• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efek Pemberian Ekstrak Daun Maja (Aegle marmelos Corr.) terhadap Fertilitas Tikus Betina

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efek Pemberian Ekstrak Daun Maja (Aegle marmelos Corr.) terhadap Fertilitas Tikus Betina"

Copied!
196
0
0

Teks penuh

(1)

EFEK PEMBERIAN EKSTRAK DAUN MAJA

(

Aegle marmelos Corr.

) TERHADAP

FERTILITAS TIKUS BETINA

TASYRIFAH MUSAHILAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul ”Efek Pemberian Ekstrak Daun Maja (Aegle marmelos Corr.) Terhadap Fertilitas Tikus Betina”, adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2010

Tasyrifah Musahilah

(3)

MOTTO

ﻢِﮭْﯿَﻠَﻋ اﻮُﻓﺎَﺧ ﺎًﻓﺎَﻌِﺿ ًﺔَّﯾِّرُذ ْﻢِﮭِﻔْﻠَﺧ ْﻦِﻣ اﻮُﻛَﺮَﺗ ْﻮَﻟ َﻦﯾِﺬَّﻟا َﺶْﺨَﯿْﻟَو

اًﺪﯾِﺪَﺳ ﻻْﻮَﻗ اﻮُﻟﻮُﻘَﯿْﻟَو َﮫَّﻠﻟا اﻮُﻘَّﺘَﯿْﻠَﻓ

Artinya :

(4)

Fertility of Female Rats. Under Supervision of DEDY DURYADI SOLIHIN and NASTITI KUSUMORINI.

Bael plants (Aegle marmelos) is one of Rutaceae family contain of ß-sitosterol, stigmasterol, which is classified to triterpene. These components have the biological activities e.g. : antifertility and abortifacient. In oral treatment, phytosterol has a potent antitesticular activity effect in male rats, inhibited zygote implantation’s and induction abortifacient to female rat. In Sumatera and Javanese Island, women traditionally consume this leave after parturation for contraception. The aim of the study was to investigate the effects of extract bael leaves on fertility of female rats. The experimental method used randomized complete design. Thirty adult of white rat (Rattus norvegicus) were devided into : 1). Control rat fed by normal food, 2). Rat fed by 1gr/kg body weight /day for 6 day, 3). Rat fed by 1gr/kg body weight/day for 12 day, 4). Rat fed by 2gr /kg body weight/day for 6 day. 5). Rat fed by 2gr/kg body weight/day for 12 days of leave exctract. Before treatments, vaginal smear for two estrous cycle were examine. After a series of treatment, 15 rats were mated to an adult male rats and the number of offspring were noted. The remaining 15 treated rats were sacrificed to measure reproductive parameters. Data were analyzed by ANOVA and followed by Duncan test at 95% confidence interval. The results of this research showed significantly different in estrous cycle periode, and reproduction performance : decreased the ovaries weight, corpus luteum, and number of offspring compared to control groups.

(5)

RINGKASAN

TASYRIFAH MUSAHILAH. Efek Pemberian Ekstrak Daun Maja (Aegle marmelos Corr.) Terhadap Fertilitas Tikus Betina. Dibimbing oleh DEDY DURYADI SOLIHIN dan NASTITI KUSUMORINI.

Kepadatan penduduk Indonesia dewasa ini menimbulkan kekhawatiran akan tidak tercukupinya kebutuhan pangan dan kesejahteraan hidup manusia. Hal ini sangat membutuhkan peran aktif keluarga untuk ikut serta menggalakkan program KB. Di sisi lain penggunaan kontrasepsi sintetik pada masyarakat banyak menimbulkan keluhan, sedangkan di alam banyak tersedia kontrasepsi dari tumbuhan yang aman, murah dan tanpa efek samping, diantaranya tanaman maja.

Tanaman maja (Aegle marmelos Corr.) yang banyak tumbuh di berbagai wilayah di Indonesia, sangat efektif digunakan sebagai kontrasepsi alami yang mudah didapat, serta aman untuk digunakan wanita Tanaman tersebut mengandung ß-sitosterol, stigmasterol. Fitosterol ini tergolong steroid memiliki bentuk cincin siklopentana perhidrofenantren, bersifat estrogenic. Fitosterol ini dapat mempengaruhi perkembangan folikel dan memiliki efek anti gonadotropik dan anti implantasi. Zat tersebut jika produksinya berlebihan dapat menyebabkan terhambatnya ovulasi dan bersifat antifertilitas.

Aktifitas zat antifertilitas dapat bersifat kontraseptif, interceptif, dan abortifacient. Zat antifertilitas ini dapat bekerja melalui satu atau lebih mekanisme dan tempat. Pada mamalia betina zat antifertilitas dapat mempengaruhi aktivitas fungsi hipotalamus, pituitari, ovarium, uterus, vagina dengan mengacaukan mekanisme kerja pra-ovulasi, pre-implantasi, dan pasca implantasi.

Menurut tradisi masyarakat Pinrang (Makasar), Aceh, Palembang dan Jawa tanaman maja diyakini berkhasiat mengatur menstruasi pada wanita dan mengobati penyakit seksual, analgesic, antiviral, antifungal, anticancer, antidiare. Selain itu ekstrak daun maja sangat potensial dipergunakan sebagai antitestis dan antispermatogenic pada tikus jantan.

Tikus putih (Rattus norvegicus) tergolong mamalia memiliki siklus reproduksi tidak jauh berbeda dengan wanita pada umumnya. Oleh karena itu untuk mengetahui pengaruh ekstrak daun maja terhadap fertilitas, dilakukan pemberian ekstrak daun maja pada tikus putih sebagai hewan coba guna mengamati pengaruhnya terhadap kinerja reproduksi, baik terhadap lama siklus estrus, berat ovarium, jumlah folikel, jumlah korpus luteum, laju ovulasi, keberhasilan kebuntingan dan jumlah anak yang dilahirkan.

Penelitian ini dilakukan selama 8 bulan (November 2008 - Juli 2009), bertempat di beberapa lokasi. Pembuatan ekstrak maja dilakukan di Laboratorium Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB, analisa fitokimia ekstrak maja di laboratorium BALITRO Cimanggu, pemeliharaan dan perlakuan hewan coba di kandang hewan pribadi Ciomas, dan pengamatan siklus estrus serta analisa kinerja reproduksi di Laboratorium Fisiologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

(6)

6 hari), A2B1 (Kelompok tikus yang diberi ekstrak daun maja dosis 2 gr/kg BB//hari selama 6 hari), A1B2 (Kelompok tikus yang diberi ekstrak daun maja dosis 1 gr/kg BB//hari selama 12 hari), dan A2B2 (Kelompok tikus yang diberi ekstrak daun maja dosis 2 gr/kg /BB/hari selama 12 hari). Masing-masing kelompok perlakuan dibagi menjadi 2 kelompok pelaksanaan penelitian berdasarkan parameter penelitian, sehingga masing-masing kelompok kecil terdiri dari 3 ekor tikus.

Proses perlakuan dimulai dengan pemberian pencekokan ekstrak daun maja sebanyak 1 kali dalam sehari. Pengambilan apus vagina dilakukan sebanyak 3 kali dalam sehari yaitu pukul 06.00, 14.00, dan pukul 22.00 selama 2 siklus estrus guna memperoleh data lama siklus estrus dan fase-fasenya. Selanjutnya untuk mendapatkan data kinerja reproduksi, kelompok tikus tersebut dikorbankan dengan pembedahan guna pengambilan ovarium, penghitungan jumlah folikel, korpus luteum, dan laju ovulasinya. Sedangkan pada kelompok yang akan diambil data kinerja reproduksi yang berupa keberhasilan kebuntingan dan jumlah anak, pada kelompok tersebut dikawinkan dengan tikus jantan normal pasca penghentian pemberian ekstrak daun maja selama 12 hari, kemudian ditunggu kebuntingannya hingga melahirkan serta dihitung jumlah anak yang dilahirkan.

Parameter yang diambil adalah lama siklus estrus yang dihitung berdasarkan rataan keberadaan sel epitel vagina selana 2 siklus estrus. Sedangkan berat ovarium, jumlah folikel, jumlah korpus luteum dihitung berdasarkan rataan jumlah pada kedua ovariumnya, serta jumlah anak dihitung berdasarkan keseluruhan anak yang dilahirkan dalam kondisi hidup maupun mati pada saat dilahirkan. Adapun keberhasilan kebuntingan dihitung berdasarkan persentase antara jumlah anak yang lahir pada kelompok pelaksanaan kedua dibagi dengan jumlah korpus luteum dari kelompok pelaksanaan penelitian pertama. Data yang diperoleh selanjutnya diolah dengan perangkat lunak program SPSS 13 dan dianalisis dengan menggunakan ANOVA dan uji lanjut Duncan.

(7)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

EFEK PEMBERIAN EKSTRAK DAUN MAJA

(

Aegle marmelos Corr.

) TERHADAP

FERTILITAS TIKUS BETINA

TASYRIFAH MUSAHILAH

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Biologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat, rahmat, dan ridlo-Nya sehingga tesis yang berjudul : Efek Pemberian Ekstrak Daun Maja (Aegle marmelos Corr.) Terhadap Fertilitas Tikus Betina dapat diselesaikan.

Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Bapak Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin DEA, dan Ibu Dr. Dra. Nastiti Kusumorini selaku Ketua dan Anggota Komisi pembimbing yang telah banyak membantu serta memberikan motivasi dan arahan dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis. Terima kasih kepada Ibu Dr. Drh. Hera Maheshwari, M.Sc. atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi. Di samping itu penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Departemen Agama RI dan MAN Tangerang atas kesempatan yang diberikan sehingga penulis dapat mengikuti program Pascasarjana ini.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh staf pengajar dan pegawai FMIPA IPB, staf pegawai dan laboran pada bagian Fisiologi dan Farmakologi FKH-IPB, staf laboran dari laboratorium BALITRO Taman Cimanggu atas bantuan dan kerjasamanya.

Ungkapan terima kasih tak terhingga juga penulis sampaikan kepada suami, almarhum ayah dan ibu, serta ketiga anak tercinta atas segala bantuan, doa, motivasi, perhatian dan kesabaran serta dukungan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca dan masyarakat yang membutuhkannya.

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pemalang pada tanggal 8 September 1968 dari Ayah (Alm) H. Abbas dan Ibu (Almh) Nurmah. Penulis merupakan putri ke-9 dari sembilan bersaudara. Penulis sudah dikaruniai 2 putra kembar yang bernama Muhammad Zuhdi Syihab dan Ahmad Hadi Syihab, serta 1 putri yang bernama Mutia Sania Rahma.

Tahun 1988 penulis lulus dari MAN Pemalang, dan pada tahun 1993 penulis menyelesaikan program Strata-1 pada Fakultas Tarbiyah (Tadris) Biologi IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selanjutnya penulis mengajar di Madrasah Aliyah Negeri Kodya Tangerang mulai tahun 1997 hingga sekarang.

(12)
(13)

DAFTAR ISI

Halaman

Daftar Gambar ... v

Daftar Tabel ... vi

Daftar Lampiran ... vii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 3

Tujuan Penelitian ... 3

Hipotesis ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

Kerangka Pemikiran ... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Tanaman Maja ... 5

Sebaran dan Aspek Historik Tanaman Maja ... 5

Karakteristik Tanaman Maja ... 6

Klasifikasi Tanaman Maja ... 6

Kandungan Kimia Tanaman Maja ... 7

Biologi Umum Tikus ... 8

Siklus Reproduksi Tikus Betina ... 9

Ovarium ... 10

Corpus Luteum ... 13

Uterus ... 14

Vagina ... 16

Kelenjar Susu ... 18

Kopulasi ... 18

Fertilisasi ... 19

Pengendalian Hormon terhadap Siklus Reproduksi ... 19

Peranan Hormon dalam Siklus Estrus ... 22

Mekanisme Antifertilitas terhadap Reproduksi Tikus ... 23

BAHAN DAN METODE ... 26

Waktu dan Tempat Penelitian... 26

Bahan dan Alat Penelitian ... 26

Metode Penelitian ... 26

Pembuatan Ekstrak daun Maja ... 27

Penentuan Dosis dan Lama Pemberian Ekstrak Daun Maja .... 28

Persiapan Hewan Coba ... 28

Perlakuan Hewan Coba... 29

Pengambilan Parameter dan Analisis yang Dilakukan ... 32

Rancangan Percobaan ... 35

(14)

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

Pengaruh Pemberian ekstrak daun Maja terhadap Siklus Estrus ... 36

Efektifitas Perlakuan terhadap Kinerja Reproduksi Tikus ... 41

Pengaruh Pemberhentian Ekstrak Daun Maja terhadap Keberhasilan KebuntinganTikus.. ... 45

KESIMPULAN DAN SARAN ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 51

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Peta penyebaran tanaman maja ... 5

2. Foto Tanaman Maja ... 6

3. Struktur kimia steroid estrogen, β-sitosterol dan stigmasterol ... 8

4. Ovarium, Corpus luteum dan perkembangan follikel ... 11

5. Proses pembentukan sel telur (Oogenesis) ... 12

6. Ovarium tikus dengan tingkat perkembangan folikel ... 13

7. Uterus tikus ... 14

8. Irisan melintang dinding vagina tikus putih pada berbagai fase siklus estrus... 18

9. Mekanisme umpan balik hormon pada poros hipotalamus-hipofisis-gonad .... 21

10. Hubungan antara GnRH, Siklus Ovarium, Uterus, dan Siklus Vagina ... 21

11. Prosedur pembuatan ekstrak daun maja ... 28

12. Rak kandang pemeliharaan dan pengadaptasian hewan coba ... 29

13. Diagram Penelitian ... 30

14. Prosedur pencekokan ekstrak maja secara oral ... 30

15. Bagan perlakuan dan analisa kinerja reproduksi ... 31

16. Pembuatan dan pewarnaan sediaan apus vagina ... 32

17. Gambar sediaan apus vagina tikus putih galur sprague dawley dengan Perbesaran 40 x 5 ... 33

18. Diagram analisa keberhasilan kebuntingan ... 34

19. Perbandingan rataan lama siklus (PSSE) dan persentase pertambahan tikus perlakuan dibandingkan dengan kontrol pada siklus ke-1 dan 2 ... 37

20. Perbandingan rataan pertambahan lama tiap fase siklus estrus (Proestrus, Estrus, Metestrus, Diestrus) pada siklus ke-1 dan 2 …... 39

21. Corpus luteum tikus ... 44

22. Kurva Respon obat ... 44

(16)

1. Gambaran mikroskopis hasil ulasan vagina pada berbagai siklus estrus... 17 2. Perbandingan jenis sel pada preparat apus vagina ... 33 3. Pengaruh pemberian ekstrak daun maja terhadap rataan lama siklus estrus tikus pada siklus ke-1 (jam) ... 36 4. Pengaruh pemberian ekstrak daun maja terhadap rataan lama siklus estrus tikus pada siklus ke-2 (jam) ... 36 5. Persentase pertambahan panjang fase siklus estrus kelompok perlakuan

dibandingkan dengan kontrol pada siklus ke-1 ... 38 6. Persentase pertambahan panjang fase siklus estrus kelompok perlakuan

dibandingkan dengan kontrol pada siklus ke-2 ... 38 7. Rataan berat ovarium tikus, jumlah folikel, jumlah corpus luteum, dan laju ovulasi pasca pemberian ekstrak daun maja ... 42 8. Rataan awal dan keberhasilan kebuntingan, dan jumlah anak tikus pasca

penghentian ekstrak daun maja selama 12 hari ... 46

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Laporan Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Daun Maja ... 56

2. Data rataan hasil perhitungan siklus estrus tikus ( 1a-1e )... 57

3. Hasil analisa statistik lama siklus estrus (PSSE) siklus ke-1 ... 61

4. Hasil analisa statistik lama siklus estrus (PSSE) siklus ke-2 ... 62

5. Hasil analisa statistik fase Proestrus siklus ke-1 ... 63

6. Hasil analisa statistik fase Proestrus siklus ke-2 ... 64

7. Hasil analisa statistik fase Estrus siklus ke-1 ... 65

8. Hasil analisa statistik fase Estrus siklus ke-2 ... 66

9. Hasil analisa statistik fase Metestrus siklus ke-1 ... 67

10. Hasil analisa statistik fase Metestrus siklus ke-2 ... 68

11. Hasil analisa statistik fase Diestrus siklus ke-1 ... 69

12. Hasil analisa statistik fase Diestrus siklus ke-2 ... 70

13. Hasil analisa statistik Berat Ovarium ... 71

14. Hasil analisa statistik Jumlah Folikel ... 72

15. Hasil analisa statistik Jumlah Corpus Luteum ... 73

16. Hasil analisa statistik Laju Ovulasi ... 74

17. Hasil analisa statistik Awal Kebuntingan ... 75

18. Hasil analisa statistik Jumlah Anak ... 76

19. Hasil analisa statistik Persentase Keberhasilan Kebuntingan ... 77

(18)

Latar Belakang

Kepadatan penduduk di Indonesia dewasa ini menimbulkan kekhawatiran terhadap tidak tercukupinya pangan dan kesejahteraan hidup manusia. Hal ini sangat membutuhkan peran aktif keluarga khususnya pasangan usia subur untuk ikut menggalakkan program Keluarga Berencana, apalagi di era emansipasi wanita, terutama bagi wanita yang berkarir sangat dibutuhkan sekali upaya untuk menjarangkan kelahiran demi tercapainya Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) guna memperbaiki kesejateraan hidup keluarganya. Di sisi lain pemilihan cara KB modern yang dianjurkan pemerintah ada kalanya dapat menimbulkan efek samping seperti gangguan haid, kegemukan, pendarahan, hipertensi, sakit kepala, mual, dan rasa sakit pada kelenjar susu (Suherman 2007). Oleh karena itu diperlukan pengkajian terhadap penggunaan kontrasepsi yang berasal dari alam (herbal) yang aman dan tanpa efek samping.

Di Indonesia tidak kurang dari 1000 jenis tanaman dari 30.000 jenis tumbuhan yang sudah dibudidayakan sebagai obat alam dan obat tradisional (Supardi 1985). Obat tradisional adalah obat yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, atau sediaan galeniknya. Campuran bahan obat tradisional tersebut belum mempunyai data klinis dan dipergunakan dalam usaha pengobatan hanya berdasarkan pengalaman kebiasaan nenek moyangnya (Dep. Kes. RI 1985).

Menurut Sumantri dan Sugihardjo (1977) ada 87 spesies tumbuhan yang dipergunakan oleh wanita untuk tujuan kontrasepsi. Sekitar 50 spesies telah diteliti efek antifertilitasnya pada hewan coba betina, diantaranya biji saga, daun bandotan, daun sembung, daun patikan kebo, daun manggis, pare, daun inggu, biji klabet, rimpang kunyit, rimpang kencur, biji srikaya, buah mengkudu, buah pinang, daun belimbing dan daun maja. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tumbuhan itu bersifat sebagai anti gonadotropik, anti implantasi dan anti ovulasi, serta akibat dari berbagai sifat tersebut adalah penurunan jumlah kelahiran (Winarno & Sundari 1997).

Sur et al. (2002), Kumar Das et al. (2006), dan Chauhan (2007) menyatakan bahwa di India tanaman maja sangat potensial dipergunakan sebagai kontrasepsi pria

(19)

dan obat herbal untuk mengatur kelahiran dan mengobati penyakit seksual (Jain et al.

2004). Selain itu ekstrak buah maja dalam bentuk teh herbal yang dicampur daun

Stevia rebaudiana dapat menurunkan jumlah fetus dan menyebabkan keguguran (Kanokporn et al. 2006).

Di berbagai daerah di Indonesia daun maja sudah sering kali dikonsumsi secara turun temurun oleh masyarakat, seperti di Pinrang (Sulawesi), Palembang, Aceh, serta di Jawa sebagai obat pengatur haid (Hasrah 1994). Daun maja yang diberikan secara infus pada mencit betina dengan konsentrasi 20, 30, 40, dan 50 % dapat digunakan untuk abortiva yang berpengaruh terhadap pengurangan jumlah janin (Hasrah 1994). Pengurangan jumlah janin ini menjadi salah satu parameter adanya gangguan pada reproduksi. Namun demikian aktivitas biologis lain yang lebih rinci seperti panjang siklus estrus, siklus ovarium, laju ovulasi, dan keberhasilan fertilisasi belum sepenuhnya diteliti. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk melengkapi parameter aktivitas biologis pada organ reproduksi lain guna melengkapi efektifitas pengaruh daun maja terhadap fertilitas tikus betina.

Berdasarkan analisa fitokimia yang dilakukan Riyanto & Mawardi (2000), diketahui bahwa pada tanaman maja mengandung bahan aktif seperti β-sitosterol dan stigmasterol (C29 H50 O). Selain itu juga mengandung Aegelin (C18 H18 O4) dan

Marmelosin (C13 H12 O3) (Anonim 2006). Bahan-bahan aktif ini bersifat steroid. Sitosterol sebagai bahan baku sterilisasi memiliki efek anti implantasi dan mempunyai khasiat kontrasepsi yang bersifat antifertilitas dan dapat memacu produksi hormon progesteron serta estrogen, dimana jika produksinya berlebihan dapat menyebabkan terhambatnya ovulasi (Gangadhar & Lalithakumari 1995).

Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, tak dapat dielakkan lagi terjadinya perubahan di berbagai bidang, khususnya bidang kesehatan. Banyaknya industri obat-obatan dan industri kontrasepsi yang harga produknya cukup mahal, dan belum seluruhnya menjamin tidak ada efek samping, baik terhadap akseptor maupun pasangannya. Oleh karena itu dirasakan perlu untuk meneliti jenis tanaman yang alami, tidak berbahaya, murah, dan ramah lingkungan, serta berkelanjutan (Sastrawinata 2001). Penelitian terhadap bahan kontrasepsi yang berasal

(20)

toksisitasnya rendah dan tidak menimbulkan efek samping (Tadjudin 1984).

Perumusan Masalah

Adapun masalah yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah :

1). Apakah pemberian ekstrak daun maja (Aegle marmelos (L). corr) berpengaruh terhadap kesuburan (fertilitas) tikus putih betina melalui pengujian parameter : Lama siklus estrus dan kinerja reproduksi yang meliputi berat ovarium, jumlah folikel, jumlah korpus luteum, laju ovulasi). 2). Bagaimanakah efektivitas pengaruh penghentian pemberian ekstrak daun maja selama periode tertentu terhadap keberhasilan kebuntingan dan jumlah anak yang dilahirkan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengamati efek pemberian ekstrak daun maja terhadap lama siklus estrus, kinerja reproduksi seperti berat ovarium, jumlah folikel, jumlah korpus luteum, laju ovulasi, dan mengkaji pengaruh penghentian pemberian ekstrak daun maja terhadap keberhasilan kebuntingan serta jumlah anak yang dihasilkan dari perkawinan tikus putih betina yang diberi ekstrak daun maja dengan tikus putih jantan normal. Setelah pengaruh pemberian ekstrak daun maja diketahui terhadap kinerja organ target reproduksi hewan coba, diharapkan ekstrak daun maja ini dapat diterapkan sebagai kontrasepsi alami bagi wanita.

Hipotesis

Pemberian ekstrak daun maja dengan berbagai dosis dapat menurunkan efektifitas kinerja sistem reproduksi tikus betina.

Manfaat Penelitian

(21)

bagi masyarakat, dan memberikan sumbangan kepada dunia farmasi untuk membuat kontrasepsi alami yang ramah lingkungan.

KERANGKA PEMIKIRAN

Kepadatan penduduk Kekhawatiran tidak Kesibukan wanita karier di Indonesia tercukupinya kebutuhan

hidup keluarga

Keluarga Berencana Industri obat-obatan ( N K K B S ) Kontrasepsi hormonal/

Non-hormonal

Adanya efek samping yang ditimbulkan

Tersedianya tanaman obat-obatan untuk kontrasepsi yang

 Alami  Murah

 Mudah diperoleh

 Aman (tanpa efek samping)

Tanaman Maja (Aegle marmelos)

Aegelin β-sitosterol Stigmasterol

S T E R O I D Antifertilitas

Hewan coba Tikus

Hipotalamus Ovarium Uterus Vagina Oviduk

Kontrasepsi alami wanita

(22)

Sebaran dan Aspek Historik Tanaman Maja

Maja atau bilwa, bael, Bengal quince, shirpal, bael fruits adalah sebutan lain bagi spesies Aegle marmelos(L.) Correa, sebagaimana disebutkan di India (Ghermandi 2002). Tanaman ini berasal dari India, namun sekarang banyak tersebar di Srilanka, Pakistan, Bangladesh, Myanmar, Thailand dan sebagian besar Asia Tenggara (Gambar 1).

Ket : menunjukkan wilayah penyebaran tanaman maja Gambar 1. Peta penyebaran tanaman maja.

Tanaman maja juga tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, karena iklim yang cocok untuk tanaman ini sehingga dapat tumbuh dengan baik. Tanaman maja banyak ditemukan di dataran rendah, dataran tinggi, bahkan di tanah berkapur seperti di Pulau Jawa (Banten, Bogor, Yogyakarta, Jawa Timur dan Madura), Pulau Sumatera (Aceh, Palembang, Bukit tinggi), Pulau Sulawesi (Makasar), Kepulauan Maluku dan NTT (Sumba Timur). Keberadaan tanaman ini tercatat sejak jaman kerajaan Majapahit, sebagaimana terbukti adanya berbagai nama daerah yang diawali dengan kata maja yang menunjukkan keterkaitan dengan keberadaan tanaman ini di berbagai daerah. Tanaman ini dikenal sebagai maja (Sunda), brenuk atau maos (Jawa), bila paek (Madura), wabiila (Sumba Timur), dilok (Timor) (Hariana 2002).

(23)

Karakteristik Tanaman Maja

Tanaman maja dapat tumbuh subur di atas tanah dengan pH 5 – 8. Di India tumbuhan ini dapat tumbuh subur pada lahan dimana tanaman buah lain tidak dapat bertahan di sana, bahkan menurut Singh & Malik (2000) dinyatakan bahwa tanaman ini dapat tumbuh di tanah rawa, alkali, bahkan pada tanah berbatu kapur di Florida Selatan. Tanaman ini dapat mencapai ketinggian 13 m dan buahnya dapat dipanen jika sudah berwarna hijau kekuningan. Karakteristik tanaman maja antara lain daun berbentuk memanjang, tulang daun menyirip, susunan daun berkarang, percabangan besar. Satu pohon dapat menghasilkan 800 buah, dan dapat dipanen satu kali dalam setahun. Dalam 1 musim panen rata-rata 150-200 buah berukuran besar (1-3 kg). Buah maja rasanya manis, harum, dan tajam ditenggorokan. Bunganya bertipe berumah dua, kelopak bunganya kecil, dengan 5 mahkota dan bagian luar berbentuk bulat, lonjong, dagingnya beraroma khas dan berlendir (Anonim 2006).

Gambar 2. Foto Tanaman maja (koleksi pribadi)

Klasifikasi Tanaman Maja ( Aegle marmelos. Corr )

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta Superdivisi : Spermatophyta Divisi : Angiospermae Klas : Magnolliopsida

Ordo : Sapindales/ Rutaceales Famili : Rutaceae

Genus : Aegle

Spesies :Aegle marmelos ( L.) Correa. (Corner 1969)

(24)

Tanaman maja baik berupa akar, batang, daun, buah maupun biji banyak digunakan oleh masyarakat sebagai bahan pengobatan tradisional seperti demam, sembelit, disentri, diare, hepatitis, TBC, radang selaput lendir hidung, gangguan otak, gangguan hati, gatal-gatal (kudis, borok, bisul, eksim), anti inflamasi, gangguan pendengaran, gangguan urinaria, dan abortiva (Kapoor 1990, Singh & Malik 2000).

Akar tanaman maja mengandung bahan : epoxyaurapten, 4-methoxy-1- methyl-2-quinolon, 4-sitosten-3-one, 7-o-methylmarmin, aurapten, kumarin, decursinol, dictamin, imperatorin, integriquinolon, lupeol, marmesin, marmin, marginal, scopoletin, skimmianin, umbelliferon, xanthotoxin, γ fagarin (Anonim 2006). Sedangkan pada batang terkandung bahan-bahan : fagarine, marmin, 4-epi-lyoniresinol,3-ά-O-β-D-glucopyranoside, 6-hydroxy-1-methoxymethylanthraquinon dictamine, magnesium, marmasin, silicone, β sitosterol. Selain mengandung bahan seperti tersebut di atas, pada daun dapat diekstraksi bahan lain seperti : minyak essensial, pellandrene, aegelin, rutacin, p-cymene, cíñeole, cuminaldehyd, d-limonene, marmelosin, N-2-ethoxy-2-phenyl- ethylcinnamid, p-cymene, rutin, skimmianin, tannin, β sitosterol- β-d-glukosid, dan γ-sitosterol. Demikian juga pada buah mengandung bahan seperti : aegelin, aegelenin, alanin, alloimperatorin, methyl ether ά-amirin, arginin, asam aspartat, boron, kalsium, karoten, chlorin, cis linalol oxida, cuprum, cystine, dictamin, d-ά pellandrene, asam glutamic, glisin, histidin, imperatorin, ferrum, isoamil asetat, isoleusin, asam linoleat, asam linolenat, lysin, magnesium, mangaan, marmelosin, marmelid, marmelin, marmesin, methionin, niasin, asam palmitat, o-isopentinylharfordinol, o-methylharford, pectin, phenyl alanin, pospor, polisakarida, potasium, proantocyanidin, prolin, psoralen, riboflavin, scoparon, scopoletin, serin, skimmin, sodium, asam stearat, tannin, asam tartat, thiamin, threonin, thyrosin, umbelliferon, valin, vinyl-butanoat, xanthotoxol, seng, β-amyrin, β-karoten, β-sitosterol, γ-fagarin (Anonim 2006).

Bahan kimia Aegelin (C18 H18 O4), β-sitosterol dan Stigmasterol(C29 H50 O)

(25)

sistem cincin siklopentana perhidrofenantren yang tersusun dari rangkaian 4 cincin yakni 3 cincin berbentuk segienam (A, B, C) dan cincin segilima (D). Adapun persamaan struktur kimia fitosterol daun maja dan steroid estrogen serta progesteron dapat dilihat pada Gambar 3. Steroid pada tumbuhan (fitosterol) akan memberikan efek anti implantasi maupun estrogenik (Partodiharjo 1980). Fitosterol ini memberikan rasa pahit pada daun maja.

Gambar 3. Struktur kimia steroid progesteron, estrogen (Estriol, β-Estradiol), β-sitosterol dan stigmasterol (Guyton 1996 & Harborne 1987).

BIOLOGI UMUM TIKUS

Tikus putih (Rattus norvegicus), merupakan jenis hewan yang sering dipergunakan sebagai hewan percobaan dalam penelitian biologis maupun biomedis baik secara in-vitro maupun in-vivo. Tikus putih atau tikus albino merupakan hasil perkawinan secara selektif sehingga memiliki karakter yang stabil. Ada beberapa galur atau varietas tikus antara lain : galurSprague-dawley memiliki kepala kecil dan ekor lebih panjang dibandingkan dengan badannya, galur Wistar ditandai dengan kepala besar dan ekornya lebih pendek, serta galur long evans memiliki ukuran tubuh lebih kecil dengan kepala dan tubuh bagian depan berwarna hitam (Baker 1979). Sebagai hewan percobaan, tikus memerlukan ruangan yang cukup cahaya, sirkulasi udara yang

HO

R

β-Sitosterol HO

Stigmasterol

A B

C D

A B

C D

(26)

membutuhkan makanan yang cukup baik kualitas maupun kuantitasnya (Smith & Mangkoewidjojo 1988).

Tikus betina mencapai usia dewasa kelamin setelah berumur 8 minggu, dengan berat badan berkisar antara 200 – 300gr. Pada umur tersebut tikus sudah siap untuk dikawinkan. Periode kebuntingan berkisar antara 21 – 22 hari. Masa produktifnya cukup panjang yaitu pada umur 2 – 14 bulan. Selama periode tersebut tikus mampu melahirkan lebih dari 10 kali kelahiran dan jumlah anak yang dilahirkan rata-rata 9 ekor bahkan mencapai 12 ekor per kelahiran (Malole & Pramono 1989). Jumlah anak tikus pada kebuntingan pertama umumnya lebih sedikit daripada kebuntingan ke 5 – 7 (masa yang stabil) (Fox 2007).

Tikus termasuk hewan poliestrus. Tikus memiliki post partum estrus dalam waktu 48 jam sesudah partus (melahirkan). Perkawinannya sering terjadi pada malam hari. Untuk mengetahui terjadinya perkawinan dapat dilihat dari sumbat vagina atau vaginal plug guna memeriksa ada tidaknya spermatozoa setelah terjadi kopulasi (Malole & Pramono 1989).

Siklus Reproduksi Tikus Betina

Siklus reproduksi hewan mamalia betina melibatkan berbagai organ reproduksi yaitu ovarium, uterus, vagina, dan kelenjar mammae. Setiap organ tersebut mengalami siklus yang teratur dan berlangsung secara sinkron. Hal ini berarti siklus yang satu menjadi indikasi siklus yang lain. Siklus tersebut meliputi siklus ovarium, siklus uterus, siklus vagina, siklus estrus dan siklus kelenjar susu (Bullock et al. 2004).

(27)

(Nalbandov 1990). Bila tidak terjadi fertilisasi maka siklus baru berikutnya akan segera dimulai, dimana korpus luteum akan mengalami regresi dan menghilang. Namun jika terjadi pembuahan dan kebuntingan, korpus luteum akan terus bertahan selama masa kebuntingan. Pada kenyataannya korpus luteum merupakan kelenjar yang menghasilkan hormon progesteron yaitu hormon essential untuk mempertahankan kebuntingan (Frandson 1992). Berdasarkan histologi vagina, satu siklus estrus terbagi menjadi 4 fase, yaitu fase proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. Fase folikuler dimulai dengan proestrus yang diikuti oleh estrus dan ovulasi, sedangkan fase luteal terdiri atas metestrus dan diestrus (Partodihardjo 1980).

Ovarium

Tikus memiliki sepasang ovarium di dalam rongga abdomen, di bawah ginjal. Ovarium berbentuk bulat dengan permukaan yang berbenjol-benjol karena adanya sel-sel folikel dan korpus luteum (Gambar 4). Ovarium disel-selubungi oleh sel-selapis sel-sel epitel germinativum dan di bagian dalamnya terdapat tunika albugenia (Partodihardjo 1980 & Hafez 1993). Ovarium tersusun atas bagian korteks dan medulla. Bagian korteks terdiri atas stroma yang bersifat seluler dan mengandung folikel ovarium, korpus luteum dan sel interstitial serta pembuluh darah. Folikel terdiri atas oosit atau sel telur yang diselubungi oleh sel folikel yang merupakan hasil diferensiasi epitel germinativum. Folikel ovarium ada yang istirahat (primordial), dan ada yang sudah matang yaitu folikel de Graaf. Bagian medulla terdiri atas jaringan ikat fibroelastik yang penuh jaringan saraf, pembuluh darah dan limfe.

Ovarium memiliki 2 fungsi yaitu sebagai penghasil sel telur dan penghasil estrogen dan progesteron menurut Guyton (1996) & Lay Cock (1982). Proses pembentukan sel telur (Oogenesis) meliputi :

1. Proliferasi oogonium

Gamet yang berasal dari sel germinal primordial bermigrasi ke gonad dengan pergerakan amuboid melalui mesenterium dorsal ke gonad. Sel aktif bermitosis pada betina disebut Oogonium. Oogonia akan mengakhiri proliferasi setelah beberapa hari sebelum kelahiran (Ganong 2003).

(28)

2. Pertumbuhan Oosit

Pertumbuhan oosit dimulai dengan tumbuhnya ovum dan folikel secara cepat. Ketika antrum telah terbentuk, oosit tidak tumbuh lagi dan folikel mendapat pengaruh hormon dari hipofisis untuk melanjutkan tumbuh secara cepat. Pertumbuhan oosit ditandai dengan akumulasi kuning telur dalam sitoplasma, perkembangan zona pellucida, proliferasi mitosit dari epitel follikel dan jaringan di dekatnya (Hafez 2000).

Gambar 4. Ovarium, corpus luteum dan perkembangan folikel (Syahrum et al. 1994)

(29)

Ovar

Primary germ cell in Differentiati

Oogoniu

m Oogonium

Mitotic division

Primary oocyte, arrested in prophase of meiosis I (present at birth) Completion of meiosis I

and onset of meiosis II

Primary oocyte within follicle

Secondary oocyte, arrested at meta- phase of meiosis II First polar body Ovulatio n Entry of sperm triggers completion of meiosis II Ovum Growing follicle Mature Ruptured follicle Ovulated secondary Corpus Degenerating corpus luteum 2 n 2 n

n n

n

Badan kutub tersebut dilepas ke rongga perivitelin dan mengalami degenerasi (Hafez 2000).

Gambar 5. Proses pembentukan sel telur (Oogenesis) (Campbell et al. 2004).

3. Perkembangan folikel

Tahap perkembangan folikel disebut fase folikuler. Fase ini dimulai dari

(30)

ini disebut ovulasi. Ovulasi pada tikus terjadi secara spontan selama fase estrus (Nalbandov 1990). Pada tikus, terdapat lebih dari satu folikel yang mengalami ovulasi dan menghasilkan 4 – 14 sel telur, yang memungkinkan kelahiran multiple (Smith & Mangkoewidjojo 1988).

[image:30.612.174.449.458.616.2]

Proses ovulasi diawali dengan perkembangan dan pematangan sel folikel dalam ovarium di bawah pengaruh FSH. Sel folikel yang sudah matang (folikel de Graaf) akan mensekresi estrogen yang menyebabkan kadar estrogen dalam darah meningkat, sehingga menekan sekresi FSH (mekanisme umpan balik negatif). Sebaliknya estrogen yang tinggi akan memacu sekresi LH sehingga terjadi ovulasi, setelah itu kadar estrogen dalam darah menurun (Syahrum et al. 1994). Folikel yang telah matang akan menempati daerah korteks dan menonjol ke permukaan ovarium. Pada permukaan yang menonjol terjadi penipisan jaringan. Cairan folikel makin banyak dan menyebabkan tekanan hidrostatik yang menyebabkan meningkatnya tekanan turgor jaringan. Di sisi lain kumulus ooforus mengalami desintegrasi sehingga ovum berada dalam keadaan bebas dalam cairan. Tegangan yang memuncak diikuti pecahnya selaput tipis ovarium pada stigma yang menyebabkan ovum lepas ke rongga peritonium (Ferin et al.1993). Skema proses pematangan folikel ovarium dapat dilihat pada Gambar 6 berikut :

Gambar 6. Ovarium tikus dengan tingkat perkembangan sel folikel (Hafez 1993).

Corpus Luteum

(31)

Selanjutnya darah membeku diresorbsi dan terjadi lutenisasi sel-sel granulosa dan sel teka, sehingga terbentuk korpus luteum (Partodihardjo 1980). Pertumbuhan korpus luteum berlangsung melalui hipertrofi sel luteal. Pembentukan dan pertumbuhan korpus luteum dirangsang oleh LH. Sedangkan prolaktin (luteotropik hormon) berperan dalam memelihara fungsi korpus luteum agar tetap menghasilkan progesteron (Nalbandov 1990). Perkembangan selanjutnya dari korpus luteum tergantung pada terjadi tidaknya fertilisasi dan kebuntingan. Bila sel telur dibuahi dan terjadi kebuntingan maka korpus luteum akan tetap bertahan dan dikenal dengan korpus gravidatatum (CL kebuntingan) (Partodihardjo 1980). Apabila hewan betina tidak mengalami kebuntingan, maka korpus luteum mengalami regresi dan terjadi pematangan folikel yang baru. Regresi korpus luteum disertai munculnya sel tenun pengikat lemak dan struktur hialin diantara sel-sel luteum. Kondisi ini mempercepat regresi korpus luteum sampai sel luteum tidak terdapat lagi (Nalbandov 1990). Regresi korpus luteum berlangsung melalui kerja prostaglandin PGF2ά yang dihasilkan oleh uterus. PGF2ά akan merangsang vasokontriksi pembuluh darah pada korpus luteum sehingga suplai darah berkurang. Berkurangnya suplai darah menyebabkan luteolisis sel luteal (Sammuelson et al.1978).

Uterus

Uterus tikus merupakan tipe dupleks, yang terdiri atas dua tanduk (kornus uteri) dan satu badan yang bersatu membentuk huruf Y. Korpus uteri merupakan bagian pendek yang berbatasan dengan vagina. Sedangkan kornus uteri merupakan bagian uterus yang memanjang. Bagian proksimal berbatasan dengan tuba uterine, sedangkan bagian distalnya saling mendekat yang hanya dipisahkan oleh sekat tipis yang bermuara ke dalam lumen korpus uteri. Bagian uterus yang berbatasan langsung dengan vagina disebut serviks uteri (Baker 1979). Bagian-bagian uterus dapat dilihat pada gambar 7 berikut :

(32)

Gambar 7. Uterus tikus (Baker 1979).

Dinding uterus dari luar kedalam terdiri atas 3 lapisan yaitu membrana serosa, myometrium dan endometrium. Membrana serosa merupakan lapisan terluar. Myometrium merupakan lapisan otot yang tersusun atas pembuluh darah, limfe dan saraf. Endometrium merupakan lapisan dinding lumen yang terdiri atas epitel, kelenjar uterus dan tenunan pengikat. (Rugs 1968, Ross & Schreiber 1991).

Perubahan yang terjadi pada uterus selama siklus estrus disebut siklus uterus. Selama pertumbuhan folikel terjadi juga pertumbuhan dalam endometrium. Selama periode perkembangan korpus luteum, endometrium menyesuaikan diri untuk menerima kehamilan. Jika sel telur tidak dibuahi maka endometrium ke keadaan semula bersamaan dengan regresinya korpus luteum. Sedangkan jika terjadi pembuahan, maka endometrium dipertahankan pada keadaan yang terbaik untuk kehamilan (Sartono 1994).

Pada awal siklus estrus yaitu fase proestrus, folikel akan berkembang dan menghasilkan hormon estrogen untuk mempertahankan pertumbuhan maupun menyebabkan proliferasi endometrium. Dinding endometrium berangsur-angsur mengalami hiperemia, berproliferasi dan menebal dengan cepat. Kelenjar yang pendek menjadi bertambah panjang, dan pembuluh darah bertambah banyak (Bullock et al.

2004). Fase ini merupakan awal perkembangan folikel de Graaf. Fase proestrus ini merupakan periode terjadinya involusi fungsional korpus luteum serta pembengkakan praovulasi folikel (Mc Donald 1989). Selain itu pada tahapan ini juga terjadi vaskularisasi epitel vagina (Tolihere 1981). Vaskularisasi ini disebabkan oleh estrogen yang semakin tinggi. Di samping itu juga terdapatnya cairan yang terkumpul di uterus sehingga uterus sangat kontraktil (Turner & Bagnara 1976).

Ovarium

Cornus Uteri kanan Uretra

Preputial Gland Liang Vagina Ureter

Oviduct

Vagina Gland Clitoris

(33)

Pada fase estrus, estrogen meningkat merangsang sekresi kelenjar uterus dan merangsang serviks untuk berkontriksi, sehingga uterus menggelembung. Pada akhir fase ini, progesteron mulai dihasilkan oleh korpus luteum dan akan merangsang serviks untuk relaksasi. Hal ini menandai timbulnya hasrat kawin dan kopulasi mungkin terjadi pada tikus betina (Martin 1985). Fase ini berlangsung sekitar 12 jam (van Tienhoven 1983, Smith & Mangkoewidjojo 1988). Ciri khas pada fase ini hewan betina mau menerima pejantan untuk kopulasi. Hal ini disebabkan oleh pengaruh sekresi estrogen yang tinggi (Nalbandov 1990). Estrogen dari folikel de Graaf yang matang menyebabkan berbagai perubahan pada organ reproduksi seperti uterus tegang, mukosa vagina tumbuh cepat disertai sekresi lendir, terdapatnya sel-sel yang menumpuk dan menanduk. Sel-sel ini terkelupas ke dalam lumen vagina (Bullock et al. 2004 & Rugs 1968).

(34)

1983). Pada preparat ulas vagina terlihat banyaknya leukosit dan sel epitel berinti (Nalbandov 1990).

Vagina

Vagina merupakan saluran terpanjang yang terletak di bagian dorsal uretra dan bagian ventral rectum. Pembukaan vagina terjadi tidak lama setelah ovulasi pertama dan dipakai sebagai tanda pubertas (Hafez 2000). Perubahan karakteristik dinding epitel vagina selama estrus dapat diketahui melalui sediaan apus vagina yang merupakan petunjuk tahap-tahap dalam siklus estrus (Ganong 2003).

Siklus estrus merupakan cerminan bagi berbagai aktivitas yang saling berkaitan antara hipotalamus-hipofisis-ovarium. Selama siklus estrus terjadi perubahan baik pada organ reproduksi maupun perubahan tingkah laku seksual (Hafez 2000).

(35)

Tabel 1. Gambaran mikroskopis hasil ulasan vagina pada berbagai fase siklus estrus.

FASE

HASIL ULASAN VAGINA Nalbandov

(1990)

Turner & Bagnara (1976)

Smith & Mangkoewidjoyo

(1988)

Sartono (1994)

Proestrus Sel epitel berinti Sel epitel berinti Sel-sel kecil dengan inti bulat

Epitel berinti Berlendir Estrus Sel berkornifikasi Sel-sel menanduk Epitel menanduk

Inti piknotik

Epitel menanduk

Metestrus Leukosit diantara sel berkornifikasi

Leukosit banyak, Sel menanduk sedikit

Sel berkornifikasi Ada leukosit

Epitel bertanduk berkurang Epitel berinti banyak Diestrus Epitel berinti

Leukosit

Leukosit bermigrasi Sel epitel dan Leukosit

[image:35.612.81.522.112.660.2]

Leukosit banyak, epitel berinti

Gambar 8. Irisan melintang dinding vagina tikus putih pada

berbagai fase siklus estrus (Turner & Bagnara, 1976). Leucosit

Kornifikasi

Estrus Metestrus

Sel epitel berinti

Diestrus Proestrus

Leucosit Sel epitel berinti

Sel menanduk

(36)

Kelenjar Susu

Peristiwa fisiologis siklus estrus tikus tercermin pada siklus pertumbuhan dan regresi kelenjar susu meskipun sedikit berbeda apabila terjadi kebuntingan (Knobil & Neills 2006). Pada fase proestrus terlihat saluran panjang di sekitar kelenjar susu, terutama dekat puting. Selanjutnya saluran makin membesar pada fase estrus. Sedangkan pada fase metestrus pelebaran saluran ini menjadi berkurang dan menghilang dan tampak kembali pada fase diestrus. Siklus kelenjar susu dirangsang oleh hormon estrogen dan progesteron (Ganong 2003). Hormon estrogen mempengaruhi proliferasi saluran kelenjar susu, sedangkan hormon progesteron merangsang perkembangan lobulus.

Kopulasi

Kopulasi biasanya terjadi 3 jam pertama fase estrus. Pada fase estrus ini estrogen mempengaruhi substrat metabolik vagina sehingga memproduksi asam yang mudah menguap dan menyebabkan timbulnya daya tarik seks tikus betina (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Terjadinya kopulasi ditandai dengan sumbat vagina (vaginal plug) pada liang vagina (Rugs 1968). Sumbat vagina merupakan air mani yang menggumpal yang berasal dari sekret kelenjar prostat tikus jantan. Kondisi ini dapat diamati kira-kira 16-48 jam setelah kopulasi (Hafez 2000).

Fertilisasi

(37)

Pengendalian Hormon terhadap Siklus Reproduksi

Seperti halnya mamalia lain, kunci siklus reproduksi tikus betina terletak pada hipotalamus yang berhubungan dengan kelenjar hipofisis. Siklus reproduksi berlangsung dengan bantuan hormon gonadotropin yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisis bagian anterior melalui sistem portal hipotalamus – hipofisis. Hormon gonadotropin terdiri atas FSH (Follicle Stimulating Hormone), LH (Luteinizing Hormone), Prolactin dan LTH (Luteotropic Hormone). Sintesis dan sekresi FSH dan LH dirangsang oleh Gonadotropic Releasing Hormon (Gn RH) yang disekresi oleh hipotalamus. Hormon ini mulai bekerja saat hewan mencapai masa pubertas (kematangan sel kelamin) (Johnsons & Everith 1988). FSH dan LH dibutuhkan untuk perkembangan normal folikel di ovarium. Perkembangan awal sel folikel dikendalikan oleh FSH yang selanjutnya merangsang sel granulose dan sel teka ovarium untuk mensekresi estrogen. Sedangkan progesteron terdapat dalan jumlah sedikit pada awal perkembangan sel folikel tetapi produksi progesteron mulai meningkat di bawah pengaruh LH (Partodihardjo1980 & Lay Cock 1982).

Perkembangan akhir sel folikel dikendalikan oleh LH dan selanjutnya LH mendorong pecahnya folikel dan ovulasi (Nalbandov 1990). Sedangkan prolaktin bersifat luteolitik pada siklus estrus dan berfungsi untuk mempertahankan korpus luteum serta merangsang korpus luteum untuk menghasilkan hormon progesteron (Nalbandov 1990). Selain itu hormon prolaktin berfungsi untuk laktasi dan perkembangan ovarium selama kehamilan (Knobil and Neills 2006).

Nasib folikel telur dalam ovarium tergantung pada hormon gonadotropin. Banyak folikel yang mengalami atresia karena FSH dan LH hanya mampu menumbuhkan dan mematangkan folikel telur dalam jumlah tertentu. Akan tetapi folikel atresia dapat dicegah bila konsentrasi FSH dan LH di dalam sirkulasi darah cukup memadai. Hormon ini terikat dengan reseptor FSH dan LH pada sel folikel ovarium. Disamping itu hormon gonadotropin mempengaruhi perubahan folikel pre antral menjadi folikel antral (Johnsons & Everith 1988).

(38)

reproduksi, pertumbuhan saluran kelamin, menyebabkan pemanjangan dan hipertrofi kelenjar uterus, serta menyebabkan kontraksi uterus. Selain itu estrogen merangsang proliferasi dan diferensiasi epitel vagina, merangsang perkembangan saluran kelenjar susu, menimbulkan hasrat kawin dan merangsang peregangan tulang pinggul (Martin 1985 & Ganong 2003).

Progesteron dihasilkan oleh korpus luteum di bawah rangsangan LH. Fungsi progesteron antara lain mempersiapkan endometrium untuk implantasi. Sedangkan progesteron dan estrogen dalam jumlah yang cukup berfungsi mempertahankan implantasi zigot (Knobil & Neills 2006).

Pada permulaan fase folikuler, estrogen menghambat dan memberi umpan balik negatif terhadap sekresi FSH dan LH, tetapi pada akhir fase folikuler (sebelum ovulasi), peningkatan estrogen merangsang dan memberi umpan balik positif terhadap sekresi LH. Pada fase luteal jumlah estrogen dan progesteron yang tinggi menghambat dan memberi umpan balik negatif terhadap sekresi FSH dan LH. Adapun mekanisme umpan balik hormon pada poros hipothalamus-hipofisis-gonad tertera pada Gambar 9.

Gambar 9. Mekanisme umpan balik hormon pada poros

hipotalamus-hipofisis-gonad (Syahrum et al. 1994).

[image:38.612.111.514.391.608.2]
(39)

Gambar 10. Hubungan antara GnRH dan Hormon ovarium serta perubahan reproduksi pada mamalia betina poliestrus (Nelson 1983).

Peranan Hormon dalam Siklus Estrus

Pada akhir fase diestrus, korpus luteum yang mensekresi progesteron mengalami regresi. Regresi ini disebabkan pengaruh prostaglandin yang dihasilkan oleh uterus. Setelah produksi progesteron merendah, FSH-RH/LH-RH dilepas ke sistem porta hipofisa. Selanjutnya FSH-RH/LH-RH merangsang produksi dan pelepasan FSH yang disusul oleh produksi LH oleh hipofisa anterior. FSH merangsang folikel tertier pada ovarium untuk tumbuh menjadi folikel de Graaf. Lapisan sel teca interna dan sel granulosa pada folikel de graaf menghasilkan estrogen. Semakin masak dimensi folikel de Graaf semakin tinggi produksi produksi estrogen. Estrogen ini menyebabkan vaskularisasi alat kelamin. Setelah kadar estrogen dalam darah mencapai derajat ketinggian tertentu, maka terjadilah efek positif terhadap produksi dan pelepasan LH dari hipofisa anterior. Mekanisme ini disebut umpan balik (feed back) positif. Kadar LH dalam darah mendadak meningkat sehingga terjadi ovulasi. Ovulasi adalah peristiwa pecahnya dinding de Graaf dan keluarnya ovum (Nalbandov 1990).

(40)

Setelah ovulasi terjadi, kadar LH menurun dengan cepat, tetapi tidak kembali ke kadar dasar, melainkan cukup untuk merangsang sel teca interna untuk membentuk korpus luteum. Sejak terbentuknya korpus luteum, sel ini memproduksi hormon progesteron yang berfungsi meredakan aktivitas estrogen. Kecuali oleh LH, fungsi korpus luteum ditunjang oleh LTH. LTH berperan dalam merangsang korpus luteum untuk memproduksi progestin. Setelah folikel de Graaf pecah, produksi estrogen turun dengan cepat, hingga mencapai kadar dasar (kadar paling rendah dalam darah). Penurunan ini diikuti oleh kenaikan produksi FSH secara berangsur-angsur, FSH diperlukan oleh ovarium untuk merangsang pertumbuhan folikel. Folikel yang tumbuh secara berangsur-angsur mempertinggi kadar estrogen dalam darah. Setelah kadar estrogen dalam darah mencapai derajat ketinggian tertentu, maka terjadi rangsangan pada uterus untuk memproduksi prostaglandin. Prostaglandin ini menyebabkan korpus luteum beregresi dan progestin secara tajam menurun. Menurunnya progesteron dalam darah estrogen menjadi dominan pada alat reproduksi hingga terjadilah estrus (Partodihardjo 1980).

Mekanisme Antifertilitas terhadap Reproduksi Tikus

Suatu zat yang berkhasiat anti fertilitas dapat bekerja melalui beberapa mekanisme dan beberapa tempat kerja. Efek anti fertilitas suatu zat dapat terjadi di beberapa tempat atau pada tempat kerja yang sama tetapi dengan mekanisme berbeda. Sebagai contoh pada mamalia betina, aktivitas zat antifertilitas dapat terjadi di hipotalamus, hipofisis, ovarium, oviduk, uterus, dan vagina (Cheeke 1989).

Ada tiga macam istilah untuk aktivitas zat antifertilitas, yaitu zat yang bersifat sebagai kontrasepsi, abortivum dan intersepsi. Zat yang bersifat kontrasepsi berfungsi mencegah terjadinya ovulasi dan fertilisasi. Zat yang bersifat abortivum menyebabkan keluarnya fetus sebelum terjadinya implantasi sedangkan sebagai zat intersepsi, zat tersebut bekerja setelah terjadi fertilisasi yang akan mengganggu perjalanan menuju implantasi (Farnsworth et al. 1975 & Cheeke 1989).

(41)

obat-obatan atau zat kontrasepsi yang berupa fitosterol yang terkandung pada daun maja (β-sitosterol dan stigmasterol). Keadaan ini menyebabkan laju fertilitas dan tingkat kesuburan menjadi menurun.

Bahan aktif β-sitosterol dan stigmasterol tergolong steroid dan merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, tetapi larut dalam pelarut organik seperti ether, etanol, kloroform, dan benzena (Harborne 1987). Steroid tumbuhan dapat bekerja sebagai kontrasepsi dengan menekan ovulasi pada sebagian besar siklus dan menghambat pelepasan gonadotropin (menghambat fungís ovarium) melalui mekanisme umpan balik (Nalbandov 1990). Selain itu steroid tumbuhan umumnya bersifat estrogenik sehingga akan mempengaruhi siklus menstruasi dan perkembangan folikel (Farnsworth et al. 1975). Steroid ini tentunya dapat turut meningkatkan kadar estrogenik dalam darah. Tingginya kadar estrogen dalam darah dapat menghambat hipofisis dalam mensekresi hormon FSH melalui umpan balik negatif (Ganong 2003, Johnsons & Everith 1988). Steroid tumbuhan memiliki kesamaan dengan steroid yang dihasilkan ovarium yaitu estrogen dan progesteron. Keduanya memiliki gugus utama berbentuk cincin siklopentana perhidrofenantrena (Tyler 1976 & Harborne 1987).

Berdasarkan sasaran aktivitas pada organ target, mekanisme zat antifertilitas dibedakan atas :

1. Hipotalamus-hipofisis

Mekanisme kerja steroid pada hipotalamus maupun hipofisis dapat menyebabkan aktivitas anti gonadotropin, artinya steroid tersebut akan secara langsung menghambat sekresi FSH dan LH yang dihasilkan oleh hipotalamus maupun hipofisis yang mengakibatkan terhambatnya produksi hormon estrogen dan progesteron. Estrogen dan progesteron diperlukan untuk memunculkan birahi normal pada hewan ovulator spontan, sehingga zat yang menekan gonadotropin mengakibatkan terhambatnya ovulasi dan menekan libido (Farnsworth et al. 1975). Selain itu juga akan menghambat induksi saraf ke hipotalamus yang mengatur sekresi GnRH pada hewan ovulator spontan yakni akan memberikan efek antifertilitas sebelum ovulasi (Farnsworth et al. 1975 & Hafez 2000).

(42)

2. Ovarium

Mekanisme kerja zat antifertilitas terhadap ovarium dapat ditunjukkan aktivitasnya pada penghambatan ovulasi dan steroidogenesis (Farnsworth et al. 1975 & Hafez 2000). Terhambatnya ovulasi ini sebagai akibat dari terhambatnya produksi estrogen dan progesteron seperti berkurangnya korpus luteum yang terbentuk berhubungan erat dengan jumlah ovum yang diovulasikan (Richards 1980). Selain itu juga akan menyebabkan penekanan jumlah dan perkembangan folikel yang mengakibatkan penurunan berat ovarium dan steroidogenesis (Zambrana 1971). 3. Oviduk

Mekanisme kerja zat antifertilitas dapat menyebabkan kekacauan fertilisasi dan kegagalan implantasi serta dapat menyebabkan sel telur yang sudah dibuahi akan mengalami regresi bila tiba terlalu dini di uterus (Farnsworth et al. 1975 & Hafez 2000).

4. Uterus

Mekanisme kerja zat antifertilitas pada uterus dapat bersifat interseptif maupun abortivum. Keseimbangan hormon estrogen dan progesteron pada tikus sangat diperlukan pada proses implantasi. Ada progesteron yang dilaporkan dapat menimbulkan gangguan keseimbangan proliferasi endometrium, sehingga mengganggu implantasi. Demikian juga antiestrogenik dapat menghambat implantasi pada hewan yang memerlukan estrogen pada proses implantasi (Farnsworth et al.

1975 & Hafez 2000). Mekanisme lain juga dapat berupa fetus yang mati atau resorbsi disebabkan karena terhambatnya aliran darah yang berasal dari placenta menuju fetus baik karena kekurangan oksigen maupun sari-sari makanan (Bronsons 1966). Selain itu resorbsi fetus dapat terjadi pada periode organogenesis yang terbukti dengan adanya bekas tapak implantasi pada uterus, maupun fetus yang melekat di daerah serviks akan diresorbsi sebagai benda asing oleh uterus (Rugs 1968).

5. Vagina

(43)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama 8 bulan (November 2008 - Juli 2009) yang bertempat di beberapa lokasi yaitu : Pembuatan ekstrak daun maja dilakukan di Laboratorium Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Analisa fitokimia ekstrak daun maja di laboratorium BALITRO, Taman Cimanggu Bogor. Pemeliharaan dan perlakuan hewan coba dilakukan di kandang hewan pribadi Ciomas. Pengamatan siklus estrus dan analisa kinerja reproduksi di Laboratorium Fisiologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa daun maja yang berasal dari Bogor, Tangerang dan Pandeglang. Hewan percobaan yang digunakan adalah tikus putih (Rattus norvegicus) betina galur Spraque-Dawley varitas 2 sebanyak 30 ekor dengan bobot badan ± 200-300 gr dan berumur 3-4 bulan, serta 15 ekor tikus jantan dewasa dengan galur yang sama. Tikus tersebut diperoleh dari unit hewan percobaan Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Selanjutnya tikus diadaptasikan di kandang hewan pribadi di Ciomas selama 1 minggu sebelum diberi perlakuan.

Alat yang digunakan berupa mesin penggiling simplisia, rotary evaporator,

freeze dryer, lumpang, mortal, staining jar (bak warna), sonde lambung, spuit, gelas ukur, timbangan digital, perangkat kandang tikus, seperangkat alat bedah, papan bedah, gelas objek, dan mikroskop (stereo dan binokuler). Sedangkan zat kimia yang dipergunakan antara lain : aquadest, ethanol 96%, methanol, giemsa 10%, ether, buffer formalin 40% dan alkohol 70%.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu tahap pembuatan ekstrak daun maja, tahap persiapan dan perlakuan hewan coba, serta tahap pengamatan dan analisis kinerja reproduksi. Parameter yang diamati terbagi menjadi dua berdasarkan kelompok tahapan pelaksanaan penelitian. Pada kelompok pelaksanaan pertama

(44)

parameter yang diamati adalah : 1). Lama siklus estrus dan fase-fasenya, 2). Kinerja reproduksi yang meliputi berat ovarium, jumlah folikel, jumlah korpus luteum, dan laju ovulasi. Sedangkan pada kelompok pelaksanaan kedua, parameter yang diamati adalah kinerja reproduksi berupa 1). Keberhasilan kebuntingan yang mencakup waktu terjadi kebuntingan, 2). Jumlah anak yang dilahirkan.

Pembuatan Ekstrak Daun Maja

Sebanyak 35 kg daun maja (muda dan sedang) dipotong halus dan dikering anginkan dalam ruangan tanpa terkena sinar matahari langsung selama 14 hari, sehingga diperoleh 5 kg daun maja kering. Selanjutnya daun maja kering ini digiling menjadi serbuk halus (simplisia) dengan menggunakan mesin penggiling simplisia. Simplisia tersebut selanjutnya direndam (maserasi) dalam ethanol 96% (guna penarikan fitosterol pada daun maja) dengan perbandingan 1:10. Perendaman dilakukan selama 24 jam (Harborne 1987). Setiap 2 jam sekali dilakukan pengadukan agar merata. Langkah selanjutnya campuran simplisia-ethanol disaring. Filtrat hasil penyaringan ditampung dalam tabung plastik, sedangkan ampasnya dimaserasi kembali dengan proses yang sama. Filtrat yang diperoleh ditampung pada tabung yang sama yang sudah terisi filtrat pada maserasi sebelumnya. Tahap berikutnya filtrat dipekatkan dengan cara diuapkan (evaporasi) dengan menggunakan rotary evaporator

(45)
[image:45.612.92.514.86.240.2]

Gambar 11. Prosedur pembuatan ekstrak daun maja.

Penentuan Dosis dan Lama Pemberian Ekstrak Daun Maja

Penentuan dosis ekstrak daun maja pada hewan coba didasarkan pada LD50.

Menurut metode Thompson dan Weil, ED50 tercapai dari 1/10 dikalikan LD50 (Shayne

et al. 2002) danLD50 ekstrak maja diketahui sebesar 10 gr/kg BB (Anonim 2006).

Berdasarkan kedua informasi tersebut, maka pada penelitian ini ditetapkan dosis pertama yang digunakan adalah 1/10 x 10 gr/kg BB = 1 gr/kg BB. Hal ini sejalan dengan Jagetia dan Venkatesh (2005) yang menetapkan dosis sebesar 1 gr/kg BB/hari. Sedangkan untuk melihat lebih optimalnya efek perlakuan pemberian ekstrak daun maja terhadap kinerja reproduksi hewan coba, maka ditetapkan dosis kelipatannya yaitu sebesar 2 gr/kg BB/hari.

Adapun penetapan waktu pemberian ekstrak daun maja didasarkan pada lama siklus estrus tikus, dimana ditetapkan pemberian ekstrak daun maja selama 1 dan 2 siklus estrus. Diketahui panjang 1 siklus estrus adalah 4-5 hari (Rugs 1968), sehingga lama pemberian ekstrak daun maja pada hewan percobaan menjadi 6 dan 12 hari.

Persiapan Hewan Coba

Tikus betina yang sudah diadaptasikan ditempatkan dalam kandang plastik berukuran 30 x 25 x 11cm dengan tutup terbuat dari kawat ram. Setiap kandang terisi 3 ekor tikus yang beralaskan serbuk gergaji guna menyerap urin tikus (Gambar 12). Pakan tikus berupa pelet dari Comfeed PT Suri Tani Pemuka Grup PT Japis Comfeed Indonesia dan air minum diberikan ad libitum. Lingkungan kandang dibuat dengan ventilasi dan penyinaran yang cukup yakni 14 jam terang dan 10 jam gelap.

(46)
[image:46.612.151.497.89.221.2]

Gambar 12. Rak kandang pemeliharaan dan pengadaptasian hewan coba.

Perlakuan Hewan Coba

Tikus betina berjumlah 30 ekor dibagi menjadi 5 kelompok perlakuan, masing-masing 6 ekor tikus. Adapun kelompok perlakuan tersebut terdiri dari : Kontrol (Kelompok tikus tanpa pemberian ekstrak daun maja dan diberi aquadest), A1B1

(Kelompok tikus yang diberi ekstrak daun maja dosis 1 gr//kg BB//hari selama 6 hari), A2B1 (Kelompok tikus yang diberi ekstrak daun maja dosis 2 gr/kg BB//hari selama 6 hari), A1B2 (Kelompok tikus yang diberi ekstrak daun maja dosis 1 gr/kg BB//hari selama 12 hari), dan A2B2 (Kelompok tikus yang diberi ekstrak daun maja dosis 2 gr/kg /BB/hari selama 12 hari). Masing-masing kelompok perlakuan dibagi menjadi 2 kelompok pelaksanaan penelitian berdasarkan parameter penelitian, sehingga masing-masing kelompok kecil terdiri dari 3 ekor tikus (Gambar 13).

(47)

Keterangan : C = Kontrol (Tanpa perlakuan pencekokan ekstrak daun maja) A1B1 = Perlakuan cekok dengan dosis 1gr/kg BB selama 6 hari AIB2 = Perlakuan cekok dengan dosis 2gr/kg BB selama 12 hari A2B1 = Perlakuan cekok dengan dosis 1gr/kg BB selama 6 hari A2B2 = perlakuan cekok dengan dosis 2gr/kg BB selama 12 hari

[image:47.612.82.502.81.550.2]

Gambar 13. Diagram Penelitian.

Gambar 14. Prosedur pencekokan ekstrak daun maja secara oral.

Untuk memudahkan mendapatkan data lengkap, pada kelompok pelaksanaan penelitian pertama, pengambilan apus vagina dilakukan selama 2 x siklus estrus (12 hari). Pada kelompok hewan yang diberikan ekstrak daun maja selama 1 siklus (6 hari), yaitu kelompok A1B1 dan A2B1, pengambilan apus vagina dilakukan pada hari ke-7 hingga hari ke-18 guna pengambilan data siklus estrus. Pada hari ke-19 hewan dikorbankan guna analisis kinerja reproduksinya. Sedangkan perkawinan dilaksanakan pada hari ke-19. Protokol penelitian tertera pada gambar 15a.

3 EKOR 3 EKOR 3 EKOR 3 EKOR

A1B2 A2B2

3 EKOR

KONTROL

3 EKOR 3 EKOR 3 EKOR 3 EKOR 3 EKOR

A2B1 30 EKOR TIKUS BETINA

PARAMETER :

 LAMA SIKLUS ESTRUS

 KINERJA REPRODUKSI - Berat ovarium

- Jumlah Folikel

- Jumlah Corpus Luteum - Laju Ovulasi

PARAMETER :

 KINERJA REPRODUKSI - Keberhasilan fertilisasi - Keberhasilan kebuntingan - Jumlah anak lahir

A1B1

(48)

Keterangan :

A : Masa pemberian ekstrak daun maja B : Masa analisa siklus estrus

C : Hewan dikorbankan untuk analisa kinerja reproduksi

[image:48.612.87.509.66.792.2]

D : Hewan dikawinkan untuk melihat kinerja reproduksi (kebuntingan)

Gambar 15a. Bagan perlakuan dan analisa kinerja reproduksi.

Sedangkan pada kelompok hewan yang diberi ekstrak daun maja selama 2 siklus (12 hari), pengambilan apus vagina dilakukan selama 2 x siklus estrus ( 12 hari) yaitu A1B2 dan A2B2, pengambilan apus vagina dilakukan pada hari ke-13 hingga hari ke-24 guna pengambilan data siklus estrus, dan pada hari ke-25 hewan dikorbankan guna analisis kinerja reproduksinya. Begitu juga dengan perkawinan dilaksanakan pada hari ke-25. Protokol penelitian dapat dilihat pada gambar 15b.

Gambar 15b. Bagan perlakuan dan analisa kinerja reproduksi

Adapun kelompok kontrol yang tidak mendapatkan ekstrak daun maja, pengambilan apus vagina dilakukan selama 12 hari (yaitu hari ke-1 hingga hari ke-12) guna pengambilan data siklus estrus dan dikorbankan pada hari ke-13 guna pengambilan data kinerja reproduksi. Sedangkan perkawinan dilaksanakan pada hari ke-13. Protokol penelitian tertera pada gambar 15c.

24 12

C B

13

A

D H-1

25

13 24 25

Hari pelaksanaan

19

D 6

18

A

C

Hari pelaksanaan B

H-1 7

19

(49)
[image:49.612.83.498.497.723.2]

Gambar 15c. Bagan perlakuan dan analisa kinerja reproduksi.

Pengambilan parameter dan analisa yang dilakukan

1. Penetapan lama siklus estrus (PSSE) tikus

Untuk memperoleh data lama siklus estrus dilakukan pengambilan sediaan apus vagina. Pengambilan apus vagina dilakukan 3 x dalam sehari yaitu pagi hari (pukul 06.00), siang hari (pukul 14.00) dan malam hari (pukul 22.00) WIB. Adapun prosedur pembuatan sediaan apus vagina adalah gelas objek dibersihkan dengan alkohol 70 %. Cotton bud dicelupkan ke dalam NaCl fisiologis, kemudian dioleskan ke dalam vagina tikus secara perlahan-lahan dan merata sehingga diperoleh jaringan mukosa vagina. Cotton bud yang mengandung mukosa vagina selanjutnya dioleskan di atas gelas objek sambil diputar sehingga diperoleh olesan yang merata. Gelas objek selanjutnya dikering anginkan di udara kemudian difiksasi dengan methanol selama 15 menit dan diwarnai dengan Giemsa 10 % selama 30 menit (Clayden 1971 & Suntoro 1983). Selanjutnya sediaan dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan pada suhu kamar (Gambar 16).

B

12 13 C

13

D

Hari pelaksanaan H-1

Gambar 16. Pembuatan dan pewarnaan sediaan apus vagina.

(50)
[image:50.612.78.502.242.700.2]

Sediaan apus vagina selanjutnya diamati di bawah mikroskop binokuler dengan perbesaran 40 x 5 (Clayden 1971). Penentuan fase siklus estrus dilakukan berdasarkan keberadaan sel-sel epitel vagina dan jumlah kualitatif sel-sel epitelnya. Penetapan ini didasarkan pada perbandingan jenis sel seperti tertuang pada Tabel 2. Adapun gambaran sediaan apus vagina tikus putih galur Sprague-Dawley disajikan pada Gambar 17. Hasil identifikasi selanjutnya dianalisis dengan cara ditabulasikan dan dihitung rataannya selama 2 siklus estrus (lampiran 2).

Tabel 2. Perbandingan jenis sel pada preparat apus vagina

Fase siklus estrus Ulasan vagina

Proestrus Sel epitel berinti 75%

Sel kornifikasi 25%

Estrus Sel kornifikasi 75%

Sel pavement (bertumpuk) 25%

Metestrus Sel pavement 25%

Sel pavement dan leukosit 75%

Diestrus Leukosit 100%

Leukosit sel berinti mulai muncul

Sumber : Baker et al.1979.

Gambar 17. Gambar sediaan apus vagina tikus putih galur Sprague- Dawley dengan perbesaran 40x5 (koleksi pribadi).

Leucosit

(51)

2. Kinerja reproduksi

Untuk memperoleh data kinerja reproduksi pasca pemberian ekstrak daun maja, tikus dikorbankan dengan dianestesi. Anestesi dilakukan dengan pembiusan menggunakan kapas yang dibasahi eter dan diletakkan dalam stoples. Tikus tersebut dimasukkan ke dalam stoples selama beberapa menit hingga lemas dan tak sadarkan diri, selanjutnya dilakukan pembedahan. Pembedahan dilakukan pada bagian abdominal guna pengambilan ovarium. Untuk mengambil ovarium, terlebih dahulu dipisahkan dan dipotong dari jaringan lemak, oviduk dan uterus yang bersambungan dengan ovarium. Selanjutnya dilakukan penimbangan ovarium, penghitungan jumlah folikel, corpus luteum dengan menggunakan kaca pembesar. Folikel ovarium tampak seperti bulatan-bulatan kecil berwarna merah, sedangkan corpus luteum tampak seperti bulatan-bulatan kecil bening.

Analisis terhadap kinerja reproduksi yang berupa laju ovulasi diperoleh dari data yang didapat dari perhitungan jumlah folikel dan jumlah corpus luteum. Laju ovulasi ini mencerminkan banyaknya ovum yang telah diovulasikan. Laju ovulasi ditentukan dengan cara menghitung persentase antara jumlah corpus luteum dibandingkan jumlah folikel.

Pada kelompok tikus yang digunakan untuk melihat kemampuan reproduksi terutama keberhasilan kebuntingan, maka waktu keberhasilan kebuntingan ditetapkan dengan cara mencatat hari (tanggal) kelahiran yang kemudian dikurangi 21 hari (karena lama kebuntingan tikus adalah 21 hari) (Malole & Pramono 1989). Selanjutnya hari kelahiran tersebut dikurangi dengan waktu perkawinan. Dan jumlah hari yang didapat merupakan waktu keberhasilan kebuntingan (Gambar 18).

Keterangan :

A : Tanggal (waktu) kelahiran

B : Tanggal kelahiran dikurangi 21 hari C : Waktu pencampuran tikus betina dan jantan D : Waktu keberhasilan kebuntingan (hari)

Gambar 18. Diagram analisa keberhasilan kebuntingan.

A B C

D

(52)

Sedangkan analisa terhadap jumlah anak diperoleh dari perhitungan terhadap keseluruhan anak yang dilahirkan baik anak tersebut dilahirkan dalam kondisi hidup maupun mati pada saat dilahirkan. Selanjutnya keberhasilan fertilisasi mencerminkan banyaknya ovum yang berhasil dibuahi dan keberhasilan corpus luteum menjadi badan hormonal untuk membentuk zigot dan fetus (Guyton 1996). Keberhasilan fertilisasi ini dapat dihitung berdasarkan persentase antara jumlah seluruh anak yang lahir dibagi dengan jumlah corpus luteum. Jumlah seluruh anak yang lahir ini didapat dari kelompok pelaksanaan penelitian kedua, sedangkan jumlah corpus luteum didapat dari kelompok pelaksanaan penelitian pertama. Hal ini diasumsikan bahwa kedua kelompok perlakuan tersebut dianggap homogen.

Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan pola Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 kelompok perlakuan dengan 3 kali ulangan yaitu C (kontrol tanpa perlakuan ekstrak daun maja), A1B1 (perlakuan dosis 1 gr/kg BB selama 6 hari), A1B2 (perlakuan dosis 1 gr/kg BB selama 12 hari), A2B1 (perlakuan dosis 2 gr/kg BB selama 6 hari), dan A2B2 (perlakuan dosis 2 gr/kg BB selama 12 hari). Dengan demikian unit percobaan yang dilibatkan sebanyak 5 unit sehingga jumlah tikus yang dipakai sebanyak 3 x 5 = 15

Gambar

Gambar 6.   Ovarium tikus dengan tingkat perkembangan sel folikel
Gambar 8.  Irisan melintang dinding vagina tikus putih pada         berbagai fase siklus estrus (Turner & Bagnara, 1976)
Gambar 9. Mekanisme umpan balik hormon pada poros         hipotalamus-hipofisis-gonad (Syahrum et al
Gambar 11.  Prosedur pembuatan ekstrak daun maja.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil olahan data yang dirumuskan indikator keberhasilan program pada Kantor Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar berada pada kategori efektif dengan hasil

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kualitas permukiman pada bentuklahan Basin Wonosari sedikit lebih baik dibanding bentuklahan Perbukitan Karst Gunungsewu,

ja enemmän: vähintään kahdeksan annoksen ker- toja on vuoden 2008 aineistossa sekä 15–29-vuo- tiailla että 30–49-vuotiailla naisilla 70 prosenttia enemmän kuin vuonna 2000

harus dicatatkan dan menurut agama masing-masing. Dalam agama Islam pernikahan harus memenuhi syarat dan rukun nikah baru dikatakan sah. Praktiknya, di Kabupaten

Observasi merupakan kegiatan awal yang perlu dilakukan oleh mahasiswa PPL agar dapat mengetahui kondisi dan situasi pembelajaran yang terjadi di sekolah. Hal ini dapat

Asosiasi profesi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf b merupakan satu atau lebih wadah organisasi dan atau himpunan orang atau perseorangan terampil dan atau ahli atas

Bila diamati lebih jauh hasil perhitungan koefisien variasi dan besarnya nilai pembobot yang diberikan pada sepuluh besar komoditi penyumbang tertinggi terhadap inflasi di Kota