o
ALA M
PENGDBATAN MASTITIS.PADA SAPI
S K R I P S I
Oleh
FLAVIANA EN DANG SUMIATI SALIM B. 17 1147
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITIJT PERTANIAN BOGaR
RINGKASAN
FALVIANA ENDANG
suセャiati@SALIM.
Penggunaan Kelompok
1so-xazole Penicillin Dalam Pengobatan Mas ti tis Pada Sapi
(Di bawah bimbingan Drh. BOEDIMAN POERWODIREDJO sebagai
ketua dan DR. FACHRIYAN HASMI PASARIBU DVM. sebagai
ang-gota) •
Mastitis adalah peradangan kelenjar ambing yang
di-tandai dengan perubahan sifat kimiawi, fisika dan
mikro-biologi dengan pertambahan sel-sel somatik, terutama
leu-kosi t di dalam air susu juga dise:t,tai dengan perubahan
patologis dari kelenjar ambing tersebut.
Penyakit ini
sebagian besar (lebih dari
90%) disebab},an oleh bakteria
terutama dari genus Staphylococcus dan Streptococcus.
Penyakit mastitis ini telah menimbulkan masalah
ter-besar dan merupakan penyakit terpenting dalam peternakan
sapi, khususnya sapi perah.
Terutama kerugian ekonomi
yang diakibatkan dan sulitnya pengendalian serta
pembe-rantasan penyakit tersebut.
Antibiotika yang merupakan obat yang paling penting
dan paling banyak digunakan dalam menanggulangi penyakit
ini, hingga sekarang sudah tersedia cukup banyak.
Peng-gunaan yang tidak tepat dapat menimbulkan efek yang tidak
diharapkan. Oleh karena itu harus dipilih antibiotika
yang tepat dan efektif serta penggunaan dosis dan cara
diharapkan memiliki pengetahuan tentang antibiotika
ter-sebut. Dalam tulisan ini dibahas tentang penggunaan
anti-biotika kelompok isoxazole penicillin, khususnya
cloxaci-llin yang bersifat stabil dalam penicicloxaci-llinase yang
diha-silkan oleh Staphylococcus. Selain itu cloxacillin
ber-sifat aktif dalam melawan Staphylococcus dan sエイ・ーエッ」ッセ@
PENGGUNAAN KELOMPOK ISOXAZOLE PENICILLIN
D A L A M
PENGOBATAN MASTITIS PADA SAPI
S K R I P S I
Oleh
FLAVIANA ENDANG SUMIA'J'I SAMM
Sarjana Kedokteran Bewan (-1984)
B. 17 1147
Skripsi ini diajukan kepada pani tia skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Dokter Bewan pada Fakultas Kedakteran Bewan
Institut Peritanian Bogar
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
D A L A M
PENGOBATAN MASTITIS PADA SAPI
Oleh :
FLA VIANA ENDANG S UMIATI SALIM
Sarjana Kedokteran Hewan
(1984)B. 171147
Skripsi ini telah diperiksa
dan disetujui oleh :
Drh.
Boediman Perwodiredjo
.I'embimbing Utama
Tanggal1j{
_
'J,;-DR.
Fachriyan H. P. DVM •
Pembimbing Anggota
Tanggal
Zセサ[@/
Jr
Skripsi ini telah diseminarkan di RUqng Sidang
Penulis dilahirkan pada tanggal 5 Agustus 1961 di sebuah pulau yang terkenal dengan hasil tambang timahnya,
yaitu pulau Bangka, tepatnya di kota Pangkalpinang yang termasuk daerah wilayah Propinsi Sumatera Selatan. Meru-pakan anak lIe delapan dari sebuah keluarga besar yang
ber-jumlah sebelas orang saudara, dari Papa Junardi Salim dan
Mama Nurjati Sutiono.
Penulis memulai pendidikannya pada tahun 1967 di
Taman Kanak-Kanak Santa Ther",'sia Pangkalpinang, dan di-lanjutkan di SD Santa Theresia Pangkalpinang sejak tahun 1968 hingga tahun 1973. Kemudian tahun 1974 memasuki
S ekolah Menengah Pertama dan lulus berj. jazah tahun 1976 dari SMP Negeri I Pangkalpinang. Tahun 1977 memasuki
Sekolah Menengah Atas dan berhasil menerima ijazah pada
pertengahan tahun 1980 dari SMA Negeri Pangkalpinang.
Penulis kemudian melanjutkan pendidikannya dengan memasuki perguruan tinggi Institut Pertanian Bogor mela-lui Proyek Perintis II pada pertengahan tahun 1980. Pad",
tahun 1981 dijuruskan menjadi mahasiswa Fakultas
Kedok-teran Hewan. Sejak tanggal 1 September 1984 dinyatakan
lulus ujian Sarjana Kedokteran Hewan dan pada tanggal
29 September 1984 dilantik sebagai Sarjana Kedokteran
UCAPAN TERIMAKASIH
Dengan hati penuh rasa syukur penulis haturkan keha-dirat Tuhan Yang Maha Pengasih atas rakhmat dan
karunia-Nya sehingga pellulis dapat menyelesaikan kuliahnya dan
menyusun tulisan ini dengan baik.
Dalam kesempatan ini penulis berkenan mengucapkan rasa terimakasih seta penghargaan yang setinggi-tinggi-nya kepada bapak Drh. Boediman Poerwodiredjo selaku dosen
pembimbingutama dan bapak DR. Fachriyan H. Pasaribu DVM. selalm dosen pembimbing anggota, yang telah me;Luangkan
waktunya dalam memberikan bimbingan serta pengarahan de-ngan tulus ikhlas mulai dari persiapan hingga tersusunnya tulisan ini.
Rasa terimakasih yang sebesar-besarnya penulis
per-sembahkan juga kepada Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Fakultas Kedokteran Hewan, seluruh staf Pengajar
Insti tut Pertanian Bogor pada umumnya, seluruh staf
Penga-jar }<'akul tas Kedokteran Hewan pada khususnya, serta semua
ci vi tas academica Fakul tas Kedokteran Hewan IPB.
Tak lupa ucapan terimakasih penulis kepada para
pe-gawai perpustakaan Fakultas Kedokteran Hewan, pepe-gawai perpustakaan Balai Penelitian Veteriner Bogor dalam usa-hanya membantu menyediakan bahan-bahan pus taka.
Khusus kepada Papa dan I'lama tercinta yang telah
yang setulus-tulusnya. Juga kepada kakak-kakak dan
adik-adik tersayang serta semua pihak yang telah membantu
penu-lis selama menyelesaikan tupenu-lisan ini.
t'Jenyadari kekurangan-kekurangan pada tulisan ini
pe-nulis mengharapkan saran serta kri tik membangun demi
per-baikan untuk penulisan selanjutnya. Besar harapan penulis
bahwa tulisan ini bermanfaat bagi pihak yang
memerlukan-nya.
Bogar, September 1985
DAFTAR lSI
B A B Halaman
UCA1'AN 'J'ERIlVIAKASIH ••••••..••••••••••••••• i
DAI"l'AR lSI ..•••••••••••••••••.••••••••••• i i i
dャセャエGGャャj|Nr@ rrA13EL ... i v
DAF'J'AR Gld'iBAR •••••.••••••••••••••••.•.••• v
I • PBNDAHU.LUl\N. . • • . • • . • • • • • • . . • • • . • • • • • • • • • • 1
I I. MAS'I'InS DhN l'BNGER'l'IANNYA ••••••••••••••• 4
II I . ISOXAW1,E l'BNICILLIN .•.•••••••..•.•.••••• 11
I V •
v.
VI.
Oxacillin ••••••••••.••••••.•••••..••••
16-Cloxacillin . . . • . . . • 18
Dicloxacillin ... 24
Ic'lucloxacillin ... ..
PJ:!;RlvIAS1I..MtIAN ... ..
liliSIMPU.LIIN DAN SARAN •••••.•••••.•••••••••
daiGセNGar@ l'US'J'AKA
...
26
29
38
41
Tabel Halaman
1. Gugus samping anggota kelompok Isoxazole
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
Pada masa pembangunan sekarang ini Pernerintah telah
melakukan berbagai usaha peningkatan dalam segala bidang, terrnasuk bidang peternakan. Salah satu usaha Pernerintah
dalarn bidang peternakan adalah rneningkatkan produksi susu
dalarn negeri, yai tu dalarn rangka rneningkatJ<an rnutu gizi masyarakat, memberikan lapangan kerja dan rneningkatkan
penghasilan peternak. Untuk tereapainya tujuan tersebut, telah dikembangkan peternakan sapi perah oleh para petani peternak keeil yang dikoordinasi rnelalui
koperasi-kopera-si, baik dengan sapi-sapi perah bibit unggul dalam negeri rnaupun yang diirnpor dari luar negeri.
Di dalam peternakan sapi perah, selalu di temui kasus
penyakit mastitis, yaitu penyakit peradangan kelenjar am-bing yang pada umurnnya rnenyerang sapi, dan selalu merupa-kan rnasalah yang paling besar. Mastitis ini dapat
menye-babkan produksi susu rnenurun atau berhenti sarna sekaIi, bahkan dapat menirnbulkan kernatian sapi perah tersebut.
Karena itu mastitis rnerupakan penyakit yang paling banyak
menyebabkan suatu \lsaha sapi perah gulung tikar. Menurut
Dobbins Jr. (1977) dan Sexton (1977) di Arnerika Serikat
dan Inggris diperkirakan separuh dari sapi-sapi perahnya rnenderita mastitis dalarn pelbagai bentuk, dan kerugian
oleh karena mastitis di Arnerika Serikat ditaksir sebanyak
2
Budiharta, 1985a). Sedangkan menurut Blosser (1979)
ke-rugian tersebut pad a tahun 1976 ditaksir sebesar 1.294 milyar dollar dan kerugian terbesar disebabkan oleh
penu-runan produksi susu yang disebabkan oleh mastitis
subkli-nis (Nurhadi, 1984). Menurut Meijering dkk. (1978) dalarn Hirst dkk. (1985a) dan Schalm dkk. (1971) dalarn Hirst dkk.
(1985b), mastitis pada sapi tetap merupakan penyakit pa-ling penting di dunia yang menyerang sapi perah melalui efeknya pada produksi dan kualitas susu serta biaya peng-obatannya.
Untuk mengatasi masalah mastitis ini sudah banyak di-lakukan penelitian,.terutama di negara-negara maju seperti
Amerika Serikat, Australia, Inggris dan negara-negara
Ero-pa lainnya, sedangkan di Indonesia masih sangat sedikit penelitian yang dilakukan, sehingga situasi tentang mas-titis ini belum banyak diketahui.
Dalam mengatasi mastitis pada sapi, antibiotika
me-megang periman yang penting. Hingga saat ini sudah
demi-kian banyak antibiotika yang tersedia dan dari sedemi-kian an-tibiotika yang tersedia ini kita dihadapkan dalarn
pemilih-an pemilih-antibiotika mpemilih-ana ypemilih-ang tepat dpemilih-an efektif terhadap kasus
yang ditemui. Hal ini memerlukan pengetahuan tentang an-tibiotika dan kasus mastitis yang dihadapi, terutama untuk
Akhir-akhir ini kelompok isoxazole penicillin yang
merupakan turunan dari penicillin, telah banyak pula
di-gunakan orang dalam pengobatan mastitis pada sapi. Sudah
banyak penelitian yang dilakukan terhadap penggunaan
ke-lompok antibiotika ini, khususnya cloxacillin. lsaxazole
penicillin ini dipilih berdasarkan kenyataan bahwa
masti-tis pada sapi umumnya disebabkan oleh Staphylococcus dan
Streptococcus, sedangkan Staphylococcus ini umumnya dapat
menghasilkan penicillinase yang menyebabkannya resistensi
terhadap penicillin G. Dan berdasarkan aktivitasnya dalam
melawan Staphylococcus yang resisten terhadap penicillin G
ini, cloxacillin telah menjadi obat pilihan ("drug of
choice") dalam pengObatan mastitis pada sapi. Dan
cloxa-cillin ini telah dipelajari di banyak negara, tapi-
khu-susnya oleh National lnsti tute for Research in Dairying
(NIRD) di United Kingdom sebagai antibiotika utama untuk
penggunaan dalam program mastitis kontrol (Brander dan
Pugh. 1977).
Tulisan ini disusun sedemikian rupa sehingga
diharap-kan dapat memberi gambaran dan sumbangan informasi untuk
keperluan dalam pemilihan antibiotika yang tepat dalam
BAH 11 • . I'lASTITIS DAN PENGEHTIANNYA
l'iasti ti s berasal dari bahasa Yunani, yai tu mastos
artinya kelenjar ambing dan akhiran itis artinya
menan-dakan adanya peradangan atau perbarahan. Menurut Inter-nationalen Milchwirtschaftsverbandes (1969), mastitis adalah peradangan kelenjar ambing yang ditandai dengan perubahan sifat kimiawi, fisika dan mikrobiologi dengan pertambahan dari sel-sel somatik, terutama leukosi t di
dalam air susu juga disertai dengan perubahan patologis
dari kelenjar ambing tersebut (Blobel dan Schliesser,
1 980) •
Dapat dibedakan antara mastitis subklinis dengan am-bing normal dan mastitis klinis, berdasarkan batasan-ba-tasan yang diberikan International Dairy Federation
(I.D.F. Buletin for 1976, part III dalam Claxton, 1980):
1. Ambing normal adalah ambing yang tidak memperlihatkan tanda-tanda perubahan patologik dan susu yang
dihasil-kannya tidak mengandung mikroorganisme patogen dan jumlah sel somatiknya kurang dari 500.000 sel per ml susu.
2. Infeksi laten adl1lah ambing yang susunya mengandung mikroorg<.,nisme patogen tapi jumlah sel somatiknya
te-tap normal.
3. Mastitis subklinis adalah keadaan dimana kelenjar am-bing tidak memperlihatkan adanya perubahan s ccara
adanya infeksi ambing dengan adanya penambahan jumls.h
sel somatik dan perubahan-perubahan kimiawi dari susu
yang dihasilkannya.
4. Mastitis klinis:
a. Mastitis akut adalah keadaan dimana peradangan
am-bing jelas gejalanya, seperti panas, sakit dan
bengkak, sedangkan secara makroskopik susu tampak
abnormal dan hewan dapat meningkat suhu tubuhnya.
b. Mastitis subakut adalah keadaan dengan kelenjar
ambing tidak memperlihatkan perubahan yang jelas,
tapi pada susu awal ("foremilk") terlihat ad any a
gumpalan-gumpalan (" clots" ).
5. l'lasti tis non-spesifik atau mastitis aseptik adalah
keadaan ambing dimana tidak ada perubahan atau
infek-si yang jelas dan gejalanya bisa suklinis ataupun
klinis.
6. Mastitis kronis terjadi jika sebuah kuartir gagal
un-tuk memberi reaksi terhadap pengobatan dalam jangka
waktu yang lama. Kuartir itu mungkin menjadi atrofi
(mengecil) atau memperlihatkan perubahan klinik yang
abnormal untuk kehidupan selanjutnya.
Masti tis dapat diseb"bkan oleh berbagai macam faktor
penyebab, oleh karena i tu derajat intensi tas dan lama
per-jalanan penyakitnyapun dapat bervariasi. Umumnya mastitis
6
saluran puttng susu ke bagtan dalam kelenjar arnbing
(Nur-hadi, 1984).
Berdasarkan penyebabnya, mas ti tis dapat di bagi
menja-di dua, yaknt yang infekstus dan yang non-spesifik.
Ada-pun mastitis non-spesifik diaktbatkan oleh trauma mekanis,
sedangkan mastitis infeksius disebabkan oleh
mikroorganis-me yang mikroorganis-mengtnfekst kelenjar ambing. Mikroorganisme
pe-nyebab dapat berupa virus, fungi atau bakteria.
Renk,
w.
(1967) masih meragukan terjadinya mastitisyang disebabkan oleh virus (Pasaribu, 1977). 0edangkan
Afshar dan Banister (1970) telah menyatakan adanya virus
sebagai penyebab mastitis secara primer atau sckunder
(Pasaribu, 1977). Di indonesia sendiri kasus mastitis
oleh virus ini belum dilaporkan.
Mastitis yang disebabkan oleh fungi atau mastitis
mi-kotik telah banyak dilaporkan orang terutarna oleh
peneli-ti-penelitt di luar negeri. Umumnya kejadian.mastttis.m;-.
kotik dimungkinkan setelah pengobatan mastitis bakterial
dengan antibiotika, sehingga sedikit sekali dugaan bahwa
mastitis mtkottk timbul sebelum pengobatan dengan
antibi-otika (GhoHb dkk., 1982 dan GhoHb dkk., 1983).
セャ・ョオイオエ@ GhHb dkk. (1982) dan Gholib dkk. (1983), secara kuali tattf ·masti tis mikotik dapat ditemukan pada
sapi-sapi perah di Indonesia. Dan jemis-jenis ragi yang
Rhodotorula sp. dan Geotrichum sp.
Victorian Mastitis Research Group (1980) berpendapat
lebih dari 90X mastitis disebabkan oleh bakteria, teruta-rna genus Staphylococcus dan Streptococcus (Nurhadi, 1984).
Menurut Wilson (1961) serta Frost dan O'Boyle (1981), Staphylococcus aureus pada umumnya dapat diisolasi dari
kasus mastitis pada sapi (Craven dkk., 1983).
Rahman dan Baxi (1983), mendapatkan bahwa 61,97% dari
masti tis pad a sapi dan kerb au di India disebabkan oleh infeksi Staphylococcus, yaitu S. aureus 、。ョセN@ epiermidis. Hasil penelitian Rahman dan Baxi tersebut mendukung hasil peneli tian dari !Viy lrea dkk. (1977) pada sapi perah di
ne-gara bagian New South vlales Australia, dimana prosentase mastitis yang disebabkan oleh セN@ aUreus (26%) lebih ting-gi daripada mastitis yang disebabkan oleh Streptococcus
agalactiae (4,
'J'/o).
Hasil survei mastitis yang dilakukan Wilson dan Richards (1980) pada sapi perah memberikan ha-sil hampir sarna, bahwa prosentase mast! tis subklinis yang disebabkan oleh Staphylococcus lebih tinggi daripadaStreptococcus (Nurhadi, 1984).
Agus Nurhadi (1984) dalam penelitiannya di Kecamatan
Lembang, Kabupaten Bandung terhadap 125 ekor sapi perah mendapatkan prosentase kejadian mastitis subklinis pada
sapi perah yang diamati sangat tinggi, yai tu 96,7% dan
セN@ epidermidis (7,5%), Sc. uberis (2,7%). Bacillus sp.
(2,7%), Sc. d,ysgalactiae (2,1%), セN@ aureus (0,7%) dan Escherichia coli (0,2%). (Nurhadi, 1984).
Dalam survei kejadian mastitis di Daerah Istimewa
Yogyakarta oleh Warudju dan Budiharta (1985) berhasil
.
mendapatkan isolasi S. albus, S. citreus, S. aureus, -
-
-セエイ・ーエッ」ッ」」オウ@ sp., Escherichia coli, bakteria coliform 8
lain, }'seudomonas sp., dan dua cendawan yakni Penicillium sp. dan セ」ッーオャ。イゥッーウゥウN@ (Warudju dan Budiharta, 1985b).
Perbedaan hasil tersebut dapat disebabkan oleh
per-bedaan daerah, lingkungan, akibat perlakuan pengobatan
sebelumnya dan perbedaan pengalaman beternak dari
peter-nak itu sendiri. Faktor yang paling akhir disebutkan
ini telah dibuktikan kebenarannya oleh Warudju dan Budi-harta (19tl5a). Dinyatakannya bahwa makin lama pengalaman beternak makin kecil preve.lens i mastitis atau makin mampu
peternak menekan kejadian mastitis (Warudju dan
Budihar-ta, 1985a).
Gejala klinis yang di timbulkan sangat bervariasi, tergantung dari mikroorganisme penyebabnya. Mastitis
kli-nis ditandai dengan gejala-gejala panas, sakit, merah dan bengkak, atau dengan indurasi, yang dapat terjadi bersama-sarna atau tanf.a gejala-gejala yang disebut pertama.
itu tidak terlihat, tetapi diketahui adanya dengan
berba-gai uji susu untuk menunjukkan adanya produk-produk
pera-dangan (Warudju dan Budiharta, 1985b). Pada umumnya
mas-titis berjalan kronis, berlangsung berbulan-bulan yang
un-tuk sebagian besar waktunya dalam benun-tuk subklinis dengan
sekali-sekali secara periodik kambuh dengan gejala-gejala
klinis akut atau subakut, yang dalam waktu tidak terlalu
lama mengurang kembali dalam bentuk subklinis (Warudju
dan Budiharta, 1985a). Peradangan yang terjadi adalah
sebagai reaksi tubuh terhadap metabolit dan toksin yang
dihasilkan oleh metabolisme bakteria yang merangsang
ja-ringan kelenjar ambing. Dan gejala-gejala yang nampak
merupakan ekspresi pertahanan tubuh (homeostase) yang
ber-tujuan untuk memperbaiki kerusakan jaringan tubuh serta
menghilangkan bakteria penyebab dan mengembalikan, keadaan
tubuh seperti normal (Nurhadi, 1984).
Jika gejala yang ditimbulkan nampak jelas maka dapat
didiagnosa dengan mudah sec"ra klinis saja. Tapi pada
umumnya gejala tidak nampak dengan jelas, oleh sebab itu
perlu diadakan uji susu, seperti Uji Katalase, California
Nastitis Test HcセitIL@ White Side Test, Brabant Mastitis Test (BM'r), Rapid Mastitis Test (RM'r) , Aulendorfer
Masti-tis Test (AMT), Wisconsin MastiMasti-tis Test dan Kieler セ・ャャ@
10
Dalam penanggulangan penyakit mastitis ini, yang
pa-ling sering dipakai adalah antibiotika. Pemakaian
obat-obat yang tepat dan cara-cara pengobat-obat;,n yang benar adalah
penting dalam pengendalian mastitis. Cara-cara pengobatan
yang kurang tepat akan menimbulkan resistensi, sehingga
Penicillin G telah dipakai dalam penggunaannya
seca-ra klinik sejak tahun 1929. Walaupun merupakan antibio-tika yang paling tua, hingga saat' ini masih digunakan orang secara ekstensif terutama dalam bidang veteriner.
Sebuah kemajuan yang penting dalam terapi dengan pe-nicillin adalah telah dibuatnya pepe-nicillin buatandengan
perubahan-perubahan pada gugus samping inti penicillin,
yang dapat melindungi beta-lactam pada inti penicillin
daripada pengaruh ・ョセゥュ@ penicillinase tanpa merubah akti-vitas antibakterialnya (Siwak, 1978).
Penicillin pertama yang stabil terhadap penicillina-se adalah methicillin yang pertamakali dilepaskan untuk
penggunaan klinik pad a tahun 1960. Kemudian diikuti oleh nafcillin, oxacillin, oloxacillin, dicloxacillin dan· flu-cloxacillin. Penicillin-penicillin ini stabil terhadap
penicillinase yang dihasilkan oleh Staphylococcus, tapi
menunjukkan perbedaan-perbedaan dalam spektrum bakterial, daya pengikatan protein dan konsentrasi antibiotika ter-sebut dalam serum setelah pemberian secara oral dan
par-enteral (Siwak, 1978).
Methicillin tidak stabil dalam larutan yang bersifat asam dan harus diberikan secara parenteral. Nafcillin diketahui mempunyai daya aktivitas yang sangat tinggi -terhadap Staphylococcus yang resisten -terhadap penicillin,
12
Berbeda dengan methiCillin, nafcillin diabsorbsi setelah
pemberian secara oral tapi kadar dalam darah yang dicapai
adalah rendah (0iwak, 1978).
Keempat penicillin yang disebut paling akhir,
dike-nal sebagai "isoxazole penicillin". I'iereka ini stabil
terhadap penicillinase yang dihasilkan oleh Staphylococcus
dan mempunyai derajat aktivitas tinggi dalam melawan
Sta-phylococcus, bail, yang sensitif maupun yang resistean
ter-hadap penicillin (diwak, 1978). Menurut 0tewart (1965),
aktivitas mereka lebih tinggi dibandingkan dengan
methi-cillin.
Strain-st,rain Staphylococcus yang pada hakekatnya
re-sisten terhadap methicillin, telah diisolasi dari
sumber-sumber manusia dan strain-strain ini menunjukkan
resisten-si resisten-silang terhadap cloxacillin dan isoxazole penicillin
lainnya (;oiwak, 1978).
Gambar 1. Rumus umum Isoxazole Penicillin (Stewart, 1965)
s
/ \
R-"-il - -
C -CONH. i l l - - y H - l - ( C H 3 ) 2ti C - - R ' C--N--Cli-COOH
Tabel 1. Gugus samping anggota kelompok Isoxazole Penicillin
Nama anggota kelompok
Oxacillin
(3-phenyl-5-methyl-)
Cloxacillin (3-(2 chlophenyl)-5-methyl- )
Dicloxacillin
(3-(2,6 dichlorphenyl)-5-methyl- )
Flucloxacillin
(3-(2-chloro-6-fluorophenyl)-5-methyl-)
Gugus samping
D
\-C-C-co-セjijQ@
N C
\ I
"CHJo
-CI
U -
c-c-co-'Y
II IIセ@ C
rf
'CHJ_CI
u-
c-c-co-セiOii@
CI N C\ / " o CH
J
--CI .
g-
c-c-co-'F
II II
N C\ 1'\ .
o CII,
[image:25.612.83.498.69.517.2]14
Kelompok isoxazole penicillin ini sarna seperti
peni-cillin lail'mya, memepuriyai sifat bakterid (membunuh
bak-teria) dan bekerja aktif pada saat fase pertumbuhan.
Mekanisme kerjanyapun mirip dengan penicillin pada
umurnnya, yaitu dengan mengganggu biosintesa mukopeptida
dinding sel bakteria. Gangguan struktur dinding sel ini
membuat bakteria tersebut menjadi tidak kuat untuk
mena-han tekanan osmotik yang tidak menentu, sehingga dalam
lingkungan yang bersifat hipotonik tersebut ia akan ュ・セ@
nyerap air, menjadi bengkak dan akhirnya pecah. Daya
kerja ini akan menjadi kurang efektif jika metabolisrne
sel rnenurun oleh obat yang bersifat bakteriostatik Hュ・ョセ@
cegah pertumbuhan bakteria).
Pada umumnya kelornpok isoxazole penicillin ini
digu-nakan untuk mengobati infeksi Staphylococcus yang res
is-ten terhadap penicillin G. Juga dipakai untuk ゥョヲ・ォセゥ@
carnpuran Streptococcus dan Staphylococcus ketika
Staphy-lococcus resisten terhadap penicillin G.
Efek toksik yang di timbulkan akibat pemberian
prepa-rat-prcparat ini pada pemberian secara parenteral adalah
sarna dengan efek yang diakibatkan penicillin G terhadap
pasien yang hipersensitif yakni berupa gejala shock
ana-filaktik dengan kollaps dan kadang-kadang kematian dapat
terjadi d"lam beberapa menit. keaksi sensitivitas umurn
seperti: urtikaria, demam, rasa sakit yang menyeluruh,
walaupun suatu reaksi nrtikaria yang dipercepat dapat
ber-kembang dalam beberapa jam. Tetapi efek di atas tidak
ter-jadi pad a pemberian secara lokal (intramammary), walaupun
terjadi hanya berupa rangsangan lokal.
Pengendalian akibat efek toksik yang ditimbulkan
da-pat diatasi dengan berbagai cara, tapi Jika reaksi
kuta-neus yang terjadi, kemungkinan dapat hilang secara
apon-tan dalam beberapa jam atau beberapa hari. Kontrol
reak-si mung kin dapat dicoba dengan pemberian antihistamin at au
jika tidak berhasil dapat digunakan corticosteroid.
Desensitisasi juga dapat dicoba. Pada tanda pertama dari
reaksi yang cepat terhadap pengobatan penicillin, dapat
diberikan dengan 0,3 hingga 1 ml larutan Adrenaline
seca-ra intseca-ramuakular atau pada kasus-kaaus beseca-rat dosis 0,2 ml
dapat mengencerkan dengan baik dengan cara intravena.
Jika perbaikan tidak terjadi dapat diikuti dengan dosis.
berikutnya. Aminophylline (250 mg dalam 10 ml) dapat
di-berikan secara intravena, sedangkan antihistamin seperti
diphenhydramine atau chlorpheniramine yang diberikan
seca-ra parenteseca-ral mungkin dapat beseca-rarti. Jika urtikaria dan
rasa sakit yang menyeluruh terjadi dengun hebat, dapat
di-obati dengan corticosteroid secara oral. Penicillinase
telah dianjurkan untuk pengobatan segera pada shock
16
dalam menggunakannya karena ia sendiri dapat menyebabkan reaksi allergi.
OXACILLIN
Derivnt ini disintesa oleh group Beecham di Inggris
dan oleh group Bristol di Amerika, dan pertamakali dila-porkan pada tahun 1961. Preparat ini kemudian di produksi
secara komersial setelah percobaan secara klinik di
Syra-cuse, N.Y. oleh Bunn dan Amberg (Stewart, 1965). Para
ahli seperti Branch dkk. (1962); Leduc dkk. (1962 ):dan Kirby dkk. (1962), menunjukkan bahwa pemberian secara oral adalah efektif dalam infeksi-infeksi yang cukup berat yang
disebabkan oleh Staphylococcus penghasil penicillinase
(Stewart, 1965), walaupun dikemukakan bahwa preparat
ter-sebut tidak s"lalu memberi konsentrasi hambat serum dan bahwa aktivitas dalam respek ini mungkin diperbaiki oleh modifikasi dari molekul yang berikutnya, yai tu cloxaciLI in.
Efek terapeutiknya juga tidak dapat diandalkan.
Oxacillin sodium mempunyai aktivitas antimikrobial
yang sama dengan cloxacillin sodium, tapi sedikit kurang aktif melawan penicillinase yang dihatlilkan oleh
Staphylo-coccus.
Oxacillin sodium iili juga lebih stabil dalam asam
lambung sebanding dengan penicillin G atau methicillin,
tetapi kurang stabil dibanding dengan
Seperti pada umumnya isoxazole penicillin lainnya,
oxacillin juga diabsorbsi dengan cepat. Daya absorbsi ini
berkurang deng<,n adanya makanan dalam larnbung dan UEUS
ha-Ius. Daya absorbsi ini lebih sedikit dibandingkan 、・ョセ。ョ@
cloxacillin ataupun dicloxacillin.
Konsentrasi plasma tertinggi yakni 。ョエLセイ。@ 3-6 mcg
per ml dicapai dalam waktu 1 jarn setelah pemberian dosis
500 mg yang diberikan pada waktu sebelum makan. Pemberian
secara intramuskular dengan dosis yang sarna (500 mg)
kon-sentrasi tersebut dicapai dalam waktu 30 menit. Menurut
Prigot (1962) tidak ada penambahan dalam serum pada
pem-berian dosis tinggi (4 g sehari) atau pempem-berian ulan/!,
(Stewart, 1965). Tetapi konsentrasi plasma yang tinggi
dapat diproduksi dengan mudah dengRn pemberian probenecid,
sebagai adjuvant (Stewart,1965 dan Martindale, 1979).
セi・ョオイオエ@ Kunin (19b7) waktu paruh oxacillin dalam serum
adalah 0,5 jam エセャ。イエゥョ、。ャ・L@ 1979).
Sama seperti penlcillin lainnya, oxacillin berdifusi
ke dalam air susu, cairan amnion dan cairan tubuh lainnya,
tapi tidal, dalam cairan cerebrospinal (CS}'), kecuali
de-ngan pember ian dosis tinggi secara intramuskular.
Rupa-nya oxacillin dapat diberikan dengan aman kepada ibu-ibu
yang sedang hamil dan ibu-ibu yang sedang menyusui, baik
18
Menurut Martindale (1979), kira-kira 95% oxacillin
dalam sirkulasi diikat pada protein plasma, sedangkan
menurut Verwey (1962), sirkulasi oxacillin dalam plasma
adalah 60-70% ikatan protein, bahkan jika konsentrasi
to-tal protein lebih rendah seperti dalam limfe, oxacillin
masih seki tar 50/0 (Stewart, 1965).
Oxacillin diekskresikan dengan cepat oleh ginjal
da-lam bentuk tidak kompli t, tapi lebih da-lamban di banding
de-ngan penicillin G dan methicillin. Menurut Kunin (1967)
oxacillin yang diekskresikan dalam urin tersebut adalah
s ekitar 40,!b (JVlartindale, 1979) • S elain dalam urin
oxaci-llin juga diekskresikan dalam empedu, pleural, cairan
am-nion dan dalam air susu, tetalli tidak dapat merembes
de-ngan baik ke dalam cairan cerebrospinal yanf normal.
Me-taboli t-meMe-taboli t mungkin juga terbentuk (:stewart, 1965).
ClDXACI111 N
Cloxacillin adalah penicillin semisintetik yang
ditu-runkan dari inti penicillin, 6-APA (6-amino-penicillanic
acid), yang ditemukan oleh Beecham Research Laboratories
pada tahun 1957 (Aronson, 1983) dan di laporkan
pertamaka-Ii pada tahun 1 ':)62. Derivat isoxazole dari 6-APA ini
di-seleksi oleh paTa ahli di Inggris pada tahun 1962 sebagai
isoxazole yang lebih unggul daripada yang terdahulu
(oxa-cillin) (Stewart, 1965). Perbedaannyadengan oxacillin
yang terakhir d81am tiga posisi pada cine in benzene,
nam-paknya memberi aktivitas antibakterial yang sedikit lebih
tinggi sebagai anti staphylococcus, dan bersama-sama
de-ngan absorbsi yang lebih baik secara klinik. Menurut
Kudsen dkk. (1962) d.an Knox dkk. (1962), hasU awal mem-beri kesan yang sarna (stewart, 1965). Dalam serum respek
lainnya, cloxacillin menunjukkan reaksi yang sarna dengan
oxacillin.
Percobaan klinik yang pert8ma pada cloxacillin
dise-lenggarakan oleh para ahli pada enam buah rumah saki t
be-sar, yang menyelidiki pasien-pasien dengan variasi
infek-si-infeksi hebat yang disebabkan oleh Staphylococcus
peng-hasil penicillinase untuk diobati. Stewart (1962) ュ・ョケ。セ@
takan hasil dari 92 pasien memperlihatkan 73 pasien
sem-buh atau banyak yang menjadi lebih baik. Kegagalan 。エセオ@
ketidaktentuan hasil pengobat.an pada yang lainnya
biasa-nya disebabkan oleh pebiasa-nyaki t kornplikas i (Stewart, 1965).
Kebanyakan pasien menerima terapi secara oral dengan
do-sis 20-40 mg per kg per hari, tetapi itu harus
betul-be-tul dipertimbangkan terhadap hal-hal yang diperlukan
da-lam kasus-kasus berat untuk memulai terapi dengan
pembe-rian secara intramuskular (Stewart, 1965). Obat ±ni bertoleransi baik dengan tiap-tiap cara, uji toksisitas
terhadap ginjal, hati dan hemopoeitik memberi hasil
20
Sejak i tu kemanjuran secara klinik daripada
cloxaci-llin telah di perkuat oleh ahli lainnya (Knox dkk., 1962 ;
Bunn dkk. , 1963 dan Sidell dkk., 1964) termasuk dua ahli
yang telah melakukan penelitian secara ekstensif dengan
oxacillin (stewart, 1965). Jika seperti nampaknya, bahwa
cloxacillin itu lebih unggul daripada oxacillin (stewart,
1965 ).
Menurut Kingwill dkk. (1967), benzathine cloxacillin
telah diinfuskan kepada 5.000 ekor sopi perah selama masa
kering kandang dan dengan dosis 1-5 g benzathine
cloxaci-llin ini sarna-sarna efektif dalam sistim kontrol dan
pence-gahan masti ti s (Hurber, 1982). Cloxacillin ini
sungguh-sungguh telah digunakan secara luas pada beberapa negara
dalam mengobati mastitis pad a sapi (llurber, 1982).
Cloxacillin sangat stabil terhadHp penicillinase yang
dihasilkan oleh Staphylococcus dan kebanyakan
Staphyloco-ccus yang resisten terhadap penicillin adalah sensitif
terhadap dosis 1,25 mcg per ml dari antibiotika ini
(Si-wak, 1 976) .
Pemberian cloxacillin secara oral akan diabsorbsi"
tidak kompli t, dolO akan diabsorbsi baik padE' pemberian
secara intramuskular atau intravena (Martindale, 1979).
Pada pemberian dosis 500 mg secara oral, konsentrasi
plasma tertinggi yaitu 8-10 mcg per ml, didapatkan pada
(Martindale, 197'1). Absorbsi akan lebih komplit jika
di-berikan secara intramuskular dan konsentrasi plasma
ter-tinggi, kira-kira 15 meg, dapat diobservasi dalam waktu
30 menit sesudah pemberian dosis 500 mg (Martindale, 1979).
Dan sekitar 95% dari cloxacillin dalam sirkulasi diikat
dalam serum dengan waktu paruhnya dalam Sl.rum adalah
0,5-1 hari (Brander dan Pugh, 1977).
Beberapa pendapat menyatakan cloxacillin
diekskresi-kan seki tar SPMTHjGセ@ dari dosis yang diberikan 、Lセャ。ュ@ bentuk tidak berubah di dalam urin (Brander dan l'ugh, 1977 dan
セエ・キ。イエL@ 1965). セ・、。ョァォ。ョ@ menurut セャ。イエゥョ、。ャ・@ (1979), kirc,-kira 30-40}6 dari dosis intramuskular dan RPGセ@ dari
do-sis oral diekskresikan dalam urin dan sampai dengan 10%
dari suatu dosis oral diekskresikan di dalam empedu.
Cloxacillin dapat berdifusi melew<lti plasenta masuk
ke dalam sirkulasi fetus dan ini diekskresikan ke dalam
air susu ibu yang sedang menyusui. Walaupun begitu
cloxa-cillin tidak dapat masuk merembes dengan baik ke dalam
ca-iran cerebrospinal yang normal, tetapi beberapa aktivi tas
antimikrobial telah dapat diobservasi dalam pleural dan
cairan synovial (Nartindale, 1877).
Konsentrasi serum dapat meningkat jika diberikan
se-rentak bersama-sama dengan probenecid, sebagai adjuvant
22
Obat ini juga bertoleransi dengan baik pada
pemberi-an secara intravena, intrathecal dpemberi-an dalam rongga-rongga
yang terinfleksi (Stewart, 1965).
Dibanding dengan methicillin, cloxacillin sedikit
ku-rang resisten terhadap penicillinase yang dihasilkan oleh
Staphylococcus (Martindale,1979).
Dalam pengobatan veteriner, cloxacillin telah
diguna-kan secara luas dalam pengobatan masti tis pada sapi
(Si-wak, 1978). Larutan garam benzathine cloxacillin
diguna-kan dalam pengobatan infeksi subklinis selama periode
ke-ring セ。ョ、。ョァ@ dan banyak larutan sodium digunakan dalam
pengobatan mastitis kUnis selama masa laktasi (Siwak.
1978).
Dosis yang dianjurkan adalah dalam penggunaannya
se-cara intramammary: Sodium cloxacillin sebanyak 200 mg
per kuartir dan benzatine cloxacillin 500 mg per kuartir
(Brander dan Pugh, 1977).
Farmakologi dan kemanjuran cloxacillin dalam terapi
masti tis telah dibuktikan kebenarannya dengan baik sejak
pengenalannya pada tahun 1962. Perkembangan yang menarik
baru-baru ini telah mengkombinasikan ampicillin dalam
for-mulasi untuk masa laktasi dan masa kering kandang (Siwak,
1978).
Watkin dkk. (1975) telah melaporkan
mastitis klinis pada sapi. Mereka melaporkan bahwa 75 mg
ampicillin/200 mg cloxacillin efektif terhadap pengobatan
untuk infeksi-infeksi mastitis klinis yang disebabkan oleh
bakteria Gram negatif dan Gram positif, dan produk ini
memberikan kecepatan pengobatan yang lebih baik ュ・ャ。キ。セ@
infeksi-infeksi yang disebabkan oleh セエ。ーィケャッ」ッ」」オウ@ dari-pada dengan menggunakan 200 mg cloxacillin secara tunggal
Hセゥキ。ォL@ 1978).
セ・ャ。ゥョ@ daripada mastitis, cloxacillin telah digunakan
untuk mengobati infeksi-infeksi berat yang disebabkan oleh
Staphylococcus yan8 resisten terhadap penicillin G. Juga
telah digunakan dulam pengobatan infeksi kuli t, infeksi
intra uterin, pneumonia dan mastitis pada hewan kecil dan
kuda Hセゥキ。ォL@ 1978).
Efek toksik akibat pemberian cloxacillin pada pasien
yang hipersensitif adalah sarna pada .efek yang diberikan
oleh penicillin secara umum jika preparat ini diberikan
secara parenteral, dan pada umumnya menunjukkan reaksi
toksisitas khas penicillin yang rendah. Dan merupakan
kontra indikasi terhadap injeksi subkonjungtiva karena
akan menyebabkan "corneal opacity" yang tidak
hilang-hi-lang selama 14 hari (Siwak, 1978 dan Martindale, 1979),
dan tidak boleh dir:;unakan secara tetes mata (Martindale,
24
DIC10XACIL1IN
Preparat ini dilaporkan untuk pertamakalinya pada
ta-hun 1964 dan preparat ini tidak jauh berbeda dengan dua
preparat sebelumnya yaitu cloxacillin dan oxacillin.
I'lerupakan oxacillin yang disubsti tusi dengan dua atom
chlorine pad a cincin phenylnya. Penempatan atom chlorine
ini dimaksudkan untuk memperbaiki stabilitas obat dan
ha-silnya d",lam konsentrasi plasma yang lebih tinggi (Hurber,
1982) •
Seperti dua preparat terdahulu, 、ゥ」ャッセ。」ゥャャゥョ@ ini-Da-' rna-sarna dapat .diberikan .secara o'ral. Walaupl,ln.
pJ7eparat-preparat ini t;,han terhadap asam lambung, tapi beberapa
diantaranya ada yang ti.dak tahan (Hurber, 1982).
Kira-kira dosis oral dicloxacillin adalah 2,2 mg per
kg yang diberil<an dalam waktu empat kali sehari (Hurber,
1982) •
Dicloxacillin dapat diabsorbsi dengan mudah pad a
pem-berian oral, tetapi berkurang dengan adanya makanan dalam
lambung dan usus hal us (Martindale, 1979). Dan daya
ab-sorbsi ini lebih besar dibandingkan dengan cloxacillin
atau oxacillin Hセャ。イエゥョ、。ャ・L@ 1979).
Sedangkan l<onsentrasi plasma yang dicapai dalam wal<tu
1 jam setelah pemberian dosis 500 mg adalah berkisar
menghasilkan konsentrasi darah tertinggi dalam waktu
30-60 menit (keterangan pada sapi tidak penulis temukan,
ta-pi data ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan
per-bandingan) (Hurber, 1982). Bagaimanapun juga, dengan
ikatan protein yang lebih besar, kira-kira 96% terikat
pa-da protein plasma, karena itu konsentrasi plasma
dicloxa-cillin cenderung lebih lama, dan ini mungkin disebabkan
oleh eliminas i yang lebih lambat (Martindale, 1979).
Oleh Keefe dan Christie (1973) dilaporkan bahwa
di-cloxacillin bekel';Ja sebagai bakterisid terhadap
Staphylo-coccus yang resisten penicillin G dan didistribusukan
se-cara cepat, walaupun jumlahnya di dalam cairan
cerebrospi-nal terbatas (Hurber, 1982).
Kira-kira 7UX, dDri dosis yang diberikan secara oral
diekskresikan dalam urin Hセャ。イエゥョ、。ャ・L@ 1979). Dan dinya-takan pula dicloxacillin dapat berdifusi melalui plasenta
(Martindale, 1979).
Dengan dosis 11-55 mg per kg yang diberikan 2-3 kali
sehari memberikan isolat Staphylococcus yang sensitif
ter-hadap dicloxacillin dimana sebenarnya 54% diantaranya
re-sisten terhadap penicillin G (Hurber, 1982).
Menurut Knott (1965) dicloxacillin d"pat diberikan
dengan interval tidak lebih dari 6 jam dan dengan dosis
5UU mg mampu dalam mengatasi infeksi yang disebabkan oleh
26
Resistensi dicloxacillin terhadap penicillinase yang dihasilkan oleh Staphylococcus sebanding dengan
cloxaci-llin (Martindale, 1979).
Menurut Keefe dan Christie (1973), keberhasilan
peng-gunaan dicloxacillin telah dilaporkan dalam pengobatan pyoderma pada anjing, otitis, tonsilitis dan luka-luka
pada kulit (Siwak, 1978).
FLUCLOXACILLIN
Derivat yang analog dengan cloxacillin ini dilaporkan
untuk pertamakalinya pada tahun 1970 dan baru-baru ini di-perkenalkan ke dalam penggunaan secara klinik di Amerika
::; erikat dan dalam waktu-waktu mendat",ng kelak diduga akan tersedia di Autralia (::;iwak, 1978).
Aktivitas antibakterialnyapun sebanding dengan cloxa-cillin, sedang daya absorbsinya pada pemberian secara oral
adalah lebih 「セゥォ@ (::;iwak, 1978).
Penggantian atom chlorine pada dicloxacillin dengan
atom fluor akan menghambat ekskresinya, sehingga menambah
daya akti vi tasnya menjadi lebih lama.
Preparat ini akan kehilangan potensinya dalam waktu
30 menit, jika dicampurkan dengan streptomycin B (Martin-dale, 1979). Menurut Sutherland (1970) flucloxacillin aktif dalam melawan sejumlah bakteria basillus Gram
oleh St.aphylococcus biasanya dihambat oleh flucloxacillin
dalam konsentrasi 0,25-0,5 mcg per ml (Martindale, 1979).
Setelah pemberian dosis oral 250-500 mg, konsentrasi
ser.um tertinggi yang dicapai dalam waktu kira-kira 1 jam
adalah 3-27 mcg per ml dengan konsentrasi serum tertinggi
rata-rata adalah 11-15 mcg per ml. Konsentrasi terapeutik
berlangsung selama kurang lebih 4 jam. Pola yang sarna di-,
ilmti oleh pemberian secara intramuskular (Nartindale,
1 979) .
Menurut Sutherland dkk. (1970) konsentrasi serum yang
dihasilkan kira-kira dua kali lebih tinggi dibanding
clo-xacillin pada pemberian secara oral dan dua kali lebih
ba-nyak diekskresikan dalam urin sebagai antibiotika yang
ak-tif (Siwak, 19'18).
Absorbsi setelah injeksi secara intrarnuskular juga
lebih unggul daripada cloxacillin, dan konsentrasi serum
antibiotikanya lebih tinggi secara nyata dicapai pada
do-sis yang ekivalen Hセゥキ。ォL@ 1978).
Kira-kira 95% dari flucloxacillin dalam sirkulasi
berikatan terhadap protein plasma dan kira-kira 50% dari
dosis oral yang diberikan akan diekskresikan dalam urin
(Nartindale, 1979).
Nampak-nampaknya derivat ini akhirnya akan
mengganti-kan cloxacillin untuk pengobatan yang lebih tepat terhadap
28
BelJerapa contoh preparat dari kelompok isoxazole
pe-nicillin yang digunakan dalam pengobat;m mastitis pada
sa-pi, antara lain:
1 . Orbenin
:Oat aktifnya
Penggunaannya
2. Orbenin DC
セ。エ@ aktifnya
Penggunaannya
3. Boviclox
Zat aktifnya
Penggunaannya
4.
Dry-clox:Oat aktifnya
l'enggunaannya
5 .
Dariclox"at aktifnya
Penggunaannya
:
Sodium cloxacillin
Pada masa kering kandang
Henzathine cloxac illin
Pada masa kering kandang
Benzathine cloxacillin
Pada masa kering kand8ng
Benzathine cloxacillin
Pada masa kering kandang
Sodium cloxacillin
Hingga saat ini mastitis merupakan penyakit
terpen-ting dan menimbulkan masalah terbesar dalam peternakan
sa-pi, khususnya sapi perah. Menurut Schalm dkk. (1971),
mastitis pada sapi tetap merupakan suatu penyakit utama
ekonomi terpenting di seluruh dunia (Romis dkk., 1985b).
Jansen (1970); Marx (1971) dan Blosser (1979)
mengemuka-kan masti tis mempunyai dampak yang nyata pad a ekonomi
pro-duksi susu. Kerugian-kerugian disebabkan oleh penurunan
produksi BUSU, perubahan air susu yang menyebabkan
penu-runan mutu, menurunkan lemak susu ("butter milk") dan
bi-aya pengobatan mas titis (Rompis dkk., 1985b).
Menurut Dobbins Jr. (1977) dan Sexton (1977) di
Ame-rika OleAme-rikat dan lnggris diperkirakan separuh dari
sapi-sapi perahnya menderi ta mastitis dB lam pelbagai bentuk
dan kerugian, dan kerugian oleh karena mastitis di Amerika
Serikat ditaksir sebanyak 500 juta sampai 1 milyar dollar
setahun (Warudju dan Budiharta, 1985a), seda.ngkan
menu-rut BiLosser (197':3) pada tahun 1976 kerugian tersebut
ada-lah sebesar 1.2':34 milyar dollar dan kerugian terbesar
ter-utama disebabkan oieh penurunan produksi susu yang
dise-babkan olen mastitis subklinis (Nurhadi, 1984').
Telah banyak dilakukan peneli tian tentang mastitis,
khususnya di negara-negara maju, sepel?ti Amerika Serikat,
30
di Indonesia masih sangat sedikit penelitian yang
dilaku-kan, sehingga situasi mastitis pada sapi ini belum banyak
diketahui dan jumlah kerugian yang ditimbulkannya belum
pula diketahui dengan j elas, t elomasuk faktor penyebab
rendahnya produksi susu di Indonesia yang kurang lebih
ha-nya separuhha-nya dari produksi sapi di luar negeri (Nurhadi,
1984). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh baru
berkem-bangnya bidang peternakan di Indonesia, sehingga
perhati-an di bidc.ng peternakperhati-an, khususnya mengenai masalah
masti-tis ini dirosakan masih ウ。ョァ。セ@ kurang. Dan juga
merupa-kan masalah dalam ー・ョセョァ。ョ。ョ@ mastitis pada sapi di Indo-nesia.
Dalam menghadapi masalah mas Litis pad a sapi ini,
an-tibiotika merupakan salah satu bagian yang terpenting.
Antibiotika ini dapat digunakan secara intramammary pada
laktasi maupun pada masa kertng kandang, sedangkan pada
pengobatan kasus masti tis yang akut dapat diberikan
seca-ra parenteseca-ral. 'rujuan terapi dengan antibiotika ini
ada-lah untuk menyembuhkan infeksi.
Dewasa ini sudah banyak tersedia antibiotika untuk
mengatasi mas tit is pada sapi, diantaranya penicillin
be-serta derivat-derivatnya, streptomycin dan tetracycline,
baik secara tunggal maupun dengan dikombinasikan.
Tetapi tidak semua terapi dengan antibiotika ini
ber-hasil dengan baik. I'lenurut Bywater <-1977), salah satu
alas an kegagalan ini disebabkan oleh resistensi terhadap
antibiotika yang dipakai (Malmo, 1978). Sehingga untuk
mengatasi hal ini perlu dicari antibiotika pcngganti yang
tepat. Keadaan ini juga dialami oleh peternak sapi di
Indonesia.
Frost (1962) menyatakan 33% dari strain セN@ aureus telah kebal terhadap penicillin G, sedangkan menurut
Johnston dkk. (1966) sebanyak 58% (Pasaribu, 1977).
Menurut Craven dkk. (1983) dalam peneli tiannya, dari
14 isolat S. aureus yang berasal dari kasus ュ。ウエゥセゥウ@ pacta sapi yang terjadi secara alamiah, semuanya menghasilkan
penicillinase. Oleh karena itu S. aureus ini resisten
terhadap penicillin G, tapi sensitif terhadap
penicillin-penicillin lain yang stabil cerhadap penicillin-penicillinase,
seper-ti cloxacillin (Craven dkk., 1983).
Untuk mengatasi masalah resistensi bakteria ini,
ter-utama StaphYlococcus terhadap penicillin G, Mwakipesile,
Holmes dan Moore (1983) mencoba menggunakan preparat
pe-nicillin semisintetik, yaitu cloxacillin untuk mengobati
masti tis subklinis akibat infeksi Staphylococcus dan.
Streptococcus (Nurhadi, 1984).
Cara pemberian obat dapat melalui oral, parenteral
dan secara intramammarY. Dan cara yang terakhir ini
me-nurut Daniel dan Francis (1967); Faul dan Ward (1975);
32
banyak digunakan pada saat sekarang ini (Pasaribu, 1977).
Pengobatan saja tidak akan dapat menanggulangi
per-masalahan mastitis, karena pengobatan terhadap mastitis
hanya bersifat sementara saja dalam menghilangkan infeksi.
oedangkan agen penyebab mastitis terdapat dimana-mana, dl
lingkungan sekitar sapi tingp,al (Nurhadi, 1984).
Mengi-ngat hal d.i. atas, maka perlu diadakan tindakan pencegahan
terhadap infeksi baru secara terus-menerus dan teratur.
Adapun tindakan pencegahan yang harus dilakukan dalam
pengendalian penyakit ini adalah dengan menjaga
kebersih-an lingkungkebersih-an dkebersih-an melakukkebersih-an tindakkebersih-an hygiene pad a waktu
pemerahan.
Akhir-akhir ini telah dikembangkan antibiotika
kelom-pok isoxazole penicillin, khususnya cloxacillin.
Penggu-an Penggu-ant.i.biotika ini ditujukan terutama dalam
menanggu-langi masalah resistensi yang diakibatkan oleh
penicilli-nase yang dihasilkan oleh Staphylococcus.
Berdasarkan aktivi tasnya dalam melawan Staphylococcus
yang resisten terhadap penicillin, cloxacillin telah
men-jadi obat piJihan ("drug of choice") dalam pengobatan
mas-titis pada sapi. Dan cloxacillin ini telah dipelajari di
banyak negara terutama oleh National Tnsti.tut for Research
in Dairying (NIHD) di United Kingdom, sebagai antibiotika
utama. untuk penggunaan dalam program mastitis kontrol.
Cloxacillin digunakan dalam dua bentuk, larutan garClm
benzathine cloxacillin digunakan dalam pencegahan dan
pengobatCln infeksi subklinis selama masa perisde kering
kandang dan bentuk garam sodium digunakan dalam
pengobat-an mastitis klinis selama masa laktasi. Kedua bentuk
ter-sebut disediakan untuk penggunaan melalui saluran puting
susu (intramammary). Dalam bentuk garam sodium,
cloxaoi-llin diberikan sebanyak tiga kali dengan interval 24 jam,
sedang dalam bentuk garam benzathine diberi pad a keempat
kuartir pada masa kering kandang yaitu saat akhir masa
laktasi (Brander dan Pugh, 1977).
Pengobatan mastitis セ。ョァ@ disebabkan oleh Staphyloco-ccus, yang diberi.kan sebanyak tiga kali selama maaa
ke-ring kandang adCllah lebih efektif dibanding dengan
peng-obatan selamn masa laktasi (Brander d,·n Pugh, 1977).
Walaupun cloxacillin digunakan secara terus-menerus
dalam terClpi mastitis selama lebih dari 12 tahun, t',pi
tidak ditemukan strain;'strain Stnphy.Lococcus yang
resis-ten. Studi dari NIRD telah menunjukkan bahwa terapi
ha-rus disertai dengan perendaman putin!, ("teat dipping")
dan proses management lainnya untuk memastikan program
mastitis kontrol yang berhasil (Brander dan fugh, 1977).
Dibanding dengan oxacillin, cloxacillin ini mempunyai
aktivitas antibakterial terhadap Staphylococcus yang lebih
34
unggul daripada oxacillin (Stewart, 1965). Dicloxacillin
tidak jauh berbeda dengan cloxacillin, perbedaannya hanya
pada penempatan dua atom chlorine yang dimaksudkan untuk
memperbaiki stabilitas obat serta meningkatkan
konsentra-si plasma, 、ゥュ。ョ。Gォッョウ・ョエイセウゥ@ plasma iAi tidak begitu ber-arti dalam pemberian secara intrarnammary. S edangka.n efek
yang ditimbulkannya hampir sarna dengan cloxacillin,
sela-in daripad,J i tu dicloxacillsela-in sela-ini mempunyai dua atom
chlo-rine dibanding dengan cloxacillin, sehingga menyebabkannya
mempunyai harga lebih mahal dengan pemasukan satu atom
chlorine tersebut. Berbeda dengan flucloxacillin yang
nampaknya mempunyai efek yang lebih bElik dibanding dengan
cloxacillin, dan diramalkan nantinya akan menggantikan
cloxacillin. Taui karena preparat ini masih merupakan
preparat yang baru, sehingga belum banyak digunal,an. Di
Indonesia pada saat sekarang ini, dari preparat kelompok
isoxazole penicillin yang banyak disediakan untuk
pengo-batan mastitis pada sapi, adalah cloxacillin.
Menurut Wilson (1961) serta Frost dan O'Boyle (1981)
S. aureus pada umumnya dapat diisolasi dari mastitis pada
sapi (Craven dkk., 1983). Pendapat lain yang dikemukakan
oleh Rahman dan Baxi (1983); Mylrea dkk. (1977) serta
Wilson dan Richard (1980), bahwa kebanyakan mastitis pada
sapi disebabkan oleh Staphylococcus dan Streptococcus, dan
tinggi daripada Streptococcus (Nurhadi,
1984).
Dalam penelitiannya, Craven dan Anderson
(1981)
me-ngemukakan cloxacillin efektif terhadap S. aureus secara
in vitro dan dalam eksperimen mastitis akut pada tikus.
Tetapi pada eksperimen mastitis kronis, cloxacillin tidak
efektif dalam menurunkan jumlah bakteria. Selanjutnya
dikemukan bahwa reaksi sapi yang sedang laktasi dengan
mastitis kronis yang disebabkan oleh Staphylococcus
ter-hadap terapi dengan cloxacillin kadang-kadang
mengecewa-kan walaupun secara in vitro, cloxacillin sensitif
terha-dap Staphylococcus. セi・ョオイオエ@ Anderson
(1981)
serta Cravend;m Anderson
(1979)
dalam peneli tiannya tentang mastitis kronis dengan tikus sebagai modelnya, kegagalan tersebutdiakibatkan oleh kerena St0.phylococcus banyak terdapat di
intracelullar, dan lokasi ini melindungi mereka dari daya
bunuh cloxacillin (Craven dkk., 1983). Hal ini telah
di-bui,tikan oleh Craven dan Anderson (1983) dalam peneli
tian-nya yang metian-nyatakan cloxacillin, flucloxacillin dan
ce-phradine gBgal membunuh Staphylococcus yang berada di
in-tracelullar (Craven dan Anderson,
1983).-Kekurangan yang dimiliki oleh cloxacillin ini dapat
diatasi dengan penggunaannya dalam bentuk kombinasi dengan
antibiotika lain, seperti ampicillin dan rifampicin.
Ampicillin itu tidak tahan terhadap penicillinase,
.: 36
Craven dan Anderson (1980) rifampicin merupakan
satu-satu-nya antibiotika yang dapat membunuh S. aureus dalam
intra-celullar dan efektif dalam pengobatan mastitis akut dan
juga dapat menurunkan jumlah bakteria dalam mastitis
kro-nis (Craven dan Anderson, 1983). Rifampicin ini juga
da-pat menyebabkcln resistensi j ika digunakan s ecara tunggal,
tapi dapat dicegah dengan penggunann kombinasinya bersama
cloxacillin. t'lenurut Craven dan Anderson (19111) dalam
pe-neli tiannya yang menyatnkan walaupun cloxacillin dan
ri-fampicin masing-masing aktif dalam menurunkan jumlah
セN@ aureus dalarn kelenjar ambing, tetapi rnereka lebih efek-t i f bila diberikan dalam kombinasi, baik dalam pengobaefek-tan
mas ti tis akut rnaupun dalam membunuh S. aureus pad a infeks i
kronis yang sarna efektifnya pada penglwnaan rifampicin
se-cara tunggal. Dan kombinasi ini tidak menunjukkan daya
an tagonisllle lII8.upun sinergisme secara in vi tro (Craven dan
Anderson, 1981).
Demi kian pula Agus Nurhadi. (1964) dalam peneli tiannya
yang menggunakan kombinasi cloxacillin-ampicillin,
menya-takan pemberian kombinasi antibiotika ini terhadap
masti-tis subklillis mampu menghilangkan infeksi bakteria
penye-bab mastitis subklinis, terutama bakteria Staphylococcus
dan Streptococcus, tapi tidak nyata pengaruhnya terhadap
penurunan jumlah sel somatik per ml susu yang diperiksa.
dAn Moore (1983) yang berhasil menurunkan jumlah sel soma-tik dari kelenjar ambing yang menderita mastitis akibat
infeksi Staphylococcus dan Streptococcus setelah
BAB V. PElVlBAllASAN
Seperti yang telah disebutkan pada bab terdahulu
bah-wa mastitis adalah penyakit yang terpenting dalam
peter-nakan sapi, khususnya sapi perah dc,n telah meny,ebabkan
berbagai kerugian yang diakibatkannya. Sehingga
diperIu-kan 'cara penanganan masalah ini sedini mungkin dan dengan
cara yang tepat pula.
Bagi Indonesia yang bidang peternakannya sedang dalam
perkembangan ini belum banyak penelitian yang dilakukan
terhadap bidang ini', khususnya mengenai masalah mastitis
pad a sapi. Sehingga belum diperoleh gambaran umum tentang
situasi mastitis di Indonesia, menyeb2bkan penanganan
ma-salah inipun belum terlaksanakan dengan baik. Pengobat8n
yang banyak mengf,unakan antibiotika ini, seperti
penici-llin, streptomycin dan tetracycline, jika digunakan tidak
dengan sebagaimana mestinya dapat menimbulkan resistensi
terhadap antibiotika yang digunakan.
1'enanganan dalam mengatasi masalah ini memerlukan
pe-nentuan obat yang dipakai dengan tepat. Dalarn tulisan ini
dibahas tentang penggunaan antibiotika penicillin
semisin-tetik, yakni antibiotika kelompok isoxazole penicillin,
khususnya cloxacillin terhadap mastitis pada sapi.
Pemi-lihan antibiotika ini berdasarkan kenyataan bahwa
keba-nyakan mastitis pad a sapi disebabkan oleh Staphylococcus
menghasilkan penicillinase yang dapat merusak penicillin
sehingga tidak dapat berfungsi lagi. llan cloxacillin
yang merupakan penicillin semisintetik yang stabil
terha-dap penicillinase dan bersifat aktif membunuh
Staphyloco-ccus yang menyebabkan mastitis pada sapi.
Dibandingkan d engan oxacillin, cloxacillin ini lebih
unggul. i,kan halnya dengan dua isoxazole lainnya,
diclo-xacillin dan fluclodiclo-xacillin, bahwa diclodiclo-xacillin ini
mem-punyai efek yang hampir sarna dengan cloxacillin. 'rapi
berbeda dellgan flucloxacillin yanl, rnelTipunyai efek yang
le-bih baik dan diramalkan nantinya b.kan menggantikan
cloxa-cillin. Dibandingkan dengan isoxazole lainnya,
cloxaci-llin lebih banyak tersedia dan dipakai di Indonesia dalarn
penggunaannya terhadap mastitis.
Menurut Craven dan Anderson (19tl1) cloxacillin
t i f terhadap S. aUreus secara in vitro, tapi tidak
efek-tif menurunkan jumlah bakteria pada mastitis kronis, dan
tidak memberikan hasil yang memuaskan terhadap mastitis
kronis pada sapi yang sedang laktasi.
Dengan demikian berarti cloxacillin ini efektif
ter-hadap mastitis yang disebabkan oleh Staphylococcus, エ・イオセ@
tama mastitis subklinis dengan pemberian pada masa kering
kandang. 'ferapi seperti ini terutama digunakan dalam
program pencegahan mastitis klinis. Sedangkan untuk
40
digunakan dalam bentuk kombinasi dengan antibiotika lain,
seperti ampicillin dan rifampicin. Walaupun dalam
pene-l i tian Agus Nurhadi (1984) dinyatakan pemberian kombinasi
c loxaci llin-am picillin tidak nyata pengaruhnya dalam
menu-runkan jumlah sel somatik per ml susu yang diperiksanya,
tapi dalam penelitian Mwakipesile, Holmes dan Moore
(1983) berhasil menurunkan jumlah sel somatik dari
kelen-jar ambing yang menderita mastitis akibat infeksi
KESHIl'Ul,J\ N:
1. Mastitis merupakan penyakit ekonomi terpenting dalam
bidang peternakan sapi yang mengakibatkan berbagai
kerugian, oleh sebab itu perlu penanganan yang tepat
sedini mungkin.
2. Dalam pengobatan mastitis banyak digunakan
antibioti-ka, oleh karenanya di tuntut pemilihan antibiotika yang
tepat dan efektif.
3. Cloxacil.Lin yang aktif terhadap StClphylococcus,
efek-tif digunakan dalam pengobatan mastitis yang
disebab-kan oleh Staphylococcus, dengan pemberian selama masa
kering kandctng.
4. Pada kasus mastitis kronis lebih bClik digunakan
cloxa-cillin yang dikombinasikan dengan antibiotika lainnya.
5. Cloxacillin dapat digunakan untuk tindRkan pencegahan
timbulnya mastitis klinis pada sapi.
SARAN-SARAN:
1. セi。ウゥィ@ perlu diadak,m peneli Lian terhadap masti tis
pa-da sapi, khususnya sapi perah di Indonesia untuk
mem-peroleh gambaran umum tentang situasi mastitis di
In-donesia, sehingga ュ・ュオ、。ィォセョ@ penanganan kasus-kasus
mastitis yang ditemui.
2. Dalam penggunaan antibiotika yang banyak digunakan
42
antibiotika yang tepat dengan dosis yang tepat pula.
Hal ini penting dalam kaitannya dengan resistensi
bakterial serta keefektifannya dCllam pengobatan
mau-pun pencegahan penyakit mastitis ini.
3. Perlu diusahakan penekanan kasus mastitis sampai
se-rendah mungkin dengan usaha pengobatan, usaha
pence-gahan terjadinya infeksi baru dan usaha dapat
mende-teksi mastitis pada sapi perah pada rakyat sedini
mungkin, sehingga dapat diobati dan sembuh secepat
mungkin agar mastitis tidak berlanjut meninggalkan.
Aronson, C. 1983. Harwal
E., T. E. Powers and S. F. Scheidy, eds. Veterinary Pharmaceuticals and Biologicals.
Yublishing Company, New York, U.S.A.
Blobel, H. lind T. Schliesser. GセYXPN@ Handbuch uer Bakte-riellen Infektioner bei Tieren Band II. Gustav Fischer Verlong-Stuttgart, New York. p. 181
Brander, G. C. and D. M. Pugh. 1977. Veterinary Applied Pharmacology and Therapeutics. 3rd ed. The English Language Book Society and Bailliere Tindall, London. pp. 30b-340.
Clax ton, 1'. D. 1980. Bovine Mastitis Bacteriology.
Published by the Australian Bureau of Animal Health. Glenfield, New South Wales.
Craven, N. and ,1. C. Anderson. 1981 . mental staphylococcal masti tis in cloxacillin and rifampicin, alone Res. Veb. Sci. 31 :295-300.
'I'herapy of experi-the mouse with and in combination.
1983. Antibiotic activity againts intraleucocytic Staphylococcus aureus in vi-tro and in experimental mastitis in mice. Am. J. Vet. Kes. 44:709-712.
Craven, N., J. C. Anderson and C. D. Wilson. 1983. Penicillin (cloxacillin)-tolerant Staphylococcus aureus from bovine mastitis: identification and lack of corralation between tolerance in vitro and res-ponse to therapy in vivo. Res. Vet. Sci. 34:266-271.
Gan, V. H. S. 1980. Penisilin dan gefalosporin.
In. Gan, S., ed. Farmakologi dan 'l'erapi. ed. ke-2. 'Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Gholib, D., Sanusi, S. Hastiono dan Sudarisman. 1982. Survei interaksi antara frekwensi adanya mikotik flo-ra dengan kasus mastitis. Balai Penelitian Penyakit Hewan, Bogor.
Gholib, D., "anllsi, L. Natalia, <,etianingsih dan 1,. Su18s-trio 1983. Survei mastitis mikotik pada sapi perah dan asperGillosis!kandidiasis pada ayam di Jawa Ti-mur. Balai Peneli tian Penyaki t Hewan, Bogor.
44
Hurber, W. G. 1982. Penicillins. In. Both, N. H. and L. E. セゥ」{Iッョ。ャ、L@ eds. Veterinary Pharmacology and 'l'herapeutics. 5'fFled. 'l'he Iowa State University Press, hmes. pp. 727-739.
Hirst, R. G., A. Nurhadi, A. Hompis, cl. Emmins, Supartono and Y. Setiadi. 1985a. The detection of subclini-cal mastitis in the tropics and the assessment of associated milk production losses. Proceedings The 3rd AJ,AP Animal Science Congress, Seoul, Korea. pp. 498-500.
1985b. Bovine Mas ti tis -Prevalence Causal Orgenisms and Control., Proceedings The 3rd AAAP Anima] Science Congress, Seoul, Korea. pp. 510-512.
lewis, B. P. and L. O. Wilken. 1982. Veterinary Drug Index. W. B. Sounders Company, Philadelphia.
Malmo, J. 1978. The Treatment of Bovine Mastitis. Pro-ceedings 39:244-253.
セゥ。イ@ tindale. 1979. 'l'he Extra Pharmacopoeia. 27th ed.
The Pharmaceutical Press, London.
Nurhadi, A. 19t14. l'engaruh Pemberian Kombinasi Antibio-tika Cloxacillin-Ampicillin terhadap Bakteria Pato-gen dan Jumlah Sel Somatik Susu Sapi Penderita Mas-t i Mas-t i s Suklinis HセQskIN@ Thesis S2 ]<PS-TPB, Bogor. Pasaribu, J<'. 1I. 1977. Mastitis Padn Sapi. Skripsi
FKH-IPB, Bogor.
Stewart, G. T. 1965. The Penicillin Group of Drugs. Elsevier Publishing Company, Amsterdam. pp. 38-41.
Siwak, A. D. 1978. Rescent Advances in Antibiotics Che-motherapy. Froceedings 39:777-810.
,iarudju, B. dan S. Budiharta. Istimewa Yogyakarta. I.
Hemera セッ。@ 72:52-57.
1985a. Mas,ti tis di Daerah Distribusi Epidemiologis.
o
ALA M
PENGDBATAN MASTITIS.PADA SAPI
S K R I P S I
Oleh