• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Effectivity of Probioties Utilization in Production, Quality and Aflatoxin M1 Level of Milk.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Effectivity of Probioties Utilization in Production, Quality and Aflatoxin M1 Level of Milk."

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN PROBIOTIK TERHADAP

PRODUKSI DAN KUALITAS SERTA KADAR AFLATOKSIN

M1 PADA SUSU SAPI PERAH

RAFID SOLTA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efektivitas Penggunaan Probiotik Terhadap Produksi dan Kualitas serta Kadar Aflatoksin M1 pada Susu Sapi Perah. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2013

Rafid Solta D152110041

(3)
(4)

RINGKASAN

RAFID SOLTA. Efektivitas Penggunaan Probiotik Terhadap Produksi dan Kualitas serta Kadar Aflatoksin M1 pada Susu Sapi Perah. Dibimbing oleh SURYAHADI, KOMANG G WIRYAWAN dan DWIERRA EVVYERNIE.

Aflatoksin merupakan senyawa toksik yang dihasilkan terutama oleh kapang Aspergillus flavus dan A. parasiticus. Aflatoksin B1 yang termakan hewan ruminansia akan diekresikan pada produk susu yang dihasilkan, bentuk hidroksilasinya yaitu aflatoksin M1. Aflatoksin M1 yang dieksresikan ke dalam susu dipegaruhi oleh banyaknya aflatoksin B1 yang terkontaminasi didalam sumber pakan. Pemanfaatan probiotik bakteri asam laktat (BAL) sebagai penanggulangan cemaran aflatoksin secara in vitro dan in vivo pada unggas sangat efektif dilakukan, tetapi kajian penggunaan probiotik dalam menurunkan kadar aflatoksin M1 belum banyak dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji efek penggunaan probiotik dalam mengurangi kadar aflatoksin M1, memperbaiki produksi dan kualitas susu sapi perah yang dihasilkan.

Penelitian ini terdiri dari 2 (dua) tahap yaitu: 1) Metode pembuatan probiotik BAL, 2) Kajian in vivo tentang penggunaan probiotik dan probiotik enkapsulasi. Metode pembuatan probiotik BAL terdiri dari 2 tahap yaitu a) Enkapsulasi; b) Non enkapsulasi. Mutu kedua probiotik diamati melalui total koloni yang tumbuh dan daya simpan probiotik selama 0, 2 dan 4 minggu. Bakteri asam laktat yang digunakan merupakan campuran dari bahan Lactobaccillus achidophillus FNCC 0051, Bifidobacterium longum ATCC 15707, dan

Streptococcus thermophillus FNCC 1-9 03). Data yang diperoleh dianalisisi secara deskriptif. Pada kajian in vivo digunakan 9ekor sapi perah laktasi 1, ke-2 dan ke-5. Masing masing laktasi terdiri dari 3 ekor mendapatkan perlakuan kontrol, probiotik dan probiotik enkapsulasi yang dicampurkan ke dalam pakan konsentrat. Pemberian probiotik pada pakan konsentrat diberikan berdasarkan komsumsi pakan perhari dan cfu/g (colony forming units). Masing-masing perlakuan probiotik ditambahkan sebanyak 109 cfu/g, dan probiotik enkapsulasi ditambahkan 108 cfu/g. Peubah yang diamati yaitu : a) produksi dan kualitas susu ; b) kadar aflatoksin M1 pada susu. Data produksi susu yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis covarian (ANCOVA). Kualitas susu yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (Analyis of Variance) dan Kadar aflatoksin M1 pada susu sapi perah dianalisis secara deskriptif.

Hasil perhitungan total koloni bakteri probiotik non enkapsulasi dan probiotik enkapsulasi masing-masing yaitu 1.3 x 109 (cfu/g) dan 0.63 x 109 (cfu/g). Hasil penelitian in vivo menunjukan bahwa penambahan probiotik non enkapsulasi dan probiotik enkapsulasi tidak mempengaruhi produksi susu yang dihasilkan. Penambahan probiotik non enkapsulasi dan probiotik enkapsulasi tidak mempengaruhi kadar lemak, protein, SNF, laktosa dan BK susu namun masih memenuhi standar SNI. Sapi perah yang diberikan probiotik non enkapsulasi dan probiotik enkapsulasi mampu menurunkan kadar aflatoksin M1 pada susu sapi perah samapai LOD (limit of detection) 0,025 ppb.

(5)

produksi dan kualitas susu yang dihasilkan, namun menurunkan kadar aflatoksin M1 pada susu.

(6)

SUMMARY

RAFID SOLTA. The Effectivity of Probioties Utilization in Production, Quality and Aflatoxin M1 Level of Milk. Supervised by SURYAHADI, KOMANG G WIRYAWAN and DWIERRA EVVYERNIE.

Aflatoxins aretoxic compoundsproducedbyAspergillusflavusandA.parasiticus. The aflatoxins M1 in the milk are affected by the amount of aflatoxin B1. The

utilization of lactic acid bacteria probiotic (LAB) in poultry was effectively to reduce the aflatoxin, but the use of probiotics for reducing the aflatoxin M1 levels have not been widely reprorted. The aims of this study was to determine the feeding effect of diets containing probiotics for aflatoxinM1 level, productionand milk quality.

The study comprised two phases, namely :1) The preparation of lactic acid bacteria probiotic (in vitro), 2) In vivo phase that using encapsulated and non-encapsulated probiotics in lactating dairy cows. The probiotic of lactic acid bacteria was consisted of encapsulation and non-encapsulated. That probiotics quality were determined by total colony and storability test at room temperature for 0, 2 and 4 weeks. The lactic acid bacteria used combination of Lactobaccillus achidophillus FNCC 0051, Bifidobacterium longum ATCC 15707 and

Streptococcusthermophillus FNCC 1-9 03). The in vivo test used 9 dairy cows on 1 th, 2nd and 5th lactation phase. Each lactating phase used 3 cows and fed the diet without probiotic (R0), diet containing 109 cfu/g capsulation probiotic (R1) and diet containing 108 cfu/g encapsulation pribiotic (R3).The parameters measured were milk production, milk quality and aflatoxin M1 levels. ANCOVA test was used to analyze the milk production. Milk quality was analized by Analysis of Variance. Aflatoxin M1 level was presented in descriptive form.

The results of non-encapsulation and encapsulation probiotic colonies were 1.3 x 109 (cfu / g) and 0.63 x 109 (cfu / g). The results of in vivo test showed that the addition non-encapsulation and encapsulation probiotic did not affect milk production, milk quality, protein content, fat content, lactose, and SNF. Dairy cows were given non-encapsulation and encapsulation probiotic reduced aflatoxin M1 levels in milk until the limit of detection (0.025 ppb).

The conclusion of this study was the use non-encapsulation and encapsulation probiotic did not significantly effect milk production and quality but can reduced the concentration of aflatoxin M1 in milk of dairy cow.

(7)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(8)

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN PROBIOTIK TERHADAP

PRODUKSI DAN KUALITAS SUSU SERTA KADAR

AFLATOKSIN M1 PADA SUSU SAPI PERAH

RAFID SOLTA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Suryahadi, DEA Ketua

Prof Dr Ir Komang G Wiryawan Dr Ir Dwierra Evvyernie, MS MSc Anggota Anggota

Diketahui oleh Ketua Program Studi

Ilmu Nutrisi dan Pakan

Dr Ir Dwierra Evvyernie, MS MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr

Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:

Judul Tesis : Efektivitas Penggunaan Probiotik Terhadap Produksi dan Kualitas serta Kadar Aflatoksin M1 pada Susu Sapi Perah

(11)

PRAKATA

Alhamdulillahirabbilalamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT atas segala rahmat-Nya sehingga penulis dapat meyelsaikan karya

ilmiah yang berjudul “Efektivitas Penggunaan Probiotik Terhadap Produksi dan Kualitas serta Kadar Aflatoksin M1 pada Susu Sapi Perah” dengan baik dan tepat

pada waktunya.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada Bapak Dr Ir Suryahadi, DEA. Bapak Prof Dr Ir Komang G Wiryawan dan Ibu Dr Ir Dwierra Evvyernie, MS MSc, selaku komisi pembimbing yang telah berkenan meluangkan waktu, memberikan petunjuk, bimbingan serta arahan pada penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Kepada Bapak Prof Dr Ir Toto Toharmat, MagrSc sebagai penguji luar komisi yang telah banyak memberikan saran untuk penyempurnaan karya ilmiah ini. Terima kasih penulis juga sampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang telah memberikan bantuan Beasiswa dalam masa penyelesaian studi pendidikan di Institut Pertanian Bogor, serta bantuan dana dari (Collaboration Research and International Publication). Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Kabupaten Sijunjung. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS) yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan penelitian di Peternakan Sapi Perah miliknya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayahanda H. Jumadar, BE dan Ibunda Hj. Dastati, saudara-saudaraku tercinta (Uda Rachmad A K, S.Pd, Rizki, Afdal, Ramdica, Ilham, Eska, dan Dava) serta abang Adi yang selalu memotivasiku dan keluargaku di Bekasi atas do’a, kasih sayang dan dorongan baik moral, materi maupun spiritual. Kepada teman-teman INP 2011, terima kasih atas kerja sama selama ini dan semua pihak yang telah membantu yang tidak bisa ditulis satu per satu sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini.

Penulis menyadari dalam penulisan karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna, meskipun demikian penulis berharap semoga karya ilmiah ini bisa bermanfaat.

Bogor, September 2013

(12)

DAFTAR ISI

Efek Penggunaan Probiotik Secara In-vivo

Materi

(13)

DAFTAR TABEL

Rataan jumlah koloni BAL starter awal Uji daya simpan probiotik pada suhu ruang

Rataan produksi susu terkoreksi lemak 4% (kg/hari) Rataan kualitas susu sapi perah

Kadar aflatoksin M1 pada susu sapi perah.

8

Produk probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi Proses enkapsulasi probiotik Analisis produksi susu 4 % FCM Analisis ragam kadar lemak susu Analisis ragam kadar protein susu Analisis ragam kadar laktosa susu

(14)

RIWAYAT HIDUP

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani yang sangat penting. Susu sebagai sumber gizi berupa protein hewani besar manfaatnya bagi manusia terutama bayi dan anak-anak. Jaminan kualitas dan keamanan produk hewani perlu diperhatikan, sehingga kemungkinan cemaran bahan biologi maupun kimia yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia dapat diminimalisir (Winarno 1996). Manajemen pemeliharaan dan pakan yang tidak sesuai dengan pemberiannya, dapat berdampak pada cemaran aflatoksin pada produk ternak yang dihasilkan.

Aflatoksin diproduksi terutama oleh jamur Aspergillus flavus dan

A.parasiticus (Wrather dan Sweet 2006), juga dihasilkan oleh beberapa jamur lain misalnya A.nomius (Kurtzman et al. 1987), A.pseudotamarii (Ito et al. 2011), A.ochraceoroseus, Aspergillus SRCC148, Emericelle astellata, dan Emericella sp sies SRCC 2520 (Cary et al. 2005). Aflatoksin dapat mencemari kacang tanah, jagung, dan hasil olahannya, serta pakan ternak. Hewan ternak yang mengonsumsi pakan tercemar aflatoksin akan meninggalkan residu aflatoksin dan metabolitnya pada produk ternak seperti daging, telur, dan susu. Hal tersebut menjadi salah satu sumber paparan aflatoksin pada manusia. Pencemaran aflatoksin di Indonesia sering timbul pada masa penyimpanan bahan pangan atau pakan. Toteja (2006) menyatakan bahwa kondisi iklim dan manipulasi pakan mengakibatkan kontaminasi aflatoksin. Kondisi penyimpanan yang tidak baik merupakan faktor penting terhadap variasi kontaminasi aflatoksin.

Ada empat macam aflatoksin yang dikenal sering mengkontaminasi bahan pangan, khususnya serelia yaitu aflatoksin B1, B2, G1, dan G2. Aflatoksin B1 yang termakan oleh hewan ruminansia akan diekresikan terutama pada produk susu yang dihasilkan, bentuk hidroksilasinya yaitu aflatoksin M1. Aflatoksin M1 yang dieksresikan ke dalam susu sangat bervariasi antar ternak (meskipun dari satu peternakan yang sama), dari hari ke hari dan waktu pemerahan yang ya satu ke waktu pemerahan yang lain (Kiermeier et al. 1975;1977). International Agency for Research on Cancer (IARC) mengklasifikasikan karsinogenisitas aflatoksin M1 dalam grup B2 (IARC 1993) dan dilaporkan kurang berbahaya bila dibandingkan aflatoksin B1.

Aspergillus flavus optimum menghasilkan toksin pada kadar air bahan 15-30%, kondisi 25-300C, dengan kelembaban 85% atau aktivitas air sebesar 0,85 (Reddy dan Waliyar 2000). Kendala yang dihadapi dalam keamanan pangan terhadap aflatoksin M1 pada susu yakni memiliki sifat yang stabil terhadap proses pemanasan, pasteurisasi dan proses penyimpanan (Stoloff et al.1975). Oleh karena itu aflatoksin M1 pada susu merupakan ancaman yang dihadapi oleh anak-anak yang masih rentan dibandingkan orang dewasa. Abdul Razzaq et al. (2004) membuktikan bahwa adanya hubungan antara tingkat kontaminasi aflatoksin M1 yang terdeteksi pada air susu ibu yang mengakibatkan kurangya berat bayi yang dilahirkan

(16)

sifat toksik yang semula larut lemak menjadi yang mudah larut air hingga mudah dikeluarkan dari tubuh. Proses ini terjadi pada retikulum endoplasmatik dengan bantuan enzim sitokrom P-450 dan sitosol. Bahri et al. (1994) menyatakan pakan sapi perah yang terkontaminasi aflatoksin B1 menghasilkan residu aflatoksin M1 dari 0,04-0,17 ppb. Carvajal et al. (2003) dalam penelitian diperoleh sebanyak 40% produk susu di Meksiko terkontaminasi aflatoksin M1 dengan kadar ≥ 0,05

(ppb) dan 10% ≤ 0,005 ppb. Hasil ini menunjukan bahwa aflatoksin M1 tidak

rusak selama proses produksi karena aflatoksin akan rusak pada suhu 2700C (Beuchat 2000). Produk olahan susu juga mengandung aflatoksin M1 seperti keju (40-60%), krim (10%), butter (2%). Residu aflatoksin M1 yang terdapat dalam olahan susu erat kaitanya dengan kasein susu (Lopez et al. 2001)

Aflatoksin tidak memberikan efek keracunan secara akut, melainkan secara kronis dapat menimbulkan kelainan pada organ hati dan juga produk olahanya seperti daging dan susu. Hal ini dipengaruhi oleh penyimpanan makanan dalam waktu yang cukup lama dan cara yang tidak benar, menyebabkan kerusakan pada bahan makanan tersebut oleh mikroorganisme dan jamur yang dapat menghasilkan aflatoksin. Tingkat konsentrasi residu maksimum yang diperbolehkan untuk aflatoksin M1 dalam susu maupun produk olahannya di beberapa Negara sebesar 0,5 μg/L (FDA, Amerika) dan 0,05 μg/L (negara-negara Uni Eropa). Sedangkan untuk Indonesia adalah 1 μg/L atau 1 ppb (SNI 2001).

Upaya penanggulangan cemaran aflatoksin pada pakan dan keracunan aflatoksin pada ternak telah banyak dilakukan diantaranya adalah dengan mendegradasi aflatoksin pada bahan pakan secara ekstraksi dengan bentonite, sinar UV, bakteri, jamur dan ganggang (Ceigler et al. 1966 dan Rustom 1997). Beberapa mikroorganisme dilaporkan pula dapat mengurangi cemaran aflatoksin baik secara in vitro maupun in vivo (Pierides et al. 2000 ; Kankaankaa et al. 2000), salah satunya adalah bakteri asam laktat (Lactobaccillus spp).

Lactobaccillus spp termasuk golongan bakteri asam laktat dan memiliki potensi yang tinggi sebagai produk probiotik (Davis dan Gasson 1981; Muriana dan Klaenhammer 1987). El-Nezami et al. (1998) menemukan bahwa bakteri gram positif (lima strain Lactobacillus spp dan strain Propionibacterium spp) lebih efisien dalam menghilangkan aflatoksin dari media cair, dibandingkan dengan gram negatif E. coli.

Probiotik didefinisikan sebagai kultur bakteri tunggal atau campuran yang dikonsumsi oleh ternak atau manusia, sehingga memberikan efek yang menguntungkan bagi kesehatan inangnya. Sebagian besar probiotik yang digunakan sebagai bahan additive adalah tergolong bakteri termasuk dalam spesies Lactobaccillus spp (Lactobaccillus achidophillus dan Bifidobacteriumspp

(Bifidobacterium longum), di samping itu terdapat juga bakteri Streptococcus thermophillus. Terdapat beberapa bukti mengenai manfaat dari bakteri asam laktat yang sangat efisien dalam menurunkan kadar aflatoksin dan juga mampu memperbaiki produksi dan kualitas susu sapi perah.

Selama penyimpanan dan dalam saluran pencernaan ternak viabilitas probiotik mengalami kendala seperti H2O2, keberadaan pH yang rendah, kondisi

(17)

tujuan melindunginya dari pengaruh lingkungan yang ekstrim (Widodo et al.

2003). Metode enkapsulasi dengan menggunakan sodium alginat dan laktosa dengan tujuan melindungi bakteri dari kondisi asam pada cairan rumen. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan alginat dapat melindungi sel dengan meningkatnya ketahanan bakteri dibawah kondisi yang berbeda dibanding tanpa enkapsulasi (Anal dan Singh 2007).

Enkapsulasi probiotik biasa digunakan polimer yang lembut dan tidak beracun (food grade) (Anal dan Singh 2007). Polimer yang digunakan biasanya berbentuk polisakarida yang diekstrak dari rumput laut (karagenan dan alginat), tumbuhan (pati dan turunannya, gum arab), atau bakteri (gellan dan xanthan), dan protein hewan ; kasein, whey, skim, gelatin, (Rokka dan Rantamaki 2010). Dalam penelitian ini dikaji sejauh mana probiotik (Lactobaccillus achidophillus, Bifidobacteriumlongum, Streptococcusthermophillus), dapat dimanfaatkan dalam menanggulangi bahaya cemaran aflatoksin M1 pada susu sapi perah dengan tujuan untuk meningkatkan produksi dan kualitas susu sesuai standar.

Tujuan

(18)

MATERI DAN METODE

Penelitian ini terdiri dari 2 (dua) tahap. Tahap pertama adalah membandingkan 2 cara pembuatan probiotik bakteri asam laktat yaitu, a) Probiotik enkapsulasi; b) Probiotik non enkapsulasi. Mutu kedua probiotik dilihat melalui total koloni dan daya simpan probiotik selama 0,2 dan 4 minggu; 2) Kajian in vivo tentang penggunaan probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi dilihat melalui a) Efek pobiotik terhadap produksi dan kualitas susu; b) Efek probiotik dalam mengurangi kadar aflatoksin M1 pada susu sapi perah.

Waktu dan Tempat

Penelitian tahap pertama dilakukan selama tiga bulan dari bulan November sampai dengan Januari 2013. Kultur murni diperoleh dari UGM Yogyakarta yaitu (Lactobaccillus achidophillus FNCC 0051, Bifidobacterium longum ATCC 15707, Streptococcus thermophillus FNCC 1-9 03) dan dilanjutkan pembiakan kultur di PAU IPB; Enkapsulasi probiotik di Laboratorium Mikrobiologi, Seafast IPB; Pengujian total bakteri di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.

Penelitian tehap kedua dilakukan selama 16 hari, masing-masing terdiri dari 10 hari pertama diberikan pakan adaptasi yang ditambahkan probiotik, dan 6 hari berikutnya dilakukan pengambilan sampel susu. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari – Maret 2013. Percobaan in vivo ini dilakukan di peternakan sapi perah Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Lembang adalah salah satu sentra peternakan sapi perah di Indonesia dengan topografi berbukit-bukit, ketinggian ±1247 m dpl, kisaran suhu udara harian antara ± 18 – 27 0C dan kelembaban relatif ± 80,5%. Peternakan sapi perah yang digunakan sebagai lokasi penelitian memiliki manajemen pakan dan pemerahan yang baik. Susu yang diperoleh dianalisis di Laboratorium Kesehatan Daerah Jakarta, Laboratorium Perah Fapet-IPB.

Pembuatan Probiotik Enkapsulasi dan Probiotik Non Enkapsulasi dilakukan Melalui Pengujian Total Bakteri

Materi

Bahan yang digunakan dalam pembuatan probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi adalah kultur murni bakteri (Lactobaccillus achidophillus FNCC 0051, Bifidobacteriumlongum ATCC 15707, Streptococcus thermophillus FNCC 1-9 03), de Mann Rogosa Sharpe Broth (MRSB), de Mann Rogosa Sharpe Agar (MRSA), susu skim, NaCl, sodium alginate, laktosa, CaCl2.

(19)

vorteks, lemari es, erlenmeyer, ose, pembakar bunsen, mikroskop, obyek glass, cawan petri, autoclav, frezze drayer, timbangan analitik.

Analisis Data

Data total koloni bakteri asam laktat pada starter awal, dan total koloni probiotik pada penyimpanan selama 0,2 dan 4 minggu disajikan secara deskriptif.

Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati yaitu total koloni bakteri probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi pada starter awal. Total koloni bakteri probiotik yang disimpan pada suhu ruang selama 0, 2 dan 4 minggu.

Metode

Pembuatan Kultur Induk dan Kultur kerja (Dewanti-Hariyadi et al. 2001)

Kultur murni yang digunakan adalah (Lactobaccillus achidophillus, Bifidobacterium longum, Streptococcus thermophillus pada MRSB. Susu skim 20% dimasukkan kedalam 1 L aquades dan di autoclav pada suhu 900 C selama 15-30 menit, dan kemudian didinginkan hingga suhu 430 C, ditambahkan 1,5 ml masing-masing kultur murni bakteri ke dalam 2 L susu skim steril dan selanjutnya diinkubasi pada suhu 37oC selama 1 hari. Kultur induk siap digunakan untuk membuat kultur kerja. Pembuatan probiotik enkapsulasi menggunakan metode Carvalho et al. (2004), dengan menambahkan bahan penyalut sodium alginate dan laktosa.

Kultur kerja siap digunakan sebagai probiotik pada pakan ternak dan sebelum probiotik diberikan terlebih dahulu di frezze drayer. Apabila tidak langsung digunakan, kultur kerja dapat disimpan dalam refrigerator.

Proses Enkapsulasi Probiotik dan Frezze Drayer (Carvalho et al. 2004)

Biopolimer yang digunakan untuk enkapsulasi bakteri probiotik adalah alginat. Penggunaan alginat sebagai bahan pengkapsul adalah tidak toksik, membentuk matriks secara lembut dengan CaCl2 yang dapat menjerap material sensitif seperti sel bakteri probiotik (Kailasapthy 2002). Probiotik dienkapsulasi dengan laktosa dan sodium alginate 10 %. Perbandingan bahan yang dikapsul dengan bahan enkapsulasi yang digunakan adalah sebesar 3:7 (b/b) (Lian et al.

2002).

(20)

pencairan. Freeze drayingmemiliki keuntungan karena daya rehidrasi yang tinggi dan volume bahan tidak berubah.

Gambar 1. Produk probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi

Gambar 2.Proses enkapsulasi probiotik (Carvalho et al. 2004) Isolat bakteri

Penambahan skim milk 5 % (w/w)

Penambahansodium alginat dan laktosa sebanyak 10% (w/w)

Pembilasan dengan CaCl2 sebanyak 5% (w/w)

Inkubasi pada suhu 370 C selama 24 jam

Inkubasi pada suhu 370 C selama 24 jam

freeze- drayer (-90 s/d -1300 C)

(21)

Penghitungan Total Koloni Bakteri

Analisis pertumbuhan BAL dengan metode hitungan cawan (BAM 2001). Sebanyak 1 ml kultur dipipet ke dalam pengenceran berseri hingga diperoleh pengenceran terbesar 106-108 dan dipindahkan kedalam cawan secara duplo. Metode pencawanan yang digunakan adalah metode agar tuang (pour plate) dengan MRSA sebanyak 12-15 ml. MRSA dituang ke dalam cawan petri berisi kultur dan diratakan dengan cara memutar cawan lalu dibiarkan membeku. Setelah membeku, cawan diinkubasikan dengan posisi terbalik pada suhu 370C selama 48 jam. Koloni yang dihitung berada dalam kisaran 25 – 250 koloni. Jumlah koloni dicatat dan dihitung dengan rumusan sebagai berikut:

N = Σ C / [ ( 1 x n1) + ( 0.1 x n2) ] x d N : Jumlah koloni (CFU) per gram probiotik

Σ C : Total seluruh koloni yang dapat dihitung

n1 : Total koloni dari pengenceran pertama yang dihitung n2 : Total koloni dari pengenceran kedua yang dihitung

d : Nilai pengenceran dari penghitungan pertama yang digunakan

Uji Daya Simpan Probiotik Enkapsulasi dan Probiotik Non Enkapsulasi Pada Suhu Ruang

Uji daya simpan probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi di suhu ruang 300C selama 0, 2 dan 4 minggu. Probiotik yang disimpan pada erlemeyer di suhu ruang, diamati setiap penyimpanan 0, 2 dan 4 minggu, dengan melihat pertumbuhan bakteri asam laktat menggunakan metode hitungan cawan (BAM 2001).

Efek Penggunaan Probiotik terhadap Produksi, Kualitas dan Penurunan Kadar Aflatoksin M1 Pada Susu Sapi Perah

Materi

1. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah makanan konsentrat (Mako) Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU), rumput, probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi, larutan standar aflatoksin M1, methanol, aquabidest, acetonitril, ammonium asetat, susu sapi perah. Alat yang digunakan adalah pita ukur, gelas ukur, timbangan, seppak C18, turbovab evaporator, LC-MS/MS. Komposisi nutrien pakan yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.

2. Ternak yang digunakan adalah ternak sapi perah Fries Holland (FH), terdiri dari sembilan ekor sapi perah laktasi ke-1, ke-2 dan ke-5, masing-masing laktasi terdiri dari dari 3 ekor.

(22)

Tabel 1. Komposisi nutrisi hijauan dan konsentrat

Analisis Pakan Mako Hijauan*

Abu (%) 12.50 11.70

Protein Kasar (%) 18.89 10.20 Serat Kasar (%) 11.68 34.20

Lemak Kasar (%) 7.34 1.60

BETN (%) 63.59 42.30

TDN (%) 73,85 51.00 a

Kalsium (Ca) (%) 0.85 0.51 a

Keterangan: Hasil analisis Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak Fakultas Peternakan UNPAD (2013); (*) kandungan nutrisi rumput gajah yang dikutip dari Rukmana (2005); (a) kandungan nutrisi rumput gajah TDN dan Ca dikutip dari Hartadi et al. 1997

Analisis Data

Data produksi susu yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis covarian (ANCOVA). Kualitas susu yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (Analyis of Variance) berdasarkan Stell dan Torrie (1993). Data yang berbeda nyata dilanjutkan dengan uji jarak Duncan. Kadar aflatoksin M1 pada susu sapi perah disajikan secara deskriptif.

Peubah yang Diamati

Pada penelitian in vivo terdapat beberapa parameter yang diukur diantaranya produksi susu, kualitas susu (protein, lemak, bahan kering tanpa lemak, bahan kering susu, dan laktosa) serta kadar aflatoksin M1 pada susu sapi perah.

Metode

(23)

Produksi Susu

Pengukuran produksi susu dilakukan untuk melihat pengaruh perlakuan probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi setiap hari selama penelitian. Susu diperah pagi hari pada pukul 03.30 WIB dan sore hari pukul 14.30 WIB dan diukur dengan gelas ukur dan dicatat. Untuk menghilangkan faktor lemak, produksi yang diperoleh dikoreksi dengan 4 % FCM (fat corrected milk) rumus : metode Gaines yang telah disitir oleh (Wickes1983).

Keterangan : PS = Produksi susu (kg/hari) L = % Kadar lemak susu

Pengujian Kualitas Air Susu

Pengujian kualitas air susu bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari perlakuan probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi terhadap kualitas air susu. Pengujian yang dilakukan meliputi kadar protein, lemak, bahan kering tanpa lemak, bahan kering susu, dan laktosa.

Pengujian Kadar Aflatoksin M1 pada Susu Sapi Perah

Pengujian kadar aflatoksin M1 pada susu sapi perah bertujuan untuk melihat efektivitas probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi dalam mengurangi kadar aflatoksin M1 pada susu sapi perah. Pengujian dilakukan menggunakan metode (AOAC 2000). Sebelum susu sapi perah dianalisa dengan LC-MS/MS, dilakukan pembuatan kurva standar aflatoksin M1 yaitu : 0,025 ppb, 0,05 ppb, 0,1 ppb, 0,25 ppb, 1 ppb, dan 2 ppb.

Susu yang telah disimpan beku, dicairkan pada suhu ruang, kemudian sampel atau blanko dipipet sebanyak 5 ml ke dalam seppak C18 yang telah dikondisioning dengan menggunakan 3 ml methanol, 3 ml aquabidest. Kemudian seppak dicuci dengan 2 ml aquabidest, dan dielusi dengan 3 ml methanol:acetonitril (1:1), seppak dikeringkan dengan menggunakan turbovab evaporator pada suhu 40oC selama 60 menit. Kemudian seppak dilarutkan kembali dengan fase gerak (methanol:10 mM ammonium asetat (60:40) dan 30 µl di injeksi ke LC-MS/MS.

(24)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Total Koloni Bakteri Asam Laktat (Probiotik Enkapsulasi dan Probiotik Non Enkapsulasi)

Probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi yang terdapat dalam penelitian merupakan kultur murni BAL yang terdiri dari (Lactobaccillus achidophillus, Bifidobacterium longum, Streptococcus thermophillus). Jumlah koloni dari probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi masing-masing yaitu, probiotik enkapsulasi (1.3 x 109) cfu/g dan probiotik non enkapsulasi (0.63 x 109) cfu/g. Rataan jumlah koloni BAL pada probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Rataan jumlah koloni bakteri asam laktat starter awal

Perlakuan Jumlah koloni BAL (cfu/g) Probiotik Enkapsulasi 0.63 x 109

Probiotik Non Enkapsulasi 1.3 x 109

Ket: Hasil analisis dari Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Teknologi Pertanian, IPB (2013).

Jumlah koloni probiotik non enkpasulasi lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah koloni probiotik enkapsulasi hal ini disebabkan karena proses pengenceran dari penambahan bahan-bahan lain dalam proses enkapsulasi. Proses pengadukan dan pencampuran bahan penyalut pada probiotik menyebabkan masuknya oksigen ke dalam campuran bahan penyalut. Dengan adanya oksigen dalam bahan penyalut dapat memberikan efek racun bagi BAL yang bersifat anaerob. Pengaruh keberadaan oksigen terhadap organisme anaerob dapat menyebabkan peningkatan potensial reduksi oksidasi sehingga dapat mengganggu proses transfer elektron pada respirasi anaerob (Jay 1996).

Enkapsulasi bertujuan untuk meningkatkan kelangsungan hidup dari kultur dan membantu melindungi sel bakteri dari lingkungan yang merugikan sehingga mampu mengurangi sel bakteri yang mati. Tamime et al. (2005) menyatakan bahwa pemanfaatan probiotik enkapsulasi bertujuan dalam mengurangi kehilangan dan kerusakan sel bakteri, menstabilkan sel, dan menjaga viabilitas dan stabilitas sel sehingga sel tetap tinggi selama proses produksi. Lebih lanjut (Widodo et al. 2003) mengemukakan bahwa enkapsulasi bakteri probiotik dapat memberikan perlindungan bakteri probiotik dari pengaruh lingkungan yang ekstrim.

Bahan enkapsulasi probiotik yang digunakan dalam penelitian ini adalah

(25)

(Reyed 2007), sedangkan penggunaan laktosa sebagai campuran bahan penyalut merupakan sumber energi bagi starter karena BAL membutuhkan laktosa sebagai nutrisi untuk mempertahankan kehidupannya (Rahman 2009).

Capela et al. (2006) dalam penelitianya menggunakan alginat sebanyak 3 % dan CaCl2 0,1 M pada 200 rpm dalam melakukan enkapsulasi terhadap

Lactobaccillus achidophillus dan Lactobaccillus Casei. Proses enkapsulasi dapat meningkatkan viabilitas probiotik pada yoghurt selama pengeringan beku dan penyimpanan selama enam bulan pada suhu 4 dan 210C.

Hasil enkapsulasi probiotik berbentuk granul dengan warna putih kekuningan, berbentuk bulat memiliki diameter ± 0,5 cm. Bentuk bulat yang dihasilakan dalam proses enkapsulasi disebabkan pada saat penetesan ke dalam CaCl2. Warna yang dihasilkan adalah warna yang berasal dari sodium alginate

yang berwarna putih kekuningan (Fardiaz 1991).

Uji Daya Simpan Probiotik dan Probiotik Enkapsulasi Pada Suhu Ruang

Perubahan pupulasi probiotik yang dikapsul dan non enkapsulasi selama penyimpanan disajikan pada Tabel 3. Viabilitas probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi setelah penyimpanan pada suhu kamar selama 0,2 dan 4 minggu mengalami penurunan, masing - masing probiotik enkapsulasi dari 2.2x109 - 0.93x109 cfu/g, dan probiotik non enkapsulasi dari 1.1x109 - 0.76x109 cfu/g. Hal ini disebabkan adanya aktivitas bakteri asam laktat (BAL) selama proses penyimpanan. Menurut Widiowati dan Misgiyarta (2007), selama proses penyimpanan bakteri asam laktat mengubah gula dalam susu (laktosa) hingga menghasilkan energi dan asam laktat. Menurut Fardiaz (1998), kematian bakteri disebabkan karena nutrien di dalam medium dan energi cadangan sel telah habis. Tabel 3.Uji daya simpan probiotik pada suhu ruang

Daya Simpan Probiotik (Minggu) Probiotik (cfu/g)

Enkapsulasi Non Enkapsulasi

Keterangan: Hasil analisis dari Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Teknologi Pertanian, IPB 2013.

(26)

30.90 %. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Thalib et al. (2001a;2001) populasi mikroba non enkapsulasi mengalami penurunan 30 % dari populasi awal sedangkan, mikroba yang dienkapsulasi relatif stabil. Winugroho dan Mariyati (2001) melaporkan Bioplus yang disimpan dalam suhu ruang, maka populasi mikroorganisme di dalamnya berkurang hingga 50%.

Total koloni yang dihasilkan selama penyimpanan mengalami penurunan, Meskipun demikian jumlah populasi akhir dari bakteri probiotik masih memenuhi syarat yang dibutuhkan yang mana jumlah populasi bakteri probiotik pada produk yaitu sebesar 107 cfu/g. International Dairy Federation merekomendasikan, bakteri akan aktif dan berkembang minimal memiliki 107 cfu/g (Sultana et al., 2000).

Efek Penggunaan Probiotik secara in vivo terhadap Produksi, Kualitas Susu dan Penurunan Kadar Aflatoksin M1 Pada Sapi Perah

Efek Penggunaan Probiotik Terhadap Produksi Susu

Hasil percobaan in vivo dengan tujuan melihat pengaruh penambahan probiotik dan probiotik enkapsulasi pada pakan sapi perah terhadap produksi susu disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Produksi susu terkoreksi lemak 4 % dari ternak yang mendapat perlakuan probiotik (kg/hari)

(27)

diberi perlakuan probiotik enkapsulasi berkisar ± 15.79 (kg/hari), probiotik non enkapsulasi ± 15.15 (kg/hari), lain halnya dengan perlakuan kontrol produksi susu berkisar ± 15.79 (kg/hari). Rataan produksi susu akhir setelah mendapat perlakuan probiotik enkapsulasi berkisar ± 17.08 (kg/hari), probiotik non enkapsulasi ± 16.12 (kg/hari), dan perlakuan kontrol produksi susu berkisar ± 12.52 (kg/hari). Produksi susu biasanya cukup tinggi setelah enam minggu masa laktasi hingga mencapai produksi maksimum, setelah itu terjadi penurunan produksi secara bertahap sampai akhir masa laktasi. Delta produksi susu menunjukkan atau menggambarkan efek pemberian probiotik terlihat bahwa produksi susu sapi yang mendapat perlakuan probiotik enkapsulasi adalah 0.97 (kg/hari), dan yang mendapat perlakuan probiotik non enkapsulasi berkisar 0.52 (kg/hari), sedangkan tanpa perlakuan probiotik adalah 0.97 (kg/hari). Menurut Blakely dan Bade (1994), penurunan produksi susu setelah mencapai puncak laktasi kira-kira 6% setiap bulannya. Produksi susu total untuk setiap periode laktasi bervariasi, pada umumnya puncak produksi dicapai pada umur 6-7 tahun atau pada laktasi ketiga dan keempat.

Dalam penelitian ini produksi susu sapi yang diukur pada bulan ke 6 dan berada pada masa laktasi 1, 2 dan 5. Masa laktasi merupakan masa sapi sedang menghasilkan air susu antara waktu melahirkan hingga masa kering. Persentase air susu terlihat rendah diawal bulan laktasi pertama dan secara berangsur-angsur akan meningkat pada pertengahan dan akan mengalami penurunan sampai akhir laktasi. Faktor lain yang mempengaruhi produksi susu sapi perah diantaranya adalah suhu dan kelembaban udara karena dapat menyebabkan perubahan keseimbangan panas pada tubuh ternak.

Efek Penggunaan Probiotik Terhadap Kualitas Susu

Kualitas susu digambarkan oleh komponen yang terkandung seperti BKTL, lemak, protein, laktosa, BK. Hasil pengujian kualitas susu dari sapi – sapi yang mendaptkan perlakuan probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi tercantum pada Tabel 5.

Tabel 5. Kualitas susu sapi perah

Peubah Kontrol Probiotik SNI

(28)

Hasil analisis menunjukkan bahwa perlakuan probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi tidak nyata pengaruhnya (P>0,05) terhadap kualitas susu yang dihasilkan. Sidik (2003) manyatakan, bahwa faktor jumlah dan kualitas pakan, bulan laktasi, fase laktasi dan bangsa sapi perah mempengaruhi produksi susu sapi perah. Namun demikian kisaran kualitas susu tidak berbeda jauh seperti yang direkomendasikan oleh SNI (2011), yaitu kadar lemak minimum 3.0 %, bahan kering tanpa lemak (BKTL) minimum 7.8 %, dan kadar protein minimum 2.8 %. Menurut Widiawati dan Winugroho (2007) manyatakan bahwa pemberian probiotik (Bioplus, S. cerevisiae dan C. utilis) mampu meningkatkan kadar lemak dari 2,92 menjadi 3,03%.

Rataan kualitas susu sapi perah yang mendapat perlakuan kontrol, dan juga probiotik sama-sama berada diatas SNI (Standar Nasional Indonesia). Hal ini juga dipengaruhi oleh pemberian pakan yang sesuai dengan bobot badan sapi, kadar lemak susu, dan produksi susu (Sudono et al. 2003). Kebutuhan sapi perah akan pakan memiliki hubungan erat dengan kebutuhan untuk hidup pokok, pertumbuhan, reproduksi, dan produksi air susu.

Dalam penelitian ini yang berbeda adalah masa laktasi sapi yakni berada pada masa laktasi pertama, kedua, dan kelima sehingga mempengaruhi terhadap kualitas susu yang dihasilkan.

Efek Penggunaan Probiotik dan Probiotik Enkapsulasi Terhadap Kadar Aflatoksin M1

Aflatoksin diproduksi terutama oleh jamur Aspergillus flavus dan

A.parasiticus (Wrather dan Sweet 2006). Aflatoksin selain dapat menyebabkan penyakit juga dapat mengakibatkan kematian jika bahan makanan yang dikonsumsi terkontaminasi oleh aflatoksin (Cast 1999). Pakan ternak yang terkontaminasi aflatoksin dapat menimbulkan keracunan jika dikonsumsi oleh ternak. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan mengganti pakan yang sudah terkontaminasi aflatoksin dengan pakan yang baru. Aflatoksin M1 dan aflatoksin M2 diisolasi pertama kali dari susu yang dihasilkan oleh sapi yang diberi pakan terkontaminasi aflatoksin (Ruiqian et al. 2004). Pakan yang terkontaminasi aflatoksin tidak terlihat tetapi dapat diketahui dengan pemeriksaan laboratorium.

Tabel 6. Kadar aflatoksin M1 pada susu sapi perah

Masa Laktasi Kontrol Probiotik

(29)

Pada penelitian ini digunakan probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi untuk menurunkan kadar aflatoksin M1 (AFM1) pada susu sapi perah. Seperti terlihat pada Tabel 6, konsentrasi aflatoksin M1 pada kelompok perlakuan yang diberi probiotik non enkapsulasi lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Bahkan pada pemberian probiotik enkapsulasi dapat menurunkan residu AFM1 sampai pada level tidak terdeteksi (<0,025 ppb).

Dari hasil diatas dapat diketahui bahwa bakteri asam laktat yang terkandung dalam probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi mempunyai potensi untuk menurunkan residu AFM1 dibandingkan dengan kontrol. Beberapa mikroorganaisme dilaporkan pula mampu mengurangi cemaran aflatoksin baik secara in vitro maupun in vivo (Pierides et al. 2000; Kankaankaa et al. 2000), salah satu diantaranya adalah bakteri asam laktat (Lactobacillus spp). Aflatoksin M1 yang tercemar pada media cair dapat dikurangi dengan pemanfaatan beberapa strain bakteri asam laktat seperti Lactobacillus acidophilus, Lactobaccillus gasseri, Lactobaccillus rhamnosus, Lactobaccillus lactis (El-Nezami et al. 1998). Proses pengikatan aflatoksin oleh bakteri belum diketahui pasti, tapi secara in vitro molekul aflatoksin diperkirakan akan terikat pada permukaan komponen sel bakteri dan menurunkan perlekatan bakteri pada sel epithel usus (Kankaapaa et al. 2000).

(30)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Efektivitas probiotik tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi susu yang dihasilkan, dan mempengaruhi terhadap kualitas susu yang melebihi batas minimum SNI 2011. Kadar aflatoksin M1 terlihat mengalami penurunan setelah diberikan probiotik. Probiotik enkapsulasi lebih stabil selama penyimpanan 4 minggu.

Saran

(31)

DAFTAR PUSTAKA

Abdulrazzaq YM, Osman Y, Yousif ZM, Trad O. 2004. Morbidity in neonates of mothers who have ingested aflatoxins. Ann Trop Paediatr. 24(2): 145 – 151.

Anal AK, Singh H. 2007. Recent advances in microencapsulation of probiotics for industrial application and targeted delivery. J. Food Sci. Technol. 18 : 240-251.

AOAC. 2000. Aflatoxins M1 and M2 in fluid milk. Liquid Chromatographic Method. 49.3.06. Natural Toxins. AOAC Official Method 982.16. 26th E. Chapter 49. p. 40.

Bahri S, Ohim, Maryam R. 1994. Residu aflatoksin M1 pada air susu sapi dan

hubungannya dengan keberadaan aflatoksin B1 pada pakan sapi.

Kumpulan Makalah Kongres Nasional Perhimpunan MikologiKedokteran

Manusia dan Hewan Indonesia 1 dan Temu Ilmiah. Bogor, 21−24 Juli

1994.hlm. 269−275.

BAM. 2001. Bacteriological Analytical Manual, Chapter 7. Campylobacter. http://www.cfan.fda.gov/~ebam/bam.html [22 September 2011].

Beuchat LR. 2000. Peanut microbiology: a focus on aflatoxin. A paper presented at the Training- Workshop on Control of Aflatoxin in Raw Peanuts Through Proper Sorting. July 31 to August 1,2000. Food Development Center, FTI Complex, Taguig, Metro Manila.

Blakely J, Bade DH. 1994. Ilmu Peternakan. Edisi keempat. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Capela P, Hay TKC, Shah NP. 2006. Effect of cryoprotectants, prebiotics and microencapsulation on survival of probiotic organisms in yoghurt and freeze-dried yoghurt. Food Res. Int., 39: 203-211.

Carvajal M, Bolanos A, Rojo F, Mendez I. 2003. Aflatoxin M1 in pasteurized and ultrapasteurized milk with different fat content in Mexico. J Food Protect

66: 1885-1892.

Carvalho AS, Silva J, Ho P, Teixeira P, Malcata FX, Gibbs P. 2004. Relevant factors for the preparation of freeze-dried lactic acid bacteria. Int. Dairy J

14:835–847.

Cary JW, Klich MA, Beltz SB. 2005. Characterization of aflatoxinproducing fungi outside of Aspergillus section Flavi. Mycologia 97 (2): 425-432. CAST (Council for Agricultural Science and Technology). 1999.

Mycotoxin-economic and health risk. Task Force Report No. 116. CAST. Ames. Iowa. Ceigler A, Lillehoj B, Peterson RE, Hall HH. 1996. Microbia l detoxication of

aflatoxin. Appl. Microbial. 14:934-939.

Davis FL, Gasson. 1981. Reviews of the progress of dairy science: Genetics of lactic acid bacteria. Journal of Diary Review 48:363-376.

Dewanti-Hariyadi R. Andjaya N, Suliantari dan Nuraida L. 2001. Teknologi Fermentasi: Penuntun Praktikum. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.

(32)

Fardiaz S. 1998. Fisiologi Fermentasi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB, Bogor.

Hartadi HS, Reksohadiprojo, Tillman DA. 2005. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia. Gadjah Mada UniversityPress. Yogyakarta.

IARC, 1993. IARC Monographs on the evaluation of carcinogenic risks to human. Vol. 56. Some naturally occurring substances: food items and constituents, heterocyclic aromatic amines and mycotoxins. International Agency for Research on Cancer, Lione.

Ito Y, Peterson SW, Wicklaw DT, Goto T, 2001. Aspergillus pseudotamarii, a new aflatoxin producing sp. Mycology Research, No.105, pp. 233-239. Jay JM. 1996. Modern Food Microbiology. 4th Edition. Van Nostrand Company,

New York.

Kailasapathy K. 2002. Microencapsulation of probiotic bacteria: Technology and potential applications. Current Issues in Intestinal Microbiology, 3, 39–48. Kankaanpaa P, Tuomola E, El-Nezami H, Ahokas J, Salminen SJ. 2000. Binding

of aflatoxin B1 alters the adhesion properties of Lactobacillus rhamnosus

strain GG in a caco-2 model. J. Food Prot. 63 (3):412-414.

Kiermeier F, Weiss G, Behnringer G, Miller M, Ranfft K, 1977. On the presence and the content of aflatoxin M1 in milk shipped to a dairy plant. Z.

Lebensmitt.- Unters.-Forsch. 163:171-174 (in German).

Kurtzman CP, Horn BW, Hesseltine CW. 1987. Aspergillus nomius, a new aflatoxin-producing species related to Aspergillus flavus and Aspergillus tamarii. Antonie van Leeuwenhoek 53 (3):147-158.

Lian WC, Hsio HC, Chou CC. 2002. Survival of Bifidobacterium longum after spray drying. Int J Food Microbiol 74:79-86.

Lopez C, Ramos L, Ramadan S, Bulacio L, Perez J. 2001. Distribution of aflatoxin M1 in cheese obtained from milk artificially contaminated.

International Journal ofFood Microbiology, No. 64, pp. (211–215). Muriana PM, Klaenhammer TR. 1987. Conjugal transfer of plasmid encended

determinants for bacteriocin production and immunity in Lactobacillus acidophillus 88. Aplied and Enviromental Microbiology 53: 552-560. Pierides MH, El-Nezami K, Peltonen S, Salminen, Ahokas J, 2000. Ability of

dairy strains of lactic acid bacteria to bind aflatoxin M1 in a food model. J Food Prot. 63(5):645 – 650.

Rahman. 2009. Karakteristik Mikrobiologis Kultur Starter Kering Kefir dengan Sinbiotik Terenkapsulasi dalam Bentuk Granul. Skripsi. Institut Pertanian Bogor Rukmana R. 2005. Budi Daya Rumput Unggul Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Reddy SV, Waliyar F. 2000. Properties of Aflatoxin and It Producing Fungi. Aflatoxin. Int. Crops Res. Inst. for the Semi-Arid Tropics.

Reyed M. Reyed. 2007. Novel hybrid entrapment approach for probiotik cultures and its aplication during lyophilization. The internet journal of biological anrthropologyTM ISSN: 1937-8289. Bangalore, India.

Rokka S, Rantamaki P. 2010. Protecting probiotic bacteria by microencapsulation: Challenges for industrial applications. Eur. Food Res. Technol. 231: 1-12. Ruiqian L, Qian Y, Thanaboripat D, Thansukon P. 2004. Biocontrol of

(33)

Rukmana R. 2005. Rumput Unggul Hijauan Makanan Ternak. Penerbit Kanisius. Yogjakarta.

Rustom IYS. 1997. Aflatoxin in food and feed :occurrence, legislation and inactivation by physical methods . Food Chem. 59:57-67.

Sidik R. 2003. Estimasi Kebutuhan Net Energi Laktasi Sapi Perah Produktif Yang Diberi Pakan Komplit Vetunair. Media Kedokteran Hewan. Vol.19, No.3. Universitas Airlangga. Surabaya. P 135-138.

SNI. 2001. Standar Nasional Indonesia. Batas maksimum cemaran mikroba dan batas maksimum residu dalam bahan makanan asal hewan. Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner. Dirjen Bina Produksi Peternakan. Departemen Pertanian. hlm. 7.

SNI. 2011. Standar Nasional Indonesia. Persyarataan mutu susu segar. Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner. Dirjen Bina Produksi Peternakan. Departemen Pertanian. Hlm 8.

Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika (Pendekatan Biometrik) Penerjemah B. Sumantri. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Stoloff L, Trucksess M, Hardin N, Francis OJ, Hayes JR, Polan CE, Campbell

TC. 1975. Stability of aflatoxin M in milk. J Dairy Sci. 58(12): 1789 – 1793.

Sudjatmogo. 1998. Pengaruh Superevolusi dan Kuantitas Pakan Meningkatkan Produksi Susu dan Daya Tahan Hidup Anak Domba sampai Umur Sapih. Disertasi. Program Pascasarjana. Institu Pertanian Bogor.

Sudono A, Rosdiana RF, Setiawan BS. 2003. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. Jakarta : Agromedia Pustaka.

Sultana KG, Godward N, Reynolds R, Arumugaswamy P, Peiris, Kailasapathy K, 2000. Encapsulation of probiotic bacteria withalginate-starch and evaluation of survival in simulated gastro intestinal condition and in yoghurt. Int. J. Food Microbiol. 62:47–55.

Tamime AY, Saarela M, Sondergaard AK, Mistry VV, Shah NP. 2005. Production and maintenance of viability of probiotic micro-organismn in dairy products. Didalam: Tamime AY, editor. Probiotic Dairy Products.

Oxford: Blackwell Publishing Ltd.hlm 39-63.

Thalib A, Bestari J, Widiawati Y, Hamid H, Suherman D. 2000. Pengaruh perlakuan silase jerami padi dengan mikroba rumen kerbau terhadap daya cema dan ekosistem rumen sapi . JITV 5 : 1-6.

Toteja GS, Mukherjee A, Diwakar S, Singh P, Saxena BN. 2006. Aflatoxin B1 contamination in wheat grain samples collected from different geographical regions of India: A multicenter study. J. Food Protect., 69: 1463-1467.

Wickes RB. 1983. Feeding experiment with dairy catlle. In. Dairy Catlle Reaserch Techniques. Edited by Termouth-Queensland of Primary Industries, Australia.

Widiawati Y, Winugroho M. 2007. Pengaruh pemberian konsentrat fermentasi dan probiotik terhadap produksi susu sapi perah di Pondok Rangon. Prosiding Seminar Sapii Perah. 2006. (in press).

(34)

Widowati S, Misgiyarta. 2007. Efektifitas Bakteri Asam Laktat (BAL) dalam Pembuatan Produk Fermentasi Berbasis Protein/Susu Nabati. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi Tanaman. Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian.Jakarta.

Winarno FG. 1996. Peranan undang-undang pangan dalam usaha melindrmgi konsumen. Kumpulan Makalah Peranan Pengawasan Mutu untuk Peningkatan dan Pengendalian Produk Pangan dalam Menyongsong UU Pangan dan Pasar Bebas. Jakarta, November 1996.

Winugroho M, Mariyati S. 2001. Konsistensi keefektifan bioplus serat selama masa simpan pada suhu ruang. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner . Bogor, 17-18 Sept . 2001 . Puslitbang Peternakan, Bogor. him. 214-218.

(35)

LAMPIRAN

Lampiran 2 Analisis produksi susu 4 % FCM Produksi Susu terkoreksi 4% FCM

(36)

Lampiran 3 Analisis ragam kadar lemak susu

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Lampiran 4 Analisis ragam kadar protein susu

(37)

Sig. .377

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Lampiran 5 Analisis ragam kadar laktosa susu

Sumber Jumlah

Kuadrat

Derajat

Bebas Kuadrat Tengah F Sig.

Between Groups .049 2 .024 .427 .671

Within Groups .344 6 .057

Total .393 8

Duncan

PERLAKUAN N

Subset for alpha = 0.05 1

2 3 4.1000

1 3 4.1767

3 3 4.2800

Sig. .407

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Lampiran 6 Analisis ragam bahan kering tanpa lemak

Sumber Jumlah

Kuadrat

Derajat

Bebas Kuadrat Tengah F Sig.

Between Groups .234 2 .117 .444 .661

Within Groups 1.582 6 .264

Total 1.816 8

Duncan

PERLAKUAN N

Subset for alpha = 0.05 1

2 3 8.6467

1 3 8.8133

(38)

Sig. .399

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Lampiran 7 Analisis ragam bahan kering susu

Sumber Jumlah

Kuadrat

Derajat

Bebas Kuadrat Tengah F Sig.

Between Groups .678 2 .339 2.493 .163

Within Groups .816 6 .136

Total 1.493 8

Duncan

PERLAKUAN N

Subset for alpha = 0.05 1

1 3 12.4300

2 3 12.8933

3 3 13.0833

Sig. .081

(39)

Gambar

Gambar 1. Produk probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai Agustus 2015. Penelitian ini terbagi menjadi dua tahap. Tahap pertama merupakan penelitian laboratorium untuk

Pada penelitian tahap I didapatkan hasil pengujian kemurnian masing- masing bakteri asam kultur starter yogurt (St RM-01 dan Lb RM-01) dan probiotik (La RM-01 dan Bl RM-01) yang

Tujuan umun1 penelitian ini adalah mengetahui pengaruh dari probiotik E.faecium dalam pangan fungsional biskuit tepung ikan lele terhadap viabilitas mikrobiota (bakteri fekal

Sebagai kesimpulan dari penelitian ini adalah metode pembuatan dangke susu sapi di kabupaten Enrekang meliputi tahap pemanasan susu, penambahan larutan getah

Menyatakan bahwa dalam skripsi yang berjudul “Potensi Probiotik Bakteri Asam Laktat dan Perubahan Karakteristik Kimiawi Rebung Bambu Apus ( Gigantochloa apus ) yang

Hasil Uji BNJ pada perlakuan preparasi (P1, P2, P3, dan P4) tidak berbeda nyata terhadap nilai total bakteri asam laktat rebung ikan terfermentasi, hal ini dapat

Silase ransum komplit berbasis sampah sayur pilihan mempunyai kualtias yang baik ditinjau dari aspek bau, pH, dan jumlah bakteri asam laktat, serta dapat diberikan pada

Disamping itu, lebih rendahnya nilai kecernaan bahan organik pada P3 dibandingkan kecernaan bahan organik P2 adalah karena selama ensilase bakteri asam laktat