• Tidak ada hasil yang ditemukan

Epidemiologi beberapa Penyakit Penting pada Tanaman Cabai (Capsicum annuum L.) di Desa Ciputri Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Epidemiologi beberapa Penyakit Penting pada Tanaman Cabai (Capsicum annuum L.) di Desa Ciputri Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur."

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

EPIDEMIOLOGI BEBERAPA PENYAKIT PENTING PADA

TANAMAN CABAI (Capsicum annuum L.) DI DESA CIPUTRI

KECAMATAN PACET KABUPATEN CIANJUR

MAENIWATI RACHMAH

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Epidemiologi beberapa Penyakit Penting pada Tanaman Cabai (Capsicum annuum L.) di Desa Ciputri Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur” adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2015

Maeniwati Rachmah

(4)
(5)

ABSTRAK

MAENIWATI RACHMAH. Epidemiologi beberapa Penyakit Penting pada Tanaman Cabai (Capsicum annuum L.) di Desa Ciputri Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur. Dibimbing oleh ABDUL MUIN ADNAN.

Penyakit penting yang menyebabkan kerusakan cukup serius khususnya fase vegetatif pada tanaman cabai adalah layu bakteri, penyakit oleh infeksi virus, dan bercak daun cercospora. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui laju perkembangan ketiga penyakit tersebut dengan melihat intensitas penyakit yang terjadi di lahan pertanaman cabai yang berada di Kebun Percobaan IPB Pasir Sarongge. Metode penelitian yang dilakukan meliputi penentuan lahan dan tanaman contoh, pengamatan penyakit, dan pengolahan data. Hasil pengamatan selama lima minggu menunjukkan bahwa penyakit layu bakteri memiliki intensitas tertinggi dibandingkan dengan penyakit oleh infeksi virus dan bercak daun. Faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan ketiga penyakit tersebut secara umum adalah kondisi lingkungan yang mendukung patogen, adanya sumber inokulum, teknik budi daya, dan infeksi oleh serangga vektor. Varietas Gelora dan SPH 77 tidak bersifat tahan terhadap ketiga penyakit tersebut.

Kata kunci: bercak daun, cabai, epidemiologi, layu bakteri, virus.

ABSTRACT

MAENIWATI RACHMAH. Epidemiology of Several Important Diseases on Pepper (Capsicum annuum L.) in Ciputri village, Pacet Subdistrict, Cianjur District. Supervised by ABDUL MUIN ADNAN.

Important disease that cause damage seriously, especially on phase of followed by disease by viral infection and leaf spot. The factors that influence of the three diseases generally are pathogen supportive environment conditions, sources of inoculum, cultivation techniques, and infection by insect vectors. Gelora and SPH 77 not resistant by the three of diseases.

(6)
(7)

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)
(9)

EPIDEMIOLOGI BEBERAPA PENYAKIT PENTING PADA

TANAMAN CABAI (Capsicum annuum L.) DI DESA CIPUTRI

KECAMATAN PACET KABUPATEN CIANJUR

MAENIWATI RACHMAH

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(10)
(11)
(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Epidemiologi beberapa Penyakit Penting pada Tanaman Cabai (Capsicum annuum L.) di Desa Ciputri Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur”. Penelitian dan penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak, Ibu, kakak, dan adik-adik

tercinta yang telah memberikan do’a, motivasi, dan semangat dan kasih sayang

kepada penulis sehingga dapat menjalani dan menyelesaikan studi ke jenjang sarjana.

Penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada Dr. Ir. Abdul Muin Adnan, MS. selaku dosen pembimbing skripsi dan akademik yang telah membimbing, memberikan masukan, mengarahkan serta kesabaran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Bonjok Istiaji, SP. MSi. selaku dosen penguji tamu yang telah memberikan arahan dan saran yang bermanfaat dalam seminar dan sidang tugas akhir ini.

Terima kasih penulis juga ucapkan kepada teman-teman Departemen Proteksi Tanaman Angkatan 45 dan rekan-rekan di Laboratorium Nematoda yang selalu menemani, memberikan dukungan dan pertolongan penuh kepada penulis dalam penyelesaian tugas akhir ini. Kepada semua pihak khususnya rekan kerja di

University Farm Pasir Sarongge yang telah membantu penulis dalam penelitian tugas akhir serta Bank BNI yang telah memberikan bantuan dana penelitian kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Juni 2015

(14)
(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

BAHAN DAN METODE 3

Tempat dan Waktu 3

Metode 3

Penentuan Lahan yang Diamati 3 Penentuan Tanaman Sampel 3

Pengamatan Penyakit 3

HASIL DAN PEMBAHASAN 5

Keadaan Umum Lahan Pengamatan 5

Budi Daya Tanaman Cabai 5

Penyiapan Lahan 5

Penyiapan Tanaman Cabai 5

Penanaman 5

Perawatan 5

Laju Perkembangan Penyakit 6

Layu Bakteri 6

Virus 8

Bercak Daun Cercospora 9

SIMPULAN 12

Simpulan 12

DAFTAR PUSTAKA 13

LAMPIRAN 15

(16)
(17)

DAFTAR TABEL

1 Laju perkembangan penyakit layu bakteri berdasarkan lahan 6 2 Laju perkembangan penyakit layu bakteri berdasarkan varietas 7 3 Laju perkembangan penyakit oleh infeksi virus berdasarkan lahan 8 4 Laju perkembangan penyakit oleh infeksi virus berdasarkan varietas 9 5 Laju perkembangan penyakit bercak daun cercospora berdasarkan lahan 10 6 Laju perkembangan penyakit bercak daun cercospora berdasarkan

varietas 10

DAFTAR GAMBAR

1 Pola zig zag untuk pengambilan sampel di lapangan 3 2 Penyakit layu bakteri: gejala penyakit pada tanaman cabai (a) dan gejala

penyakit di lahan pengamatan (b) 8 3 Gejala penyakit oleh infeksi virus: daun menguning (a), mosaik (b),

pertumbuhan tunas daun yang berlebih (c), kerdil (d), dan klorosis (e) 9 4 Penyakit bercak daun: gejala dengan bercak ringan (a), gejala dengan

bercak berat (b), dan konidia C. capsici (c) (dengan perbesaran 400 x) 11

DAFTAR LAMPIRAN

(18)
(19)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Cabai merupakan komoditas hortikultura yang buahnya banyak digemari dan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Sebagian besar dikonsumsi dalam bentuk segar atau diawetkan terlebih dahulu dalam bentuk saus, bubuk cabai, dan buah kering, serta dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan tradisional (Djarwaningsih 2005). Berdasarkan data Direktorat Jenderal Hortikultura (2013), produktivitas cabai Indonesia dalam lima tahun terakhir (2008-2012) mengalami fluktuatif yaitu tahun 2008-2009 dan tahun 2010-2012 mengalami peningkatan dari 6.37 ton ha-1 menjadi 6.72 ton ha-1 dan 6.58 ton ha-1 menjadi 7.94 ton ha-1.

Salah satu penyebab rendahnya produktivitas cabai adalah gangguan hama dan penyakit (Bosland dan Votana 2012). Hama yang umum menyerang tanaman cabai antara lain Scirtothrips dorsalis, Myzus persicae, Bemisia tabaci,

Tetranychus urticae, Liriomyza sativae, Helicoverpa armigera, dan Spodoptera litura (Sarwar 2012), sedangkan penyakit yang banyak ditemukan pada pertanaman cabai adalah antraknosa, bercak daun cercospora, busuk phytophthora, penyakit layu dan penyakit oleh infeksi virus (Nsabiyera et al.

2012). Penyakit penting yang menyebabkan kerusakan cukup serius khususnya pada fase vegetatif adalah layu bakteri, penyakit oleh infeksi virus dan bercak daun cercospora.

Penyakit layu bakteri pada cabai disebabkan oleh Ralstonia solanacearum. Patogen ini menyerang lebih dari 200 jenis tanaman dari 50 famili dan terbagi menjadi 5 ras berdasarkan inangnya (Meng 2013). Ras yang menyerang cabai merupakan ras 1. Selain cabai, ras ini juga menyerang tanaman lainnya yaitu cabai, paprika, terong, kentang, tembakau, dan tomat (Alvarez et al. 2010). R. solanacearum merupakan patogen tular tanah dan biasanya berinteraksi dengan patogen tular tanah lainnya seperti nematoda puru akar yang menyebabkan luka pada akar tanaman sehingga mendukung saat penetrasi berlangsung (Champoiseau and Momol 2008). Di daerah beriklim tropis, layu bakteri merupakan penyakit serius pada tanaman solanaceae dan menyebabkan kerusakan lebih dari 60% bergantung pada kondisi lingkungan dan varietas tanaman (Singh 2012). Gejala yang diakibatkan oleh R. solanacearum adalah tanaman menjadi layu mendadak secara menyeluruh tanpa didahului oleh menguningnya daun dan bila bagian pangkal batang dipotong melintang dan dicelupkan ke dalam air maka mengeluarkan cairan putih seperti susu (ooze bakteri) (Reddy 2010).

Penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus sebagian besar ditularkan oleh serangga vektor. Alfalfa mosaic virus (AMV), Curly top virus (CTV), Chilli veinal mottle virus (ChiVMV), Cucumber mosaic virus (CMV), Geminivirus,

(20)

2

Segunung, Cugenang dan Barangnangsiang dapat mencapai 100%, sedangkan di daerah Sleman dan Kopeng kejadian penyakit yang disebabkan oleh Geminivirus dapat mencapai 70-100% (Sulandari et al. 2006). Gejala umum yang ditimbulkan oleh infeksi virus di antaranya klorosis, nekrosis, kerdil, mosaik, layu, dan malformasi daun (Akin 2006).

Penyakit bercak daun cercospora merupakan salah satu penyakit tanaman cabai di daerah tropis dan subtropis dan banyak terdapat di dataran tinggi maupun dataran rendah. Penyakit ini disebabkan oleh cendawan Cercospora capsici. C. capsici dapat bertahan lama dari musim ke musim pada sisa-sisa tanaman yang terinfeksi atau terbawa benih (Piay et al. 2010). Cendawan ini menyerang daun, tangkai buah, dan batang kecil. Bhat et al. (2008) melaporkan bahwa intensitas penyakit yang disebabkan oleh C. capsici dapat mencapai 32-44% bergantung pada kondisi lingkungan yang mendukung dan teknik budi daya. Gejala yang muncul berupa bercak-bercak bundar dengan bagian tengah berwarna abu–abu terang hingga putih dan bagian tepi bercak berwarna coklat gelap (Reddy 2010).

Upaya pengendalian terhadap penyakit tersebut yang sudah banyak dilakukan yaitu dengan penggunaan varieatas tahan, penggunaan pestisida, perbaikan drainase, pengaturan jarak tanam yang cukup, pemupukan yang berimbang pergiliran tanaman, penggunaan mulsa plastik perak maupun jerami, dan pemusnahan tanaman yang sakit (Duriat et al. 2007). Namun, tidak semua upaya pengendalian tersebut efektif untuk mengendalikan penyakit tanaman. Salah satu cara agar pengendalian tersebut efektif adalah dengan mempelajari epidemi. Epidemi adalah sifat dan perkembangan patogen dan interaksinya dengan tanaman inang dan lingkungan dalam jangka waktu tertentu. Ilmu yang mempelajari tentang epidemi disebut epidemiologi. Epidemiologi dapat dijadikan dasar dalam pengendalian penyakit tanaman sehingga dapat menentukan langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya kerugian akibat serangan patogen (Nurhayati 2011). Langkah-langkah untuk mengetahui suatu epidemik penyakit tanaman cabai dapat dilakukan di lahan percobaan. Kebun percobaan di Pasir Sarongge Kabupaten Cianjur dapat menberikan gambaran mengenai laju perkembangan penyakit karena sumber inokulum yang sudah terinfestasi.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengetahui laju perkembangan penyakit layu bakteri, virus, dan bercak daun dengan melihat intensitas penyakit yang terjadi di lahan pengamatan.

Manfaat Penelitian

(21)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di lahan pertanaman cabai di Kebun Percobaan IPB Pasir Sarongge, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur. Identifikasi penyakit dilakukan di Laboratorium Nematologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan dari April sampai Juni 2013.

Metode Penentuan Lahan yang Diamati

Lahan pertanaman cabai di Kebun Percobaan IPB Pasir Sarongge yang diamati sebanyak enam lahan. Tiap lahan diberi kode secara berurutan yaitu A, B, C, D, E dan F. Lahan A adalah lahan yang diaplikasi dengan pupuk hayati PSG F dengan luas lahan sebesar 400 m2. Varietas cabai yang ditanam adalah SPH 77 dengan umur tanaman saat pengamatan 8 minggu setelah tanam (MST). Lahan B dan lahan C adalah lahan tanpa pupuk hayati tetapi diaplikasi dengan pestisida. Luas lahan B sebesar 400 m2 sedangkan lahan C sebesar 200 m2. Varietas cabai yang ditanam untuk kedua lahan tersebut adalah Gelora dengan umur tanaman masing-masing 3 MST. Lahan D adalah lahan dengan aplikasi pupuk hayati PSG H. Luas lahan D sebesar 400 m2, varietas yang ditanam adalah SPH 77 dan tanaman berumur 7 MST saat pengamatan. Lahan E dan lahan F adalah lahan yang masing-masing diaplikasi dengan pupuk hayati PSG I dan PSG G. Luas kedua lahan tersebut sebesar 400 m2 dan umur tanaman saat pengamatan 5 MST. Varietas yang ditanam untuk lahan E adalah SPH 77 dan lahan F adalah Gelora.

Penentuan Tanaman Contoh

Tanaman contoh ditentukan secara sistematis dengan metode zig zag (Gambar 1). Jumlah tanaman contoh yang diamati sebanyak 10% dari populasi tanaman. Tiap tanaman contoh yang terpilih lalu ditandai dengan label plastik yang diikatkan dengan tali rafia untuk memudahkan pengamatan berikutnya.

Gambar 1 Pola zig zag untuk pengambilan sampel di lapangan

Pengamatan Penyakit

(22)

4

I

n = jumlah tanaman contoh yang sakit N = jumlah tanaman contoh yang diamati

Perhitungan intensitas penyakit untuk penyakit yang menunjukkan gejala parsial (non sistemik) yaitu penyakit bercak daun cercospora dapat dihitung dengan rumus:

I

n = jumlah daun tanaman contoh yang menunjukkan gejala N = jumlah daun yang diamati pada tanaman contoh

(23)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lahan Pengamatan

Kebun percobaan IPB Pasir Sarongge terletak di desa Ciputri, Kecamatan

Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat terletak di 06.46’ LS dan 106.35” BT

merupakan daerah dataran tinggi yang terletak pada ketinggian 1100 m dari permukan laut (dpl). Suhu udara saat pengamatan berkisar antara 15 sampai 25 °C dengan suhu udara rata-rata 20 °C dan kelembaban nisbi rata-rata 83%. Curah hujan pada bulan April, Mei dan Juni berturut-turut yaitu 680 mm, 800 mm, dan 197 mm. Data klimatologi tersebut diperoleh dari stasiun kebun percobaan Pasir Sarongge, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Lampiran 1). Komoditas yang banyak ditanam adalah brokoli, wortel, tomat, kubis, terong, kentang, bawang daun, selada, pakchoy, caisin dan cabai.

Lahan pengamatan sebelumnya merupakan lahan bera dengan rentang waktu yang berbeda-beda. Lahan A, D, dan E diberakan selama empat minggu, yang sebelum bera berturut-turut ditanami kubis, brokoli, dan wortel. Lahan B, C dan F diberakan selama dua minggu yang sebelumnya ditanami terong dan brokoli. Disekitar lahan pengamatan ditanami tanaman sayuran seperti tomat, wortel, bawang daun, kentang, dan brokoli. Tanaman sayuran seperti tomat dan kentang ditanam pada jarak satu dan dua petak lebih tinggi dari lahan pengamatan dan satu petak lebih rendah dari lahan pengamatan (Lampiran 2).

Budi Daya Tanaman Cabai Penyiapan Lahan

Pengolahan tanah dilakukan dengan cangkul untuk membersihkan lahan bera dan gulma. Lahan yang sudah diolah kemudian dibentuk bedengan dengan tinggi 30 cm, lebar 120 cm, dan panjang 450 cm dengan jarak antar bedengan 30 cm lalu dibuat lubang tanam dengan jarak tanam 50x70 cm sehingga tiap bedengan terdapat dua baris.

Penyiapan Tanaman Cabai

Penyemaian dilakukan di ruang persemaian yang terhindar dari paparan sinar matahari langsung. Penyemaian menggunakan tray semai dan media tanam. Waktu penyemaian selama 30 hari setelah benih tumbuh menjadi bibit dengan empat helai daun sejati.

Penanaman

Bibit cabai yang berumur 30 hari setelah semai ditanam di lahan. Sebelumnya bibit disiram air terlebih dahulu untuk mencegah bibit layu. Tanaman yang sudah berumur 2-3 minggu setelah tanam (MST) dipasangi ajir yang dibuat dari bambu agar tanaman tidak rebah dan terhindar dari kerusakan akar yang sedang berkembang. Pengajiran dilakukan dengan mengikatkan batang di bawah cabang utama dengan tali plastik pada ajir.

Perawatan

(24)

6

kedua masing-masing diberikan sepertiga dosis saat awal berbunga pada umur 3-4 MST dan awal berbuah pada umur 8 MST. Dosis pupuk yang diberikan untuk tiap lahan adalah 5 kg urea, 5.5 kg TSP, dan 5 kg KCl sedangkan dosis pupuk hayati untuk tiap bedeng di lahan adalah 5 gr L-1.

Perawatan lainnya selain pemupukan adalah penyiangan gulma. Penyiangan dilakukan 10 hari sekali secara manual selama masa tanam. Penyiangan biasanya dilakukan secara bersamaan saat pemupukan dan pembuangan tunas tanaman cabai yang tumbuh pada batang utama. Susila (2006) melaporkan bahwa penyiangan gulma sebaiknya dilakukan secara bersamaan pada saat pengemburan dan pemupukan agar unsur hara dapat termanfaatkan secara maksimal oleh tanaman.

Pengendalian hama dan penyakit berperan penting pada bagian perawatan tanaman. Pengendalian dapat dilakukan secara mekanik maupun kimiawi. Pengendalian secara mekanik dengan mematikan hama yang ditemukan sedangkan pengendalian kimiawi dengan aplikasi pestisida. Aplikasi pestisida dilakukan tiap 10 hari sekali, apabila terjadi serangan berat maka dilakukan 5 hari sekali. Pestisida yang digunakan bergantung pada serangan hama dan penyakitnya. Pestisida untuk serangan ringan yaitu Posban 200 EC, Prevaton 50 SC, Bazoka 80 WP, dan top sticker sebagai perekat. Pestisida untuk serangan berat menggunakan BM Imida 200 SL, Equatior Pro 52 WG, dan Compidor. Dosis yang digunakan petani saat aplikasi disesuaikan dengan anjuran pada kemasan, akan tetapi jika dosis yang dianjurkan tidak berhasil maka dinaikkan 1.5 dosis anjuran.

Laju Perkembangan Penyakit Layu Bakteri

Laju perkembangan penyakit layu bakteri berdasarkan lahan menunjukkan bahwa intensitas penyakit makin meningkat dari pengamatan ke-1 sampai pengamatan ke-5 (Tabel 1). Pada pengamatan ke-1, gejala layu tidak terjadi di semua lahan, tetapi terjadi di lahan A, D, dan F dengan intensitas penyakit berturut-turut sebesar 6.67%, 16.67%, dan 10%. Sementara itu, di lahan B, C, dan D gejala layu baru tampak berturut-turut pada pengamatan ke-3, 3 dan 4. Laju perkembangan penyakit dari pengamatan ke-1 sampai pengamatan ke-5 sangat bervariasi, bergantung pada lahan. Laju paling tinggi terjadi pada lahan F yaitu 10% pada pengamatan ke-1 meningkat cepat menjadi 93.33% pada pengamatan ke-5. Laju terendah terjadi pada lahan B, dari 0 pada pengamatan ke-1 menjadi 23.33% pengamatan ke-5.

Tabel 1 Laju perkembangan penyakit layu bakteri berdasarkan lahan

Lahan Intensitas penyakit (%) pada pengamatan ke-n

(25)

7

Peningkatan laju perkembangan penyakit layu bakteri disebabkan oleh beberapa faktor yaitu kondisi lingkungan yang mendukung patogen, adanya sumber inokulum, dan teknik budi daya. Kondisi lingkungan saat pengamatan selalu berubah seperti cuaca pagi hari sangat cerah namun menjelang sore hingga malam hari terjadi hujan. Hal ini menyebabkan suhu menjadi rendah, curah hujan dan kelembaban menjadi tinggi di lahan pengamatan. Supriadi (2011) melaporkan bahwa faktor lingkungan seperti suhu, kelembapan udara dan air serta faktor kebugaran tanaman sangat memengaruhi perkembangan patogen R. solanacearum. Beberapa publikasi telah melaporkan bahwa kondisi lingkungan pada suhu 21 sampai 25 °C (Singh 2012), curah hujan yang tinggi (Soetiarso dan Setiawati 2010) dan kelembaban mencapai 71.59% (Begum et al. 2012) dapat mendukung pertumbuhan patogen R. solanacearum sehingga mengakibatkan tanaman cabai menjadi layu. Adanya sumber inokulum dan teknik budi daya juga memengaruhi laju perkembangan penyakit layu bakteri menjadi tinggi. Lahan yang berada di Kebun Percobaan IPB sudah banyak terinfestasi oleh patogen R. solanacearum sehingga sangat sulit untuk dikendalikan. Hal ini dikarenakan patogen tersebut adalah patogen tular tanah dan dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama di dalam tanah. Selain itu, teknik budi daya yang dilakukan oleh pekerja terutama saat pemupukan dan penyiangan dengan menyimpan sisa-sisa gulma sebagai pupuk hijau pada tiap bedeng sehingga menyebabkan penyebaran patogen semakin luas. Champoiseau dan Momol (2008) melaporkan bahwa R. solanacearum dapat bertahan selama berhari-hari sampai bertahun-tahun pada tanaman yang terinfeksi di dalam tanah, permukaan air irigasi, dan gulma yang terinfeksi.

Tabel 2 Laju perkembangan penyakit layu bakteri berdasarkan varietas

Varietas Intensitas penyakit (%) pada pengamatan ke-n

1 2 3 4 5

Gelora 3.33 8.89 15.56 43.33 56.66 SPH 77 7.78 12.22 25.56 44.45 53.33

Tabel 2 memperlihatkan laju perkembangan penyakit berdasarkan varietas dari pengamatan ke-1 ke pengamatan ke-5. Dari tabel tersebut terlihat bahwa laju peningkatan penyakit layu pada dua varietas tersebut relatif tidak berbeda. Hasil ini menunjukkan bahwa antara dua varietas, yaitu Gelora dan SPH 77, tidak menunjukkan perbedaan ketahanan terhadap penyakit layu bakteri. Akan tetapi, pada pengamatan ke-1, varietas SPH 77 lebih mudah terserang layu bakteri karena intensitas penyakit lebih tinggi dibandingkan Gelora. Namun, laju perkembangan penyakit dari pengamatan ke-1 sampai pengamatan ke-5 Gelora lebih cepat daripada SPH 77.

(26)

8

Gambar 2 Penyakit layu bakteri: gejala penyakit pada tanaman cabai (a) dan gejala penyakit di lahan pengamatan (b)

Virus

Laju perkembangan penyakit oleh infeksi virus berdasarkan lahan menunjukkan adanya peningkatan intensitas penyakit dari pengamatan ke-1 sampai pengamatan ke-5 (Tabel 3). Pada pengamatan ke-1, gejala oleh infeksi virus sebagian terjadi di semua lahan kecuali lahan E yang masih belum terlihat gejalanya karena saat pengamatan tidak ditemukan serangga jenis kutu-kutuan yang dapat menyebarkan virus.

Laju perkembangan penyakit tertinggi dari pengamatan ke-1 sampai ke-5 terjadi pada lahan F yaitu dari 6.67% menjadi 60% dan terendah terjadi pada lahan C dari 3.33% menjadi 30%. Peningkatan laju perkembangan penyakit oleh infeksi virus disebabkan oleh gulma yang tumbuh disekitar lahan berpotensi sebagai inang alternatif penyakit oleh infeksi virus. Gulma yang banyak tumbuh di sekitar lahan yaitu Synedrella spp. Galinsoga parviflora, Portulaca oleracea, dan Oxalis corniculata. Meliansyah (2010) melaporkan bahwa gulma tersebut memiliki potensi sebagai inang alternatif penyakit virus terutama geminivirus.

Tabel 3 Laju perkembangan penyakit oleh infeksi virus berdasarkan lahan

Lahan Intensitas penyakit (%) pada pengamatan ke-n

1 2 3 4 5

Penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus memiliki intensitas yang sama beratnya dengan layu bakteri dan cukup parah hingga mencapai 60%. Salah satu faktor penyebabnya adalah adanya serangga vektor. Serangga yang ditemukan di lahan pengamatan secara visual adalah kutudaun dan thrips. Kedua serangga ini banyak dilaporkan sebagai vektor virus pada tanaman cabai. Smith et al. (2011) melaporkan bahwa kutudaun sebagai vektor virus CMV, PeMoV, TEV, dan PVY. Tabel 4 menunjukkan bahwa laju perkembangan penyakit berdasarkan varietas dari pengamatan ke-1 sampai pengamatan ke-5 relatif tidak berbeda. Hal ini disebabkan kedua varietas yang digunakan tidak tahan terhadap terhadap infeksi virus.

(27)

9

Tabel 4 Laju perkembangan penyakit oleh infeksi virus berdasarkan varietas

Varietas Intensitas penyakit (%) pada pengamatan ke-n

1 2 3 4 5

Gelora 5.56 8.89 24.45 30.00 43.33 SPH 77 3.33 11.11 26.67 34.44 44.45

Pengamatan yang dilakukan hanya dengan mengamati gejala pada tiap pengamatan. Gejala yang umum ditemukan di lapangan adalah daun mengalami nekrosis, klorosis, tanaman kerdil, tanaman yang bertunas banyak, dan permukaan daun yang kasar dan agak melengkung (Gambar 3). Lotrakul et al. (2000) melaporkan bahwa gejala infeksi virus pada tanaman cabai dapat berupa daun menggulung, penebalan tulang daun, bercak klorosis pada daun, klorosis diantara tulang daun, malformasi daun, belang dan menguning.

Gambar 3 Gejala penyakit oleh infeksi virus: daun menguning (a), mosaik (b), pertumbuhan tunas daun yang berlebih (c), kerdil (d), dan klorosis (e)

Bercak Daun Cercospora

Laju perkembangan penyakit bercak daun cercospora berdasarkan lahan menunjukkan bahwa intensitas penyakit dari pengamatan ke-1 sampai pengamatan ke-5 bersifat fluktuatif (Tabel 5). Pada pengamatan ke-1 dan ke-2, laju perkembangan tertinggi terjadi pada lahan D yaitu sebesar 22.33% dan lahan E sebesar 13.89%, laju perkembangan terendah terjadi pada lahan C masing-masing sebesar 5.78% dan 6.78%. Pengamatan ke-3 laju yang tertinggi pada lahan D sebesar 11.44% dan terendah pada lahan E sebesar 7.22%. Pengamatan ke-4, lahan A memiliki laju perkembangan tertinggi sebesar 11.89% sedangkan lahan C memiliki laju perkembangan terendah sebesar 5.89%. Pengamatan ke-5 laju perkembangan tertinggi terjadi pada lahan B sebesar 14.56% dan laju terendah terjadi pada lahan F sebesar 3.11%.

(28)

10

lingkungan yang mendukung perkembangan penyakit tersebut. Bhat et al. (2009) melaporkan bahwa pada kondisi lingkungan terutama suhu dan kelembaban berkolerasi positif terhadap perkembangan penyakit bercak daun yang disebabkan oleh C. capsici. Sedangkan penurunan laju perkembangan penyakit bercak daun disebabkan oleh tanaman yang dominan terinfeksi oleh penyakit layu bakteri dan aplikasi pestisida yang dilakukan secara rutin oleh pekerja di kebun. Pestida yang digunakan untuk mengendalikan penyakit ini adalah Bazoka 80 WP dengan bahan aktif mankozeb. Aplikasi dilakukan tiap 5-10 hari sekali. Penelitian yang dilakukan oleh Ganeshan et al. (2011) melaporkan bahwa fungisida berbahan aktif mankozeb 75 WP dapat mengendalikan penyakit bercak daun cercospora secara efektif dengan waktu penyemprotan 10 hari sekali.

Tabel 5 Laju perkembangan penyakit bercak daun cercospora berdasarkan lahan

Lahan Intensitas penyakit (%) pada pengamatan ke-n

1 2 3 4 5

Tabel 6 memperlihatkan laju perkembangan penyakit berdasarkan varietas dari pengamatan ke-1 sampai pengamatan ke-5. Pada pengamatan ke-1 dan ke-2 varietas SPH 77 lebih rentan dibandingkan varietas Gelora, sedangkan untuk pengamatan ke-3, 4, dan 5 menunjukkan bahwa varietas tidak berbeda ketahanannya terhadap penyakit bercak daun.

Tabel 6 Laju perkembangan penyakit bercak daun berdasarkan varietas

Varietas Intensitas penyakit (%) pada pengamatan ke-n

1 2 3 4 5

Gelora 8.96±3.28 8.52±1.51 8.33±1.26 7.59±2.48 7.67±6.07 SPH 77 18.96±2.92 12.81±0.93 9.55±2.15 10.00±3.27 8.71±4.75 Gejala bercak daun cercospora yang diamati di lahan pengamatan adalah bercak bundar berwarna coklat tua di bagian tepi dan putih keabu-abuan di bagian tengah serta haloe berwarna kekuningan disekitar bercak (Gambar 4). McDougall

(29)

11

Gambar 4 Penyakit bercak daun: gejala dengan bercak ringan (a), gejala dengan bercak berat (b), dan konidia C. capsici (c) (dengan perbesaran 400 x)

c b

(30)

SIMPULAN

Simpulan

Berdasarkan pengamatan di lahan, penyakit layu bakteri memiliki intensitas penyakit tertinggi dibandingkan dengan penyakit oleh infeksi virus dan bercak daun. Penyakit layu bakteri dan virus memiliki laju perkembangan yang meningkat dari pengamatan ke-1 sampai ke-5. Sedangkan, intensitas penyakit bercak daun fluktuatif. Faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan penyakit antara lain layu bakteri dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang mendukung, adanya sumber inokulum, dan teknik budi daya; penyakit oleh infeksi virus ditularkan oleh serangga vektor; bercak daun dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Varietas Gelora dan SPH 77 tidak bersifat tahan terhadap ketiga penyakit tersebut ditandai dengan intensitas penyakit yang tinggi.

(31)

DAFTAR PUSTAKA

Akin HM. 2006. Virologi Tumbuhan. Yogyakarta (ID): Kanisius.

Alvarez B, Biosca EG, Lopez MM. 2010. On the life of Ralstonia solanacearum, a destructive bacterial plant pathogen. Dalam: Vilas AM, editor. Current Research, Technology and Education Topics in Applied Microbiology and Microbial Biotechnology. Valencia [SP]: Formatex. hlm 267-279.

Begum N, Haque MI, Mukhtar T, Naqvi SM, Wang JF. 2012. Status of bacterial wilt caused by Ralstonia solanacearum in Pakistan. Pakistan Journal of Phytopathology 24(1):11-20.

Bhat FA, Dar GM, Tell MA, Akmad MF. 2008. Froreye leaf spot of bell pepper in Kashmir: prevalence and cause. Karnataka J Agric Sci. 21(3):460-461. Bhat FA, Tell AM, Ahmad NQ, Ahmed S. 2009. Host range an epidemiology of

Cercospora capsici. International Journal of Plant Sciences 4(1):44-48. Bosland PW, Votan EJ. 2012. Peppers: Vegetable and Spice Capsicums. 2nd ed.

Wallingford (GB): CAB International.

Champoiseau PG, Momol TM. 2008. Bacterial wilt of tomato [internet]. Florida (US): USDA-NRI Project; [diunduh pada 2014 Okt 24]. Tersedia pada: http://plantpath.ifas.ufl.edu/rsol/RalstoniaPublications_pdf.

Conn K. 2006. Pepper and Eggplant Diseases Guide. California (US): Seminis. [Ditjen Horti] Direktorat Jendral Hortikultura. 2012b. Produktivitas cabai besar di

Indonesia 2008-2012 [internet]. [diunduh 2013 Mei 15]. Tersedia pada:

http://www.deptan.go.id/infoeksekutif/horti/ATAP-Horti2012/Prodtv-Cb.Besar.pdf.

Djarwaningsih T. 2005. Capsicum spp. (cabai): asal, persebaran dan nilai ekonomi

Biodiversitas 6(4):292-296.

Duriat AS, Gunaeni N, Wulandari AW. 2007. Penyakit Penting pada Tanaman Cabai dan Pengendaliannya. Bandung (ID): Balai Penelitian Tanaman Sayuran.

Ganeshan G, Chethana BS, Rao AS, Bellishree K. 2011. Comparative efficacy of myclobutanil, triadimefon and mankozeb against major fungal diseases of chilli. Pest Management in Horticultural Ecosystems 17(1):42-47.

Lotrakul P, Valverde RA, Torre RDL, Sim J. 2000. Occurance of a strain of Texas pepper virus in Tabasco an habanero pepper in Costa Rica. Plant Diseases

84(2):168-172.

McDougall S, Watson A, Stodart B, Napier T, Kelly G, Troldahl D, Tesoriero L. 2013. Tomato, Capsicum, Chilli and Eggplant: A Field Guide for the Identifiation of Insect Pests, Benefiials, Diseases and Disorders in Australia and Cambodia. Canberra (AU): ACIAR.

Meliansyah R. 2010. Peranan gulma sebagai inang alternatif geminivirus di pertanaman cabai di Jawa [tesis]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Meng F. 2013. Ralstonia solanacearum species complex and bacterial wilt

disease. Journal Bacteriol Parasitol 4(2):1-4.

Nsabiyera V, Ssemakula MO. Sseruwagi P. 2012. Hot pepper reaction to field diseases. African Crop Science Journal 20(1):77-97.

(32)

14

Piay SS, Tyasdjaja A, Ermawati Y, Hantoro FRP. 2010. Budidaya dan Pascapanen Cabai Merah (Capsicum annuum L.). Ungaran (ID): Balai Pengkajian Teknologi Pertanian.

Reddy PP. 2010. Bacterial and Viral Diseases an Their Management in Horticultural Crops. Jodhpur (IN): Scientific Publishers.

Rusli ES, Hidayat SH, Suseno R, Tjahjono B. 1999. Virus gemini pada cabai: variasi gejala dan studi cara penularan. Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan 11(1):26-31.

Sarwar M. 2012. Frequency of insect and mite fauna in chillies Capsicum annuum

L., onion Alliu cepa L. And garlic Allium sativum L. Cultivated areas, and their integrated management. International Journal of Agronomy and Plant Production 3(5):173-178.

Singh D. 2012. Diagnosis and Management of Bacterial wilt of Solanaceous Crops caused by Ralstonia solanacearum. Di dalam: Dubey KS, Singh RP, editor. Diseases and Management of Crops Under Protected Cultivation; 2012 September 04-24; Pantnagar, India. Pantnagar (IN): GB. Pant University of Agriculture & Technology. hlm 43-55.

Smith R, Aguiar JL, Baameur A, Cahn M, Cantwell M, Fuente MD, Hartz T, Koike S, Molinar R, Natwick E. 2011. Chilli pepper production in California [internet]. California (US): Agriculture and Natural Resources; [diunduh pada 2014 Okt 24]. Tersedia pada: http://anrcatalog.ucdavis.edu/pdf/7244.pdf.

Soetiarso TA, Setiawati W. 2010. Kajian teknis dan ekonomis sistem tanam dua varietas cabai merah di dataran tinggi. J Hort. 20(3):284-298.

Sulandari S, Suseno R, Hidayat SH, Harjosudarmo J, Sosromarsono S. 2006. Deteksi dan kajian kisaran inang virus penyebab penyakit daun keriting kuning cabai. Hayati 13(1):1-6.

Supriadi. 2011. Penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum): dampak, bioekologi, dan peranan teknologi pengendaliannya. Pengembangan Inovasi Pertanian 4(4):279-293.

Susila AD. 2006. Panduan Budi daya Tanaman Sayuran. Bogor (ID): Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB.

(33)
(34)
(35)

17

Lampiran 1 Data Klimatologi pada bulan April sampai Juni 2013

(36)

18

Lampiran 2 Denah lahan di kebun percobaan IPB Pasir Sarongge

U

ATAS

Persemaian

Kantor

CABAI

A

BROKOLI

WORTEL

CABAI B

BROKOLI

TOMAT

KENTANG

CABAI D

BROKOLI

CABAI E

WORTEL

TOMAT

CABAI F

TOMAT

LAHAN

KOSONG

TOMAT

WORTEL

DAN

BAWANG

DAUN

BAWAH

CABAI C

(37)

19

Lampiran 3 Lahan pertanaman cabai di lahan pengamatan

B

A a b

c d

(38)

20

Lampiran 4 Aktivitas petani saat pemupukan (a), aplikasi pestisida (b)

(39)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakata pada tanggal 19 Mei 1990. Penulis merupakan putri kedua dari lima bersaudara pasangan Bapak Suhada dan Ibu Toliah. Penulis menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 110 Jakarta pada tahun 2008 dan diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Mandiri IPB (USMI) pada tahun yang sama sebagai mahasiswi Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian.

Gambar

Gambar 1  Pola zig zag untuk pengambilan sampel di lapangan
Tabel 1  Laju perkembangan penyakit layu bakteri berdasarkan lahan
Gambar 2  Penyakit layu bakteri: gejala penyakit pada tanaman cabai (a) dan
Gambar 3 Gejala penyakit oleh infeksi virus: daun menguning (a), mosaik (b),
+2

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa di Tenjolaya dan Bantarjaya ditemukan 6 jenis penyakit yang sama, yaitu penyakit bercak daun cercospora , kudis, Sweet

Berdasarkan hasil pengamatan pada lahan survei, insidensi penyakit layu yang disebabkan oleh nematoda pada pertanaman mentimun dapat mencapai 4,48%, atau sekitar 10 tanaman per

Berdasarkan hasil pengamatan gejala penyakit di lapangan pada tanaman cabai dipertanaman rakyat kabupaten kepulauan selayar ditemukan adanya penyakit bercak daun

Berdasarkan hasil pengamatan gejala penyakit di lapangan pada tanaman cabai di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian ditemukan adanya penyakit bercak daun yang diduga disebabkan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penginduksi resistensi dapat menekan buah cabai terserang antraknosa tetapi tidak berpengaruh dalam menekan penyakit bercak daun Cercospora

Tanaman Terseleksi Seleksi dilakukan antar famili dan dalam famili berdasarkan ketahanan penyakit terhadap serangan layu bakteri Ralstonia solanacearum dan memiliki produktivitas

Berdasarkan hasil pengamatan gejala penyakit di lapangan pada tanaman cabai dipertanaman rakyat kabupaten kepulauan selayar ditemukan adanya penyakit bercak daun

Induksi Ketahanan Tanaman Bawang Merah dengan bakteri rhizoplan indigenos terhadap penyakit hawar daun bakteri ( xanthomonas axonopodis pv allii ). Dalam Loekas