POTENSI OLIGOSAKARIDA EKSTRAK TEPUNG BUAH
RUMBIA (
Metroxylon sagu
Rottb.)
SEBAGAI PREBIOTIK DAN
SINBIOTIK DALAM RANSUM AYAM PEDAGING
MUHAMMAD DAUD
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Potensi Oligosakarida Ekstrak Tepung Buah Rumbia (Metroxylon sagu Rottb.) sebagai Prebiotik dan Sinbiotik dalam Ransum Ayam Pedaging adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Juni 2010
Muhammad Daud
ABSTRACT
MUHAMMAD DAUD. The Potency of Oligosaccharides in Rumbia Fruit Extract (Metroxylon sagu Rottb.) as Prebiotic and Synbiotic Broilers’ diet. Under supervision of WIRANDA G PILIANG, KOMANG G WIRYAWAN and AGUS SETIYONO.
Despite of the range of commercially available oligosaccharides mixtures (mainly fructo and galacto-oligosaccharides), very few studies are focused on the mechanisms behind the prebiotic activity of particular oligosaccharides. The objectives of this research were to evaluate oligosaccharide profiles of rumbia fruit extract (Metroxylon sagu Rottb.) as prebiotic and the function of prebiotic, and synbiotic as feed additives for broiler chickens. The broilers were devided into 8 treatment diets: R1= basal diet (control), R2= basal diet + prebiotic 0.4%; R3= basal diet + probiotic 108 CFU; R4= basal diet + prebiotic 0.4% + probiotic 108 CFU; R5= basal diet + infected with E. coli 104 CFU; R6= basal diet + prebiotic 0.4% + infected with E. coli 104 CFU; R7= basal diet + probiotic 108 CFU + infected with E. coli 104 CFU; and R8= basal diet + prebiotic 0.4% + probiotic 108 CFU + infected with E. coli 104 CFU. The observed variables were: oligosaccharide components, ability of lactic acid bacteria in fermenting oligosaccharides, population of bacteria in the intestines, and the performances of broilers. The results showed that the oligosaccharide components from rumbia fruit extract consisted of: sucrose, raffinose and stacchiose. The performances of the broilers supplemented with prebiotic and synbiotic were significantly (P<0.05) different in increasing final body weight, productivity index, and in decreasing mortality and gave better feed conversion ratio. The addition of prebiotic and synbiotic in the ration significantly (P<0.05) affected the growth of lactic acid bacteria in the gastrointestinal tract. In conclusion, the synbiotic inclusion in the diet, increased the growth performances and stimulated the growth of lactic acid bacteria in the intestinal broiler chickens.
RINGKASAN
MUHAMMAD DAUD. Potensi Oligosakarida Ekstrak Tepung Buah Rumbia
(Metroxylon sagu Rottb.) sebagai Prebiotik dan Sinbiotik dalam Ransum Ayam Pedaging. Dibimbing oleh WIRANDA G. PILIANG, KOMANG G. WIRYAWAN dan AGUS SETIYONO.
Buah rumbia / buah tanaman sagu merupakan salah satu sumberdaya alam yang belum dimanfaatkan secara optimal di Indonesia baik sebagai bahan pangan pada manusia maupun sebagai bahan pakan ternak. Mengamati hal tersebut, perlu dilakukan suatu kajian tentang potensi buah rumbia yang selama ini belum dimanfaatkan sehingga dapat digunakan sebagai salah satu sumber prebiotik dan formulasi sinbiotik dengan bakteri asam laktat, dalam upaya penerapan strategi penyediaan feed additive sebagai pengganti antibiotik dalam ransum ternak. Tujuan umum penelitian ini adalah mengkaji potensi dan nilai guna buah rumbia sebagai salah satu sumber prebiotik dalam menstimulir pertumbuhan bakteri probiotik dan sebagai feed additive dalam ransum ayam pedaging. Secara rinci tujuan khusus penelitian ini adalah (1). Mengidentifikasi komponen kimia, fitokimia dan komponen oligosakarida ekstrak tepung buah rumbia yang berpotensi sebagai sumber prebiotik. (2). Mengkaji secara in vitro
kemampuan oligosakarida ekstrak tepung buah rumbia dalam menstimulir pertumbuhan bakteri asam laktat (Bifidobacteria dan Lactobacillus). (3). Mengevaluasi respon penggunaan probiotik, prebiotik dan sinbiotik sebagai feed additive dalam ransum terhadap performa, histopatologi usus dan populasi mikroba pada saluran cerna ayam pedaging.
Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap yang saling berkaitan, meliputi: 1). Ekstraksi dan identifikasi komponen oligosakarida ekstrak tepung buah rumbia sebagai sumber prebiotik. 2). Pengujian oligosakarida ekstrak tepung buah rumbia sebagai prebiotik dan penggunaan bakteri asam laktat sebagai probiotik. 3). Penggunaan prebiotik dan sinbiotik dalam ransum terhadap performa, gambaran histopatologi usus dan populasi mikroflora saluran cerna ayam pedaging yang ditantang bakteri E.coli.
Ekstraksi oligosakarida dari tepung buah rumbia dilakukan berdasarkan tingkat polaritasnya yaitu dengan menggunakan pelarut etanol (polar), etil asetat (semi polar) dan aquades secara maserasi masing-masing selama 15 jam. Ekstrak yang diperoleh selanjutnya dilakukan purifikasi guna mendapatkan oligosakarida dengan Kromatografi Filtrasi Gelmenggunakan kolom mengandung gel Sephadex G-75 (16×800 mm) yang dilengkapi fraction collector dengan volume setiap fraksi sebanyak 5 ml, dengan menggunakan air deionisasi sebagai fase gerak dengan kecepatan alir 1 ml/menit. Analisis komponen oligosakarida ditentukan dengan menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC) yang dilengkapi kolom P-NH2 Carbohydrate (30×1 cm). Standar yang digunakan
adalah glukosa, fruktosa, sukrosa, rafinosa, stakhiosa, maltosa, dan xylosa. Pengujian oligosakarida ekstrak tepung buah rumbia sebagai sumber prebiotik secara in vitro
steel yang diidentikkan dengan substrat padat (usus) dan digunakan sebagai probiotik.
Pengujian secara in vivo dilakukan pada ayam pedaging umur sehari (DOC) strain Jumbo seri A Cibadak sebanyak 416 ekor yang dipelihara selama 42 hari, dibagi ke dalam 8 (delapan) perlakuan ransum, dan 4 (empat) ulangan, dimana setiap ulangan terdiri 13 ekor ayam pedaging. Kandang yang digunakan adalah kandang sistem litter yang dilengkapi alas sekam padi setebal ± 10 cm, tempat ransum dan air minum serta lampu pijar sebagai pemanas dan penerang kandang. Ransum perlakuan yang digunakan adalah: Ransum basal /kontrol (R1); Ransum basal + Prebiotik 0,4% (R2); Ransum basal + Probiotik 108 CFU (R3); Ransum basal + Prebiotik 0,4% + Probiotik 108 CFU (R4); Ransum basal + Infeksi E. coli 104 CFU (R5); Ransum basal + Prebiotik 0,4% + Infeksi
E.coli 104 CFU (R6); Ransum basal + Probiotik 108 CFU + Infeksi E. coli 104 CFU (R7); danRansum basal + Prebiotik 0,4% + Probiotik 108 CFU + Infeksi
E. coli 104 CFU (R8). Semua ransum perlakuan menggunakan bahan pakan yang sama, hanya berbeda pada pemakaian probiotik, prebiotik dan sinbiotik. Bahan ransum yang digunakan terdiri atas: jagung kuning, bungkil kedelai, tepung ikan, dedak gandum, bungkil kelapa, CPO, DL-Methionine, dan L-Lysine. Infeksi bakteri E. coli dilakukan pada ayam pedaging berumur 7 hari dengan cara memasukkan ke dalam mulut sebanyak 104 CFU/ekor . Peubah yang diamati meliputi: pertambahan bobot badan, bobot badan akhir, konsumsi ransum, konversi ransum, mortalitas, indeks produksi, gambaran histopatologi usus (duodenum, jejenum, dan ileum), dan jumlah koloni bakteri (BAL dan E.coli) pada saluran pencernaan ayam pedaging (sekum, duodenum, jejenum, dan ileum). Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Data yang diperoleh dianalisis dengan Anova dan apabila terdapat perbedaan yang nyata dilanjutkan dengan uji Duncan.
Hasil penelitian menunjukkan komponen terekstrak berupa oligosakarida yang terdiri atas: sukrosa, rafinosa dan stakhiosa. Oligosakarida tersebut dapat difermentasi oleh L. casei Rhamnosus dan B. bifidum, namun tidak mampu difermentasi oleh bakteri E.coli dan Salmonella. Pengujian terhadap pertumbuhan bakteri asam lakat (B.bifidum,B.animalis, L. casei Rhamnosus, dan L.bulgaricus)
menunjukkan pertumbuhan genus Lactobacillus yang terbaik adalah L.casei
Rhamnosus, sedangkangenus Bifidobacterium adalah B.bifidum. Sementarabakteri
Salmonella dan E. coli tidak mampu menggunakan gula oligosakarida sebagai media pertumbuhannya. L. casei Rhamnosus memiliki kemampuan menempel pada lempeng stainless steel paling tinggi yaitu 7,6 x 1010 CFU/ml dibanding bakteri lainnya dan digunakan sebagai probiotik pada penelitian in vivo.
Respon penggunaan prebiotik, probiotik dan sinbiotik dalam ransum terhadap performa ayam pedaging menunjukkan hasil yang beragam. Konsumsi ransum terendah ditunjukkan pada perlakuan sinbiotik dan konsumsi ransum tertinggi diperoleh pada perlakuan probiotik yang diinfeksi bakteri E.coli
prebiotik dan sinbiotik baik yang diinfeksi maupun yang tidak diinfeksi E.coli
secara nyata (P<0,05) lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Penggunaan prebiotik, probiotik, dan sinbiotik dalam ransum tidak memberi pengaruh yang nyata terhadap persentase mortalitas ayam pedaging baik dalam mingguan maupun secara akumulatif (0-6 minggu), kecuali pada minggu pertama penelitian (umur 1-2 minggu). Secara numerik persentase mortalitas paling rendah terdapat pada perlakuan ransum sinbiotik dan probiotik yang tidak diinfeksi bakteri E.coli yaitu 3,25% dan 3,75%, serta yang paling tinggi terdapat pada perlakuan kontrol yang diinfeksi bakteri E.coli (R5) yaitu 5,50%. Nilai indeks produksi tertinggi terdapat pada perlakuan prebiotik dan sinbiotik, dan dinyatakan memperoleh prestasi istimewa.
Perlakuan prebiotik dan sinbiotik memiliki tingkat kerusakan usus lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan kontrol yang diinfeksi E.coli. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan prebiotik dan sinbiotik tidak menunjukkan efek negatif terhadap kondisi usus (doudenum, jejunum dan ileum) ayam pedaging selama 6 minggu pemeliharaan. Penggunaan prebiotik, probiotik dan sinbiotik dalam ransum secara nyata (P<0.05) meningkatkan populasi bakteri asam laktat pada sekum, duodenum, jejunum dan ileum. Pemberian ransum yang mengandung prebiotik selama enam minggu pemeliharaan secara nyata (P<0,05) menurunkan populasi E.coli pada sekum, duodenum, jejunum dan ileum dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Hal tersebut menunjukkan bahwa efek buruk kehadiran E.coli dapat ditekan dengan adanya prebiotik dalam ransum karena kolonisasi E.coli dalam saluran pencernaan terhambat. Dapat disimpulkan bahwa penggunaan prebiotik dan sinbiotik dalam ransum dapat memberi pengaruh yang positif terhadap performa, gambaran histopatologi, dan pertumbuhan bakteri asam laktat, serta mampu menurunkan populasi
E.coli pada saluran pencernaan ayam pedaging umur 6 minggu.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
POTENSI OLIGOSAKARIDA EKSTRAK TEPUNG BUAH
RUMBIA
(Metroxylon sagu
Rottb.
)
SEBAGAI PREBIOTIK DAN
SINBIOTIK DALAM RANSUM AYAM PEDAGING
MUHAMMAD DAUD
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Ilmu Ternak
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Sc 2. Dr. Ir. Sumiati, M.Sc
Judul Disertasi : Potensi Oligosakarida Ekstrak Tepung Buah Rumbia
(Metroxylon sagu Rottb.) sebagai Prebiotik dan Sinbiotik dalam Ransum Ayam Pedaging
Nama : Muhammad Daud
NRP : D061060051
Program Studi : Ilmu Ternak (PTK)
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Wiranda G. Piliang, M.Sc Ketua
Prof. Dr. Ir. I Komang G. Wiryawan Dr. drh. Agus Setiyono, M.S Anggota Anggota
Mengetahui
Ketua Departemen
Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir.Idat Galih Permana, M.Sc,Agr Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi yang berjudul ”Potensi Oligosakarida Ekstrak Tepung Buah Rumbia
(Metroxylon sagu Rottb.) sebagai Prebiotik dan Sinbiotik dalam Ransum Ayam Pedaging’’.
Penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada komisi pembimbing Ibu Prof. Dr. Ir. Wiranda G. Piliang, M.Sc (Ketua komisi pembimbing), Bapak Prof. Dr. Ir. I Komang G. Wiryawan dan Bapak Dr. drh. Agus Setiyono, MS (Anggota komisi) atas arahan, saran, dan kerjasama yang sangat baik serta kesabaran dan ketulusannya dalam membimbing penulis. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Sc dan Ibu Dr. Ir. Sumiati, M.Sc sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup dan Bapak Dr. Ir. Sofyan Iskandar, M.Rur.Sc, serta Ibu Dr. Ir. Rita Mutia, M.Agr selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka.
Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana, Dekan Fakultas Peternakan, Ketua Program Studi Ilmu Ternak, Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan dan seluruh staf pengajar di lingkungan Institut Pertanian Bogor atas penerimaan dan pelayanan yang baik serta bekal ilmu yang telah diberikan kepada penulis selama mengikuti pendidikan Program Doktor pada Sekolah Pascasarjana IPB. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Abulyatama-Aceh, Ketua Kopertis Wilayah I Sumatera Utara dan Aceh yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan pada Program Doktor di Sekolah Pascasarjana IPB melalui Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) Dirjen DIKTI Republik Indonesia.
Ucapan terimakasih kepada pimpinan dan staf Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan, Laboratorium Kimia dan Mikrobiologi
Seafast Center, Laboratorium Terpadu, Kandang B Fakultas Peternakan, dan Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan, IPB atas segala bantuan dan dukungannya dalam pelaksanaan penelitian selama ini. Ungkapan terimakasih dan doa penulis sampaikan kepada Ayahanda Abd. Rahman (Alm) dan Ibunda Rafiah serta keluarga yang telah memberi dorongan, nasehat serta doa yang tulus kepada penulis. Terimakasih kepada teman-teman Himpunan Mahasiswa Pascasarjana-PTK IPB (Hiwacana-Pascasarjana-PTK IPB) dan Ikatan Keluarga Mahasiswa Pascasarjana Aceh (IKAMAPA) atas kebersamaan dan persahabatan yang terjalin selama menempuh pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB.
Akhir kata penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat bagi semua yang berkesempatan membacanya.
Bogor, Juni 2010
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Padang Rasian, Kecamatan Pasie Raja, Kabupaten Aceh Selatan, Nanggroe Aceh Darussalam. Pada tanggal 11 April 1977, sebagai anak bungsu dari enam bersaudara, Bapak Abdurahman (Alm) dan Ibu Rafiah.
Pendidikan Sarjana ditempuh pada Program Studi Produksi Ternak, Fakultas Pertanian Universitas Abulyatama-Aceh, lulus pada tahun 2001, dan tahun 2002 penulis melanjutkan pendidikan Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ternak, Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa pendidikan pascasarjana (BPPS) dari DIKTI-DEPDIKNAS Republik Indonesia, dan lulus tahun 2005.
Pada tahun 2006 penulis melanjutkan pendidikan Doktor pada Program Studi Ilmu Ternak, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa pendidikan pascasarjana (BPPS) dari DIKTI-DEPDIKNAS Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai Dosen tetap Yayasan pada Fakultas Pertanian, Universitas Abulyatama-Aceh sejak tahun 2001.
Selama mengikuti pendidikan Doktor, penulis aktif menjadi anggota Masyarakat Ilmu Perunggasan Indonesia (MIPI-WPSA Indonesia), dan Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI), dan pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Ternak (HIWACANA-PTK) Sekolah Pascasarjana IPB periode 2008-2009, dan Wakil Ketua Ikatan Keluarga Mahasiswa Pascasarjana Aceh (IKAMAPA) periode 2007-2008, serta aktif mengikuti berbagai pelatihan, seminar dan telah menyajikan beberapa karya ilmiah dengan judul:
1. Ekstraksi dan Purifikasi Oligosakarida dari Ekstrak Tepung Buah Rumbia
(Metroxylon sagu Rottb.) sebagai sumberPrebiotik dalam Ransum Ternak. Disampaikan pada Pelatihan intensive-student technopreneurship program
2009 (i-STEP 2009). Institut Pertanian Bogor, 28 Juli-15 Agustus 2009. 2. Pengujian Oligosakarida Ekstrak Tepung Buah Rumbia (Metroxylon sagu
Rottb.) sebagai sumber Prebiotik dalam Ransum Ayam Pedaging. Disampaikan pada Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 13-14 Agustus 2009.
3. Potential Oligosaccharide of Extract Rumbia Fruit (Metroxylon sagu
Industry 2009. IPB International Convention Center, Bogor-Indonesia, 23-24 November 2009.
4. Penggunaan Prebiotik Oligosakarida Ekstrak Tepung Buah Rumbia
(Metroxylon sagu Rottb.) dalam Ransum terhadap Performa Ayam Pedaging. Telah diterbitkan pada Jurnal Agripet Volume 10. No. 2. Oktober 2009. Halaman 15-20.
5. Pengujian secara in vitro Oligosakarida dari Ekstrak Tepung Buah Rumbia
(Metroxylon sagu Rottb.) sebagai sumberPrebiotik. Telah diterbitkan pada Jurnal Agripet Volume 10. No. 2. Oktober 2009. Halaman 35-41.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR ... iv
DAFTAR LAMPIRAN ... v
I. PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 3
Manfaat Penelitian ... 3
II. TINJAUANPUSTAKA ... 4
Tanaman sagu dan penyebarannya ... 4
Buah rumbia dan pemanfaatan limbah sagu ... 6
Prebiotik ... 9
Manfaat prebiotik ... 11
Sumber prebiotik ... 13
Mekanisme kerja prebiotik ... 16
Probiotik ... 17
Pemanfaatan bakteri sebagai probiotik ... 18
Peranan probiotik pada ternak unggas ... 20
Mekanisme kerja probiotik ... 21
Sinbiotik ... 24
Saluran Pencernaan ... 24
Usus ... 27
Usus halus ... 27
Usus besar ... 30
III. EKSTRAKSI DAN IDENTIFIKASI OLIGOSAKARIDA ... EKSTRAKTEPUNG BUAH RUMBIA (Metroxylon sagu Rottb.) SEBAGAI SUMBER PREBIOTIK ... 31
Pendahuluan ... 31
Materi dan metode penelitian ... 32
Hasil dan pembahasan ... 37
Kesimpulan ... 44
IV. PENGUJIAN OLIGOSAKARIDA EKSTRAK TEPUNG BUAH RUMBIA (Metroxylon sagu Rottb.) SEBAGAI PREBIOTIK DAN BAKTERI ASAM LAKTAT SEBAGAI PROBIOTIK ... 45
Pendahuluan ... 45
Materi dan metode penelitian ... 46
Hasil dan pembahasan ... 54
V. PENGGUNAAN PREBIOTIK DAN SINBIOTIK DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMA, GAMBARAN HISTOPATOLOGI DAN POPULASI MIKROFLORA
SALURAN CERNA AYAM PEDAGING YANG DITANTANG
BAKTERI Escherichia coli ... 65
Pendahuluan ... 65
Materi dan metode penelitian ... 66
Hasil dan pembahasan ... 75
Kesimpulan ... 13
VI. PEMBAHASAN UMUM ... 113
VII. KESIMPULAN UMUM ... 120
VIII.DAFTAR PUSTAKA ... 121
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Perkiraan sebaran Sagu di Indonesia ... 6
2. Distribusi sagu berdasarkan lokasi di Indonesia ... 6
3. Rataan komposisi pohon sagu ... 9
4. Hasil analisis proksimat tepung buah rumbia ... 39
5. Komponen fitokimia tepung buah rumbia ... 40
6. Sifat fisik dan rendemen ekstrak tepung buah rumbia ... 42
7. Komponen oligosakarida ekstrak tepung buah rumbia ... 43
8. Media pengujian fermentasi oligosakarida (g/100 ml) ... 47
9. Media pengujian pertummbuhan bakteri Lactobacillus (g/100 ml) ... 48
10.Media pengujian pertumbuhan bakteri Bifidobacterium (g/100 ml) .... 49
11.Media pengujian bakteri E.coli (g/100 ml) ... 49
12.Media pengujian bakteri Salmonella (g/100 ml) ... 50
13.Hasil uji penempelan bakteri asam laktat pada lempeng stainless steel 62
14.Komposisi dan kandungan nutrien ransum basal ... 68
15.Komposisi dan kandungan nutrien ransum perlakuan ... 69
16.Denah perlakuan penelitian... 74
17.Rataan konsumsi ransum ayam pedaging (g/ekor) ... 77
18.Rataan bobot awal dan pertambahan bobot badan ayam pedaging .... 81
19.Rataan bobot akhir ayam pedaging umur enam minggu ... 82
20.Rataan nilai konversi ransum ayam pedaging... 85
21.Rataan persentase mortalitas ayam pedaging ... 91
22.Populasi BAL pada saluran pencernaan ayam pedaging ... 94
23.Populasi bakteri E.coli pada saluran pencernaan ayam pedaging ... 98
24.Rataan skor lesio duodenum ayam pedaging ... 102
25.Rataan skor lesio jejunum ayam pedaging ... 106
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Tanaman sagu (Metroxylon sagu Rottb.) ... 4
2. pH organ dan saluran pencernaan broiler ... 26
3. Diagram alur proses pembuatan tepung buah rumbia ... 33
4. Diagram alur proses ekstraksi tepung buah rumbia ... 35
5. Diagram alur proses purifikasi tepung buah rumbia ... 36
6. Buah rumbia, daging buah rumbia dan tepung buah rumbia ... 38
7. Anoxomat dan anaerobik jar ... 48
8. Bakteri L. casei Rhamnosus dan B. bifidum yang memfermentasi gula oligosakarida hasil purifikasi dari ekstrak tepung buah rumbia . 56
9. Bakteri E. coli dan Salmonella yang tidak mampu memfermentasi oligosakarida hasil purifikasi dari ekstrak tepung buah rumbia ... 57
10.Kurva pertumbuhan BAL pada media oligosakarida dan media kontrol (tanpa oligosakarida) ... 59
11.Kurva pertumbuhan bakteri patogen pada media oligosakarida dan media kontrol (tanpa oligosakarida) ... 61
12.Persiapanbakteri E. coli yang diinfeksi pada ayam pedaging ... 71
13.Persiapan bakteri dan suspensi probiotik ... 72
14.Rataan konsumsi ransum ayam pedaging secara akumulatif (0-6 minggu) antar perlakuan ransum (g/ekor) ... 76
15. Rataan pertambahan bobot badan ayam pedaging secara akumulatif (0-6minggu) antar perlakuan ransum (g/ekor) ... 79
16.Rataan konversi ransum ayam pedaging secara akumulatif (0-6 minggu) antar perlakuan ransum ... 84
17.Rataan persentase mortalitas ayam pedaging secara akumulatif (0-6 minggu) antar perlakuan ransum ... 89
18.Indeks produksi ayam pedaging umur 6 minggu antar perlakuan ransum . 93
19.Fotomikrograf usus bagian duodenum ayam pedaging... 103
20.Fotomikrograf usus bagian jejunum ayam pedaging ... 108
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Formulasi ransum perlakuan ... 141
2. Metode pewarnaan Haematoksilin dan Eosin ... 142
3. Jumlah pertumbuhan BAL dalam media yang mengandung oligosakarida dan media kontrol (tanpa oligosakarida) ... 143
4. Jumlah pertumbuhan bakteri E.coli dan Salmonella dalam media yang mengandung oligosakarida dan media kontrol ... 144
5. Konsumsi ransum ayam pedaging secara akumulatif (g/ekor) ... 145
6. Pertambahan bobot badan ayam pedaging secara akumulatif (g/ekor)... 145
7. Bobot badan akhir ayam pedaging umur 6 minggu (g/ekor) ... 146
8. Konversi ransum ayam pedaging secara akumulatif ... 147
9. Persentase mortalitas ayam pedaging mingguan ... 147
10. Persentase mortalitas ayam pedaging secara akumulatif ... 148
11. Jumlah koloni BAL pada Sekum ayam pedaging (log cfu/ml) ... 149
12. Jumlah koloni BAL pada Duodenum ayam pedaging (log cfu/ml) .. 151
13. Jumlah koloni BAL pada Jejunum ayam pedaging (log cfu/ml) ... 153
14. Jumlah koloni BAL pada Ileum ayam pedaging (log cfu/ml) ... 155
15. Jumlah koloni E.coli pada Sekum ayam pedaging (log cfu/ml) ... 157
16. Jumlah koloni E.coli pada Duodenum ayam pedaging (log cfu/ml) . 159
17. Jumlah koloni E.coli pada Jejunum ayam pedaging (log cfu/ml) ... 161
18. Jumlah koloni E.coli pada Ileum ayam pedaging (log cfu/ml) ... 163
19. Skor lesio histopatologi Duodenum ayam pedaging ... 165
20. Skor lesio histopatologi Jejunum ayam pedaging ... 167
I.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penggunaan imbuhan pakan atau “feed additive” dalam usaha peternakan unggas modern sudah umum digunakan dengan tujuan untuk memacu pertumbuhan atau meningkatkan produktivitas ternak dan meningkatkan efisiensi pakan. Imbuhan pakan yang sangat umum digunakan adalah antibiotik pada tingkat subtherapeutik, meskipun dampaknya terhadap kesehatan manusia mulai dipertanyakan. Antibiotik yang diberikan pada dosis subtherapeutik diharapkan dapat mengurangi populasi mikroorganisme pengganggu di dalam saluran pencernaan, sehingga ternak lebih sehat dan dapat memanfaatkan gizi pakan lebih baik untuk pertumbuhan atau produksi. Pemberian antibiotik ini dikhawatirkan menimbulkan mikroorganisme yang resisten terhadap antibiotik. Bakteri yang resisten terhadap antibiotik seperti Escherichia coli, Salmonella spp. dan
Campylobacter spp yang terbentuk di dalam saluran pencernaan ternak, dan dapat berpindah atau menginfeksi manusia melalui kontak fisik ataupun melalui pangan (Snel et al. 2002). Hal ini akan sangat merugikan, karena manusia yang terinfeksi dengan bakteri yang resisten tersebut tidak dapat lagi diobati dengan pemberian antibiotik.
Larangan penggunaan antibiotik sebagai imbuhan pakan, memerlukan alternatif lain sebagai penggantinya. Salah satunya adalah pemberian mikroorganisme sebagai hasil perkembangan bioteknologi pakan ternak diantaranya probiotik, dan prebiotik sebagai nutrisi untuk tumbuh dan berkembangnya bakteri probiotik. Sampai saat ini penggunaan probiotik, dan prebiotik baik dalam makanan manusia maupun pakan ternak telah berkembang begitu pesat. Hal ini sejalan dengan adanya pembatasan pemakaian antibiotik dan hormon sebagai pencegah maupun pengobatan penyakit serta sebagai perangsang pertumbuhan secara meluas di dunia.
mikroorganisme yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan efisiensi pakan tanpa mengakibatkan terjadinya proses penyerapan dalam tubuh ternak, sehingga tidak terdapat residu dan tidak terjadinya mutasi pada ternak (Parker 1974). Mekanisme kerja probiotik adalah mendesak mikroorganisme non indigenous keluar dari ekosistem saluran pencernaan dan menggantikan lokasi mikroorganisme patogen di dalam saluran pencernaan. Karena probiotik berasal dari mikroorganisme indigenous, maka proses translokasi adalah alamiah dalam ekosistem usus. Mikroba patogen non indigenous merupakan benda asing, oleh karena itu didesak keluar dari saluran pencernaan, dengan demikian mekanisme probiotik dalam usus ialah mempertahankan keseimbangan, mengeliminasi mikroorganisme yang tidak diharapkan atau bakteri patogen dari induk semang (Fuller 1997).
Prebiotik merupakan substrat atau food ingredient yang tidak dapat dicerna, akan tetapi dapat difermentasi secara selektif oleh beberapa mikroflora yang hidup di saluran pencernaan seperti Lactobacillus dan Bifidobacteria, sehingga dapat meningkatkan kesehatan inang (Salminen et al. 1998; Manning et al. 2004; Gibson 2004; Manning dan Gibson 2004). Oligosakarida dapat berperan sebagai prebiotik karena tidak dapat dicerna, namun mampu menstimulir pertumbuhan bakteri asam laktat (BAL) seperti Lactobacillus dan Bifidobacteria
di dalam saluran pencernaan (Weese 2002; Manning dan Gibson 2004). Oligosakarida terdapat pada berbagai bahan pangan, seperti biji-bijian, buah-buahan, sayur-sayuran, kacang-kacangan, umbi-umbian dan hasil tanaman lainnya. Oligosakarida juga dapat diperoleh dengan cara hidrolisis atau proses enzimatis polisakarida, seperti pati dan serat kasar (Manning et al. 2004).
Cichorium intybus (13-20%), Asparagus (2-3%), Allium cepa (2-6%) (Spiegel 1994). Potensi lain yang dapat digunakan sebagai nutrien bagi bakteri yang menguntungkan (probiotik) adalah buah rumbia (Metroxylon sagu Rottb.) yang memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi, namun informasi penggunaannya masih sangat terbatas baik sebagai bahan pangan maupun sebagai bahan pakan ternak.
Mengamati hal tersebut, perlu dilakukan suatu kajian tentang potensi buah rumbia yang selama ini belum dimanfaatkan, melalui penggunaan komponen karbohidrat (oligosakarida) sebagai salah satu sumber prebiotik dalam menstimulir pertumbuhan bakteri probiotik seperti Bifidobacteria dan
Lactobacillus dalam saluran pencernaan, dan formulasi sinbiotik dengan bakteri asam laktat dalam upaya penerapan strategi penyediaan feed additive sebagai pengganti antibiotik dalam ransum ternak.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian secara umum adalah untuk mengkaji potensi dan nilai guna buah rumbia sebagai salah satu sumber prebiotik dalam memacu pertumbuhan bakteri probiotik dan sebagai feed additive dalam ransum ayam pedaging. Secara rinci tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi komponen kimia, fitokimia dan komponen oligosakarida
ekstrak tepung buah rumbia sebagai salah satu sumber prebiotik.
2. Mengkaji secara in vitro kemampuan oligosakarida ekstrak tepung buah rumbia dalam menstimulir pertumbuhan bakteri asam laktat (Bifidobacteria
dan Lactobacillus).
3. Mengevaluasi respon penggunaan probiotik, prebiotik dan sinbiotik sebagai
feed additive dalam ransum terhadap performa, lesio histopatologi usus dan populasi bakteri pada saluran pencernaan ayam pedaging.
Manfaat Penelitian
II. TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Sagu dan Penyebarannya
Tanaman sagu (Metroxylon sagu Rottb.) merupakan jenis tanaman palma yang tumbuh di sekitar rawa dan lahan tergenang air di daerah tropis. Menurut Flach (1995) tanaman sagu merupakan tanaman hapaxantik (berbunga satu kali dalam satu siklus hidup) dan soboliferous (anakan). Satu siklus hidup tanaman sagu dari biji sampai membentuk buah diperlukan waktu selama 11 tahun dalam empat periode fase pertumbuhan yaitu fase pertumbuhan awal atau gerombol (russet) diperlukan waktu 3,75 tahun, fase pembentukan batang diperlukan waktu 4,5 tahun, fase infoloresensia (pembungaan) diperlukan waktu satu tahun, dan fase pembentukan biji diperlukan waktu selama satu tahun (Flach 2005). Batang tanaman sagu berbentuk bulat panjang dengan diameter bervariasi antara 35-60 cm. Tinggi tanaman dari permukaan tanah sampai pangkal bunga antara 10-15 meter dengan bobot sekitar satu ton (Anonim 1979).
Gambar 1. Tanaman sagu (Metroxylon sagu Rottb.)
Kandungan pati terdapat di dalam batang tanaman dewasa. Selain dijadikan sebagai bahan makanan, pati sagu juga dimanfaatkan dalam bidang industri seperti bioetanol, sirup berkadar fruktosa tinggi, plastik terurai-hayati, dan bahan perekat (Flach 1997). Batang sagu merupakan tempat penimbunan utama pati yang dihasilkan melalui proses fotosintesis. Batang terbentuk setelah masa russet
berakhir yaitu setelah berumur 45 bulan dan kemudian tumbuh membesar dan memanjang dalam waktu 54 bulan (Flach 2005). Batang tanaman sagu memiliki kulit luar yang keras (lapisan epidermal) dan empulur tempat menyimpanan pati. Batang tanaman sagu mengandung banyak pati. Tajuk pohon sagu bervariasi dari 6-15 rangkaian daun (ental) dan setiap rangkaian daun terdapat pelepah daun, tangkai daun, dan 20 pasang helai daun yang panjangnya 60-80 cm (Anonim 1979). Ukuran tajuk pohon sagu berkisar 6-24 ental, panjang tiap ental antara 5-8 meter dengan jumlah 100 sampai 190 anak daun. Total daun yang dibentuk tanaman sagu sampai membentuk buah yaitu sebanyak 168 ental (Flach 2005).
Tanaman sagu tumbuh tersebar di Kepulauan Nusantara, lebih dari 95% tanaman sagu terdapat di Indonesia, Malaysia dan Papua New Guinea, sisanya terdapat di pulau-pulau di Pasifik, Filipina dan Thailand bahkan sampai India (Flach 1983). Dari segi luas areal, Indonesia memiliki areal tanaman sagu yang paling luas namun sebagian besar sagu di Indonesia masih tumbuh secara alam, sedangkan Malaysia merupakan negara yang membudidayakan sagu yang paling luas. Lebih dari 50% sagu Indonesia tumbuh di Papua. Propinsi lainnya yang memiliki sagu yang agak luas yaitu Maluku, Maluku Utara, Aceh, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Utara.
Tabel 1. Perkiraan sebaran tanaman sagu di Indonesia
No. Pulau Areal (ha) Sumber 1. Irian Jaya 4.183.300
800.441 1.471.232 4.371.590
Darmoyuwono (1994) Henanto (1992) Kertopermono (1996)
Haryanto dan Pangloli (1994) 2. Maluku 30.108
47.600 41.949 30.048
Darmoyuwono (1994) Universitas Pattimura (1992) Kertopermono (1996) BPPT (1982)
3. Sulawesi 45.540 49.700
Kertopermono (1996)
Haryanto dan Pangloli (1994) 4. Sumatera 31.872
71.900
Kertopermono (1996)
Haryanto dan Pangloli (1994) 5. Kalimantan 2.795
2.000-50.000
Kertopermono (1996)
Haryanto dan Pangloli (1994) 6. Jawa 262 BPPT (1982)
Sumber : Bintoro (2008)
Tabel 2. Distribusi sagu berdasarkan lokasi di Indonesia
No. Pulau Lokasi
1. Irian Jaya Inanwatan, Mamberamo, Bintuni, Fakfak, Merauke Sarmi Yapen-Waropen, Biak, Jayapura, dan Pulau Salawati.
2. Maluku Ceram, Halmahera, Bacan, Buru, Pulau Aru, dan Ambon.
3. Sulawesi Sulawesi Utara (Minahasa), Sulawesi Selatan (Mamuju, Luwu), Sulawesi Tenggara (Kolaka, Kendari, Buton).
4. Sumatera Riau (Indragiri, Bengkalis, Kampar, Pulau Riau). Aceh, Sumatera Utara, dan Bengkulu.
5. Kalimantan Sambas, Pontianak, Mahakam, Barito dan Kapuas. 6. Jawa Jawa Barat (Pandeglang, Lebak, Sukabumi, Bogor)
dan Jawa Tengah
Sumber : Haryanto dan Pangloli (1994) dan Kertopermono (1996)
Buah Rumbia dan Pemanfaatan Limbah Sagu
penyerbukan silang. Benang sari pada tanaman sagu berjumlah enam helai dan terdapat tiga bakal buah (Anonim 1979). Jong (1995) mengungkapkan bahwa struktur bunga memiliki 15 sampai 25 cabang utama (ax1) dengan panjang 2-3 meter, cabang kedua (ax2) terdapat 15-22 cabang, dan cabang ketiga (ax3) terdapat 7-10 cabang (Schuiling 1991).
Pembentukan buah dan biji mulai dari antesis sampai buah terakhir gugur diperlukan waktu selama 19-23 bulan (Jong 1995). Selanjutnya Flach (2005) mendokumentasikan bahwa fase infloresensia diperlukan waktu 12 bulan dan fase pematangan buah juga diperlukan waktu 12 bulan. Jumlah buah yang dihasilkan per pohon tanaman sagu sekitar 2.174 - 6.675 (Jong 1995). Buah rumbia (buah tanaman sagu) terdiri atas exocarp, mesocarp, endocarp, sarcotesta, testa, endosperm, dan embrio. Exocarp bersisik, di dalamnya terdapat daging buah yang disebut mesocarp dan tempurung biji yang disebut sarkotesta, didalam sarkotesta
terdapat endosperm yang berfungsi sebagai cadangan makanan bagi embryo.
Bentuk buahnya mirip salak berukuran lebih besar dan berpetak tiga. Hanya saja tidak bisa dimakan karena rasanya pahit-pahit asam, sehingga masih sangat jarang dimanfaatkan.
Berbeda dengan limbah-limbah hasil panen sagu yang lain seperti limbah yang ada di lapangan berupa daun dan tunggul, kulit batang dan ampas sagu sudah mulai dimanfaatkan. Horigome et al. (1990) mencoba menggunakan ampas sagu untuk pakan ternak. Ternyata ampas sagu tersebut dapat menggantikan sebagian pakan ternak. Djoefrie dan Nuraida (2000) mencoba menggunakan ampas sagu sebagai pupuk untuk tanaman bayam. Ternyata meskipun tidak sebaik kotoran kambing, ampas sagu dengan dosis 20 ton/ha dapat meningkatkan bobot daun bayam. Selain itu sagu yang dikenal sebagai penghasil pati dan karbohidrat sudah mulai dikembangkan menjadi aneka produk bernilai ekonomi tinggi. Selain sebagai bahan campuran bagi soun, mie dan kerupuk, sagu juga dibutuhkan bagi industri tekstil, kertas, dan juga industri kosmetika.
pelepah dan bagian luar empulur dari batang dapat digunakan sebagai pulp dan bahan untuk pembuatan kertas (Kasim et al. 1995). Wahid (1988) menyebutkan bahwa sebagian besar penduduk di Irian Jaya (Papua) dan Maluku menggunakan pati sagu sebagai bahan makanan pokok. Selanjutnya Ariani et al.
(2005) mengungkapkan pola makan sagu penduduk di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Papua. Pati sagu selain digunakan sebagai bahan makanan pokok juga dibuat berbagai macam kue tradisional seperti bagea, cendol sagu, sinole, pappeda, lempeng sagu, sagu gula, sagu asar, dan sagu tumbuk (Rusliana 1979). Penelitian belakangan ini menunjukkan bahwa pati sagu dapat dijadikan sebagai bahan baku dalam pembuatan mie (Purwani et al. 2005; Haryadi 2005) dan bihun (Suryani dan Haryadi 1998).
Potensi pati sagu sebagai bahan baku industri telah banyak diungkapkan melalui berbagai macam penelitian. Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pati yang dihasilkan oleh tanaman sagu dapat dikonversi menjadi etanol (Pranamuda et al. 1995), alkohol (Haska 1995), siklodekstrin (Solichien 1995), sirup glukosa, dan pembuatan plastik biodegredasi (Sarungallo dan Murtiningrum 2005). Berdasarkan hasil penelitian tersebut pati sagu dapat dimanfaatkan oleh berbagai macam industri seperti industri makanan, industri pakan ternak, farmasi, industri plastik, dan industri kertas. Produk sampingan dan tanaman sagu yaitu sebagai pakan ternak, sebagai pupuk organik, bioherbisida, dan biogas. Produk sampingan berupa empulur muda dapat digunakan sebagai komponen pakan ternak. Nggobe (2005) menyebutkan produk sampingan (by product) sagu setelah melalui proses fermentasi dapat digunakan sebagai pakan ternak. Selanjutnya dikatakan potensi tanaman sagu menghasilkan produk sampingan sebesar 375 kg per pohon. Produk sampingan yang lain seperti ampas hasil ekstraksi pati dapat berfungsi sebagai pupuk organik setelah mengalami dekomposisi. Bintoro (1995) menyebutkan bahwa residu empulur sagu dapat digunakan sebagai pupuk hijau setelah mengalami dekomposisi.
ampas sagu dapat dijadikan kompos. Perkembangan penelitian belakangan ini ke arah pemanfaatan hasil sampingan tanaman sagu yang merupakan bahan buangan industri pengestrak sagu dapat digunakan sebagai bioherbisida dan biogas. Utami
et al. (2005) mengungkapkan bahwa bahan buangan (sago waste) dapat menghambat pertumbuhan gulma Mikania micrantha HBK bila digunakan sebagai mulsa. Selanjutnya (Doelle 1998) mendokumentasikan bahwa bahan buangan dari hasil ekstraksi tanaman sagu dapat dijadikan biogas melalui fermentasi anaerob, diperkirakan 1 m3 bahan buangan dapat menghasilkan 1 m3 biogas yang mengandung 70% methane dan 30% CO2. Komposisi bagian tanaman sagu dari
bagian korteks hingga bagian ampas sagu disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Rataan komposisi pohon sagu Komponen Total berat
segar (kg)
Perbandingan terhadap total berat segar (%)
Perbandingan terhadap empelur segar (%) Batang
Korteks Empelur Pati Air Ampas
1250 400 850 250 425 175
100 32 68 20 34 14
- - 100
29 50 21
Sumber: Flach (2005)
Prebiotik
kesehatan inang (Scholz-Ahrens et al. 2001). Prebiotik pada umumnya adalah karbohidrat yang tidak dicerna dan tidak diserap biasanya dalam bentuk oligosakarida (oligofructose) dan dietary fiber (inulin) (Reddy 1998; Grizard dan Barthomeuf 1999; Reddy 1999).Prebiotik dikenal juga sebagai nutrisi yang sesuai bagi bakteri baik, akan tetapi tidak cocok bagi bakteri jahat, sehingga bisa meningkatkan bakteri baik dalam usus.
Menurut Weese (2002); Manning dan Gibson (2004), dietary fiber (serat makanan) dapat dikelompokkan sebagai prebiotik, apabila substrat tidak dapat diserap atau dihidrolisa di dalam usus halus, secara selektif substrat dapat difermentasi oleh bakteri yang menguntungkan seperti Bifidobacterium, fermentasi substrat memberikan efek sistemik yang menguntungkan bagi inangnya. Menurut Manning dan Gibson (2004), substrat yang berasal dari makanan atau yang diproduksi oleh inang yang tersedia untuk difermentasi oleh mikroflora kolon, yaitu melalui makanan, resistant starch, polisakarida non pati (seperti pektin, selulosa, guar dan xylan), gula dan oligosakarida seperti laktosa, laktulosa, rafinosa, stakhiosa dan frukto-oligosakarida. Senyawa yang diproduksi oleh inang seperti glikoprotein mucin yang diproduksi oleh sel goblet di dalam epitelium kolon yang merupakan senyawa endogenous yang difermentasi di dalam kolon. Protein dan peptida yang berasal dari makanan, hasil sekresi pankreatik atau diproduksi oleh bakteri juga tersedia meskipun jauh lebih kecil dibandingkan karbohidrat.
Oligosakarida dapat berperan sebagai prebiotik karena tidak dapat dicerna, namun mampu menstimulir pertumbuhan bakteri asam laktat (BAL) seperti
mereduksi penyerapan lemak dan kolesterol, meningkatkan volume dan kemampuan membawa air dari kandungan usus dan memodulasi fermentasi mikroba dengan meningkatkan produksi asam lemak rantai pendek, menurunkan pH dan produksi amonia. Kombinasi dari efek fungsional tersebut menghasilkan peningkatan kesehatan inang dengan menurunnya gangguan pada usus (konstipasi dan diare), penyakit kardiovaskuler dan kanker usus.
Gibson (2004) menyebutkan hampir setiap oligosakarida dan polisakarida (termasuk serat) diklaim memiliki aktivitas prebiotik, tetapi tidak semua karbohidrat makanan adalah prebiotik. Sedikitnya 3 kriteria yang diperlukan untuk menyatakan bahwa suatu komponen/bahan makanan diklasifikasikan sebagai prebiotik:
1. Tidak dihidrolisa dan tidak diserap dibagian atas traktus gastrointestinal sehingga dapat mencapai kolon tanpa mengalami perubahan struktur dan tidak diekskresikan dalam tinja (Grizard dan Barthomeuf 1999).
2. Substrat yang selektif untuk satu atau sejumlah mikroflora yang menguntungkan dalam kolon, dan difermentasi oleh mikroflora sistem pencernaan yang menimbulkan efek yang menguntungkan terhadap inang dan dapat memicu pertumbuhan bakteri yang aktif melakukan metabolisme. 3. Mampu merubah mikroflora kolon menjadi komposisi yang menguntungkan
kesehatan dan selektif menstimulasi pertumbuhan dan atau aktivitas satu atau sejumlah bakteri yang menguntungkan di dalam kolon seperti
Bifidobacteria (Collin dan Gibson 1999; McFarlane dan Cumming 1999; Roberfroid 2000).
Manfaat Prebiotik
Menurut Manning dan Gibson (2004), konsumsi prebiotik mempunyai beberapa manfaat, yaitu: menghambat pertumbuhan bakteri patogen, meningkatkan penyerapan kalsium, memberi pengaruh terhadap sistem imun (immunological effect) dan menurunkan kolesterol.
a. Efek terhadap patogen.
Prebiotik meningkatkan ketahanan terhadap patogen melalui peningkatan
diekskresi oleh bakteri tersebut diketahui memiliki sifat penghambatan. Produk akhir metabolik seperti asam yang diekskresi oleh bakteri tersebut dapat menurunkan pH hingga tingkat yang rendah dimana patogen secara efektif berkompetisi. Beberapa spesies Lactobacilli dan Bifidobacteria dapat mengekskresi antibiotik alami yang memiliki spektrum aktivitas yang luas.
Bifidobacteria dapat mengekskresi senyawa antimikroba dengan spektrum aktivitas yang luas (Gibson dan Wang 1993).
Bifidobacteria juga memiliki efek antagonis terhadap E.coli 0157 (Ziemer dan Gibson 1998). Efek penghambatannya bervariasi pada spesies
Bifidobacteria, dimana Bifidobacterium infantis dan B. longum yang paling besar efeknya terhadap E. coli. Frukto-oligosakarida mempengaruhi homeostatis sel-sel di dalam dinding usus (Tomasik dan Tomasik 2003). Aktivitas imunomodulasi dan bakteriostatik mungkin menghasilkan pemblokan reseptor untuk berinteraksi dengan bakteri patogen. Menurut Zopt dan Roth (1996), oligosakarida dengan rantai sisi mannosa menghalangi pelekatan E. coli pada dinding usus. Hasil penelitian dengan memberikan frukto-oligosakarida pada ayam pedaging dapat menurunkan populasi bakteri patogen (Cao et al. 2005).
b. Meningkatkan penyerapan kalsium (Gibson dan Roberfroid 1995).
kemudian disekresi ke dalam lumen untuk menukar ion kalsium. Menurut Gibson (1998) prebiotik dapat meningkatkan penyerapan kalsium dari kolon dan menurunkan kehilangan kalsium dari tulang.
c. Memberi pengaruh terhadap sistem imun
Prebiotik dapat meningkatkan jumlah mikroflora dalam usus. Pemberian FOS, GOS dan laktulosa dapat mengubah komposisi mikroflora usus. Prebiotik juga dapat mendukung pertumbuhan bakteri asam laktat (BAL). Pemberian GOS, dan inulin dapat meningkatkan jumlah Bifidobacteria dan Lactobacilli. Prebiotik dapat mendukung pertumbuhan BAL dan meningkatkan komposisi mikroflora dan menghambat patogen dalam saluran cerna karena persaingan dalam mendapatkan nutrisi dan membentuk biosurfaktan dan molekul koagregasi yang mencegah pelekatan dan penyebaran patogen pada sel epithelial serta menurunkan pH dengan dihasilkannya asam laktat, sehingga tidak nyaman bagi patogen untuk tumbuh (Bahlevi et al. 2001). Pengujian secara in vivo pada hewan ternak menunjukkan prebiotik dapat mempengaruhi fungsi imun (Manning dan Gibson 2004).
Sumber Prebiotik
Senyawa-senyawa yang termasuk dalam prebiotik adalah oligosakarida (seperti rafinosa, stakhiosa, GOS, FOS, dan inulin), beberapa disakarida dan alternatif sumber prebiotik lain seperti: laktitol, sorbitol dan serat makanan yang tidak diserap oleh usus halus.
a. Oligosakarida
Oligosakarida merupakan gula-gula yang terdiri atas 2 sampai 20 unit sakarida atau karbohidrat sederhana (Manning dan Gibson 2004). Menurut Oku (1994) oligosakarida terdiri dari verbakosa, stakhiosa dan rafinosa yang memiliki ikatan α-galakto glukosa dan α-galakto-galaktosa. Oligosakarida yang tidak dicerna dan diserap dalam usus halus akan mencapai usus besar, selanjutnya akan didegradasi atau difermentasi oleh bakteri usus.
Oligosakarida dari kelompok rafinosa bersifat fungsional karena tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan, yaitu α-galaktosidase, sehingga bermanfaat bagi kesehatan karena akan menghasilkan energi metabolis yang lebih rendah dibandingkan sukrosa, tidak memberikan efek pada sekresi insulin dari pankreas, dan dapat meningkatkan mikroflora usus (Oku 1994). Di dalam kolon rafinosa dapat menstimulir pertumbuhan Bifidobacterium spp dan Bacteriodes
spp. Oligosakarida kedelai terdapat rafinosa, stakhiosa dan sukrosa yang dibentuk dari galaktosa yang berikatan dengan sukrosa. Oligosakarida kedelai dibuat dari kedelai atau whey kedelai melalui proses ekstraksi dan purifikasi. Oligosakarida bersifat stabil terhadap panas maupun asam, stabilitasnya lebih baik dibandingkan dengan sukrosa. Hayakawa et al. (1990) di dalam Gibson dan Angus (2000) membuktikan bahwa secara in vitro stakhiosa dan rafinosa yang dimurnikan dari oligosakarida kedelai dapat difermentasi oleh Bifidobacterium spp.
b. Frukto-oligosakarida (FOS)
dan inulin(DP sampai 60). Sejumlah makanan yang umum seperti bawang merah, bawang putih dan asparagus, kaya mengandung oligofruktose maupun inulin. FOS difermentasikan secara selektif oleh hampir semua strain Bifidobakteri (Wang dan Gibson 1993). Bila FOS dikonsumsi dalam jumlah yang cukup banyak maka FOS secara dramatik dan konsisten merangsang proliferasi Bifidobakteri menjadi mikroflora yang predominan dalam kolon.
c. Disakarida dan alternatif sumber prebiotik lainnya
Laktulosa, laktitol, xilitol, sorbitol dan mannitol merupakan bahan pengganti atau alternatif oligosakarida. Bahan-bahan tersebut dapat dicerna namun lambat dan dapat difermentasi oleh bakteri asam laktat (BAL) dalam kolon. Laktulosa, laktitol, dan xilitol berpengaruh sangat baik terhadap peningkatan mikroflora usus, namun demikian konsumsi laktulosa, laktitol, xilitol, dan mannitol yang tinggi dapat menurunkan toleransinya (Salminen et al. 1998).
d. Resistant starch (RS) atau pati resisten
Sejumlah besar pati yang tidak dicerna masuk ke dalam usus besar dan merupakan substrat terpenting bagi mikroflora kolon. Pati bisa resisten terhadap pencernaan karena: 1. pati terperangkap dalam butir-butir gilingan kasar (RS1), 2. pati berupa granul yang resisten (RS1), misalnya pati jagung yang kaya amilose (RS2), 3. pati sudah mengalami retrogradasi (RS3) karena pemanasan dan pendinginan berulang-ulang, 4. pati telah dimodifikasi secara kimia untuk penggunaan dalam industri makanan (RS4). Resistant starch dianggap tidak memenuhi kriteria sebagai prebiotik karena efeknya tidak spesifik, namun penggunaannya juga lebih banyak oleh bakteri-bakteri kolon yang promotif bagi kesehatan. Pati jagung yang kaya amilose terbukti merupakan bahan bifidogenik yang sangat potensial, terutama dalam bentuk yang dimodifikasi secara kimiawi.
e. Non-starch polysaccharide (NSP)
Non-starch polysaccharide merupakan bagian primer dari serat makanan, dan menjadi substrat sejumlah besar jenis bakteri kolon. Karena Non-starch polysaccharide mempunyai efek yang umum bukan selektif atas mikroflora, maka
Mekanisme Kerja Prebiotik
Saat ini banyak dilakukan penelitian untuk memanipulasi komposisi mikrobiota kolon dalam upaya memperoleh aspek potensial yang menguntungkan untuk induk semang. Pendekatan melalui prebiotik, suatu komponen yang tidak hidup dari makanan yang secara spesifik difermentasi di kolon oleh bakteri probiotik misalnya oleh Lactobacilli dan Bifidobacteria (Fuller 1997). Sebenarnya setiap bahan makanan yang masuk ke dalam usus besar adalah kandidat prebiotik, namun demikian untuk efektivitas, selektivitas fermentasi adalah sangat esensial. Mengkonsumsi bahan prebiotik secara signifikan dapat memodulasi komposisi mikrobiota kolon yang menyebabkan Bifidobacteria lebih dominan didalam kolon dan banyak ditemukan didalam tinja (Gibson et al. 1995).
Mencermati manfaat penggunaan prebiotik tidak terlepas dari peranan prebiotik untuk meregulasi dan memodulasi mikro ekosistem populasi bakteri probiotik. Dengan demikian, bahan prebiotik yang diberikan harus tidak bisa diserap ketika melewati usus kecil atau harus tetap utuh, hingga mencapai usus besar sehingga dapat digunakan untuk menumbuhkembangkan bakteri baik yang ada di dalamnya. Dengan semakin banyak bakteri baik di usus besar, daya tahan tubuh jadi lebih baik. Sebab, bakteri ini akan menghasilkan asam laktat hingga menambah tingkat keasaman dalam usus. Tingkat keasaman yang tinggi ini akan membuat bakteri jahat tak tahan dan banyak yang mati (Manderson et al. 2005).
Senyawa prebiotik yang tidak dapat dicerna oleh usus halus dan akan mencapai usus besar, selanjutnya akan didegradasi atau difermentasi oleh bakteri usus dan dapat menstimulir pertumbuhan BAL. Fermentasi oligosakarida oleh bakteri usus akan menghasilkan energi metabolisme dan asam lemak rantai pendek (terutama asam asetat dan asam laktat), sehingga komposisi mikroflora usus berubah. Selain asam, bakteri usus juga akan menghasilkan zat yang bersifat antimikroba. Hampir semua zat yang diproduksi oleh bakteri bersifat asam merupakan hasil fermentasi karbohidrat oligosakarida (Tomomatsu 1994). Adanya produksi asam tersebut akan menurunkan pH usus sehingga persentase bakteri yang menguntungkan seperti Bifidobacterium dan
Lactobacillus meningkat, sedangkan persentase bakteri patogen seperti E.coli dan
(1994), pertumbuhan bakteri patogen seperti Salmonella dan E.coli akan terhambat dengan adanya asam dan zat-zat antibakteri. Dengan demikian oligosakarida merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri
Biftdobacterium dan Lactobacillus yang menguntungkan di dalam kolon (usus besar), sehingga dapat digolongkan sebagai prebiotik.
Penelitian in vitro dan in vivo menunjukkan bahwa prebiotik tidak dicerna oleh enzim, tetapi difermentasi oleh bakteri anaerob dalam usus besar. Belum pernah dilaporkan penemuan prebiotik karbohidrat dalam feses. Melalui fermentasi dalam usus besar, prebiotik menghasilkan asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid/SCFA), menstimulasi pertumbuhan berbagai bakteri termasuk Lactobacilli dan Bifidobacteria, dan dapat menghasilkan gas. Seperti karbohidrat terfermentasi lain, prebiotik mempunyai efek laksatif (cuci perut), tetapi sulit dibuktikan karena efeknya jarang sekali dilaporkan secara klinis. Secara potensial efek utama prebiotik adalah untuk meningkatkan daya tahan tubuh terhadap mikroorganisme patogen sehingga mengurangi diare. Keberadaan prebiotik ini dapat menekan pertumbuhan bakteri jahat, sehingga meningkatkan kesehatan saluran pencernaan dan pada akhirnya akan meningkatkan daya tahan tubuh secara menyeluruh.
Probiotik
bakteri yang menguntungkan seperti Bifidobacteria dan Lactobacilli dan yang merugikan seperti Clostridia dan E.coli setidaknya 85% berbanding 15%. Dengan komposisi tersebut fungsi barrier effect mikroflora yang menguntungkan dengan cara mencegah terbentuknya koloni bakteri patogen bisa teroptimalkan.
Dewasa ini seiring dengan adanya perkembangan data hasil penelitian ilmiah dan aplikasi tentang pengaruh probiotik, diusulkan suatu definisi baru yaitu sediaan sel mikroba hidup atau komponen dari sel mikroba yang mempunyai pengaruh menguntungkan pada kesehatan dan kehidupan inangnya (Salminen et al. 1998). Definisi tersebut memiliki implikasi bahwa probiotik tidak selalu harus berupa sel hidup karena telah terbukti bahwa probiotik dalam bentuk sel yang tidak hidup juga menunjukkan pengaruh positif terhadap kesehatan inang (Ouwehand dan Salminen 1998). Selanjutnya Riley (1996) menyatakan mikroorganisme yang dapat dimanfaatkan sebagai probiotik harus memenuhi kriteria yaitu tidak toksik, mampu bertahan pada suasana asam dan cairan empedu, dapat berkoloni di dalam usus, dapat hidup lama dan menghambat perkembangan mikroba patogen serta dapat hidup pada berbagai kondisi dalam tubuh ternak. Fuller (1992) menambahkan probiotik harus tetap stabil dan hidup untuk waktu yang lama selama penyimpanan dan pada kondisi terbuka.
Sejumlah penelitian mengungkapkan beberapa pengaruh positif bagi kesehatan dari probiotik yaitu sebagai berikut:
1. Resistensi kolonisasi bakteri patogen dalam uss 2. Merangsang sistem imun
3. Memperbaiki digesti dan absorbsi, sintesis vitamin, dan antikarsinogenik 4. Mempunyai efek kesehatan sistemik dengan menurunkan kadar
kholesterol dan amonia darah
5. Meningkatkan ketahanan alami terhadap infeksi di usus 6. Mencegah diare yang diakibatkan oleh antibiotika 7. Menurunkan resiko terjadinya tumor dan kanker kolon 8. Memperbaiki pencernaan
Pemanfaatan Bakteri sebagai Probiotik
milyaran bakteri dalam saluran pencernaan dikelompokkan menjadi dua, yakni bakteri baik dan bakteri jahat. Bakteri yang termasuk golongan baik di antaranya
Bifidobacterium, Eubacterium, dan Lactobacillus. Sementara yang termasuk golongan jahat adalah E.coli, Clostridium perfringence, Salmonella, dan
Staphilococcus. Kedua kelompok bakteri tersebut secara alami saling berebut kekuatan, kekuasaan, dan berusaha saling membunuh dalam saluran pencernaan.
Bifidobacterium, Lactobacillus dan Eubacteria memiliki aktivitas yang menguntungkan bagi inang, karena bakteri tersebut menghasilkan asam laktat sehingga mampu menekan pertumbuhan bakteri patogen, mensintesa vitamin atau protein, membantu penyerapan dan merangsang fungsi kekebalan tubuh (Ouwehand dan Vesterlund 2004).
Bakteri asam laktat yang dapat bertahan dalam saluran pencernaan dan memberikan kontribusi terhadap kesehatan. Bakteri asam laktat ini disebut sebagai probiotik. Probiotik adalah mikroorganisme hidup yang menguntungkan bagi inangnya sehingga dapat menjaga keseimbangan dalam usus (Tannock 1999 dan Roberfroid 2000), meningkatkan kesehatan (Agget 1999 diacu dalam Tuohy et al. 2003). Probiotik mempunyai efek
immunoregulatory, antikarsinogen, antiinflamasi, dapat memproduksi antimikroba dan memberikan efek langsung terhadap mukosa usus halus.
kesehatan (Waspodo 2001). Probiotik juga mempunyai kemampuan sebagai immunomodulator (Conway dan Wang 2000; Fuller 1992). Pemberian probiotik yang mengandung Lactobacillus acidophilus dan L. salivarius pada mencit dapat menstimulasi sistem pertahanan non-spesifik. Pemberian probiotik tersebut dapat meningkatkan kapasitas sel makrofag dan sel lekosit polimorfonuklear (PMN) dalam memfagosit bakteri S. typhimurium secara in vitro.
Sumber probiotik dapat berupa bakteri atau kapang yang berasal dari mikroorganisme saluran pencernaan hewan (Lopez 2000). Beberapa bakteri yang telah digunakan sebagai probiotik yaitu Lactobacillus dan Bifidobacterium. Kapang dan jamur yang dipergunakan sebagai probiotik adalah Saccharomyces cerevisiae dan Aspergillus oryzae (Lopez 2000).
Peranan Probiotik pada Ternak Unggas
Probiotik dapat mengandung satu atau beberapa strain bakteri atau jenis mikroorganisme yang dapat diberikan kepada ternak dalam bentuk cairan, tepung, tablet atau pasta baik secara langsung peroral atau dicampur dalam pakan atau air minum. Selama ini probiotik digunakan pada ternak untuk memacu pertumbuhan. Probiotik tidak menimbulkan residu, probiotik tidak diserap oleh saluran pencernaan inang dan tidak menyebabkan mutasi pada mikroorganisme yang lain (Lopez 2000). Seifert dan Gessler (1997) menyatakan bahwa penggunaan probiotik pada ternak terutama unggas, bertujuan untuk memperbaiki saluran pencernaan dengan cara: 1). Menekan reaksi pembentukan racun dan metabolit yang bersifat karsinogenik (penyebab kanker), 2). Merangsang reaksi enzim yang dapat menetralisir senyawa beracun yang tertelan atau dihasilkan oleh saluran pencernaan, 3). Merangsang produksi enzim (enzim protease dan alfa-amilase) yang digunakan untuk mencerna pakan dan 4). Memproduksi vitamin serta zat-zat yang tidak terpenuhi dalam tubuh.
Sartika et al. (1994) penggunaan probiotik dapat memperbaiki performance ayam broiler meliputi rataan bobot hidup, konversi ransum dan dapat menurunkan mortalitas.
Ensminger dan Olentine (1978) berpendapat bahwa probiotik yang diberikan pada ternak unggas akan membantu keseimbangan mikroba dalam saluran pencernaan, mendorong pertumbuhan mikroorganisme yang menguntungkan, membantu menyediakan zat-zat makanan yang merangsang pertumbuhan seperti vitamin, asam amino dan enzim, juga dapat menghambat berkembangnya bibit penyakit dan tidak merusak mikroflora usus. Probiotik mempengaruhi aktivitas enzim di dalam usus halus, asimilasi kolesterol, meningkatkan pertumbuhan dan penampilan ternak serta membantu mencegah terhadap serangan mikroorganisme patogen selama keadaan stres yang dialami ternak. Soeharsono (1997) menyatakan secara umum fungsi probiotik meningkatkan pertumbuhan dan meningkatkan kesehatan ternak dengan jalan menekan pertumbuhan mikroorganisme yang tidak diinginkan dan merangsang kerja mikroorganisme non patogen.
Pemberian probiotik pada ayam broiler dilaporkan dapat memperbaiki pertumbuhan, konversi ransum, serta meningkatkan ketersediaan vitamin dan zat makanan lain (Barrow 1992; Yeo dan Kim 1997). Pemberian probiotik pada ayam broiler sebaiknya dilakukan selama 3 minggu pertama pemeliharaan (Yeo dan Kim 1997). Pada ayam petelur dilaporkan pemberian probiotik (protexin pada taraf 500 ppm) dapat memperbaiki produksi telur, konsumsi ransum, tetapi tidak terhadap berat telur (Bahlevi et al. 2001). Panda et al. (2003) melaporkan pemberian probiotik (probiolac pada taraf 100 mg/kg ransum) dapat memperbaiki produksi telur, berat dan tebal kerabang telur, serta menurunkan kadar kolesterol pada kuning telur. Probiotik yang umum digunakan untuk ternak diantaranya:
Aerococcus, Bacillus coagulans, Bacillus fumilus, Carnebacterium, Enterococcus,
Lactobacillus,Lactococcus, Leuconostoc, Oenococcus, Fediococcus, Streptococcus,
Tetragenococcus, Vagococcus, dan Bifidobacterium (Axelsson 2004).
Mekanisme Kerja Probiotik
saluran pencernaan dan menggantikan lokasi mikroorganisme patogen di dalam saluran pencernaan. Karena probiotik berasal dari mikroorganisme indigenous, maka proses translokasi adalah alamiah dalam ekosistem usus. Mikroba patogen non indigenous merupakan benda asing, oleh karena itu didesak keluar dari saluran pencernaan, dengan demikian mekanisme probiotik dalam usus ialah mempertahankan keseimbangan, mengeliminasi mikroorganisme yang tidak diharapkan atau bakteri patogen dari induk semang (Fuller 1997).
Lopez (2000) menyatakan bahwa mekanisme kerja probiotik adalah: 1). Menghasilkan asam, sehingga pH menjadi rendah, keadaan ini tidak menguntungkan bagi mikroorganisme patogen. 2). Beberapa mikroba probiotik dapat menghasilkan bahan antimikroba (bakteriosin) yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba lain yang tidak menguntungkan. 3). Mikroba probiotik dapat berkembang baik di dalam saluran pencernaan dan berkompetisi dengan mikroba patogen. 4). Berkompetisi dengan mikroba patogen untuk berikatan dengan reseptor yang sama. Waspodo (2001) menyatakan bahwa probiotik tidak hanya menjaga keseimbangan ekosistem, namun juga menyediakan enzim yang mampu mencerna serat kasar, protein, lemak dan mendetoksifikasi zat racun atau metabolitnya. Selain itu probiotik mengekskresi glutamate, meningkatkan proses absorbsi dalam usus dan mencegah stres. Selanjutnya Garbutt (1997) menambahkan bahwa probiotik "bakteri baik" mampu menghasilkan antibiotika alami yang membantu keutuhan mukosa usus, proses metabolisme, serta meningkatkan kekebalan tubuh. Sebaliknya, "bakteri jahat" mengeluarkan racun yang bisa menyebabkan diare serta mengeluarkan enzim yang mendorong terbentuknya senyawa karsinogenik dalam saluran pencernaan.
merugikan manusia maupun hewan. Ini disebabkan bakteri jahat hidupnya dengan cara memakan sel dinding pencernaan yang mati maupun masih hidup. Akibatnya, dinding saluran pencernaan bisa terinfeksi dan bocor (Siswono 2002). Saarela et al. (2000) strain probiotik bersifat antibakteri patogen karena senyawa antimikroba yang dihasilkan.
Selain metabolit primer seperti asam laktat, asetat dan propionat, group yang paling penting dari senyawa antimikroba bakteri probiotik dikenal sebagai bakteriosin, suatu metabolit sekunder, peptida berberat molekul tinggi. Senyawa antimikroba lainnya merupakan metabolit dengan berat molekul rendah seperti hidrogen peroksida, diasetil, dan asam organik lainnya. Pencegahan berbagai bakteri patogen untuk berkolonisasi pada saluran pencernaan, selain antimikroba yang dihasilkan probiotik juga melalui kompetisi terhadap reseptor pelekatan pada permukaan usus. Ketika bakteri probiotik terikat pada mukus usus, patogen tidak dapat tempat lagi untuk melekat, sehingga mengurangi kesempatan menginfeksi usus. Lebih lanjut, kandungan saluran pencernaan yang kaya akan nutrisi untuk mikroba, persaingan dalam mendapatkan nutrisi antara bakteri probiotik dan patogen bisa mengurangi kemampuan mendominasi saluran pencernaan.
Adhesi atau pelekatan bakteri patogen pada permukaan mukosa menjadi tahap awal infeksi saluran usus. Pelekatannya pada sel usus akan mengakibatkan kolonisasi, kerusakan sel, gangguan metabolisme pengaturan sel, dan pertumbuhan dan perkembangbiakan intraselular (Coconnier et al. 1993a). Adesin pada permukaan bakteri patogen dapat dihambat aktivitasnya dengan menghalangi reseptor pada epitelium dengan analog adesin spesifik atau steric hindrance
(Ouwehand dan Conway 1996). Itulah sebabnya probiotik dapat menyingkirkan patogen yang melekat pada lapisan mukus. Beberapa penelitian berhasil membuktikan bahwa strain probiotik mampu menghambat adhesi bakteri penyebab diare seperti Salmonella typhimurium, Escherichia coli, Listeria monocytogenes dan Yersinia pseudotuberculosis pada usus dan sel HT29-MTX (Coconnier et al. 1993a; 1993b; Hudault et al. 1997; Gopal et al. 2001).
meningkatkan kandungan antibodi (Bloksma et al. 1979), mengaktivasi sel NK (Kato et al. 1984), memfasilitasi transport antigen (Kaur et al. 2002), dan membantu perbaikan mukosa (Kirjavainen et al. 1998). Strain probiotik membantu sistem imun dengan cara sebagai berikut: 1). Modulasi sistem imun, meningkatkan produksi antibodi dan mengaktifkan makrofag, limfosit dan sel-sel imun lainnya. 2). Meningkatkan produksi musin dalam usus, sehingga meningkatkan respon imun alami. 3). Menghambat patogen dalam saluran air seni dan usus karena persaingan dalam mendapatkan nutrisi dan membentuk biosurfaktan dan molekul koagregasi yang mencegah pelekatan dan penyebaran patogen pada sel epithelial. 4). Menghasilkan senyawa antibakteri, seperti bakteriosin. 5). Menurunkan pH dengan dihasilkannya asam laktat, sehingga tidak nyaman bagi patogen untuk tumbuh. 6). Menekan aktivitas enzim penghasil amin yang toksik dan karsinogenik dari bakteri usus lainnya.
Sinbiotik
Sinbiotik didefinisikan sebagai suatu kombinasi dari prebiotik dan probiotik yang menguntungkan inang dengan meningkatkan pertahanan dan implantasi suplemen makanan yang mengandung mikroba hidup dalam pencernaan dengan secara selektif memicu pertumbuhan dan atau mengaktifkan metabolisme dari sejumlah bakteri baik sehingga meningkatkan kesehatan inang. Beberapa pendekatan yang dapat memberikan manfaat gizi bagi kesehatan diantaranya adalah meningkatkan pertahanan bakteri hidup, meningkatkan jumlah bakteri mencapai kolon dalam keadaan hidup, memicu pertumbuhan bakteri dalam kolon, dan aktivasi metabolisme bakteri. Disamping manfaat gizinya, prebiotik, probiotik dan sinbiotik mempunyai aplikasi farmasi yang potensial, seperti meningkatkan level pertumbuhan bakteri tertentu dalam saluran pencernaan yang diimplikasikan sebagai faktor pertahanan tidak saja untuk kerusakan di usus tetapi juga sistemik.
Saluran Pencernaan
Saluran pencernaan adalah pintu masuk berbagai mikroba ke dalam tubuh dan saluran pencernaan mengandung jaringan limfoid khusus yang dikenal sebagai jaringan limfoid saluran pencernaan (gut-assosiated lymphoid tissue, GALT). GALT adalah sebutan untuk MALT (mucosa-associated lymphoid tissue) di mukosa saluran pencernaan (Baratawidjaja 2002). Jaringan ini yang pertama kontak dengan komponen makanan, berbagai antigen dari makanan, bakteri 'baik' dan jahat' dan komponen lainnya dari luar tubuh. Susunan sistem saluran pencernaan umumnya mempunyai pola penyusun dasar berupa lapisan-lapisan jaringan utama lumen yang terdiri dari epitel permukaan, lapisan atau selubung yang khas, selaput lendir berotot, selaput lendir sebelah dalam, otot melingkar, otot memanjang dan getah bening. Mengarah kepermukaan jaringannya berupa lapisan-lapisan yang berlendir dan lebih ke dalam menjadi berotot dan terdapat syaraf (Amrullah 2003). Pengenalan alat pencernaan (tractus digestivus) merupakan hal penting karena alat pencernaan sangat erat hubungannya dengan penggunaan makanan dan zat makanan. Bermacam-macam organ dan kelenjar serta produknya terlibat dalam berbagai hal mulai dari cara pengambilan makanan, pencernaan, dan penyerapan.
Secara umum alat pencernaan berperan sebagai berikut: 1). Melindungi tubuh dari infeksi mikroba, 2). Menyalurkan makanan yang ditelan, 3). Melarutkan/merombak makanan melalui proses pencernaan mekanis, hidrolitis/enzimatis dan fermentatif (pada hewan tertentu), dan 4). Menyerap zat makanan dan mengeluarkan bahan yang tidak dicerna (Despal et al. 2007). Pada dasarnya alat pencernaan hewan hampir sama yaitu terdiri dari mulut, lambung (perut), usus halus dan usus besar, namun pada perkembangan selanjutnya terjadi modifikasi alat pencernaan yang disesuaikan dengan jenis makanan yang mengakibatkan tipe, fungsi dan sistem pencernaannya menjadi berbeda. Hubungan antara jenis makanan dengan alat pencernaan demikian eratnya sehingga hewan dapat digolongkan menurut jenis makanannya atau tipe alat pencernaannya serta proses pencernaannya.
pencernaannya terdiri dari mulut, esophagus, perut, usus halus, usus besar dan rektum. Sistem pencernaannya disebut simple monogastric system. Berbeda dengan hewan mamalia tipe alat pencernaan unggas sangat spesifik. Saluran pencernaan pada unggas yang baru ditetaskan umumnya steril. Sesaat setelah menetas unggas yang masih muda secara alami mikroflora saluran pencernaannya berkembang melalui kontaminasi dari material feses yang berasal dari ayam dewasa. Faktor lain yang berpengaruh yaitu transfer mikroba dari induk pada anak, dan kontak dengan bakteri dari lingkungan. Saluran pencernaan unggas apabila dilihat dari aspek mikrobiologis dapat dikelompokkan menjadi lima bagian yaitu tembolok (crop), rempela, usus halus, sekum, kolon, dan kloaka.
Gambar 2. pH organ dan saluran pencernaan broiler
terjadi proses emulsifikasi lemak sehingga bahan ini mudah dicerna oleh enzim tertentu dan lebih mudah untuk diserap oleh usus.
Usus
Usus terdiri dari usus halus dan usus besar (Denbow 2000). Usus halus terdiri atas duodenum, jejunum dan ileum. Usus besar terdiri atas sekum dan rektum/kolon. Panjang usus pada unggas lebih pendek daripada usus mamalia. Usus mempunyai 4 lapisan fungsional yaitu mukosa, submukosa, tunika muskularis dan serosa (Denbow 2000; Sturkie 1998). Mukosa terbagi menjadi 3 yaitu lapisan epitel, lamina propia dan muskularis mukosa. Submukosa merupakan jaringan kolagen longgar dan mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe dan saraf. Tunika muskularis terdiri atas otot polos yang tersebar sebagai lapisan sirkular dan longitudinal. Serosa atau tunika adventisia adalah lapisan terluar terdiri atas jaringan ikat longgar, mengandung pembuluh darah dan saraf.
Bentuk mukosa usus tersusun ke dalam tonjolan berbentuk jari yang disebut villi untuk memperluas daerah permukaan (Denbow 2000; Sturkie 1998). Pada permukaan epitel villi terdapat mikrovilli yang merupakan penjuluran sitoplasma yang dapat meningkatkan efisiensi penyerapan nutrisi. Mukosa usus halus dikarakterisasi dengan adanya kripta lieberkuhn. Pada lapisan epitel juga terdapat sel goblet penghasil mukus. Usus menghasilkan beberapa enzim pencernaan antara lain enterokinase, lipase dan peptidase
(Denbow 2000). Seperti pankreas, usus menghasilkan amilase. Amilase
terdapat dalam jumlah kecil pada usus halus, dimana 80% aktivitasnya berlangsung di jejunum.
Usus Halus
bentuknya mendatar seperti daun. Setiap villi mengandung sebuah arteriol, venule dan lacteal. Usus halus terbagi menjadi tiga bagian yaitu duodenum pada bagian depan, jejenum bagian tengah dan ileum bagian belakang. Pada usus halus proses pencernaan secara kimiawi berlangsung serta memegang peran penting dalam transfer nutrisi dari lumen usus k