• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIFITAS KEBIJAKAN PENDEKATAN PROGRAMMATIC DENGAN PENDEKATAN MOVEMENT DALAM PENYEDIAAN AKSES LAYANAN PENDIDIKAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "EFEKTIFITAS KEBIJAKAN PENDEKATAN PROGRAMMATIC DENGAN PENDEKATAN MOVEMENT DALAM PENYEDIAAN AKSES LAYANAN PENDIDIKAN"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

PENDEKATAN MOVEMENT DALAM PENYEDIAAN AKSES LAYANAN PENDIDIKAN

SKRIPSI

Oleh:

Beta Pujangga Mukti

NPM: 20120720207

FAKULTAS AGAMA ISLAM

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (TARBIYAH) UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

(2)

i

EFEKTIFITAS KEBIJAKAN PENDEKATAN PROGRAMMATIC DENGAN PENDEKATAN MOVEMENT DALAM PENYEDIAAN AKSES LAYANAN

PENDIDIKAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh

gelar sarjana Pendidikan (S. Pd) strata Satu pada Program Studi Pendidikan Agama Islam (Tarbiyah)

Fakultas Agama Islam

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Oleh:

Beta Pujangga Mukti NPM: 20120720207

FAKULTAS AGAMA ISLAM

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (TARBIYAH) UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

(3)
(4)

iii MOTTO

Navigasi Itu Pendidikan Jauh sudah negeri ini melangkah

Berjalan rintih tak tentu arah

Panggung globalisasi yang kian tumpah

Kian menjebak diri dalam identitas sampah

Asa tuk melangkah kian hari kian pesimis

Tersungkur dalam lingkar eksperimen borjuis

Hingga terbuai dalam blantika hedonis

Pluralitas kini tak bermakna bhineka

Sang burung Garuda hanya menjadi pajangan bak boneka

Akibat gradasi dari trias politika

Tanpa memikirkan arti dari republika

Para oportunis yang picisan

Menari-nari dalam tarian penderitaan

Menipu manis dalam retorika kebijakan

Tuk meredam teriak suara kekritisan

Lantas pertanyaannya adalah

Siapakah kunci pembuka borgol ini?

Siapakah tisu pembersih noda bangsa ini?

Siapakah korektor identitas negeri ini?

Siapakah navigasi penentu arah bangsa ini?

(5)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan teruntuk:

Ayah dan bunda saya yang tak pernah henti-hentinya mendoakan anaknya dalam setiap munajahnya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan karya sederhana ini

dengan diberikan kemudahan dan kelancaran oleh Allah SWT. Kakak dan adik saya yang selalu mendoakan dan memberikan semangat. Guru-guru kehidupan saya di SMA Darul Ikhsan Muhammadiyah Sragen, yang

telah memberikan banyak inspirasi bagi saya untuk terus berjuang. Serta almamater tempat saya menuliskan mimpi-mimpi dan belajar arti tentang

(6)

v DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………i

HALAMAN NOTA DINAS………ii

HALAMAN PENGESAHAN………..iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN……….iv

HALAMAN MOTO………. v

HALAMAN PERSEMBAHAN……….. vi

KATA PENGANTAR……… vii

DAFTAR ISI………... ix

ABSTRAK……….. x

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………1

B. Rumusan Masalah………..5

C. Tujuan dan Kegunaan………6

D. Sistematika Pembahasan………7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI A. Tinjauan Pustaka………9

B. Kerangka Teori………...13

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian………...35

B. Metode Pengumpulan Data………....35

C. Analisis Data………..37

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Akses Layanan Pendidikan Di Indonesia………..38

B. Pengertian Kebijakan Pendekatan Programmatic………..43

C. Pengertian Kebijakan Pendekatan Movement………49

(7)

vi

E. Hasil Perbandingan Efektifitas Antara Kebijakan Programmatic Dengan Kebijakan Movement………...65

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan………...63

B. Saran……….65

DAFTAR PUSTAKA………..74

(8)
(9)

x

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektifitas kebijakan pendekatan programmatic dengan pendekatan movement dalam akses layanan pendidikan. Meliputi, apa saja akses layanan pendidikan di Indonesia, pengertian kebijakan programmatic, pengertian kebijakan movement, keunggulan dan kekurangan kebijakan programmatic dan movement, dan terakhir untuk mengetahui mana yang lebih efektif di antara kedua kebijakan tersebut.

Jenis penelitian ini adalah penelitian library research (penelitian pustaka) dengan manggunakan pendekatan kualitatif dan bersifat deskriptif analitik. Peneliti mengumpulkan bahan-bahan kepustakaan dari berbagai literatur buku, atau bahan-bahan dari sumber lain yang mendukung dengan objek penelitian. Dari sumber-sumber yang sudah dikumpulkan, bahan-bahan tersebut dianalisis dan diinterpretasi secara kritis kemudian disajikan secara lebih sistematik dan menambahkan penjelasan-penjelasan yang berhubungan, sehingga dapat lebih mudah untuk difahami dan disimpulkan. Hal ini dilakukan untuk memperoleh gambaran yang utuh dan benar mengenai objek yang diteliti.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan pendekatan movement lebih efektif dalam menyelesaikan masalah pendidikan, khususnya dalam akses layanan pendidikan. Tanpa mengesampingkan pendekatan programmatic, karena model pendekatan ini juga memiliki kelebihan. Namun peneliti menyimpulkan, kedua pendekatan ini harus berjalan beriringan, satu sama lain saling mekengkapi dengan kelebihan masing-masing. Dalam hal ini adalah pemerintah dan masyarakat, dalam rangka menyelesaikan masalah pendidikan di Indonesia, khususnya dalam akses layanan pendidikan. Dewasa ini, isu desentralisasi dan demokratisasi harus direalisasikan. Pemerintah perlu memberikan ruang yang cukup bagi masyarakaat untuk berkontribusi bagi bangsanya, dalam dunia pendidikan.

(10)

1

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan topik utama dalam kehidupan sehari-hari yang senantiasa selalu aktual untuk dibicarakan, serta dituntut untuk selalu relevan dengan kontinuitas dinamika kehidupan masyarakat. Proses pendidikan tidak dapat dipisahkan dari proses pembangunan yang bertujuan untuk mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas. Sedangkan manusia yang berkualitas itu sendiri dapat dilihat dari segi pendidikannya (Hamalik, 2014: 1).

Berangkat dari keyakinan bahwa masa depan bangsa ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia, maka peranan sistem pendidikan nasional dalam kehidupan suatu bangsa menjadi sangat dominan. Oleh sebab itu, pendidikan nasional harus selalu ditata agar benar-benar dapat menjadi wahana bagi pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas (Wahjoetomo, 1993: 6).

Sekolah merupakan salah satu wahana yang dijadikan tempat untuk mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas. Dari sekolah akan melahirkan manusia-manusia yang terdidik, karena semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin mengantarkannya kepada peluang yang akan merubah kehidupannya menjadi lebih baik kedepannya.

(11)

banyak jumlah sekolahan yang tersedia, maka akan semakin banyak pula anak-anak usia sekolah yang tertampung dan mempunyai akses untuk melanjutkan sekolah, mengenyam pendidikan, dan merasakan duduk di bangku sekolahan.

Sudah banyak saat ini lembaga-lembaga yang dibentuk untuk ikut membantu pemerintah dalam menangani masalah-masalah pendidikan yang ada di Indonesia. Sebut saja misalkan, Indonesia Mengajar, Indonesia Menyala, Kelas Inspirasi, Tunas, Sekolah Gajah Wong, dan lain sebagainya. Lembaga-lembaga tersebut dibentuk dari semangat gerakan atau lebih menerapkan kebijakan Movement. Sehingga pegiat dan para aktivis pendidikan memiliki rasa peduli terhadap pendidikan di Indonesia. Semua lambaga tersebut memiliki visi dan misi yang sama, yaitu ikut andil dalam menuntaskan berbagai masalah pendidikan di Indonesia, terutama pada sumber daya manusianya.

Namun kenyataannya, saat ini menunjukkan bahwa kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam menyelesaikan masalah pendidikan di Indonesia lebih cenderung menggunakan pendekatan program (programmatic), yaitu menekankan bahwa seluruh masalah pendidikan di Indonesia diselesaikan oleh pemerintah. Sedangkan lembaga-lembaga swasta yang ingin membantu dalam bidang pendidikan kurang diberikan ruang yang cukup oleh pemerintah untuk ikut dalam menyelesaikan masalah pendidikan di Indonesia (Baswedan, 2013).

(12)

jauh dari layak untuk akses pendidikannya. Jumlah sekolah yang minim dan guru yang masih sangat kurang.

Ketika pemerintah masih menerapkan kebijakan program (programmatic) dalam menuntaskan masalah pendidikan di Indonesia, maka dampaknya adalah akan semakin banyak masalah pendidikan di Indonesia yang tidak terselesaikan dengan tuntas. Karena rasa kepemilikan (ownership) terhadap masalah pendidikan di Indonesia sangat rendah (Baswedan, 2013).

Dalam bidang politik, kita lihat telah dimatikannya kehidupan demokrasi. Demokrasi yang menjamin pluralitas atau kemajemukan kehidupan berbangsa dan bernegara, yang mengakui keunikan kemajemukan dan perbedaan pendapat telah dimatikan sedemikian rupa. Dengan demikian, kehidupan bersama berdasarkan dialog dan tukar pikiran telah dikubur, sehingga usaha untuk memecahkan persoalan bersama telah diganti dengan cara-cara pemaksaan melalui berbagai instruksi atau peraturan dari penguasa. Akibatnya, partisipasi masyarakat dalam menentukan berbagai kebijakan baik di dalam kehidupan bersama maupun di dalam pemerintahan semakin lama semakin sempit. Masyarakat menjadi apatis, tidak kreatif dan inovatif, selalu menunggu petunjuk, serba juklak (petunjuk pelaksanaan) dan juknis (petunjuk teknis), dan berfikir procedural (Hasbullah, 2007: 12-13).

(13)

Jumlah Sekolah Di Indonesia Tahun 2010.

No Jenjang Pendidikan Negeri Swasta Jumlah 1 Taman Kanak-kanak 1.616 65.934 67.550

2 Sekolah Dasar 130.563 12.080 143.252

3 SMP 17.714 12.152 29.816

4 SMA 4.707 5.965 10.762

5 SMK 2.003 5.589 7.502

Jumlah Sekolah 156.683 107.720 258.882 Sumber: Statistik Pendidikan Kemendiknas, 2010

Pada tahun 2013, jumlah SD mencapai 169 ribu, untuk SMP mencapai 39 ribu, sedangkan SMA mencapai 26 ribu (Kemdikbud, 2013). Secara statistik, jumlah sekolah yang ada di Indonesia dari tingkat dasar hingga mennengah atas, mengalami kenaikan. Namun, dengan jumlah SD yang tidak seimbang dengan jumlah SMP dan SMA, maka akan banyak anak yang terancam tidak sekolah atau tidak mendapat akses layanan pendidikan di Indonesia. Karena jumlah sekolah yang tidak sebanding.

(14)

Masalah yang lain adalah faktor ketidakadilan yang berdampak terhadap rendahnya mutu pendidikan. Terjadinya berbagai gejala ketidakadilan dalam pelayanan pendidikan dapat dijelaskan oleh teori “dual system” (Windham, 1990). Masyarakat seolah terpilah menjadi dua segmen yang terpisah, yaitu segmen miskin (disadvantages) dan segmen kaya (advantages). Yang kaya mendapatkan berbagai kemudahan dalam akses pendidikan, sedangkan yang miskin semakin tertinggal karena kurangnya fasilitas dan akses layanan pendidikan (Suryadi, 2014: 119).

Oleh karena itu, penelitian ini sangat penting untuk dilakukan. Mengingat permasalahan pendidikan di Indonesia yang semakin hari semakin komleks dan butuh penanganan yang tepat. Salah satunya adalah dengan mengambil kebijakan yang sesuai dan yang paling dibutuhkan dalam menyelesaikan masalah pendidikan di Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apa saja akses layanan pendidikan di Indonesia?

2. Apa yang dimaksud dengan kebijakan pendekatan program (programmatic)? 3. Apa yang dimaksud dengan kebijakan pendekatan gerakan (movement)? 4. Apa keunggulan dan kekurangan antara kebijakan pendekatan program

(programmatic) dengan kebijakan pendekatan gerakan (movement)?

(15)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Ingin mengkaji apa saja akses layanan pendidikan di Indonesia.

2. Ingin mengetahui apa yang dimaksud dengan kebijakan pendekatan program (programmatic).

3. Ingin memahami apa yang dimaksud dengan kebijakan pendekatan gerakan (movement).

4. Ingin menganalisis apa keunggulan dan kekurangan antara kebijakan pendekatan program (programmatic) dengan kebijakan pendekatan gerakan (movement).

5. Ingin mengidentifikasi mana yang lebih efektif antara kebijakan pendekatan program (programmatic) dengan kebijakan pendekatan gerakan (movement) dalam penyediaan akses layanan pendidikan.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah: 1. Secara Teoritis

a. Penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi khazanah keilmuan sebagai wacana baru dalam bidang kebijakan, khususnya kebijakan pendidikan.

(16)

2. Secara Praktis

a. Penelitian ini diharapkan pemerintah dalam hal ini adalah kementerian pendidikan dan kebudayaan dapat mengambil kebijakan yang sesuai dan lebih dibutuhkan dalam menyelesaikan masalah pendidikan di Indonesia. b. Diharapkan dapat memberikan kesadaran bagi para pemangku kebijakan

dalam menjalankan tugasnya. Agar apa yang diputuskan dapat memberikan manfaat bagi seluruh rakyat Indonesia, khususnya kebijakan dalam bidang pendidikan.

E. Sistematika Pembahasan

Untuk memberikan gambaran umum mengenai susunan skripsi ini, maka perlu dikemukakan sistematika pembahasan yang berisi antar bagian atau antar bab. Secara garis besar, skripsi ini terdiri dari V bab:

Bab I berisi tentang pendahuluan, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab II memuat uraian tentang tinjauan pustaka dan kerangka teori yang relevan dan terkait dengan tema skripsi.

Bab III berisi metode penelitian yang digunakan oleh peneliti beserta alasannya, jenis penelitian, metode pengumpulan data, dan analisis data yang digunakan peneliti.

(17)
(18)

9

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI A. Tinjauan Pustaka

Peneliti mengkaji beberapa penelitian sebelumnya dengan maksud untuk mendukung penulisan yang lebih komprehensif. Maka peneliti berusaha melakukan kajian awal terhadap pustaka atau karya-karya yang mempunyai relevansi dengan topik yang ingin diteliti. Peneliti sudah berusaha melakukan kajian pustaka di perpustakaan internal UMY, namun karena keterbatasan bahan yang peneliti dapat, sehingga peneliti hanya dapat melakukan beberapa kajian pustaka saja, selebihnya peneliti melakukan kajian pustaka di perpustakaan luar UMY. Adapun penelitian yang pernah peneliti dapatkan berkaitan dengan topik yang diteliti khususnya tentang kebijakan pendidikan adalah:

Pertama penelitian Agung Subekti (2006), dengan judul “Implementasi Kebijakan Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Manusia Badan Kepegawaian

Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2005”, penelitian ini menggunakan

(19)

dan pelatihan untuk meningkatkan profesionalisme yang dapat meningkatkan kualitas pelayanan pada masyarakat.

Dari hasil penelitian di atas, berbeda dengan apa yang diteliti oleh peneliti. Penelitian oleh Agung Subekti lebih kepada kebijakan pendidikan bagi para guru untuk meningkatkan profesionalisme dalam peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Sedangkan penelitian ini lebih kepada kebijakan pemerintah bagi ketersediaan akses layanan pendidikan di seluruh penjuru negeri.

Kedua penelitian Supardi (2012), dengan judul “Arah Pendidikan Di

Indonesia Dalam Tataran Kebijakan dan Implementasi”, penelitian ini

menggunakan metode penelitian deskriptif analitik. penelitian ini ingin menjelaskan bahwa ada beberapa permasalahan yang muncul terkait pendidikan. Pendidikan tidak sama dengan pengajaran. Pendidikan merupakan usaha yang dilakukan secara sadar, terencana, terpola, dan dapat dievaluasi yang dilakukan oleh pendidik untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi yang ada dalam peserta didik.

(20)

kebijakan pendidikan. Praktek pendidikan pada semua jenjang, termasuk pada jenjang PAUD dan SD masih lebih menekankan pada aspek pengajaran untuk mencerdaskan intelektual dalam mengasah potensi kognitif semata, dan sangat kurang memperhatikan pendidikan moral/budi pekerti. Untuk itu, perlu ada koreksi terhadap proses pelaksanaan pendidikan untuk mencapai arah kebijakan pendidikan yang menghasilkan kualitas sumber daya manusia unggul, bertakwa dan berakhlak mulia.

Penelitian oleh Supardi ingin mengukur sejauh mana keberhasilan pemerintah dalam melaksanakan kebijakan dan implementasi dalam bidang pendidikan. Sedangkan penelitian ini ingin mengukur sejauh mana perhatian dan keberhasilan pemerintah dalam menyediakan akses layanan pendidikan.

Ketiga penelitian Kholil (2013), dengan judul “Menakar Kualitas

Pendidikan”, penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif analitik.

dalam opininya, Kholil ingin menyampaikan bahwa peran perguruan tinggi sangat diperlukan untuk mengimbangi laju derasnya arus globalisasi yang semakin tak terbendung. Masyarakat dan pemerintah secara langsung maupun tidak langsung harus terlibat dengan ilmu pengetahuan yang semakin berkembang. Karena kualitas pendidikan suatu Negara dapat dilihat dari aspek kemampuan di bidang ilmu pengetahuannya.

(21)

pemerintah dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan khususnya dalam aspek pemerataan layanan akses pendidikan.

Keempat penelitian Joni Wirawan (2014), dengan judul “Evaluasi

Kebijakan Pendidikan Penyaluran Bantuan Operasional Sekolah Di Kota

Yogyakarta Tahun 2012”, Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana evaluasi program BOS yang diberikan wewenang kepada Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta pada tahun 2012. Hal ini dikarenakan pada tahun 2012 BOS mengalami peningkatan jumlah anggaran. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dan kuantitatif (Mixed Method) dengan menggunakan sumber data primer dan skunder dan unit analisanya adalah Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, SD N Demangan dan SMP N 1 Kota Yogyakarta. Dari hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa dana BOS meringankan biaya sekolah siswa dan cukup untuk pembiayaan yang bersifat standar. Dana BOS belum menyentuh secara signifikan untuk peningkatan kualitas dan mutu karena dana belum mencukupi.

Penelitian oleh Joni Wirawan lebih menekankan kepada kebijakan pemerintah dalam penyaluran dana BOS di beberapa daerah khususnya Yogyakarta. Sedangkan penelitian ini lebih menekankan kepada kebijakan pendidikan untuk memenuhi kekurangan jumlah sekolah yang ada di pelosok-pelosok negeri.

Dari beberapa karya ilmiah di atas, peneliti menyimpulkan bahwa penelitian yang berjudul “Efektifitas Kebijakan Pendekatan Programmatic

(22)

belum ada yang meneliti dengan judul yang serupa. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengukur sejauh mana efektifitas kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah melalui pendekatan program (programmatic) dengan yang dilakukan oleh Lembaga Sumber Daya Masyarakat melalui pendekatan gerakan (movement). Dua pendekatan ini sudah sama-sama berjalan dalam menuntaskan permasalahan pendidikan di Indonesia. Dari penelitian ini diharapkan bisa mendapatkan sesuatu yang berguna bagi bangsa Indonesia terutama dalam dunia pendidikan.

B. Kerangka Teoritik 1. Efektivitas

a. Pengertian Efektivitas

Kamus ilmiah popular mendefinisikan efektivitas sebagai ketepatan penggunaan, hasil guna atau menunjang tujuan. Efektivitas merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditentukan di dalam setiap organisasi, kegiatan ataupun program. Disebut efektif apabila tercapai tujuan ataupun sasaran seperti yang telah ditentukan. Menurut Mardiasmo “Efektivitas adalah ukuran berhasil

tidaknya suatu organisasi mencapai tujuannya”. Apabila suatu organisasi

(23)

Dalam bahasa dan kalimat yang mudah hal tersebut dapat dijelaskan bahwa: efektivitas dari kelompok (organisasi perusahaan) adalah bila tujuan kelompok tersebut dapat dicapai sesuai dengan kebutuhan yang direncanakan. Sedangkan efisien berkaitan dengan jumlah pengorbanan yang dikeluarkan dalam upaya mencapai tujuan. Bila pengorbanannya dianggap terlalu besar, maka dapaat dikatakan tidak efisien. Peter F. Drucker dalam Moenir (2000: 166) menyatakan: effectiveness, doing the right things is more important than doing the

things right. Selanjutnya dijelaskan bahwa: “Effectiveness is to do the right things: while efficiency is to do the things right” (efektivitas adalah melakukan hal yang benar: sedangkan efisiensi adalah melakukan hal secara benar. Atau juga “Effectiveness means how far we achieve the goal

and efficiency means how do we mix various resources properly”

(efektivitas berarti sejauhmana kita mencapai sasaran dan efisien berarti bagaimana kita mencampur sumber daya secara cermat) (Moenir, 2000: 166).

Selanjutnya Steers (1985: 87) mengemukakan bahwa: “Efektivitas

adalah jangkauan usaha suatu program sebagai suatu sistem dengan sumber daya dan sarana tertentu untuk memenuhi tujuan dan sasarannya tanpa melumpuhkan cara dan sumber daya itu serta tanpa memberi tekanan yang tidak wajar terhadap pelaksanaannya”. Dari beberapa

(24)

(kuantitas, kualitas, dan waktu) yang dicapai oleh manajemen, yang mana target tersebut sudah ditentukan terlebih dahulu. Organisasi dapat disebut efektif ketika dapat melaksanakan kewajibannya dalam memenuhi enam hal berikut ini (Steers, 1985: 87):

1. Kepuasan pelanggan, 2. Mencapai visi organisasi, 3. Pemenuhan aspirasi,

4. Menghasilkan keuntungan bagi organisasi,

5. Pengembangan sumber daya manusia prganisasi, dan

6. Aspirasi yang dimiliki, serta memberikan dampak positif bagi masyarakat di luar organisasi.

Menurut Bernard dalam Steers (1985, 20) empat hal yang menggambarkan tentang efektivitas, yaitu:

1) Mengerjakan hal-hal yang benar, di mana sesuai dengan yang seharusnya diselesaikan sesuai dengan rencana dan aturannya.

2) Mencapai tingkat di atas pesaing, di mana mampu menjadi yang terbaik dengan lawan yang lain sebagai yang terbaik. 3) Membawa hasil, di mana apa yang telah dikerjakan mampu

(25)

Jadi dapat dikatakan bahwa efektivitas selalu berkaitan dengan tujuan. Efektivitas merupakan salah satu dimensi dari produktivitas (hasil) yaitu mengarah pada pencapaian unjuk kerja yang maksimal, yaitu pencapaian target yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas dan waktu. Efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan waktu) telah dicapai. Di mana semakin besar persentase target yang dicapai, semakin tinggi efektivitasnya.

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas

Berikut adalah empat faktor yang mempengaruhi efektivitas, yang dikemukakan oleh Steers (1985:209):

1). Karakteristik organisasi adalah hubungan yang sifatnya relatif tetap seperti susunan sumber daya manusia yang terdapat dalam organisasi. Struktur merupakan cara yang unik menempatkan manusia dalam rangka menciptakan sebuah organisasi. Dalam struktur, manusia ditempatkan sebagai bagian dari suatu hubungan yang relatif tetap yang akan menentukan pola interaksi dan tingkah laku yang berorientasi pada tugas.

(26)

organisasi yaitu lingkungan yang secara keseluruhan dalam lingkungan organisasi.

3).Karakteristik pekerja merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap efektivitas. Di dalam diri setiap individu akan ditemukan banyak perbedan, akan tetapi kesadaran individu akan perbedaan itu sangat penting dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Jadi apabila suatu organisasi menginginkan keberhasilan, organisasi tersebut harus dapat mengintegrasikan tujuan individu dengan tujuan organisasi.

(27)

c. Ukuran Efektivitas

Mengukur efektivitas organisasi bukanlah suatu hal yang sangat sederhana, karena efektivitas dapat dikaji dari berbagai sudut pandang dan tergantung pada siapa yang menilai serta menginterpretasikannya. Tingkat efektivitas juga dapat diukur dengan membandingkan antara rencana yang telah ditentukan dengan hasil nyata yang telah diwujudkan. Namun, jika usaha atau hasil pekerjaan dan tindakan yang dilakukan tidak tepat sehingga menyebabkan tujuan tidak tercapai atau sasaran yang diharapkan, maka hal itu dikatakan tidak efektif. Adapaun kriteria atau ukuran mengenai pencapaian tujuan efektif atau tidak, sebagaimana dikemukakan oleh Siagian (1978: 77), yaitu:

1. Kejelasan tujuan yang hendak dicapai, hal ini dimaksudkan supaya karyawan dalam pelaksanaan tugas mencapai sasaran yang terarah dan tujuan organisasi dapat tercapai.

2. Kejelasan strategi pencapaian tujuan, telah diketahui bahwa strategi adalah “pada jalan” yang diikuti dalam melakukan

berbagai upaya dalam mencapai sasaran-sasaran yang ditentukan agar para implementer tidak tersesat dalam pencapaian tujuan organisasi.

(28)

menjembatani tujuan-tujuan dengan usaha-usaha pelaksanaan kegiatan operasional.

4. Perencanaan yang matang, pada hakekatnya berarti memutuskan sekarang apa yang dikerjakan oleh organisasi di masa depan.

5. Penyusunan program yang tepat suatu rencana yang baik masih perlu dijabarkan dalam program-program pelaksanaan yang tepat, sebab apabila tidak, para pelaksana akan kurang memiliki pedoman bertindak dan bekerja.

6. Tersediannya sarana dan prasarana kerja, salah satu indikator efektivitas organisasi adalah kemampuan bekerja secara produktif. Dengan sarana dan prasarana yang tersedia dan mungkin disediakan oleh organisasi.

7. Pelaksanaan yang efektif dan efisien, bagaimanapun baiknya suatu program apabila tidak dilaksanakan secara efektif dan efisien maka organisasi tersebut tidak akan mencapai sasarannya, karena dengan pelaksanaan organisasi semakin didekatkan pada tujuannya.

(29)

Menurut Steers (1985: 44), umumnya kerangka kerja yang digunakan untuk meneliti efektivitas terdiri atas dua model, yaitu (1) model pengukuran yang bersifat univariasi (berdimensi satu), yang memusatkan perhtian dalam mengukur efektivitas hanya kepada satu kriteria evaluasi, misalnya produktivitas; (2) model multivariasi, yaitu mengukur efektivitas organisasi berdasarkan sejumlah kriteria penilaian. Masing-masing model mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Dalam model univariasi, penelaahnya mendalam, meskipun kurang meluas; sebaliknya dalam model multivariasi, penelaahannya mungkin tidak terlalu mendalam tetapi cakupannya luas karena meliputi beberapa variabel. Selanjutnya Steers (1985: 206) mengemukakan lima kriteria dalam pengukuran efektivitas, yaitu:

a. Produktivitas

b. Kemampuan adaptasi kerja c. Kepuasan kerja

d. Kemampuan berlaba e. Pencarian sumber daya

Steers (1985: 53) dalam bukunya “Efektivitas Organisasi” mengatakan mengenai ukuran efektivitas, sebagai berikut:

a. Pencapaian Tujuan

(30)

baik dalam arti pentahapan pencapaian bagian-bagiannya maupun pentahapan dalam arti periodisasinya. Pencapaian tujuan terdiri dari beberapa faktor, yaitu: kurun waktu dan sasaran yang merupakan target kongkrit.

1). Integrasi

Integrasi yaitu pengukuran terhadap tingkat kemampuan suatu organisasi untuk mengadakan sosialisasi, pengembangan consensus dan komunikasi dengan berbagai macam organisasi lainnya. Integrasi menyangkut proses sosialisasi.

2). Adaptasi

Adaptasi adalah kemampuan organisasi untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Untuk itu digunakan tolok ukur proses pengadaan dan pengisian tenaga kerja.

(31)

perilaku manusia dalam proses pencapaian tujuan organisasi dalam efektivitas suatu organisasi (Steers, 1985: 207).

Sebelum membicarakan lebih jauh tentang kebijakan pendidikan, sangat diperlukan untuk terlebih dahulu memahami konsep kebijakan. Hal ini perlu dilakukan karena begitu luasnya penggunaan konsep dan istilah kebijakan, sehingga akan menimbulkan sudut pandang yang berbeda dalam memahami konsep kebijakan dimaksud.

Kata “kebijakan” merupakan terjemahan dari kata “policy” dalam bahasa

Inggris, yang berarti mengurus masalah atau kepentingan umum, atau juga administrasi pemerintah. Kebijakan lebih berat penekanannya pada tindakan (produk) yaitu kebijakan yang ditetapkan secara subjektif. Dalam pengertian operatifnya, kebijakan dapat diartikan sebagai:

1. Suatu penggarisan ketentuan-ketentuan;

2. Yang bersifat sebagai pedoman, pegangan atau bimbingan untuk mencapai kesepahaman dalam maksud, cara dan atau sarana;

3. Bagi setiap usaha dan kegiatan sekelompok manusia yang berorganisasi;

4. Sehingga terjadi dinamisasi gerak tindak yang berpadu, sehaluan dan seirama mencapai tujuan bersama tertentu.

2. Kebijakan

a. Pengertian Kebijakan

(32)

hanya menyangkut aparatur Negara, melainkan juga governance yang menyentuh pengelolaan sumber daya publik. Kebijakan pada intinya merupakan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumber daya alam, finansial, dan manusia demi kepentingan publik, yakni rakyat banyak, penduduk, masyarakat atau warga Negara. Kebijakan merupakan hasil dari adanya sinergi, kompromi atau bahkan kompetisi antara berbagai gagasan, teori, ideologi, dan kepentingan-kepentingan yang mewakili sistem politik suatu Negara. (Hasbullah, 2007: 37-38).

b. Jenis-jenis Kebijakan

(33)

3. Pendidikan

a. Pengertian Pendidikan

Setelah mengetahui makna dari suatu kebijakan dan jenis-jenisnya, selanjutnya adalah mengetahui makna dari pendidikan. Beberapa pakar di bidang pendidikan mendefinisikan makna pendidikan. Diantaranya, pendidikan adalah wahana. Sudah sejak tahun 900-an sebelum Masehi ketika system pendidikan mulai dilembagakan di kota Sparta, pendidikan tidak pernah diarahkan untuk dirinya sendiri. (Thompson, 1951: 1; Smith, 1979: 1).

(34)

Menurut UUD R.I. No. 2 Tahun 1989, Bab I Pasal 1, pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.

Pendidikan, menurut Romo Mangunwijaya, adalah proses awal dalam usaha menumbuhkan kesadaran sosial pada setiap manusia sebagai pelaku sejarah. Kesadaran sosial hanya akan bisa tercapai apabila seseorang telah berhasil membaca realitas perantaraan dunia di sekitar mereka. Sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran sosial, maka perlu adanya perangkat analisis yang bersumber dari kebebasan berpikir dari masing-masing individu, yang pada akhirnya memberikan daya nalar yang kritis terhadap perkembangan sosial yang ada (Susetyo, 2005. Hal: 145).

(35)

pendidikan, manusia akan mengetahui hakikat dirinya diciptakan oleh sang Maha Pencipta dan memahami apa tugas yang harus dirinya emban di muka bumi ini.

Pendidikan di Indonesia, diharapkan mampu membangun integritas kepribadian manusia Indonesia seutuhnya dengan mengembangkan berbagai potensi secara terpadu. UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 menegaskan:

“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.”

Kemudian dalam Pasal 3 masih dalam Sistem Pendidikan Nasional juga menegaskan: “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan dan

(36)

4. Kebijakan Pendidikan

a. Pengertian Kebijakan Pendidikan

Istilah “kebijakan pendidikan” merupakan terjemahan dari “educational policy”, yang tergabung dari kata educational dan policy.

Kebijakan adalah seperangkat aturan, sedangkan pendidikan menunjuk kepada bidangnya. Jadi kebijakan pendidikan hampir sama artinya dengan kebijakan pemerintah dalam bisang pendidikan. (Hasbullah, 2015: 40).

Carter V. Good (1959), yang dikutip oleh Ali Imran (1996: 14), memberikan pengertian “educational policy” sebagai pertimbangan yang

didasarkan atas sistem nilai dan beberapa penilaian terhadap faktor-faktor yang bersifat situasional; pertimbangan tersebut dijadikan sebagai dasar untuk mengoperasikan pendidikan yang bersifat melembaga; pertimbangan tersebut merupakan perencanaan umum yang dijadikan pedoman untuk mengambil keputusan, agar keputusan yang bersifat melembaga bisa tercapai.

(37)

Kebijakan pendidikan di sini dimaksudkan adalah seperangkat aturan sebagai bentuk keberpihakan dari pemerintah dalam upaya membangun satu sistem pendidikan sesuai dengan tujuan dan cita-cita yang diinginkan bersama. Keberpihakan tersebut menyangkut dalam konteks politik, anggaran, pemberdayaan, tata aturan, dan sebagainya. Kebijakan pendidikan merupakan keseluruhan proses dan hasil perumusan langkah-langkah strategi pendidikan yang dijabarkan dari visi dan misi pendidikan, dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu masyarakat untuk suatu kurun waktu tertentu. (Hasbullah, 2015: 41).

b. Manfaat Kebijakan Pendidikan

Studi kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik paling tidak memiliki tiga manfaat penting, yaitu untuk pengembangan ilmu pengetahuan, meningkatkan profesionalisme praktisi, dan untuk tujuan politik (Dye, 1981).

1. Pengembangan Ilmu Pengetahuan

(38)

dikeluarkannya undang-undang tentang guru dan dosen di Indonesia.

Sebaiknya studi kebijakan pendidikan dapat menempatkan kebijakan pendidikan sebagai independent variable, sehingga berusaha mengidentifikasi apa dampak dari

suatu kebijakan pendidikan.

2. Membantu para praktisi dalam memecahkan masalah-masalah pendidikan.

Dengan mempelajari kebijakan pendidikan, para praktisi akan memiliki dasar teoritis tentang bagaimana membuat kebijakan pendidikan yang baik dan memperkecil kegagalan dari suatu kebijakan pendidikan. Sesungguhnya ke depan akan lahir kebiakan pendidikan yang lebih berkualitas yang dapat menopang tujuan pembangunan.

3. Berguna untuk tujuan politik.

(39)

c. Macam-macam pendekatan dalam perumusan kebijakan pendidikan 1). Pendekatan Social Demand Approach (kebutuhan sosial)

Social Demand Approach adalah suatu pendekatan dalam perumusan kebijakan pendidikan yang mendasarkan diri pada aspirasi, tuntutan, serta aneka kepentingan yang didesakkan oleh masyarakat. Pada pendekatan jenis ini para pengambil kebijakan lebih dahulu menyelami dan mendeteksi terhadap aspirasi yang berkembang dalam masyarakat sebelum mereka merumuskan kebijakan pendidikan yang ditanganinya.

Pendekatan Social Demand Approach sebenarnya tidak semata-mata merespon aspirasi masyarakat sebelum dirumuskan kebijakan pendidikan, akan tetapi juga merespon tuntutan masyarakat setelah kebijakan pendidikan diimplementasikan. Partisipasi warga dari seluruh lapisan masyarakat diharapkan terjadi baik pada masa perumusan maupun implementasi kebijakan pendidikan. Dalam perumusan kebijakan dapat digolongkan ke dalam tipe perumusan kebijakan yang bersifat pasif. Artinya suatu kebijakan baru dapat dirumuskan apabila ada tuntutan dari masyarakat terlebih dahulu. 2). Pendekatan Man-Power Approach

(40)

dari masyarakat atau tidak, tetapi yang terpenting adalah menurut pertimbangan-pertimbangan rasional dan visioner dari sudut pandang pengambil kebijakan.

Pemerintah sebagai pemimpin yang berwenang merumuskan suatu kebijakan memiliki legitimasi kuat untuk merumuskan kebijakan pendidikan. Dapat dipetik aspek penting dari pendekatan jenis kedua ini adalah, bahwa secara umum lebih bersifat otoriter. Man-Power Approach kurang menghargai proses demokratis dalam perumusan kebijakan pendidikan, terbukti perumusan kebijakannya tidak diawali dari adanya aspirasi dan tuntutan masyarakat, akan tetapi langsung saja dirumuskan sesuai dengan tuntutan masa depan sebagaimana dilihat oleh sang pemimpin visioner. Terkesan adanya cara-cara otoriter dalam pendekatan jenis kedua ini. Namun dari sisi positifnya, dalam pendekatan Man-Power ini proses perumusan kebijakan pendidikan yang ada lebih berlangsung efisien dalam proses perumusannya, serta lebih berdimensi jangka panjang (Rohman, 2009: 114-118).

(41)

5. Akses Layanan Pendidikan

(42)

32

METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian

Kata metodologi berasal dari tiga kata Yunani, meta, hetodos, dan logos. Meta artinya menuju, melalui, dan mengikuti. Sementara hetodos berarti jalan atau cara. Sedangkan logos berarti “studi tentang” atau “teori tentang” ilmu pengetahuan, cakrawala, dan wawasan (Earle, 1992).

Menurut Jamali Sahrodi, metodologi berarti pengetahuan tentang metode atau cara-cara yang berlaku dalam kajian atau penelitian (Sahrodi, 2008).

Menurut Muhyar Fanani, metode merupakan langkah-langkah praktis dan sistematis yang ada dalam ilmu-ilmu tertentu yang sudah tidak lagi dipertanyakan lagi karena sudah bersifat aplikatif. Metode dalam suatu ilmu dianggap sudah bisa mengantarkan seseorang mencapai kebenaran dalam ilmu tersebut. Oleh karena itu, ia sudah tidak diperdebatkan lagi karena sudah disepakati oleh komunitas ilmuwan dalam bidang ilmu tersebut (Fanani, 2008).

Louay Safi mendefinisikan metodologi sebagai bidang penelitian ilmiah yang berhubungan dengan pembahasan tentang metode-metode yang digunakan dalam mengkaji fenomena alam dan manusia, atau dengan redaksi yang lain, “metodologi adalah bidang penelitian ilmiah yang membenarkan,

mendeskripsikan, dan menjelaskan aturan-aturan, prosedur-prosedur ilmiah (Safi, 2001).

(43)

“mencari, menjelajahi, dan menemukan makna”, dengan demikian, penelitian

(research) berarti mencari, menjelajahi dan menemukan makna kembali secara berulang-ulang (Sofyan, 2013).

“Metode penelitian” berasal dari kata “Metode” yang artinya cara yang

tepat untuk melakukan sesuatu; dan “Logos” yang artinya ilmu atau pengetahuan.

Jadi Metodologi artinya cara melakukan sesuatu dengan menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan “Penelitian” adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan dan menganalisis sampai menyusun laporannya (Narbuko, 2012).

Selain pengertian di atas, ada juga yang mengartikan; Metode berasal dari bahasa Yunani: methodos yang berarti cara atau jalan. Jadi metode merupakan jalan yang berkaitan dengan cara kerja dalam mencapai sasaran yang diperlukan bagi penggunanya, sehingga dapat memahami obyek sasaran yang dikehendaki dalam upaya mencapai sasaran atau tujuan pemecahan permasalahan. Sedangkan penelitian adalah terjemahan dari bahasa Inggris: research yang berarti usaha atau pekerjaan untuk mencari kembali yang dilakukan dengan suatu metode tertentu dan dengan cara hati-hati, sistematis, serta sempurna terhadap permasalahan, sehingga dapat digunakan untuk menyelesaikan atau menjawab problemnya. Jadi metode penelitian adalah suatu cara atau jalan untuk memperoleh kembali pemecahan terhadap segala permasalahan (Subagyo, 1991).

Ada tiga jenis penelitian:

(44)

peristiwa-peristiwa masa lampau. Peneliti historis harus menemukan, menilai, dan menginterpretasikan fakta-fakta yang diperolehnya secara sistematik dan objektif untuk memahami masa masa lampau. Dari data tersebut ia berharap dapat mengungkapkan apa yang disumbangkan oleh masa lampau untuk memahami situasi sekarang dan apa yang mungkin terjadi di masa depan. Selain itu penelitian historis memiliki definisi, deskripsi yang terpadu dari keadaan-keadaan atau fakta-fakta masa lampau yang ditulis berdasarkan penelitian serta studi yang kritis untuk mencari kebenaran (Nevins, 1933).

2. Penelitian deskriptif diartikan sebagai suatu penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu fenomena/peristiwa secara sistematis sesuai dengan apa adanya. Penelitian deskriptif dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai keadaan saat ini. Dalam penelitian semacam itu, peneliti mencoba menentukan sifat situasi sebagaimana adanya pada waktu penelitian dilakukan. Penelitian deskriptif juga bisa didefinisikan pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat (Whitney, 1960).

(45)

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian (Library Reasearch) yang bersifat kualitatif. Penelitian kepustakaan ini merupakan penelitian yang mengumpulkan data dan informasi dari berbagai macam materi yang terdapat dalam kepustakaan. Artinya, bahwa penelitian ini difokuskan untuk mengkaji secara ilmiah literatur-literatur perpustakaan yang relevan dengan tema penelitian, kemudian dipaparkan dan dianalisis secara kualitatif.

Sifat penelitian ini merupakan deskriptif analitik. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi status suatu variabel atau tema, gejala atau keadaan yang ada yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan.

2. Metode Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data peneliti menggunakan metode dokumentasi, yaitu metode pengumpulan data untuk memperoleh data-data yang bentuknya catatan, transkrip, buku, surat kabar majalah, dokumen, agenda dan sebagainya.

3. Sumber Data

Sumber data dibagi menjadi dua bagian, yaitu sumber data primer dan data sekunder.

a. Data Primer

(46)

1. Buku karangan H. M. Hasbullah yang berjudul Kebijakan Pendidikan Dalam Perspektif Teori, Aplikasi, dan Kondisi Objektif Pendidikan di

Indonesia, terbitan Rajawali Pers Jakarta, tahun 2015.

2. Buku karangan H. A. R. Tilaar & Riant Nugroho yang berjudul Kebijakan Pendidikan; Pengantar Untuk Memahami Kebijakan

Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik,

terbitan Pustaka Pelajar Yogyakarta, tahun 2008.

3. Buku karangan Sam M. Chan & Tuti T. Sam yang berjudul Analisis SWOT; Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, terbitan Rajawali

Pers Jakarta, tahun 2005.

4. Buku karangan Paulo Freire, Ivan Illich, Erich Fromm Dkk yang berjudul Menggugat Pendidikan; Fundementalis, Konservatif, Liberal, Anarkis, terbitan Pustaka Pelajar Yogyakarta, tahun 2001.

5. Buku karangan Syafaruddin Anzizhan, Sistem Pengambilan Keputusan Pendidikan, terbitan Grasindo Jakarta, tahun 2004.

6. Dan lain-lain. b. Data Sekunder

(47)

1. Buku yang berjudul Analisis Kebijakan Pendidikan karya Nanang Fattah, terbitan PT Remaja Rosdakarya Bandung, tahun 2013.

2. Buku yang berjudul Dasar-Dasar Perencanaan Pendidikan karya Jusuf Enoch, terbitan Bumi Aksara Jakarta, tahun 1995.

3. Buku yang berjudul Politik Pendidikan; Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan karya Paulo Freire, terbitan Pustaka Pelajar Yogyakarta, tahun 2002.

4. Buku yang berjudul Politik Kebijakan Pendidikan Di Indonesia; Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 2/1989 karya Muhammad Sirozi, terbitan INIS Jakarta, tahun 2004.

5. Buku yang berjudul Kurikulum Dan Pembelajaran karya Oemar Hamalik, terbitan Bumi Aksara Jakarta, tahun 2014.

6. Dan lain-lain. 4. Analisis Data

(48)

38

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Akses Layanan Pendidikan Di Indonesia

Akses layanan pendidikan di Indonesia meliputi, ketersediaan jumlah sekolah, fasilitas pendidikan yang memadai, dan pemerataan pendidikan yang dapat dinikmati oleh semua anak di Indonesia.

1. Jumlah Sekolah

Jumlah sekolah saat ini mesih jauh dari kata cukup. Berikut jumlah sekolah di Indonesia menurut jenjang dan statusnya pada tahun 2010.

Jumlah Sekolah Di Indonesia

No Jenjang Pendidikan Negeri Swasta Jumlah 1 Taman Kanak-kanak 1.616 65.934 67.550

2 Sekolah Dasar 130.563 12.080 143.252

3 SMP 17.714 12.152 29.816

4 SMA 4.707 5.965 10.762

5 SMK 2.003 5.589 7.502

Jumlah Sekolah 156.683 107.720 258.882 Sumber: Statistik Pendidikan Kemendiknas, 2010

(49)

akan banyak anak yang terancam tidak sekolah atau tidak mendapat akses layanan pendidikan di Indonesia. Karena jumlah sekolah yang tidak sebanding.

Dalam hal ini pemerintah dengan kebijakan programmatic-nya masih belum bisa berbuat banyak untuk segera membangun sekolah yang lebih banyak, agar semua anak di Indonesia khususnya anak-anak di pelosok negeri dan yang kurang mampu, dapat menikmati pendidikan.

Masyarakat dengan pendekatan movement sudah berupaya untuk membantu pemerintah dalam penyediaan akses layanan pendidikan di sektor pembangunan sekolah. Namun tetap mendapatkan kendala, terutama anggaran. Namun dengan semangat gerakan dari masyarakat, mereka memeiliki rasa memiliki masalah dan ingin ikut terlibat berkontribusi, sehingga mereka bersama-sama untuk iuran membangun sekolah. Melalui lembaga-lembaga non formal, semisal Indonesia Mengajar, Tunas, Gajah Wong, Armada Pustaka, dan lain sebagainya. 2. Fasilitas Pendidikan

(50)

lancarnya proses pendidikan (lembab, gelap, sempit, rapuh, bahkan sudah yang banyak ambruk, dan lain-lain) sampai membahayakan keselamatan. Aspek perabot berkenaan dengan sarana yang kurang memadai bagi pelaksanaan proses pendidikan termasuk fasilitas untuk kebutuhan ekstrakurikuler di sekolah tersebut (Hasbullah, 2015: 181).

Terlaksananya pembangunan pendidikan yang harus memecahkan masalah kuantitatif dan kualitatif jelas memerlukan fasilitas-fasilitas. Dengan demikian salah satu permasalahan dasar yang menyangkut masalah fasilitas pendidikan adalah mengadakan sarana-sarana tersebut untuk menunjang tujuan-tujuan kuantitatif maupun tujuan-tujuan kualitatif yang ingin dicapai. Ini berarti bahwa masalah fasilitas tersebut akan terdapat baik di bidang pendidikan formal maupun nonformal. Pengadaan fasilitas pendidikan pada pokoknya meliputi tiga komponen: masalah gedung, masalah buku, dan perlengkapan yang lain. Masalah gedung erat kaitannya dengan masalah pengadaan tanah dan bangunan. Masalah buku meliputi masalah standarisasi penulisan, penerbitan dan penyebaran. Masalah perlengkapan lainnya meliputi alat-alat yang diperlukan untuk suatu proses pendidikan. Keperluan akan fasilitas tersebut berbeda-beda sesuai dengan tujuan, struktur, jenis dan metode pendidikan (Prijono & Pranarka, 1979: 115).

(51)

sekolah-sekolah yang di pelosok, yang jauh dari perkotaan, dan akses untuk ditempuh sulit, belum mendapatkan perhatian dari pemerintah. Mereka juga berhak mendapatkan perhatian dari pemerintah, karena mereka termasuk anak-anak Indonesia yang harus mendapatkan pendidikan yang sama dengan anak-anak Indonesia yang lain.

Melalui semangat gerakan, masyarakat bersama-sama untuk ikut terjun dalam menyediakan fasilitas bagi proses pendidikan, khususnya di daerah-daerah yang masih tertinggal. Salah satu contah dari gerakan Indonesia Mengajar yag setiap tahun mengadakan event berkreasi bagi anak-anak Indonesia yang ingin menyumbang fikirannya untuk membuat rumus-rumus matematika, fisika, biologi, kimia, dan pelajaran-pelajaran yang lain, atau membuat permainan untuk mempermudah proses belajar. Hal inilah yang membantu agar fasilitas pendidikan di sekolah-sekolah dapat tersedia dan berjalan dengan baik.

3. Pemerataan Pendidikan

Pemerataan pendidikan mencakup dua aspek penting yaitu

Equality dan Equity. Equality atau persamaan mengandungn arti

persamaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan , sedangkan equity

bermakna keadilan dalam memperoleh kesempatan pendidikan yang

sama diantara berbagai kelompok dalam masyarakat. Akses terhadap

pendidikan yang merata berarti semua penduduk usia sekolah telah

(52)

pendidikan telah adil jika antar kelompok bisa menikmati pendidikan

secara sama (Eka, 2007).

Menurut Colman, Secara konsepsional konsep pemerataan yakni :

pemerataan aktif dan pemerataan pasif. Pemerataan pasif adalah

pemerataan yang lebih menekankan pada kesamaan memperoleh

kesempatan untuk mendaftar di sekolah, sedangkan pemerataan aktif

bermakna kesamaan dalam member kesempatan kepada murid-murid

terdaptar agar memperoleh hasil belajar setinggi-tingginya ( dalam

Suryadi, 1993 : 31).

Dalam menyelesaikan masalah pemerataan, pemerintah sudah

berupaya dengan sebaik-baiknya. Berbagai macam kebijakan dibuat

untuk mensukseskan pemeretaan pendidikan di Indonesia, salah staunya

adalah dengan meneluarkan KIP (Kartu Indonesia Pintar).

(53)

Pada tahun 2015, Kemendikbud mendapatkan jatah untuk membagikan KIP kepada sebanyak 17 juta anak. Namun, karena dananya masih ada, saya meminta agar jumlah siswanya ditambah. Pada 2015 Kemendikbud bisa memberikan KIP sampai kepada 18 juta lebih anak, melebihi target pemerintah. Pada tahun ini, proses pembagian KIP pada Mei sudah 93%. Sisanya terus berjalan, sampai sekarang (Baswedan, 2016).

Untuk memperkuat pembahasan tentang akses layanan pendidikan di Indonesia, peneliti telah melampirkan hasil wawancara dengan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, dengan diperkuat data Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan N0. 23/2013 (Lihat halaman lampiran 1 dan 2).

B. Pengertian Kebijakan Pendekatan Programmatic

Sudah disinggung dalam kerangka teori bahwa kebijakan pendekatan programmatic cenderung sama dengan Man-Power Approach. Pendekatan jenis ini lebih menitikberatkan kepada pertimbangan-pertimbangan rasional dalam rangka menciptakan ketersediaan sumberdaya manusia (human resources) yang memadai di masyarakat. Pendekatan ini tidak melihat apakah ada permintaan dari masyarakat atau tidak, tetapi yang terpenting adalah menurut pertimbangan-pertimbangan rasional dan visioner dari sudut pandang pengambil kebijakan.

(54)

umum lebih bersifat otoriter. Kebijakan dengan pendekatan ini telah terjadi sejak masa Orde Baru. Rezim Orde Baru yang otoriter telah melahirkan sistem pendidikan yang tidak mampu melakukan pemberdayaan masyarakat secara efektif, meskipun secara kuantitatif rezim ini memang telah mampu menunjukkan prestasi yang cukup baik di bidang pendidikan. Kemajuan-kemajuan pendidikan secara kuantitatif kita rasakan selama Orde Baru berkuasa.

Sebagai contoh, data statistik yang dikemukakan oleh Abbas (1999: 1) menunjukkan bahwa jumlah murid pada tingkat SD meningkat dari 13.023.000 pada tahun 1967/1968 menjadi 29.239.238 dalam tahun 1997/1998, atau telah terjadi peningkatan sebesar 224,59%. Dalam periode yang sama, murid SLTP telah meningkat dari 1.000.000 menjadi 9.227.891 atau terjadi peningkatan sebesar 902,30%. Demikian pula pada tingkat SLTA, jumlah pendaftar telah meningkat dari 500.000 menjadi 4.932.083 atau meningkat sekitar 1000%. Peningkatan yang berarti juga terjadi pada tingkat universitas. Dalam periode yang sama, jumlah mahasiswa telah meningkat dari 230.000 menjadi 2.703.896 atau meningkat 1.176%.

(55)

pelestarian kekuasaan. Visi dan misi pelestarian kekuasaan itu melahirkan kebijakan pendidikan yag bersifat straight jacket (Suyanto, 2000: 5-6).

Sebelum peneliti membahas kondisi pendidikan di zaman Orde Baru, peneliti akan memulai pembahasan dari kondisi pendidikan di zaman Orde Lama terlebih dahulu. Kita bisa menilik langsung kebijakan pendidikan nasional di era ini dimulai dari pasal 30 UUDS 1950 RI, antara lain sebagai berikut:

1. Tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pengajaran. 2. Memilih pengajaran yang akan diikuti, adalah bebas.

3. Mengajar adalah bebas, dengan tidak mengurangi pengawasan penguasa yang dilakukan terhadap itu menurut peraturan undang-undang.

Pada bab II pasal 3 dalam Undang-Undang tahun 1950 Tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah untuk Seluruh Indonesia. Dalam pasal tersebut dijelaskan mengenai tujuan pendidikan dan pengajaran nasional, “Tujuan Pendidikan dan Pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap

dan warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air.”

(56)

disebut Kursus Pengajar Pengantar Kepada Kewajiban Belajar (KPKPKB). Di sini kita melihat bagaimana pendidikan nasional yang digarap pemerintah mencoba memberdayakan potensi daerah demi kesuksesan dan kelancaran program pendidikan nasional itu sendiri.

Persoalan akut dari dunia pendidikan saat itu adalah bagaimana jumlah penduduk yang masih buta huruf tidaklah sedikit. Kondisi demikian tentunya mengganggu bagi kelangsungan pembangunan bangsa saat itu untuk bisa menyejahterakan rakyat secara keseluruhan dan bisa sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Oleh karena itu, tujuan dan usaha pendidikan nasional pemerintah Orde Lama pada awalnya adalah untuk menghilangkan buta huruf.

Untuk mencapai tujuan tersebut diadakan wajib belajar 6 tahun, pendidikan umum setingkat sekolah dasar, pendidikan dasar digratiskan, pemberian beasiswa bagi yang cerdas tapi tak mampu secara ekonomi dan memberikan subsidi kepada organisasi swasta yang menyelenggarakan pendidikan tersebut. Kemudian menugaskan Kementerian Pendidikan untuk mengadakan supervisi, bimbingan profesional, penentuan kurikulum dan buku teks, mengadakan supervisi terhadap sekolah-sekolah asing dan mengatur hari libur (Rifa’i, 2009: 162-164).

(57)

Pendidikan Dasar Daerah dengan seorang kepala serta dua inspektur dengan 21 stafnya (Tilaar, 1995: 80).

Sejalan dengan lahirnya KPKPKB, juga muncul apa yang disebut KPKB (Kursus Pengantar Kewajiban Belajar). KPKB ini merupakan embrio sekolah dasar. Besarnya jumlah siswa KPKB memang cukup membantu pencapaian tujuan wajib belajar meskipun KPKB tersebut terutama diarahkan untuk pemberantasan buta huruf. Pada 1952, jumlah KPKB yang didirikan adalah 3.372 dengan jumlah siswa sekitar setengah juta. Seperti kita ketahui, KPKB ini kemudian menjadi sekolah dasar (Tilaar, 1995: 81-82).

Kemudian zaman Orde Lama telah digantikan dengan Orde Baru, yaitu masa pemerintahan Soeharto. Sebagaimana kita ketahui bersama, Orde Baru diidentikkan dengan ideologi atau slogan pembangunan. Begitu pula arah dan kebijakan pendidikan disesuaikan dengan geraknya pembangunan. Di dalam mengaktualisasikan pembangunannya, Orde Baru setiap lima tahun memiliki program pembangunan, yang dikenal dengan istilah Pelita (Pembangunan Lima Tahun).

Dalam sektor pendidikan, pada masa ini terjadi kemajuan di tahun 1980. Lebih dari 100.000 sekolah dibangun, terutama di daerah-daerah pedalaman dan lebih dari 5.000.000 guru dipekerjakan. Pada 1984, dilaporkan bahwa 97% dari anak berusia 7-12 tahun sedang mengenyam bangku sekolah, dibandingkan dengan angka 57% pada 1973. Tingkat melek huruf terus meningkat (Rifa’i,

(58)

Setelah Orde Baru berkuasa sekitar 32 tahun, kemudian Soeharto mengundurkan diri dan digantikan oleh B.J. Habibie. Kepemimpinan ini identic dengan sebutan masa reformasi. Ruh pendidikan reformasi sangat kentara berkaitan dengan persoalan dengan sentralsime-otoriter yang diterapkan oleh Orde Baru dalam bidang pendidikan hendak digugat dan dilawan. Di masa pemerintahan Habibie, menetapkan kebijakan otonomi daerah, termasuk otonomi pendidikan. Di sini peran daerah dimunculkan dan tidak tergantung pada pusat.

Kemudian kebijakan pendidikan lainnya untuk menyelamatkan dunia pendidikan dan menjamin kelangsungan pendidikan nasional, pemerintahan B.J. Habibie mulai tahun 1999 membebaskan SPP untuk SD hingga SMTA. Selain itu pemerintah juga memberikan beasiswa SD kepada 1,16 juta siswa; dan 1,56 juta untuk siswa SLTP. Untuk SMTA dan perguruan tinggi, jumlahnya akan ditentukan kemudian. Pemerintah juga memberikan biaya operasional untuk SD sebanyak 69.300 buah, untuk SLTP 12.200 buah, sedangkan untuk SMTA dan perguruan tinggi akan ditentukan kemudian (Rifa’i, 2009: 262).

(59)

M. Nuh yang menjabat sebagai Menteri Pendidikan Nasional pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono jilid II memberikan beberapa program pada awal masa jabatannya atau program 100 hari jabatannya, yaitu pemberian fasilitas internet di Sekolah, peningkatan kapasitas kepala dan pengawas sekolah, pemberian beasiswa di Perguruan Tinggi Negeri kepada siswa SMA/SMK/MA kurang mampu, namun berprestasi, penyusunan kebijakan khusus bagi guru yang bertugas di daerah terpencil, penyusunan, dan penyempurnaan Renstra 2010-2014, pengembangan karakter bangsa, pengembangan metodologi pembelajaran, dan pengembangan mental entrepreneurship (Rifa’i, 2009: 276).

Kebijakan pendidikan di zaman reformasi yang lain adalah berkaitan dengan persoalan pemberian beasiswa. Namun, dalam pelaksanaannya, hal ini dikritik oleh Darmaningtyas karena belum memiliki semangat dan reformasi. Pemberian beasiswa juga masih tetap didasarkan pada kemampuan akademis, bukan pada kemampuan sosial ekonomi murid. Akibatnya, beasiswa hanya diterima oleh mereka yang secara finansial sebetulnya sudah tidak mengalami kesulitan lagi. Sedikit orang miskin yang memiliki kemampuan akademis cukup baik sehingga sulit memperoleh beasiswa. Mayoritas orang miskin adalah bodoh, karena itu sulit memperoleh beasiswa. Orang awam semula berharap bahwa reformasi sampai pada tingkat memfasilitasi mereka agar bisa turut memperoleh beasiswa agar meringankan biaya sekolah (Darmaningtyas, 2005: 50).

C. Pengertian Kebijakan Pendekatan Movement

(60)

suatu pendekatan dalam perumusan kebijakan pendidikan yang mendasarkan diri pada aspirasi, tuntutan, serta aneka kepentingan yang didesakkan oleh masyarakat.

Di Negara yang menjunjung tinggi demokrasi, diyakini bahwa pemerintah dibuat dari, oleh dan untuk rakyat. Kebijakan-kebijakan negaranya, termasuk kebijakan pendidikannya, sebagai bagian dari perangkat untuk menjalankan pemerintahan di Negara tersebut, juga berasal dari, oleh dan untuk rakyat. Karena itu, partisipasi masyarakat dalam kebijakan pendidikan bukanlah jargon baru lagi. Ia adalah suatu keniscayaan. Sehingga masyarakat memiliki ownership (kepemilikan) terhadap masalah kebijakan pendidikan, yang lebih tahu masalah yang dihadapi.

Hal ini juga diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989. Salah satu isu penting dalam undang-undang tersebut adalah pelibatan masyarakat dalam pengembangan sektor pendidikan, sebagaimana ditegaskan pada pasal 9 bahwa masyarakat berhak untuk berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Pasal ini merupakan kelanjutan dari pernyataan pada Pasal 4 Ayat 1 bahwa pendidikan di Indonesia diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan (Rosyada, 2007).

(61)

masyarakat sebagai miliknya. Dengan adanya perasaan memiliki terhadap kebijakan-kebijakan, masyarakat akan semakin banyak sumbangannya dalam pelaksanaan kebijakan, termasuk kebijakan pendidikan.

Partisipasi adalah suatu term yang menunjuk kepada keikutsertaan secara nyata dalam suatu kegiatan. Pastisipasi masyarakat dalam kebijakan pendidikan adalah keikutsertaan masyarakat dalam memberikan gagasan, kritik membangun, dukungan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan.

Dalam sistem pemerintahan yang top down, partisipasi masyarakat dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat dan diimplementasikan tidak begitu dipermasalahkan; tetapi pada sistem pemerintahan yang bottom up, tingginya partisipasi masyarakat dalam implementasi kebijakan dapat dijadikan sebagai indikasi sukses tidaknya suatu kebijakan (Imron, 2002).

Miftah Toha (1984) menggolongkan partisipasi masyarakat ke dalam tiga golongan, yaitu: (1) partisipasi mandiri, yang merupakan usaha berperan serta yang dilakukan secara mandiri oleh pelakunya, (2) partisipasi mobilisasi (3) pertisipasi seremoni.

(62)

tujuan, struktur, kurikulum, organisasi dan administrasi serta pembiayaan (Onny, 1979: 119).

Partisipasi masyarakat untuk kegiatan-kegiatan pendidikan didasarkan dari kenyataan bahwa terdapat pusat-pusat lain di luar sekolah yang mempunyai potensi edukatif. Hal ini terutama terdapat pada pusat-pusat usaha. Permasalahannya adalah bagaimana mengkaitkan pusat-pusat tersebut, baik asing, nasional maupun joint venture (usaha patungan) dengan kepentingan pendidikan. Lingkungan ini dapat diminta untuk mengadakan program-program pendidikan, pusat-pusat latihan, bengkel-bengkel dan mungkin pula dikembangkan apa yang disebut dengan “sistem magang” (Onny, 1979: 122).

Kebijakan dengan pendekatan Social Demand Approach atau disebut juga pendekatan movement, akan memunculkan bentuk partisipasi dari masyarakat. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, partisipasi adalah perihal turut berperan serta suatu kegiatan atau keikutsertaan atau peran serta (KBBI, 1996). Menurut Made Pidarta, partisipasi adalah pelibatan seseorang atau beberapa orang dalam suatu kegiatan (Pidarta, 1990: 53). Keterlibatan dapat berupa keterlibatan mental dan emosi serta fisik dalam menggunakan segala kemampuan yang dimilikinya (berinisiatif) dalam segala kegiatan yang dilaksanakan serta mendukung pencapaian tujuan dan tanggung jawab atas segala keterlibatan (Dwiningrum, 2011: 50).

(63)

terhadap kelompoknya (Santoso, 1997). Partisipasi menurut Huneryear dan Hecman adalah sebagai keterlibatan mental dan emosional individu dalam siatuasi kelompok yang mendorongnya memberi sumbangan terhadap tujuan kelompok serta membagi tanggung jawab bersama mereka (Huneryear & Hecman, 1992: 30). Demikian halnya dikemukakan oleh Cohen dan Uphoff (1997), partisipasi sebagai keterlibatan dalam proses pembuatan keputusan, pelaksanaan program, memperoleh kemanfaatan dan mengevaluasi program.

Partisipasi adalah sebagai hak masyarakat, yaitu setiap warga Negara atau masyarakat mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui sebuah institusi yang terkait. Ada tiga bentuk partisipasi setiap warga Negara. Partisipasi politik, partisipasi sosial, dan partisipasi masyarakat. Dalam hal ini hanya akan dipaparkan pengertian dari partisipasi masyarakat.

Partisipasi masyarakat menekankan pada “partisipasi” langsung warga

dalam pengambilan keputusan pada lembaga dan proses kepemerintahan. Gaventa dan Valderma menegaskan bahwa partisipasi masyarakat telah mengalihkan konsep partisipasi menuju suatu kepedulian dengan berbagai bentuk keikutsertaan warga dalam pembuatan kebijaksanaan dan pengambilan keputusan di berbagai gelanggang kunci yang mempengaruhi kehidupan warga masyarakat. Pengembangan konsep dan asumsi dasar untuk meluangkan gagasan dan praktik tentang partisipasi masyarakat meliputi (Budirahayu, 2005: 2-3).

(64)

pemerintahan. Sedangkan hak politik, sebagai hak asasi, tetap melekat pada setiap individu yang bersangkutan.

2. Partisipasi langsung dalam pengambilan keputusan mengenai kebijakan publik di lembaga-lembaga formal dapat untuk menutupi kegagalan demokrasi perwakilan. Demokrasi perwakilan masih menyisakan beberapa kelemahan yang ditandai dengan keraguan sejauh mana orang yang dipilih dapat mempresentasikan kehendak masyarakat luas.

3. Partisipasi masyarakat secara langsung dalam pengambilan keputusan publik dapat mendorong partisipasi lebih bermakna.

4. Partisipasi dilakukan secara sistematik, bukan hal yang insidental.

5. Berkaitan dengan diterimanya desentralisasi sebagai instrumen yang mendorong tata pemerintahan yang baik (good governance).

6. Partisipasi masyarakat dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan dan lembaga pemerintahan. Demokratisasi dan desentralisasi di Negara berkembang termausk Indonesia terjadi dalam situasi rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan dan lembaga pemerintah. Dengan melibatkan warga dalam proses pengambilan keputusan, maka diharapkan kepercayaan publik terhadap pemerintah dapat terus ditingkatkan, dan meningkatnya kepercayaan warga dipercaya sebagai indokator penting bagi menguatnya dukungan dan keabsahan pemerintah yang berkuasa.

(65)

pembangunan yang dilakukan dalam masyarakat lokal. Partisipasi masyarakat memiliki ciri-ciri bersifat proaktif dan bahkan reaktif (artinya masyarakat ikut menalar baru bertindak), ada kesepakatan yang dilakukan oleh semua yang terlibat, ada tindakan yang mengisi kesepakatan tersebut, ada pembagian kewenangan dan tanggung jawab dalam kedudukan yang setara (Parwoto, 2007).

Partisipasi dapat dibagi dalam berbagai bentuk. Partisipasi menurut Effendi, terbagi atas partisipasi vertikal dan partisipasi horizontal. Disebut partisipasi vertikal karena terjadi dalam bentuk kondisi tertentu masyarakat terlibat atau mengambil bagian dalam suatu program pihak lain, dalam hubungan di mana masyarakat berada sebagai status bawahan, pengikut atau klien. Adapun dalam partisipasi horizontal, masyarakat mempunyai prakarsa di mana setiap anggota atau kelompok masyarakat berpartisipasi horizontal satu dengan yang lainnya. Partisipasi semacam ini merupakan tanda permulaan tumbuhnya masyarakat yang mampu berkembang secara mandiri (Effendi, 2002).

(66)

Deskripsi dari tabel tersebut memberikan gambaran yang lebih empirik bahwa masyarakat pada dasarnya cenderung berpartisipasi dalam pembangunan pendidikan, tetapi di sisi lain tidak mudah untuk mengajak masyarakat berpartisipasi. Hambatan yang dialami oleh sekolah untuk mengajak partisipasi masyarakat dalam perbaikan mutu pendidikan membuktikan bahwa pendidikan belum sepenuhnya disadari sebagai tanggung jawab bersama. Realitas tersebut menguatkan asumsi sebelumnya bahwa partisipasi tidak mudah diwujudkan, karena ada hambatan yang bersumber dari pemerintah dan masyarakat.

Dari pihak pemerintah, kendala yang muncul dapat berupa: a) lemahnya komitmen politik para pengambil keputusan di daerah untuk secara sungguh-sungguh melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut pelayanan publik; b) lemahnya dukungan SDM yang dapat diandalkan untuk mengimplemantasikan strategi peningkatan partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik; c) rendahnya kemampuan lembaga legislative dalam mengaktualisasikan kepentingan masyarakat; d) lemahnya dukungan anggaran. Karena kegiatan partisipasi publik seringkali hanya dilihat sebagai proyek, maka pemerintah tidak menjalankan dana secara berkelanjutan.

(67)

Adanya kebijakan gerakan (movement) ini memunculkan paradigma demokratisasi dalam pendidikan. Semua upaya demokratisasi tidak akan efektif membawa berbagai perubahan tanpa didukung dengan pola pengelolaan sekolah yang sesuai. Oleh sebab itu, model manajemen yang harus dikembangkan dalam konteks demokratisasi sekolah adalah menajemen yang demokratis, yang memperbesar pelibatan teamwork dalam proses pengambilan putusan, perencanaan program, pendistribusian tugas dan wewenang, serta perubahan paradigma dalam menilai produktivitas kerja setiap unsur dalam organisasi sekolah, dengan orientasi kepuasan pelanggan (Rosyada, 2007).

Dalam sejarahnya, perkembangan proses demokratisasi dapat diidentifikasikan dalam empat masa atau gelombang, yaitu: 1) demokrasi dan desentralisasi; 2) demokrasi dan partisipasi; 3) demokrasi dan pemberdayaan (empowerment) ; 4) demokrasi dan good governance (pemerintah yang bersih dan terbuka). Keempat perkembangan demokrasi ini mempunyai dampak terhadap proses pendidikan dan manajemen pendidikan.

a. Demokrasi dan Desentralisasi

Referensi

Dokumen terkait

Gout artritis adalah Peradangan sendi sebagai manifestasi dari akumulasi andapan kristal monosodium urat, yang terkumpul di dalam sendi sebagai akibat dari tingginya kadar asam

Budidaya tanaman kenaf sebagai tanaman sela di bawah tegakan tanaman perkebunan, hutan tanaman industri (HTI), atau tumpang sari dengan tanaman semusim lain merupakan strategi

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat serta hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Evaluasi Program Pengelolaan

Hal ini dimaksudkan untuk lebih menentramkan para pekerja yaitu supaya lebih giat bekerja, karena kelak dihari tuanya mereka akan mendapatkan penghasilan yang layak berupa Jaminan

Program ini dikemas dalam bentuk yang menarik dan interaktif dibuat dengan menggunakan microsoft visual basic 6.0. Aplikasi ini Diharapkan dapat menambah pengetahuan masyarakat

Peraturan  Pemerintah  Nomor  38  Tahun  2007  tentang  Pembagian  Urusan Pemerintahan  Antara  Pemerintah,  Pemerintahan  Daerah  Provinsi,  dan Pemerintahan 

Cara mengatasi start menu tidak bisa diklik 1.. Klik boot, pilih safe mode, aply

Berdasarkan hasil dari pengolahan wawancara di atas, ditemukan hasil yang tidak sesuai dengan teori. Adapun hasil penemuan yang tidak sesuai dengan teori adalah : Penghitungan