• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Pemantauan Pelaksanaan Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Cidanau dengan Pendekatan Kerapatan Tegakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Pemantauan Pelaksanaan Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Cidanau dengan Pendekatan Kerapatan Tegakan"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL PEMANTAUAN PELAKSANAAN PEMBAYARAN JASA

LINGKUNGAN DI DAS CIDANAU DENGAN PENDEKATAN

KERAPATAN TEGAKAN

RAHMI NUR KHAIRIAH

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Model Pemantauan Pelaksanaan Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Cidanau dengan Pendekatan Kerapatan Tegakan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014 Rahmi Nur Khairiah

(4)

ABSTRAK

RAHMI NUR KHAIRIAH. Model Pemantauan Pelaksanaan Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Cidanau dengan Pendekatan Kerapatan Tegakan. Dibimbing oleh LILIK BUDI PRASETYO dan NANDI KOSMARYANDI.

Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) merupakan pemberian imbal jasa berupa pembayaran finansial dan non finansial kepada pengelola lahan atas jasa lingkungan yang dihasilkan. Persyaratan dalam pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau yaitu jumlah tegakan yang ada dan tumbuh dengan baik tidak kurang dari 500 (lima ratus) batang per hektar. Saat ini, pemantauan jumlah tegakan di lahan PJL dilakukan dengan cara menghitung langsung jumlah tegakan per hektar per lahan. Pemantauan dengan metode tersebut memerlukan waktu yang cukup lama dan biaya yang tidak sedikit. Pemantauan jumlah tegakan pada lahan PJL di DAS Cidanau perlu dilakukan menggunakan metode baru yang lebih efisien. Penelitian dilakukan di DAS Cidanau, Kabupaten Serang dan Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Model pendugaan kerapatan tegakan dengan leaf area index merupakan model pendugaan terbaik yang dapat digunakan untuk menduga kerapatan tegakan pada lahan pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau. Persentase kerapatan kanopi di dua kelompok tani hutan semakin meningkat setelah periode pembayaran jasa lingkungan.

Kata kunci: basal area, forest canopy density, kerapatan tegakan, leaf area index

ABSTRACT

RAHMI NUR KHAIRIAH. Monitoring of Payment for Environmental Service (PES) Implementation in Cidanau Watershed with Stands Density Approach. Supervised by LILIK BUDI PRASETYO and NANDI KOSMARYANDI.

Payment for Environmental Service is a give of reciprocal service in the form of financial or non-financial payment to the land owner for every environmental service which is produced. The requirement of Payment for Environmental Service in Cidanau Watershed is the number of stand which exist and grow well not less than 500 (five hundred) stands per hectare. At this moment, monitoring the number of stands in PES land in Cidanau Watershed done by a direct counting the number of stands per hectare per area. Monitoring with those methods require a quite long time and quite a lot of cost. Monitiring the number of stands in PES land in Cidanau Watershed need a new method which more efficient. This research done in Cidanau Watershed, Serang and Pandeglang, Banten Province. Estimating the Number of stand models with leaf area index is the best estimating models which usable to estimate the stand density in PES land in Cidanau Watershed. The presentage of canopy density in two forest farmer groups are increasing after PES period.

(5)

iii

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

RAHMI NUR KHAIRIAH

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2014

MODEL PEMANTAUAN PELAKSANAAN PEMBAYARAN JASA

LINGKUNGAN DI DAS CIDANAU DENGAN PENDEKATAN

(6)
(7)

v

Judul Skripsi : Model Pemantauan Pelaksanaan Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Cidanau dengan Pendekatan Kerapatan Tegakan

Nama : Rahmi Nur Khairiah

NIM : E34100020

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc Pembimbing I

Dr Ir Nandi Kosmaryandi, MScF Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Topik yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Maret 2014 ini adalah pembayaran jasa lingkungan dan remote sensing, dengan judul Model Pemantauan Pelaksanaan Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Cidanau dengan Pendekatan Kerapatan Tegakan.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc dan Dr Ir Nandi Kosmaryandi, MScF sebagai pembimbing, serta Dr Ir Yeni Aryati Mulyani, MSc sebagai pembimbing akademik yang tidak pernah lelah menyemangati dan memberikan masukan. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Desa Citaman, Desa Cikumbuen, Desa Kadu Kempong, Keluarga besar CA Rawa Danau, Keluarga besar Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC), Keluarga besar Rekonvasi Bhumi, dan Institut Pertanian Bogor yang telah banyak membantu penulis dalam melakukan penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu, adik-adik saya, serta seluruh keluarga dan kepada Iska Gushilman atas doa dan kasih sayangnya. Keluarga KSHE 47, Keluarga Lab Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial, Keluarga Fasttrack KVT IPB 2013, Keluarga besar HIMAKOVA, Arif Prasetyo, Ardhianto Muhammad, Nugrahadi Ramadhan Tohir, Romi Prasetyo, Galang Badadung, Bangkit, Anggit, ventie, Ila, Dimaz, Ali, Dini, Iga D Darmeydi atas motivasi, bantuan, dukungan dan kebersamaan kita selama ini, serta seluruh staf pengajar, tata usaha, laboran, mamang bibi, juga keluarga besar Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata dan Fakultas Kehuutanan IPB yang telah membantu, memberikan dukungan, serta memberikan ilmu pengetahuan.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

(9)

vii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Pengertian Daerah Aliran Sungai 2

Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Cidanau 2

METODE 4

Waktu dan Tempat 4

Jenis Data 6

Metode Pengumpulan Data 7

Teknik Pengumpulan Data 7

Pengolahan Data 8

HASIL DAN PEMBAHASAN 12

Identifikasi Hubungan Kerapatan Tegakan dengan Forest Canopy Density 12 Identifikasi Hubungan Kerapatan Tegakan dengan Leaf Area Index 17 Identifikasi Hubungan Kerapatan Tegakan dengan Basal Area 18 Kondisi Kerapatan Kanopi Di Lahan Pembayaran Jasa Lingkungan 19

Implikasi Model 19

Uji Asumsi Klasik 20

Dugaan Kerapatan Tegakan pada Lahan Pembayaran Jasa Lingkungan dan

Non Pembayaran Jasa Lingkungan 21

SIMPULAN DAN SARAN 21

Simpulan 21

Saran 22

DAFTAR PUSTAKA 22

(10)

DAFTAR TABEL

1 Jenis data yang diambil 6

2 Kondisi kerapatan kanopi di lahan Pembayaran Jasa Lingkungan 19

3 Model pendugaan kerapatan tegakan 20

4 Hasil validasi model pendugaan kerapatan tegakan 20

5 Model pendugaan kerapatan tegakan 20

6 Hasil uji asumsi klasik 20

7 Hasil dugaan kerapatan tegakan pada lahan Pembayaran Jasa

Lingkungan dan Non Pembayaran Jasa Lingkungan 21

DAFTAR GAMBAR

1 Lokasi penelitian 5

2 Petak Ukur 8

3 Diagram alir pembuatan peta Forest Canopy Density 10 4 Grafik hubungan antara kerapatan tegakan dengan Forest Canopy 12 5 Peta pendugaan kerapatan tegakan di DAS Cidanau dengan Forest

Canopy Density 13

6 Peta Forest Canopy Density tahun 2000 14

7 Peta Forest Canopy Density tahun 2005 15

8 Peta Forest Canopy Density tahun 2013 16

9 Grafik hubungan antara kerapatan tegakan dengan Leaf Area Index 17 10 Grafik hubungan antara kerapatan tegakan dengan Basal Area 18

DAFTAR LAMPIRAN

1 Struktur kepengurusan Forum Komunikasi DAS Cidanau 25 2 Hasil uji asumsi klasik dengan software IBM SPSS Statistics 21 26

3 Validasi model 31

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) atau Payment for Environmental Service (PES) merupakan pemberian imbal jasa berupa pembayaran finansial dan non finansial kepada pengelola lahan atas jasa lingkungan yang dihasilkan (Leimona et al. 2011). Beberapa implementasi PJL sudah mulai dilaksanakan di Indonesia, salah satunya di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cidanau, Kabupaten Serang dan Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. PJL yang dilakukan di DAS Cidanau merupakan bagian dari upaya mempertahankan tegakan sebagai jasa pengaturan air. DAS Cidanau merupakan sumber air satu-satunya bagi sekitar 100 industri yang beroperasi di Cilegon (RUPES 2005).

(12)

Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan metode alternatif pemantauan jumlah tegakan yang lebih efisien pada lahan Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Cidanau.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan di DAS Cidanau, Kabupaten Serang dan Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten dengan pendekatan kerapatan tegakan. Model dengan hubungan terbaik akan dijadikan masukan sebagai metode alternatif pemantauan dalam menduga KT pada lahan PJL di DAS Cidanau. Lokasi dalam pembuatan model mencakup DAS Cidanau, sedangkan untuk pendugaan KT dilakukan di tiga KTH, yakni dua KTH di lahan PJL (KTH Karya Muda II Ciomas dan KTH Alam Lestari Mandalawangi) dan satu KTH di lahan Non PJL (KTH Cibunar Padarincang).

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Daerah Aliran Sungai

Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satuan wilayah tangkapan air (catchment area) yang menerima hujan, menampung dan mengalirkan ke sungai dan seterusnya ke danau atau ke laut serta mengisi air bawah tanah. Menurut Asdak (2002) DAS adalah suatu wilayah daratan yang secara topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama.

Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Cidanau

Model hubungan hulu hilir dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau merupakan konsep pembayaran jasa lingkungan yang diadopsi dari Costa Rica (Fahrizal 2009). Mekanisme PJL di DAS Cidanau diimplementasikan oleh tiga pihak utama yaitu lembaga pengelola transaksi pembayaran jasa lingkungan, pemanfaat jasa lingkungan, dan penyedia jasa lingkungan. Kriteria yang harus dipenuhi oleh rancangan PJL menurut Wunder (2007), yaitu:

1. Merupakan suatu transaksi sukarela.

2. Jasa lingkungan yang terdefinisikan dengan jelas untuk ditransaksikan. 3. Ada pembeli (minimal satu).

4. Ada penjual (minimal satu).

(13)

3

Lembaga Pengelola Pembayaran Jasa Lingkungan

Lembaga pengelola jasa lingkungan (LPJL) adalah lembaga penghubung (fasilitator) bersifat independent, yang berfungsi untuk menghubungkan kepentingan pemanfaat dan penyedia jasa lingkungan dalam transaksi PJL. LPJL di DAS Cidanau adalah Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC) yang dibentuk pada tanggal 24 Mei 2002 berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Provinsi Banten Nomor: 124.3/Kep.64-Huk/2002 (FKDC 2013). Struktur kepengurusan terdiri dari berbagai instansi, baik instansi pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupun masyarakat (Lampiran 1).

Peran FKDC diantaranya yaitu untuk mengelola dana hasil PJL dari pemanfaat (buyer) jasa lingkungan DAS Cidanau untuk rehabilitasi dan konservasi lahan di DAS Cidanau, menggalang dana dari potensial pemanfaat jasa lingkungan DAS Cidanau, mendorong pemerintah untuk melakukan PJL di DAS Cidanau, membangun kesepakatan kewenangan pengelolaan DAS Cidanau diantara stakeholder DAS Cidanau, melakukan negosiasi dengan PT. Krakatau Tirta Industri (KTI) untuk PJL, menuangkan hasil negosiasi dalam naskah kesepahaman antara FKDC dan KTI dan mendiskusikan mekanisme PJL melalui Focus Group Discussion (FGD) dengan masyarakat pemilik hutan di hulu DAS Cidanau (FKDC 2013).

Pemanfaat Jasa Lingkungan

Pemanfaat jasa lingkungan adalah masyarakat, swasta, pemerintah, lembaga dan/atau negara lain yang menerima manfaat dari produk jasa lingkungan dari DAS Cidanau, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pemanfaat jasa lingkungan DAS Cidanau saat ini yaitu PT Krakatau Tirta Industri (KTI), salah satu anak perusahaan Krakatau Steel yang bergerak di bidang jasa pengolahan air (water treatment company). 2. Periode kontak 2010-2014 Rp 1 250 000 000

Alokasi dana tersebut digunakan untuk memperkuat mekanisme PJL di DAS Cidanau, juga untuk kepentingan pendampingan masyarakat dan pengadaan alat-alat untuk mendukung kerja FKDC (FKDC 2013).

Penyedia Jasa Lingkungan

Penerima transaksi pembayaran jasa lingkungan adalah masyarakat hulu yang dipilih berdasarkan kondisi lahan yang kritis dan berpengaruh terhadap fungsi hutan dan tata air di DAS Cidanau serta kondisi sosio-kapital masyarakat yang tepat (Fahrizal 2009). Periode kontrak pertama (2005-2009), terdapat 4 KTH yang telah diidentifikasi sebagai produsen jasa lingkungan dengan luas 100 ha dengan masing masing luasan KTH 25 ha, dengan rincian:

(14)

4. Agung Lestari Gunungsari 25 ha sd 06/01/2012

KTH Maju Bersama Padarincang dan KTH Agung Lestari Gunungsari mengalami pemutusan Perjanjian PJL karena kedua KTH tersebut telah melanggar perjanjian dengan menebang pohon yang menjadi bagian dari kesepakatan PJL (FKDC 2013).

Syarat Penerima Pembayaran Jasa lingkungan

Syarat penerima PJL untuk penyedia jasa lingkungan, salah satunya yaitu lahan yang diproyeksikan mendapatkan PJL, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut (FKDC 2013):

1. Merupakan milik masyarakat.

2. Berada di dalam wilayah DAS Cidanau.

3. Memiliki jenis dan kriteria tanaman yang ada di atas lahan seperti: a. Bukan jenis tanaman polong-polongan.

b. Bukan jenis tanaman yang memiliki akar serabut kecuali aren dan bambu yang dihitung berdasarkan rumpun.

c. Semua jenis tanaman buah-buahan kecuali kopi, jeruk, cengkeh dan jambu batu.

d. Mempunyai batang minimal 15 cm bagi tanaman yang sudah ada dan minimal 5 cm bagi tanaman baru.

e. Tanaman telah diberi notasi atau diberi no pohon per lahan pemilikan. f. Batang tanaman sehat dan terawat.

Persyaratan dalam pembayaran jasa lingkungan pada setiap tahapan pembayaran selama masa kontrak jumlah tegakan yang ada dan tumbuh dengan baik per hektar tidak kurang dari 500 (lima ratus) batang per hektar pada akhir kontrak. Apabila jumlah pohon yang terdapat dalam areal mekanisme PJL tidak kurang dari 500 (lima ratus) batang per hektar, maka penyedia jasa lingkungan akan mendapatkan imbalan sebesar Rp. 1 200 000 (satu juta dua ratus ribu rupiah) per hektar per tahun selama masa kontak diluar pajak yang berlaku. Tetapi apabila dinyatakan kurang dari 500 (lima ratus) batang per hektar, maka penyedia jasa lingkungan tidak akan menerima pembayaran jasa lingkungan untuk periode yang sudah jatuh tempo. Apabila penyedia jasa lingkungan tetap melanggar kesepakatan dalam surat perjanjian PJL dan terus mengabaikan peringatan-peringatan dari FKDC, maka FKDC dapat memutuskan surat perjanjian PJL secara sepihak. Apabila perjanjian PJL diputus, maka penyedia jasa harus mengembalikan seluruh dana yang telah diterima.

METODE

Waktu dan Tempat

(15)

5

Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Maret-April 2014.

Secara geografis DAS Cidanau terletak diantara 060 07’ 30” – 060 18’ 00” LS dan 1050 49’ 00”-1060 04’ 00” BT. DAS Cidanau memiliki luas 22.620 Ha, yang mencakup wilayah Kabupaten Pandeglang seluas 999,29 Ha dan Kabupaten Serang seluas 21 620.71 Ha. Wilayah DAS Cidanau secara administratif mancakup 35 desa di 5 wilayah kecamatan, Kabupaten Serang dan 4 desa di satu wilayah kecamatan, Kabupaten Pandeglang.

DAS Cidanau memiliki peranan penting dalam menyimpan dan mengalirkan air dari daerah hulu ke hilir. Saat ini telah terjadi penurunan kuantitas dan kualitas air baku di DAS Cidanau yang diakibatkan oleh aktivitas masyarakat di daerah hulu DAS yang memanfaatkan hutan maupun lahan untuk memenuhi kehidupannya. Kondisi mata pencaharian penduduk di wilayah DAS Cidanau didominasi oleh sektor pertanian dengan tingkat pendapatan di KTH Karya Muda II berada pada kisaran Rp 100 000 – Rp 800 000/bulan. Fahrizal (2009) menyatakan bahwa rendahnya tingkat pendapatan KTH Karya Muda II terkait dengan mata pencaharian yang seluruhnya adalah petani kebun.

Kondisi ekonomi masyarakat yang lemah tersebut cenderung mengakibatkan penebangan hutan. Terkait dengan hal ini, maka dilakukan upaya untuk mengatasi kondisi ekonomi dan lingkungan dengan konsep PJL. Budhi et al. (2008) dan Fahrizal (2009) menyatakan bahwa melalui mekanisme PJL yang dilakukan di DAS Cidanau, diharapkan dapat mengembalikan laju kerusakan hutan di daerah hulu sekaligus memberdayakan kesejahteraan masyarakat di sekitar DAS agar lebih kompetitif dalam menjaga hutan.

(16)

van Noordwijk et al. (2004) juga menyatakan bahwa pelaksanaan PJL akan menjembatani tujuan konservasi dan pengentasan kemiskinan. Hasil penelitian Hayati et al. (2009) menunjukan terjadi peningkatan kesejahteraan pada penyedia jasa setelah adanya PJL sebesar 2.01%, namun masih berada dalam kategori kesenjangan tinggi atau dengan kata lain penyedia jasa masih tidak sejahtera.

Jenis Data

Penelitian ini dilakukan dengan pengambilan data-data seperti tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1 Jenis data yang diambil

No Jenis data Sumber Metode

Earthexplorer.usgs.gov - Mengunduh

2 Citra landsat 8 OLI dan TIRS tahun 2013 (akusisi 16 Agustus 2013)

Earthexplorer.usgs.gov - Mengunduh

3 Hemiview Observasi lapang Sensus Marking

(17)

7

Metode Pengumpulan Data

Observasi Lapang

Observasi lapang dilakukan untuk mengumpulkan data Foto Hemiphot, KT, basal area dan GCP yang akan digunakan sebagai data dalam membuat model pendugaan guna memprediksi variabel terikat KT terhadap variavel bebas FCD, LAI dan basal area. Pemilihan tiga jenis variabel dalam pengambilan sampel didasarkan atas dugaan variabel tersebut memiliki hubungan terhadap KT.

Penentuan titik sampel untuk data pembangun model dilakukan dengan cara membagi 10 kelas tipe kerapatan pada peta FCD. Kemudian titik sampel diletakkan dengan metode stratified random sampling berdasarkan 10 kelas tipe KT. Titik sampel dalam membangun model berjumlah 50 titik, dengan keterwakilan 5 titik pada tiap kelas tipe KT. Sedangkan untuk data pendugaan KT di lahan PJL dan lahan non PJL dilakukan dengan pengambilan titik GCP dan foto hemiphot menggunakan metode sensus pada seluruh lahan. Jumlah titik sampel untuk pendugaan KT berjumlah 90 titik, yaitu 32 titik pada KTH Karya Muda II Ciomas, 33 titik pada KTH Alam Lestari Mandalawangi, dan 25 titik pada KTH Cibunar Padarincang. Ukuran petak ukur di lapangan dengan menggunakan citra resolusi 30 meter x 30 meter adalah dengan ukuran 50 x 50 meter (Huang et al. Operasional (OLI) dan TIRS (Thermal Infrared Sensor) tahun 2013 diperoleh dengan cara mengunduh pada situs Earthexplorer.usgs.gov. Citra landsat tersebut diekstraksi dengan menggunakan Software FCD Mapper v.2 untuk mendapatkan peta FCD.

Kerapatan Tegakan

Kerapatan tegakan menunjukan jumlah pohon yang ada dalam suatu luasan hutan. Satuan kerapatan tegakan adalah jumlah pohon per hektar. Data KT diperoleh dengan menghitung seluruh jumlah tegakan yang memiliki diameter 15 cm pada petak ukur. Diameter 15 cm didasarkan atas lahan yang mendapatkan pembayaran jasa lingkungan harus memenuhi persyaratan mempunyai diameter batang 15 cm (FKDC 2013).

Basal Area

(18)

Hemiview Photograph (Foto Hemiphot)

Foto hemiphot diambil dengan menggunakan kamera DSLR dengan lensa fisheye, kemudian gambar diolah dengan menggunakan software HemiView Canopy Analysis Software v2 untuk memperoleh nilai LAI. Pengambilan foto hemiphot dilakukan di titik tengah plot dengan arah kamera menghadap kearah atas pada tripod dengan ketinggian ± 1.5 m untuk menghindari semak yang menghalangi pandangan dan monitor kamera menghadap kearah utara kompas (Djumhaer 2003).

Menurut Rich et al (1999) kamera harus dinaikkan atau diturunkan dengan tinggi yang tepat. Dalam kasus kamera sangat dekat dengan tanah, dimungkinkan untuk berjongkok atau bahkan berbaring untuk keluar dari bidang pandang lensa. Menurut Rich (1990) ketika hemiphot diambil dari dalam kanopi tanaman menengadah ke atas, foto hemiphot akan mencatat koordinat sudut semua hasil kanopi, seperti yang terlihat dari posisi dari mana foto itu diambil. Kemudian kamera diposisikan dengan benar dan diratakan sebelum foto itu diambil. Posisi yang tepat meliputi lokasi yang horizontal dan memiliki bidang rata, sedangkan orientasi kamera mengacu pada rotasi kamera relatif terhadap utara, hal ini disesuaikan agar utara magnetik terletak langsung menuju bagian atas gambar (Rich 1990).

Ground Chek Point (GCP)

GCP diperoleh dengan melakukan marking pada GPS dan pengambilan gambar searah empat mata angin pada setiap titik petak ukur yang telah direncanakan (Gambar 2). Pengambilan gambar searah empat mata angin digunakan untuk identifikasi lokasi.

Pengolahan Data

Perhitungan Leaf Area Index

Hemispherical photograph atau hemiphot merupakan alat yang digunakan untuk menghitung LAI dengan memotret bukaan tajuk melalui kamera fisheye (Setiawan 2006). Perhitungan LAI dengan hemiphot menggunakan metode ambang batas (threshold method) dengan menggunakan HemiView Canopy

(19)

9

Analysis Software v2, yang ditentukan oleh pengguna sendiri secara manual. Taraf nilai ambang batas dapat dinaikan atau diturunkan sampai ditemukan kococokan antara gambar hasil klasifikasi dengan gambar asli sehingga didapat batas yang jelas antara bagian yang tertutup kanopi dengan bagian yang terbuka. Untuk mengurangi subyektifitas metode ini maka diperlukan kualitas gambar yang sangat baik dan memiliki batas yang sangat jelas antara bagian tertutup kanopi dan bagian yang terbuka (Rich et al. 1999). Besarnya nilai LAI adalah setengah dari luas total penutupan daun per unit penutupan permukaan dasar (Rich et al. 1999).

Pembuatan Peta Forest Canopy Density

Peta FCD untuk membangun model, diperoleh dengan mengekstraksi data citra landsat 8 menggunakan software FCD Mapper v.2. FCD model merupakan kombinasi dari index vegetasi, tanah, bayangan hutan dan suhu.

Pendugaan model KT dengan FCD, menggunakan citra landsat 2013 yang telah di kalibrasi radiometris (rescale) dari 16 bit menjadi 8 bit. Kalibrasi radiometris menunjukkan berapa banyak bit yang digunakan dalam satu pixel. Citra landsat 2013 yang telah dikalibrasi radiometris dan citra landsat tahun 2005 kemudian dinormalisasikan terhadap citra landsat tahun 2000 sebanyak 100 titik badan air dan pemukiman pada setiap band citra. Normalisasi citra dilakukan dengan menggunakan software ERDAS Image 9.1. Persamaan yang digunakan dalam normalisasi citra dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Persamaan normalisasi citra Keterangan: Y = Citra landsat yang akan dinormalisasikan, X = Citra landsat tahun 2000

Citra landsat tahun 2000, 2005 dan 2013 yang telah dinormalisasi, dianalisis dengan software FCD Mapper v.2 sehingga menghasilkan peta kelas kerapatan kanopi (FCD). Klasifikasi FCD memiliki rentang nilai 0-100 yang menunjukan presentase kerapatan kanopi (JOFCA 2003). Proses pembuatan FCD, diadopsi dari Rikimaru (2002) Gambar 3.

Analisis Regresi Linear

(20)

sederhana dalam penelitian ini menggunakan IBM SPSS Statistics 21, dengan model regresi:

Y= α+ βX

Keterangan: Y = variabel terikat, X = variabel bebas, α dan β = konstanta

Regresi juga dilakukan dengan menggunakan software Minitab 16 untuk melihat data observasi lapangan dengan standar residual besar (unusual observation). Data dengan nilai residual yang tinggi merupakan data pencilan (Sungkawa 2009). Data tersebut kemudian dikeluarkan agar memenuhi kenormalan, kemudian dilakukan analisis regresi kembali dengan menggunakan IBM SPSS Statistics 21. Hasil uji statistik dinyatakan dengan, koefisien determinan (R2) dan koefisien korelasi (r).

Gambar 3 Diagram alir pembuatan peta Forest Canopy Density

(21)

11

Validasi Model

Validasi model pendugaan dilakukan dengan pendekatan ketepatan dari masing-masing model pendugaan. Dilakukan pemisahan 30% data untuk validasi dan 70% data sisanya untuk membangun model regresi (Wibowo et al. 2010). Ketepatan model ditunjukan dengan nilai A, dimana semakin kecil presentase nilai A maka model pendugaan semakin tepat (Muhammad 2014).

Keterangan: A = ketepatan, ȳ = nilai rata-rata dugaan, = nilai rata-rata aktual

Uji Asumsi Klasik

Model regresi dikatakan baik apabila telah terbebas dari masalah normalitas, autokorelasi dan heterokedasitas. Terdapat empat asumsi klasik yang harus terpenuhi yaitu uji normalitas, uji autokorelasi, uji heteroskedastisitas dan uji multikolinearitas (Rosadi 2011). Uji multikolinearitas tidak dilakukan pada model regresi linear sederhana. Uji asumsi klasik dianalisis menggunakan software IBM SPSS Statistics 21.

Uji Normalitas bertujuan untuk menguji apakah residu dari persamaan regresi berdistribusi normal atau tidak (Ghozali 2009). Uji normalitas menggunakan Uji Kolmogorov Smirnov (K-S). Data dikatakan terdistribusi normal bila nilai Asymp. Sig. (2–tailed) ≥ 0.05. Nilai Asymp. Sig. (2–tailed) diperoleh dari hasil uji statistik (K-S) menggunakan software IBM SPSS Statistics 21 yang dapat dilihat pada Lampiran 2.

Uji Heterokedasitas digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya ketidaksamaan varian dan residual dari satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Penelitian ini menggunakakan Uji Korelasi Pearson dengan hipotesis:

Jika nilai Sig < 0.05 terjadi Heterokedastitas. Jika nilai Sig > 0.05 tidak terjadi Heterokedastitas.

Nilai Sig diperoleh dari hasil Uji Korelasi Pearson menggunakan software IBM SPSS Statistics 21 yang dapat dilihat pada Lampiran 2.

Uji Autokorelasi digunakan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi linear terdapat korelasi antara kesalahan pengganggu pada suatu pengamatan terhadap pengamatan lainnya. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi atau bebas autokorelasi. Pada penelitian ini menggunakan Uji Durbin–Watson (DW test) dengan hipotesis:

Jika d < dl, berarti terdapat autokorelasi positif. Jika d > (4 – dl), berarti terdapat autokorelasi negatif. Jika du < d < (4 – dl), berarti tidak terdapat autokorelasi. Jika dl < d < du atau (4 – du), berarti tidak dapat disimpulkan.

(22)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Hubungan Kerapatan Tegakan dengan Forest Canopy Density

Titik GCP yang terkumpulkan dilapangan untuk membangun model pendugaan KT dengan FCD terdapat 50 titik sampel. Berdasarkan hasil analisis menggunakan software Minitab 16, tedapat 1 titik sampel yang merupakan pencilan, sehingga hanya digunakan 49 titik sampel yang dibagi menjadi dua, 34 titik sampel digunakan untuk membangun model dan 15 titik sampel untuk validasi model.

Identifikasi hubungan KT dengan FCD di DAS Cidanau dilakukan untuk untuk menduga KT di lapangan secara tidak langsung dengan membuat model regresi antara peubah bebas FCD terhadap peubah terikat KT. Nilai peubah bebas FCD diperoleh dari hasil analisis persentase kerapatan kanopi menggunakan software FCD Mapper v.2 dalam bentuk peta kerapatan kanopi yang disajikan pada Gambar 6, 7 dan 8. Hasil regresi KT dengan FCD didapatkan model pendugaan yaitu KT=(0.865FCD)+186.004. Model pendugaan tersebut memiliki koefisien determinasi (R2) sebesar 2.10% dan koefisien korelasi (r) sebesar 0.146. Hasil regresi dapat dilihat pada Gambar 4 dan peta pendugaan kerapatan tegakan dapat dilihat pada Gambar 5.

Koefisien determinasi sebesar 2.10% menunjukan bahwa variabel bebas FCD memiliki pengaruh sebesar 2.10% terhadap terikat KT dan dipengaruhi 97.9% oleh faktor-faktor lain diluar variabel FCD. Hubungan KT dengan FCD dikategorikan lemah karena nilai koefisien korelasi tidak mendekati 1. Menurut Gambar 4 Grafik hubungan antara kerapatan tegakan dengan Forest Canopy

(23)

13

Lu et al. (2002), hubungan antara dua variabel dikatakan kuat jika memiliki nilai koefisien mendekati satu (r =1).

Model pendugaan dengan menggunakan persentase kerapatan kanopi hutan (FCD), belum dapat digunakan untuk menduga KT di lahan PJL DAS Cidanau karena memiliki koefisien determinasi dan korelasi yang lemah. Kurangnya pengaruh dan hubungan antara KT dengan FCD setidaknya dipengaruhi oleh tiga faktor. Pertama, adanya pengaruh keadaan topografi DAS Cidanau yang curam. Menurut FKDC (2013), secara umum keadaan topografi DAS Cidanau berbentuk seperti cawan terbuka, dimana bagian tengahnya terhampar dataran yang dikelilingi oleh bukit-bukit curam. Kedua yaitu adanya variasi bukaan kanopi dari setiap tegakan tanaman. Variasi bukaan kanopi juga dikemukakan oleh Prasetyo (2014).

Menurut Carolyn et al. (2013) peta FCD hanya menampilkan persentase kerapatan kanopi, tetapi tidak dapat menampilkan perbedaan kondisi tegakan di lapangan. Ketiga yaitu adanya dugaan kesenjangan dalam penggunaan Landsat 8 OLI dan TIRS dalam membangun model. FCD mapper digunakan untuk menganalisis karakteristik pemantulan pada band 1-7 Landsat TM, namun dalam penelitian ini pembuatan model menggunakan band 2,3,4,5,6,7, dan 10 Landsat 8 OLI dan TIRS. Menurut Tohir (2013), kurangnya pengaruh antara FCD dengan KT dipengaruhi banyak faktor, diantaranya adalah jarak antara tegakan yang tidak seragam, jenis tegakan yang berbeda dan umur tegakan yang tidak seragam.

(24)
(25)

15

(26)
(27)

17

Identifikasi Hubungan Kerapatan Tegakan dengan Leaf Area Index

Leaf Area Index merupakan presentasi dari penutupan kanopi yang menutupi areal yang berada di bawah penutupan tajuk yang di proyeksikan secara vertikal dengan bidang tepat di bawah penutupan tajuk (Djumaher 2003). Sedangkan Running et al. (1998) mendefinisikan LAI nisbah antara luas daun dengan luas lahan tegakan yang diproyeksikan tegak lurus terhadap permukaan tajuk. LAI didapatkan dari hasil analisis hemiphot dengan menggunakan HemiView Canopy Analysis Software. Hasil foto hemiphot dapat digunakan untuk menghitung karakteristik tajuk seperti indeks luas daun (Djumhaer 2003). Nilai LAI memiliki satuan desimal (Tohir 2013).

Titik GCP yang terkumpulkan dilapangan untuk membangun model pendugaan KT terhadap LAI terdapat 50 titik sampel. Berdasarkan hasil analisis menggunakan software Minitab 16, tedapat 16 titik yang merupakan pencilan, sehingga hanya digunakan 34 titik yang dibagi menjadi dua, 24 titik digunakan untuk membangun model dan 10 titik untuk validasi model.

Identifikasi hubungan KT dengan LAI di DAS Cidanau dilakukan untuk menduga KT di lapangan dengan membuat model regresi antara peubah bebas LAI terhadap peubah terikat KT. Dari hasil regresi KT dengan LAI didapatkan model pendugaan KT=(122.025LAI)+77.706. Hasil regresi KT dengan LAI dapat dilihat pada Gambar 9. Model pendugaan tersebut memiliki koefisien determinasi (R2) sebesar 64.60% dan koefisien korelasi (r) sebesar 0.804. Koefisien determinasi sebesar 64.60% menunjukan bahwa variabel bebas LAI memiliki pengaruh sebesar 64.60% terhadap terikat KT. Hubungan KT dengan FCD dikategorikan kuat karena memiliki nilai koefisien korelasi mendekati 1. Sehingga model pendugaan KT dengan LAI dapat digunakan dengan baik untuk menduga KT pada lahan PJL di DAS Cidanau.

(28)

Basal area merupakan parameter yang menggambarkan kerapatan individu dalam suatu tegakan pada luasan tertantu. Luas bidang dasar suatu tegakan berkorelasi dengan kerapatan suatu tegakan (Brack 1999 diacu Kurniawan 2004). Satuan basal area adalah meter persegi per hektar (m2/ha) (Tohir 2013). Titik GCP yang terkumpulkan dilapangan untuk membangun model pendugaan KT terhadap basal area terdapat 50 titik sampel. Berdasarkan hasil analisis menggunakan software Minitab 16, tedapat 5 titik yang merupakan pencilan, sehingga hanya digunakan 45 titik yang dibagi menjadi dua, 32 titik digunakan untuk membangun model dan 13 titik untuk validasi model. Identifikasi hubungan KT dengan basal area di DAS Cidanau dilakukan untuk untuk menduga KT di lapangan dengan membuat model regresi antara peubah bebas basal area terhadap peubah terikat KT. Model regresi antara KT dengan basal area dapat dilihat pada Gambar 10.

Dari hasil regresi KT dengan basal area didapatkan model pendugaan KT=(29.762Basal area)+37.322. Model pendugaan tersebut memiliki koefisien determinasi (R2) sebesar 76.60% dan koefisien korelasi (r) sebesar 0.875. Koefisien determinasi sebesar 76.60% menunjukan bahwa variabel bebas basal area memiliki pengaruh sebesar 76.60% terhadap variabel terikat KT. Hubungan KT dengan basal area dikategorikan kuat karena memiliki nilai koefisien korelasi mendekati 1. Dengan demikian model pendugaan KT=(29.762Basal area)+37.322 dapat digunakan untuk menduga KT pada lahan PJL di DAS Cidanau. Hal yang sama juga telah dikemukakan oleh Hardjosoediro (1974), bahwa kerapatan pohon dapat diketahui melalui besarnya basal area.

(29)

19

Kondisi Kerapatan Kanopi Di Lahan Pembayaran Jasa Lingkungan

Pemetaan FCD dilakukan untuk mengetahui kondisi kerapatan kanopi di lahan PJL KTH Alam Lestari Mandalawangi dan KTH Karya Muda II Ciomas. Klasifikasi FCD dilakukan terhadap tiga waktu berbeda yakni tahun 2000 (periode sebelum pelaksanaan PJL), tahun 2005 (periode dimulainya pelaksanaan PJL) dan tahun 2013 (periode setelah mengikuti PJL) yang disajiakan dalam Tabel 3.

Carolyn et al. (2013) membagi 4 kelas kerapatan tajuk dengan kategori non hutan (kerapatan tajuk 0-10%), kerapatan rendah (11-30%), kerapatan sedang (31-50%), dan kerapatan tinggi (51-100%). Hasil klasifikasi FCD pada lokasi penelitian menunjukan bahwa KTH Alam Lestari Mandalawangi masuk kedalam kategori kerapatan tinggi, sedangkan KTH Karya Muda II Ciomas masuk kedalam kategori kerapatan sedang sebelum adanya PJL. Saat PJL dimulai pada tahun 2005, kedua KTH memiliki persentase kerapatan yang tinggi yaitu 73% di KTH Alam Lestari Mandalawangi dan 69% di KTH Alam Lestari Mandalawangi.

Hal ini mengindikasikan bahwa kedua KTH melakukan penanaman di setiap lahan guna memenuhi persyaratan PJL. Dan persentase kerapatan kanopi di dua KTH semakin meningkat setelah periode PJL. Hal ini menunjukan bahwa tanaman yang mati atau ditebang, sudah tergantikan dengan tanaman baru yang ditanam oleh penyedia jasa di kedua KTH.

Implikasi Model

Model pendugaan terbaik dalam menduga KT adalah dengan model pendugaan KT=(122.025LAI)+77.706, dengan koefisien determinasi 64.60% dan koefisien korelasi 0.804 (Tabel 4). Variabel LAI memiliki pengaruh dan hubungan yang kuat dengan KT. Berdasarkan hasil validasi model dengan pendekatan nilai ketepatan, model pendugaan KT dengan LAI memiliki nilai ketepatan yang tinggi (0.7) karena mendekati nilai satu. Hasil validasi model dapat dilihat pada Tabel 5. Ketepatan mendekati nilai satu menjelaskan bahwa model memiliki kesamaan atau kedekatan dengan angka atau data yang sebenarnya. Model pendugaan KT=(122.025LAI)+77.706 dapat digunakan sebagai metode baru yang mampu menduga jumlah tegakan per hektar pada lahan PJL di DAS Cidanau dengan lebih efisien.

Tabel 3 Kondisi kerapatan kanopi di lahan Pembayaran Jasa Lingkungan

(30)

Variabel

KT=(0.865FCD)+186.004 0.146 2.10% Kerapatan

Tegakan

Leaf Area

Index KT=(122.025LAI)+77.706 0.804 64.60% Kerapatan

Tegakan Basal area KT=(29.762Basal area)+37.322 0.875 76.60% Tabel 5 Hasil validasi model pendugaan kerapatan tegakan

Variabel terikat (Y)

Variabel

bebas (X) Model Ketepatan

Kerapatan

Tegakan FCD KT=(0.865FCD)+186.004 1.2 %

Kerapatan

Tegakan LAI KT=(122.025LAI)+77.706 0.7 %

Kerapatan

Tegakan Basal area KT=(29.762Basal area)+37.322 8.2 %

Uji Asumsi Klasik

Hasil uji asumsi klasik menunjukan bahwa ketiga model dapat dikatakan baik karena telah terbebas dari masalah normalitas, autokorelasi dan heterokedasitas (Tabel 6). Uji Normalitas menunjukan bahwa ketiga model memiliki distribusi residu normal. Uji Heterokedasitas menunjukan bahwa ketiga model memiliki kesamaan varian dan residual dari satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Uji Autokorelasi menunjukan bahwa ketiga model memiliki korelasi antara kesalahan pengganggu pada suatu pengamatan terhadap pengamatan lainnya.

(31)

21

Dugaan Kerapatan Tegakan pada Lahan Pembayaran Jasa Lingkungan dan Non Pembayaran Jasa Lingkungan

Tahap pemantauan dan evaluasi adalah kegiatan periode paska kontrak, dimana kegiatan dititikberatkan pada proses pemantauan dan evaluasi (Pasha et al. 2010). Menurut van Noordwijk et al. (2004), PJL menjembatani tujuan konservasi dan pengentasan kemiskinan, sehingga terdapat dua cara pemantauan dan evaluasi yang dapat dilakukan pada pelaksanaan PJL di DAS Cidanau, yaitu (1) pemantauan dan evaluasi kegiatan konservasi dan (2) pemantauan dan evaluasi tingkat kesejahteraan. Hayati et al. (2009) menyatakan bahwa terjadi peningkatan kesejahteraan pada penyedia jasa setelah adanya PJL sebesar 2.01%, namun peningkatan tersebut masih menempatkan penyedia jasa dalam kategori kesenjangan tinggi. Pemantauan dan evaluasi kegiatan konservasi dapat dilakukan dengan pemantauan jumlah tegakan per lahan per hektar. Pemantauan jumlah tegakan, baik dilakukan dengan menggunakan model pendekatan KT=(122.025LAI)+77.706. Hasil dugaan KT dengan LAI pada lahan Pembayaran Jasa Lingkungan dan Non pembayaran Jasa Lingkungan disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Hasil dugaan Kerapatan Tegakan pada lahan Pembayaran Jasa

Lingkungan dan Non Pembayaran Jasa Lingkungan

Hasil pendugaan menunjukan bahwa lahan PJL (KTH Karya Muda II Ciomas dan KTH Alam Lestari Mandalawangi) memiliki nilai kerapatan tegakan rata-rata yang lebih tinggi dari pada kerapatan tegakan rata-rata pada lahan non PJL (KTH Cibunar Padarincang). Pelaksaan PJL mampu mendorong KTH untuk melakukan konservasi tegakan. PJL di DAS Cidanau dikatakan cukup berhasil dalam efektifitas konservasi tegakan karena mampu mempertahankan dan menambah jumlah tegakan lebih baik dibandingan pada pada lahan Non PJL.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

(32)

ketepatan yang tinggi yaitu model pendugaan kerapatan tegakan dengan leaf area index.

2. Kondisi kerapatan kanopi periode sebelum pelaksanaan Pembayaran Jasa Lingkungan KTH Karya Muda II Ciomas dan KTH Alam Lestari Mandalawangi masuk kedalam kategori kerapatan sedang dan tinggi. Saat Pembayaran Jasa Lingkungan dimulai pada tahun 2005, KTH Karya Muda II Ciomas dan KTH Alam Lestari Mandalawangi memiliki persentase kerapatan yang tinggi. Persentase kerapatan kanopi di dua KTH semakin meningkat setelah periode Pembayaran Jasa Lingkungan. Hal ini menunjukan bahwa pelaksanaan Pembayaran Jasa Lingkungan mampu untuk mendorong masyarakat untuk melakukan konservasi tegakan dilahannya.

3. Terdapat lahan yang lebih dan kurang dari 500 (lima ratus) batang per hektar di lahan Pembayaran Jasa Lingkungan, tetapi lahan Pembayaran Jasa Lingkungan memiliki nilai kerapatan tegakan rata-rata yang lebih tinggi dari pada kerapatan tegakan rata-rata pada lahan Non PJL.

Saran

1. Perlu dilakukan koreksi topografi (topographic correction) pada citra landsat sebelum melakukan analisis menggunakan software FCD mapper. 2. Perlu dilakukan pengaplikasian model pendugaan kerapatan tegakan dengan

leaf area index pada lahan Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Cidanau. 3. Perlu kajian mengenai penggunaan Landsat 8 OLI dan TIRS dalam

penggunaan software FCD mapper.

4. Perlu kajian-kajian lain terkait model pendugaan kerapatan tegakan dengan Remote Sensing.

DAFTAR PUSTAKA

[FKDC] Forum Komunikasi DAS Cidanau Provinsi Banten. 2013. Menuju Pengelolaan Terpadu DAS Cidanau. Serang (ID): FKDC.

[JOFCA] Japan Overseas Forestry Consultants Association . 2003. FCD-Mapper Ver. 2. User Guide. Yokohama (JP): International Tropical Timber Organisationand Japan Overseas Forestry Consultants Association.

[RUPES] Rewards For Use Of And Shared Invesment In Pro-Poor Environmental Service). 2005. Gagas Kebijakan Konsep Jasa Lingkungan dan Pembayaran Jasa Lingkungan di Indonesia. Bogor (ID): World Agroforestry Center ICRAF Southeast Asia Regional Office.

Asdak C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press.

(33)

23

Chen JM, and TA Black. 1992. Defining leaf area index for non-flat leaves. Plant, Cell and Environment. 15:421-429.

Djumaher M. 2003. Pendugaan leaf area index dan basal area menggunakan landsat 7 ETM+ [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Fahrizal A. 2009. Analisis nilai ekonomi lahan sebagai informasi bagi upaya peningkatan nilai pembayaran jasa lingkungan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Ghozali I. 2009. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS Edisi ke4. Semarang (ID): Universitas Diponegoro.

Hardjosoediro S. 1974. Kelas Hutan. Yogyakarta (ID): Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan, Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

Hayati GG, Sariyoga S. 2009. Analisis Dampak Pembayaran Jasa Lingkungan Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani Dan Perkembangan Komoditi Agribisnis. Serang (ID): Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Huang D, Yang W, Tan B, Rautiainen M. Zhang P. 2006. The importance of

measurement errors for deriving accurate reference leaf area index maps for validation of moderateoresolution satellite LAI products. J. IEEE Transactions On Geoscience and Remote Sensing. 44:1866-1871.

Kurniawan A. 2004. Penggunaan teknologi penginderaan jauh dalam pendugaan basal area dan kerapatan tegakan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Lang ARG. 1991. Application of some of cauchy’s theorems to estimation of

surface areas of leaves, needles and branches of plants, and light transmittance. Agric. For. Meteorol. 55:191-212.

Leimona B, Munawir, Ahmad NR. 2011. Gagasan Kebijakan Konsep Jasa Lingkungan dan Pembayaran Jasa Lingkungan di Indonesia. Bogor: RUPES-ICRAF.

Lu D, Mausel P, Brondizio E, Moran E. 2002. Aboveground Biomass Estimation of Successional and Mature Forests Using TM Images in the Amazon Basin. USA (US): Center for the study of instutions, population and environmental change (CIPEC), Indiana University.

Muhammad A. 2014. Pemetaan perubahan forest canopy density di KPH Kuningan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Nugroho S, Surati IN, Saleh MB, Wijanarto AB. 2011. Kajian metode deteksi degradasi hutan menggunakan citra satelit landsat di hutan lahan kering taman nasional halimun salak. Jurnal Teknosains. 1(1):1-69.

Prasetyo R. 2014. Karakteristik habitat bokkoi di areal IUPHHKHA PT Salaki Summa Sejahtera Kabupaten Kepulauan Mentawai Sumatra Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Rich PM, Wood J, Vieglais DA, Burek K, Webb N. 1999. Hemiview User Manual. United of Kingdom: Delta-T Devices LTD.

Rich PM. 1990. Characterizing plant canopies with hemispherical photographs. Remote Sensing Reviews 5:13-29.

Rikimaru A. 2003. Concept of FCD Mapping Model and Semi-Expert System. Japan (JP): Overseas Forestry Consultants Association.

(34)

Running SW, Nemani RR, Peterson DL, Band LE, Potts DE. 1989. Mapping regional forest evapotranspiration and photosynthesis by Coupling satellite Data with ecosystem simulation. Ecology. 70:1090-1101.

Sembiring RK. 1995. Analisis Regresi. Bandung (ID): ITB.

Setiawan R. 2006. Metode neraca energi untuk perhitungan Leaf Area Index (LAI) di lahan bervegetasi menggunakan data citra satelit [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Sungkawa I. 2009. Pendekteksian pencilan (outlier) dan residual pada regresi linear. Informatika Pertanian. 18(2):95-105.

Tohir NR. 2013. Pemetaan perubahan kerapatan kanopi hutan di Hutan Rakyat Kabupaten Kuningan, Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

van Noordwijk M, Chandler F, Tomich TP. 2004. An introduction to the conceptual basis of RUPES. ICRAF-SEA. Bogor: Indonesia.

Wibowo A, Ratnasari D, Sukojo BM, Harianto T, Djajadih YS. 2010. Ekstraksi kandungan air kanopi daun tanaman padi dengan data hyperspectral. Geomatika. 1(16): 21-31.

(35)

25

Lampiran 1 Struktur kepengurusan Forum Komunikasi DAS Cidanau

SUSUNAN PENGURUS

FORUM KOMUNIKASI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIDANAU PROVINSI BANTEN

Pelindung : 1. Gubernur Banten;

2. Bupati Pandeglang; 3. Bupati Serang; 4. Walikota Cilegon;

Pengarah : 1. Sekretaris Daerah Provinsi

Banten;

2. Sekretaris Daerah Kbupaten Pandeglang;

3. Sekretaris Daerah Kabupaten Serang;

4. Sekretaris Kota Cilegon; 5. Prof. Dr. Herman Haeruman

Js. MF;

6. Drs. H. Aman Sukarso. MSi; Ketua Pelaksana Harian : Kepala Bapedal Banten;

Wakil Ketua : 1. Kepala Bapeda Banten;

2. Kepala Dishutbun Banten;

Sekretaris Jendral : Direktur Eksekutif Lambaga

Swadaya Masyarakat Rekonvasi Bhumi; Koordinator

Jasa Lingkungan : Kabidhut Dinas Pertanian

Serang;

Pengembangan Kemitraan : Direktur Operasi PT. Krakatau Tirta Industri; RHL dan Kelembagaan : Balai Pengelolaan (BP) DAS

Citarum-Ciliwung;

Perlindungan Hutan : Balai Konservasi Sumber

Daya Alam (BKSDA) Sub Seksi Wilayah III Banten; Perencanaan dan Pemantauan : Bapedda Kabupaten Serang.

PELAKSANA TUGAS GUBERNUR BANTEN, Ttd

(36)

Lampiran 2 Hasil uji asumsi klasik dengan software IBM SPSS Statistics 21 Model pendugaan kerapatan tegakan dengan Forest Canopy Density

Model Summaryb

Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate

1 0.146a 0.021 -0.009 117.49976

a. Predictors: (Constant), FCD b. Dependent Variable: KT Coefficientsa

Model Unstandardized

Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) 186.004 45.027 4.131 0.000

FCD 0.865 1.035 0.146 0.835 0.410

a. Dependent Variable: KT Uji Normalitas

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardized Residual

N 34

Normal Parametersa,b

Mean 0.0000000

Std. Deviation 115.70576859

Most Extreme Differences

Absolute 0.096

Positive 0.089

Negative -0.096

Kolmogorov-Smirnov Z 0.561

Asymp. Sig. (2-tailed) 0.911

(37)

27

Pearson Correlation 1 -0.223

Sig. (2-tailed) 0.205

N 34 34

RES_2

Pearson Correlation -0.223 1

Sig. (2-tailed) 0.205

N 34 34

Uji Autokorelasi Model Summaryb

Model Change Statistics

Durbin-Watson

(38)

Lampiran 2 Hasil uji asumsi klasik dengan software IBM SPSS Statistics 21

Asymp. Sig. (2-tailed) 0.856

a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.

Pearson Correlation 1 -0.364

Sig. (2-tailed) 0.080

N 24 24

RES_2

Pearson Correlation -0.364 1

Sig. (2-tailed) 0.080

N 24 24

Uji Autokorelasi Model Summaryb

Model Change Statistics

(39)

29

Lampiran 2 Hasil uji asumsi klasik dengan software IBM SPSS Statistics 21 (lanjutan)

Model pendugaan kerapatan tegakan dengan Basal area Model Summaryb

Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate

1 0.875a 0.766 0.758 59.47289

a. Predictors: (Constant), Basal area b. Dependent Variable: KT

Asymp. Sig. (2-tailed) 0.771

(40)

Lampiran 2 Hasil uji asumsi klasik dengan software IBM SPSS Statistics 21 (lanjutan)

Uji Heterokedasitas Pearson

Correlations

Basal area RES_2

Basal area

Pearson Correlation 1 0.283

Sig. (2-tailed) 0.117

N 32 32

RES_2

Pearson Correlation 0.283 1

Sig. (2-tailed) 0.117

N 32 32

Uji Autokorelasi Model Summaryb

Model Change Statistics

Durbin-Watson R Square

Change

F Change df1 df2 Sig. F Change

1 0.766a 98.069 1 30 0.000 2.017

(41)

31

Lampiran 3 Validasi model

Validasi model pendugaan kerapatan tegakan dengan Forest Canopy Density

No No. Petak

Aktual Dugaan

FCD Kerapatan Tegakan (N/ha) Kerapatan Tegakan (N/ha)

1 1 2 0 40 186.004

Validasi model pendugaan kerapatan tegakan dengan Leaf Area Index

No No. Petak

Aktual Dugaan

LAI Kerapatan Tegakan (N/ha) Kerapatan Tegakan (N/ha)

(42)

Lampiran 3 Validasi model (lanjutan)

Validasi model pendugaan kerapatan tegakan dengan basal area

No No. Petak

Aktual Dugaan

Basal area (x) Kerapatan Tegakan (N/ha) (y)

Kerapatan Tegakan (N/ha)

1 1 1 1,84 56 92.212

2 5 1 8,92 264 302.869

3 5 2 6,67 348 235.724

4 6 1 8,14 416 279.532

5 6 3 6,79 200 239.518

6 6 4 2,43 64 109.670

7 7 1 7,25 384 253.203

8 8 2 3,37 260 137.687

9 8 5 11,44 240 377.755

10 9 5 7,04 124 246.862

11 C 6,06 236 217.551

12 F 3,04 220 127.894

13 J 0,89 112 63.847

Rata-rata 224 206.487

(43)

33

Lampiran 4 Hemiview photograph

Leaf Area Index 0.090

Leaf Area Index 1.046

(44)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 14 Maret 1992. Penulis merupakan putri pertama dari lima bersaudara pasangan Bapak Wahyudi dan Ibu Yuliani. Pendidikan formal ditempuh penulis yaitu Pendidikan TK Ar-Rahman Bekasi lulus tahun 1998, SDN 03 Pagi Pondok Ranggon lulus tahun 2004, SMP S Nasional 1 Bekasi lulus tahun 2007, SMA S Nasional 1 Bekasi lulus tahun 2010 dan pada tahun 2010 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan.

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan, Himpunan Profesi Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) hingga sekarang. Penulis pernah menjadi Bendahara II Himakova periode 2011-2012 dan Bendahara I Himakova periode 2011-2012-2013. Prestasi yang penulis dapatkan dalam masa studi diantaranya mendapatkan Beasiswa Prestasi Akademik (PPA) IPB dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Selain itu penulis pernah menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Pendidikan Konservasi dan mata kuliah Rekreasi Alam dan Ekowisata.

Praktek lapang profesi yang telah dilakukan penulis diantaranya Group Project di Kampus IPB Darmaga, Eksplorasi Fauna Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) di CA Sukawayana dan Tangkuban Perahu pada tahun 2012, Studi Konservasi lingkungan (SURILI) di Taman Nasional Bukit Tigapuluh tahun 2012 dan di Taman Nasional Manusela tahun 2013, Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Cagar Alam Pangandaran dan Suaka Margasatwa Gunung Sawal tahun 2012, Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi tahun 2013, dan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di CA Rawa Danau, Banten tahun 2014. Untuk memperoleh gelar

Gambar

Gambar 1  Lokasi penelitian
Tabel 1 Jenis data yang diambil
gambar searah empat mata angin pada setiap titik petak ukur yang telah GCP diperoleh dengan melakukan marking pada GPS dan pengambilan direncanakan (Gambar 2)
Tabel 2 Persamaan normalisasi citra
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Kabupaten Tanah Datar ditemukan keragaman morfologi tanaman durian baik dari segi bentuk tajuk, batang, daun, bunga,

Dari hasil pengujian sistem, penentuan guru teladan dengan metode Fuzzy-AHP menunjukkan bahwa kriteria yang tadinya subjektif dapat menjadi lebih objektif dengan

Penelitian bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu hamil tentang diabetes mellitus di BPS Anas Kusuma desa pilangsari sragen, dengan hasil diperoleh

Memperhatikan kehidupan sosial masyarakat dari oramg tua anak sekolah minggu di Lingkungan Santo Lukas Wilayah Jebres Paroki Purbowardayan Surakarta, merupakan salah satu subjek

Anggaran pemerintah merupakan dokumen formal hasil kesepakatan antara eksekutif dan legislatif tentang belanja yang ditetapkan untuk melaksanakan kegiatan pemerintah

Kedua ciri ini dapat diamati dengan mata telanjang (Gandahusada, 1998). Waktu keaktifan mencari darah dari masing - masing nyamuk berbeda – beda, nyamuk yang aktif

Perguruan tinggi meru5akan salah satu lem%aga 5endidikan dan  5em%inaan %agi masyarakat Indonesia yang mem5unyai 5eranan dan tanggung aa% dalam mem5ersia5kan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah penulis lakukan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan adanya Sistem Absensi Berbasis Android Menggunakan Validasi