Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Muhammad Farid Wajdi 106044101427
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
PERMOHONAN ORANG TUA SEBAGAI WALI TERHADAP ANAK KANDUNG
(Analisis Komparatif Putusan Pengadilan Agama Depok Perkara Nomor 22/Pdt.P/2010/PA. Dpk. Dan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat
Perkara Nomor 0046/Pdt.P/2009/PA .JP.) Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh :
MUHAMMAD FARID WAJDI NIM : 106044101427
Dibawah Bimbingan Pembimbing :
Dr. Euis Amalia M.Ag Dr.H.Muhammad Taufiki M.Ag NIP : 197107011998032002 NIP : 196511191998031002
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
ii
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karena ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 01 Juni 2010
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul PERMOHONAN ORANG TUA KANDUNG SEBAGAI WALI TERHADAP ANAKNYA (Analisis Komparatif Putusan pengadilan Agama Depok Perkara Nomor 22/Pdt.P/2010/PA. Dpk. Dan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Perkara Nomor 0046/Pdt.P/2009/PA .JP) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 23 September 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Strata Satu (S1) pada Program Studi Ahwal Syakhshiyyah Konsentrasi Peradilan Agama.
Jakarta, 23 September 2010 Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prof. DR. H.M. Amin Suma, SH, MA, MM NIP 195505051982031012
PANITIA UJIAN
1. Ketua : Drs. H.A. Basiq Djalil, SH, MA (...) NIP. 195003061976031001
2. Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag, MH (...) NIP. 197202241998031003
3. Pembimbing I : Dr.Euis Amalia MA (...) NIP. 197107011998032002
3. Pembimbing II : Dr. H. Muhammad Taufiki M.Ag (...) NIP. 196511191993031002
4. Penguji I : Prof. DR. H.M. Amin Suma, SH, MA, MM (...) NIP 195505051982031012
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karena ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 24 September 2010
Muhammad Farid Wajdi
KATA PENGANTAR
ﻢﺴﺑ
ﻢﻴﺣﺮﻟا
ﻦﻤﺣﺮﻟا
ﷲا
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT., karena rahmat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sebagai kelengkapan tugas dan memenuhi sebagian dari syarat-syarat guna mencapai gelar Sarjana Hukum Islam pada Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan, terutama disebabkan karena keterbatasan penulis sebagai manusia biasa. Tanpa adanya dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak tidaklah mungkin skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Drs. H. Basiq Djalil, S
Prof. Dr. H. Amin Suma, SH, MA, MM,
H, MA, Ketua Program Studi Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Ne
i Syarif Hidayatullah Jakarta. Dr. Euis Amalia M.Ag dan Dr. H
an motivasi yang tak pernah henti-hentinya. Dr. H.Yayan Sopyan M.Ag selaku
stafnya.
geri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Kamarusdiana S.Ag, MH, Sekretaris Jurusan Peradilan Agama Fakuttas Syariah dan Hukum Universitas Islam Neger
4. . Muhammad Taufiki M.Ag, selaku dosen
pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu dan perhatiannya dalam membimbing, serta memberik
5. dosen Penasehat Akademik.
6. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu dan pengetahuannya kepada penulis, semoga ilmu yang diberikan bermanfaat.
7. Kepala perpustakaan UIN Jakarta beserta
v
Pengadilan Agama Jakarta Pusat
penulis, Silvi Luthfianti, Royhan IM, Azwar anas, Taqiyyuddin Alqisthi, Mustafid CS dan segenap tem
Akhirnya penulis hanya bisa berdoa da ini dapat
anfaat bagi penulis dan para pem rima
Allah SWT. Amin.
Penulis
9. Pengadilan Agama Depok 10.
11. Sahabat-sahabat
an-teman penulis yang selalu membantu dan memberikan motivasi.
12. Teman-teman Peradilan Agama angkatan 2006 khususnya kelas B, dan juga kelas Bilinggual penulis senang berteman dengan kalian.
n berharap semoga skripsi
berm baca dan semoga amal baik mereka dite
oleh
vi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ...i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ...ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ...iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vi
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian. ... 9
D. Metode Penelitian... 10
E. Riview Studi Terdahulu ... 14
F. Sistematika Penulisan... 16
BAB II : PERWALIAN ANAK DALAM PANDANGAN ISLAM ... 18
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perwalian... 18
B. Macam-macam Perwalian... 23
C. Rukun dan Syarat Perwalian... 26
D. Penetapan Orang Tua Sebagai Wali Bagi Anak... 43
E. Berakhirnya Perwalian... 45
F. Hikmah dan Tujuan Perwalian... 46
BAB III : PERWALIAN ANAK DALAM PANDANGAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA ... 48
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perwalian... 48
vii
BAB IV : PERKARA PERMOHONAN ORANG TUA
SEBAGAI WALI TERHADAP ANAK KANDUNG ... 56
A. Perkara Putusan Pengadilan Agama Depok Perkara No 22/Pdt.P/PA.Dpk 1. Duduk Perkara... 56
2. Pemeriksaan Perkara dalam Persidangan... 57
3. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim... 59
4. Penetapan Putusan Perkara... 62
B.Perkara Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Perkara No 0046/Pdt.P/PA.JP 1. Duduk Perkara... 63
2. Pemeriksaan Perkara dalam Persidangan... 67
3. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim... 67
4. Penetapan Putusan Perkara... 69
C.Analisis Penulis 1. Analisis Pendekatan Ushuliyah.... 69
2. Analisis Pendekatan Perundang-undangan di Indonesia ... 73
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 78
A. Kesimpulan ... 78
viii
DAFTAR PUSTAKA... 82
DAFTAR LAMPIRAN... 85
1. Putusan Pengadilan Agama Depok Perkara No 22/Pdt.P/PA.Dpk... 86
2. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Perkara No 0046/Pdt.P/PA.JP... 94
3. Data wawancara hakim Pengadilan Agama Depok ... 101
4. Surat Keterangan Wawancara ... 104
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah
Sebagai kelanjutan dari iman seseorang manusia kepada Allah SWT ialah ia mesti berbuat sesuai dengan apa yang dikhendaki Allah SWT. Perbuatan lahir dari manusia merupakan gambaran perbuatan batin yang disebut iman. Perbuatan lahir selanjutnya menjadi ukuran bagi keimanan seseorang. Kualitas keimanan itu dapat dilihat dari kualitas amal lahir itu. Oleh karena itu, manusia mesti mengerjakan apa-apa yang disuruh oleh Allah SWT. Untuk melakukannya dan meninggalkan apa-apa-apa-apa yang dilarang oleh Allah untuk diperbuatnya. Apa-apa yang disuruh Allah manusia memperbuatnya menandakan perbuatan tersebut adalah baik dan bermanfaat bagi kehidupannya dan apa-apa yang dilarang Allah manusia memperbuatnya menunjukkan perbuatan tersebut adalah buruk dan merusak kehidupan manusia itu sendiri1.
Apa-apa yang dihendaki Allah berkenaan dengan tindak perbuatan manusia itu disebut hukum syara’. Kehendak Allah itu dapat ditemukan dalam kumpulan wahyu yang disebut al-Qur’an dan penjelasan yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dalam hadis atau sunnah. Hukum syara’ yang merupakan kehendak Allah itu pada umumnya merupakan pedoman pokok yang berbentuk petunjuk yang bersifat umum dan garis-garis besar yang menurut apa adanya belum dapat dilaksanakan
1
Amir Syarifuddin . Garis-garis Besar Fiqih, (Jakarta : Gaung Prenada Media,2003), h.2
2
secara baik dan praktis, petunjuk Allah tersebut perlu dijabarkan dalam bentuk petunjuk operasional secara rinci dan mudah diamalkan. Petunjuk praktis yang bersifat amaliah terhadap kehendak Allah tersebut secara sederhana disebut fikih. Dalam memahaminya Allah membekali hambanya dengan akal pikiran agar dapat merealisasikan kehendaknya di muka bumi seiring dengan perubahan kondisi2.
Ajaran Islam mengatur hubungan manusia dan sang penciptanya dan ada pula yang mengatur hubungan sesama manusia dan alam semesta. Ajaran Islam datang dengan sangat memperhatikan kepada kedudukan sesama manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Manusia pada perjalanan hidupnya secara sifat nalurinya adalah berpasang pasangan untuk meneruskan generasi berikutnya serta untuk menciptakan kehidupan yang harmonis dalam membentuk dan membina rumah tangganya.
Pernikahan merupakan proses alamiah yang senantiasa dilalui oleh manusia, karena pada saat mereka sampai tahap kedewasaan akan muncul perjalanan ikatan lawan jenisnya sebagai tujuan dari keluarga sakinah mawaddah warahmah. Pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Dengan adanya dimensi ibadah dalam sebuah perkawinan, karena itu suatu perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan tercapainya apa yang menjadi tujuan perkawinan, yaitu terwujudnya keluarga sakinah, mawaddah,
2
warahmah serta melanjutkan keturunan generasi berikutnya yang menjadi kebanggaan, tanggung jawab serta amanah Allah SWT kepada manusia sebagai hambaNYA. Disamping untuk menghindarkan diri dari terjerumus kepada perbuatan yang tidak terpuji dan untuk ketentraman jiwa, pernikahan disyariatkan juga untuk melestarikan keturunan . Menurut Abu Ishak al Syatibi dalam kitabnya Almuwafaqat, hal yang disebut terakhir ini adalah menjadi tujuan utama bagi suatu pernikahan, sedangkan hal-hal lain hanyalah sebagai faktor-faktor pendukung bagi terwujudnya tujuan utama tersebut.3
Al-Quran mengintrodusir hal diatas dengan Allah SWT menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu dan memberimu rizki yang baik-baik.
Dapat dipahami bahwa untuk mewujudkan keturunan yang berkualitas dan saleh, bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Tugas ini memerlukan keseriusan dan kesinambungan serta harus ada secara khusus orang yang menyediakan waktu untuk itu. Begitu penting kesungguhan dan kesinambungan dalam memelihara dan mendidik anak keturunan, sehingga hal tersebut mendapat perhatian besar dan mendasar dalam kajian hukum Islam. Secara serius para ulama masa silam mengkaji berbagai aspek yang berkaitan dengan apa yang harus dilakukan terhadap anak dari waktu ia lahir, bahkan dari waktu dalam kandungan, sampai ia dapat mandiri dalam
3
Satria Effendi. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer Analisis Yurisprudensi
4
kehidupan. Hak-hak seoarang anak, dibicarakan secara detail dalam buku-buku fikih klasik.
Seorang anak yang lahir ke dunia ini, dan serta merta ia membutuhkan kepada orang lain yang akan memeliharanya, baik dirinya ataupun harta bendanya, hak miliknya, karena ia membutuhkan orang lain yang akan mengawasi penyusuan dan pengasuhannya, dalam priode kehidupan yang pertama itu. Demikian juga ia membutuhkan orang lain yang menjaga dan memeliharanya, serta mendidik dan mengajarinya, dan melaksanakan bermacam-macam urusan yang berhubungan dengan jasmaniyahnya dan pembentukan kepribadiannya, dan juga membutuhkan orang yang akan mengawasi urusan hak miliknya, agar supaya dipelihara dan diperkembangkan.4
Dalam hukum Islam, segala kemungkinan negatif itu secara teoritis telah diantisipasi dengan menetapkan aturan-aturan, siapa yang seharusnya mengasuh dan mendidik anak bila terjadi perceraian, baik cerai hidup maupun cerai mati, dan apa persyaratan pada diri seseorang yang cakap untuk melakukan tugas ini5.
Dalam perundang-undangan di Indonesia, pada dasarnya yang berhak dan mempunyai tanggung jawab menjadi wali , pengasuhan serta pemeliharaan anak adalah kedua belah pihak, yaitu suami dan istri selama memiliki kecakapan untuk
4
Zakariya Ahmad al Barry, Hukum Anak-anak Dalam Islam. Penerjemah Chadijah Nasution,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1977) h.106
5
Effendi. Problematika Hukum Keluarga Islam. h.122
menjalankan tugasnya tersebut. Seperti yang tertera secara eksplisit dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)6, dalam permasalahan perwalian, bahwa secara otomatis kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya dan seorang anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan pernikahan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaannya serta orang tua tersebut mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan luar pengadilan. Dalam ketentuan umum Kompilasi Hukum Islam, pasal 1 poin (h), dikatakan bahwa perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, atau kedua orang tua atau orang tua yang masih hidup tidak cakap melakukan perbuatan hukum.7
Berbeda dengan kekuasaan orang tua terhadap anak-anaknya yang secara otomatis adalah sebagai wali dan pengasuh anaknya, maka dalam keadaan dimana orang tua tersebut tidak cakap dalam menjalankan kewajibannya atau karena meninggalnya kedua orang tuanya, seseorang yang ditunjuk oleh hakim dapat menjadi wali bagi anak-anak tersebut. Dalam hal ini pencabutan dan permohonan penunjukan wali adalah dilakukan oleh Pengadilan Agama.
6
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung : Citra Umbara, 2007) h.33
7
6
Perkara perwalian di lingkungan Pengadilan Agama terhitung sebagai perkara pertengahan jika dilihat dari kuota perkara yang diterima oleh Pengadilan. Perkara perwalian tingkat pertama dalam lingkup Pengadilan Agama dari data yang diambil pada tahun 2007, secara persentase peringkat kuota perkara yang masuk di pengadilan, menduduki peringkat ke-16 dari 35 perkara yang lain, yaitu sebanyak 349 perkara atau 0,174%, sedangkan perkara penunjukkan orang lain sebagai wali menduduki peringkat ke-15, satu peringkat diatas perkara perwalian, yaitu sebanyak 499 perkara atau 0,249%8.
Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa orang tua, terutama ayah menurut jumhur ulama dalam khazanah fikih9 maupun kedua belah pihak (ayah dan ibu) dalam perundang-undangan di Indonesia yang memiliki kecakapan hukum terhadap anak-anak mereka yang belum cakap hukum, secara otomatis adalah orang yang bertanggung jawab dalam merawat dan memelihara serta mewakili anak tersebut dalam perbuatan hukum baik di dalam maupun diluar pengadilan. Namun dalam kehidupan masyarakat hal tersebut terkadang tidak dapat terealisasi secara langsung, dengan berbagai alasan serta kebutuhan seperti persyaratan untuk berbuat hukum terhadap anak, persyaratan administrasi seperti passport serta untu kepentingan pendidikan dan lain-lain, orang tua mengajukan permohonan penetapan untuk
8
Asep Nursobah, “Data Perkara Peradilan Agama Tingkat Pertama Yang Diterima Tahun 2007”, artikel diakses pada 6 Juni 2010 dari
http://www.badilag.net/index.php?option=com_content&task=view&id=4073
9
Jawad Mughniyya, Fikih Lima Madzhab, Penerjemah Oleh Masykur A.B dkk (Jakarta:
menjadi wali bagi anak-anak mereka sendiri, padahal dalam peraturan yang ada, mereka secara otomatis adalah wali bagi anak-anak mereka. Bagaimana pengadilan dan majelis hakim secara spesifik menyelesaikan perkara tersebut, serta apa pertimbangan dalam mengabulkan atau menolak penetapan wali walaupun bagi anak mereka sendiri . Inilah yang menjadi ketertarikan penulis unuk membahasnya secara analisis dengan komparatif antara putusan Pengadilan Agama yang mengabulkan permohonan tersebut dan putusan Pengadilan Agama yang menolaknya, karya tulis ini penulis tuangkan dalam skripsi yang berjudul Permohonan Orang Tua Kandung Sebagai Wali Terhadap Anaknya (Studi Analisis Komparatif Putusan Pengadilan Agama Depok Perkara Nomor 22/Pdt.P/2010/PA.Dpk. dan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Perkara Nomor 0046/Pdt.P/2009/PA .JP.)
B. Batasan dan Rumusan masalah
1. Batasan Masalah
8
2. Rumusan Masalah
Menurut khazanah fikih, jumhur ulama menyatakan bahwa orang tua, terutama dari pihak laki-laki adalah wali bagi anak kandung mereka secara otomatis10, sedangkan menurut Perundang-undangan di Indonesia, berdasarkan pasal 330 ayat 3 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, pasal 50 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 107 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam, menerangkan bahwa konsep perwalian adalah terhadap anak yang belum cakap hukum dan tidak dibawah kekuasan orang tuanya. Adapun anak yang dibawah kekuasaan orang tuanya adalah bukan dalam ranah perwalian, tetapi masuk dalam ranah hak dan tanggung jawab orang tua berdasarkan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 47 menyatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan pernikahan ada dibawah kekuasaan orang tua selama kekuasaannya tidak dicabut, begitu juga dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), pasal 98 ayat 2 menyatakan bahwa orang tua mewakili anak mengenai segala perbuatan hukum11, namun pada kenyataannya, penulis temukan Putusan Pengadialan Agama yang mengabulkan permohonan perwalian anak yang dibawah kekuasaan orang tuanya. Inilah yang menjadi ketertarikan penulis untuk membahas
10
Wahbah, Zuhaili, Alfiqhu Al-Islamy Wa Adillatuhu, IX, (Damsyiq : Dar El Fikr,1989)
h.7328, bandingkan dengan Jawad Mughniyyah, Fikih Lima Madzhab, (Jakarta, Lentera Basritama
2000) h.693
11
dalam sebuah skripsi. Dan untuk memperjelas pemasalahan, penulis merincinya dengan mengajukan beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana menurut hukum atas permohonan orang tua sebagai wali terhadap anak kandung mereka ?
2. Apakah yang menyebabkan penetapan perwalian bagi orang tua terhadap anak kandung mereka sendiri ?
3. Bagaimana pertimbangan majlis hakim dalam memberikan atau menolak penetapan orang tua terhadap perwalian terhadapa anak kandung mereka ?
C. Tujuan dan Manfaat hasil penelitian
1. Tujuan Penelitian ini bertujuan unuk menelaah lebih lanjut tentang perwalian anak dalam Islam, khususnya putusan penetapan orang tua terhadap perwalian anak di Pengadilan Agama Depok dan Jakarta Pusat, serta secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :
a. Menggambarkan hukum permohonan orang tua untuk menjadi wali bagi anak kandung sendiri.
b. Menggambarkan hal-hal yang menyebabkan penetapan orang tua sebagai wali bagi anak kandung mereka sendiri.
10
2. Manfaat Penelitian ini diharapkan berguna dan memeberi sumbangsih pemikiran bagi pemerintah indonesia selaku regulator serta para insan hukum, baik hakim, advokat, pengamat dan pakar hukum, pun praktisi hukum islam.
Penelitian ini ditujukan untuk memberikan stimulus yang berakibat pada pembaharuan perundang-undangan di bidang hukum keluarga islam di indonesia agar senantiasa mengikuti dan bergerak secara dinamis sesuai dengan pergerakan dan perkembangan jaman modern. Penelitian ini juga mengharapkan bangkitnya kembali budaya analisa yurisprudensi kritis di bidang hukum islam di indonesia, sehingga memacu perkembangan dan khazanah keilmuan islam secara umum dan perkembangan dunia hukum keluarga Islam di indonesia secara khusus.
D. Metode Penelitian
Untuk memperoleh data, mengolah serta mendeskripsikannya dalam sebuah kata-kata, maka penulis menggunakan beberapa metode antara lain :
1. Pendekatan Penelitian
dari sisi normatifnya12. Data yang bersifat kualitatif tersebut di deskripsikan apa adanya atau yang sering kita sebut dengan “Kualitatif Naturalistik”13, yaitu yang menunjukkan bahwa pelaksanaan penelitian ini memang terjadi secara alamiah, apa adanya, dalam situasi normal yang tidak dimanipulasi keadaan dan kondisinya, menekankan pada deskripsi secara alami.
Untuk mempertajam kajian, penuis memakai beberapa pendekatan dalam penelitian hukum Normatif yang sesuai dengan objek kajian penulis diantaranya:14
a. Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach), yaitu pendekatan yang dilakukan untuk meneliti aturan-aturan yang penormaannya kondusif.
b. Pendekatan Konsep (Conceptual Approach), yaitu pendekatan untuk memahami konsep perwalian dalam islam.
c. Pendekatan kasus (Case Approach), yaitu untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum, terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus oleh pengadilan. Dalam hal ini penerapan norma dan kaidah hukum perwalian.
2. Data yang dikumpulkan
12
Johny Ibrahim, Penelitian Hukum Normatif, (Jawa Timur: Bayumedia, 2008) h.57
13
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka Cipta,
2006), h.12
14
12
Sesuai dengan permasalahan yang diajukan penulis di bagian sebelumnya, maka data yang hendak dikumpulkan adalah data-data yang berkenaan dengan Perwalian anak, serta data-data yang berkenaan dengan Putusan pengadilan Depok Nomor 22/Pdt.P/2010/PA. Dpk. dan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor 0046/Pdt.P/2009/PA .JP.
3.Sumber data
Untuk memenuhi data seperti yang disinggung di atas, maka diperlukan sumber primer dan skunder.
Sumber primer sebagai pokok dalam studi analisis ini adalah Putusan pengadilan Depok Nomor 22/Pdt.P/2010/PA. Dpk. dan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor 0046/Pdt.P/2009/PA .JP
4. Teknik pengumpulan data
Untuk mengumpulkan data yang diperlukan, penulis membaca dan menelaah literatur yang berkenaan dengan perwalian anak, kemudian menganalisanya secara komparatif, yaitu dengan membandingkan persamaan atau perbedaan sesuatu, pandangan, benda, orang dll15. Putusan pengadilan Depok Nomor 22/Pdt.P/2010/PA. Dpk. Dan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor 0046/Pdt.P/2009/PA .JP.
5. Teknik Analisis Data
Studi yang merupakan penelitian kepustakaan ini lebih bersifat deskriptif analisis. Penulis sudah mempunyai atau mendapatkan gambaran yang berupa data-data awal tentang permasalahan perwalian.16 Metode data dilakukan dengan cara mendeskripsikan data-data tersebut secara jelas dan mengambil isinya dengan menggunakan content analysis. Data kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan bahasa penulis sendiri, dengan demikian akan nampak rincian jawaban atas pokok permasalahan yang akan penulis teliti.
Adapun untuk teknis penulisan ini penulis berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.”
15
Arikunto, Prosedur Penelitian, h. 267
16
14
E. Review studi terdahulu
[image:24.612.109.534.283.702.2]Setelah penulis mencari dan menelaah skripsi yang pernah ditulis oleh mahasiswa fakultas syariah dan hukum terlebih khusus prodi Al ahwal Asyakhsiyyah yang erat kaitannya dengan pembahasan yang akan diteliti penulis, ternyata bahasan yang telah ditulis oleh mahasiswa sebelumnya ditemukan pembahasan yang berbeda dengan pembahasan skripsi yang akan penulis ajukan, sehingga kecurigaan plagiasi dalam penulisan ilmiah dapat penulis pertanggung jawabkan. Untuk itu paling tidak penulis mengemukakan beberapa skripsi yang pernah ditulis dan masuk dalam daftar skripsi perpustakaan Syariah dan Hukum, diantaranya sebagai berikut :
Tabel Rievew Studi Terdahulu
JUDUL METODE KESIMPULAN PERBEDAAN
1. Hak Pemeliharaan Anak Oleh Bapak Akibat Perceraian (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Bogor Perkara No 492/Pdt.G/2005/PA.Bgr Penulis: Ibnu Abdullah/SAS/2009 Penelitian Kualitatif Normatif, Objek kajiannya dengan menganalisis putusan Pengadilan Agama secara normatif dan hukum Islam. Skripsi ini membahas tentang pemeliharaan anak(hadhanah), Perceraian dalam Islam,pertimnangan Hakim dalam memberikan hak asuh anak kepada bapak
Skripsi ini menekankan
pembahasannya kepada hak asuh anak yang jatuh kepada ayah, sedang skripsi penulis membahas tentang permohonan orang tua untuk menjadi wali terhadap anak kandungnya 2.Kewenangan Pengadilan Agama Dalam Menetapkan Perwalian Anak Akibat
Perceraian Penulis: Abdul Azis/SJAS/2000 dalam perkara menetapkan perwalian anak akibat perceraian kewenangan Pengadilan Agama, sedangkan skripsi penulis membahas
tentang orang tua yang mengajukan permohonan
untuk menjadi wali bagi anak kandungnya.
3. Perwalian Harta Kekayaan Bagi Anak Yang Belum Dewasa Menurut Hukum Islam dan Hukum Perdata Salimah/SJPA/2009 Penelitian Komparatif Kualitatif Normatif Skripsi ini membahas tentang perceraian, perwalian anak menurut hukum Islam dan hukum perdata
Perbedaannya, skripsi ini objek kajiannya
membahas
tentang perwalian harta anak yang belum dewasa menurut hukum Islam dan hukum perdata, sedang objek kajian penulis adalah permohonan
orang tua sebagai wali terhadap anak kandung mereka.
perundang-16
undangan di Indonesia adalah hak yang mereka proleh secara otomatis. Sehingga inilah yang membuat penelitian ini mempunyai karakteristik dan nuansa tersendiri yang pada akhirnya membedakan penelitian ini dengan karya sebelumnya.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok penulisan skripsi ini dan agar memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata urutan penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan ini sebagai berikut :
BAB PERTAMA
Memuat Pendahuluan yang mencakup Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Rumusan Masalah, Manfaat dan Tujuan Penelitian, Metode Penelitian, Review Studi Terdahulu, dan Sistematika Penulisan.
BAB KEDUA
BAB KETIGA
Memuat Pengertian Tentang Perwalian Anak dalam hukum positif di Indonesia dan dasar hukumnya, Macam-macam perwalian anak, orang yang berhak menjadi wali, penetapan orang tua menjadi wali bagi anaknya, serta berakhirnya perwalian.
BAB KEEMPAT
Perkara Pengadilan Agama Depok dan Jakarta Pusat, duduk perkara, pemeriksaan perkara dalam sidang, pertimbangan hukum majlis hakim, serta penetapan putusan perkara serta Analisa penulis, yang memuat analisa ushuliyyah dan analisa perundang-undangan di Indonesia.
BAB KELIMA
BAB II
PERWALIAN ANAK DALAM PANDANGAN ISLAM
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perwalian
Istilah perwalian berasal dari bahasa Arab dari kata dasar, waliya, wilayah
atau walayah, dari ungkapan wala asyay’a wa wala alayhi wilayatan/walayatan. Kata
alwalayatu ditafsirkan dengan pertolongan, dikatakan ةﺮ ﻟا ﻓنﻮ ﺘ ياﺔﻳﻻو ه
, yaitu mereka dalam pertolongan, artinya bersama-sama dalam pertolongan,
sedangkan kata alwilayatu ditsfsirkan dengan al-qudrah wa al-sultah, yaitu
kekuasaan dan kekuatan. Sibaweih berkata, bahwa kata al-walayah dengan fathah
adalah masdar, sedangkan al-wilayah dengan kasrah adalah isim seperti al-imarah.
Ibnu Bary berpendapat kata al-walayah dalam firman Allah SWT surat al-Anfal ayat
72, dibaca dengan fathah atau kasrah, keduanya berarti pertolongan, sedangkan
al-Kisai membacanya dengan fathah.1 Terjemahan al-Qur’an secara lafziyah ke dalam
bahasa indonesia yang ditashih oleh Departemen Agama, juga mengartikan kata
tersebut dengan pertolongan,2 karena kata tersebut adalah nama bagi sesuatu yang
yang dikuasai. Nama al-wali adalah nama untuk Allah SWT, yang berarti pemilik
segala sesuatu seluruhnya.
Dari pemahaman diatas dapat diambil kesimpulan, bahwa kata wilayah dan
walayah mempunyai makna etimologis lebih dari satu, diantaranya dengan makna,
1 Ibnu Manzur.
Lisan al-Arab, (Mesir: Daar al-Hadist,2003), h.405.
2
Lajnah Pentashih Mushaf al-Quran Departemen Agama, Tarjamatu Alfadzi al-Quran, Inayatan Li al-Mubtadiin, jilid IV (Jakarta: Tri Burnama Utama Jakarta,1980), h.34.
pertolongan, cinta (mahabbah), kekuasaan atau kemampuan (al-sultah), yang artinya
kepemimpinan seseorang atas sesuatu. Ensiklopedi Hukum Islam, editor Abdul Aziz
Dahlan, mengartikan wilayah secara etimologis dengan dekat, mencintai, menolong,
mengurus, menguasai, daerah dan pemerintahan.3 Kata waal/waliyy/waliyyan paling
tidak diulang-uang dalam al-Quran sebanyak 31 kali, sedangkan kata alwalayah dan
wilayah sebanyak 2 kali.4 Berdasarkan pengertian etimologis tersebut, maka dapat
dipahami bahwa perwalian adalah suatu bentuk perlindungan dengan otoritas penuh
atas dasar tanggung jawab dan cinta kasih, untuk memberikan pertolongan atas
ketidakmampuan seseorang dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum, baik yang
berhubungan dengan harta maupun dengan dirinya.5
Dalam literatur-literatur fikih klasik dan kontemporer, kata al-wilayah
digunakan sebagai wewenang seseorang untuk mengelola harta dan mengayomi
seseorang yang belum cakap bertindak hukum. Dari kata inilah muncul istilah wali
bagi anak yatim, dan belum cakap bertindak hukum. Istilah al-wilayah juga dapat
berarti hak untuk menikahkan seorang wanita dimana hak itu dipegang oleh wali
nikah.6
3
“Wilayah”, dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk, ed.,Ensiklopedi Hukum Islam, vol.6 (Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), h.1934.
4
Faydullah al-Hasani al-Maqdisi, Fathu ar-Raahman Li a-Thalib Ayat al-Quran, (Bandung: Maktabah Dahlan, t,th), h.482.
5
Andi Syamsu dan Muhammad Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam
(Jakarta: Prenada Media Group,2008), h.151.
6
20
Sedangkan menurut ulama fikih, al-walayah adalah kekuasaan syara’ yang
dimiliki seseorang terhadap urusan orang lain tanpa tergantung pada izinnya.7
Wahbah al-Zuhaili mendefinikan wilayah dengan pengurusan orang dewasa yang
cakap hukum terhadap diri atau harta seseorang yang belum cakap hukum, adapun
yang dimaksud belum cakap hukum adalah seseorang yang belum sempurna
ahliyyah al-ada,8 baik kerena hilangnya seperti belum mumayyiz atau naqisnya
(kurangnya), seperti mumayyiz.9
Ulama fikih lain mendefinisikan wilayah dengan: “Wewenang seseorang
untuk bertindak hukum atas orang yang tidak cakap bertindak hukum, baik untuk
kepentingan peribadinya maupun untuk kepentingan hartanya, yang diizinkan oleh
syara. Orang yang masih dalam status ahliyyah al-wujub (hanya cakap menerima
hak), belum dan tidak cakap bertindak hukum sendiri perlu dibantu oleh seseorang
yang telah dewasa yang cerdas dalam mengayomi pribadi dan hartanya. Orang
membantu mengelola harta dan mengayomi orang yang belum atau tidak cakap
berbuat hukum dalam fikih Islam disebut wali. Apabila anak kecil atau orang gila
bertindak hukum sendiri , maka tindakan hukumnya tidak sah dan tidak menimbulkan
akibat hukum apa pun. Anak kecil, orang gila, dan orang-orang yang berada dibawah
pengampuan memerlukan orang yang dapat membantu mereka dalam melakukan
7
Ibid., h.152
8
Ahliyatul Ada adalah kelayakan mukallaf untuk dapat dianggap ucapan dan perbuatannya meburut syara, lihat dalam Saifudin Shidik, Ushul Fikih (Jakarta: Intimedia. T.th), h.162.
9
tindakan hukum, baik yang menyangkut diri mereka sendiri, maupun terhadap harta
bendanya serta segala sesuatu yang bermanfaat untuk diri mereka. Dalam kaitan
inilah Islam mengemukakan konsep al-wilayah, sebagai pembantu orang-orang yang
masih dalam status ahliyyah al-wujub. Dari sudut ini wilayah sama dengan pengganti
atau wakil dalam bertindak hukum.10
Ulama madzhab Hanafi mendefinisikan wilayah dengan merealisasikan atau
menjalankan perkataan/perbuatan orang lain, baik yang diinginkan atau tidak.11
Adapun yang menjadi dasar hukum diadakannya perwalian yaitu Firman
Allah SWT Surat al-Baqarah ayat 282 :12
⌧
☺
☺
☺
⌧
⌧
☺
☺
10 Syamsu dan Fauzan,
Hukum Pengangkatan Anak, h.153. lihat juga “Wilayah”, dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk, ed.,Ensiklopedi Hukum Islam, h.1944
11 Zuhaily,
al-Fiqhu al-Islami, h.7327
12
22
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya....Q.S. al-Baqarah: 282)”
Hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah RA tentang perwalian dalam masalah
Artinya: Dari Aisyah RA berkata: Rasululah SAW bersabda: Wanita mana saja yang dinikahi tanpa izin dari walinya, maka nikahnya itu batal, dan jika lelaki telah mempergaulinya, maka ia wajib membayar mahar untuk kehormatan yang telah dihalalkan darinya, maka apabila mereka bersengketa, Penguasa atau hakim dapat menjadi wali bagi orang-orang yang tidak mempunyai wali (HR.Imam empat kecuali Nasai dan dianggap sahih oleh Abu Awanah, Ibnu Hibban dan hakim).
B. Macam-macam Wilayah (Perwalian)
Wilayah ( Perwalian) itu terbagi atas beberapa bagian dengan istilah yang
berbeda-beda.14
1. Dari sisi keumumannya, wilayah terbagi atas wilayah aam (umum) dan wilayah
khas khusus:
a. Wilayah aam (kekuasaan umum) yaitu kekuasaan imam/pemimpin, sultan
(penguasa) dan qadhi/hakim
b. Wilayah khas (kewalian/kekuasaan) yaitu perwalian ayah atau washi
(penerima wasiat) terhadap anak kecil. Atau wilayah kurator penanggung jawab atas
orang yang lemah akal dan gila.
13 Abu Daud hadis no 1880 Jilid 1 h.605, Sunan al-Bayhaqi al-Kubra, hadis no 13377, jilid
VII h.105, Sunan al-Tirmidzi hadis no 1102, Jilid III h.407, Musnad Asyafi’i Hadis no 1074 Jilid I h.220, Musnad Ahmad hadis no 24372 Juz 40 h.435, Fath al-Bary Syarh Shohih Bukhary hadis no 1102 Jilid III h.407, lihat juga Ashanani, Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram Min Jam’i Adillah al-Ahkam, Juz III (Mesir: Daar Fikr, 1991), h.228
14
24
2. Dari sisi orangnya sendiri atau wali, terbagi atas wilayah qashirah dan
mutaaddiyah,15 atau disebut juga wilayahasliyyah dan niyabah.16
a. Wilayahqashirah (terbatas), yaitu kekuasaan seseorang atas dirinya sendiri.
b. Wilayah mutaaddiyah, (melintasi orang lain), Wilayah mutaaddiyah dari sisi
pelaku akad terbagi menjadi:
1). Kekuasaan pelaku akad (al-aaqid) untuk melakukan akad khusus oleh
dirinya sendiri dan melaksanakan hukum-hukumnya
2). Kekuasaan pelaku akad untuk melakukan akad khusus dengan yang
lainnya dengan menggunakan mandat dari syar’i (penetap syariat)
c. Wilayah muta’addiyah dari sisi mawla ‘alayh (yang diayomi/diwilayahi),
terbagi atas:
1). Wilayah ala al-nafs (kekuasaan mengurus jiwa), yaitu kekuasaan wali
dalam untuk melakukan akad pernikahan, dimana ia melaksanakan tanpa
izin oleh siapapun setelahnya.
2). Wilayah ala al-mal (kekuasaan mengurus harta), yaitu seperti
kekuasaannya untuk melakukan akad-akad khusus dengan harta benda,
dimana ia melaksanakan tanpa perkenan dari siapa pun juga.
3). Wilayah ala al-nafs wa al-mal (kekuasaan mengurus jiwa dan harta),
yaitu kekuasaan untuk melakukan apa yang mencakup jiwa dan harta
15
Ibid., h.307. lihat juga Mustafa al-Ba’i Dan Abdurrahman as-Shabuni, al-Ahwal as-Syakhsiyyah Fi al-Ahliyyah Wa al-Washiyyah Wa at-Tirkaah, (Damaskus: Daaf Fikr, 1965), h.42.
16 Syamsu dan Fauzan,
secara bersamaan, serta hukum-hukum apa yang berhubungan dengan
keduanya.
d. Wilayah mutaaddiyah dari sisi sifat penerimaannya terbagi menjadi:17
1). Wilayah Ikhtiyariyyah (sukarela), yaitu terbentuk melalui
pendelegasian wewenang dari orang yang digantikan atau orang yang
diwakili, seperti wali anak yatim yang bukan dari keluarganya, atau
seseorang yang diberi wasiat oleh seorang ayah untuk menjadi wali bagi
anaknya.
2). Wilayah Ijbariyyah (paksaan), yaitu perwalian yang harus diterima
sesorang melalui pendelegasian syara ataupun hakim, seperti ayah atau
kakek. Dalam pengertian lain wilayah ijbariyah adalah perwalian yang
berlaku kepada yang berhak diwakilkan dengan cara paksa tanpa
mempertimbangkan keridhaannya.18
Wahbah Zuhaili dalam bab wilayah memulai bahasannya tentang perwalian
dengan dua bagian, yaitu wilayah al-nafs dan wilayah al-mal. Adapun wilayah
al-nafs menurut beliau adalah, naungan atas orang yang belum cakap hukum pada
dirinya, dari memelihara dan menjaganya, mengajarkan dan mendidiknya serta
mengobati dan menikahkannya, dan lain sebagainya. Adapun wilayah al-mal ialah,
naungan atas seseorang yang belum cukup umur akan harta bendanya, dari
17 Syamsu dan Fauzan,
Hukum Pengangkatan Anak, h.154.
18 Huzemah Tahido Yanggo,
26
mengembangkannya, dan berbuat hukum darinya seperti jual beli, pinjam meminjam,
gadai dan lain sebagainya.19
Abu Zahra, pengarang kitab al-Ahwal al-Syaksiyyah, membagi pembahasan
perwalian pada wilayah pendidikan dan pengasuhan (hadhanah), wilayah atas diri
dan penjagaannya serta wilayah al-mal.20 Perwalian dalam pendidikan dan
pengasuhan anak yang masih kecil masuk dalam permasalahan hadhanah
(pengasuhan anak), adapun setelah anak tersebut baligh dan mampu mengurus
dirinya sendiri, maka diberlakukan perwalian terhadap dirinyadan hartanya terhadap
segala perbuatan hukum.
C. Rukun dan Syarat Perwalian
1. Hak Dan Tanggung Jawab Perwalian Anak (mawla lah)
Pada prinsipnya, seorang wali dengan wewenangnya harus senantiasa
berorientasi kepada pemeliharaan dan kemaslahatan orang yang ada dibawah
pengampuannya. Namun, karena persoalan pribadi dan harta merupakan persoalan
yang cukup rumit, maka hukum syara’ menganjurkan agar yang menjadi wali adalah
berasal dari kalangan keluarga terdekat, seperti ayah atau pamannya, karena kedua
orang ini diperkirakan dapat memikul tanggung jawabnya secara penuh. Dalam
menetapkan siapa yang berhak menjadi wali, ulama fikih membagi sesuai dengan
19 Zuhaili,
al-Fiqhu al-Islamy, h.7327.
20
objek pewalian, seperti perwalian dalam masalah jiwa (pribadi yang di bawah
pengampuan).
Madzhab Syafi’iyyah menegaskan bahwa urutan orang-orang yang berhak
menjadi wali adalah sama dengan hierarkis orang-orang yang berhak menerima
kewarisan. Apabila ayah tidak ada, maka kakek pun dapat diberi tugas perwalian.
Dengan demikian, maka yang menjadi wali sebaiknya orang yang terdekat dengan
yang diwakili, persis seperti kerabat dekat yang dibahas dalam persoalan ahli waris.
Jika orang terdekat yang laki-laki tidak ada, maka hak perwalian urusan pribadi
biasanya ditangani pihak ibu.21Dalam permasalahan wilayah al-mal, ulama
Syafi’iyyah berpendapat bahwa yang berhak terhadap perwalian harta adalah ayah,
kakek, seseorang yang diberi wasiat oleh ayah atau kakek, qadhi atau pihak yang
berwenang dan tidak berlaku kepada selain orang tersebut kecuali ada wasiat adri
ayah atau qadhi. Ulama Syafi’iyyah ini berbeda dengan ulama lain, yaitu dengan
mengedepankan kakek terhadap seseorang yang diberi wasiat oleh ayah, karena
kakek seperti ayah dan ia lebih beser penjagaannya, oleh karena itu kakek ditetapkan
juga sebagi wali nikah manakala tidak ada ayah.22
Dalam perwalian al-nafs, menurut Abu Hanifah yang berhak menjadi wali
bagi seseorang yang cakap hukum adalah anak, ayah, kakek, saudara laki-laki,
paman, artinya perwalian tersebut berdasarkan kepada ashobah dalam masalah waris,
21 Syamsu dan Fauzan,
Hukum Pengangkatan Anak, h.158.
22 Zuhaili,
al-Fiqhu al-Islami, h.7331., Mustafa al-Ba’i Dan Abdurrahman as-Shabuni, al-Ahwal as-Syakhsiyyah, h.43.
28
yaitu anak, ayah, saudara dan paman. Dan jika tidak ada salah satu dari ahli ashabah
tersebut, maka perwalian berpindah kepada ibu, kemudian dzawil arham yang lain.
Adapun dalam perwalian al-mal yang berhak, yaitu ayah, seorang yang diberi wasiat
oleh ayah, kakek, qadhi yang mewasiatkan sesorang.23
Adapun dalam madzhab Makikiyyah, hak perwalian jatuh kepada anak, ayah,
wishaya (seseorang yg diberi wasiat), saudara, kakek, paman. Adapun hal dalam
wilayah al-nafs, yaitu anak, bapak, wishaya, saudara kandung dan anaknya, saudara
seayah dan anaknya, kakek, paman dan anaknya, dan diutamakan terhadap yang
sekandung, kemudian qadhi pada zamannya. Dalam wilayah al-mal, ulama Malikiyah
berpendapat, bahwa yang berhak menerima perwalian dalam masalah harta, yaitu
ayah, seseorang yang diberi wasiat oleh ayah, qadhi atau orang yang berhak, ummat
Islam apabila tidak ditemukan qadhi. Dalam wilayah al-mal ini ulama Malikiyah
sependapat dengan Hanabilah.24
Madzhab Imamiyah, Imam Ja’far berpendapat dengan ayah dan kakek dalam
satu derajat yang sama, jika ayah dan kakek berbeda pendapat, maka yang di
dahulukan adalah kakek, karena ia lebih tua umurnya, kemudian seseorang yang
diwasiatkan oleh keduanya atau salah satunya, kemudian qadhi (hakim).25
23
Ibid., h.7328. lihat juga Mustafa al-Ba’i Dan Abdurrahman as-Shabuni, al-Ahwal as-Syakhsiyyah, h.43.
24
Ibid., h.1331. lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah, Jilid III (Daar Saqafah al-Islamiyah, t.t, t.th. h.283.
25 Mustafa al-Ba’i Dan Abdurrahman as-Shabuni,
Qanun (undang-undang) mesir, maadah (pasal) 1 menegaskan hak perwalian
terhadap harta anak dengan ayah, kakek jika tidak ada yang diberi wasiat oleh bapak
atas hartanya dan tidak boleh berbuat hukum atas harta tersebut kecuali dengan izin
pengadilan, qanun mesir ini sejalan dengan pendapat Abu Hanifah yang
mengedapankan wasiat ayah daripada kakek. Qanun Suriah menetapakan dengan
ayah, kakek ketika tidak ada bapak, selain keduanya tidak ada perwalian dalam harta
penjagaan, penggunaan maupun pengembangannya.26 Nampaknya qanun suriah ini
menengahkan pendapat Abu Hanifah dan Asyafi’i, karena pasalnya jelas hanya untuk
ayah dan kakek saja, di pasal pasal 176 qanun Suriah menyatakan bahwa boleh bagi
ayah dan kakek dalam keadaan tidak ada keduanya, ayah mewasiatkan seseorang
yang dipilih. Qanun Maghrirbi, dalam undang-undang tentang ahwal asyakhsiyyah,
maadah (pasal) 149, menyatakan bahwa yang berhak dalam perwalian yang
ditetapkan syariat adalah ayah dan qadhi disebut wali, seseorang yang ditunjuk atau
wasiat oleh ayah, seseorang yang ditunjuk qadhi yang dinamakan dengan muqaddam,
dalam pasal 149, dinyatakan bahwa ayah adalah wali bagi diri dan harta orang yang
tidak cakap hukum sampai sempurnanya anak tersebut, qanun maghribi ini diambil
dari pendapat Maliki yang tidak memberikan wilayah kepada kakek.27
Konsep perwalian dikalangan fikih empat madzhab kecuali Abu Hanifah
tampaknya ada persamaan, mereka sepakat bahwa hak perwalian hanya
26 Zuhaili,
al-Fiqhu al-Islami, h.7329.
27
30
☺
☺
⌧
☺
⌧
☺
⌧
⌧
⌧
Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.(QS al Nisa 34)
Namun menurut Montgomery Watt, konsep perwalian dari garis keturunan
laki-laki merupakan tradisi Arab-Mekkah yang diadopsi ke dalam sistem legalisme
28 Syamsu dan Fauzan,
Islam. berdasarkan pernyataan itu, bisa saja konsep perwalian dari garis laki-laki
tersebut merupakan pelanggengan fikih Islam terhadap konsep perwalian yang
diadopsi dari budaya masyarakat Arab-Mekkah yang patriarkhis sebab dalam
al-Quran dan Hadis, konsep perwalian seperti itu tidak pernah diungkapkan secara
eksplisit.29
Adapun mengenai persyaratan wali, Uama fikih mengemukakan beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang agar ia dapat menjadi wali bagi orang
yang tidak atau belum cakap bertindak hukum. Syarat-syarat dimaksud adalah:30
1. Baligh, yaitu orang yang telah dewasa dan berakal, serta cakap bertindak
hukum.
2. Agama wali sama dengan agama dengan orang yang diampunya, karena
perwalian nonmuslim tidak sah bagi muslim.
3. Adil, dalam artian istikqamah dalam agamanya, akhlaknya baik, dan
senantiasa memelihara kepribadiannya.
4. Wali mempunyai kemampuan untuk bertindak dan memelihara, amanah,
karena perwalian itu bertujuan untuk mencapai kemaslahatan orang yang
diampunya.
5. Wali senantiasa bertindak untuk kemaslahatan orang yang diampunya.
29
Ibid. h.159
30 Zuhaili,
32
Dalam wilayah al-mal, Wahbah Zuhaili selain mensyaratkan seperti
disebutkan diatas, lebih jauh lagi mensyaratkan seseorang yang akan menjadi wali
atau pengampu bagi orang lain dalam masalah hartanya ialah harus seorang yang
kecakapan hukumnya sempurna dengan baligh, berakal, mempunyai kebebasan,
karena ketiadaan hal tersebut menyebabkan ketiadaan wewenang terhadap hartanya
sendiri, terlebih terhadap harta yang diampunya, tidak seorang yang safih, mubadzir
dan mahjur (orang yang terhalang menggunakan harta), dan juga seagama dengan
yang diampu.31
2. Orang-orang Yang Harus Mendapatkan Perwalian (Mawla ‘Alayh)
Ulama fikih menyatakan bahwa orang-orang yang harus berada di bawah
perwalian itu adalah orang-orang yang belum atau tidak cakap bertindak hukum.
Mereka itu adalah anak kecil, orang gila serta orang bodoh.
Anak kecil, sifat kecil jika dihubungkan dengan perwalian hak milik dan
larangan bertindak sendiri, sebenarnya ada dua tingkatan, pertama kecil dan belum
mumayyiz. Dalam hal ini anak itu sama sekali tidak memiliki kemampua untuk
bertindak, jadi tidak sah kalau misalnya ia membeli apa, atau memberikan
apa-apa kepada orang lain, kata-katanya sama sekali tidak dapa-apat dijadikan pegangan , jadi
segala-galanya berada di tangan wali. Kedua, kecil dan sudah mumayyiz, dalam hal
ini si kecil itu kurang kemampuannya untuk bertindak, namun sudah punya
kemampuan, oleh sebab itu kata-katanya sudah dapat dijadikan pegangan dan sudah
sah kalau ia membeli atau menjual atau memberikan apa-apa kepada orang lain.
31
Maka dalam soal menerima pemberian orang, menerima harta yang diwasiatkan, dan
juga menerima harta wakaf, anak itu sudah sah bertindak tanpa perlu minta izin
kepada wali, tetapi dalam soal membeli, menjual atau memberikan apa-apa kepada
orang lain, masih diperlukan adanya izin wali bahkan, jika tindakannya itu
membahayakan hartanya, maka dihukumkan batal, misalnya memberikan sumbangan
yang banyak dengan segala macam bentuknya.
Anak yang mumayyiz ialah anak yang sudah mencapai usia mengerti tentang
akad, transaksi secara keseluruhan, ia mengerti maksud kata-kata yang diucapkannya,
mengerti jual beli, rugi dan untung. Biasanya usia anak itu sudah genap 7 (tujuh)
tahun, jadi jika anak tersebut belum genap tujuh tahun dihukumkan belum mumayyiz,
walaupun ia mengerti tentang istilah-istilah menjual dan membeli. Sebaliknya
terkadang anak sudah mencapai umur tujuh tahun , tetapi masih belum mengerti
tentang jual beli dan sebagainya.
Hukum anak kecil tersebut tetap berlaku hingga ia dewasa. Inilah yang
dimaksud dengan Firman Allah SWT:
☺
⌧
⌧
⌧
34
⌧ ⌧
Artinya: Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka Telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).(Q.S.al-Nisa : 6)
Jadi untuk mengadakan transaksi yang sempurna, haruslah ditunggu sampai
anak itu dewasa. Dan dewasa disini maksudnya cukup umur untuk berketurunan, dan
muncul tanda laki-laki dewasa pada anak. Inilah dewasa yang wajar, yang biasanya
belum ada sebelum anak putera berumur 12 (dua belas) tahun, dan anak puteri
berumur 9 (sembilan) tahun.
Kemudian anak yang sudah melewati umur seperti yang disebutkan diatas
tetapi belum tampak gejala-gejala yang menunjukkan bahwa ia sudah dewasa, maka
baik putera ataupun puteri, kedua-duanya sama, ditunggu hingga mereka berumur 15
(lima belas) tahun menurut pendapat Abu Yusuf dan Muhammad ibnu Hasan,
menurut Abu Hanifah ditunggu hingga 18 tahun untuk putera dan 17 tahun untuk
ْﺪ
ﷲا
ْ
ﺮ
ْ
ﻓﺎ
ْا
ﺮ
لﺎ
ﺮ
ْﺿ
ﺖ
ﻟا
ﻰ
}
ﻰ
ﷲا
ْﻪ
و
{
ﻳ
ْﻮ
م
أ
ﺪ
وأ
ْا ﺎ
أ
ْر
ﺮ
ة
ﺔ
ﻓ
ْ
ﻳ
ْﺰ
و
ﺮ
ْﺿ
ﺖ
ْﻪ
مﺎ
ﻟا
ْﺪ
ق
وأ
ْا ﺎ
ْ
ﺮ
ة
ﻓ
ﺟﺄ
زﺎ
)
ﻪ
ﺘ
(
32Artinya: “Saya dihadapkan kepada Rasulullah SAW untuk mendaftar perang
Uhud, dan pada saat itu saya berumur 14 (empat belas) tahun, lalu beliau tidak memperbolehkan saya ikut, kemudian saya dihadapkan kepada beliau untuk ikut perang Khandaq, sedang saya waktu itu berumur 15 (lima belas) tahun, maka beliau membolehkan saya ikut berperang” (Hadis Muttafaq alayh)
Peristiwa Abdullah ibnu Umar ini merupakan alasan bahwa lima belas tahun
adalah ukuran umur untuk dewasa, dan ukuran ini sama bagi laki-laki dan wanita,
laki-laki dianggap cukup kuat untuk berperang. Abu Hanifah mengambil alasan dari
Firman Allah SWT :
⌧
⌧
☺
⌧
Artinya:
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu berlaku adil,
32
36
Beliau mengatakan, bahwa kata
ﺪ أ
yang diterjemahkan dewasa, itumaksudnya dewasa dan matang, yaitu pada umur 18 tahun. hanya saja dikurangi satu
tahun untuk anak puteri, karena biasanya puteri lebih cepat dewasa, usia dewasanya
lebih rendah dari putera.
Sedang dewasa dengan istilah
ﺪ ر
,
maksudnya sanggup bertindak denganbaik dalam mengurus harta dan menafkahkan harta tersebut sesuai dengan pikiran
yang waras, tindakan yang bijaksana, dan peraturan agama. Dan hal ini berbeda-beda
menurut keadaan anak dan perkembangan masa. Apa yang ditetapkan fikih hanyalah
standard yang relatif dan pelaksanaannya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim di
suatu daerah seperti Mesir menetapkan batas usia anak dianggap dewasa untuk
mengurus harta bendanya adalah 21 tahun, jika belum mencapai itu, anak dianggap
belum mampu.33
Kalau misalnya gejala-gejala kedewasaan jasmaniyah sudah nampak, tetapi
gejala kedewasaan pikiran belum, maka anak tersebut berada dalam pengawasan
walinya, walaupun usianya sudah lanjut.34
Orang gila atau dungu, apabila seseorang mulanya tidak gila atau dungu
kemudian ia gila atau dungu, maka yang berhak menjadi walinya , menurut ulama
33 Zakariya Ahmad al-Bary,
Hukum Anak-Anak Dalam Islam. Penerjemah Chadijah Nasution (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h.117.
34
Mazhab Hanafi dan Syafi’i adalah walinya sebelum ia baligh, yaitu ayah, kakek atau
washi mereka. Akan tetapi ulama Mazhab Maliki dan Mazhab Hanbali mengatakan
bahwa wali yang telah baligh, cerdas, lalu tiba-tiba menjadi gila atau dungu adalah
hakim, tidak kembali kepada ayah, kakek atau washi karena hak perwalian mereka
telah gugur setelah baligh, berakal dan cerdasnya anak itu.
Adapun orang bodoh (al-Safih) yang dalam bahsa arab berarti tidak berilmu,
bodoh, atau berakhlak buruk, ringan dan bergerak. Yaitu suatu kondisi dmana
seseorang kemampuan berfikirnya rendah atau lemah, membawa seseorang
melakukan hal-hala yang tidak sesuai dengan akal dan syara.35Dalam kata lain safih
adalah orang yang tidak cakap mengelola harta dan membelanjakannya secara baik.36
Para ulama madzhab, kecuali Abu Hanifah, sepakat bahwa orang safih harus
dicegah dari membelanjakan hartanya. Keadaannya adalah seperti anak kecil dan
orang gila, kecuali bila memang dalam membelanjakan hartanya itu dia memperoleh
izin dari walinya. Akan tetapi ia memiliki kebebasan mutlak dalam bertindak yang
sedikit atau banyak, tidak berhubungan dengan masalah harta. Orang safih tidak akan
lepas dari penahanan haknya itu hingga ia menjadi dewasa dan mengerti. Ini
berdasarkan Firman Allah SWT :
⌧
☺
35 Syamsu dan Fauzan,
Hukum Pengangkatan Anak, h.160.
36
38
☺
⌧
⌧
⌧
☺
⌧ ⌧
Artinya:
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum Sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan Pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka Telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).(QS al Nisa 5-6)
Pendapat tersebut diatas dikemukakan oleh Syafi’i, Maliki, Hambali, Abu
Yusuf, Muhammad dan Imamiyah.37
37
Sementara itu Abu Hanifah mengatakan bahwa kedewasaan bukanlah
merupakan persyaratan bagi penyerahan harta kepada pemiliknya, dan tidak pula bagi
sahnya tindakan-tindakan hukum yang berkaitan dengan harta benda. Kalau
seseorang mencapai usia baligh dan dia mengerti lalu mengalami ke-safih-an, maka
tindakan-tindakannya dinyatakan sah dan tidak dibenarkan menghalang-halanginya,
bahkan seandainya usianya belum menginjak dua puluh lima tahun. Demikian pula
halnya bila seseorang mencapai usia baligh tetapi dia belum mengerti (safih), dimana
kesafihannya itu merupakan kelanjutan dari masa kecilnya dalam keadaan seperti ini,
ketika dia berumur dua puluh lima tahun, dia tidak boleh lagi.38Dan sebagai bukti
bahwa orang yang dungu itu tidak ditahan hartanya, bahwa ia juga dituntut untuk
mengerjakan perintah-perintah agama, sebagai seorang mukallaf, termasuk misalnya
menyempurnakan janji, yang disebutkan dalam al-Quran.39
3. Ruang Lingkup Dan Batasan Perwalian (Mawla Bih)
Seperti penulis jelaskan bahwa pembagian wilayah menurut mawla alayh atau
objek yang menjadi hal perwalian adalah terbagi menjadi wilayah al-nafs dan wilayah
al-mal, serta wilayah al-nafs dan al-mal secara bersamaan. Menurut Zakariya Ahmad
al-Bary, paling tidak anak sete;ah dilahirkan berlaku terhadapnya 3 (tiga) macam
38
Ibid., h.689.
39 Zakariya Ahmad al-Bary,
Hukum Anak-Anak Dalam Islam. Penerjemah Chadijah Nasution (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h.118.
40
perwalian yaitu, perwalian terhadap urusan mengasuh dan menyusukannya, perwalian
terhadap dirinya perwalian terhadap hak miliknya.40
Dalam masalah perwalian al-nafs termasuk segala urusan yang berhubungan
dengan usaha memelihara anak, menjaga anak dan merawatnya. Jadi wali
menggabungkan anak itu ke dalam keluarganya setelah masa mengasuh, yang
dilaksanakan oleh kaum wanita, keluarga anak itu. Anak tidak boleh tinggal
sendirian, atau tinggal bersama orang yang bukan walinya, kecuali jikaia sudah
dewasa, sudah dapat memelihara kesejahteraan dirinya sendiri, kalau anak itu
laki-laki dan pada usia yang diperkirakan ia sudah dapat menjaga keselamatan dirinya,
dan ia sudah memiliki kecakapan untuk mencari nafkah juga kebijaksanaan dan
kemampuan untuk menjaga kehormatan dirinya.41
Maka dalam tugas perwalian ini termasuk urusan mendidik anak,
mencerdaskan pikirannya dan mengarahkan bakatnya untuk mempelajari
keterampilan, atau melanjutkan sekolahnya ke sekolah-sekolah kejuruan, atau ke
fakultas yang sesuai bakatnya. Pengawasan terhadap diri anak itu juga mencakup hak
untuk menikahkan anak kecil, putera putri, atau menghalanginya.
40
Ibid., h.106.
41
Adapun dalam perwalian harta atau hak milik anak, mencakup transaksi dan
akad yang berhubungan dengan hak milik anak yang diwalini, diantaranya menjual,
membeli, mempersewakan, meminjamkan dan sebagainya.42
Kekuasaan wali terhadap harta dan diri anak yaitu disesuaikan dengan
kebutuhan pada setiap waktu dankeadaan yang berbeda-beda, dan hal tersebut
dilandaskan kepada kasih sayang dan kemaslahatan anak. Oleh sebab itu batas-batas
kekuasaan mereka adalah disesuaikan dengan keadaan.43
Ruang lingkup perwalian, dilihat dari segi tingkatan kewenangannya, ulama
fikih membaginya kepada 4 (empat) bentuk.44
1. Wewenang wali yang bersifat kuat dan kokoh dalam urusan pribadi,
(syakhsiyyah, personal affair), seperti wali dapat memaksa orang yang
dibawah ampuannya untuk kawin, mengajar, atau melakukan pengobatan
berat seperti operasi. Wewenang seperti ini hanya ada pada wali yang
bertalian keturunan erat dengan orang yang berstatus ahliyyah al-wujub
seperti ayah atau kakek.
2. Wewenang wali yang bersifat lemah terhadap urusan pribadi seseorang yang
ada dibawah pengampuannya, yaitu hanya mengawasi dan mendidiknya.
Dalam status seperti ini seorang wali tidak dapat melakukan tindakan
spekulatif yang banyak mengandung resiko terhadap orang yang dibawah
42
Ibid., h.113.
43
Ibid., h.123.
44 Syamsu dan Fauzan,
42
pengampuannya. Wali seperti ini adalah kerabat dekat orang yang berada di
bawah pengampuan tersebut, tetapi bukan ayah, kakek, saudara laki-laki, dan
paman.
3. Wewenang wali yang lemah dalam masalah pribadi dan bersifat kuat dalam
masalah harta kekayaan orang yang dibawah pengampuannya asal dengan
tujuan untuk keuntungan pemilik harta itu, bukan untuk si pengampu (wali).
Wali seperti ini adalah orang-orang yang diberi wasiat oleh ayah, kakek,
saudara laki-laki, atau paman.
4. Wewenang wali bersifat lemah terhadap pribadi dan harta. Orang yang berada
dalam pengampuannya tetapi kuat dalam masalah pribadi, yaitu sekedar
memlihara hartanya tanpa boleh dibolehkan memperdagangkannya, serta
membelanjakan harta tersebut sekedar biaya yang diperlukan orang yang
diampunya. Wali seperti ini adalah para kerabat jauh dari orang-orang yang
berada di bawah ampuan itu.
Apabila keluarga terdekat tidak ada lagi yang dapat dijadikan wali, atau ayah
yang belum cakap hukum tidak meninggalkan wasiat untuk menunjuk siapa yang
bertindak sebagai penggantinya, maka hak perwaliannya berpindah tangan kepada
penguasa atau hakim. Perpindahan hak perwalian dalam kasus seperti ini didasarkan
pada hadis Rasulullah SAW:
Artinya: Dari Aisyah RA berkata: Rasululah SAW bersabda: Wanita mana
saja yang dinikahi tanpa izin dari walinya, maka nikahnya itu batal, dan jika lelaki
telah mempergaulinya, maka ia wajib membayar mahar untuk kehormatan yang telah
dihalalkan darinya, maka apabila mereka bersengketa, Penguasa atau hakim dapat
menjadi wali bagi orang-orang yang tidak mempunyai wali (HR.Imam empat kecuali
Nasai dan dianggap sahih oleh Abu Awanah, Ibnu Hibban dan al-Hakim).
Akan tetapi, perlu digaris bawahi bahwa kekuasaan penguasa atau hakim
sebagai wali bagi orang yang belum cakap hukum merupakan kekuasaan yang
bersifat umum yang sifatnya tidak begitu kuat. Dalam kaitan ini ulama mengatakan
bahwa perwalian yang bersifat khusus (seperti ayah, paman, kakek, atau orang yang
diberi wasiat oleh ayahnya jika menunggal dunia) lebih kuat daripada perwalian
umum (penguasa atau hakim).46
D. Penetapan Orang Tua Sebagai Wali Bagi Anak
Pada dasarnya ayah adalah penjaga bagi anaknya yang belum cakap hukum,
hal ini dapat terjadi apabila dalam keadaan seorang ayah yang dapat dipercaya dan
45
Sunan Abi Daud hadis no 1880 Jilid 1 h.605, Sunan al-Bayhaqi al-Kubra, hadis no 13377, jilid VII h.105, Sunan al-Tirmidzi hadis no 1102, Jilid III h.407, Musnad Asyafi’i Hadis no 1074 Jilid I h.220, Musnad Ahmad hadis no 24372 Juz 40 h.435, Fath al-Bary Syarh Shohih Bukhary hadis no 1102 Jilid III h.407, lihat juga Ashan’ani, Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram Min Jam’i Adillah al-Ahkam, Juz III (Mesir: Daar Fikr, 1991), h.228
46 Syamsu dan Fauzan,
44
baik dalam perbuatan hukum dalam menjaga anak dan segala yang berkaitan dengan
muamalah-nya. Adapun mengenai seorang ayah yang dikenal dengan keadilannya
dan baik akhlaknya, namun terkadang hal tersebut tidak diketahui secara nampak,
maka ayah tersebut dianggap sebagai seorang yang adil dan hak perwalian baginya
adalah tetap atas harta anaknya. Para ulama membagi hak dan kewajiban ayah
terhadap perwalian harta anak yang belum cukup umur sebagi berikut:47
a. Menjaga harta anaknya yang belum cakap hukum
b. Mengembangkan dan berbuat hukum darinya, seperti jual beli
c. Tidak dibolehkan tabarru atau mengambil kontribusi untuk dirinya
dari harta yang diampu.
d. Memanfaatkan harta tersebut serta mengembalikannya atas apa yang
telah dijadikan nafkah bagi mereka secara khusus.
e. Menggadai atau menahan harta tersebut.
Orang tua secara langsung mendapatkan hak dan berkewajiban sebagai wali,
apabila mereka mampu dan cakap hukum. Adapun permohonan penetapan orang tua
sebagai wali bagi anak-anak mereka, Atharablusi menjelaskan dengan membagi
perkara pengadilan kepada sesuatu yang harus dengan hukum hakim dan sesuatu
yang tidak termasuk ke dalam hukum hakim. Sesuatu yang membutuhkan kepada
hukum hakim seperti seorang yang muflis dari hutang yang mana hijr terhadap
dirinya membutuhkan ketetapan hakim. Adapun perkara yang telah jelas dari syariat,
47 Mustafa al-Ba’i Dan Abdurrahman as-Shabuni,
seperti keharaman mahram dalam nikah yang disepakati, permasalahan ibadah,
thaharah adalah tidak diperlukan adanya penetapan hakim.48orang tua yang cakap
hukum sebagai wali bagi anaknya adalah permasalahan yang telah jelas dari syariat
dan telah disepakati oleh ulama seperti penulis terangkan pada bab orang yang berhak
menjadi wali, bahwa beberapa ulama sepakat akan orang tua, terutama pihak laki-laki
secara otomatis adalah wali terhadap anaknya yang belum dewasa.
Disamping itu, apabila penetapannya dalam ranah kepentingan yang lain,
seperti izin membelanjakan harta anak, atau seorang orang tua yang diri atau harta
anaknya dalam kekuasaan orang lain, dan ia meminta penetapan bahwa anak dan
harta tersebut dibawah perwaliannya, maka hal tersebut termasuk perkara yang
membutuhkan penetapan perwalian, dalam hal ini, menurut Atharablusi t