. Kesalahan rata-rata dari rektifikasi ini dihitung dengan rumus 3.
………..(3)
2. Pemilihan Titik Lokasi Pengamatan
Lokasi sebaran titik pengamatan lapangan ditentukan melalui metode Simple Random Sampling yang diawali dengan penggunaan Ekstensi IHMB-Jaya Versi 6 pada ArcView. Langkah pertama dilakukan pembuatan grid menggunakan tools IHMB membuat grid, selanjutnya dibuat titik batas wilayah seperti yang dapat dilihat pada gambar 5. Pada pembuatan grid diperlukan beberapa informasi yang harus ditentukan, sebagai berikut :
a. Bilangan acak yang digunakan adalah 56 untuk (x) dan 65 untuk (y). b. Jarak antar plot untuk pembuatan grid adalah selebar 75 m × 75 m.
Gambar 7 Plot hasil pembuatan grid BKPH Dagangan.
Gambar 8 Plot hasil pembuatan grid BKPH Dungus.
Pada kedua lokasi penelitian dilakukan pemilihan 76 plot contoh untuk tahapan perama (n) dari titik-titik yang telah didapat dari proses tersebut. Pemilihan plot ini bertujuan untuk memperoleh data pada citra dan juga memudahkan pemilihan plot contoh yang diteliti di lapangan. Plot contoh yang digunakan berbentuk lingkaran dengan luasan sesuai dengan KU (Kelas umur). a. KU I – II dilakukan pengukuran dengan plot lingkaran seluas 0,02 ha
b. KU III – IV dilakukan pengukuran dengan plot lingkaran seluas 0,04 ha c. KU V – Up dilakukan pengukuran dengan plot lingkaran seluas 0,1 ha.
Pemilihan plot contoh tahapan ke-dua (m) dalam penelitian ini dilakukan dengan memilih setengah dari jumlah plot contoh pada tahapan pertama, dengan kata lain dipilih m sebanyak 38 plot contoh. Seperti pemilihan plot contoh tahap pertaman (n), pemilihan pada tahap ke-dua ini dilakukan secara acak menyebar menurut bonita dan umur tegakan plot contoh tahapan pertama. Plot contoh ini selanjutnya menjadi plot yang dilakukan survey lapangan. Pemilihan sampel yang relatif kecil memberikan hasil sampling yang baik pada double sampling. Menurut Sutarahardja (1999), pengukuran parameter pada potret dapat dilakukan sebanyak mungkin dan diusahakan agar konsisten untuk mengurangi kesalahan dalam penaksiran. Sedangkan pengukuran di lapangan cukup beberapa plot contoh saja, asalkan mewakili seluruh kondisi tegakan.
Gambar 10 Peta sebaran plot contoh BKPH Dungus.
3. Pembuatan Peta DesainSampling
Peta desain sampling dibuat sebagai alat bantu pengamatan di lapangan. Peta desain sampling dibuat melalui proses layout dari overlay antara citra, lokasi penelitian, dan peta jaringan jalan yang dibuat pada tahapan sebelumnya. Semua informasi yang telah diperoleh pada tahapan sebelumnya seperti sebaran plot contoh yang diteliti di lapangan (m), GCP dan titik ikat digunakan dalam pembuatan peta desain sampling ini. Peta desain sampling kemudian dicetak pada kertas A3 dengan skala 1: 6500.
2.3.2 Pengambilan Data Lapangan
Plot contoh yang diteliti di lapangan (m) adalah sejumlah 38 plot yang telah ditentukan pada tahap persiapan. Data yang diambil di lapangan, sebagai berikut: 1. Nomor plot
2. Keliling pohon setinggi dada 3. Keliling pohon setinggi 0,5 meter 4. Tinggi total pohon
5. Tinggi bebas cabang (tbc). 6. Diameter tajuk
7. Jarak dan sudut azimuth setiap pohon dari titik pusat plot 8. Koordinat plot contoh
9. Koordinat pohon
2.3.3 Pengolahan Data 1. Interpretasi Citra
Menurut Jaya (2006), klasifikasi diartikan sebagai suatu proses mengelompokkan piksel ke dalam kelas-kelas atau kategori-kategori yang telah ditentukan berdasarkan nilai kecerahan piksel yang bersangkutan. Klasifikasi dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pada penelitian ini yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Klasifikasi pendekatan kualitatif merupakan suatu kegiatan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi objek-objek permukaan bumi yang tampak pada citra, baik potret udara maupun citra satelit dengan cara mengenalinya atas dasar karakteristik spasial, spektral, dan temporal. Interpretasi merupakan suatu tindakan untuk mengidentifikasi gambar di atas foto sesuai dengan tujuan menguji dan mengecek kebenarannya (Simon 1993). Interpretasi dapat digunakan dalam bermacam hal, Wolf (1993) menyatakan bahwa interpretasi foto dapat membantu dalam pemetaan spesies pohon, penentuan umur, kerapatan dan ukuran pohon, dan juga pemecahan masalah lain yang berkaitan dengan kehutanan seperti evaluasi kerusakan oleh kebakaran hutan, hama, dan penyakit.
Tahapan penentuan kerapatan tajuk dalam penelitian ini dilakukan dengan on screen digitations untuk membedakan luasan bertajuk dan non-tajuk pada tiap plot yang telah diambil. Setelah luasan wilayah bertajuk didapat, kemudian luasan tersebut dibagi dengan luas plot contoh dan dikalikan 100%.
!"!# $% ! &'
( ) )* )#
+
100% ... (4)Gambar 11 Cara melakukan on screen digitations untuk menghitung kerapatan tajuk.
Diameter tajuk didapatkan dengan mengukur citra secara langsung menggunakan tools measure pada Arcview yang kemudian diambil rata-rata diameter tajuk setiap plot. Penentuan diameter tajuk diperlukan ketelitian yang tinggi dalam membedakan tajuk yang berada dalam suatu plot. Menurut Spurr (1960), kesalahan terbesar terjadi dalam pengukuran diameter tajuk pohon pada potret udara apabila tajuk pohon terlihat kecil-kecil dan berkelompok, sehingga sukar ditentukan batas antara tajuk yang satu dengan lainnya.
Gambar 12 Cara perhitungan diameter tajuk. Arah pengukuran
diameter tajuk
Seperti pengukuran kerapatan dan diameter tajuk, maka perhitungan jumlah pohon citra dalam setiap plot juga dilakukan secara visual dengan menghitung langsung jumlah pohon yang ada di citra. Gambar 12 menunjukkan bahwa jumlah pohon pada plot tersebut adalah 9 pohon.
Gambar 13 Cara menghitung jumlah pohon.
2. Pengolahan Data Lapangan
Setelah data lapangan diperoleh, maka dilakukan pemetaan data ke dalam citra menggunakan software Arcview. Data yang dipetakan antara lain koordinat plot contoh, koordinat pohon, dan diameter tajuk. Sebelum dilakukan pemetaan data mengunakan Arcview, dilakukan pengunduhan dari GPS menggunakan komputer untuk memperoleh semua data yang telah didapatkan di lapangan. Dari pemetaan data koordinat pohon, didapatkan jumlah pohon di lapangan (Nlap) pada setiap plotnya.
Diameter tajuk lapangan (Dlap) yang diperoleh, digunakan untuk menghitung kerapatan tajuk citra di lapangan (Clap). Nilai diameter digunakan untuk membuat buffer tajuk pohon yang bertitik pusat pada koordinat pohon. Setelah buffer terbentuk dan didapatkan luasannya, kemudian luasan tersebut dibagi dengan luas plot contoh dan dikalikan 100%.
Nilai sediaan tegakan lapangan didapat dengan sebelumnya dilakukan perhitungan sediaan tiap pohon menggunakan rumus 5. Setelah nilai sediaan setiap pohon didapat, kemudian dilakukan penjumlahan sediaan pohon yang berada pada plot yang sama dengan menggunakan perhitungan rumus 6. Nilai
sediaan yang didapatkan ini merupakan sediaan tegakan lapangan pada tiap plot contoh.
tbc × dbh × × 4 1 =
Vbci π 2 ... (5)
=
=
n
i i plot
Vbc
Vbc
1
Keterangan :
Vbci = Volume tiap pohon (m3)
Vbcplot = Volume pohon tiap plot(m3/plot)
Dbh = Diameter pohon bebas cabang (m) Tbc = Tinggi pohon bebas cabang (m) n = Jumlah pohon setiap plot
3. Koefisien Determinasi (R2) antar Peubah
Data yang didapat dari survey lapangan yang baik paling tidak hampir mendekati nilai dari data hasil interpretasi citra dan keduanya memliliki selisih yang konsisten. Untuk itu perlu dilakukan perhitungan koefisien determinasi (R2) untuk mengetahui konsistensi antar peubah. Koefisien determinasi dilakukan untuk mengetahui seberapa besar suatu peubah dapat menjelaskan peubah lainnya (Walpole 1982). Semakin tinggi nilai R2, menunjukkan bahwa semakin tinggi kemampuan suatu peubah dalam menjelaskan peubah lainnya, dan juga sebaliknya. Koefisien determinasi dapat diperoleh melalui pembuatan scatter plot. Perhitungan koefisien determinasi dilakukan antara Nctr dengan Nlap, Dctr dengan Dlap, dan juga Cctr dengan Clap. Selain peubah-peubah tersebut, dilakukan juga perhitungan R2 antara peubah Vbc dengan Nctr, Vbc dengan Dctr, dan Vbc dengan Cctr untuk melihat seberapa besar peubah citra dapat menjelaskan nilai Vbc yang diperoleh pada tahapan sebelumnya.
4. Pendugaan model
Model yang didapat dari pengambilan dan pengolahan data yang dilakukan bersama Eri Septyawardani dan Sri Wahyuni terdapat pada Tabel 1.
Tabel 1 Model dengan peubah N, D, dan C
No. Model R2(%)
1 BKPH Dagangan
Vbc= -10,164+1,027Nctr+1,752Dctr+0,081Cctr 85,70 2 BKPH Dungus
Vbc= 1,499E-5Cctr2,693 Dctr1,159 Nctr0,267 73,70 Dari kedua model tersebut dapat diketahui bahwa peubah bebas yang dicari untuk melakukan perhitungan teknik double sampling pada lokasi KPH Madiun adalah peubah bebas C (kerapatan tajuk), D (diameter tajuk), dan N (jumlah pohon). Selain menggunakan model dengan peubah N, D, dan C, pada penelitian ini juga menggunakan model dengan satu peubah sebagai pembanding.
Tabel 2 Model dengan satu peubah
No. Model R2(%)
1 BKPH Dagangan
Vbc=10,361+1,169Nctr 56,40
2 BKPH Dungus
Vbc= -62,221+1,266Cctr 57,20
Diperlukan satu peubah untuk menduga sediaan tegakan dengan menggunakan model ini, yaitu: N (jumlah pohon) untuk lokasi BKPH Dagangan dan C (kerapatan tajuk) untuk lokasi BKPH Dungus.
5. Perhitungan Double Sampling
Hasil iterpretasi citra dan hasil pengukuran di lapangan selanjutnya digunakan untuk menduga nilai estimasi sediaan tegakan menggunakan teknik double sampling (Paine 1981) :
)
(
ˆ
m n mdslr
Y
b
X
X
Y
=
+
−
Keterangan : dslr
Yˆ = Volume estimasi menggunakan teknik double sampling with linear regression (dslr)
m
Y = Rata-rata volume tegakan hasil pengukuran dari m plot di lapangan pada fase ke-dua
n
X = Rata-rata volume tegakan hasil estimasi melalui potret udara dari n plot
pada fase pertama
m
X = Rata-rata volume tegakan hasil estimasi melalui potret udara dari m plot
pada fase ke-dua
b
= Slope dari regresi.Koefisien regresi dari persamaan yang didapat dihitung menggunakan metode kuadrat terkecil (least squared method). Ragam dari pengambilan contoh ganda (S2ydslr) ini dihitung dengan rumus sebagaimana disarankan oleh DeVries (1986) dalam Shiver and Borders (1996) :
−
−
−
=
2 2 21
1
r
n
m
n
m
y
S
y
S
dslr m2 / 1 2 1 1 2 2 / 1 2 1 1 2
1 1 1
− − − = = = = = = = = m i m i i i m i m i i i m i m i m i i i i m y y m x x m yi x y x r Keterangan: dslr y
S2 = Penduga ragam bagi nilai tengah populasi m
y
S2 = Penduga ragam bagi nilai tengah contoh
m = Jumlah plot di lapangan (fase 2)
n = Jumlah plot di citra (fase 1)
r = Koefisien korelasi
x = Nilai dugaan volume pada citra
y = Nilai volume dari lapangan.
a. Selang kepercayaan (1- )×100% bagi nilai tengah (rata-rata) populasi (ydslr) Berdasarkan nilai dugaan rata-rata populasi dan ragamnya dapat dibuat penduga selang bagi nilai tengah populasi dengan rumus 11.
)
( , ) 2
2
( dbf dslr
dslr t S y
y ± α ×
b. Penduga total populasi (
Y
ˆ
dslr)Nilai dugaan bagi total populasi dapat dihitung berdasarkan nilai dugaan rata-rata populasi dan luas wilayah (N) dengan rumus 12.
dslr
dslr
N
y
Y
ˆ
=
×
c. Penduga ragam bagi total populasi (S2Yˆdslr)
Nilai dugaan bagi ragam total populasi dapat dihitung dengan rumus 13.
dslr y dslr
Y
N
S
S
2 ˆ=
2×
2………...(10)
………..…...(11)
………..……….…....(12)
d. Selang kepercayaan (1- )×100% bagi total populasi
Berdasarkan nilai dugaan bagi populasi, nilai t-student (t( /2.dbf)) dan ragamnya,dapat dibuat penduga selang bagi total populasi dengan rumus 14.
dslr m
dslr
t
Sy
Y
ˆ
±
(α ; )e. Kesalahan penarikan contoh (SE)
Untuk mengetahui ketelitian pendugaan parameter populasi dengan metode penduga regresi untuk double sampling, dapat dihitung besarnya sampling error
berdasarkan nilai dugaan bagi populasi, nilai t-student (t( /2.dbf)) dan ragamnya dengan rumus 15.
%
100
ˆ
) ; (x
Y
Sy
t
SE
dslr dslr m α=
Koefisien Variasi (CV)Koefisien variasi adalah perbandingan antara simpangan standar dengan nilai rata-rata yang dinyatakan dengan persentase. Koefisien variasi berguna untuk melihat sebaran data dari rata-rata hitungnya.
% 100 ˆ × = dslr dslr Y Sy CV
f. Alokasi optimum dan efisiensi relatif
Alokasi optimum digunakan untuk menentukan jumlah plot contoh yang optimum yang akan diamati di citra dan di lapangan. Untuk melakukan optimalisasi dapat dilakukan salah satunya dengan metode Multiplier Langrange
(Paine 1981).
( )
(
)
[
+]
= p f f s f C R C E C nn ...(17)
( )
R nnp = f
………..……….…....(14)
………..………...(15)
………..………...(16)
Dimana :
(
)
2% 2 2 ) ( ) ( DSE t CV ns =
(
)
2 2 1 / + − = r C C r C C E p f p f dan − = f p C C r r R 2 2 1 1 . Keterangan :nf = Alokasi plot optimum di lapangan
np = Alokasi plot optimum di citra
ns = Jumlah plot yang harus dibuat jika pengamatan hanya di lapangan
Cp = Biaya pengamatan di citra
Cf = Biaya pengamatan di lapangan
R = Rasio optimum antara jumlah plot di citra dengan di lapangan
E = Efisiensi
CV = Koefisien variasi
DSE% = Kesalahan sampling yang diharapkan.
Biaya yang dikeluarkan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis, yaitu:
biaya pengamatan di citra dan biaya pengamatan di lapangan. Biaya pengamatan
di citra adalah semua biaya yang dikeluarkan mulai dari pembelian citra,
pengolahan atau interpretasi citra, sampai dengan biaya-biaya lain termasuk biaya
cetak citra menjadi peta. Sedangkan biaya pengamatan di lapangan meliputi biaya
transportasi, pemberian upah pekerja, dan lain sebagainya. Biaya yang
dikeluarkan untuk pengamatan di lapangan harus lebih tinggi daripada biaya
pengamatan di citra untuk mencapai nilai efisiensi teknik double sampling yang
tinggi.
………..………...(19)
………..……….(20)
Tabel 3 Perhitungan upah pekerja
Lokasi Jumlah Pekerja Jml hari kerja Upah satuan Upah
(orang) (hari) (Rp/orang/hari) (Rp)
BKPH
Dagangan 6 4 40.000 960.000
BKPH
Dungus 6 4 40.000 960.000
Tabel 4 Perhitungan biaya lapangan
Lokasi Pengeluaran Biaya (Rp.)
BKPH
Dagangan Upah pekerja 960000
Transportasi Bogor - Madiun 420000
total 1380000
BKPH
Dungus Upah pekerja 960000
Transportasi Madiun - Bogor 420000
total 1380000
Biaya lapangan per hektar
(
)
(
38 0,1)
.363.157000 . 380 . 1 . plot
luasan plot
jumlah
Upah
Rp Rp
= ×
= ×
Pada Tabel 4 dapat diketetahui bahwa biaya yang dikeluarkan untuk survey
lapangan antara lokasi BKPH Dagangan dan BKPH Dungus adalah sama, sebesar
Rp. 1.380.000 untuk tiap lokasinya. Hal ini dikarenakan adanya kesamaan jumlah
pekerja, hari kerja, dan upah pekerja pada setiap lokasi seperti yang dapat dilihat
pada Tabel 3. Setelah dilakukan perhitungan lebih lanjut, didapat biaya lapangan
Tabel 5 Perhitungan biaya citra
Lokasi Pengeluaran Harga Satuan Banyak Biaya
(Rp) (Rp)
BKPH
Dagangan Pembelian citra 20.000/ha 172,3 ha 3.446.200
Cetak peta ukuran A3 5.000/peta 3 15.000
Cetak peta ukuran A0 10.000/peta 1 10.000
Interpretasi 2.000/ha 172,3 ha 344.620
Total biaya 3.815.820
Biaya per ha 22.145
BKPH
Dungus Pembelian citra 20.000/ha 169 ha 3.380.000
Cetak peta ukuran A3 5.000 3 15.000
Cetak peta ukuran A0 10.000 1 10.000
Interpretasi 2.000/ha 169 ha 338.000
Total biaya 3.743.000
Biaya per ha 22.148
Biaya citra (Cp) dapat dilihat pada Tabel 5. Pada kedua lokasi penelitian,
biaya citra yang dikeluarkan hampir sama, yaitu: Rp.22.145 untuk lokasi BKPH
Dagangan dan Rp.22.148 untuk BKPH Dungus.
Efisiensi relatif (ER) dalam penelitian ini adalah rasio antara biaya yang
dikeluarkan dengan metode pengambilan contoh acak sederhana.
% 100
× +
=
f f p p
f s
C n C
n
C n
2.3.4 Tahapan Penelitian
Gambar 14 Diagram alur metode penelitian. Selesai
Data pendukung (peta areal kerja, peta jalan, dsb) Citra dijital
non-metrik resolusi
tinggi
Koreksi citra
Pengecekan lapangan
Interpretasi visual(Interpretasi, dijitasi, klasifikasi)
Analisis statistik (pendugaan model) Persiapan
Mulai
Data hasil cek
lapang (n)
Data hasil
interpretasi citra (m)
Analisis plot optimum dan efisiensi relatif
Perhitungan double
sampling
Efisiensi Relatif
teknik double
BAB III
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
3.1 Letak dan Luas
Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Madiun memiliki kawasan hutan
seluas 31.219,7 ha yang terdiri dari 2 (dua) kelas perusahaan, yaitu: kelas
perusahaan jati seluas 27.483,6 ha dan kelas perusahaan non-kayu (Kayu Putih)
seluas 3.736,10 ha. Secara geografis KPH Madiun terletak pada 7⁰34’36’’ -
7⁰58’12” Lintang Selatan dan 111⁰17’51” - 111⁰42’43” Bujur Timur, sedangkan
secara administratif terletak di 3 (tiga) wilayah pemerintahan, yaitu: Kabupaten
Madiun, Kabupaten Ponorogo, dan Kabupaten Magetan.
Batas wilayah KPH Madiun, sebagai berikut:
1. Utara : KPH Saradan
2. Timur : KPH Saradan dan KPH Lawu Ds
3. Selatan : KPH Lawu Ds
4. Barat : KPH Lawu Ds dan KPH Ngawi.
Selain itu, KPH Madiun juga berada pada Daerah Aliran Sungai (DAS)
Bengawan Solo dengan terbagi menjadi 4 (empat) Bagian Hutan menjadi Bagian
Hutan Caruban, Pagotan, Ponorogo Barat, dan Ponorogo Timur.
3.2 Kondisi Fisik
KPH Madiun memiliki kondisi lapangan yang relatif bervariasi mulai dari
kondisi lapangan datar sampai dengan bergunung–gunung. Kondisi lapangan
wilayah KPH Madiun yang termasuk DAS Bengawan Solo juga menjadikan
wilayah KPH Madiun dilewati oleh banyak aliran sungi mulai sungi kecil sampai
dengan besar.
Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schmidt dan Ferguson, wilayah KPH
Madiun mempunyai tipe iklim C dengan nilai Q antara 33,3-60 dengan tingkat
curah hujan antara 563-3.303 mm/th dan rata–rata curah hujan 1.681 mm/th. Suhu
udara di KPH Madiun berkisar antara 21,75⁰C-31,68⁰C dengan kelembaban udara
3.3 Vegetasi
Kawasan hutan KPH Madiun terdiri dari beberapa macam jenis pohon yang
didominasi oleh jenis tanaman Jati sebesar 81%. Tanaman lain yang memiliki
persentase lebih dari 2% adalah Rimba Campuran (5,9%), Mahoni (5%), Mindi
(2,7%), dan Sonobrit (2,2%).
3.4 Kondisi Sosial Ekonomi 3.4.1 Pengembangan Desa Hutan
Tingkat kemampuan suatu desa dalam penyelenggaraan pemerintahan yang
berkaitan dengan sosial ekonomi, dinyatakan pengembangan desanya dengan
status swakarya, swadaya, dan swasembada. Desa-desa di lingkungan kawasan
hutan KPH Madiun pada umumnya mempunyai kategori Desa Swasembada.
3.4.2 Kependudukan
Jumlah penduduk dalarn kecamatan yang masuk dalam wilayah kerja KPH
Madiun adalah 804.789 orang, terdiri dari 393.121 laki-laki dan 411.667
perempuan.
3.4.3 Mata Pencaharian
Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa mata pencaharian
masyarakat sekitar bervariasi yaitu petani, pedagang, buruh, pegawai negeri/
ABRI, dan lain-lain, seperti yang terlihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Mata pencaharian penduduk di kecamatan sekitar hutan tahun 1998 di wilayah KPH Madiun
Mata pencaharian (orang)
Kabupaten
Jumlah
Madiun Magetan Ponorogo
Petani 324.041 219.333 108.463 651.463
Pedagang 47.809 93.491 5.912 1.928
Pensiunan 534 45 1.349 1.928
Buruh 37.185 81.779 85.147 204.111
Peg/TNI 58.443 63.772 8.884 131.099
Lain-lain 10.624 52.009 49.043 111.676
Jumlah 478.636 510.429 258.424 1.247.489
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengambilan Plot Contoh di Lapangan
Berdasarkan jumlah pohon yang ditemukan di lapangan, jumlah pohon yang
diperoleh dari 38 plot lokasi BKPH Dagangan ada sebanyak 372 pohon, dimana
sebaran menurut kelas diameternya pohon yang berdiameter > 50 cm ada
sebanyak 120 pohon, sedangkan pohon dengan diameter antara 25-50 cm ada
sebanyak 252 pohon. Berbeda dengan BKPH Dagangan, BKPH Dungus memiliki
jumlah pohon yang lebih banyak adalah 520 pohon, dengan jumlah pohon
berdiameter > 50 cm sebanyak 108 pohon, sedangkan pohon dengan diameter
20-50 cm sebanyak 412 pohon. Data tersebut menunjukkan bahwa lokasi BKPH
Dagangan memiliki diameter pohon yang relatif lebih besar daripada lokasi
BKPH Dungus, tetapi BKPH Dagangan memiliki jumlah pohon (kerapatan
pohon) yang relatif sedikit. Walaupun berada dalam lokasi yang tidak terlalu jauh,
[image:35.595.99.513.96.816.2]dapat terjadi perbedaan antara suatu lokasi dengan lokasi yang lainnya.
Tabel 7 Jumlah pohon tiap lokasi penelitian
No. Lokasi 25 – 50 cm > 50 cm
1 BKPH Dagangan 252 120
2 BKPH Dungus 412 108
(a) (b)
Gambar 15 Kondisi tegakan pada lokasi penelitian BKPH Dagangan (a) KU III – IV dan (b) KU V- Up.
[image:36.595.108.510.88.352.2]
(a) (b)
Tabel 8 Hasil foto tegakan menggunakan kamera SLR dengan lensa fisheye
menurut kelas umur
No. Lokasi Hasil foto menggunakan
lensa fish eye
LAI Rata-rata
Cctr(%)
BKPH Dagangan
1 KU III-IV 0,692 79
2 KU V-up 1,098 83
BKPH Dungus
1 KU I-II 0,772 66
Pada Tabel 8 dapat diketahui bahwa nilai LAI (Leaf Area Index) pada salah
satu plot contoh lokasi BKPH Dagangan yang mewakili KU III-IV adalah 0,692
dan untuk KU V-up adalah 1,098, sedangkan untuk lokasi BKPH Dungus adalah
0,772 untuk KU I-II dan 1,199 untuk KU V-up. Leaf Area Index didefinisikan
sebagai nisbah luas daun dan luas lahan tegakan yang diproyeksikan tegak lurus
terhadap penutupan tajuk. LAI juga dapat diartikan sebagai setengah dari
penutupan total luas permukaan oleh daun per unit lantai tegakan yang
diproyeksikan tegak lurus terhadap penutupan tajuk (Djumhaer 2003).
Herdiyanti (2009) menyatakan bahwa semakin tinggi kerapatan tajuk suatu
hutan, maka semakin tinggi pula nilai LAI-nya. Hal ini dibuktikan dengan hasil
yang didapat pada penelitian ini. Nilai rata-rata kerapatan tajuk citra (Cctr) pada
KU V-up untuk kedua lokasi lebih tinggi dari pada nilai rata-rata Cctr pada KU di
bawahnya.
(a) (b)
Gambar 17 Kondisi tajuk menggunakan kamera SLR berlensa fish eye
(a)Tegakan teresan dan (b) Tegakan normal.
Pengambilan data lapangan dilakukan pada waktu kemarau, pada saat
tegakan jati mengalami gugur daun yang berbeda dengan musim saat pengambilan
foto citra. Tampilan citra dijital pada Gambar 3 dan Gambar 4 terlihat bahwa
tajuk tumbuh dengan lebat, tetapi pada tampilan Gambar 17 tajuk terlihat jarang.
musim kemarau. Musim kemarau merupakan waktu dimana Jati menggugurkan
daunnya untuk mengurangi transpirasi. Musim merupakan faktor yang perlu
diperhatikan mengingat hutan jati memiliki penampakan yang berbeda pada
musim penghujan dan musim kemarau, dimana jati akan menggugurkan daunnya
pada musim kemarau (Perhutani 1995). Perbedaan tidak akan mengurangi
keakuratan data apabila dilakukan pengukuran dengan benar dan didapatkan
perbedaan data yang sistematik.
Perbedaan musim pada pengambilan foto citra dan pengambilan data dapat
dikategorikan dalam bias, karena terjadinya perbedaan atau selisih data yang
diperoleh relatif konsisten. Bias merupakan kesalahan-kesalahan yang terjadi
secara sistematik (Paine 1981). Simon (1993) menyatakan bahwa bias dapat
terjadi karena alat yang dipakai cacat dan juga prosedur sampling atau cara
analisis yang tidak benar secara terus-menerus dan tetap. Apabila terjadi hal yang
seperti itu, maka bias tersebut ditiadakan. Dengan kata lain, kesalahan penaksiran
tidak menjadi masalah besar, asalkan dalam penaksiran tersebut cukup konsisten
(Sutarahardja 1999).
4.2 Koefisien Determinasi (R2) antar Peubah
Dari hasil pengukuran di lapangan dan interpretasi citra selanjutnya
dilakukan pengujian konsistensi untuk beberapa peubah, yaitu: kerapatan tajuk
(C), diameter tajuk (D), dan jumlah pohon (N). Hasil analisis diketahui bahwa
koefisien determinasi antata Clap dengan Cctr, Dlap dengan Dctr, dan Nlap dengan
Nctr, diperoleh masing-masing 52,7%; 63,70%; dan 88,70% pada lokasi BKPH
Dagangan, dan 51,80%; 72,30%; dan 78,00 pada lokasi BKPH Dungus. Bisa
dilihat bahwa nilai R2 yang paling tinggi dimiliki oleh perbandingan peubah N
untuk kedua lokasi. Semakin tinggi nilai R2 menunjukkan semakin tinggi
Gambar 18 Hubungan antara Nlapangan dengan Ncitra BKPH Dagangan.
Gambar 19 Hubungan antara Nlapangan dengan Ncitra BKPH Dungus.
Pada lokasi BKPH Dagangan, koefisien determinasi tertinggi dan terendah
antara peubah-peubah citra dengan Vbc diduduki oleh Nctr dengan R2 = 61,7%
dan Dctr dengan R2 = 30,9%, sedangkan koefisien determinasi yang tertinggi dan
terendah pada BKPH Dungus diduduki oleh Dctr dengan R2 = 60,90% dan Nctr
denganR2 = 11,20%. Persamaan benilai positif mempunyai arti bahwa antara dua
peubah tersebut memiliki hubungan yang linier positif, dimana setiap kenaikan
satu satuan peubah akan diikuti dengan kenaikan sediaan pohon sebesar nilai x,
dan sebalikya. Peubah bebas yang memiliki nilai R2 paling tinggi merupakan
y = 1,007x - 0.100 R² = 88,7
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18
0 5 10 15 20
N l ap ( Jm lp oh on /p lot )
N citra (Jml pohon/plot)
Linear (Series1)
y = 1,079x - 1,148 R² = 78,0
0 5 10 15 20 25 30
0 10 20 30
N L ap ( Jm l p oh on /p lot )
N Ctr (Jml pohon/plot)
[image:40.595.147.471.343.564.2]peubah bebas yang paling berpengaruh terhadap nilai sediaan tegakan berdasarkan
[image:41.595.137.471.128.346.2]model yang didapat.
Gambar 20 Korelasi tertinggi antara Vbc dengan Cctr BKPH Dagangan.
Gambar 21 Korelasi tertinggi antara Vbc dengan Dctr BKPH Dungus.
4.3 Model Persamaan Regresi antar Peubah
Persamaan regresi disusun berdasarkan peubah bebas yang diukur dari citra.
Persamaan ini untuk mengetahui sejauh mana peubah bebas dari citra dapat
menjelaskan peubah tak bebas (Vbc) yang diukur dari lapangan.
y = 1,266x + 9,619 R² = 61,7
0 5 10 15 20 25 30 35
0 5 10 15 20
V
b
c
(m
3 /p
lot
)
N Citra (Jml pohon/plot)
Linear (Series1)
y = 1,521e0,408x R² = 60,9
0 10 20 30 40 50 60 70
0 5 10
V
b
c
(m
3/p
lot
)
D Ctr (meter/plot)
[image:41.595.137.470.385.608.2]Dalam penelitian ini digunakan dua jenis model, yaitu: model yang
menggunakan semua peubah tegakan (C, D dan N) dan model dengan satu
peubah. Pada Tabel 1 dapat dilihat model terbaik di setiap lokasi. Dari model ini
dapat dilihat bahwa peubah yang digunakan adalah C (kerapatan tajuk), D
(diameter tajuk), dan N (jumlah pohon). Dilihat dari nilai R2 yang cukup tinggi
pada masing-masing model, teknik penarikan contoh ganda ini akan menyebabkan
meningkatkan efisiensi penerapan teknik penarikan contoh ganda. Model dengan
satu peubah yang digunakan pada lokasi BKPH Dagangan menggunakan peubah
Nctr, sedangkan pada lokasi BKPH Dungus adalah peubah Cctr.
4.4 Estimasi Potensi menggunakan Double Sampling
Tabel 9 Nilai rata-rata, ragam, SE, dan CV pada pengambilan contoh ganda
No. Lokasi Ym
(m3/0.1ha)
dslr
Y
ˆ
(m3/0.1ha)
m
y
S2
S
ydslr2
SE
(%)
CV
(%)
1 BKPH Dagangan 22,05 22,80 16,83 0,25 4,37 17,99
2 BKPH Dungus 29,77 42,74 235,6 3,78 9,10 35,92
Pada selang kepercayaan 95%, dari model lokasi BKPH Dagangan
diperoleh dugaan rata–rata sediaan tegakan jati dari perhitungan double sampling
adalah sebesar 227,966 m3/ha, atau berkisar antara 218,00-237,93 m3/ha,
sementara pada lokasi BKPH Dungus diperoleh dugaan rata-rata sediaan tegakan
jati sebesar 427,37 m3/ha, atau berkisar antara 388,47-466,28 m3/ha.
Dengan tehnik double sampling, nilai kesalahan penarikan contohnya adalah
sebesar 4,37% untuk BKPH Dagangan, lebih rendah daripada pendugaan sediaan
tegakan BKPH Dungus hanya menghasilkan kesalahan sampling sebesar 9,10%.
Semakin rendah nilai kesalahan sampling (SE) maka akan semakin teliti pula
suatu model yang dibangun. SE merupakan sifat mewakili sampel yang diambil
dari suatu populasi yang dapat diukur menggunakan tingkat kepercayaan (Jaya &
Cahyono 2001). Penyebab utama adanya SE adalah variasi di dalam populasi dan
kesempatan dalam memilih sampel yang merupakan sifat alami populasi. Apabila
dilihat secara keseluruhan, kedua model ini menunjukan hasil yang cukup
penelitian Tiyas (2009) menghasilkan kesalahan sampling sebesar 19,33%.
Kesalahan sampling yang lebih rendah tidak terlepas dari kualitas citra, sehingga
ketelitian pengukuran dimensi tegakan yang dilakukan dapat lebih teliti (Jaya &
Cahyono 2001). Secara teknis, penelitian ini menunjukkan bahwa model
pendugaan sediaan tegakan pada lokasi yang diperoleh cukup layak digunakan
untuk mengestimasi potensi tegakan.
Hasil yang cukup akurat pada penelitian ini membuat nilai ragam dan
coevisien variasi pengambilan contoh ganda bernilai rendah. Koefisien keragaman
(Coefficient of Variation/ CV) yang didapat dari masing-masing lokasi adalah
17,99% untuk BKPH Dagangan dan 35,92% untuk BKPH Dungus. Nilai CV yang
rendah menunjukkan bahwa suatu tegakan yang dteliti adalah homogen. Dari hasil
pehitungan, dapat dilihat bahwa nilai CV memiliki korelasi negatif dengan nilai
efisiensi relatif (ER). Semakin rendah nilai CV mengakibatkan nilai efisiensi
relatif menjadi semakin tinggi, dan juga sebaliknya jika nilai CV tinggi
mengakibatkan nilai ER semakin rendah.
4.5 Efisiensi Double Sampling
Dalam merencanakan inventarisasi, waktu dan biaya merupakan faktor yang
harus pertama diperhatikan. Salah satu atau keduanya dapat berpengaruh pada
tingkat kecermatan yang mungkin dicapai. Waktu, biaya, dan kecermatan
sampling berpengaruh satu sama lain dan ketiganya harus direncanakan seoptimal
mungkin agar tujuan inventarisasi hutan dapat dicapai dengan efisien (Simon
1993) .
Seperti halnya yang telah dijelaskan pada latar belakang bahwa biaya yang
dibutuhkan untuk inventarisasi potensi hutan secara terestris jauh lebih mahal bila
dibandingkan dengan menggunakan penginderaan jauh atau menggunakan media
citra. Data yang didapat dari penelitian ini membenarkan pernyataan di atas,
bahwa biaya interpretasi citra lebih rendah daripada biaya pengambilan data
lapangan per satuan hektar. Biaya interpretasi citra untuk lokasi BKPH Dagangan
dan Dungus (Cp) masing-masing adalah sebesar Rp. 22.145 dan Rp. 22.148,
sedangkan biaya pengambilan data di lapangan (Cf) untuk kedua lokasi adalah
Tabel 10 Biaya pengambilan data lapangan dan citra
No. Lokasi
Biaya (per ha)
1 BKPH Dagangan
Biaya lapangan (Cf) Rp. 363.158
Biaya citra (Cp) Rp. 22.145
2 BKPH Dungus
Biaya lapangan (Cf) Rp. 363.158
Biaya citra (Cp) Rp. 22.148
Rasio biaya lapangan terhadap biaya citra pada lokasi BKPH Dagangan
adalah 10,96, sedangkan rasio biaya pada BKPH Dungus adalah 7,61. Efisiensi
pengambilan contoh ganda akan tinggi apabila rasio biaya lapangan dengan biaya
citra tinggi, dan demikian pula sebaliknya. Menurut Wear (1966), diacu dalam
Paine (1981), peningkatan efisiensi sangat dipengaruhi oleh besarnya nilai
koefisien korelasi (r) dan rasio biaya lapangan atau citra. Pengambilan contoh
akan menjadi sangat efisien apabila koefisien korelasinya tinggi dan rasio Cf/Cp
tinggi. Efisiensi teknik pengambilan contoh ganda dengan regresi akan meningkat
cukup besar apabila koefisien korelasinya (r) mendekati 0,9. Meskipun nilai Cf/Cp
Gambar 22 Kurva hu (Dari J.F and Ran
Sebagaimana G
koefisien korelasi da
menjadi sangat efisien
Sebaliknya, pada koe
hampir tidak ada pen
200 kali.
Nilai koefisien
BKPH Dagangan da
tinggi menunjukkan
dengan nilai sediaan
dapat diatakan hamp
sediaan yang didapa
adalah 12,36 m3, seda
hubungan antara rasio biaya, koefisiensi korel J.F. Wear, R. B. Pope, and P.W. Orr, 1966. Pa
ange Experient Station diacu dalam Paine, 1981
Gambar 22, efisiensi akan meningkat secar
dan rasio biaya bernilai tinggi. Pengambila
ien apabila koefisien korelasinya tinggi dan ra
oefisien korelasi yang rendah (0,4), efisiensi cu
eningkatan meskipun rasio biaya lapangan/ p
n korelasi yang didapat pada penelitian ini ad
dan 0,88 pada BKPH Dungus. Nilai korelas
n bahwa nilai sediaan yang diperoleh dari s
hasil perhitungan model yang terpilih tidak
pir sama. Selisih antara nilai sediaan lapang
pat dari pendugaan model pada BKPH Dun
dangkan pada BKPH Dagangan hanya 0,70 m3
relasi dan efisiensi Pasific Northwest 81).
ara tajam apabila
ilan contoh akan
rasio Cf/Cp tinggi.
cukup rendah dan
potret meningkat
adalah 0,94 untuk
asi yang semakin
survey lapangan
k terlalu jauh atau
ngan dengan nilai
ungus lebih besar
Tabel 11 Hasil efisiensi relatif
Lokasi Efisiensi
(E)
Rasio
(R)
ns nf np
ER
(%)
BKPH Dagangan 2,99 10,96 51,83 10,39 113,83 299,11
BKPH Dungus 2,11 7,61 206,41 66,69 507,49 211,40
Pada Tabel 11, dapat diketahui bahwa jika rasio nilai nf (jumlah plot yang
harus diamati di lapangan) dan np (jumlah plot yang harus diamati di citra)
semakin rendah, maka nilai ER akan semakin tinggi, begitu pula sebaliknya.
Untuk BKPH Dagangan, jumlah pengambilan plot optimum yang optimal adalah
113,83 plot (dibulatkan menjadi 114 plot) pada citra dan sebanyak 10,39 plot
(dibulatkan menjadi 11 plot) di lapangan. Untuk BKPH Dungus, pengambilan plot
optimum di citra adalah sebanyak 507,49 plot (dibulatkan menjadi 508 plot) dan
66,69 plot (dibulatkan menjadi 67 plot) di lapangan. Selanjutnya, jumlah
perhitungan plot optimum tersebut digunakan untuk perhitungan efisiensi relatif.
Sebagaimana disajikan pada Tabel 11, lokasi BKPH Dagangan memberikan
Efisiensi Relatif (ER) yang lebih tinggi yaitu mencapai 299,11%. Pada lokasi
BKPH dungus diperoleh nilai ER sebesar 211,40%. Semakin besar nilai efisiensi
relatif, menunjukkan bahwa penggunaan teknik double sampling suatu lokasi akan
menjadi lebih efisien.
Jumlah peubah bebas yang menyusun suatu model mempengaruhi
kemudahan dan keefektifan dalam penentuan peubah yang dicari pada suatu
penelitian. Semakin sedikit peubah bebas yang menyusun suatu model, maka
model tersebut semakin mudah untuk digunakan. Dari hasil perhitungan, model
penduga sediaan tegakan pada penelitian ini tersusun atas tiga peubah bebas, yaitu
C, D, dan N. Apabila model yang digunakan hanya menggunakan satu peubah
bebas (N atau C saja), maka nilai efisiensi yang didapat menjadi lebih kecil.
Seperti pada lokasi BKPH Dagangan, dari model Vbc=10,361+1,169Nctr yang
menggunakan peubah Nctr hanya diperoleh nilai efisiensi relatif sebesar 151,48%
dengan nilai SE sebesar 5,06%. Terjadi penurunan yang signifikan apabila
dibandingkan dengan penggunaan model dengan peubah N, D, dan C yang
peubah bebas. Hal yang sama terjadi pada lokasi BKPH Dungus, didapatkan nilai
efisiensi relatif sebesar 150,76% dengan nilai SE sebesar 10,67% pada model
Vbc = -62,221+1,266Cctr yang diketahui hanya menggunakan satu peubah, yaitu
Cctr.
Secara umum, penelitian ini menyatakan bahwa inventarisasi dengan teknik
double sampling pada kedua lokasi ini memberikan hasil yang lebih efisien
dibandingkan dengan inventarisasi dengan hanya mengandalkan data terestris.
Dengan metode double sampling, inventarisasi hutan dapat dilakukan dengan
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil peneletian ini, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Teknik double sampling menggunakan model Vbc= -10,164+1,027Nctr
+1,752Dctr+0,081Cctr ini memberikan efisiensi yang lebih besar 299,11%
dengan SE sebesar 4,37% untuk lokasi BKPH Dagangan dan 211,40% dengan
SE sebesar 9,10% pada lokasi BKPH Dungus dengan model Vbc=
1,499E-5Cctr2,693 Dctr1,159 Nctr0,267.
2. Jumlah pengambilan plot optimum di citra dengan menggunakan model Vbc=
-10,164+1,027Nctr +1,752Dctr+0,081Cctr adalah 114 plot pada citra dan jumlah
11 plot di lapangan untuk BKPH Dagangan. Untuk BKPH Dungus dengan
model Vbc= 1,499E-5Cctr2,693 Dctr1,159 Nctr0,267, pengambilan plot optimum di
citra adalah sebanyak 508 plot dan di lapangan sebanyak 67 plot.
3. Volume standing stock rata-rata yang diperoleh dari model Vbc= -10,164
+1,027Nctr+1,752Dctr+0,081Cctr pada lokasi BKPH Dagangan adalah 227,97
m3/ha, sedangkan untuk lokasi BKPH Dungus (Vbc= 1,499E-5Cctr2,693 Dctr1,159
Nctr0,267) adalah 427,37 m3/ha. Total volume standing stock rata-rata adalah
sebesar 39.281,31m3 untuk lokasi BKPH Dagangan, dan 73.641,1 m3 untuk
BKPH Dungus.
4. Penggunaan model dengan satu peubah memberikan nilai efisiensi relatif yang
lebih rendah jika dibandingkan dengan model dengan peubah N, D, dan C.
5. Nilai efisiensi relatif dengan model sederhana adalah sebesar 151,48%
dengan nilai SE sebesar 5,06% pada lokasi BKPH Dagangan dan 150,76%
dengan nilai SE sebesar 10,67% pada lokasi BKPH Dungus dengan model
Vbc= -62,221+1,266Cctr. Jumlah plot optimum di citra dengan menggunakan
model Vbc=10,361 +1,169Nctr adalah 146 plot sedangkan jumlah plot
optimum di lapangan adalah sebanyak 29 plot untuk BKPH Dagangan. Untuk
BKPH Dungus dengan model Vbc= -62,221+1,266Cctr, pengambilan plot
optimum di citra adalah sebanyak 647 plot dan untuk plot optimum lapangan
6. Model dengan satu peubah untuk pendugaan sediaan tegakan menjadi lebih
praktis digunakan dibanding model dengan peubah N, D, dan C, tetapi
efisiensi yang diperoleh menggunakan model dengan satu beubah jauh lebih
rendah dibanding menggunakan model dengan peubah N, D, dan C.
5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada tipe dan lokasi hutan lain
PENGGUNA
PENDUGAAN
Linn.f) DENGA
MADIUN PER
FA
DEPA
IN
NAAN CITRA RESOLUSI TINGGI U
N SEDIAAN TEGAKAN JATI (
Tecton
GAN TEKNIK
DOUBLE SAMPLING
ERUM PERHUTANI UNIT II JAWA
FATHIA AMALIA RAMA DHANI
EPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
GGI UNTUK
tona grandis
,
G
DI KPH
A TIMUR
DAFTAR PUSTAKA
Anwar MS. 2008. Pendugaan potensi tegakan hutan lahan kering dengan teknik
double sampling menggunakan citra resolusi tinggi di Kabupaten Pasaman,
Sumatera Barat. [skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen Hutan, Institut Pertanian Bogor.
Cahyono AB. Small format non-metric aerial photograph for teak forest
inventory. [thesis]. Bogor: Graduate Program, Institut Pertanian Bogor.
Djumhaer M. 2003. Pendugaan Leaf Area Index dan Luas Bidang Dasar Tegakan
Menggunakan Landsat 7 ETM+ (Studi Kasus Di Kabupaten Bungo Provinsi Jambi). [skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Herdiyanti PR. 2009. Pemetaan kesesuaian habitat Rafflesia parma Blume di cagar alam Leuweung Sancang Garut Jawa Barat. [skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Howard JA. 1996. Pendinderaan jauh untuk sumberdaya hutan. Hartono, Penerjemah. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari :
Remote Sensing of Forest Resources Theory and Aplication.
Husch B. 1987. Perencanaan inventarisasi hutan. Setyarso A, penerjemah. Jakarta:
Universitas Indonesia. Terjemahan dari : Planning a Forestry Inventory.
Iskandar H. 1995. Studi Perbandingan Beberapa Teknik Sampling dalam
Menaksir Volume Tegakan Jati (Tectona grandis L. F) di Bagian Kesatuan
Pemangkuan Hutan (BKPH) Pasar Sore, Kesatuan Pemangkuan Hutan. [skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen Hutan, Institut Pertanian Bogor.
Jaya INS. 2002. Aplikasi sistem informasi geografis untuk kehutanan. Bogor :
Laboratorium Inventarisasi SDH, Fakultas Kehutanan IPB.
Jaya INS. 2006. Penuntun praktikum dasar-dasar penginderaan jarak jauh.
Bogor : Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Jaya INS. 2010. Analisis citra digital : Teori dan praktek menggunakan erdas
imagine. Bogor: Departemen Manajemen Hutan, Institut Pertanian Bogor.
Jaya INS, Cahyono AB. 2001. Efisiensi penggunaan potret udara non-metrik format kecil dengan tehnik pengambilan contoh berganda. Jurnal
Lillesand TM, Kiefer RW. 1990. Penginderaan jauh dan interpretasi citra. Dulbari, Suharsono P, Hartono, Suharyadi, Penerjemah. Yogyakarta : Gajah Mada
University Press. Terjemahan dari : Remote Sensing and Image
Interpretation.
Paine, David P. 1981. Aerial Photography and Image Interpretation for Resource
Management. New York : John Wiley and Sons.
[Perum Perhutani]. 1995. Kunci interpretasi potret udara hutan tanaman jati.
Bogor : Perhutani - Fakultas Kehutanan, IPB.
Prijono. 2002. Pemetan fotogrametri. http://labfoto.tripod.com/pemetaan_
fotogrametri.htm [2 februari 2012]
Rahaju S. 1997. Teknis Pengukuran dimensi tegakan. Bogor : Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Shiver BD, Borders BE. 1996. Sampling Techniques for Forest Resource
Inventory. New York : John Wiley and Sons.
Spurr SH. 1960. Photogrametry and Photo Interpretation. New York : The Ronal
Press Company.
Simon H. 1993. Metode inventore hutan. Yogyakarta: Aditya Media.
Sujiatmoko S. 1998. Penerapan double sampling terstratifikasi dalam menduga
potensi hutan alam melalui potret udara. [skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen Hutan, Institut Pertanian Bogor.
Sutarahardja S. 1999. Metoda Petak berubah (tree sampling) dalam pendugaan
volume tegakan hutan tanaman. Bunga rampai pengetahuan praktis dalam bidang penafsiran potret udara. Bogor : Perum Perhutani-Fakultas Kehutanan, IPB.
Sutarahardja S. 1999. Prosedur penggunan metoda double sampling dalam
inventarisasi hutan untuk pendugaan volume dengan bantuan potret udara. Bunga rampai pengetahuan praktis dalam bidang penafsiran potret udara. Bogor : Perum Perhutani – Fakultas Kehutanan, IPB.
Tiyas DPN. 2009. Penyusunan tabel volume jati (Tectona grandis, L.f)
menggunakan resolusi tinggi di KPH Jatirogo, Perum Perhutani unit II Jawa Timur. [skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen Hutan, Institut Pertanian Bogor.
Walpole RE. 1982. Pengantar statistika edisi ke-3. Sumantri B, Penerjemah.
Jakata : PT Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari : Introduction to
Wolf PR. 1993. Elemen fotogrametri dengan interpretasi foto udara dan penginderaan jauh. Gunadi, Gunawan T, Susanto, Penerjemah. Yogyakarta :
Gajah Mada University Press. Terjemahan dari : Element of Photogrametry
With Air Photo Interpretation and Remote Sensing.
PENGGUNA
PENDUGAAN
Linn.f) DENGA
MADIUN PER
FA
DEPA
IN
NAAN CITRA RESOLUSI TINGGI U
N SEDIAAN TEGAKAN JATI (
Tecton
GAN TEKNIK
DOUBLE SAMPLING
ERUM PERHUTANI UNIT II JAWA
FATHIA AMALIA RAMA DHANI
EPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
GGI UNTUK
tona grandis
,
G
DI KPH
A TIMUR
RINGKASAN
FATHIA AMALIA RAMA DHANI. Penggunaan Citra Resolusi Tinggi untuk Pendugaan Sediaan Tegakan Jati (Tectona grandis, Linn.f) dengan Teknik Double Sampling di KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Skripsi. Manajemen Hutan, Institut Pertanian Bogor. Dibimbing oleh I NENGAH SURATI JAYA.
Kegiatan inventarisasi hutan dapat dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu: pengukuran secara terestris (ground survey), pengukuran menggunakan teknologi penginderaan jauh (remote sensing), dan penggabungan kedua metode tersebut (Simon 1993). Metode terestris biasanya lebih akurat, walaupun membutuhkan waktu, biaya, dan tenaga yang lebih besar dibandingkan metode penginderaan jauh (Husch 1987). Penginderaan jauh dapat dilakukan dalam waktu yang cepat dengan cakupan yang luas, selain itu informasi yang didapat relatif lebih lengkap. Penggabungan antara metode terestris dan penginderaan jauh merupakan solusi dari kelebihan dan kekurangan kedua metode tersebut, salah satunya dengan metode double sampling (Simon 1993). Penelitian ini meneliti aplikasi double sampling dengan menggunakan kombinasi antara teknologi penginderaan jauh dan pengukuran di lapangan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi aplikasi teknik double sampling menggunakan citra dijital non-metrik guna menduga sediaan tegakan jati. Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari peralatan yang digunakan di lapangan, antara lain: peta desain sampling, GPS, kompas, kamera dijital, kamera SLR dengan lensa fish eye, haga hypsometer, suunto clinometer, meteran, dan tali tambang. Pada pengolahan data menggunakan seperangkat komputer dilengkapi dengan seperangkat periferalnya, MS Excel dengan fungsi analysis data, SPSS, Erdas Imagine, Hemiview dan ArcView. Data yang digunakan adalah data citra dijital non-metrik KPH Madiun, data hasil survey lapangan, dan data pendukungnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan model terbaik yang diperoleh pada lokasi BKPH Dagangan (Vbc= -10,164+1,027Nctr+1,752Dctr
+0,081Cctr) dan BKPH Dungus (Vbc= 1,499E-5Cctr2,693 Dctr1,159 Nctr0,267), besarnya
nilai dugaan total sediaan tegakan menggunakan teknik double sampling sebesar 39.281,31 m3 dengan kesalahan penarikan contoh 4,37% pada BKPH Dagangan (172,31 ha) dan sebesar 73.641,1 m3dengan kesalahan penarikan contoh 9,01% untuk BKPH Dungus (169 ha). Untuk menghasilkan kesalahan pengambilan contoh maksimum sebesar 5%, jumlah plot optimum di citra dan di lapangan adalah 114 dan 11 plot untuk lokasi BKPH Dagangan, sedangkan untuk lokasi BKPH Dungus adalah 508 dan 67 plot. Besarnya efisiensi relatif yang didapat dengan model terbaik sebesar 299,11 % untuk BKPH Dagangan dan 211,40% untuk BKPH Dungus. Penggunaan model sederhana dengan satu peubah memberikan nilai efisiensi relatif yang lebih rendah, nilai efisiensi relatif yang diperoleh sebesar 151,48% dengan nilai SE sebesar 5,06% pada lokasi BKPH Dagangan dan 150,76% dengan nilai SE sebesar 10,67% pada lokasi BKPH Dungus.
SUMMARY
FATHIA AMALIA RAMA DHANI. Application Of High Resolution Imageries for Teak (Tectona grandis, Linn.F) Estimation With Double Sampling Technique in KPH Madiun Perum Perhutani Unit II, East Java. Report. Forest Management, Bogor Agricultural University. Supervised by I NENGAH SURATI JAYA.
Forest inventory can be carried out by three approaches, i.e., terrestrial, remote sensing, and combination between both of them (Simon 1993). Generally, the terrestrial approach provides more reliable and accurate results, but it is more time consuming, costly and needs more labours than the remote sensing approach (Husch 1987). Conversly, the remote sensing technology can be applied in a quick way with a large area providing relatively more complete information. Combination between the terestrial and remote sensing frequently provides advantages in keeping accurate estimation, but lower cost all at once (Simon 1993). This study examined the application of double sampling technique which combines the use of high resolution remotely sensed data and ground measured data (terrestrial approach).
The study objective is to evaluate the application of double sampling technique using non-metric digital imageries to estimate the standing stock. The equipments used for field measurements are GPS, compass, digital camera, SLR camera with a fish eye lens, haga hypsometer, suunto clinometer, tape, and rope; while the the data analysis was performed using a set of computers with MS Excel, SPSS, Hemiview and ArcView softwares. The data used were high resolution non-metric digital imageries of KPH Madiun, the result of ground thruthing, and other supporting data.
The double sampling study applied in this study shows that the total standing stock of total area for BKPH Dagangan using Vbc= -10,164 +1,027Nctr+1,752Dctr+0,081Cctr is about 39.281,31 m3 with sampling error of
4,37%. For BKPH Dungus, the total standing stock using Vbc= 1,499E-5Cctr2,693
Dctr1,159 Nctr0,267 is amounted to 73.641,1 m3 with sampling error of 9,01%. To
produce a maximum sampling error of 5%, the optimum number of plots in the image and in the field are 114 and 11 plots for BPKH Dagangan, while BPKH Dungus is 508 and 67 plots. The efficiency relatives using double sampling technique provided in this study are 299,11% for BPKH Dagangan and 211,40% for BPKH Dungus. The use of another model with one variable (Nctr for BKPH
Dagangan and Cctr for BKPH Dungus) gave slightly lower efficiency relatives,
i.e., 151,48% with sampling error of 5,06% for BKPH Dagangan and 150,76% with sampling error of 10,67% for BKPH Dungus.
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Penggunaan Citra Resolusi Tinggi untuk Pendugaan Sediaan Tegakan Jati (Tectona grandis, Linn.f) dengan Teknik Double Sampling di KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa Timur” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dibawah bimbingan dosen Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2012
PENGGUNAAN CITRA RESOLUSI TINGGI UNTUK
PENDUGAAN SEDIAAN TEGAKAN JATI (
Tectona grandis
,
Linn.f) DENGAN TEKNIK
DOUBLE SAMPLING
DI KPH
MADIUN PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR
FATHIA AMALIA RAMA DHANI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian : Penggunaan Citra Resolusi Tinggi untuk Pendugaan Sediaan Tegakan Jati (Tectona grandis, Linn.f) dengan Teknik Double Sampling di KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa Timur
Nama Mahasiswa : Fathia Amalia Rama Dhani
Menyetujui : Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M. Agr NIP. 19610909 198601 1 001
Mengetahui:
Ketua Departemen Manajemen Hutan IPB
Dr. Ir. Didik Suharjito, MS. NIP. 19630401 199403 1 001
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Penggunaan Citra Resolusi Tinggi untuk Pendugaan Sediaan Tegakan Jati (Tectona grandis, Linn.f) dengan Teknik Double Sampling di KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa Timur” dengan baik. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr.