• Tidak ada hasil yang ditemukan

Epidemi Beberapa Penyakit Penting Pada Tanaman Ubi Jalar (Ipomoea Batatas Lamb.) Di Tiga Desa, Kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Epidemi Beberapa Penyakit Penting Pada Tanaman Ubi Jalar (Ipomoea Batatas Lamb.) Di Tiga Desa, Kabupaten Bogor"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

EPIDEMI BEBERAPA PENYAKIT PENTING

PADA TANAMAN UBI JALAR (Ipomoea batatas Lamb.)

DI TIGA DESA, KABUPATEN BOGOR

LINA FADLIATUL JANNAH

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Epidemi beberapa Penyakit Penting pada Tanaman Ubi Jalar (Ipomoea batatas Lamb.) di Tiga Desa, Kabupaten Bogor” adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2016 Lina Fadliatul Jannah NIM A34110012

____________________

(4)
(5)

ABSTRAK

LINA FADLIATUL JANNAH. Epidemi beberapa Penyakit Penting pada Tanaman Ubi Jalar (Ipomoea batatas Lamb.) di Tiga Desa, Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh ABDUL MUIN ADNAN.

Ubi jalar (Ipomoea batatas Lamb.) merupakan salah satu jenis tanaman pangan yang banyak dibudidayakan terutama di wilayah Indonesia bagian Timur. Ubi jalar dimanfaatkan ubinya baik sebagai makanan pokok maupun sebagai makanan sampingan karena kandungan karbohidratnya cukup tinggi. Berbagai jenis patogen yang dapat menyerang ubi jalar merupakan salah satu kendala yang cukup penting dalam budidaya tanaman ini. Penelitian ini bertujuan mengetahui perkembangan penyakit-penyakit penting dan cara budidaya tanaman ubi jalar di tiga desa, wilayah Kabupaten Bogor. Pengamatan dilakukan terhadap perkembangan penyakit dan cara budidaya tanaman. Perkembangan penyakit diamati secara langsung pada sampeldaun beserta tangkai dan batangnya di petak-petak pertanaman. Pengamatan penyakit dilakukan pada 50 sampel daun beserta tangkai, dan batangnya per sub petak, dan dinilai berdasarkan skoring penyakit dengan mengacu pada Zuraida et al. (1992). Pengamatan penyakit dilakukan 6 kali dengan interval satu minggu sekali. Identifikasi penyakit yang disebabkan oleh cendawan menggunakan acuan dari Barnett dan Hunter (1998). Sebagai data penunjang, dikumpulkan informasi cara budidaya tanaman dengan metode wawancara dengan petani pemilik/penggarap lahan ubi jalar di lokasi penelitian menggunakan kuesioner terstruktur. Pengolahan data menggunakan Microsoft Office Excel 2013 dan dianalisis secara deskriptif. Penyakit yang ditemukan di Tenjolaya dan Bantarjaya adalah penyakit bercak daun cercospora, Sweet potato chlorotic stunt virus (SPCSV), bercak daun alternaria, kudis, Sweet potato feathery mottle virus (SPFMV), dan busuk batang. Sementara itu, penyakit yang ditemukan di Cikarawang adalah penyakit bercak daun cercospora, SPCSV, bercak daun alternaria, dan penyakit hawar daun phytophthora.

(6)

ABSTRACT

LINA FADLIATUL JANNAH. Epidemi of Some Important Diseases on Sweet Potato (Ipomoea batatas Lamb.) in Three Villages, Bogor Regency. Supervised by ABDUL MUIN ADNAN.

Sweet potato (Ipomoea batatas Lamb.) is one of crop grown mainly in the eastern zone of Indonesia. It is commonly used both as a staple food and as a side dish for its high carbohydrate content. Various types of pathogens that can infect it become a quite serious problem of its cultivation. This research was conduct to determine the development of sweet potato’s important diseases and to describe its cultivation in three villages of Bogor regency. Observations were held on disease development and cultural practices. Disease development was observed directly on leaves sample along with the petioles and stems at the crop plots. It carried out on 50 leaves, petioles, and stems per sub plot by using scoring according to Zuraida et al. (1992). The observation was conducted six times, one a week. Identification disease caused by fungus was held using reference from Barnett and Hunter (1998). As supporting data, information about cultural practices was also collected by interviewing farmer as owner or tenant of the field using structured questionnaire. Data was processed using Microsoft Office Excel 2013 and analyzed descriptively. Identified disease at Tenjolaya and Bantarjaya were cercospora leaf spot, Sweet potato chlorotic stunt virus (SPCSV), alternaria leaf spot, Sweet potato feathery mottle virus (SPFMV), scab, and stem rot; where as identified disease at Cikarawang were cercospora leaf spot disease, SPCSV, alternaria leaf spot, and phytophthora leaf blight.

(7)

3

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(8)
(9)

5

EPIDEMI BEBERAPA PENYAKIT PENTING

PADA TANAMAN UBI JALAR (Ipomoea batatas Lamb.)

DI TIGA DESA, KABUPATEN BOGOR

LINA FADLIATUL JANNAH

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(10)
(11)
(12)
(13)

9

PRAKATA

Alhamdulillahirabbilaalamiin, penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “Epidemi beberapa Penyakit Penting pada Tanaman Ubi Jalar (Ipomoea batatas Lamb.) di Tiga Desa, Kabupaten Bogor”. Penelitian ini dilaksanakan di desa Tenjolaya, Cikarawang, dan Bantarjaya, Kabupaten Bogor, dan Laboratorium Nematologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada bulan November sampai Desember 2014, dan bulan Mei sampai Juni 2015.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Abdul Muin Adnan, MS sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah sabar membimbing dan memberikan arahan kepada penulis mulai dari penyusunan proposal penelitian, pelaksanaan penelitian, sampai penyusunan skripsi ini. Dr. Ir. Pudjianto, MS sebagai dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan untuk penulisan skripsi, serta Bapak Dr. Ir. Bonny Poernomo Wahyu Soekarno, M.S. sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan banyak masukan selama perkuliahan. Kepada yang tercinta Ayahanda Safarudin dan Ibunda Nurhayati yang senantiasa mendoakan penulis dengan penuh keikhlasan, kasih, dan sayangnya sampai penulis meraih sukses hingga detik ini, Kakak dan Adik-adik yang juga mewarnai hari – hari penulis dengan penuh canda tawa. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak H. Yusuf, Bapak Sukardi, Ibu Wati, dan Bapak Nunung yang telah memberikan izin kepada penulis untuk menggunakan lahannya sebagai tempat penelitian penulis. Saudara Etoser 48 yang telah membersamai penulis sejak awal menginjakkan kaki di IPB, terima kasih atas doa dan semangat yang kalian berikan kepada penulis, sungguh sangat berpengaruh dalam penyelesaian tugas akhir ini. Rekan-rekan Departemen Proteksi Tanaman angkatan 48 yang selalu memberikan dukungan dalam setiap kesempatan, terima kasih untuk kebersamaan ini. Fuad Hilmi, saudara se-perjuangan sejak masa kanak-kanak sampai dewasa, terima kasih telah memberikan hiburan dan motivasi kepada penulis. Terima kasih untuk semua canda, tawa, suka, duka yang kalian bagi dengan penulis.

Penulis menyadari bahwa penulisan hasil penelitian ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk memperbaiki penulisan di masa yang akan datang. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Bogor, Januari 2016

(14)
(15)

iii

Pengamatan Perkembangan Penyakit ... 3

Identifikasi Penyebab Penyakit ... 5

Analisis Data ... 5

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 6

Karakteristik Umum Lahan Pengamatan ... 6

Laju Perkembangan Penyakit ... 7

Bercak Daun Cercospora ... 7

Sweet potato chlorotic stunt virus (SPCSV) ... 8

Bercak Daun Alternaria ... 9

Kudis (scab) ... 10

Sweet potato feathery mottle virus (SPFMV) ... 11

Busuk Batang ... 12

Hawar Daun Phytophthora ... 13

Perkembangan Penyakit-Penyakit secara Kolektif ... 14

(16)

DAFTAR TABEL

1 Skoring penyakit ubi jalar menurut Zuraida et al. 1992 ... 4 2 Karakteristik umum lahan pengamatan penyakit ubi jalar di Tenjolaya,

Cikarawang, dan Bantarjaya, Kabupaten Bogor ... 6 3 Intensitas penyakit bercak daun Cercospora di tiga desa, Kabupaten Bogor

... 8 4 Intensitas penyakit Sweet potato chlorotic stunt virus di tiga desa, Kabupaten Bogor ... 9 5 Intensitas penyakit Alternaria di tiga desa, Kabupaten Bogor ... 10 6 Intensitas penyakit kudis di tiga desa, Kabupaten Bogor ... 11 7 Intensitas penyakit Sweet potato feathery mottle virus di tiga desa,

Kabupaten Bogor ... 12 8 Intensitas penyakit busuk batang di tiga desa, Kabupaten Bogor... 13 9 Intensitas penyakit hawar daun Phytophthora. di tiga desa, Kabupaten

Bogor ... 14 10Intensitas kolektif penyakit-penyakit di tiga desa, Kabupaten Bogor

DAFTAR GAMBAR

1 Contoh petak dan sub petak pengamatan ... 3 2 Sub petak pengamatan di Desa Cikarawang ... 4 3 Gejala bercak daun cercospora (A) dan bentuk konidiofor Cercospora

ipomoea pada pengamatan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 100X (B) ... 7 4 Gejala klorosis pada daun, terjadi penebalan warna pada tulang daun ... 8 5 Gejala penyakit bercak daun alternaria pada daun ubi jalar (A) dan bentuk

konidia* cendawan Alternaria sp. (B: *Sumber: prgdb.crg.eu) ... 9 6 Batang tanaman ubi jalar yang terkena penyakit kudis (A) dan bentuk

konidia Elsinoe batatas pada pengamatan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 100X (B) ... 10 7 Gejala SPFMV pada daun ubi jalar ... 12 8 Batang ubi jalar yang terkena penyakit busuk batang ... 13

DAFTAR LAMPIRAN

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ubi jalar (Ipomoea batatas Lamb.) merupakan jenis tanaman pangan umbi-umbian terpenting ketiga di dunia dan makanan pokok paling populer keempat di negara berkembang termasuk Indonesia (FAO 2013). Ubi jalar termasuk salah satu jenis tanaman merambat yang dapat tumbuh dari dataran rendah sampai pada ketinggian 2 500 meter di atas permukaan laut. Tanaman ini memiliki banyak manfaat, mulai dari daun sampai umbi. Selain itu ubi jalar merupakan salah satu tanaman indegenus yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi sumber karbohidrat. Pengembangan ini didasari oleh beberapa faktor pendukung yaitu: (1) budidaya ubi jalar memerlukan input rendah, berisiko kecil serta memiliki penyebaran lingkungan tumbuh yang cukup luas; (2) berumur pendek (± 3.5 bulan); (3) memiliki produktivitas yang tinggi; (4) memiliki kandungan gizi yang baik bagi kesehatan; (5) harga umbi relatif tinggi; dan (6) potensi pemanfaatannya cukup luas (Mekonen et al. 2014).

Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat alternatif pengganti beras. Selain itu, zat gizi yang terkandung dalam ubi jalar dapat mengimbangi zat gizi yang terdapat pada gandum dan beras. Selain sebagai sumber karbohidrat yang baik, ubi jalar juga sebagai sumber serat pangan yang sangat diperlukan tubuh. Ubi jalar ungu dan jingga mengandung senyawa betakaroten dan antosianin yang berfungsi sebagai komponen antioksidan (Suarta et al. 2012). Avianty (2013) mengemukakan bahwa ubi jalar memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi, dalam satu takaran saji 56 g snack bar ubi merah, kuning, ungu secara berurutan mengandung 131.89; 149.79; 142.30 kkal energi, 30.86; 35.68; 33.32 g karbohidrat, 0.41; 0.39; 0.43 g lemak, 1.19; 0.897; 1.28 g protein, 1.74; 1.66; 2.13 g serat, dan 10.24; 13.89; 8.91 g amilosa.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS 2013) Provinsi Jawa Barat, produksi ubi jalar mengalami peningkatan sebesar 9.99% dari 436 577 ton pada tahun 2012 menjadi 485 065 ton pada tahun 2013 dengan luas tanam 26 635 hektar. Wilayah yang berpotensi untuk penanaman ubi jalar di Jawa Barat terdapat sekitar 26 kabupaten dan kota. Kabupaten Bogor berada pada urutan ke-3 dengan luas tanam 3 764 hektar untuk penanaman ubi jalar setelah Kabupaten Kuningan dan Garut dengan luas tanam berturut-turut 5 546 hektar dan 5 388 hektar (BKPM 2015). Macam-macam produk yang dapat dihasilkan dari bahan baku ubi jalar di antaranya selai, dodol, permen, kremes, tepung, korbitol, kue marmer, tape, manisan, asinan, keripik, minuman ringan, dan lain-lain (Koswara 2009; Sudarwati 2012).

(18)

2

penyebab rendahnya produktivitas tanaman ubi jalar gangguan faktor lingkungan, genetik tanaman, hama dan penyakit tanaman (Syah et al. 2009)

Beberapa penyakit penting yang sering menjangkititanaman ubi jalar adalah kudis (scab), bercak daun cercospora, busuk umbi, mozaik virus, dan penyakit lainnya dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Semangun 2004). Salah satu prasyarat keberhasilan dalam pengendalian suatu penyakit tanaman adalah pengetahuan tentang epidemi penyakit tersebut. Epidemi merupakan proses intensif suatu patogen untuk menyebabkan penyakit pada inangnya dalam waktu dan wilayah tertentu, sedangkan ilmu yang mempelajari tentang epidemi disebut epidemiologi (Madden 2010). Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui epidemi berbagai penyakit yang menimbulkan kerusakan pada tanaman ubi jalar di Kabupaten Bogor, agar strategi pengendalian dapat dilakukan lebih terarah.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengetahui perkembangan penyakit-penyakit penting pada tanaman ubi jalar, khususnya di tiga desa, wilayah Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Manfaat Penelitian

(19)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan pada bulan November sampai Desember 2014 di Desa Tenjolaya (Kecamatan Tenjolaya) dan Cikarawang (Kecamatan Dramaga), dan bulan Mei sampai Juni 2015 di Desa Bantarjaya (Kecamatan Bantar Kambing), Kabupaten Bogor. Pengamatan morfologi gejala dan identifikasi penyebab penyakit dilakukan di Laboratorium Nematologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah pertanaman ubi jalar di kebun milik petani dengan luasan minimal 3000 m2 di Desa Tenjolaya, Cikarawang, dan Bantarjaya. Serta menggunakan kuesioner sebagai alat untuk mendapatkan informasi pendukung tentang teknik budidaya ubi jalar pada tiap desa.

Metode Pengumpulan Data Wawancara

Wawancara dilakukan terhadap petani pemilik atau penggarap lahan dengan menggunakan kuesioner terstruktur (Lampiran 1). Kuesioner berisi tentang sejarah pertanaman, sejarah penggunaan lahan, teknik budidaya yang digunakan, jenis patogen yang sering menyerang tanaman, cara pengendalian, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan budidaya ubi jalar.

Pengamatan perkembangan penyakit

Pengamatan dilakukan secara langsung di lapangan pada tiga desa. Pada tiap desa diamati 5 petak tanaman ubi jalar. Pada tiap petak diamati 5 subpetak pengamatan masing-masing berukuran 1 m2, 4 subpetak berada di setiap sudut lahan dan satu subpetak berada di tengah petak (Gambar 1 dan 2). Pada tiap subpetak diamati 50 daun contohberserta tangkai dan batangnya (unit sampel) yang dipilih secara acak dan diberi label dengan penomoran 1 sampai 50. Pengamatan dilakukan enam kali dimulai pada tanaman umur 6 minggu setelah tanam dengan interval satu minggu. Pengamatan dilakukan dengan menduga penyebab penyakit berdasarkan morfologi gejala, kemudian dinilai berdasarkan skoring Zuraida et al. (1992) yang secara rinci tersedia pada Tabel 1.

Gambar 1 Contoh petak dan subpetak pengamatan

3

5 4

1 2 Sub-petak

(20)

4

Gambar 2 Subpetak pengamatan di Desa Cikarawang

Indrayani (2008) mengemukakan bahwa pengambilan sampel dengan metode sistematik dapat memberikan hasil yang sama dengan metode acak sederhana dalam pemencaran penyakit tanaman. Milan et al. (2010) melakukan pengamatan intensitas penyakit pada tanaman dihitung dengan menggunakan metode Townsend-Heuberger (1943), dengan rumus sebagai berikut:

KP =∑����� × %

Keterangan:

KP : Keparahan penyakit

n : Jumlah tanaman dengan kategori kerusakan tertentu

vi : Nilai skala kerusakan dengan kategori i tertentu (i = 0, 1, 2, 3, 4, 5) Z : Nilai skala tertinggi yang ditentukan (=5)

N : Jumlah seluruh tanaman yang diamati

Tabel 1 Skoring penyakit ubi jalar menurut Zuraida et al. 1992 Nilai skala (vi) Presentase daun (x) yang mengalami kerusakan

0 x = 0

1 0 < x ≤ 20%

2 20% < x ≤ 40%

3 40% < x ≤ 60%

4 60% < x ≤ 80%

5 x > 80%

Kejadian/insidensi penyakit yang disebabkan oleh virus dihitung berdasarkan jumlah tanaman sakit dibagi dengan jumlah tanaman yang diamati dikali dengan 100%. Rumus yang digunakan adalah rumus perhitungan Insidensi penyakit (IP). Pengukuran IP dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

(21)

5 Keterangan:

IP : Insidensi penyakit

n : Jumlah tanaman bergejala N : Jumlah tanaman diamati Identifikasi penyebab penyakit

Daun, tangkai daun dan batang di luar sampel, yang menunjukkan gejala yang sama dengan sampel yang diamati, damati di laboratorium. Pengamatan dilakukan dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis. Pengamatan makroskopis dilakukan terhadap morfologi gejala yang tampak pada tanaman, sedangkan pengamatan mikroskopis dilakukan terhadap morfologi tanda/propagul patogen yang berasosiasi dengan gejala, dengan bantuan mikroskop compound pada perbesaran 100x. Patogen yang tergolong cendawan diidentifikasi berdasarkan morfologi sporanya menggunakan acuan menurut Barnett dan Hunter (1998). Analisis Data

(22)

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

Krakteristik Umum Lahan Pengamatan

Tiga desa pengamatan, yaitu Desa Tenjolaya, Cikarawang, dan Bantarjaya merupakan sentra penghasil ubi jalar di Kabupaten Bogor. Karakteristik umum lahan pengamatan ketiga desa tersebut relatif berbeda (Tabel 2).

Tabel 2 Karakteristik umum lahan pengamatan penyakit ubi jalar di Tenjolaya, Cikarawang, dan Bantarjaya, Kabupaten Bogor

Kategori Lokasi penelitian (Desa)

dVarietas Ubi putih Ubi kuning Ubi putih, AC dAsal bibit Dari tanaman

sebelumnya dan petani

dPola tanam Monokultur Monokultur Monokultur dPola rotasi Ubi jalar, padi, ubi jalar Kacang tanah, ubi

jalar, ubi jalar

aData diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Dramaga, Bogor. bLatitude atau lintang

cLongitude atau bujur

dHasil wawancara dengan petani.

Penyakit yang Ditemukan

(23)

7 Laju Perkembangan Penyakit

Bercak Daun Cercospora

Penyakit bercak daun cercospora ditemukan di semua desa yang diamati. Penyakit ini terdapat pada daun muda dan daun tua. Gejala yang terlihat di lapangan pada awal infeksi berupa bercak coklat pekat pada permukaan atas daun, kemudian bercak membesar seiring berjalannya waktu, dan warna bercak berubah menjadi coklat muda dengan dikelilingi zona berwarna kuning (Gambar 3A). Pada tingkat infeksi lanjut, daun menguning secara keseluruhan dengan bercak coklat yang tetap tampak, akhirnya daun gugur.

Berdasarkan hasil pengamatan secara mikroskopis dapat diketahui bahwa penyakit tersebut disebabkan oleh cendawan. Morfologi cendawan yang didapatkan yaitu konidiofor berwarna abu-abu gelap dan memanjang dengan beberapa sekat (Gambar 3B). Menurut Barnet dan Hunter (1998) cendawan dengan morfologi konidiofor berwarna abu-abu gelap atau hialin, bentuk memanjang dengan beberapa sekat adalah cendawan dari genus cercospora. Cendawan ini umumnya menyerang tumbuhan tingkat tinggi yang dapat menyebabkan gejala seperti mata katak. Semangun (1991) mengemukakan bahwa penyakit bercak daun cercospora pada tanaman ubu jalar disebabkan oleh cendawan Cercospora ipomoea. Penyakit tersebut umumnya meningkat pada musim hujan (Harter dan Weimer 1929).

Gambar 3 Gejala bercak daun cercospora (A) dan bentuk konidiofor Cercospora ipomoea pada pengamatan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 100X (B)

Intensitas penyakit bercak daun cercospora di tiap desa terus mengalami peningkatan dari pengamatan ke-1 hingga ke-6 dengan laju yang relatif tidak berbeda (Tabel 3). Bercak daun cercospora merupakan penyakit yang paling dominan di seluruh desa dibandingkan dengan penyakit-penyakit lainnya. Intensitas penyakit ini paling tinggi terjadi di Cikarawang kemudian diikuti oleh Bantarjaya dan Tenjolaya. Tingginya intensitas penyakit ini menjadi salah satu penyebab terjadinya gugur daun secara massal yang memberikan kontribusi paling besar dalam penurunan produksi di Cikarawang (Tabel 2).

Intensitas pada awal pengamatan tertinggi terjadi di Tenjolaya, kemudian diikuti oleh Cikarawang dan Bantarjaya (paling rendah). Hal ini disebabkan saat awal pengamatan, curah hujan di Tenjolaya paling tinggi dibandingkan dua desa lainnya. Selain itu ada kemungkinan bibit yang digunakan sudah terinfeksi

(24)

8

Cercospora ipomoea karena bibit yang digunakan berasal dari tanaman sebelumnya dan dari petani lain yang tidak terjamin kesehatannya.

Intensitas dan laju perkembangan penyakit bercak daun cercospora di tiga desa pada pengamatan 5 relatif tidak berbeda, akan tetapi pada pengamatan ke-6 menjadi relatif berbeda. Intensitas penyakit tertinggi terjadi di Cikarawang, diikuti oleh Bantarjaya dan Tenjolaya (Tabel 3). Intensitas penyakit tertinggi yang terjadi di Cikarawang diduga berkaitan erat dengan penanaman ubi jalar yang dilakukan selama dua musim berturut-turut, tanpa rotasi. Sementara itu, berdasarkan perkembangan penyakit laju tertinggi terjadi di Bantarjaya, diikuti oleh Cikarawang dan Tenjolaya.

Tabel 3 Intensitas penyakit bercak daun cercospora di tiga desa, Kabupaten Bogor

Desa Intensitas penyakit (%) pada pengamatan ke-n (Minggu)

1 2 3 4 5 6

Tenjolaya 3.88 11.68 25.90 39.02 53.17 55.30 Cikarawang 1.87 5.87 25.37 46.46 58.78 70.54 Bantarjaya 0.22 6.89 24.19 34.68 45.74 68.44

Sweet Potato Chlorotic Stunt Virus (SPCSV)

Penyakit Sweet potato chlorotic stunt virus (SPCSV) terdapat di semua desa. Gejala khas SPCSV terjadi pada daun berupa klorosis, dan tulang daun menebal dengan warna yang lebih gelap dibandingkan dengan lamina daun (Gambar 4). Diketahui virus ini dapat mematikan daun dalam waktu satu sampai dua minggu. Daun yang terinfeksi SPCSV memiliki warna lebih cerah dibandingkan daun yang tidak terinfeksi. Pada infeksi lanjut, menyebabkan tingkat keparahan penyakit semakin tinggi dan menyebabkan gugur daun secara prematur.

Gambar 4 Gejala klorosis pada daun, terjadi penebalan warna pada tulang daun Insidensi penyakit SPCSV di tiga desa relatif berbeda. Insidensi penyakit tertinggi terjadi di Tenjolaya, kemudian diikuti Cikarawang dan Bantarjaya, sedangkan laju perkembangan penyakit tertinggi terjadi di Bantarjaya, kemudian diikuti Cikarawang dan Tenjolaya (Tabel 4). Penyakit ini disebabkan oleh virus yang bersifat persisten dan dapat disebarkan oleh serangga vektor Bemisia tabaci.

(25)

9

Tabel 4 Insidensi penyakit Sweet potato chlorotic stunt virus di tiga desa, Kabupaten Bogor

Desa Insidensi penyakit (%) pada pengamatan ke-n (Minggu)

1 2 3 4 5 6

Tenjolaya 6.80 8.08 10.20 10.60 10.60 10.60 Cikarawang 2.48 5.84 8.08 8.64 8.64 8.64 Bantarjaya 0.08 1.12 3.52 3.76 3.76 3.76 Bercak Daun Alternaria

Penyakit bercak daun alternaria merupakan salah satu penyakit dengan keparahan terbesar ketiga setelah bercak daun cercospora dan SPCSV. Gejala penyakit ini yaitu pada permukaan atas daun dipenuhi oleh bercak abu-abu, beberapa ada yang sampai ke batang (Gambar 5A). Pada infeksi lanjut, bercak abu-abu pada daun akan semakin berkembang, dan dikelilingi oleh zona berwarna kuning. Apabila gejala telah menyebar luas, daun menguning seluruhnya, layu, hingga akhirnya mati. Hal ini sesuai dengan Stathers et al. (2005) yang mengemukakan bahwa penyakit dengan gejala bercak coklat/abu-abu/hitam berbentuk oval/bulat dengan lingkaran konsentris berwarna kuning pada tingkat gejala lanjut disebabkan oleh Alternaria sp. Cendawan Alternaria sp. memiliki bentuk mikroskopis yang khas yaitu konidia berwarna gelap, dengan septa yang membujur dan melintang serta pada bagian ujungnya membentuk kerucut yang tumpul seperti pada Gambar 5B (Barnet dan Hunter 1998). Gejala penyakit ini hampir mirip dengan gejala penyakit bercak daun cercospora. Akan tetapi terdapat perbedaan antar keduanya yaitu daun yang terinfeksi Alternaria sp. memiliki bercak berwarna abu-abu dengan bentuk yang lebih bundar, sedangkan daun yang terinfeksi C. ipomoea memiliki bercak berwarna coklat dengan bentuk dan ukuran yang kurang beraturan.

(26)

10

kelembaban tinggi, serta pada wilayah dataran tinggi (Stathers et al. 2005). Hal ini sesuai dengan hasil yang didapatkan, yaitu intensitas penyakit tertinggi terjadi di Desa Tenjolaya yang memiliki karakteristik wilayah dengan kelembaban dan curah hujan lebih tinggi dibandingkan dengan dua desa lainnya (Tabel 2).

Tabel 5 Intensitas penyakit bercak daun alternaria di tiga desa, Kabupaten Bogor

Desa Intensitas penyakit (%) pada pengamatan ke-n (Minggu)

1 2 3 4 5 6

Tenjolaya 0.44 1.64 3.79 5.88 7.30 7.65 Cikarawang 0.28 1.42 2.89 4.04 4.75 5.21 Bantarjaya 0.01 0.30 1.48 2.40 3.64 5.90 Kudis (Scab)

Kudis merupakan penyakit penting yang sering ditemukan padatanaman ubi jalar, terutama untuk wilayah Asia dan Kepulauan Pasifik. Di Indonesia penyakit kudis tersebar di sentra produksi ubi jalar di Jawa, Bali, Sumatera, dan Papua. Kehilangan hasil akibat kudis bervariasi antara 20-50% tergantung varietas yang ditanam, umur tanaman saat terinfeksi, dan kondisi lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan penyakit di lapangan.

Gejala penyakit kudis pada ubi jalar di lapangan terdapat pada tulang daun bagian bawah, tangkai daun, dan batang. Pada bagian batang, tangkai daun, dan tulang daun terlihat kudis membentuk cekungan (Gambar 6A). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Martanto (2010) yang mengemukakan bahwa kudis pada ubi jalar berbentuk cekung. Cekungan tersebut terjadi karena tanaman membentuk lapisan gabus pada lapisan epidermis dan sub-epidermis. Gejala lain yang terlihat jelas adalah terjadinya malformasi pada daun dan tangkai daun. Daun berukuran lebih kecil dari ukuran normal, keriput, dan menggulung ke dalam, sedangkan tangkai daun menjadi lebih pendek dibandingkan dengan tangkai yang normal. Keberadaan penyakit kudis pada daun dapat menghambat perkembangan daun, daun kerdil, menggulung, dan keriput (Wall 2000).

Gambar 6 Batang tanaman ubi jalar yang terkena penyakit kudis (A) dan bentuk konidia Elsinoe batatas pada pengamatan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 100X (B)

Pengamatan secara mikroskopis dengan perbesaran 100X menunjukkan bahwa konidia berbentuk bundar, berwarna coklat, dan tanpa sekat (Gambar 6B).

A

B

(27)

11 Berdasarkan pengamatan makroskopis terhadap gejala dan mikroskopis disimpulkan bahwa penyakit kudis disebabkan oleh cendawan Elsinoe batatas. Hal sesuai dengan hasil penelitian Martanto (2010) yang mengemukakan bahawa penyakit kudis ubi jalar disebabkan oleh cendawan E. batatas yang memiliki konidia berbentuk bulat, dan tidak bersekat.

Intensitas penyakit kudis paling tinggi terjadi di Bantarjaya, dan diiukuti Tenjolaya pada urutan kedua (Tabel 6). Di Cikarawang tidak terdapat penyakit kudis karena curah hujan relatif rendah dan lahan dalam kondisi kekeringan. Hal ini sesuai dengan Wall (2000) yang mengemukakan bahwa penyakit kudis lebih banyak terjadi pada musim hujan saat kelembaban udara tinggi. Percikan air hujan disertai angin diduga sangat membantu penyebaran spora cendawan dari tanaman sakit ke tanaman di sekitarnya. Sumber inokulum penyakit kudis di lapangan terutama berasal dari penggunaan bibit yang telah terifeksi cendawan E. batatas

yang selanjutnya menyebar ke tanaman sehat di sekitarnya.

Intensitas dan laju perkembangan penyakit di Bantarjaya meningkat pada pengamatan ke-3 dan terus meningkat sampai pengamatan terakhir namun dengan laju yang lambat. Pada awal pengamatan intensitas tertinggi terjadi di Tejolaya, namun akhirnya intensitas tertinggi terajadi di Bantarjaya, hal ini diduga dipengaruhi oleh perbedaan ketinggian tempat. Wall (2000) mengemukakan bahwa penyakit kudis umumnya menjadi permasalahan pada pertanaman ubi jalar di dataran tinggi, tapi kurang berarti pada tanaman di dataran rendah.

Tabel 6 Intensitas penyakit kudis di tiga desa, Kabupaten Bogor Desa Intensitas penyakit (%) pada pengamatan ke-n (Minggu)

1 2 3 4 5 6

Tenjolaya 0.11 0.30 1.01 1.39 2.00 2.06 Cikarawang 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Bantarjaya 0.01 0.22 1.21 2.09 3.23 4.88

Sweet Potato Feathery Mottle Virus (SPFMV)

Sweet potato feathery mottle virus (SPFMV) adalah salah satu virus yang menyerang tanaman ubi jalar di Indonesia. Gejala yang muncul pada daun yang terinfeksi SPFMV adalah berupa bintik-bintik klorosis yang tidak beraturan dengan bercak keunguan yang tidak merata pada lamina daun, tetapi ukuran daun relatif normal (Gambar 7). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Ames et al.

(1997) bahwa daun yang terserang SPFMV memiliki gejala berupa klorosis dengan bercak ungu. Daun yang terinfeksi virus tersebut umunya hanya terjadi pada daun yang sudah tua.

(28)

12

relatif kecil. Pengaruh infeksi virus pada produktivitas tanaman sangat bervariasi, bergantung pada jenis virus yang menginfeksi, kekomplekan virus, dan kultivar ubi jalar yang terinfeksi (Domola et al. 2008).

Gambar 7 Gejala SPFMV pada daun ubi jalar

Insidensi penyakit SPFMV terlihat paling tinggi terjadi di Tenjolaya, kemudiam Bantarjaya (Tabel 7). Di Cikarawang tidak terdapat penyakit SPFMV diduga karena penggunaan pestisida di desa tersebut cukup tinggi, sehingga serangga-serangga kecil seperti kutu daun yang berperan sebagai vektor tidak dapat bertahan di lahan tersebut. Pada pengamatan ke-4 terlihat bahwa laju perkembangan penyakit di Bantarjaya relatif lambat, sedangkan di Tenjolaya relatif lebih cepat.

Penyakit ini di tiga desa yang diamati tidak terlalu dominan, dan relatif tidak berpengaruh terhadap produktivitas ubi jalar. Daun yang terinfeksi SPFMV umumnya tidak menunjukkan gejala yang terlalu jelas, daun tetap terlihat normal seperti daun sehat, hanya pada bagian permukaan atas daun terdapat bercak keunguan.

Tabel 7 Insidensi penyakit Sweet potato feathery mottle virus di tiga desa, Kabupaten Bogor

Desa Insidensi penyakit (%) pada pengamatan ke-n (Minggu)

1 2 3 4 5 6

Tenjolaya 1.20 2.24 4.46 5.60 5.60 5.60 Cikarawang 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Bantarjaya 0.00 1.04 3.76 3.84 3.84 3.84 Busuk Batang

(29)

13 tidak terdapat penyakit busuk batang disebabkan lingkungan di desa tersebut tidak mendukung perkembangan bakteri, lahan yang kering, drainase yang kurang baik, dan curah hujan yang rendah menjadi salah satu faktor terhambatnya perkembangan penyakit busuk batang di Cikarawang.

Penyakit ini kurang penting di semua lahan pengamatan, dan merupakan penyakit minor. Namun jika penyakit ini meluas akan berpengaruh terhadap produktivitas karena busuk batang dapat menjalar sampai ke umbi. Sehingga jika tingkat kejadian dan keparahan penyakitnya tinggi akan menurunkan hasil panen.

Gambar 8 Batang ubi jalar yang terkena penyakit busuk batang Tabel 8 Intensitas penyakit busuk batang di tiga desa, Kabupaten Bogor Desa Intensitas penyakit (%) pada pengamatan ke-n (Minggu)

1 2 3 4 5 6

Tenjolaya 0.09 0.33 0.54 0.80 0.92 0.96 Cikarawang 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Bantarjaya 0.00 0.14 0.19 0.21 0.24 0.24 Hawar Daun Phytophthora

Penyakit hawar daun phytophthora merupakan penyakit yang jarang ditemukan pada tanaman ubi jalar. Hal ini sesuai dengan yang ditemukan saat pengamatan, penyakit ini hanya ditemukan di Cikarawang, sedangkan di Tenjolaya dan Bantarjaya tidak. Intensitas penyakit di Cikarawang semakin meningkat sejak awal hingga akhir pengamatan dengan laju yang relatif konstan (Tabel 9). Berkembangnya penyakit ini disebabkan bibit yang digunakan berasal dari tanaman yang sebelumnya pernah ditanam. Diduga bibit yang digunakan sudah terinfeksi

(30)

14

Tabel 9 Intensitas penyakit hawar daun phytophthora di tiga desa, Kabupaten Bogor

Desa Intensitas penyakit (%) pada pengamatan ke-n (Minggu)

1 2 3 4 5 6

Tenjolaya 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Cikarawang 0.21 0.77 2.24 2.99 3.41 3.57 Bantarjaya 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Perkembangan Penyakit-Penyakit secara Kolektif

Intensitas semua jenis penyakit di tiap desa, secara kolektif terus meningkat dari pengamatan pertama ke pengamatan-pengamatan berikutnya dengan laju yang relatif tidak berbeda (Tabel 10). Perbedaan intensitas kolektif semua jenis penyakit disebabkan oleh adanya perbedaan intensitas penyakit pada awal pengamatan (pengamatan ke-1). Intensitas pada awal pengamatan tertinggi terjadi di Tenjolaya, kemudian diikuti oleh Cikarawang dan Bantarjaya (paling rendah). Berdasarkan perkembangan penyakit sampai dengan pengamatan ke-5, menunjukkan bahwa intensitas kolektif penyakit relatif berbeda, kemudian pada pengamatan ke-6 menjadi relatif tidak berbeda, namun dengan laju perkembangan penyakit relatif berbeda.

Tabel 10 Intensitas kolektif penyakit-penyakit di tiga desa, Kabupaten Bogor Desa Intensitas penyakit (%) pada pengamatan ke-n (Minggu)

1 2 3 4 5 6

Tenjolaya 12.52 24.27 45.90 63.29 79.59 82.17 Cikarawang 4.84 13.90 38.58 62.13 75.58 87.96 Bantarjaya 0.32 9.71 34.35 46.98 60.45 87.06

Pembahasan Umum

Secara umum, Tenjolaya dan Bantarjaya memiliki karakteristik wilayah yang sama, begitupula dalam hal teknik budidaya ubi jalar. Hal ini menyebabkan penyakit yang terdapat di kedua desa tersebut relatif sama. Berdasarkan intensitas penyakit secara kolektif, di Cikarawang terdapat intensitas penyakit tertinggi untuk penyakit-penyakit yang berhasil ditemukan. Namun pada awal pengamatan, intensitas penyakit tertinggi terdapat di Tenjolaya. Lahan di Tenjolaya merupakan lahan yang memiliki kelembaban paling tinggi dibandingkan dua desa lainnya. Curah hujan yang tinggi menyebabkan lahan tergenang air selama beberapa minggu. Selain itu, jumlah daun pada tiap subpetak terlalu banyak sehingga memberikan efek meningkatnya kelembaban di pertanaman, yang menyebabkan intensitas penyakit menjadi tinggi di awal pengamatan. Kondisi lingkungan yang kurang baik menjadi salah satu penyebab terjadinya epidemi.

(31)

15 faktor manusia dan waktu, interaksi antara lima faktor tersebut disebut dengan piramida penyakit (Agrios 2005).

Laju perkembangan penyakit yang ditemukan di tiga desa relatif berbeda, namun seluruhnya mengalami peningkatan dari awal hingga akhir pengamatan. Intensitas penyakit makin meningkat seiring berjalannya waktu. Berat ringannya gejala yang ditimbulkan ditentukan oleh derajat virulensi patogen, derajat ketahanan inang, dan faktor lingkungan (Oka 1993).

(32)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Penyakit-penyakit pada tanaman ubi jalar yang berhasil ditemukan di desa Tenjolaya, Cikarawang, dan Bantarjaya relatif sama. Terdapat 6 jenis penyakit di Tenjolaya dan Bantarjaya, di antaranya penyakit bercak daun cercospora, kudis,

Sweet potato feathery mottle virus (SPFMV), Sweet potato chlorotic stunt virus

(SPCSV), bercak daun alternaria, dan busuk batang. Sedangkan di Cikarawang hanya ditemukan 4 jenis penyakit, yaitu bercak daun cercospora, SPCSV, bercak daun alternaria, dan hawar daun phytophthora. Intensitas penyakit secara kolektif di tiga desa relatif tidak berbeda. Intensitas tiga jenis penyakit tertinggi pada tiap-tiap desa berturut-turut adalah bercak daun cercospora, SPCSV, dan bercak daun alternaria. Dari keseluruhan penyakit yang ditemukan, bercak daun cercospora merupakan penyakit dengan intensitas tertinggi di tiga desa. Dengan diketahuinya epidemi berbagai penyakit pada tanaman ubi jalar, maka dapat dilakukan cara budidaya dan pengendalian yang tepat di kemudian hari.

Saran

(33)

DAFTAR PUSTAKA

Agrios GN. 2005. Plant Pathology. 5th ed. San Diego (US): Academic Press.

Ames T, Smit NEJM, Braun AR, O’Sullivan JN, Skoglun LG. 1997. Sweetpotato: Major Pests, Diseases, and Nutritional Disorders. Lima, Peru (PE): International Potato Center

Avianty A. 2013. Kandungan zat gizi dan tingkat kesukaan snack bar ubi jalar kedelai hitam sebagai alternatif makanan selingan penderita diabetes melitus tipe 2 [Skripsi]. Semarang (ID): UNDIP.

Barnett HL, Hunter BB. 1998. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. Paul (US): APS Pr.

[BKPM] Badan Koordinasi Penanaman Modal. 2015. Wilayah potensi pengembangan komoditi ubi jalar [Internet]. [diunduh 2015 Mei 22]. Tersedia pada:http://regionalinvestment.bkpm.go.id/newsipid/commodityarea.php?ia =32&ic=2608.

[BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. 2013. Potensi ubi jalar di Jawa Barat [Internet]. [diunduh: 2014 Des 11]. Tersedia pada: http://regional investment.bkpm.go.id/newsipid/id/commodityarea.php?ia=3201&ic=2608 Domola MJ, Thompson GJ, Aveling TAS, Laurie SM, Strydom H, Van den Berg

AA. 2008. Sweet potato viruses in south Africa and the effect of viral infection on storage root yield. African Plant Protection. 14: 15–23.

[FAO] Food and Agricultural Organization. 2013. Food and Agricultural Organization statistics. Roma (IT): Food and Agricultural Organization of the United nations.

Harter LL, Weimer JL. 1929. A monographic study of sweet potato diseases and their control. Technical Buletin. 99: 144 hlm.

Indrayani IGAD. 2008. Penentuan metode pengambilan sampel tanaman dalam pengamatan gejala penyakit layu nanas [Ananas comosus (Linn.) Merr.] di Kabupaten Subang, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Jaya EFP. 2013. Pemanfaatan antioksidan dan betakaroten ubi jalar ungu pada pembuatan minuman non-beralkohol. Media Gizi Masyarakat Indonesia. 2(2): 54-57.

Juanda D, Cahyono B. 2000. Ubi Jalar. Yogyakarta (ID): Kanisius.

Koswara S. 2009. Ubi jalar dan hasil olahannya (teori dan praktek) [Internet]. [diunduh 2015 Mei 25]. Tersedia pada: tekpan. unimus.ac.id/ wp/UBIJALAR-DAN-HASIL-OLAHANNYA.pdf.

Madden L. 2010. Plant diseases epidemiology [Internet]. [diunduh 2015 Juni 14]. Tersedia pada: http://www.oardc.ohiostate.edu/pp702/notes/EPIDEM12_1r. Pdf.

Martanto EA. 2010. Potensi Euphorbia heteriphylla L. sebagai inang alternatif penyakit kudis pada ubi jalar. J. HPT. Tropika. 10(2): 172-177.

Mekonen S, Fikre H, Fekadu G, Elias U. 2014. Sweetpotato diseases research in Ethiopia. International Journal of Agriculture Innovations and Research.

(34)

18

Milan S, Petar V, Ibrahim E. 2010. Resistance of Venturia inaequalis to demethylation inhibiting (DMI) fungicides. Zemdirbyste=Agriculture. 97(4): 65-72.

Nirwanto H. 2007. Pengantar Epidemi dan Manajemen Penyakit Tanaman. Surabaya (ID): UPN Veteran.

Oka IN. 1993. Pengantar Epidemiologi Penyakit Tanaman. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada Press.

Purwono, Purnamawati H. 2007. Budidaya 8 Jenis Tanaman Pangan Unggul. Depok (ID): Penebar Swadaya.

Saleh N. 1986. Penyakit-penyakit virus pada tanaman ubi-ubian. Seminar Nalai Penel. Tan. Pangan. Bogor (ID): 396-402.

Suprapti ML. 2003. Tepung Ubi Jalar. Yogyakarta (ID): Kanisius

Semangun H. 1991. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.

Semangun H. 2004. Penyakit-Penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.

Stathers T, Namanda S, Mwanga ROM, Khisa G, Kapinga R. 2005. Manual for Sweet Potato Integrated Production and Pest Management Farmer Field Schools in Sub-Sahara Africa. Kampala Uganda (UG): International Potato Center.

Suarta IW, Yusa NM, Suter IK. 2012. Kajian kandungan gizi dan sifat sensori

Ledok dari beberapa jenis umbi-umbian [Skripsi]. Bali (ID): Universitas Udayana.

Sudarwati S. Teknologi pengolahan hasil ubi jalar dan ubi kayu [Internet]. [diunduh 2015 Mei 25]. Tersedia pada: http://kaltim.litbang.pertanian.go.id/

ind/index.php?option=com_content&view=article&id=178:teknologi-pengolahan-hasil-ubi-jalar-dan-ubi-kayu-&catid=26:lain&Itemid=59.

Sudjadi M, Wargiono, Tantera DM. 1976. Reaction of sweet potato clones to scab (E. batatas) and brown leaf spot (C. batatas). Kongr. Nas. IV PFI. Gambung, Bandung (ID): Des. 1976, 10 hlm.

Syah D, Hariyadi RD, Firlieyanti AS, Koswara S. 2009. Potensi Pengembangan Ubijalar dalam Mendukung Diversifikasi Pangan. Bogor (ID): Seafast Center.

Townsend GR, Heuberger JV. 1943. Methods for estimating losses caused by diseases in fungicide experiment. Plant Diseases Report. 24: 340-343. Wall G. 2000. Sweet Potato Scab (Elsinoe batatas [Sawada] Viegas & Jenkins).

Amerika (US): ADAP

Wolters P, Collins W, Moyer JW. 1990. Probable lack of seed transmission of Sweet potato feathery mottle virus in sweet potato. HortScience. 25(4):448-449. Zuraida N, Bari A, Wattimena GA, Amir M, Soenaryo R. 1992. Pengaruh

penanaman campuran klon ubi jalar terhadap penyakit kudis dan hasil.

Penelitian Pertanian. 12(3): 119–121.

(35)
(36)
(37)

Lampiran 1

5. Lama budidaya tanaman ubi jalar : [ ] ≤ 5 tahun

10. Penanaman 2 musim sebelumnya : Teknik budidaya ubi jalar

11. Varietas: 12. Asal bibit:

[ ] membeli dari perusahaan pembibitan

[ ] diberikan oleh dinas atau instansi pemerintah [ ] membeli dari petani lain

(38)

22

Pestisida Frekuensi Waktu Dosis Harga

19. Pengendalian gulma/penyiangan :

20. Waktu dan frekuensi panen :

21. Jumlah produksi ubi jalar dalam satu kali panen : kg 22. Perlakuan pascapanen :

[ ] dijual sendiri [ ] keduanya

[ ] dijual ke tengkulak [ ] lainnya, .... Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dan Pestisida

23. OPT penting dan merugikan menurut Bapak/Ibu? 24. Bagaimana gejala yang muncul pada tanaman?

25. Berapa persen kehilangan produksi ubi jalar akibat serangan OPT tersebut? 26. Bagaimana cara Bapak/Ibu untuk mengendalikan OPT tersebut?

27. Gulma apa saja yang sering tumbuh di lahan ubi jalar?

Bogor, 2015

Narasumber, Pewawancara,

(39)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tangerang. Pada tanggal 29 September 1992. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara keluarga Bapak Safarudin dan Ibu Nurhayati. Kakak laki-laki bernama Jamaludin (28 tahun) dan adik perempuan bernama Mar’iyyah Nurul ‘Aeni (11 tahun). Setelah lulus dari MAN MAUK Tangerang pada tahun 2011, penulis melanjutkan studi di IPB melalui jalur SNMPTN Undangan pada tahun 2011 dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian.

Gambar

Gambar 1  Contoh petak dan subpetak pengamatan
Gambar 2  Subpetak pengamatan di Desa Cikarawang
Tabel 2 Karakteristik umum lahan pengamatan penyakit ubi jalar di Tenjolaya,
Tabel 4  Insidensi penyakit Sweet potato chlorotic stunt virus di tiga desa,
+3

Referensi

Dokumen terkait

Untuk membantu mempermudah penggunaaan kamus ini, lema disusun secara alfabetis, lema yang berupa kata dasar, kata berimbuhan, kata berulang, kata majemuk, dan gabungan kata

Karenanya penting meletakkan Islam Nusantara sebagai sebuah diskursus, dimana ada dua aspek/aktor yang bergerak bersama- sama, berasal dari tradisi teks ( tradisi besar

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa berfikir kritis mahasiswa pendidikan biologi Se-Kota Pekanbaru dalam kategori Cukup dengan persentase

Penelitian ini berkaitan dengan kondisi pertanian saat ini yang sering diangkat menjadi topik, misalnya dalam hal menentukan kematangan buah, pendistribusian buah jeruk

Sebagaimana diilustrasikan pada gambar 3, penilaian kinerja 360 derajat mengakomodasi proses evaluasi kognitif terhadap penilaian kinerja yang dialami individu karena

Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses pembayaran tagihan rekening Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD)

Pada usia tersebut dikhawatirkan belum memiliki keterampilan hidup (life skills) yang memadai, pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang masih minim, sehingga

KESIMPULAN Hasil persilangan antara induk betina kerapu macan dan jantan kerapu batik menghasilkan ikan kerapu hibrida cantik yang mempunyai pertumbuhan larva dan benih, serta