• Tidak ada hasil yang ditemukan

Back Ground Study Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Bidang Tata Ruang. Laporan Akhir

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Back Ground Study Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Bidang Tata Ruang. Laporan Akhir"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN

BACKGROUND STUDY

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA

MENENGAH NASIONAL (RPJMN)

BIDANG TATA RUANG

DIREKTORAT TATA RUANG DAN PERTANAHAN

KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BAPPENAS

2013

Laporan Akhir

BACKGROUND STUDY

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA

MENENGAH NASIONAL (RPJMN)

BIDANG TATA RUANG

DIREKTORAT TATA RUANG DAN PERTANAHAN

KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/

Laporan Akhir

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA

MENENGAH NASIONAL (RPJMN) 2015-2019

(2)

TIM PENYUSUN

Penanggungjawab:

Dr. Ir. Max H. Pohan, CES, MA (Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah)

Ketua Tim Perumus Rekomendasi Kebijakan (TPRK):

Dr. Ir. Oswar Muadzin Mungkasa, MURP (Direktur Tata Ruang dan Pertanahan)

Anggota TPRK: Ir. Dwi Haryawan S, MA

Uke Mohammad Hussein, S.Si, MPP Mia Amalia, ST, M.Si, Ph.D

Ir. Nana Apriyana, MT Ir. Rinella Tambunan, MPA Herny Dawaty, SE, ME Khairul Rizal, ST, MPP Santi Yulianti, SIP, MM Aswicaksana, ST, MT, M.Sc

Agung M. H. Dorodjatoen, ST, M.Sc Raffli Noor, S.Si

Tenaga Ahli:

Dr. Irene Eka Sihombing, SH, MH Dr. Ir. Nunu Novianto

Idham Khalik

(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas perkenan-Nyalah KAJIAN BACKGROUND STUDY RPJMN 2015-2019 BIDANG TATA RUANG dapat terlaksana dengan baik. Kajian merupakan salah satu rangkaian dalam rangka penyusunan perencanaan pembangunan nasional untuk periode lima tahun mendatang.

Sebagaimana amanat dari UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) agar Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas menyusun kerangka kebijakan pembangunan nasional. Pada taahun 2014 mendatang merupakan tahun terakhir pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 sekaligus tahap penyusunan RPJMN 2015-2019. Perumusan kebijakan pembangunan nasional diharuskan untuk mengidentifikasi berbagai capaian pelaksanaan pembangunan periode sebelumnya serta menjaring isu strategis dan permasalahan yang diprakirakan akan terjadi pada masa yang akan datang. Isu strategis tersebut diperlukan untuk menyusun kerangka kebijakan dan program pada periode perencanaan pembangunan berikutnya.

Berkaitan dengan hal di atas, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas melaksanakan kajian untuk bidang penataan ruang dan pengelolaan pertanahan nasional. Kajian dimulai dengan desk study (review kebijakan, evaluasi pelaksanaan pembangunan periode sebelumnya), focus group discussion/FGD, kunjungan ke daerah, dan seminar nasional. Kesemuanya dilakukan sebagai rangkaian dalam kerangka penyusunan RPJMN 2015-2019. Semoga kajian ini dapat memberikan manfaat yang lebih baik.

Demikian dan terima kasih.

Jakarta, Desember 2013

Direktur Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas

(4)

DAFTAR ISI

TIM PENYUSUN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Tujuan dan Sasaran ... 2

1.3.Ruang Lingkup ... 3

1.4.Metodologi ... 3

1.5.Sistematika Pembahasan ... 5

BAB II TINJAUAN KEBIJAKAN ... 6

2.1. Amanat UU 17 tahun 2007 Tentang RPJPN 2005-2025 ... 6

2.1.1. Arahan Pembangunan RPJMN 2015-2019 ... 6

2.1.2. Arahan Pembangunan Bidang Tata Ruang RPJMN 2015-2019 ... 7

2.2. Amanat Peraturan Perundangan terkait Penataan Ruang ... 8

2.2.1. UU 26/ 2007 tentang Penataan ruang ... 8

2.2.2. PP No 26 /2008 tentang RTRWN ... 9

2.2.3. Perpres Terkait RTR Pulau ... 11

2.2.4. Peraturan Perundangan Lainnya ... 11

2.3. Peraturan Perundangan Pembangunan Sektor ... 12

2.3.1. Pertambangan dan Energi ... 13

2.3.2. Kehutanan ... 15

2.3.3. Transportasi dan Telekomunikasi ... 17

2.3.4. Pertanian dan Perkebunan ... 22

2.3.5. Wilayah Pesisir, Pulau-Pulau Kecil, serta Laut dan Pariwisata ... 24

2.3.6. Lingkungan Hidup ... 25

2.3.7. Pengembangan Wilayah dan Investasi ... 27

2.3.8. Pertanahan ... 28

2.3.10. Transmigrasi ... 29

2.3.11. Kesimpulan ... 29

BAB III ANALISIS PERMASALAHAN, TANTANGAN, DAN ISU STRATEGIS BIDANG PENATAAN RUANG ... 30

3.1.Bidang Penataan Ruang dalam RPJMN 2015-2019 ... 30

3.2.Permasalahan Bidang Penataan Ruang ... 33

3.2.1. Pengaturan Penataan Ruang ... 36

3.2.2. Pembinaan Penataan Ruang ... 37

3.2.3. Pelaksanaan Penataan Ruang ... 40

3.2.4. Pengawasan Penataan Ruang ... 43

3.2.5. Pencapaian Tujuan Penyelenggaraan Penataan Ruang ... 43

3.3.Tantangan Bidang Penataan Ruang ... 52

(5)

3.3.2 Ketimpangan Wilayah ... 53

3.3.3 Kawasan Perkotaan ... 54

3.3.4 Kawasan Perdesaan ... 58

3.3.5 Pemekaran Wilayah ... 59

3.3.6 Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim ... 60

3.3.7 Kebencanaan ... 63

3.3.8 Kelembagaan ... 64

3.3.9 Pendanaan ... 65

3.4.Rumusan Isu Strategis Pembangunan Bidang Tata Ruang pada RPJMN 2015-2019 ... 67

BAB IV REKOMENDASI SASARAN, RANCANGAN KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN BIDANG TATA RUANG 2015-2019 ... 71

4.1.Sasaran Pembangunan Bidang Tata Ruang pada RPJMN 2015-2019 ... 71

(6)

1.1.Latar Belakang

Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menyebutkan bahwa perencanaan pembangunan nasional disusun secara sistematis, terarah, terpadu, menyeluruh, dan tanggap terhadap perubahan.

pembangunan nasional perlu mengembangkan pendekatan pembangunan berdimensi kewilayahan. Pembangunan yang memperhatikan dengan sungguh

karakteristik dan tahapan pembangunan setiap wilayah; serta mengacu pada tata wilayah. Pembangunan berdimensi kewilayahan mengutamakan peningkatan produktivitas, penciptaan nilai tambah, perluasan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, serta peningkatan daya saing dan percepatan pembangunan wilayah dengan mengut pengembangan sumber daya manusia, pengelolaan sumber daya lokal, pembangunan prasarana dan sarana, serta pengembangan tata kelola pemerintahan yang baik.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005

memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis SDA yang tersedia, SDM yang berkualitas, serta kemampuan iptek. Amanah ini

sebagai modal melakukan transformasi ekonomi nasional sesuai tujuan RPJPN 2005

Gambar 1.1. Pentahapan Misi Pembangunan Nasional

Sumber : Bappenas, 2013.

Dalam hal ini sedikitnya terdapat 2 (dua) tantangan yang perlu diperhatikan yakni bagaimana menjamin stock

ekonomi nasional saat ini serta bagaimana mengelola

untuk mengembangkan keunggulan kompetitif wilayah. RTRW secara konsepsi merupakan

BAB I PENDAHULUAN

undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menyebutkan bahwa perencanaan pembangunan nasional disusun secara sistematis, terarah, terpadu, menyeluruh, dan tanggap terhadap perubahan. Oleh sebab itu, perencanaan pembangunan nasional perlu mengembangkan pendekatan pembangunan berdimensi kewilayahan. Pembangunan yang memperhatikan dengan sungguh-sungguh potensi, karakteristik dan tahapan pembangunan setiap wilayah; serta mengacu pada tata wilayah. Pembangunan berdimensi kewilayahan mengutamakan peningkatan produktivitas, penciptaan nilai tambah, perluasan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, serta peningkatan daya saing dan percepatan pembangunan wilayah dengan mengut pengembangan sumber daya manusia, pengelolaan sumber daya lokal, pembangunan prasarana dan sarana, serta pengembangan tata kelola pemerintahan yang baik.

Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka 2005-2025 telah mengamanatkan Misi RPJMN 2015

memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis SDA yang tersedia, SDM yang berkualitas, serta kemampuan iptek. Amanah ini menegaskan pentingnya pengelolaan SDA sebagai modal melakukan transformasi ekonomi nasional sesuai tujuan RPJPN 2005

Gambar 1.1. Pentahapan Misi Pembangunan Nasional

Sumber : Bappenas, 2013.

Dalam hal ini sedikitnya terdapat 2 (dua) tantangan yang perlu diperhatikan yakni sumberdaya alam untuk mendukung keberlanjutan pertumbuhan ekonomi nasional saat ini serta bagaimana mengelola stock sumberdaya alam yang tersedia tuk mengembangkan keunggulan kompetitif wilayah. RTRW secara konsepsi merupakan undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menyebutkan bahwa perencanaan pembangunan nasional disusun secara sistematis, Oleh sebab itu, perencanaan pembangunan nasional perlu mengembangkan pendekatan pembangunan berdimensi sungguh potensi, karakteristik dan tahapan pembangunan setiap wilayah; serta mengacu pada tata ruang wilayah. Pembangunan berdimensi kewilayahan mengutamakan peningkatan produktivitas, penciptaan nilai tambah, perluasan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, serta peningkatan daya saing dan percepatan pembangunan wilayah dengan mengutamakan pengembangan sumber daya manusia, pengelolaan sumber daya lokal, pembangunan prasarana dan sarana, serta pengembangan tata kelola pemerintahan yang baik.

Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka 2025 telah mengamanatkan Misi RPJMN 2015-2019 adalah memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis SDA yang tersedia, SDM yang menegaskan pentingnya pengelolaan SDA sebagai modal melakukan transformasi ekonomi nasional sesuai tujuan RPJPN 2005-2025.

Gambar 1.1. Pentahapan Misi Pembangunan Nasional

(7)

instrumen untuk mendukung pengelolaan sumberdaya alam, oleh karenanya RTRW menjadi sangat penting dalam menjawab tantangan tersebut.

Peran penting lainnya dari tata ruang dalam mendukung transformasi ekonomi nasional adalah perannya dalam membangun iklim pembangunan bagi peningkatkan daya saing nasional melalui sinergi kebijakan antar sektor. Setiap sektor perlu dikembangkan sesuai kapasitas maksimum yang dimilikinya, namun dalam kondisi sumber daya yang terbatas konflik kepentingan antar sektor seringkali menjadi faktor yang kontra produktif. Kondisi tersebut diperburuk dengan ketidakpastian akan ketersediaan lahan untuk pembangunan masing-masing sektor.

Upaya untuk mengatasi persolalan tersebut salah satunya dilakukan dengan menyusun RTRW secara hirarkis dari tingkat pusat, provinsi hingga kabupaten dan kota. Dengan demikian, secara formal ketersediaan lahan sebagai stok pembangunan nasional dan daerah telah tertuang dalam RTRW Nasional, RTR Pulau, RTRW Provinsi, dan RTRW Kabupaten/Kota.

Permasalahannya, hingga kini baru 18 provinsi yang telah memiliki peraturan daerah tentang RTRW provinsi, sehingga masih sekitar 15 provinsi yang belum memiliki perda (status 13 Desember 2013). Kondisi ini harus segera diselesaikan sebelum RPJMN 2010-2014 berakhir sehingga tidak menjadi beban pada RPJMN 2015-2019. Permasalahan lain yang dihadapi adalah seringkali skenario pembangunan yang dibangun pada level nasional-provinsi maupun kabupaten kota kurang mempertimbangkan alokasi ruang yang telah ditetapkan dalam dokumen RTRW. Sebaliknya rencana alokasi ruang dalam dokumen rencana tata ruang tidak mengakomodasikan target-target pertumbuhan sektor-sektor pembangunan. Oleh karena itulah RPJPN 2005-2025 mengamanatkan pentingnya merumuskan pembangunan berdimensi ruang. Salah satu isu strategis terkait aspek ruang dalam kerangkan RPJMN 2015-1019 adalah bagaimana mewujudkan RTRW sebagai acuan pembangunan wilayah sesuai kebutuhan transformasi ekonomi di masing-masing wilayah.

Dengan demikian peran kunci pembangunan bidang tata ruang pada RPJMN 2015-2019 adalah bagaimana menjadikan rencana tata ruang sebagai instrumen pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan sekaligus menjadi acuan sinergi pembangunan antar sektor dan bidang dalam rangka mendukung proses tranformasi ekonomi menuju keunggulan kompetitif sesuai amanah RPJPN 2005-2025.

1.2.Tujuan dan Sasaran

Tujuan dari penyusunan Background Study Pembangunan Bidang Tata Ruang pada RPJMN 2015-2019 adalah sebagai berikut:

1 Mengidentifikasi isu-isu strategis pembangunan di bidang tata ruang yang berkembang selama pelaksanaan RPJMN 2010-2014;

2 Memperoleh sebuah kondisi benchmark serta proyeksi ke depan di bidang tata ruang; dan

3 Menyusun rancang bangun kebijakan bidang tata ruang masa depan sebagai input dalam penyusunan RPJMN 2015-2019.

(8)

yang diperoleh dari beberapa wilayah (lokasi) kegiatan; merumuskan arah kebijakan bidang penataan ruang dalam RPJMN 2015-2019; merumuskan program dan kegiatan bidang tata ruang 2015-2019; dan merumusan indikator input, ouput dan outcome bidang penataan ruang 2015-2019.

1.3.Ruang Lingkup

Lingkup kegiatan studi ini meliputi:

a. Melakukan tinjauan kebijakan bidang tata ruang dalam RPJPN 2005-2025, RPJMN 2010-2014 dan peraturan perundangan terkait lainnya, yang meliputi pula evaluasi pelaksanaan program sehingga dapat dihasilkan sintesa awal mengenai kebijakan bidang tata ruang selama ini;

b. Melakukan kajian literatur terhadap isu-isu bidang tata ruang, yang meliputi naskah akademik, peraturan perundangan terkait, studi-studi terdahulu dan lain sebagainya; c. Melakukan analisa data sekunder untuk menggambarkan Backlog 5 tahun terakhir,

kondisi eksisting, kebutuhan saat ini, dan melakukan proyeksi kondisi masa depan, sebagai landasan analisis permasalahan;

d. Melakukan desk study awal untuk memberikan gambaran permasalahan di bidang tata ruang;

e. Menghimpun opini dari stakeholder di bidang tata ruang, seperti instansi pemerintah, akademisi, praktisi,dalam bentuk seminar ataupun focus group discussion/FGD; serta kunjungan lapangan ke daerah.

f. Melakukan diseminasi kepada pemerintah daerah untuk menangkap persoalan di lapangan dan menghimpun persepsi dan keinginan pemerintah daerah di bidang tata ruang;

g. Menyusun policy paper di bidang tata ruang sebagai input dalam penyusunan RPJMN 2015-2019; dan

h. Lokakarya mengenai policy paper yang telah dihasilkan kepada stakeholder di bidang tata ruang guna menghasilkan draft final dan operasionalisasinya.

1.4.Metodologi

Metodologi pekerjaan terdiri atas dua bagian yaitu metode untuk mendapatkan data dan metode analisa kegiatan. Untuk pelaksanaan pengumpulan data akan dilakukan melalui survei sekunder ke institusi lokal dan survei primer ke beberapa daerah.

Berdasarkan metode tersebut, kegiatan kajian ini dilaksanakan melalui beberapa tahapan kegiatan sebagai berikut:

1. Tahap Persiapan, meliputi:

a. Persiapan dan penyelesaian administrasi pendukung; b. Penyusunan rencana kerja;

(9)

d. Konsolidasi tim tenaga ahli; e. Koordinasi dengan pihak 2. Tahap Desk Study, yaitu proses pene

sekunder terkait dengan kajian untuk dijadikan bahan dasar penyampaian proposal, draft kajian dan laporan berikutnya.

a. Tinjauan pustaka terhadap kajian terdahulu yang relevan

luar negeri, kajian literatur maupun kebijakan dan peraturan perundangan yang berkaitan dengan kajian;

b. Penulisan laporan pendahuluan untuk menghimpun dan mensintesa berbagai informasi dan data yang terkait dengan kajian, baik li

kegiatan desk study ini selanjutnya akan dipresentasikan dalam forum FGD ( Group Discussion).

3. Tahap FGD, Survey lapangan, dan Workshop, untuk mendapatkan perspektif mengenai kebijakan di bidang, tata ruang dan pertanahan

mengikutsertakan LSM, Perguruan Tinggi maupun pihak swasta, seperti pengembang, asosiasi profesi dan sebagainya.

4. Tahap Diseminasi, yaitu kegiatan sosialisasi dari berbagai rumusan yang dihasilkan dari proses partisipatif tersebut diatas melalui kegiatan seminar.

Adapun alur pikir yang digunakan dalam menyusun kajian ini adalah sebagai berikut:

Rancangan kebijakan pembangunan bidang tata ruang diharapkan mengakomodir (1) Arahan RPJP Nasional dan RTRW Nasional; (2) Hasil capaian RPJMN II 2010

Kebutuhan lain yang belum terakomodir dalam pelaksanaan RPJMN I dan RPJMN II. Konsolidasi tim tenaga ahli;

Koordinasi dengan pihak-pihak terkait.

, yaitu proses penelaahan, interpretasi dan sintesa dari berbagai data sekunder terkait dengan kajian untuk dijadikan bahan dasar penyampaian proposal, draft kajian dan laporan berikutnya. Desk study ini melingkupi:

Tinjauan pustaka terhadap kajian terdahulu yang relevan, baik dari dalam maupun luar negeri, kajian literatur maupun kebijakan dan peraturan perundangan yang berkaitan dengan kajian;

Penulisan laporan pendahuluan untuk menghimpun dan mensintesa berbagai informasi dan data yang terkait dengan kajian, baik lisan maupun tulisan. Hasil dari kegiatan desk study ini selanjutnya akan dipresentasikan dalam forum FGD (

).

Tahap FGD, Survey lapangan, dan Workshop, untuk mendapatkan perspektif mengenai kebijakan di bidang, tata ruang dan pertanahan. Proses partisipasi ini juga akan mengikutsertakan LSM, Perguruan Tinggi maupun pihak swasta, seperti pengembang, asosiasi profesi dan sebagainya.

Tahap Diseminasi, yaitu kegiatan sosialisasi dari berbagai rumusan yang dihasilkan dari tersebut diatas melalui kegiatan seminar.

Adapun alur pikir yang digunakan dalam menyusun kajian ini adalah sebagai berikut:

Gambar 1.2. Alur Pikir

Rancangan kebijakan pembangunan bidang tata ruang diharapkan mengakomodir (1) RTRW Nasional; (2) Hasil capaian RPJMN II 2010

Kebutuhan lain yang belum terakomodir dalam pelaksanaan RPJMN I dan RPJMN II. laahan, interpretasi dan sintesa dari berbagai data sekunder terkait dengan kajian untuk dijadikan bahan dasar penyampaian proposal, draft

, baik dari dalam maupun luar negeri, kajian literatur maupun kebijakan dan peraturan perundangan yang

Penulisan laporan pendahuluan untuk menghimpun dan mensintesa berbagai san maupun tulisan. Hasil dari kegiatan desk study ini selanjutnya akan dipresentasikan dalam forum FGD (Focus

Tahap FGD, Survey lapangan, dan Workshop, untuk mendapatkan perspektif mengenai . Proses partisipasi ini juga akan mengikutsertakan LSM, Perguruan Tinggi maupun pihak swasta, seperti pengembang,

Tahap Diseminasi, yaitu kegiatan sosialisasi dari berbagai rumusan yang dihasilkan dari

Adapun alur pikir yang digunakan dalam menyusun kajian ini adalah sebagai berikut:

(10)

1.5.Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan di dalam laporan ini adalah sebagai berikut:

BAB 1 Pendahuluan; berisi latar belakang kegiatan, tujuan dan sasaran kegiatan, ruang lingkup kegiatan dan metodologi dalam melaksanakan kegiatan.

BAB 2 Tinjauan Kebijakan; berisi uraian tentang amanat Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) terkait penyusunan RPJMN 2015-2019, rezim peraturan perundangan penyelenggaraan penataan ruang yang menjadi landasan pelaksanaan pembangunan bidang penataan ruang dan peraturan perundangan di luar rezim penyelenggaraan penataan ruang yang terkait dengan penataan ruang. Bagian ini diuraikan dengan maksud untuk memberikan pemahaman terkait peraturan perundangan yang mengatur pembangunan bidang penataan ruang.

BAB 3Analisis Permasalahan, Tantangan, Dan Isu Strategis Bidang Penataan Ruang; berisi uraian mengenai permasalahan dan tantangan dalam pembangunan bidang penataan ruang selama kurun waktu RPJMN 1 (2004-2009) dan RPJMN 2 (2010-2014). Permasalahan adalah representasi dinamika internal pembangunan bidang penataan ruang yang selama ini dilakukan dengan kaidah TURBINLAKWAS (pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan). Dinamika internal ini termasuk evaluasi capaian pembangunan bidang tata ruang selama ini. Tantangan adalah representasi dinamika eksternal yang dapat mempengaruhi penyelenggaraan penataan ruang. Permasalahan dan tantangan tersebut kemudian disintesakan menjadi isu strategis pembangunan bidang tata ruang untuk periode RPJMN 2015-2019.

(11)

BAB II TINJAUAN KEBIJAKAN

2.1. Amanat UU 17 tahun 2007 Tentang RPJPN 2005-2025

Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN dijelaskan bahwa Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional Tahun 2005-2025 merupakan penjabaran tujuan dari pembentukan Pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 kedalam sebuah dokumen perencanaan berisi rumusan visi, misi, dan arah Pembangunan Nasional untuk periode 20(dua puluh) tahun. Pelaksanaan RPJP Nasional terbagi menjadi 4(empat) tahapan perencanaan pembangunan dalam bentuk dokumen perencanaan 5(lima) tahunan, yaitu Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional. Dalam keberjalanannya, pelaksanaan RPJP Nasional saat ini akan memasuki tahap ketiga, yaitu RPJM Nasional Tahun 2015-2019.

2.1.1. Arahan Pembangunan RPJMN 2015-2019

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Pasal 4 menyebutkan bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Presiden yang penyusunannya berpedoman pada RPJP Nasional. Sebagai keberlanjutan RPJM ke-2, RPJM Nasional Tahun 2015-2019 ditujukan kepada pemantapan pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang dengan menekankan pencapaian daya saing kompetitif perekonomian berlandaskan keunggulan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia berkualitas serta kemampuan ilmu dan teknologi yang terus meningkat.

Pada periode ini, diharapkan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah semakin mantap demi tercapainya penguatan kepemimpinan dan kontribusi Indonesia dalam berbagai kerjasama internasional, penegakan hukum dalam berbagai aspek kehidupan, meningkatnya profesionalisme aparatur negara di pusat dan daerah, serta mantapnya kerjasama pemerintah dan dunia usaha untuk mendukung pembangunan nasional.

Daya saing perekonomian Indonesia diharapkan akan semakin kuat dan kompetitif dengan semakin terpadunya industry manufaktur dengan pengelolaan Sumber Daya Alam baik pertanian, kelautan, kehutanan, pertambangan, dan lainya secara berkelanjutan. Penguasaan dan penerapan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan akan membantu dalam meningkatkan efisiensi dan produktivitas industri dan kegiatan perekonomian lainnya. Ketersediaan infrastruktur yang sesuai dengan rencana tata ruang pun menjadi factor pendukung terciptanya pembangunan berkelanjutan di seluruh Indonesia.

Pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang semakin mantap dicerminkan oleh terjaganya daya dukung lingkungan dan kemampuan pemulihan mendukung kualitas kehidupan sosisal dan ekonomi secara serasi, seimbang, dan lestari.Pengelolaan dan pendayagunaan Sumber Daya Alam yang optimal diimbangi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup. Upaya-upaya tersebut perlu didukung oleh kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian alam, mantapnya kelembagaan dan kapasitas penataan ruang di seluruh wilayah Indonesia.

(12)

membaik ditandai oleh meningkatnya kualitas dan relevansi pendidikan, termasuk yang berbasis keunggulan lokal dan didukung oleh manajemen pelayanan pendidikan yang efisien dan efektif, meningkatnya derajat kesehatan dan status gizi masyarakat, meningkatnya kesetaraan gender, meningkatnya tumbuh kembang optimal, serta kesejahteraan dan perlindungan anak, tercapainya kondisi penduduk tumbuh seimbang, dan mantapnya budaya dan karakter bangsa.

2.1.2. Arahan Pembangunan Bidang Tata Ruang RPJMN 2015-2019

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJP Nasional, disebutkan bahwa dalam rangka mewujudkan visi pembangunan nasional ditempuh melalui beberapa misi pembangunan nasional. Dari 8 (delapan) misi yang dijabarkan secara detail, misi pembangunan nasional terkait penataan ruang adalah sebagai berikut:

1. Mewujudkan pemerataan pembagunan dan berkeadilan, yaitu meningkatkan pembangunan daerah; mengurangi kesenjangan sosial secara menyeluruh, keberpihakan kepada masyarakat, kelompok dan wilayah/daerah yang masih lemah; menanggulangi kemiskinan dan pengangguran secara drastic; menyediakan akses yang sama bagi masyarakat terhadap berbagai pelayanan sosial serta sarana dan prasarana ekonomi; serta menghilangkan diskriminasi dalam berbagai aspek termasuk gender.

Upaya pencapaian misi tersebut secara spasial dilakukan melalui:

 Rencana Tata Ruang sebagai acuan kebijakan spasial pembangunan di setiap sector, lintas sector maupun wilayah;

 Rencana Tata Ruang disusun secara hierarki; dan

 Perlu adanya peningkatan dalam kompetensi Sumber Daya Manusia dan kelembagaan di bidang penataan ruang, kualitas Rencana Tata Ruang, efektivitas penerapan dan penegakan hukum dalam perencanaan, pemanfaatan, maupun pengendalian penataan ruang.

2. Mewujudkan Indonesia asri dan lestari, yaitu memperbaiki pengelolaan pelaksanaan pembangunan yang dapat menjaga keseimbangan antara pemanfaatan, keberlanjutan, keberadaan, kegunaan seumber daya alam dan lingkungan hidup dengan tetap menjaga fungsi, daya dukung, dan kenyamanan dalam kehidupan pada masa kini dan masa depan, melalui pemanfaatan ruang yang serasi antara penggunaan untuk permukiman, kegiatan sosial ekonomi, dan upaya konservasi; meningkatkan pemanfaatan ekonomi sumber daya alam dan lingkungan yang berkesinambungan; memperbaiki pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk mendukung kualitas kehidupan; memberikan keindahan dan kenyamanan kehidupan; serta meningkatkan pemeliharaan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati sebagai modal dasar pembangunan.

(13)

Tabel 2.1. Tahapan Pelaksanaan RPJPN

RPJMN I Mitigasi Bencana Alam Sesuai Dengan Kondisi Geologi Indonesia

RPJMN II

– Mewujudkan Pembangunan Yang Berkelanjutan, Pengelolaan Sumber Daya Alam, dan Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup melalui penguatan kelembagaan dan peningkatan kesadaran masyarakat

– Meningkatnya kualitas perencanaan tata ruang serta konsistensi pemanfaatan ruang dengan mengintegrasikannya ke dalam dokumen perencanaan pembangunan terkait dan penegakan peraturan dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang

RPJMN III

− Mantapnya kelembagaan dan kapasitas penataan ruang di seluruh wilayah Indonesia

− Ketersediaan Infrastruktur yang Sesuai dengan Rencana Tata Ruang

RPJMN IV

Dalam memantapkan pembangunan yang berkelanjutan, keanekaragaman hayati dan kekhasan sumber daya alam terus dipelihara dan dimanfaatkan untuk mempertahankan nilai tambah dan daya saing bangsa serta meningkatkan modal pembangunan pada masa yang akan datang

Seperti telah disebutkan pada penjelasan sebelumnya bahwa dalam RPJM Tahun 2015-2019, ketersediaan infrastruktur merupakan faktor penting dalam pembangunan berkelanjutan di wilayah Indonesia. Infrastruktur yang perlu dikembangkan antara lain pada sector transportasi, energy, dan telekomunikasi, serta infrastruktur lainnya. Pembangunan dan pengelolaan infrastruktur perlu ditunjang oleh kapasitas kelembagaan yang memadai.

2.2. Amanat Peraturan Perundangan terkait Penataan Ruang

Penyelenggaraan penataan ruang terdiri dari pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan (TURBINLAKWAS) penataan ruang, sebagaimana diatur di dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR). Penataan ruang sendiri dijabarkan ke dalam suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Pelaksanaan sistem ini diatur secara rinci di dalam UUPR dan turunannya sebagaimana diuraikan berikut.

2.2.1. UU 26/ 2007 tentang Penataan ruang

Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 merupakan payung utama dasar hukum penataan ruang di Indonesiayang ditetapkan sebagai salah satu upaya untuk menangani berbagai tantangan kondisi penataan ruang Indonesia yang terus berkembang.Salahsatu konten utama yang terdapat dalam peraturan ini adalah mengenai sinkronisasi, yang secara garis besar terdiri atas sinkronisasi rencana tata ruang dengan rencana pembangunan yang lebih bersifat aspasial, serta sinkronisasi antara Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 dengan Undang-Undang sektoral terkait penataan ruang yang lebih bersifat spasial.

(14)

Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.

Pembahasan sinkronisasi rencana tata ruang wilayah nasional dengan rencana pembangunan nasional pada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 terdapat pada BAB VI tentang pelaksanaan penataan ruang, yang terdiri dari:

 Pasal 19, menyebutkan bahwa penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional harus memperhatikan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional; dan

 Pasal 20 Ayat (2), menyebutkan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional menjadi pedoman untuk penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.

Pasal-pasal lain dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 terkait sinkronisasi rencana tata ruang dengan rencana pembangunan antara lain:

 Pasal 22 Ayat (1) dan Pasal 23 Ayat (2) mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi;

 Pasal 25 Ayat (1) dan Pasal 26 Ayat (2) mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten; serta

 Pasal 28 mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Kota.

Berdasarkan pasal-pasal tersebut, secara umum dijelaskan bahwa penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) harus mengacu kepada Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), baik itu di tingkat Nasional/Provinsi/Kabupaten/Kota. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kemudian menjadi pedoman untuk penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), baik itu di tingkat Nasional/Provinsi/Kabupaten/Kota, serta dalam mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antar sektor.

Penataan ruang merupakan suatu sistem proses yang bersifat multisektor, maka dasar hukum penataan ruang (Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007)akan berkaitan dengan dasar hukum sektor lain.Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007merupakan payung hukum utama penataan ruang, namun tidak secara detail mengatur mengenai penataan ruang secara sektoral, seperti sektor pertambangan, kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, dan lainnya. Oleh karena itu, beberapa sektor pada akhirnya mengeluarkan kebijakan tersendiri terkaitpenataan ruang sesuai dengan kebutuhan sektor tersebut.

Dalam hal ini, sinkronisasi Undang Nomor 26 Tahun 2007 dengan Undang-Undang sektoral lain yang terkait dengan penataan ruang perlu dilakukan dalam mewujudkan keterpaduan pengelolaan sumber daya alam secara berdaya guna dan berhasil guna untuk kemudian dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

2.2.2. PP No 26 /2008 tentang RTRWN

(15)

Rencana Tata Ruang Wilayah nasional (RTRWN) merupakan arah kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah nasional yang meliputi ruang darat, laut, dan udara, termasuk ruang di dalam bumi.Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah nasional terbagi menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu struktur ruang dan pola ruang.Kebijakan dan strategi pengembangan struktur ruang nasional diarahkan pada upaya peningkatan akses pelayanan dan pusat pertumbuhan melalui peningkatan kualitas jaringan infrastruktur seperti jaringan transportasi, telekomunikasi, energi, dan sumber daya air secara merata dan berhierarki di seluruh wilayah Indonesia.

Berbeda dengan struktur ruang, kebijakan dan strategi pengembangan pola ruang terbagi menjadi 3 (tiga) bagian, meliputi pengembangan kawasan lindung, kawasan budidaya, dan kawasan strategis nasional.Kebijakan dan strategi kawasan lindung diarahkan kepada upaya pemeliharaan dan pelestarian fungsi lingkungan hidup akibat dampak negatif kegiatan masyarakat terhadap alam. Upaya tersebut dilakukan melalui penetapan kawasan lindung seluas ≥ 30% (tiga puluh persen) dari jumlah luasan wilayah di ruang darat, laut, udara, termasuk ruang di dalam bumi.

Upaya pelestarian lingkungan hidup pun termasuk kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam terbarukan dan tidak terbarukan bagi pembangunan nasional agar ketersediaannya dapat terus dipertahankan di masa yang akan datang dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya. Pelestarian lingkungan hidup secara tidak langsung akan berkaitan dengan upaya mitigasi bencana pada kawasan budidaya yang rawan bencana seperti kawasan permukiman di wilayah dengan kemiringan tinggi.

Kebijakan pengembangan Kawasan Budidaya terbagi menjadi 2 (dua), pertama adalah upaya sinergitas antarkegiatan budidaya yang menunjang berbagai aspek pembangunan berkelanjutan. Pada kebijakan ini, strategi yang dilakukan berfokus pada pengembangan kegiatan yang memiliki nilai strategis dan mampu meningkatkan perekonomian nasional secara berkelanjutan, melalui penetapan berbagai kawasan budidaya seperti pertanian, industri, kehutanan, perkebunan, perikanan, dan lainnya. Kebijakan kedua terkait kawasan budidaya adalah upaya pengendalian perkembangan kegiatan budidaya agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Upaya peningkatan perekonomian nasional melalui penetapan kawasan budidaya seperti disebutkan pada bagian sebelumnya bukanlah tanpa batasan. Upaya pengendalian kegiatan budidaya perlu dilaksanakan agar pelaksanaan pembangunan, terutama pembangunan fisik tidak berdampak negatif terhadap lingkungan hidup. Salahsatu poin penting dalam pengendalian kegiatan budidaya adalah pengembangan ruang terbuka hijau ≥ 30% (tiga puluh persen) dari luas kawasan perkotaan.

Kebijakan pengembangan Kawasan Strategis Nasional terdiri dari beberapa poin penting, antara lain:

 Pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup;  Peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan negara;

 Pengembangan dan peningkatan fungsi kawasan dalam pengembangan perekonomian nasional yang produktif, efisien, dan mampu bersaing dalam perekonomian internasional;

(16)

 Pelestarian dan peningkatan nilai kawasan lindung yang ditetapkan sebagai warisan dunia, cagar biosfer, dan ramsar; dan

 Pengembangan kawasan tertinggal untuk mengurangi kesenjangan tingkat perkembangan antarkawasan.

2.2.3. Perpres Terkait RTR Pulau

Peraturan Presiden (Perpres) terkait Rencana Tata Ruang Pulau/Kepulauan merupakan peraturan turunan yang diamanatkan Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia. Sejak penetapan UU penataan ruang hingga akhir tahun 2013, telah ditetapkan 4 dari 7 Peraturan Presiden (Perpres), yaitu:

 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 88 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Sulawesi;

 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Kalimantan;

 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 13 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Sumatera; dan

 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 23 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Jawa-Bali.

Sementara itu, 3 (tiga) Peraturan Presiden (Perpres) Rencana Tata Ruang Pulau/Kepulauan lainnya yang belum selesai adalah Rencana Tata Ruang Pulau Papua, Kepulauan Maluku, dan Kepulauan Nusa Tenggara.

Rencana tata ruang pulau/kepulauan berperan sebagai perangkat operasional dari Rencana Tata Ruang Nasional (RTRWN) serta alat koordinasi dan sinkronisasi program pembangunan wilayah pulau/kepulauan.Peraturan ini berfungsi sebagai pedoman untuk penyusunan rencana pembangunan pulau/kepulauan dalam menjaga keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah provinsi dan kabupaten/kota, serta keserasian antarsektor di wilayah pulau/kepulauan.

2.2.4. Peraturan Perundangan Lainnya

Selain peraturan perundangan yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya,Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang telah mengamanatkan penyusunan peraturan perundang-undangan sebagai berikut:

a. Peraturan pemerintah (PP)

Hingga akhir tahun 2013, telah ditetapkan 4 dari 5 Peraturan Pemerintah (PP) yang diamanatkan, yaitu:

1) Peraturan pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;

2) Peraturan pemerintah (PP) Nomor 15 ahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang;

3) Peraturan pemerintah (PP) Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang; dan

4) Peraturan pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 2013 tentang Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang.

(17)

Hingga akhir tahun 2013 telah ditetapkan 5 dari 76 Peraturan Presiden (Perpres) yang diamanatkan, yaitu:

1) Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur (Jabodetabekpunjur);

2) Perpres No. 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan (Sarbagita);

3) Perpres No. 55 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Makassar, Maros, Sungguminasa dan Takalar (Mamminasata);

4) Perpres No. 62 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Medan, Binjai, Deli Serdang dan Karo (Mebidangro); dan

5) Perpres No. 87 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Batam, Bintan dan Karimun (BBK).

c. Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi, Kabupaten/Kota.

Hingga akhir tahun 2013, Peraturan Daerah (Perda) terkait Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang telah ditetapkan adalah 18 dari 33 Perda RTRW Provinsi, 260 dari 398 Perda RTRW Kabupaten, dan 70 dari 93 Perda RTRW Kota.

2.3. Peraturan Perundangan Pembangunan Sektor

Kebijakan yang melandasi pelaksanaan pembangunan bidang penataan ruang tidak hanya tertuang dalam rencana pembangunan, baik RPJPN 2005-2025 maupun RPJMN 2015-2019, dan dalam peraturan perundang-undangan bidang penataan ruang yaitu UU No. 26 Tahun 2007 serta peraturan turunannya, tetapi juga tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan sektor di luar rezim penyelenggaraan penataan ruang yang terkait dengan penataan ruang.

Dokumen rencana tata ruang sebagai instrumen kebijakan bidang penataan ruang, memiliki peran penting dalam menjamin dan mengelola stock sumber daya alam serta menjadi acuan sinergi pembangunan antar sektor dan bidang. Sehingga pembangunan dilaksanakan berdasarkan pada alokasi ruang sebagaimana tercantum dalam dokumen rencana tata ruang. Dalam hal ini, UU No. 26 Tahun 2007 menyadari bahwa sifat rencana yang harus akomodatif terhadap perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat utamanya dalam membangun iklim pembangunan bagi peningkatkan daya saing nasional serta mendukung proses tranformasi ekonomi menuju keunggulan kompetitif sesuai amanah RPJPN 2005-2025.

(18)

Yang termasuk dalam kawasan lindung adalah:

a. kawasan yang memberikan pelindungan kawasan bawahannya, antara lain, kawasan hutan lindung, kawasan bergambut, dan kawasan resapan air;

b. kawasan perlindungan setempat, antara lain, sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, dan kawasan sekitar mata air;

c. kawasan suaka alam dan cagar budaya, antara lain, kawasan suaka alam, kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, cagar alam, suaka margasatwa, serta kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan;

d. kawasan rawan bencana alam, antara lain, kawasan rawan letusan gunung berapi, kawasan rawan gempa bumi, kawasan rawan tanah longsor, kawasan rawan gelombang pasang, dan kawasan rawan banjir; dan

e. kawasan lindung lainnya, misalnya taman buru, cagar biosfer, kawasan perlindungan plasma nutfah, kawasan pengungsian satwa, dan terumbu karang.

Yang termasuk dalam kawasan budi daya adalah kawasan peruntukan hutan produksi, kawasan peruntukan hutan rakyat, kawasan peruntukan pertanian, kawasan peruntukan perikanan, kawasan peruntukan pertambangan, kawasan peruntukan permukiman, kawasan peruntukan industri, kawasan peruntukan pariwisata, kawasan tempat beribadah, kawasan pendidikan, dan kawasan pertahanan keamanan.

Sebagai basis dari kebijakan penataan ruang, UU No. 26 Tahun 2007 memerlukan pengaturan yang lebih spesifik sesuai dengan bidang sektor masing-masing dalam memanfaatkan ruang. Oleh karenanya muncul berbagai kebijakan sektoral bidang penataan ruang yang sangat disayangkan tidak diimbangi dengan kebijakan harmonisasi dan integrasi sehingga terjadinya disharmoni dalam beberapa implementasi kebijakan sektoral tersebut.

Kondisi ini berbeda dengan saat berlaku UU Penataan Ruang sebelumnya yaitu UU No. 24 Tahun 1992 yang secara tegas menyatakan dalam Penjelasan UU bahwa “Undang-undang ini menjadi landasan untuk menilai dan menyesuaikan peraturan per“Undang-undang-“Undang-undangan yang memuat ketentuan tentang segi-segi pemanfaatan ruang yang telah berlaku yaitu peraturan perundang-undangan mengenai perairan, pertanahan, kehutanan, pertambangan, pembangunan daerah, perdesaan,perkotaan, transmigrasi, perindustrian, perikanan, jalan, Landas Kontinen Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, perumahan dan permukiman, kepariwisataan, perhubungan, telekomunikasi, dan sebagainya...”. Sehingga walaupun kebijakan penataan ruang tersebar melalui berbagai peraturan perundang-undnagan sektoral tetap terangkum dan terkendali melalui satu sistem hukum penatan ruang yaitu UU No. 24 tahun 1992 tersebut.

Berikut adalah beberapa kebijakan sektoral di luar rezim penyelenggaraan penataan ruang yang terkait dengan penataan ruang.

2.3.1. Pertambangan dan Energi

(19)

pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang. Sedangkan Energi yang terdiri dari sumber energi baru terbarukan (panas bumi, angin, bioenergi, aliran dan terjunan air, dan tak terbarukan (minyak bumi, gas bumi, nuklir, hidrogen, batu bara, gas metana batu bara, batu bara tercairkan dan batu bara tergaskan) berdasarkan UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi adalah kemampuan untuk melakukan kerja yang dapat berupa panas, cahaya, mekanika, kimia, dan elektromagnetik.

Adapun kebijakan bidang Pertambangan dan Energi yang memiliki keterkaitan dengan bidang penataan ruang, termuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan antara lain:

a. UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara b. UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

c. UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi d. UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi

e. Perpres No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional f. Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2006-2025

Berbagai kebijakan bidang pertambangan dan energi memperlihatkan bahwa jaminan ketersediaan sumberdaya dan pengelolaan yang tepat merupakan hal penting untuk mewujudkan ketahanan energi guna mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan yang berbasis SDA yang tersedia, SDM yang berkualitas serta kemampuan iptek sesuai dengan arahan RPJMN 3 (2015-2019). Khususnya melalui Kebijakan Energi Nasional dan Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2006-2025, Indonesia diharapkan berada pada kondisi i) meningkatnya akses masyarakat terhadap energi; ii) meningkatnya keamanan pasokan energi; iii) menyesuaikan harga energi dengan keekonomiannya; iv) penyediaan infrastruktur energi yang memadai; serta v) meningkatnya efisiensi penggunaan energi hingga periode 2025.

Beberapa pengaturan dalam UU No. 4 Tahun 2009 yang berkaitan dengan penataan ruang yaitu:

Pasal 1 angka 29 menjelaskan bahwa “Wilayah Pertambangan, yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional.” Selanjutnya, pada Pasal 9 mengatur:

(1) WP sebagai bagian dari tata ruang nasional merupakan landasan bagi penetapan kegiatan pertambangan.

(2) WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

(20)

Secara umum keterkaitan kebijakan pertambangan dan energi dengan bidang penataan ruang adalah dapat dilakukannya kegiatan pertambangan dan energi apabila telah sesuai dengan rencana tata ruang. Sehingga menjadikan RTRW sebagai acuan apasial bagi kegiatan pertambagan dan energi maka sekaligus dapat mewujudkan Kebijakan Energi Nasional dan Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2006-2025 tersebut.

2.3.2. Kehutanan

Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Kawasan Hutan termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan hutan bagi kesejahteraan masyarakat, maka pada prinsipnya semua hutan dan kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan sifat, karakteristik, dan kerentanannya, serta tidak dibenarkan mengubah fungsi pokoknya (fungsi konservasi, lindung dan produksi).

Penguasaan hutan oleh Negara, sebagaimana disebutkan pada Penjelasan Umum UU No. 41 Tahun 1999, bukan berarti bahwa kawasan hutan adalah milik Negara tetapi Negara memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah status kawasan hutan; mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan, serta mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan.

Ditinjau dari luasnya lingkup penguasaan oleh Negara terhadap kawasan Hutan tersebut, Pengurusan Hutan1 perlu dilakukan untuk memperoleh keseimbangan manfaat

lingkungan (hutan sebagai penyangga kehidupan), manfaat sosial budaya (hutan sebagai sumber kehidupan dan kesejahteraan bagi ekosistemnya), dan manfaat ekonomi (hutan sebagai penyedia bahan baku industri, sumber pendapatan dan menciptakan lapangan dan kesempatan kerja). Selain itu untuk menjaga keberlangsungan fungsi pokok hutan dan kondisi hutan, dilakukan juga upaya rehabilitasi serta reklamasi hutan dan lahan, yang bertujuan selain mengembalikan kualitas hutan juga meningkatkan pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat.

Pengurusan Hutan dilakukan dengan melakukan kegiatan perencanaan yang meliputi:

a. Inventarisasi hutan, dilakukan melalui kegiatan survei yang bertujuan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang sumber daya, potensi kekayaan alam hutan, serta lingkungannya secara lengkap. Hasil dari Inventarisasi digunakan sebagai dasar pengukuhan kawasan hutan, penyusunan neraca sumber daya hutan, penyusunan rencana kehutanan, dan sistem informasi kehutanan.

b. Pengukuhan kawasan hutan, meliputi proses penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan, dan penetapan kawasan hutan dengan memperhatikan RTRW dan kondisi eksisting berdasarkan survei pada saat Inventarisasi

1

(21)

Hutan. Pengukuhan kawasan hutan bertujuan untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan utamanya melalui penyelesaian penataan batas luar dan batas fungsi kawasan hutan yang juga diharapkan dapat membantu menyelesaikan konflik pemanfaatan kawasan hutan dan mempercepat penyelesaian RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota.

c. Hasil dari pengukuhan kawasan hutan selanjutnya digunakan pada Penatagunaan Kawasan Hutan yang meliputi penetapan fungsi dan penggunaan kawasan hutan yang pada akhirnya dapat digunakan sebagai bahan penyusunan RTRW.

d. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilakukan oleh Pemerintah yang memberikan arahan untuk ditetapkannya luas kawasan hutan dalam setiap daerah aliran sungai (DAS) dan atau pulau, minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daratan2 dengan sebaran

proporsional. Dengan adanya ketentuan luasan minimal tersebut, Pemerintah Daerah tidak dapat secara bebas melakukan alih fungsi dan penggunaan kawasan, terlebih bagi Daerah yang luasan kawasan hutannya lebih dari 30%, dengan dalih ketentuan minimal luasan kawasan dapat mengkonversi hutan yang ada.

Akan tetapi, kondisi saat ini perkembangan penduduk dan peningkatan aktivitas yang menuntut ketersediaan lahan yang semakin luas sehingga sering memanfaatkan kawasan hutan. Kawasan yang telah ditetapkan fungsi dan penggunaannya seringkali diajukan untuk dilakukan perubahan/alih fungsi dan penggunaan kawasan baik melalui proses tukar menukar kawasan hutan atau pelepasan kawasan hutan. Ketentuan mengenai mekanisme perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan diatur pada PP No. 10 tahun 2010 sebagaimana telah dirubah dengan PP No. 60 Tahun 2012 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Berdasarkan PP tersebut, untuk proses tukar menukar kawasan hutan keputusan untuk merubah peruntukan dan fungsi dilakukan melalui penelitian dan pengkajian yang dilakukan oleh Tim Terpadu (Timdu) yang memiliki kompetensi dan otoritas ilmiah (scientific authority). Timdu akan memberikan hasil rekomendasi kepada Menteri Kehutanan untuk melakukan atau tidak melakukan perubahan tersebut. Sedangkan untuk proses pelepasan kawasan hutan, hingga Mei 2013, telah dilakukan pelepasan 962 ribu ha untuk untuk transmigrasi dan 5,8 juta ha untuk wilayah perkebunan sebagai bentuk upaya membantu menyelesaikan konflik permasalahan penggunaan ruang.3

e. Penyusunan rencana kehutanan yang didasarkan pada jangka waktu rencana, skala geografis dan fungsi pokok kawasan hutan sehingga kawasan hutan dapat dimanfaatkan secara seimbang untuk kemakmuran rakyat.

Berdasarkan proses Pengurusan Hutan sebagaimana diuraikan diatas, secara simultan dapat terlihat keterkaitan antara proses tersebut dengan bidang penataan ruang, dimana RTRW sebagai tools perencanaan ruang dijadikan acuan dalam Pengurusan Hutan dan

2 Sebagaimana tertuang pada Penjelasan Pasal 18 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,

keterkaitan luasan kawasan hutan dengan DAS yaitu mempertimbangkan kondisi Indonesia sebagai Negara tropis yang memiliki curah dan intensitas hujan yang tinggi dan memiliki konfigurasi daratan yang bergelombang, berbukit, dan bergunung yang peka akan gangguan keseimbangan tata air seperti banjir, erosi, sedimentasi, serta kekurangan air.

3 Berdasarkan data Kementerian Kehutanan, Rencana Kerja Tahun 2014 melalui penetapan Peraturan

(22)

sebaliknya, digunakannya data dan bahan hasil proses Pengurusan Hutan untuk bahan penyusunan RTRW dan/atau revisi RTRW. Dengan adanya keterkaitan tersebut, tujuan untuk mencapai keseimbangan manfaat lingkungan-sosial budaya dan ekonomi yang pada akhirnya dapat tercapai sinergi pembangunan antar sektor. Misalnya dalam proses pemberian izin, apabila telah jelas delineasi kawasan hutan dan telah ditetapkan melalui RTRW yang dengan jelas mencantumkan arahan struktur dan pola yang dapat dikembangkan pada kawasan tersebut beserta dengan arahan pemanfaatan ruangnya maka Pemerintah Daerah dengan mudah dapat memberikan izin dengan memperhatikan ketentuan teknis tersebut.

2.3.3. Transportasi dan Telekomunikasi

Rencana tata ruang diwujudkan melalui rencana struktur (rencana sistem pusat permukiman dan rencana sistem jaringan prasarana) dan rencana pola ruang (peruntukan kawasan lindung dan kawasan budi daya)4. Perwujudan rencana stuktur ruang dimaksudkan

untuk untuk mendukung pengembangan pusat-pusat kegiatan wilayah melalui penyediaan infrastruktur konektivitas, energi dan sumber daya air sehingga tercapai efisiensi kegiatan produksi dan distribusi, sedangkan perwujudan rencana pola ruang bertujuan untuk mencapai keseimbangan distribusi peruntukan ruang agar mencapai manfaat bagi setiap aktivitas yang membutuhkan yang disesuaikan dengan daya dukung lingkungan. Oleh karenanya melalui rencana tata ruang diharapkan tercapai ruang wilayah yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan5.

Konektivitas antar wilayah menjadi prioritas penting bagi Pemerintah dalam rangka memantapkan pembangunan secara menyeluruh sesuai amanah RPJMN 3. Dengan tercapainya konektivitas antar wilayah maka dapat mendukung dinamika pembangunan, mendukung mobilitas manusia, barang serta jasa, mendukung pola distribusi nasional serta pengembangan wilayah dan peningkatan hubungan internasional yang lebih memantapkan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam rangka mendukung proses tranformasi ekonomi menuju keunggulan kompetitif sesuai amanah RPJPN 2005-2025.

Sistem transportasi yang terorganisir, dan saling berinteraksi membentuk sistem pelayanan jasa transportasi yang efektif, efisien dan terpadu diwujudkan melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 49 Tahun 2005 tentang Sistem Transportasi Nasional (Sistranas). Sistem Transportasi Nasional meliputi transportasi darat (jalan, kereta api, sungai, danau, dan penyeberangan), laut, dan udara. Sistranas memiliki fungsi sebagai berikut:

1. Sebagai unsur penunjang, yaitu menyediakan jasa transportasi yang efektif dan efisien untuk memenuhi kebutuhan sektor lain, sekaligus juga berfungsi ikut menggerakkan dinamika pembangunan nasional serta sebagai industri jasa yang dapat memberikan nilai tambah.

2. Sebagai unsur pendorong, yaitu menyediakan jasa transportasi yang efektif untuk menghubungkan daerah terisolasi dengan daerah berkembang yang berada di luar wilayahnya, sehingga terjadi pertumbuhan perekonomian yang sinergis.

4 Sebagaimana diatur pada Pasal 17 UU No. 26 Tahun 2007.

(23)

1. Transportasi Darat

a. Jaringan Jalan

Peraturan yang menjadi dasar hukum utama pengembangan jaringan jalan adalah Undang-Undang Nomor 38 tahun 2004 tentang jalan. Berdasarkan pasal 1 UU ini, definisi jalan adalah prasarana transportasi darat yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air. Jalan merupakan urat nadi kehidupan masyarakat dan berperan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan upaya pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya di seluruh wilayah Indonesia.

Jalan sebagai bagian sistem transportasi nasional mempunyai peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat seperti aspek ekonomi, dimana jalan berperan sebagai katalisator diantara proses produksi, pasar, dan konsumen. Dari aspek sosial budaya, jalan menunjang dalam proses perubahan sosial dan memperkecil sekat budaya. Dari aspek lingkungan, keberadaan jalan diperlukan dalam mendukung pembangunan berkelanjutan.

Secara umum, Undang-Undang Nomor 38 tahun 2004 memuat penyelenggaraan jalan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan jalan umum; pengaturan, pembinaanm pengusahaan, dan pengawasan jalan tol; dan penyelenggaraan jalan khusus. Dalam pasal 6 juga dijelaskan mengenai klasifikasi jalan umum dan khusus. Jalan umum dapat dikelompokkan kembali berdasarkan system, fungsi, status, dan kelas jalan. Sementara itu, jalan khusus merupakan jalan yang dipergunakan bagi lalu lintas distribusi barang dan jasa.

Klasifikasi Jalan Berdasarkan sistem Berdasarkan

fungsi Berdasarkan status Berdasarkan kelas  Jalan primer

 Jalan sekunder  Jalan arteri Jalan kolektor  Jalan lokal  Jalan

lingkungan

 Jalan nasional  Jalan provinsi  Jalan kabupaten  Jalan kota  Jalan desa

Klasifikasi dilakukan sesuai peraturan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 tahun 2004, terdapat beberapa peraturan turunan yang diamanatkan untuk mendukung tujuan pengembangan jaringan jalan, antara lain:

 Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2013 tentang Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2011 tentang Manajemen Rekayasa, Analisis Dampak, serta Kebutuhan Lalu Lintas

 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol, beserta perubahannya yaitu:

o Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol;

(24)

b. Perkeretaapian

Peraturan terkait perkeretaapian diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2007 tentang perkeretaapian. Kereta api merupakan salah satu moda transportasi massal yang telah digunakan di Indonesia, terutama di Pulau Jawa dan sebagian Pulau Sumatera. Berdasarkan pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2007, penyelenggaraan perkeretaapian bertujuan untuk memperlancar perpindahan orang dan/atau barang secara massal dengan selamat, aman, nyaman, cepat dan lancar, tepat, tertib dan teratur, efisien, serta menunjang pemerataan, pertumbuhan, stabilitas, pendorong, dan penggerak pembangunan nasional.

Peran kereta api sebagai transportasi massal dalam pelaksanaan pembangunan nasional sangat strategis sehingga pengembangan jaringan prasarana kereta api di berbagai wilayah di Indonesia menjadi penting. Pembangunan dan pengembangan prasarana kereta api, terutama jaringan rel kereta membutuhkan perencanaan yang sangat matang karena akan memberikan dampak, tidak hanya terhadap kondisi lingkungan hidup kawasan yang dilaluinya namun juga mempengaruhi kegiatan sosial budaya serta perekonomian masyarakat disekitarnya.

Secara umum, perkeretaapian berdasarkan fungsi terbagi menjadi 2, yaitu perkeretaapian umum dan perkeretaapian khusus dimana penggunaannya terbatas bagi badan usaha tertentu. Tatanan perkeretaapian umum diatur dalam suatu tatanan perkeretaapian nasional dalam bentuk Rencana Induk Perkeretaapian. Sesuai dengan bunyi Pasal 8 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2007, bahwa rencana induk perkeretaapian nasional disusun dengan memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan rencana induk jaringan moda transportasi lainnya. Seperti halnya di tingkat nasinal, pada pasal-pasal selanjutnya mengenai Rencana Induk Perkeretaapian Provinsi, serta Kabupaten/Kota perlu memperhatikan peraturan perundangan terkait penataan ruang baik di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota.

Rencana induk perkeretaapian secara umum memuat:

 Arah kebijakan dan peranan perkeretaapian dalam keseluruhan moda transportasi;  Prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan;  Rencana kebutuhan prasarana perkeretaapian;

 Rencana kebutuhan sarana perkeretaapian; dan  Rencana kebutuhan sumber daya manusia.

Selain Undang-Undang Nomor 23 tahun 2007, peraturan perundangan turunan yang mengatur penyelenggaraan perkeretaapian antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian.

2. Transportasi Laut

(25)

transportasi yang baik akan mendukung pengembangan wilayah dan pertumbuhan perekonomian nasional.

Peraturan perundangan terkait transportasi air (laut dan sungai, danau, dan penyeberangan) adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Pada peraturan ini, pembahasan keterpaduan pembangunan infrastruktur terdapat pada beberapa pasal, antara lain:

 Pasal 22 Ayat (2) tentang angkutan penyebrangan;

 Pasal 71 Ayat (2) tentang rencana induk pelabuhan nasional; dan  Pasal 73 Ayat (2) dan Pasal 77 tentang lokasi pelabuhan;

Berdasarkan pasal-pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam upaya pengembangan sarana dan prasarana transportasi air, perlu memperhatikan dan mempertimbangkan Rencana Tata Ruang Wilayah baik di tingkat nasional, provinsi, maupun Kabupaten dan Kota. Pada pasal 73 Ayat (2) ditegaskan bahwa dalam pembangunan pelabuhan salahsatunya harus memenuhi kelayakan lingkungan dimana lokasi pelabuhan tidak mengganggu lingkungan dan sesuai dengan peruntukkannya.

Lebih detail lagi, salah satu peraturan perundangan turunan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 yang memuat tentang pengembangan prasarana transportasi laut, yaitu pelabuhan terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009. Pelabuhan sebagai salah satu unsur dalam penyelenggaraan pelayaran memiliki peran yang sangat penting dan strategis.

Pada pasal 10 disebutkan kembali bahwa rencana lokasi pelabuhan disusun dengan berpedoman pada kebijakan pelabuhan nasional dan harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota. Pada pasal lainnya, disebutkan bahwa setiap pelabuhan wajib memiliki Rencana Induk Pelabuhan yang disusun dengan berpedoman kepada Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.

3. Transportasi Udara

Transportasi udara memiliki karakteristik dan keunggulan tersendiri yang tidak dimiliki oleh transportasi darat dan laut, yaitu mampu bergerak dalam waktu cepat, menggunakan teknologi tinggi, padat modal, manajemen yang andal, serta memerlukan jaminan keselamatan dan keamanan yang optimal. UU No. 26 Tahun 2007 mengatur mengenai tatanan kebandarudaraan yaitu sistem kebandarudaraan nasional yang yang menggambarkan perencanaan bandar udara berdasarkan rencana tata ruang, pertumbuhan ekonomi, keunggulan komparatif wilayah, kondisi alam dan geografi, keterpaduan intra dan antarmoda transportasi, kelestarian lingkungan, keselamatan dan keamanan penerbangan, serta keterpaduan dengan sektor pembangunan lainnya. Pasal 29 UU No. 26 Tahun 2007 mengatur tatanan kebandarudaraan terdiri atas: i) bandar udara umum, yang melayani pusat penyebaran skala primer, sekunder, tersier dan yang bukan pusat penyebaran; serta ii) bandara udara khusus yang dikembangkan untuk menunjang pengembangan kegiatan tertentu.

(26)

dicapai dengan transportasi darat, sungai ataupun laut. Guna mendukung pengembangan tatanan kebandarudaraan tersebut, Pemerintah menetapkan UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang memuat tentang Rencana Induk Nasional Bandar Udara.

Rencana Induk Nasional Bandar Udara merupakan pedoman dalam penetapan lokasi, penyusunan rencana induk, pembangunan pengoperasian, dan pengembangan bandar udara. Dengan memperhatikan RTRW, Rencana Induk Nasional Bandar Udara memuat kebijakan nasional bandar udara dan rencana lokasi bandar udara beserta penggunaan, hierarki, dan klasifikasi bandar udara. Adapun lingkup dari penetapan lokasi bandar udara, tidak hanya memuat titik koordinat bandar udaranya saja, melainkan memuat i) prakiraan permintaan kebutuhan pelayanan penumpang dan kargo; ii) kebutuhan fasilitas; iii) tata letak fasilitas; iv) tahapan pelaksanaan pembangunan; v) kebutuhan dan pemanfaatan lahan; vi) daerah lingkungan kerja; vii) daerah lingkungan kepentingan; viii) kawasan keselamatan operasi penerbangan; dan ix) batas kawasan kebisingan.

4. Telekomunikasi

Untuk mewujudkan konektivitas antar wilayah tidak hanya perlu dukungan sistem transportasi tetapi juga melalui sistem telekomunikasi yang handal dan berkualitas di seluruh wilayah Indonesia dalam rangka meminimalisir kesenjangan komunikasi dan menjamin kelancaran arus informasi. Kebijakan bidang telekomunikasi diatur secara luas dan parsial dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti: UU No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi , UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, UU No. 11 Tahun 2008, tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, UU No. 38 Tahun 2009 tentang Pos, serta rancangan UU tentang cyber crime yang sampai saat ini masih dalam tahap pembahasan.

Adapun peyelenggaraan pembangunan bidang telekomunikasi, meliputi: bidang infrastruktur informasi dan komunikasi serta bidang komunikasi dan infromasi6. Salah satu pembangunan bidang telekomunikasi yang memiliki keterkaitan dengan bidang penataan ruang yaitu, pembangunan bidang infrastruktur informasi dan komunikasi. Pada prinsipnya, bidang infrastruktur informasi dan komunikasi bertujuan untuk menyediakan akses komunikasi dan informasi yang merata di seluruh wilayah Indonesia dan menyediakan sarana, prasarana, dan layanan komunikasi dan informatika di seluruh desa, daerah perbatasan negara, pulau terluar, daerah terpencil, dan wilayah non komersial lain untuk mengurangi daerah blank spot.

Kemudahan akses informasi dan komunikasi merupakan hak masyarakat sebagaimana tertuang dalam UUD 1945, Pasal 28 F yaitu “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Oleh karenanya Pemerintah sebagai penyelenggara Negara, dalam hal ini wajib untuk menyediakan ruang dan saluran yang diperlukan termasuk melaksanakan pembangunan infratruktur pendukung pada lokasi-lokasi yang dibutuhkan dengan mempertimbangkan kondisi wilayah (geografis strategis). Tidak hanya itu, diperlukan pula kerja sama pihak swasta dan stakeholders lainnya dalam rangka membangun infrastrukur yang terorganisir. Terkait dengan pembangunan tersebut, khususnya bagi pihak swasta, diperlukannya izin yang diberikan oleh

(27)

Pemerintah, sehingga penting bagi Pemerintah untuk menetapkan lokasi-lokasi ruang untuk pembangunan infrastruktur telekomunikasi sekaligus infrastruktur transportasi dalam RTRW untuk memudahkan penerbitan izin-izin tersebut.

Dengan terakomodirnya rencana-rencana pembangunan, yang dalam hal ini adalah pembangunan infrastruktur baik untuk bidang telekomunikasi dan transportasi, di dalam RTRW diharapkan dapat meminimalisir isu ketimpangan wilayah dan konektivitas-aksesibilitas antar wilayah yang selalu muncul dalam kajian-kajian bidang penataan ruang. Sistem konektivitas yang menjadi tujuan pembangunan struktur ruang masih belum optimal didasarkan pada data dari Kementerian Perhubungan (2013), yang akan diuraikan pada bab selanjutnya, tercatat bahwa wilayah-wilayah yang belum terhubung secara geografis memiliki potensi sumber daya yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi baik untuk wilayahnya secara lokal maupun mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.

Dengan terakomodirnya rencana-rencana pembangunan, yang dalam hal ini adalah pembangunan infrastruktur baik untuk bidang telekomunikasi dan transportasi, dalam RTRW diharapkan dapat meminimalisir isu ketimpangan wilayah dan konektivitas-aksesibilitas antar wilayah yang selalu muncul dalam kajian-kajian bidang penataan ruang.

2.3.4. Pertanian dan Perkebunan

Sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk Indonesia tentunya mendorong peningkatan jumlah permintaan pada sektor pangan. Sehingga peningkatan permintaan penambahan luasan lahan pertanian dan perkebunan terutama lahan sawah dan lahan kering untuk tanaman palawija, disamping untuk tanaman tahunan tidak dapat dihindarkan.

Pada periode 2010-2014, Kementerian Pertanian menyelenggarakan pembangunan bidang pertanian7 yang fokus pada pencapaian terhadap: i) swasembada dan swasembada

pangan berkelanjutan; ii) peningkatan diversifikasi pangan; iii) peningkatan nilai tambah, daya saing, dan ekspor pangan; serta sebagai pendukung, dilakukannya iv) peningkatan kesejahteraan bagi petani/pekebun sebagai pelaku utama bidang pertanian dan perkebunan. Penyelenggaraan pembangunan bidang pertanian tersebut, diwujudkan melalui sistem pertanian berkelanjutan yang efisien, berbasis iptek dan sumberdaya lokal, serta berwawasan lingkungan melalui pendekatan sistem agribisnis.

Untuk mendukung hal tersebut, bidang penataan ruang melalui UU No. 26 Tahun 2007 mengatur mengenai kawasan agropolitan, Pasal 1 angka 24 menyatakan “Kawasan Agropolitan adalah kawasan yang terdiri dari satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis.”

Pengembangan kawasan agropolitan bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pelayanan prasarana dan sarana penunjang kegiatan pertanian, baik yang dibutuhkan untuk proses produksi, distribusi hingga konsumsi melalui pengaturan lokasi permukiman penduduk, lokasi kegiatan produksi, lokasi pusat pelayanan dan peletakkan jaringan prasarana. Jika suatu wilayah ditentukan sebagai kawasan agropolitan dalam rangka mengoptimalkan kegiatan pertanian pada wilayah tersebut, dan dicantumkannya kawasan

7 Sebagaimana diuraikan dalam Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2010-2014 yang ditetapkan

Gambar

Gambar 3.1.  Target Pertumbuhan Ekonomi NasionalGambar 3.1.  Target Pertumbuhan Ekonomi NasionalGambar 3.1
Gambar  3.3.  Prediksi Penyerapan Tenaga Kerja Gambar  3.3.  Prediksi Penyerapan Tenaga Kerja
Gambar 3.8. Persepsi terhadap Prioritas Kegiatan Peningkatan  Implementasi . Persepsi terhadap Prioritas Kegiatan Peningkatan  Implementasi
Tabel  3.2. Status Perda RTRW Provinsi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasonlóképpen látja Barbara Kellerman (1984, p. 70) is a vezetést, amely akkor nyilvánul meg, ha „egy személy konzisztens módon nagyobb hatást gyakorol, mint mások a

Media pembelajaran adalah “Sesuatu yang dapat menyampaikan dan menyalurkan pesan dari sumber secara terencana sehingga tercipta lingkungan belajar yang kondusif

hasil rancangan yan telah dibuat mampu menahan beban yang telah ditentukan setelah dianalisa dengan SOLIDWORKS 2016.Dengan adanya perancangan dan analisa gantry crane,

Gambar 5.8 Hubungan antara expected profit dengan mark up menggunakan multi distribusi normal untuk model Ackoff & Sasieni .... 87 Gambar 5.9 Hubungan antara

C++ adalah bahasa pemrograman komputer yang di buat oleh (Bjarne Stroustrup) merupakan perkembangan dari bahasa C dikembangkan di Bell Labs (Dennis Ritchie) pada

Hal ini sangat berkaitan bagaimana dengan cara anggota HmC membentuk kesamaan persepsi di dalam kelompoknya, image yang ingin dibentuk oleh kelompok ini adalah

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015 – 2019, Agenda prioritas pembangunan nasional sebagai penjabaran operasional dari Nawa Cita yang

[(c) Suatu cip TLD dengan ketebalan 0.5 mm digunakan untuk menentukan dos terserap dalam air akibat suatu sumber gamma Co-60.. (i) Bolehkan teorem rongga Bragg-Gray cavity