• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Analyse of Oil Palm Productivity Prediction Using Anomaly of Sea Surface Temperature at Nino-3,4

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Analyse of Oil Palm Productivity Prediction Using Anomaly of Sea Surface Temperature at Nino-3,4"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

NUZUL HIJRI DARLAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya berjudul:

ANALISIS PREDIKSI PRODUKSI KELAPA SAWIT MENGGUNAKAN ANOMALI SUHU MUKA LAUT DI NINO-3,4

merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program studi manapun di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Agustus 2011

(3)

ABSTRACT

Nuzul Hijri Darlan. The Analyse of Oil Palm Productivity Prediction Using Anomaly of Sea Surface Temperature at Nino-3,4. Supervised by RIZALDI BOER and HASRIL HASAN SIREGAR.

Yield variability of oil palm (fresh fruit bunch, FFB) is determined by interaction between genetics, ages, environmental (soil and climate), and technical culture factors. Climate factor may explain most of the yield variability if other factors are not very variable. One of the main climate factors affecting the yield of palm oil in Indonesia is rainfall. This study was conducted to evaluate impact of rainfall variability on production of palm oil in 26 big plantations in Sumatra Island with assumption that conditions of non-climatic factors such as varieties (genetic), technical culture is relatively homogenous. As many studies suggest that rainfall variability in Indonesia is strongly influenced by ENSO phenomenon, we analyse the potential use of ENSO index (based on anomaly of sea surface temperature/ASST at Nino-3,4) to predict palm oil yield in the plantations. The prediction models was developed using a number of steps. First is to remove the effect of age and seasonality of palm oil yield from the data series using non linear equation and Fourier regression (called as detrended yield). Second is to develop relationship between the anomaly of the detrended yield and anomaly of ASST in region 3,4. Third is to construct model to predict palm oil production in the plantation using stochastic spreadsheet based on equations developed in the previous steps. The result of analysis showed that the non-linear function can explain well the relationship between yield and age. The model could explain between 60% and 90% of the variability of palm oil production across the 26 plantations. Furthermore, the study suggests that the ENSO impact on yield variability was only significant in seven plantations located in areas that have south moonsonal rainfall type (South part of Sumatra such as part of Jambi, Lampung and South Sumatra). It was found that the ASST in region 3,4 is potential to be used for predicting production of palm oil in the seven plantations. The result of validation showed that there is no significant different between observed and predicted data (tvalue < ttable; α=1%).

(4)

RINGKASAN

Nuzul Hijri Darlan. Analisis Prediksi Produksi Kelapa Sawit Menggunakan Anomali Suhu Muka Laut di Nino-3,4. Dibimbing oleh RIZALDI BOER dan HASRIL HASAN SIREGAR.

Produktivitas kelapa sawit (tandan buah segar, TBS) merupakan fungsi dari faktor genetik, umur, lingkungan (tanah dan iklim), dan kultur teknis (seperti pemupukan). Genetik bahan tanaman dapat diasumsikan homogen dan kultur teknis dilakukan optimal, sehingga keragaman produksi dapat dijelaskan oleh kondisi iklim dan umur. Kondisi iklim yang paling mempengaruhi produktivitas tanaman kelapa sawit di Indonesia adalah curah hujan. Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi pengaruh dari keragaman curah hujan terhadap produktivitas tanaman kelapa sawit pada 26 perkebunan di Pulau Sumatera dengan asumsi bahwa kondisi dari kondisi non-iklim seperti genetik tanaman dan kultur teknis relatif seragam. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa keragaman curah hujan di Indonesia diperngaruhi kuat oleh fenomena ENSO, sehingga akan dianalisis potensi untuk pemanfaatan indeks ENSO (anomali SST di Nino-3,4) untuk memprediksi produktivitas tanaman kelapa sawit di perkebunan. Model prediksi disusun dalam beberapa tahap.Yang pertama yaitu untuk menghilangkan pengaruh umur dan musiman produktivitas kelapa sawit dari data produktivitas dengan menggunakan persamaan non linier dan regresi Fourier. Yang kedua yaitu menghubungkan antara sisaan dari persamaan sebelumnya dengan anomali SST. Yang ketiga yaitu membangun model untuk memprediksi produktivitas tanaman kelapa sawit di perkebunan dengan menggunakan stochastic spreadsheet berdasarkan persamaan yang telah disusun sebelumnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa fungsi non-linear dapat menjelaskan dengan baik hubungan antara produktivitas dengan umur (tahunan). Model dapat menjelaskan keragaman produktivitas kelapa sawit hingga 60% - 90% pada 26 kebun yang diamati. Selanjutnya, penelitian menunjukkan bahwa pengaruh ENSO terhadap keragaman produktivitas kelapa sawit hanya signifikan pada tujuh perkebunan yang terdapat di area yang mempunyai tipe hujan monsoonal selatan (bagian selatan Sumatera seperti sebagian Jambi, Lampung dan Sumatera Selatan). Dan juga diketahui bahwa anomali SST berpotensi untuk digunakan dalam memprediksi produktvitas kelapa sawit di tujuh perkebunan. Hasil validasi menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara data produktivitas aktual dan data produktivitas hasil simulasi (tvalue < ttable; α=1%).

(5)

@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011

Hak cipta dilindungi Undang – Undang No. 19 Tahun 2002

(Pasal 15):

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(6)

ANALISIS PREDIKSI PRODUKSI KELAPA SAWIT

MENGGUNAKAN ANOMALI SUHU MUKA LAUT

DI NINO-3,4

NUZUL HIJRI DARLAN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Klimatologi Terapan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Nama : Nuzul Hijri Darlan

NIM : G251080011

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc. Dr. Hasril Hasan Siregar, M.Si.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Klimatologi Terapan

Dekan

Prof. Dr. Ir. Handoko, M.S. NIP. 19591130 198303 1 003

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr NIP. 19650814 1999002 1 001

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada 30 Juli 1980 di Medan, Sumatera Utara sebagai anak keempat dari Bapak dr. H. Darlan Djali Chan, Sp.S dan Ibu Hj. Roswita Yetti. Pada 2 Juli 2005 penulis menikah dengan Tito Sucipto, S.Hut, M.Si, putra dari Bapak Soesanto dan Ibu Rajiyah. Sampai saat ini mempunyai dua orang putra-putri bernama Radith Jatinindra Muhtadin Genth dan Rania Syamsa Citrariny Genth.

Penulis memperoleh pendidikan dasar – atas di SD Perguruan Nasional Khalsa, SMP Negeri 1, dan SMU Negeri 1 Medan hingga lulus pada tahun 1998. Pada tahun 1998 diterima menjadi mahasiswi Program Sarjana (Strata 1) di Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan lulus Sarjana pada awal 2003.

Pada tahun 2008 penulis terdaftar sebagai mahasiswi Program Pascasarjana IPB untuk program Magister Sains (S-2) pada program studi Klimatologi Terapan. Selama mengikuti pendidikan dan penelitian pada Program Pascasarjana IPB, penulis mendapat beasiswa dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan.

(9)

penelitian dan tesis sebagai syarat penyelesaian program Magister Sains ini dapat diselesaikan. Penulis menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya dan penghargaan yang tinggi kepada: Bapak Prof. Dr. Rizaldi Boer, M.Sc dan Bapak Dr. Hasril Hasan Siregar, M.Si selaku pembimbing yang telah banyak membantu, membimbing, dan mengarahkan dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan tesis ini. Terima kasih kepada Ibu Dr Rini Hidayati, M.Si sebagai penguji luar komisi pada ujian tesis. Selain itu, penghargaan penulis disampaikan kepada Direktur dan manajemen Pusat Penelitian Kelapa Sawit atas kesempatan pendidikan, beasiswa, dukungan, dan segala bantuan moril yang telah diberikan. Terima kasih kepada teman-teman di Kelti Ilmu Tanah dan Agronomi, khususnya Dedy Waskito yang telah membantu dalam GIS, sahabat di program studi Klimatologi Terapan (Reny, Marjuki, dan Risyanto), dan sahabat peneliti di PPKS (Eka Listia, Henny Lydiasari, Ratnawati Nurkhoiry). Terima kasih juga disampaikan kepada suamiku Tito Sucipto, buah hatiku Radith Jatinindra Muhtadin Genth dan Rania Syamsa Citrariny Genth, orang tua di Medan dan Banjarsari serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga hasil penelitian ini dapat memberikan informasi, kemudahan, dan manfaat bagi pengusaha kelapa sawit khususnya dan bagi masyarakat luas umumnya.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini belum sempurna, karenanya tidak menutup kemungkinan adanya perbaikan. Kritik, saran dan masukan pemikiran yang konstruktif untuk menyempurnakan hasil penelitian ini sangat dihargai.

Bogor, Agustus 2011

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 3

Tujuan ... 4

Manfaat ... 4

Ruang Lingkup Penelitian ... 5

TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan, Perkembangan, dan Produktivitas Kelapa Sawit ... 7

Faktor Lingkungan Tanaman Kelapa Sawit ...11

Suhu Muka Laut ...18

Model Pertumbuhan Tanaman Kelapa Sawit ...22

METODOLOGI Waktu dan Tempat ...27

Alat dan Bahan ...27

Metode Penelitian ...28

Analisis Data Penelitian ... . 28

HASIL DAN PEMBAHASAN Penyusunan Fungsi Produksi Menurut Umur ...35

Identifikasi Hubungan Produksi Kelapa Sawit dengan Anomali SST ...42

Pendugaan Produksi Kelapa Sawit Berdasarkan Anomali SST ...44

KESIMPULAN DAN SARAN ... . 53

DAFTAR PUSTAKA ... . 55

(11)

Halaman

Tabel 1. Perkembangan luas areal, produksi, dan ekspor kelapa sawit Indonesia pada 1968 - 2010 ... 1 Tabel 2. Kriteria defisit air dan dampaknya pada tanaman kelapa sawit ... 17 Tabel 3. Model pendugaan produksi TBS menurut umur tanaman ... 36 Tabel 4. Persamaan Fourier yang digunakan dalam model per tahun tanam .... 47 Tabel 5. Persamaan penduga ASST dan galat (ε3-1) yang digunakan dalam

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Diagram perkembangan bunga kelapa sawit ... 7 Gambar 2. Pembagian wilayah Nino di Samudera Pasifik ... 19 Gambar 3. Pembagian wilayah klimatologi di Indonesia berdasarkan

pengaruh ENSO ... 20 Gambar 4. Ilustrasi fenomena Dipol Mod (IOD) dan dampaknya untuk

Indonesia ... 22 Gambar 5. Flow chart untuk rancang bangun analisis prediksi produksi

kelapa sawit menggunakan anomali SST ... 23 Gambar 6. Peta sebaran kebun pengamatan berdasarkan R2 hasil simulasi

produksi berdasar umur dan batas wilayah Monsoonal Selatan ... 37 Gambar 7. Perbandingan sebaran produksi TBS observasi dan simulasi

menurut fungsi umur tanaman di provinsi Sumatera Utara ... 38 Gambar 8. Perbandingan sebaran produksi TBS observasi dan simulasi

menurut fungsi umur tanaman di provinsi Riau ... 39 Gambar 9. Perbandingan sebaran produksi TBS observasi dan simulasi

menurut fungsi umur tanaman di provinsi Sumatera Barat dan Jambi ... 40 Gambar 10. Perbandingan sebaran produksi TBS observasi dan simulasi

menurut fungsi umur tanaman di provinsi Sumatera Selatan dan Lampung ... 40 Gambar 11. Kondisi topografi areal kelapa sawit di kebun Sei Meranti ... 41 Gambar 12. Peta sebaran kebun yang diamati di Sumatera yang termasuk ke

dalam wilayah Monsoonal Selatan ... 43 Gambar 13. Hubungan antara sisaan model berdasar umur dengan anomali

SST lag-1 tahun ... 43 Gambar 14. Perbandingan produksi TBS hasil simulasi dan observasi ... 46 Gambar 15. Diagram pola sisaan model berdasarkan fungsi umur ... 46 Gambar 16. Hasil korelasi anatar produksi TBS dengan waktu tunda (lag)

anomali SST di Nino-3,4 ... 48 Gambar 17. Perbandingan sebaran produksi TBS hasil simulasi dan

observasi ... 51 Gambar 18. Diagram pencar sebaran produksi TBS pada grafik 1:1 ... 52 Gambar 19. Grafik sebaran produktivitas TBS hasil validasi (kiri); Diagram

(13)

Halaman

Lampiran 1. Diagram pencar hubungan produksi aktual dengan simulasi berdasarkan fungsi umur di Pulau Sumatera ... 59 Lampiran 2. Langkah penyusunan model penduga produktivitas kelapa

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan salah satu komoditas perkebunan unggulan, yang menghasilkan minyak nabati paling efisien yang produknya dapat digunakan dalam berbagai industri pangan, farmasi, oleokimia, dan biodiesel. Tanaman kelapa sawit juga memberikan kontribusi nyata untuk devisa ekspor dan kebutuhan dalam negeri Indonesia.

Sampai dengan tahun 2010, luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 7,8 juta hektar, terdiri dari 3,3 juta hektar perkebunan rakyat, 616 ribu hektar perkebunan negara, dan 3,9 juta hektar perkebunan swasta dengan produksi 21,14 juta ton minyak sawit mentah (Crude Palm Oil, CPO). Bila dibandingkan pada 1968 luas areal masih 119.660 hektar dengan produksi 181.444 ton CPO, maka perkelapasawitan di Indonesia sampai 2010 berkembang sangat pesat sehingga menjadi 117 kali lipat (Tabel 1).

Tabel 1. Perkembangan luas areal, produksi, dan ekspor kelapa sawit Indonesia pada 1968 – 2010.

No Uraian 1968 1979 1988 1998 2008 2010

1. Luas areal (ribu ha) 120 261 863 3.560 7.364 7.825

2. Produksi CPO (ribu ton) 181 641 1.713 5.930 19.400 22.000 3. Volume ekspor CPO (ribu ton) 152 351 868 3.058 16.650 18.092 4. Nilai ekspor (juta US$) 20 204 331 1.540 13.547 14.934 Sumber: Ditjenbun, 2011 dan Departemen Perdagangan, 2011.

Usaha peningkatan produksi kelapa sawit hingga saat ini terus dilakukan, baik secara intensifikasi maupun ekstensifikasi. Usaha intensifikasi dilakukan dengan berbagai penelitian genetik bahan tanaman dan kultur teknis, sedangkan usaha ekstensifikasi dilakukan dengan berbagai program perluasan areal penanaman baru. Usaha tersebut tidak luput dari berbagai masalah, baik aspek sosial, ekonomi, maupun lingkungan fisik.

(15)

Faktor lingkungan terdiri dari tanah dan iklim, dimana faktor tanah dengan pemupukan yang optimal dapat diasumsikan berpengaruh proporsional menurut umur. Hal ini menyebabkan faktor iklim menjadi penting mempengaruhi keragaman produksi yang terjadi sepanjang tahun. Unsur iklim yang paling besar pengaruhnya ialah curah hujan. Beberapa sifat hujan yang mempengaruhi keragaman produksi tanaman ialah besarnya curah hujan, lama musim hujan, sifat hujan musiman, dan kejadian-kejadian iklim ekstrim seperti intensitas hujan yang tinggi ataupun kemarau panjang. Kemarau panjang yang di atas normal akan menyebabkan kekeringan sehingga tanaman akan mengalami defisit air, sedangkan intensitas curah hujan yang di atas normal akan menyebabkan banjir. Kejadian iklm ekstrim tersebut, biasa disebut anomali iklim, umumnya akan menimbulkan masalah ataupun dampak negatif terhadap berbagai aspek budidaya pertanian, begitu juga bagi perkebunan kelapa sawit.

Bentuk anomali iklim yang dirasakan semakin kerap muncul akhir-akhir ini adalah terjadinya fenomena alam El-Nino dan La-Nina. Musim kemarau panjang akibat terjadinya El-Nino menyebabkan meningkatnya luas lahan pertanian yang mengalami kekeringan hingga 8-10 kali lebih besar dari keadaan normal, sebaliknya La-Nina menyebabkan meningkatnya luas lahan pertanian yang rusak karena mengalami banjir hingga 4-5 kali lebih besar dari normal. Menurut catatan, El-Nino 1997 mengakibatkan kekeringan terburuk di Indonesia selama 50 tahun terakhir (Koesmaryono et al.,1998).

(16)

3

sementara pada tahun La Nina lebih cepat. Yang ketiga, selama tahun El Nino curah hujan akan mengalami penurunan, dan akan mengalami peningkatan yang signifikan pada tahun La Nina. Yang keempat, deret hari yang panjang akan muncul selama periode monsoon pada sebagian wilayah di Timur Indonesia (Boer dan Wahab, 2007).

Menurut Aldrian (2003), karakteristik curah hujan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh wilayah, bulan, dan musim, serta distribusi dataran dan laut. Dan berdasar karakteristik curah hujan yang dipengaruhi oleh kejadian ENSO, negara Indonesia terbagi menjadi tiga wilayah klimatologi yaitu wilayah monsoonal selatan, wilayah semi-monsoonal barat daya, dan wilayah anti-monsoonal Maluku. Curah hujan di wilayah monsoonal Selatan dipengaruhi oleh ENSO pada bulan Juli – November, sementara di wilayah anti-monsoonal Maluku dipengaruhi pada bulan Juni–November. Sementara di wilayah semi-monsoonal barat daya, pengaruh ENSO sangat kecil terhadap curah hujan di wilayah tersebut.

Perumusan Masalah

Produksi tanaman kelapa sawit dipengaruhi oleh besarnya curah hujan yang terjadi. Besarnya curah hujan yang terjadi pada saat ini akan mempengaruhi besarnya produksi tanaman kelapa sawit pada beberapa waktu ke depan karena berhubungan dengan proses pembungaan dan pematangan buah pada tanaman kelapa sawit. Anomali curah hujan yang di atas normal secara tidak langsung dapat berdampak negatif terhadap produksi perkebunan kelapa sawit yang dikarenakan dampak ikutan dari kerusakan infrastruktur (seperti jalan). Sementara anomali curah hujan yang di bawah normal akan menyebabkan terjadinya defisit air, sehingga produksi tanaman kelapa sawit akan mengalami penurunan.

(17)

Hal-hal tersebut di atas menyebabkan perlu dilakukan penyusunan model untuk memprediksi produktivitas tanaman kelapa sawit yang cukup akurat dan praktis serta dapat menduga kejadian iklim ekstrim yang akan mempengaruhi fluktuasi produksi kelapa sawit. Berdasarkan Boer dan Subbiah (2005), sebagian besar (86%) kejadian iklim ekstrim berupa kekeringan di sebagian Indonesia bersamaan dengan terjadinya fenomena ENSO, yang dipengaruhi oleh fluktuasi sea surface temperature (anomali) di samudera Pasifik, yang biasa disebut wilayah Nino 3,4. Sehingga dengan menggunakan anomali sea surface temperature (ASST) sebagai salah satu parameter dalam penyusunan model, besarnya penurunan produksi akibat kejadian iklim ekstrim dapat diprediksi.

Dampak dari kejadian iklim ekstrim terhadap produksi kelapa sawit tidak langsung terlihat pada saat itu juga. Oleh karena itu, perlu diketahui waktu kejadian ASST (lag-x) yang berpengaruh terhadap produksi saat ini, atau produksi yang akan datang. Hal ini perlu dilakukan untuk mengantisipasi penurunan produksi kelapa sawit yang berlebihan bagi pengusaha kelapa sawit, melalui beberapa upaya konservasi tanah dan air untuk menjaga kelembaban dan ketersediaan air di dalam tanah.

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mendapatkan hubungan keeratan (korelasi) antara produksi kelapa sawit dengan anomali sea surface temperature (ASST) di Nino-3,4.

2. Mendapatkan waktu tunda (lag) dari ASST di Nino-3,4 yang mempengaruhi fluktuasi produksi tanaman kelapa sawit.

3. Mendapatkan model penduga produksi kelapa sawit berdasarkan ASST di Nino-3,4.

Manfaat

(18)

5

Ruang Lingkup Penelitian

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Pertumbuhan, Perkembangan dan Produktivitas Kelapa Sawit

Pertumbuhan

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman yang termasuk devisi Tracheophyta, subdevisi Pteropsida, kelas Angiospermae, subkelas Monokotiledon, ordo Palmaes, famili Palmae, subfamili Palminae, genus Elaeis, spesies Elaeis guineensis (asal Afrika Barat) dan Elaeis oleifera (asal Amerika Latin), serta memiliki beberapa varietas yaitu Dura, Pisifera dan Tenera (Hartley, 1988). Famili Palmae dikenal juga sebagai famili Arecaceae (Ferwerda, 1977).

Pertumbuhan kelapa sawit terus berlangsung bertambah tinggi selama hidup secara alami hingga umur 135 tahun (seperti tercatat di Kebun Raya Bogor). Pertumbuhan kelapa sawit memiliki sifat-sifat vegetatif (akar, batang dan daun) dan generatif (bunga dan buah) yang khas, serta fenologi yang kompleks.

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan oleh Ismail dan Mamat (2002), waktu yang optimum tanaman kelapa sawit untuk ditanam ulang (replanting) bergantung pada harga tandan buah segar (TBS), biaya untuk menanam tanaman sawit baru, dan teknologi yang mengubah kapasitas produksi. Berdasarkan hal itu, umur tanaman yang optimal untuk di-replanting yaitu antara 25 – 26 tahun jika harga TBS Rp 600/kg. Jika harga TBS naik menjadi Rp 660/kg maka umur optimalnya menurun menjadi 24-25 tahun.

Perkembangan Tandan Bunga – Buah

Tandan bunga terletak pada ketiak daun, mulai muncul setelah tanaman berumur satu tahun di lapangan. Karena pada setiap ketiak daun terdapat potensi untuk menghasilkan bakal bunga, maka semua faktor yang mempengaruhi pembentukan daun juga akan mempengaruhi potensi bakal bunga serta dapat juga mempengaruhi perkembangan bunga. Bakal bunga terbentuk sekitar 33-34 bulan sebelum bunga mekar (anthesis), sedangkan pemisahan bunga jantan dan betina terjadi sekitar 14 bulan sebelum antesis (Breure dan Mendez, 1990).

(20)

8

Gambar 1. Diagram perkembangan bunga kelapa sawit (Harahap et.al, 2000) Fase-fase perkembangan bunga yang peka terhadap kekeringan akibat curah hujan yang rendah (dirangkum dari Corley, 2003 dan Harahap et.al, 2000) adalah sebagai berikut:

- Inisiasi pembentukan bakal bunga: 30-44 bulan sebelum matang panen. - Pembentukan perhiasan bunga: 28-32 bulan sebelum matang panen. - Penentuan kelamin bunga: 18-30 bulan bulan sebelum bunga mekar. - Peka aborsi bunga: 8-18 bulan sebelum matang panen.

- Anthesis: 5-9 bulan bulan sebelum matang panen.

Penentuan jenis kelamin ataupun pemisahan kelamin merupakan proses yang penting dalam rasio seks kelapa sawit. Rasio seks yang dimaksud merupakan perbandingan antara jumlah bunga betina dengan seluruh bunga yang diproduksi pada suatu waktu tertentu. Semakin tinggi rasio seks maka semakin banyak bunga betina, sehingga peluang untuk mendapatkan produktivitas tandan yang tinggi akan menjadi besar.

(21)

apabila sebelumnya juga telah terbentuk bunga jantan dan setelah bunga jantan tersebut muncul peluang terbesar berikutnya adalah muncul bunga jantan lagi.

Rasio seks yang tinggi ternyata belum menjamin produktivitas kelapa sawit yang tinggi, karena belum tentu semua bunga betina yang dihasilkan akan menjadi tandan buah yang dapat dipanen. Hal ini disebabkan kemungkinan terjadi aborsi bunga betina dan kegagalan tandan. Penyebab aborsi adalah karbohidrat yang kurang untuk perkembangan bunga, kurangnya ketersediaan air, pengurangan daun yang terlalu banyak sehingga tanaman mengalami cekaman (Corley, 2003). Kerawanan aborsi bunga ini biasanya terjadi 4,5-5,5 bulan sebelum bunga mekar. Jumlah bunga yang mengalami aborsi dapat mencapai lebih 25% dari produksi bunga yang dihasilkan (Bealing dan Harun, 1989), sehingga dapat merupakan salah satu faktor penyebab fluktuasi produktivitas kelapa sawit.

Kegagalan tandan merupakan tandan yang gagal berkembang dari bunga mekar sampai tidak dapat dipanen. Hal ini disebabkan penyerbukan tidak sempurna, karbohidrat kurang, variasi musim (dinamika iklim) ataupun serangan hama dan penyakit (Corley, 2003). Kegagalan perkembangan tandan bunga dari bunga mekar hingga matang fisiologis (3-4 minggu sebelum siap dipanen) juga merupakan faktor yang mempengaruhi jumlah tandan dan fluktuasi produktivitas kelapa sawit.

Tanaman kelapa sawit berpeluang menghasilkan tandan buah sepanjang tahun. Perkembangan tandan bunga menjadi tandan buah sudah jelas dipengaruhi oleh dinamika iklim, terutama curah hujan. Pembentukan buah terjadi setelah penyerbukan, waktu yang diperlukan dari penyerbukan sampai matang fisiologis dipengaruhi oleh iklim. Oleh karena itu waktu pembentukan buah pada berbagai kawasan dapat berbeda, misalnya di Sumatera Utara dan Malaysia memerlukan waktu 5-6 bulan, sedangkan di Afrika Barat memerlukan waktu 6-9 bulan. Pematangan buah dalam satu tandan berlangsung berangsur-angsur hingga siap dipanen bila beberapa buah telah terlepas secara alami (Hartley, 1988).

Produktivitas Kelapa Sawit

(22)

10

tahun) di lapangan. Produktivitas tandan kelapa sawit meningkat dengan cepat dan mencapai maksimum pada umur tanaman 8-12 tahun, kemudian menurun secara perlahan-lahan dengan tanaman yang makin tua hingga umur ekonomis 25 tahun (Corley, 2003). Pada perkebunan kelapa sawit yang dikelola dengan baik di Indonesia dan Malaysia, produktivitas maksimum tandan buah segar dapat mencapai 24-32 ton/ha/tahun. Pada hampir semua perkebunan komersial umur produktif dan ekonomis kelapa sawit bisa mencapai 25 tahun, jika lebih tua tanaman kelapa sawit menjadi tidak ekonomis (Corley, 2003).

Peningkatan produktivitas sampai umur 8-12 tahun menunjukkan pola yang sama dengan peningkatan luas daun yang mencapai maksimum pada umur yang sama. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang positif antara luas daun dan produktivitas tandan sebelum tajuk-tajuk tanaman saling tumpang tindih sehingga terjadi persaingan dalam memperoleh penyinaran matahari. Penurunan produktivitas dengan menuanya umur tanaman berhubungan dengan penggunaan asimilat hasil fotosintesis untuk respirasi utamanya pada bagian batang yang merupakan organ dengan biomassa terbesar, sehingga proporsi untuk organ generatif berkurang (Corley, 2003).

Produktivitas tandan buah segar (TBS) kelapa sawit dapat diperhitungkan dari komponen-komponennya, yaitu jumlah tandan dan rerata berat tandan. Kedua komponen ini dipengaruhi oleh genetik tanaman, umur, lingkungan dan manajemen (kultur teknis). Berat tandan rata-rata akan meningkat sejalan dengan umur tanaman, sedangkan jumlah tandan akan menurun dengan semakin bertambahnya umur tanaman.

(23)

terdapat kecenderungan penurunan rasio seks pada 16-22 bulan setelah terjadinya kekeringan di Malaysia.

Berat tandan meningkat dengan pertambahan umur tanaman. Pada awal tanaman menghasilkan (umur 3 tahun) rerata berat tandan sekitar 4 kg per tandan dan terus meningkat hingga mencapai 25 kg per tandan pada umur 15 tahun atau lebih (Corley, 2003). Berat tandan umumnya relatif kurang dipengaruhi oleh faktor lingkungan dibandingkan jumlah tandan.

Tanaman kelapa sawit menghasilkan minyak sebesar 3,67 ton per hektar. Rasio output-to-input tanaman kelapa sawit untuk menghasilkan minyak adalah sebesar 9:1 dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak lainnya seperti kedelai dan rapeseed yang hanya 3:1. Tanaman kelapa sawit juga memiliki tingkat fotosintesis yang tinggi yang menghasilkan emisi oksigen dan penyerapan karbon dioksida dimana nilainya sepuluh kali lebih efektif daripada tanaman kedelai. Selain itu, luasan areal yang dibutuhkan untuk menghasilkan sebagian besar kebutuhan minyak dan lemak seluruh dunia akan lebih sedikit dibandingkan tanaman penghasil minyak lainnya (Basiron, 2007).

Faktor Lingkungan Tanaman Kelapa Sawit

Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman kelapa sawit meliputi iklim, tanah, serta biotik. Faktor cuaca dan iklim umumnya belum dapat dikendalikan, sedangkan faktor tanah dan biotik dapat dikendalikan melalui manajemen dan kultur teknis yang optimal.

Iklim

(24)

12

perkembangan dan produktivitas meliputi curah hujan, radiasi matahari, suhu udara, kelembaban udara dan bulan kering.

Curah hujan. Jumlah curah hujan yang kurang atau melebihi kebutuhan tanaman akan menurunkan kelas kesesuaian lahan maupun iklim, karena jumlah air yang dikonsumsi tanaman berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetatif dan perkembangan generatif. Tanaman kelapa sawit tumbuh dengan baik pada kawasan-kawasan dengan curah hujan tahunan sekitar 2000 mm dan menyebar merata sepanjang tahun (Hartley, 1988). Penyebaran curah hujan merata dimaksud adalah sebaran curah hujan yang tidak terdapat perbedaan mencolok dari satu bulan ke bulan berikutnya dan sebaiknya tidak terdapat bulan kering sehingga tanaman tidak mengalami cekaman air.

Penyebaran curah hujan dari waktu ke waktu merupakan faktor yang penting untuk perkembangan bunga. Pada umumnya sewaktu musim hujan terbentuk lebih banyak tandan bunga betina, sedang pada musim kemarau terbentuk lebih banyak bunga jantan dikarenakan mulai awal musim kemarau pemisahan bunga cenderung ke arah bunga jantan (Turner, 1977). Curah hujan yang tinggi dengan penyebaran yang sangat merata sepanjang tahun mengakibatkan pertumbuhan vegetatif yang lebih dominan dari generatif, sehingga mengurangi pembentukan tandan bunga. Curah hujan dengan intensitas tinggi juga mengakibatkan penyerbukan menjadi kurang sempurna akibat hilangnya tepung sari karena terbawa aliran air. Corley (2003) menyatakan bahwa hujan yang jatuh pada musim kemarau yang singkat berkorelasi positif terhadap produktivitas kelapa sawit. Curah hujan rendah disertai adanya beberapa bulan kering yang nyata akan menghambat pembentukan daun dan mengurangi pembentukan bunga betina.

(25)

produksi tandan bunga betina, (ii) terdapat korelasi positif antara produksi tandan buah dengan lama penyinaran tahunan yang terjadi pada dua bulan sebelumnya, (iii) penyebaran produktivitas tandan buah tidak teratur pada kawasan yang terletak di lintang besar (di atas 160 lintang utara/selatan) yang disebabkan keragaman lama penyinaran matahari harian yang besar di antara bulan yang satu dengan lainnya.

Suhu udara dan ketinggian tempat. Pengaruh suhu udara terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman kelapa sawit banyak dideduksi dari penyebaran geografi dan ketinggian tempat, dalam hal ini suhu udara akan semakin menurun dengan ketinggian tempat. Tanaman ini dibudidayakan, tumbuh dan berkembang baik pada daerah tropis antara 130 Lintang Utara sampai 120 Lintang Selatan, utamanya di kawasan Afrika, Asia dan Amerika Latin (Hartley, 1988). Ketinggian tempat yang ideal untuk pertanaman kelapa sawit mulai dari 5 m sampai 200 m dari atas permukaan laut. Sampai dengan tahun 2000, pada daerah dengan ketinggian lebih dari 400 m dari permukaan laut tidak dianjurkan untuk budidaya kelapa sawit.

Tanaman kelapa sawit tumbuh dan berkembang baik pada kawasan yang mempunyai suhu udara rata-rata 24-28 0C (Ferwerda, 1977). Untuk produktivitas yang tinggi dibutuhkan suhu maksimum rata-rata pada kisaran 29-32 0C dan suhu minimum rata-rata pada kisaran 22-24 0C (Hartley, 1988). Pada kajian lain, Ferwerda (1977) menyatakan bahwa perkebunan-perkebunan kelapa sawit dengan produktivitas yang lebih tinggi terdapat pada kawasan-kawasan yang mempunyai keragaman suhu udara bulanan yang kecil.

Kelembaban udara. Tanaman kelapa sawit tumbuh dengan baik pada kawasan tropis dengan kelembaban udara rata-rata harian berkisar 75-80% (Ferwerda, 1977). Kelembaban bersama suhu udara dan lengas tanah mempengaruhi pembukaan stomata (Ochs dan Daniel, 1976). Keadaan pembukaan stomata mempengaruhi pertukaran gas antara jaringan daun dan atmosfer pada lingkungan tanaman. Pertukaran gas tersebut terutama CO2 yang

(26)

14

pertukaran gas antara jaringan tanaman dan atmosfer terganggu. Demikian juga udara basah pada kelembaban udara tinggi menyebabkan perbedaan tekanan uap antara ruang interselular di jaringan daun dan atmosfer relatif kecil mengakibatkan laju transpirasi menurun dan pertukaran gas terganggu.

Tanah

Tanaman kelapa sawit dapat dibudidayakan pada berbagai jenis tanah. Tanaman ini tumbuh dan berkembang dengan baik pada tanah subur bersolum dalam, berdrainase baik, pH berkisar 5,5-7,0. Tanah yang demikian terutama pada tanah bertekstur lempung liat berpasir yang biasa dijumpai pada tanah-tanah aluvial. Di samping itu tanah-tanah dengan topografi datar sangat baik untuk budidaya tanaman kelapa sawit (Hartley, 1988).

Bagi tanaman kelapa sawit, sifat fisik tanah lebih penting dari sifat kesuburan kimianya, karena kekurangan suatu unsur hara dapat diatasi secara kimiawi dengan pemupukan. Piggot (1990) mengemukakan beberapa ciri tanah yang merupakan faktor pembatas dan tidak sesuai untuk pertumbuhan tanaman kelapa sawit. Ciri-ciri tanah tersebut meliputi (i) berdrainase jelek dengan permukaan air dangkal ataupun karena struktur yang kurang baik (masif) sehingga terjadi penggenangan yang cukup lama, (ii) tanah-tanah laterik yang berkembang lanjut, sehingga telah terjadi translokasi mineral-mineral lempung mengakibatkan banyaknya fragmen-fragmen kasar yang memiliki kapasitas menahan air rendah, (iii) tanah-tanah di daerah pantai yang bertekstur pasir, dan (iv) tanah gambut dengan kedalaman lebih dari 200 cm.

(27)

produktivitas 18 – 21 ton TBS/ha/tahun; (iv) Tingkat kesuburan rendah yang meliputi tanah-tanah Paleaquult, Paleudult, Palehumult, dan Kandiudult serta tanah gambut dengan tingkat produktivitas <18 ton TBS/ha/tahun.

Biotik

Faktor lingkungan biotik yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman kelapa sawit meliputi persaingan antar tanaman, persaingan antara tanaman dengan tanaman lain (penutup tanah kacangan dan gulma), hama penyakit dan manusia sebagai pengelola. Umumnya faktor biotik ini berkaitan dengan tindakan-tindakan kultur teknis yang dapat dikelola optimal oleh manusia.

Faktor biotik persaingan antar tanaman maupun antara tanaman dengan tanaman penutup tanah kacangan serta gulma berkaitan dengan tindakan-tindakan kultur teknis oleh manusia sebagai pengelola. Tindakan-tindakan kultur teknis tersebut meliputi pangaturan jarak tanam, pemupukan, pemangkasan pelepah diupayakan untuk mempertahankan indeks luas daun (Leaf Area Index, LAI) optimum. Selain itu penanaman penutup tanah kacangan yang teratur serta pengendalian gulma juga merupakan tindakan kultur teknis untuk mengurangi persaingan dalam mendapatkan hara dan air.

Hujan, Ketersediaan Air, dan Kekeringan pada Pertanaman Kelapa Sawit

Curah hujan dan penyebarannya dari waktu ke waktu sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman kelapa sawit. Rendahnya curah hujan pada periode waktu tertentu akan menyebabkan berkurangnya ketersediaan air, serta pada tingkat tertentu akan mengakibatkan kekeringan. Kekeringan umumnya akan berpengaruh negatif terhadap tanaman, serta besarnya dampak kekeringan tergantung pada tingkat serta lamanya kekeringan, jenis tanah, dan tindakan penanggulangan yang dapat dilakukan (seperti irigasi).

Hujan, kekeringan, dan fluktuasi produksi

(28)

16

lebih banyak bunga jantan. Sehingga kekeringan merupakan penyebab adanya fluktuasi produksi tandan kelapa sawit (Turner, 1978). Selanjutnya telah diketahui bahwa sebagian besar dari produksi tandan pada tahun sedang berjalan sebenarnya sangat ditentukan oleh keadaan 24 – 33 bulan sebelumnya. Keadaan ini disebabkan adanya hubungan yang erat antara curah hujan maupun radiasi matahari dengan seks-rasio (Hartley, 1977).

Tanaman kelapa sawit yang mengalami keadaan cekaman air tanah (kurangnya ketersediaan air tanah) akan turun hasilnya sebagai akibat meningkatnya jumlah bunga jantan dibanding jumlah bunga betina selama periode cekaman tersebut. Keadaan ini akan menyebabkan keragaman produksi tandan yang tajam selama masa perkembangan organ seks sampai pemasakan tandan buah (Wahid et al., 1985).

Broekmans (1957) mengatakan bahwa bulan-bulan dengan cekaman air (kekeringan) pada pertanaman kelapa sawit akan menurunkan produksi tandan 24 bulan berikutnya. Sedangkan Corley (2003) mendapatkan bahwa cekaman air berpengaruh langsung pada diferensiasi kelamin, dimana 20 bulan kemudian akan mengakibatkan bunga jantan lebih banyak. Waktu yang dibutuhkan untuk penentuan jenis kelamin sampai antesis di kawasan Asia Tenggara adalah 19-24 bulan.

Ketersediaan air dan kekeringan pada tanaman

Pemanfaatan rumus empiris untuk menghitung defisit air pada pertanaman kelapa sawit dengan menggunakan data curah hujan dan hari hujan di Afrika, walaupun masih dipertimbangkan ketepatannya bila digunakan di Indonesia, banyak digunakan menggambarkan kekeringan hingga saat ini. Rumus empiris tersebut telah ditetapkan dengan hanya memakai data curah hujan dan hari hujan setempat (Surre, 1968).

(29)

Selanjutnya bila pada solusi rumus di atas, nilai Rf lebih kecil dari no maka nilai tersebut adalah nilai kekurangan air. Tetapi bila nilai Rf lebih besar dari nol dan lebih kecil dari 200 mm, maka nilai tersebut adalah nilai Ri atau persediaan air di dalam tanah pada akhir bulan tersebut (merupakan persediaan air di dalam tanah pada awal bulan berikutnya). Sedangkan bila nilai Rf lebih besar dari 200 mm maka persediaan awal bulan berikutnya adalah hanya 200 mm, karena telah diasumsikan bahwa kemampuan lahan pertanaman kelapa sawit menahan air maksimum 200 mm per bulan atau selebihnya akan didrainasekan.

Kekeringan pada tanaman kelapa sawit mulai terjadi bila defisit air mencapai 200 mm, serta akan berakhir bila defisit air kembali menjadi 0 mm (perhitungan menggunakan rumusan Surre, 1968). Dari hasil pengamatan pada pertanaman-pertanaman kelapa sawit di Indonesia, Siregar et.al (1995) telah mengemukakan kriteria defisit air dan dampaknya pada tanaman kelapa sawit. Kriteria defisit air yang dihubungkan dengan tanaman belum menghasilkan (TBM) maupun tanaman menghasilkan (TM) serta produksi tandan buah kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kriteria defisit air dan dampaknya pada tanaman kelapa sawit

Stadia Defisit Air

(mm/tahun)

Gejala pada tanaman kelapa sawit Penurunan

produksi (%) Pertumbuhan vegetatif

Pertama < 200 Belum begitu berpengaruh 0 – 10 Kedua 200-300 Pada TBM dan TM, 3-4 daun muda

mengumpul dan tidak membuka

Pada TM, 1-4 pelepah daun tua patah (sengkleh)

10 – 20

Ketiga 300-400 Pada TBM dan TM, 4-5 daun muda tidak membuka

Pada TM, 8-12 pelepah daun tua patah (sengkleh) dan mengering

20 – 30

Keempat 400-500 Pada TBM dan TM, 4-5 daun muda mengumpul dan tidak membuka

Pada TM, 12-16 pelepah daun tua patah (sengkleh) mengering

30 – 40

Kelima > 500 Pada TBM dan TM, daun muda dan tua seperti stadia keempat

Pada TBM dan TM, pupus bengkok dan akhirnya dapat patah

> 40

(30)

18

pertanmaan di Sumatera Utara dapat berkisar 17-58% (Panjaitan, 1984). Sedangkan Hutomo et al. (1997), mengemukakan taksiran penurunan produksi selama 24 bulan setelah kekeringan pada perkebunan-perkebunan kelapa sawit di Indonesia berkisar 21-65%.

Suhu Muka Laut (Sea Surface Temperature, SST)

Suhu muka laut (SST) merupakan suhu pada permukaan air laut (kurang lebih pada kedalaman 0,5 m yang merupakan lapisan terdekat ke atmosfer. SST berkaitan dengan suhu pada ketinggian atau kedalaman tertentu dari permukaan laut. Pada umumnya pengukuran ini menggunakan citra satelit pada saluran infra merah. Namun tetap dilakukan pengukuran secara konvensional di lautan itu sendiri sebagai koreksi terhadap nilai yang dihasilkan satelit. Di Indonesia, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) selaku instansi yang berwenang melakukan pengukuran variabel meteorologi, telah melakukan pengukuran SST ini pada enam stasiun maritimnya, dan juga melakukan pengamatan melalui citra satelit seperti NOAA, MTSAT, Feng Yun, dan MODIS.

Suhu muka laut di perairan Indonesia sebagai indeks banyaknya uap air

pembentuk awan di atmosfer. Jika suhu muka laut dingin uap air di atmosfer

menjadi berkurang, sebaliknya jika suhu muka laut panas uap air di atmosfer

banyak. Pola suhu muka laut di Indonesia secara umum mengikuti gerak tahunan

matahari. Suhu muka laut di Samudera Hindia (kecuali sebalah barat Sumatera

Barat, Sumatera Utara dan Nangro Aceh Darussalam) mempunyai rentang

perubahan yang cukup lebar yaitu minimum berkisar 26,0° C pada bulan Agustus

hingga maksimum berkisar 31,5° C pada bulan Februari – Maret. Wilayah

perairan lainnya umumnya mempunyai rentang perubahan lebih sempit yaitu

berkisar 29,0° C hingga 31,5° C dan waktu terjadinya minimum dan

maksimumnya tidak sama disetiap perairan.

Keanekaragaman kondisi iklim di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa

fenomena yang terjadi di Indonesia, seperti osilasi inter-annual yang mempunyai

siklus 2 – 7 tahun yaitu El Nino Southern Oscillation dan Indian Ocean Dipole.

Selain itu juga terdapat osilasi intra-seasonal yang mempunyai siklus 30 – 60 hari

(31)

ENSO (El Nino Southern Oscillation)

Daerah ENSO dibagi menjadi empat wilayah (Gambar 2), yaitu: Nino-1+2

(0°-10°LS, 80°-90°BB), Nino-3 (5°LU-5°LS, 90°-150°BB), Nino-4 (5°LU-5°LS,

150°-160°BB), dan Nino-3,4 (5°LU-5°LS, 120°-170°BB) (NOAA, 2010). Daerah

Nino-1+2 berguna untuk melhat indikasi awal kejadian penyimpangan iklim

karena wilayahnya tepat berada di pantai barat benua Amerika bagian selatan.

Daerah Nino-3 untuk melihat indikasi penyimpangan iklim, dan Nino-4 untuk

melihat tingkat keparahan penyimpangan iklim karena terletak di daerah paling

barat dibandingkan dengan daerah Nino lainnya. Indikator suhu muka laut yang

biasa digunakan untuk melihat gejala akan terjadinya penyimpangan iklim/cuaca

seperti El Nino dan La Nina adalah perubahan suhu permukaan laut di kawasan

Pasifik (anomali sea surface temperature/SST di Nino-3,4), dan perbedaan

[image:31.595.97.504.84.791.2]

tekanan antara Tahiti dan Darwin (SOI).

Gambar 2. Pembagian wilayah Nino di Samudera Pasifik

(32)

20

untuk Laut Flores, ketika terjadi peningkatan suhu permukaan laut (anomali positif), curah hujan di Jawa meningkat dan apabila terjadi anomali negatif, curah hujan di Jawa menurun (Mulyana, 2000).

[image:32.595.72.488.2.798.2]

Menurut Aldrian et.al (2003), karakteristik curah hujan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh wilayah, bulan, dan musim, serta distribusi dataran dan laut. Berdasar karakteristik curah hujan yang dipengaruhi oleh kejadian ENSO, negara Indonesia terbagi menjadi tiga wilayah klimatologi yaitu wilayah monsoonal selatan, wilayah semi-monsoonal barat daya, dan wilayah anti-monsoonal Maluku. Curah hujan di wilayah monsoonal Selatan dipengaruhi oleh ENSO pada bulan Juli – November, sementara di wilayah anti-monsoonal Maluku dipengaruhi pada bulan Juni–November. Sementara di wilayah semi-monsoonal barat daya, pengaruh ENSO kecil terhadap curah hujan di wilayah tersebut (Gambar 3).

Gambar 3. Pembagian wilayah klimatologi di Indonesia berdasarkan pengaruh ENSO (berdasarkan Aldrian et.al, 2003).

Keterangan: A = wilayah monsoonal selatan; B = wilayah monsoonal barat daya; dan C = wlayah anti monsoonal maluku.

IOD (Indian Ocean Dipole)

Selain El Nino, penyimpangan iklim akhir-akhir ini diketahui juga berhubungan dengan fenomena Dipol Mod (Indian Ocean Dipole, IOD). Fenomena ini adalah gejala penyimpangan cuaca yang dihasilkan oleh interaksi antara permukaan samudera dan atmosfer di Samudera Hindia bagian timur (daerah 90°-110° BT dan 10° LS - 0° LU ) dan Samudera Hindia bagian barat (daerah 50°-70° BT dan 10° LS - 10°LU).

B

A

C

A B

(33)
[image:33.595.92.470.286.741.2]

Fenomena ini sebagai akibat aliran massa udara ke arah barat dan penumpukan massa air di bagian barat Samudera Hindia. Kejadian ini mengakibatkan penurunan suhu permukaan air laut di sisi timur Samudera Hindia (anomali negatif) dan kenaikan suhu permukaan air laut di sisi barat (anomali positif) yang disebut juga dengan peristiwa pembentukan dua kutub (kutub positif dan kutub negatif suhu permukaan air laut) atau Indian Ocean Dipole. Annomali positif menggambarkan kondisi suhu permukaan laut yang rendah di wilayah Samudra Hindia Timur dan suhu permukaan laut yang tinggi di wilayah barat, sehingga menyebabkan terjadinya konveksi yang membentuk awan di wilayah barat, sementara kekeringan terjadi di wilayah timur samudra Hindia (Indonesia), dan sebaliknya pada anomali negatif (Gambar 4).

(34)

22

MJO (Madden-Julian Oscillation)

Roland Madden dan Paul Julian pada tahun 1971 menemukan osilasi 30-60 hari ketika menganalisis anomali angin zonal di Pasifik Tropis yang dikenal dengan Madden-Julian Oscillation (MJO). Mereka menggunakan data tekanan udara permukaan selama 10 tahun di Pulau Canton (2.80 LS di Pasifik) dan data angin di lapisan atas Singapura. MJO juga menunjukkan osilasi 30-60 hari atau 40-50 hari yang menjadikan fluktuasi intra-seasonal untuk menjelaskan variasi iklim di wilayah tropis. MJO mempengaruhi seluruh lapisan troposfer tropis, tetapi lebih terlihat jelas di Pasifik Barat dan Hindia. MJO melibatkan variasi angin, sea surface temperature (SST), perawanan, dan hujan.

Mekanisme terjadinya MJO yaitu pada saat terjadi konveksi dan konversi

angin langit yang cerah menyebabkan lebih banyak radiasi gelombang pendek

untuk mencapai permukaan laut. Hal ini menyebabkan sea surface temperature (SST) meningkat dengan perjalanan arus laut ke timur. Angin tersebut juga lebih

kencang daripada biasanya, yang menunjukkan bahwa evaporasi terjadi dengan

lebih tinggi di permukaan laut. Fenomena MJO sebenarnya tidak berpengaruh

mendatangkan hujan lebat ketika posisi matahari tidak berada di sebelah selatan

khatulistiwa. Posisi matahari pada tiga bulan ke depan akan menentukan tinggi

atau rendahnya penguapan di wilayah selatan khatulistiwa dan evaporasi yang

tinggi akan menimbulkan curah hujan tinggi di wilayah-wilayah tertentu,

termasuk di Indonesia.

Model Pertumbuhan Tanaman Kelapa Sawit

Model merupakan penyederhanaan suatu sistem maupun subsistem. Sedangkan sistem adalah gambaran suatu proses atau beberapa proses yang teratur. Suatu proses mungkin kelihatan sangat rumit karena banyak proses yang terlibat atau komponen di dalamnya, namun sistem tersebut tetap merupakan suatu keteraturan. Berdasarkan tujuannya, model simulasi dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu untuk pemahaman proses, prediksi, dan keperluan manajemen (Handoko, 1994).

(35)

Masing-masing cara dapat dikombinasikan antara satu dengan lainnya untuk menghasilkan model yang lebih baik. Model empirik adalah model yang dibuat berdasarkan pengamatan empirik dan statistik sehingga digunakan hubungan sebab akibat tanpa menjelaskan proses yang terjadi. Model mekanistik menjelaskan mekanisme proses yang terjadi dalam suatu sistem berdasarkan pada bidang ilmu yang terkait. Model dinamik memperhatikan unsur waktu sebagai peubah penting. Model statik tidak menjelaskan peubah-peubah di dalam model sebagai fungsi waktu. Model deterministik tidak memperhitungkan peluang terjadinya kesalahan prediksi sehingga keluarannya bersifat mutlak. Model stokhastik mengandung toleransi berupa simpangan statistik yaitu ragam maupun simpangan baku. Model deskriptif menggambarkan bentuk-bentuk hubungan secara konsepsi atau berupa simbol-simbol yang bersifat kualitatif. Model numerik menggambarkan bentuk hubungan yang bersifat kuantitatif dalam bentuk numerik berupa persamaan-persamaan (Handoko, 1994).

Model pertumbuhan tanaman pada umumnya bersifat non linear, begitu juga dengan tanaman kelapa sawit yang mempunyai pertumbuhan non linear. Oleh karena itu, biasanya digunakan model pertumbuhan tanaman non linear dalam menduga produksi tanaman kelapa sawit. Penyusunan persamaan produksi Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit masih jarang dilakukan dan dieksplorasi.

(36)

24

Manurung (1986) mengemukakan model non linier famili eksponen dan model regresi kuadratik untuk peramalan potensi produksi TBS di Sumatera Utara dengan peubah utama umur tanaman. Hasil peramalan menggunakan model ini dapat menjelaskan keragaman total potensi produksi TBS sebesar 79-98%. Selanjutnya Manurung juga merumuskan model regresi linier berganda untuk peramalan produksi TBS berdasarkan enam belas peubah unsur iklim dan ketertinggalan waktu (time lag) 24 bulan. Hasil analisis menunjukkan bahwa kontribusi iklim yang dapat masuk ke dalam model peramal mencapai 88,76%.

Siregar (1998) merumuskan simulasi produksi kelapa sawit dengan menggunakan peubah-peubah kekeringan Deret Hari Kering, curah hujan dengan time lag, dan frekuensi deret hari kering pada kebun kelapa sawit di provinsi Lampung. Model simulasi secara keseluruhan dapat menjelaskan keragaman produksi TBS sebesar 73-78%, dengan keeratan maksimum terdapat pada deret hari kering maksimum pada lag 4-9 bulan sebelumnya, frekuensi deret hari kering >5 hari pada lag 22-27 bulan sebelumnya dan peubah kekeringan curah hujan pada lag 3-8 bulan sebelumnya.

Khamis et.al. (2006) juga melakukan penyusunan model persamaan untuk menduga produksi kelapa sawit dengan beberapa regresi linear menggunakan pendekatan neural network. Struktur ini membutuhkan identifikasi dari beberapa input dan output. Variabel yang digunakan yaitu kandungan hara Nitrogen, Fosfor, Potasium, Kalsium, dan Magnesium di daun, sedangkan outputnya yaitu produksi TBS. Hasil persamaan menunjukkan bahwa model neural network mengungguli analisis regresi, dimana nilai koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan neural network meningkat menjadi 63,74% dari sebelumnya 39,20% dengan menggunakan regresi linear (multiple linear regression). Hal ini menunjukkan bahwa neural network dapat menjadi salah satu alternatif dalam penyusunan model produksi kelapa sawit.

(37)
(38)

METODOLOGI

Waktu dan Tempat

Penelitian merupakan desk study dengan menggunakan data sekunder dan pengolahan data dilakukan di Laboratorium Klimatologi Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor dan Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan, Sumatera Utara.

Seluruh rangkaian kegiatan penelitian akan dilaksanakan selama enam bulan yang meliputi studi pustaka/literatur, penyusunan usulan penelitian, inventarisasi data, input data, identifikasi, pengolahan data, analisis data, serta penyusunan dan perbaikan tesis.

Alat dan Bahan

Penelitian ini menggunakan data sekunder dari beberapa perkebunan kelapa sawit lingkup PT Perkebunan Nusantara yang berlokasi di Sumatera. Data tersebut diinventarisasi dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit, bagian Pelayanan dan Jasa, yang berlokasi di jalan Brigjend. Katamso no. 51 Medan, Sumatera Utara. Data yang diinventaris meliputi:

1. Data tahunan:

- Produksi tandan buah segar (TBS) per tahun tanam (ton/ha) pada beberapa kebun kelapa sawit lingkup PT Perkebunan Nusantara di pulau Sumatera. - Anomali sea surface temperature (ASST) tahunan di Nino-3,4.

2. Data bulanan:

- Produksi tandan buah segar (TBS) per bulan per tahun tanam (kg/ha) pada kebun Rejosari, provinsi Lampung.

- Anomali sea surface temperature (SST) bulanan di Nino-3,4.

(39)

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat personal computer, dengan dukungan software MS-EXCELL, Crystal Ball, dan Minitab untuk analisis dan simulasi.

Metode Penelitian

Metode penelitian meliputi identifikasi hubungan produksi tandan buah segar kelapa sawit dengan suhu muka laut, dan penerapan model dalam memprediksi produksi kelapa sawit dengan menggunakan data suhu muka laut.

Analisis Data Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap dengan kerangka kerja seperti pada Gambar 5. Tiga tahap penelitian ini meliputi: (1) Penyusunan fungsi produksi menurut umur; (2) Identifikasi hubungan produksi kelapa sawit dengan anomali suhu muka laut di Nino-3,4; (3) Pendugaan produksi kelapa sawit berdasarkan anomali suhu muka laut di Nino-3,4.

Penyusunan fungsi produksi menurut umur.

Data produksi tanaman kelapa sawit tahunan yang telah dikumpulkan terlebih dahulu harus melalui suatu proses sebelum diolah lebih lanjut. Masing-masing data produksi harus dihilangkan faktor pengaruh umurnya. Proses penghilangan pengaruh umur ini dilakukan dengan menginventaris produksi tahunan per tahun tanam di masing-masing kebun sehingga diperoleh rataan produksi per tahun untuk masing-masing kebun, sehingga diperoleh data produksi per umur tanaman.

(40)

29

Fungsi produksi menurut fungsi umur, f(u), dirumuskan menggunakan model non-linier famili eksponen. Pendugaan parameter model menunjukkan hasil fungsi produksi menurut umur (Yt) sebagai berikut:

[image:40.595.94.512.145.703.2]

f(u) = Yt = a + b ln(t) exp (c t); keterangan: t = umur tanaman

(41)

Pendugaan parameter a, b, dan c untuk model fungsi produksi pada masing-masing kebun dilakukan dengan iterasi penglinieran (linierization). Pendugaan ini diselesaikan dengan cara mencari kuadrat terkecil atau meminimumkan galat. Selain itu, pendugaan juga dilakukan dengan menggunakan bantuan fasilitas solver pada Microsoft Excel.

Solver merupakan salah satu fasilitas tambahan (add-ins) yang digunakan untuk memecahkan persoalan yang cenderung rumit, seperti suatu model yang non linear dengan parameter yang dapat disesuaikan dan banyak konstanta yang harus dicocokkan dengan model tersebut. Fasilitas solver memungkinkan kita untuk menghitung nilai yang dibutuhkan untuk mencapai hasil terdapat dalam satu sell atau sederatan sel (range). Dengan kata lain, solver dapat menangani masalah yang melibatkan banyak sel/variabel dan membantu dalam mencari kombinasi variabel untuk meminimalkan/memaksimalkan suatu target. Adapun dalam penelitian ini adalah untuk meminimalkan nilai galat.

Identifikasi hubungan produksi kelapa sawit dengan anomali suhu muka laut

Identifikasi dilakukan dengan menghubungkan pola produksi tanaman kelapa sawit dengan anomali suhu muka laut (sea surface temperature, SST)yang dilihat dari anomali suhu muka laut di 3,4. Anomali suhu muka laut di Nino-3,4 diharapkan dapat merepresentasikan kondisi yang terjadi di samudera Pasifik. Kondisi di lokasi tersebut akan mempengaruhi curah hujan yang terjadi di Indonesia. Di sisi lain, produksi tanaman kelapa sawit sangat tergantung dengan besarnya curah hujan yang terjadi. Oleh karena itu, diduga ada korelasi antara anomali suhu muka laut dengan produksi tanaman kelapa sawit.

(42)

31

anomali suhu muka laut di ENSO-3,4 yang mempunyai koefisien korelasi yang diuji nyata dan tertinggi dalam perumusan model produksi akan menjadi peubah yang terpilih.

Rumus dasar yang digunakan dalam melakukan analisis korelasi (r) adalah sebagai berikut:

Dimana r = besarnya korelasi antara sisaan model dengan anomali SST Xt = sisaan model tahun ke-t

Yt = anomali SST tahun ke-t

n = Banyaknya tahun

r = Nilai korelasi pada rentang -1 ≤ r ≤ 1

Pendugaan produksi kelapa sawit berdasarkan anomali SST di Nino-3,4

Proses pendugaan produksi kelapa sawit menggunakan data produktivitas bulanan (Januari 2003 – Mei 2011) pada kebun Rejosari, provinsi Lampung. Data produktivitas bulan Januari 2003 – Desember 2009 digunakan untuk membangun model, sementara data bulan Januari 2010 – Mei 2011 digunakan untuk memvalidasi model. Proses pendugaan dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu: menghilangkan pengaruh umur dan musiman, membangun hubungan antara sisaan dari persamaan sebelumnya dengan anomali SST di Nino-3,4, dan membangun model untuk menduga produksi kelapa sawit menggunakan stochastic spreadsheet dengan memanfaatkan persamaan sebelumnya. Model persamaan ini diharapkan dapat menduga besaran produksi (kg/ha) tanaman kelapa sawit per bulan dengan variabel anomali SST di Nino-3,4. Proses ini akan dilakukan pada setiap tahun tanam yang terdapat di kebun Rejosari.

-Menghilangkan pengaruh umur

Data produksi bulanan yang telah diinventarisasi disusun berdasarkan umur tanaman per tahun tanamnya, dan kemudian direratakan. Sehingga diperoleh data rataan produktivitas tanaman per umur dalam satuan bulan. Data tersebut digunakan untuk menghilangkan pengaruh umur pada suatu produktivitas tanaman menggunakan model non linier famili eksponen yang dikenalkan oleh

                                   n t n t t n t n t t t n t n t t n t t t t

Y

Y

X

X

Y

X

Y

X

t n n n r 1 2 1 2 2 1 1 2

1 1 1

(43)

Manurung (1986) dan Siregar (1998) untuk menduga produktivitas tanaman kelapa sawit. Persamaan tersebut yaitu:

f(u) = Yt = a + b ln(t) exp (c t) + ε1; keterangan t = umur tanaman (bulan)

Parameter a, b, dan c untuk model fungsi produksi pada masing-masing kebun diduga dengan iterasi penglinieran (linierization). Pendugaan ini diselesaikan dengan cara mencari kuadrat terkecil atau meminimumkan galat. Selain itu, pendugaan juga dilakukan dengan menggunakan bantuan fasilitas solver pada Microsoft Excel.

-Menghilangkan pengaruh musiman (seasonal)

Pola produktivitas tanaman kelapa sawit yang tidak dapat diduga oleh persamaan berdasarkan umur tanaman (sisaannya) akan diduga melalui persamaan regresi Fourier. Masing-masing tahun tanam akan mempunyai persamaan Fourier sendiri. Analisis Fourier adalah suatu teknik yang biasa digunakan untuk menentukan asal atau pola gelombang sinus yang terjadi, sehingga dapat menduga gelombang sinus yang akan terjadi berikutnya. Hasilnya yaitu berupa gelombang amplitudo sebagai fungsi dari suatu frekuensi. Persamaan Fourier digunakan untuk memetakan sinyal sebagai fungsi waktu dan sebagian amplitudo sebagai fungsi dari frekuensi. Dengan kata lain, persamaan sinyal yang dibentuk dapat dipandang berdasarkan data waktu atau data frekuensi.

Persamaan Fourier dapat merepresentasikan beberapa fungsi yang biasa digunakan berdasarkan fungsi dan frekuensi, seperti gelombang sinus, gelombang petak, gelombang sinus yang semakin mengecil, impuls, dan lain-lain (Vecchia, 1980). Persamaan Fourier yang digunakan dalam menduga produktivitas tanaman kelapa sawit yang tidak dapat dijelaskan oleh umur yaitu:

ε1 = d(i) + e(i) sin (t*) + f(i) cos (t*) + g(i) sin 2(t*) + h(i)cos 2(t*) + ε2;

keterangan: t* = 2π t/12; (t = 1, 2, ..., 12); dan i = tahun tanam -Menghubungkan dengan anomali SST di Nino-3,4

(44)

33

korelasi yang tertinggi dan nyata, maka waktu tunda (lag) tersebut yang akan digunakan sebagai prediktor persamaan. Persamaan yang diperoleh yaitu:

ε2 = j(i) + k(i)x + ε3

keterangan : x = anomali SST di Nino-3,4 lag-12 bulan; dan i = tahun tanam - Membangun model persamaan dengan menggunakan stochastic spreadsheet

Sisaan ataupun galat yang diperoleh dari persamaan sebelumnya diharapkan tidak memiliki auto regresi dengan galat pada waktu sebelumnya (ε3-1), sehingga

galat yang diperoleh merupakan error white noise (ω). Galat tersebut selanjutnya akan dihitung tingkat kepastiannya dengan melakukan simulasi yang menghitung serta mengoptimalkan peluang galat yang dapat terjadi di lapang. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan stochastic spreadsheet yang memanfaatkan fasilitas Crystal Ball dengan metode simulasi Monte Carlo (Frenkel, 2004).

Simulasi Monte Carlo adalah tipe simulasi probabilistik untuk mencari penyelesaian masalah dengan sampling dari proses acak atau dengan menggunakan bilangan acak (random numbers). Prinsip kerja simulasi Monte Carlo adalah membangkitkan angka acak atau sampel dari suatu variabel acak yang telah diketahui distribusinya, yang didasari pada pemikiran penyelesaian suatu masalah untuk mendapatkan hasil lebih baik dengan cara memberi alternatif nilai sebanyak-banyaknya (nilai yang terbangkit) untuk mendapatkan tingkat ketelitian yang lebih tinggi. Dengan pembangkitan nilai sebanyak 1000 kali, maka diperoleh tingkat ketelitian sampai 0,1.

Seluruh tahap tersebut akan disusun dalam sebuah spreadsheet sebagai tahapan formula dengan susunan sebagai berikut:

Tahun tanam: 1984 1987 1989 1992 1993 1994 1995 1996 1998 1999 2000 2001 2002

a b c

Pengaruh Umur d

e f g h

Pola Error bulanan j

k

Pengaruh ASST error (U-1) r1

(45)

Sementara itu, langkah memasukkan data parameter yang dibutuhkan (input) dan hasil keluaran (output) hasil simulasi disusun sebagai berikut:

Bulan Prediksi

Tahun Prediksi

Anomali SST di Nino-3,4

lag-12

Bulan Tahun Prod (kg/ha)

Produksi (ton)

Input: ... ... ... Output: ... ... ... ...

Sedangkan langkah pendugaan atau simulasi akan dilakukan dengan bantuan software Crystal Ball dilakukan dengan susunan:

Tahun tanam: 1984 1987 1989 1992 1993 1994 1995 1996 1998 1999 2000 2001 2002

ω(i)

Simulated Yield Simulated Yield net

Nilai dari white noise error akan dibangkitkan dengan software Crystal Ball dengan terlebih dahulu memasukkan asumsi dari data, yaitu pola sebaran data yang normal, dan selang standar deviasi yang diperoleh dari hasil perhitungan. Nilai produktivitas hasil simulasi akan tampil pada baris simulated yield setelah sebelumnya diatur dalam pengaturan forecast (satuan, tampilan, ketelitian, penyaring, dan ekstrak otomatis). Pendugaan akan dimulai dengan menekan tombol “start” yang terdapat pada jendela crystal ball. Selanjutnya, data produksi hasil simulasi akan dikoreksi pada baris simulated yield net dengan beberapa batasan:

- Jika nilai produktivitas hasil simulasi adalah bernilai negatif, maka nilainya = 0 - Jika umur tanaman adalah kurang dari 48 bulan atau lebih dari 300 bulan, maka

nilai produktivitas = 0.

(46)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penyusunan fungsi produksi menurut umur

Tanaman kelapa sawit akan menghasilkan tandan buah segar (TBS) yang dapat dipanen pada saat tanaman berumur 3 atau 4 tahun. Produksi TBS yang dihasilkan akan terus bertambah seiring bertambahnya umur dan akan mencapai produksi yang optimal dan maksimal pada saat tanaman berumur 9 – 14 tahun, dan setelah itu produksi TBS yang dihasilkan akan mulai menurun. Umumnya, tanaman kelapa sawit akan optimal menghasilkan TBS hingga berumur 25 – 26 tahun. Sehingga dapat dikatakan bahwa faktor terbesar yang mempengaruhi fluktuasi TBS yang dihasilkan tanaman kelapa sawit adalah umur tanaman.

Dalam pendugaan produktivitas tanaman kelapa sawit dengan menggunakan data anomali sea surface temperature di Nino-3,4, terlebih dahulu harus dihilangkan pengaruh dari faktor umur. Hal ini dapat dilakukan dengan merumuskan fungsi produksi (f(p)) menurut fungsi umur tanaman (f(u)) yang menggunakan model non-linier famili eksponen (Siregar, 1998 dan Manurung, 1986), yaitu:

f(p) = f(u) + sisaan

Yt = f(u) = a + b ln (t) exp (ct) + ε1 ; t = 4, 5, 6, …, 25 tahun

Hasil pendugaan model produksi tanaman kelapa sawit berdasar umur tanaman untuk setiap kebun kelapa sawit yang diamati disajikan pada Tabel 1. Masing-masing kebun mempunyai model pendugaan produksi sendiri dengan nilai parameter yang berbeda-beda untuk tiap kebun. Nilai dari parameter akan menentukan seberapa besar kenaikan dan/atau penurunan produksi hasil pendugaan model untuk masing-masing. Pendugaan nilai parameter a, b, dan c dilakukan dengan memanfaatkan software MS EXCEL dengan tools SOLVER. Prinsip kerja Solver yaitu menyelesaikan dengan cara mencari kuadrat terkecil atau meminimumkan galat.

(47)
[image:47.595.80.485.80.743.2]

umur di setiap kebun yang tersebar di Sumatera menunjukkan pola sebaran nilai koefisien determinasi tertentu pada kebun yang diamati di Sumatera. Pola sebarannya yaitu pada Sumatera Utara bagian Utara nilai koefisien determinasi akan berkisar di atas 0,90 sedangkan di Sumatera Utara bagian Selatan hingga mendekati katulistiwa (provinsi Riau), nilai koefisien determinasi akan menurun pada kisaran 0,70–0,80. Selanjutnya, pada bagian tengah Sumatera di sekitar katulistiwa hingga ke Sumatera bagian Selatan, nilai koefisien determinasi kembali meningkat pada kisaran di atas 0,90. Dan kemudian akan menurun pada Sumatera bagian Selatan yaitu pada nilai kisaran di bawah 0,80 (Gambar 6). Tabel 3. Model pendugaan produksi TBS menurut fungsi umur tanaman

No Nama Kebun Model R2

Provinsi Sumatera Utara

1 Tanah Raja Y = -42,8906 + 39,1688 ln (t) exp (-0,03062 t) 0,967 2 Rambutan Y = -21,2330 + 25,1974 ln (t) exp (-0,03022 t) 0,835 3 Dusun Ulu Y = -35,1469 + 32,5709 ln (t) exp (-0.0268 t) 0,958 4 Tinjowan Y = -19,0312 +23,7951 ln (t) exp (-0,034546 t) 0,943 5 Sei Dadap Y = -29,6814 + 32,1864 ln (t) exp (-0,03561 t) 0,847 6 Huta Padang Y = -12,1253 + 15,4030 ln (t) exp (-0,01913 t) 0,885 7 Balimbingan Y = -1,9058 + 9,8711 ln (t) exp (-0.0154 t) 0,982 8 Labuhan Haji Y = 1,2821 + 5,4226 ln (t) exp (0,02535 t) 0,899 9 Aek Nabara Selatan Y = -10,6238 + 19,0017 ln (t) exp (-0,02926 t) 0,873 10 Bukit Tujuh Y = -20,8916 + 22,7288 ln (t) exp (-0,02821 t) 0,602 11 Sei Meranti Y = -10,8276 + 19,9256 ln (t) exp (-0,03351 t) 0,610 Provinsi Riau

12 Sei Tapung Y = -9,08812 + 14,3124 ln (t) exp (-0,01977 t) 0,876 13 Tandun Y = -21,8408 + 26,9868 ln (t) exp (-0,036021 t) 0,832 14 Terantam Y = -16,1545 + 19,1527 ln (t) exp (-0,0261 t) 0,868 15 Sei Galuh Y = -10,6695 + 14,1013 ln (t) exp (-0,010265 t) 0,957 16 Sei Buatan Y = 1,2088 + 4,6751 ln (t) exp (-0,01188 t) 0,950 17 Sei Pagar Y = -8,3127 + 12,7916 ln (t) exp (-0,01053 t) 0,919 Provinsi Jambi dan Sumatera Barat

18 Ophir Y = -16.6738 + 23.07801 ln (t) exp(-0.0328t) 0,930 19 Solok Selaan Y = -31,4600 + 30,0137 ln (t) exp(-0,0307t) 0,978 20 Rimbo Bujang Y = -55.1273 + 52.27123 ln (t) exp(-0.0383t) 0,962 21 Bunut Y = -13.9789 + 14.153 ln (t) exp (-0.012 t) 0,934 22 Tanjung Lebar Y = -31,0031 + 26,3495 ln (t) exp (-0,0232t) 0,910 Provinsi Sumatera Selatan dan Lampung

(48)
[image:48.595.99.510.74.668.2]

37

Gambar 6. Peta sebaran kebun pengamatan berdasarkan R2 hasil simulasi produksi berdasar umur dan batas wilayah Monsoonal Selatan.

(49)
[image:49.595.83.485.274.748.2]

Secara khusus jika dilihat pada daerah Provinsi Lampung (Kebun Padang Ratu, Bekri, dan Rejosari), model pendugaan produksi berdasar fungsi umur tanaman secara tahunan dapat menjelaskan keragaman produksi yang terjadi rata-rata sebesar 0,79. Keragaman yang dapat dijelaskan fungsi umur tahunan ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Siregar (1998) yang merumuskan model pendugaan produksi di daerah Provinsi Lampung berdasar fungsi umur tanaman per enam bulan (semester) yang hanya dapat menjelaskan keragaman produksi yang terjadi sebesar 0,1857. Sehingga untuk ditambahkan variabel deret hari kering maksimum, frekuensi deret hari kering, dan curah hujan untuk memperbesar nilai koefisien determinasi hingga menjadi 0,75.

Gambar 7. Perbandingan sebaran produksi TBS observasi dan simulasi menurut fungsi umur tanaman di provinsi Sumatera Utara.

Produksi aktual

(50)

39

Nilai koefisien determinasi dari hasil persamaan pendugaan produksi TBS berdasar umur (tahunan) yang cukup tinggi dibandingkan dengan pendugaan produksi TBS berdasar umur (semester) yang dihasilkan

Gambar

Gambar 2. Pembagian wilayah Nino di Samudera Pasifik
Gambar 3.  Pembagian wilayah klimatologi di Indonesia berdasarkan pengaruh
Gambar 4. Ilustrasi fenomena Dipol Mod (IOD) dan dampaknya untuk Indonesia
Gambar 5.  Flow chart untuk rancang bangun analisis prediksi produksi kelapa sawit menggunakan sea surface temperature (SST)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Uterus akan mengelilingi tempat dari implantasi plasenta dan akan bertambah besar lebih cepat dibandingkan dengan bagian uterus lainnya, maka hal ini akan menyebabkan uterus

dapat menyelesaikan waktu 30 menit lebih cepat dari yang anda perhitungkan, anda dapat menggunakan waktu sisanya untuk mengerjakan apapun yang anda suka, tetapi jika anda tidak

[r]

e. Gerak yang selalu dilihat pada objek sehari-hari.. Berbeda dengan anak yang di usia diatas 12 tahun dapat diajarkan untuk mengenal tari Klasik. Beberapa sifat

Pukul 09.00 Wiib, Selaku Panitia Pengadaan Pokja I Jasa Konsultansi Tahun 2015 berdasarkan SK Nomor : 525/KPTS/ULP/2014, tanggal 5 Desember 2014 melakukan

Sound's short-term effect on cinematic art may be gauged in more detail by considering those movies from the transition period—the last years of commercial silent film production

[r]

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan kolkisin tidak berpengaruh terhadap fenotipe pertumbuhan awal, namun terdapat tanaman sirsak yang mempunyai sifat