• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penentuan tingkat kerentanan dan karakteristik curah hujan pada penyakit diare (Studi Kasus: Kabupaten Bogor)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penentuan tingkat kerentanan dan karakteristik curah hujan pada penyakit diare (Studi Kasus: Kabupaten Bogor)"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

PENENTUAN TINGKAT KERENTANAN DAN

KARAKTERISTIK CURAH HUJAN PADA PENYAKIT DIARE

(Studi Kasus : Kabupaten Bogor)

MUHAMMAD SYAFEI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penentuan tingkat kerentanan dan karakteristik curah hujan pada penyakit diare (studi kasus: Kabupaten Bogor) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Muhammad Syafei

(4)

ABSTRAK

MUHAMMAD SYAFEI. Penentuan Tingkat Kerentanan dan Karakteristik Curah Hujan Pada Penyakit Diare (Studi Kasus: Kabupaten Bogor). Dibimbing oleh RINI HIDAYATI.

Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang seperti Indonesia karena morbiditas dan mortalitas-nya yang masih tinggi. Penentuan dan pemetaan tingkat kerentanan wilayah serta karakteristik curah hujan penting untuk dilakukan guna mengetahui wilayah-wilayah dan kondisi curah hujan yang rentan sehingga dapat digunakan untuk mengantisipasi kejadian penyakit diare. Penentuan kategori IR diare dilakukan berdasarkan angka normal IR diare oleh DINKES kabupaten Bogor yaitu sebesar 20-25/1000 penduduk pertahun, sedangkan penentuan kategori curah hujan dilakukan berdasarkan pertimbangan klasifikasi iklim Oldeman. Hasil analisis berdasarkan nilai IR rata-rata tahunan, terdapat 2 kecamatan dengan tingkat kerentanan yang sangat tinggi yaitu kecamatan Cisarua dan Cijeruk, sedangkan untuk wilayah lainnya tingkat kerentanan penyakit diare berada pada tingkat sedang. Curah hujan berkorelasi linear negatif nyata terhadap angka kejadian diare di kecamatan Cisarua, Cibinong, Jonggol, dan Jasinga. Di kecamatan Cibinong, Jonggol, dan Jasinga, curah hujan yang harus diwaspadai terhadap tingginya kejadian diare berada pada kisaran 100-200 mm/bulan, sedangkan di kecamatan Cisarua berada pada kisaran 300-400 mm/bulan.

(5)

ABSTRACT

MUHAMMAD SYAFEI. Determination of Vulnerability Level and Characterics of Precipitation For Diarrhea (Case Study: Bogor Regency). Supervised by RINI HIDAYATI.

Diarrheal disease remains a public health problem in developing countries such as Indonesia because of its morbidity and mortality are still high. Determination and mapping the vulnerability of the region and precipitation characteristics are important to be analyse in order to determine the vulnarable areas and rainfall condition so that it can be used to anticipate the incidence of diarrheal diseases. Determination category of normal rate of diarrhea IR is based on diarrhea IR by DINKES Bogor in the amount of 20-25 / 1000 population per year, whereas the determination of precipitation category is based on consideration of Oldeman climate classification. The results of the analysis based on the value of the average annual IR, there are two districts with very high levels of vulnerability, namely districts Cisarua and Cijeruk, while for other regions, diarrheal disease vulnerablity rates are at a moderate level. The correlation of the precipitation is significant negative linear to the incidence of diarrhea in the district Cisarua, Cibinong, Jonggol, and Jasinga. In districts Cibinong, Jonggol, and Jasinga, precipitation should be anticipated as the high incidence of diarrhea that is in the range of 100-200 mm/month, while in the district Cisarua, is in the range of 300-400 mm/month.

(6)
(7)

1

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

PENENTUAN TINGKAT KERENTANAN DAN

KARAKTERISTIK CURAH HUJAN PADA PENYAKIT DIARE

(Studi Kasus : Kabupaten Bogor)

MUHAMMAD SYAFEI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Penentuan tingkat kerentanan dan karakteristik curah hujan pada penyakit diare (Studi Kasus: Kabupaten Bogor)

Nama : Muhammad Syafei NIM : G24100068

Disetujui oleh

Diketahui oleh

Dr Ir Tania June, MSc Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

(10)

PRAKATA

Alhamdulillah Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu

wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini ialah biometeorologi, dengan judul Penentuan tingkat kerentanan dan karakteristik curah hujan pada penyakit diare (Studi Kasus: Kabupaten Bogor).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Rini Hidayati, MS selaku pembimbing skripsi, serta Bapak Sonni Setiawan, SSi MSi yang telah banyak memberi saran selaku pembimbing akademik dan dosen pengajar lainnya yang telah memberi bayak ilmu kepada penulis. Selain itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala Stasiun Klimatologi Klas I Dramaga beserta staf, Kepala PSDA Bogor beserta staf, serta Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor beserta staf yang telah membantu selama pengumpulan data.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada keluarga tersayang dan tercinta, kepada Almarhum ayahanda tercinta Munir Chan WB, BSW dan ibunda tercinta Kurniyah, kakak-kakak dan adik yang paling penulis sayangi, serta seluruh keluarga, atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya kepada penulis. Tak lupa ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada teman-teman semua yang telah banyak menemani, memberi dukungan, semangat dan masukan, serta membantu penulis dalam meyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sampaikan satu persatu. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman seperjuangan dan satu bimbingan Muhjidin Hertanto.

Akhir kata penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan untuk perbaikan di masa yang akan datang. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak dan berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Amin.

Bogor, Agustus 2014

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

METODE 2

Waktu dan Tempat Penelitian 2

Bahan 2

Alat 2

Prosedur Analisis Data 2

HASIL DAN PEMBAHASAN 4

Wilayah Kajian 4

Pengaruh Ketinggian Terhadap Penyakit Diare 5

Penentuan dan Pemetaan Tingkat Kerentanan Wilayah 8 Korelasi Curah Hujan Bulanan Terhadap Penyakit Diare 10 Variasi Curah Hujan dan IR Diare Tahun 2004-2013 11 Karakteristik Curah Hujan Terhadap Penyakit Diare 12

SIMPULAN DAN SARAN 16

Simpulan 16

Saran 17

DAFTAR PUSTAKA 17

LAMPIRAN 19

(12)

DAFTAR TABEL

1 Rata-rata curah hujan tahunan kecamatan kajian 5

2 Ketinggian tempat dan rataan IR bulanan setiap kecamatan tahun

2004-2013 5

3 Kepadatan penduduk dan rataan IR bulanan kecamatan dengan ketinggian >600 mdpl (cetak miring) dan ketinggan <600 mdpl 6 4 Kisaran nilai IR untuk menentukan kategori tingkat kerentanan

kecamatan 8

5 Tingkat kerentanan wilayah berdasarkan rata-rata IR tahunan beberapa

kecamatan di Kabupaten Bogor tahun 2004-2013 8

6 Korelasi curah hujan bulanan IR diare 11

7 Kategori dan kisaran curah hujan bulanan 14

DAFTAR GAMBAR

1 Hubungan ketinggian tempat dengan IR diare beberapa kecamatan di

Kabupaten Bogor tahun 2004-2013 6

2 Peta tingkat kerentanan wilayah terhadap penyakit diare di beberapa

kecamatan d Kabupaten Bogor tahun 2004-2013 10

3 Plot bulanan curah hujan dan IR diare kecamatan dengan korelasi nyata

(a) dan tidak nyata (b) tahun 2004-2013 14

4 Pola IR terhadap kategori curah hujan kecamatan Cisarua (a), Cibinong (b), Jonggol (c), dan Jasinga (d) tahun 2004-2013 15

DAFTAR LAMPIRAN

1 Diagram alir penelitian 19

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Diare merupakan salah satu penyakit yang antara lain dapat ditularkan melalui air dan makanan. Penyakit diare dapat terjadi melalui transmisi faecal oral, sumber patogen berasal dari kotoran manusia atau hewan dan sampai kepada manusia secara tidak langsung melalui makanan dan minuman. Transmisi dapat terjadi melalui tangan, lalat, tanah, air permukaan, tempat sampah, saluran pembungan air limbah, hingga pembuangan tinja (KEMENKES 2011).

Di negara berkembang, sumber air bersih merupakan prioritas utama bagi masyarakat. Salah satu faktor penyebab terjadinya penyakit diare adalah kurangnya ketersediaan air bersih (Singh et al. 2001). Selain sumber air bersih, pengaruh cuaca juga merupakan salah satu faktor yang berperan dalam penularan penyakit terutama untuk penyakit menular termasuk diare (Bennet et al. 2012). Musim penghujan dengan terjadinya banjir merupakan puncak terjadinya penyakit diare dan musim kemarau juga menunjukkan adanya hubungan dengan kejadian penyakit diare.

Di Indonesia dari tahun 2000 hingga 2010, kejadian diare terus mengalami peningkatan. Pada Tahun 2010 tercatat terjadi 411/1000 penduduk dan terjadi KLB diare di 33 kecamatan dengan jumlah penderita 4,204 dengan kematian 73 orang (CFR 1.74 %.). Kejadian Luar Biasa (KLB) diare juga masih sering terjadi, dengan case fatality rate (CFR) yang masih tinggi (KEMENKES 2011).

Penyakit diare di Kabupaten Bogor pada tahun 2010, menunjukkan angka kejadian diare tinggi, diatas 31/1000 penduduk pertahun (standar 20-25/1000 penduduk pertahun). Pada saat tersebut, terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) diare di Kecamatan Megamendung dengan jumlah kasus diare 110 orang dengan kematian 2 orang dan case fatality rate (CFR) 1.82%. Kejadian Luar Biasa (KLB) diare menimbulkan jumlah penderita dan kematian yang besar, terutama disebabkan infeksi keracunan makanan, sanitasi yang buruk, higiene makanan dan pasokan air (DINKES 2010).

Penelitian yang dilakukan Lapan (2009), menunjukkan adanya hubungan antara organisme yang dapat menyebabkan penyakit seperti E.Coli dengan pola hujan. Dalam penelitian Kelly-Hole et al. (2007) di Vietnam menemukan bahwa bakteri yang menyebabkan penyakit saluran pencernaan memperlihatkan mengikuti pola musim. Penelitian yang dilakukan oleh Checkley et al. (2000) juga menunjukkan adanya pola penyakit diare mengikuti pola musim.

Berdasarkan dugaan hubungan antara keadaan iklim dan peningkatan kasus penyakit diare, diperlukan analisis lebih lanjut mengenai ambang batas kondisi iklim. Peta kerawanan penyakit diare diharapkan dapat menjadi bahan informasi dini dalam upaya mengurangi jumlah kejadian penyakit diare terutama di Kabupaten Bogor.

Tujuan Penelitian

(14)

2

2. Memetakan tingkat kerentanan wilayah penyakit diare beberapa kecamatan di Kabupaten Bogor tahun 2004-2013.

3. Mengetahui karakteristik curah hujan yang mendukung kejadian penyakit diare.

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Maret sampai dengan Juni 2014 di Laboratorium Klimatologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini mencakup pengumpulan data, pengolahan data, studi literatur dan pembuatan laporan.

Bahan

Bahan-bahan yang digunakan adalah sebagai berikut :

 Data jumlah kasus diare di Kabupaten Bogor tahun 2004 sampai 2013 (Sumber: Unit Suveilan Epidemiologi Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor)

 Data iklim (curah hujan dan suhu udara) Kabupaten Bogor tahun 2004 sampai 2013 (Sumber: BMKG dan PSDA Bogor)

 Demografi Kabupaten Bogor (Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bogor)

 Data ketinggian tempat (Sumber: Citra satelit (SRTM) DEM 90)

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer beserta perangkat lunak pembantu. Perangkat lunak yang digunakan adalah program MiniTab 16 dan ArcMap. Digunakan juga Microsoft Office 2010 sebagai perangkat lunak pengolah data.

Prosedur Analisis Data

Pengamatan Data Iklim

(15)

3

hilang diisi dengan rata-rata aritmatik sederhana dari data stasiun-stasiun pembanding dan apabila perbedaannya >10%, maka data hilang tersebut dapat dicari dengan rumus:

dimana data di stasiun A hilang.

Pengamatan Penyakit Diare

Jumlah kasus diare dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari unit surveilan epidemiologi Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor. Data ini diperoleh dari puskesmas-puskesmas yang terdapat di wilayah Kabupaten Bogor dan survei langsung ke masyarakat. Data diare yang digunakan merupakan data bulanan di setiap kecamatan dari hasil penjumlahan kasus diare di puskesmas-puskesmas yang ada di kecamatan tersebut.

Pengolahan dan Analisis Data

o Penentuan angka kejadian penyakit

Angka kejadian penyakit (IR) diare ditentukan berdasarkan persamaan berikut:

IR =

x 1000

o Pengaruh ketinggian terhadap diare

Ketinggian tempat dicari dengan menggunakan citra satelit (SRTM) DEM 90. Dari data citra DEM 90, diturunkan menjadi data ketinggian wilayah dalam format (shp) pada setiap kecamatan kajian. Data ketinggian wilayah kemudian ditentukan rata-rata ketinggian tempat masing-masing kecamatan. Penentuan ketinggian wilayah selanjutnya dibagi menjadi 2 wilayah ketinggian, yaitu wilayah dengan ketinggian diatas 600 mdpl dan wilayah dengan ketinggian di bawah 600 mdpl. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui faktor dominan yang mempengaruhi kejadian diare di 2 wilayah ketinggian.

o Penyusunan dan pemetaan tingkat kerentanan wilayah

(16)

4

per tahun (DEPKES 2012). Penentuan nilai IR kecamatan rata-rata tahunan dilakukan dengan menjumlahkan IR bulanan dari bulan januari sampai desember, kemudian merata-ratakan jumlah IR tahunan tersebut selama 10 tahun (2004-2013). Penentuan nilai IR tahunan ini dilakukan di masing-masing kecamatan kajian. Setelah mendapatkan tingkat kerentanan di masing-masing wilayah maka dilakukan pemetaan dengan menggunakan ArcMap.

o Korelasi dan variasi curah hujan terhadap diare

Nilai IR bulanan dan curah hujan dirata-ratakan setiap bulan selama 10 tahun (2004-2013) sehingga didapatkan nilai IR rata-rata bulanan dan curah hujan rata-rata bulanan selama 10 tahun. Kemudian kedua parameter tersebut diplotkan menggunakan Minitab 14 pada masing-masing kecamatan. Penentuan korelasi selanjutnya disajikan dalam nilai koefisien korelasi (r) dan nilai uji P. Variasi curah hujan dan IR diare ditentukan dengan memplotkan data curah hujan dan IR diare kedalam grafik setiap bulan selama 10 tahun (2004-2013) di masing-masing kecamatanan.

o Penentuan karakteristik kondisi iklim (curah hujan) terhadap diare

Penentuan karakteristik kondisi iklim terhadap diare dilakukan di 4 kecamatan yang menunjukkan korelasi dan pengaruh nyata curah hujan terhadap diare, yaitu dari kecamatan di mana korelasi hujan dan IR diare nyata. Curah hujan dibuat menjadi 5 kategori yaitu curah hujan <100 mm/bulan, 100-200 mm/bulan, 200-300 mm/bulan, 300-400 mm/bulan dan >400 mm/bulan. Pengkategorian curah hujan ini mempertimbangkan batasan curah hujan pada klasifikasi iklim Oldeman dimana bulan kering <100 mm/bulan dan bulan basah >200 mm/bulan.

Selanjutnya ditentukan frekuensi IR dominan atau terbanyak terhadap kategori curah hujan di masing-masing kecamatan. Penentuan frekuensi IR terbanyak ini dimaksudkan untuk mengetahui karakteristik kondisi curah hujan yang berpengaruh terhadap tinggi atau rendahnya kejadian diare di 4 kecamatan tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Wilayah Kajian

Wilayah Kabupaten Bogor termasuk dalam wilayah administratif Propinsi Jawa Barat yang terletak di dataran rendah bagian utara. Kabupaten Bogor terletak diantara 6019’ – 6047’ LS dan 106021’ – 107013’ BT dengan ketinggian tempat berkisar dari 15 mdpl pada daratan di bagian utara hingga 2,500 mdpl pada puncak puncak gunung di bagian selatan.

(17)

5

2,500 mdpl. Selain itu, kondisi morfologi Kabupaten Bogor sebagian besar berupa dataran tinggi, perbukitan dan pegunungan.

Wilayah Kabupaten Bogor berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson termasuk iklim dengan tipe A (sangat basah) di bagian selatan dan iklim dengan tipe B (basah) di bagian utara (Pemkab Bogor 2013). Rata-rata curah hujan tahunan di 9 kecamatan kajian sebesar 2,000–4,000 mm/tahun, kecuali di kecamatan Cigudeg dan Jonggol curah hujan kurang dari 2,500 mm/tahun (Tabel 1). Suhu rata-rata di wilayah Kabupaten Bogor adalah 20°- 30°C, dengan rata-rata tahunan sebesar 25°C. Kelembaban udara 70% dan kecepatan angin cukup rendah, dengan rata–rata 1.2 m/detik dengan evaporasi di daerah terbuka rata– rata sebesar 146.2 mm/bulan (Pemkab Bogor 2013).

Tabel 1 Rata-rata curah hujan tahunan kecamatan kajian

Kecamatan Rata-rata curah hujan tahunan (mm/thn)

Cisarua 3,836

Cijeruk 3,132

Leuwiliang 3,401

Cigudeg 2,394

Ciampea 3,627

Cibinong 3,060

Jonggol 2,109

Jasinga 2,592

Cileungsi 3,013

Pengaruh Ketinggian Terhadap Penyakit Diare

Perbedaan ketinggian antara satu wilayah dengan wilayah lainnya dapat menyebabkan terjadinya perbedaan suhu diantara keduanya. Wilayah dengan ketinggian tempat yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lain memiliki suhu udara yang lebih rendah. WHO (2004) dalam Kolstad & Johansson (2011) memperkirakan bahwa peningkatan suhu 10C akan menyebabkan peningkatan kasus diare sebesar 5% dan diestimasikan perubahan suhu sebesar 10C menyebabkan peningkatan kasus diare sebesar 0-10%. Dalam penelitian yang dilakukan Kovats et al. (2003) menemukan adanya korelasi positif antara kenaikan suhu dan perkembangan salmonella, dimana salmonella merupakan bakteri yang menyebabkan diare.

Tabel 2 Ketinggian tempat dan rataan IR bulanan setiap kecamatan tahun 2004-2013

Kecamatan Ketinggian (mdpl) Rataan ketinggian/ h Rataan IR

Cisarua 600-1,800 1,174 3.80

Cijeruk 300-1,300 635 4.57

Leuwiliang 100-1,300 515 2.01

Cigudeg 50-900 320 2.24

(18)

6

Kecamatan Ketinggian (mdpl) Rataan ketinggian/ h Rataan IR

Cibinong 100-300 200 2.19

Jonggol 50-600 187 1.92

Jasinga 50-300 130 2.99

Cileungsi 50-300 118 2.12

Secara rata-rata, hasil analisis menunjukkan kejadian berkebalikan dengan penelitian yang dilakukakan oleh Kolstad & Johansson (2011) dan Kovats et al. (2003). Angka kejadian diare cederung mengalami peningkatan menurut ketinggian wilayah (Tabel 2). Akan tetapi, setelah dilakukan pembagian terhadap kecamatan yang memiliki ketinggian >600 mdpl dan kecamatan dengan ketinggian <600 mdpl maka hasil yang didapatkan sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya (Tabel 3 dan Gambar 1), yaitu kejadian diare meningkat pada wilayah yang lebih rendah atau suhu tinggi.

Tabel 3 Kepadatan penduduk dan rataan IR bulanan kecamatan dengan ketinggian >600 mdpl (cetak miring) dan ketinggan <600 mdpl

Kecamatan Rataan h (mdpl) Kepadatan Penduduk Rataan IR

Cisarua 1,174 1,594 3.80

Cijeruk 635 913 4.57

Leuwiliang 515 987 2.01

Cigudeg 320 676 2.24

Ciampea 205 4,709 2.40

Cibinong 200 6,173 2.19

Jonggol 187 847 1.92

Jasinga 130 779 2.99

Cileungsi 118 2,555 2.12

Gambar 1 Hubungan ketinggian tempat dengan IR diare beberapa kecamatan di Kabupaten Bogor tahun 2004-2013

y = -0.0014x + 5.4733

y = -0.001x + 2.5143 R² = 0.162 0.00

1.00 2.00 3.00 4.00 5.00

0 500 1000 1500

IR

Ketinggian (mdpl)

(19)

7

Wilayah dengan ketinggian >600 mdpl, menunjukkan bahwa wilayah kecamatan yang lebih tinggi (Cisarua) menunjukkan kejadian diare yang lebih rendah dibandingkan dengan kecamatan yang lebih rendah (Cijeruk) (Tabel 3). Wilayah dengan ketinggian <600 mdpl juga menunjukkan hal yang sama namun dengan intensitas yang berbeda. Pada wilayah ketinggian >600 mdpl yaitu kecamatan Cisarua dan Cijeruk, kejadian diare lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah ketinggian <600 mdpl. Diduga faktor yang menyebabkan hal ini yaitu perbedaan sumber air antara keduanya. Sumber air pada ketinggian >600 mdpl lebih banyak yang berasal dari sumber air permukaan mata air (PDAM Kab. Bogor 2011). Selain itu berdasarkan data PDAM Kab. Bogor (2011) pasokan sumber air bersih pada kecamatan Cisarua dan Cijeruk yang cukup minim yakni 20 L/detik di kecamatan Cisarua dan 10 L/detik di kecamatan Cijeruk. Minimnya pasokan air bersih ini dapat mengakibatkan tingginya kejadian diare. Sumber air di dataran yang tinggi dan curam biasanya disalurkan melalui pipa-pipa yang mengalir dari rumah ke rumah, sehingga air sangat mudah tercemar oleh limbah rumah tangga. Pada ketinggian <600 mdpl, lebih banyak dilayani oleh PDAM pengelolahan lengkap atau berasal dari sumur bor yang kebersihannya lebih terjamin (PDAM Kab. Bogor 2011). Rata-rata pasokan air bersih oleh PDAM sebesar lebih dari 20 L/detik, angka ini lebih besar dibandingkan kecamatan di wilayah ketinggian >600 mdpl. Rendahnya akses masyarakat ke fasilitas pelayanan kesehatan (terbatasnya akses ke pelayanan dokter, bidan dan puskesmas) juga diduga sebagai faktor yang menyebabkan perbedaan kejadian diare. Pada wilayah >600 mdpl, berdasarkan data BPS (2013) tercatat memilki akses kesehatan yang lebih sedikit dibandingkan wilayah <600 mdpl. Di kecamatan Cisarua hanya terdapat 6 pelayanan puskesmas dan kecamatan Cijeruk terdapat 3 pelayanan puskesmas. Di kecamatan-kecamatan pada wilayah <600 mdpl, rata-rata terdapat minimal 6 pelayanan puskesmas setiap kecamatan (BPS 2013).

(20)

8

Penentuan dan Pemetaan Tingkat Kerentanan Wilayah

Angka kejadian normal diare di Kabupaten Bogor yaitu sebesar 20-25/1000 penduduk/tahun (DINKES 2010). Berdasarkan data tersebut, maka tingkat kerentanan IR wilayah dibagi menjadi 4 kategori yaitu kategori rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi (Tabel 4). Kategori sedang menunjukkan kejadian diare yang normal, kategori rendah menunjukkan kejadian diare dibawah normal atau kerentanannya sangat rendah, sedangkan kategori tinggi dan sangat tinggi menunjukkan kejadian diare diatas normal atau kerentanannya sangat tinggi dengan kata lain, di wilayah tersebut sangat mudah penyakit diare terjadi.

Tabel 4 Kisaran nilai IR untuk menentukan kategori tingkat kerentanan kecamatan

Kategori Tingkat Kerentanan Kisaran nilai IR

Rendah <20

Sedang 20-30

Tinggi 30-40

Sangat Tinggi >40

Tabel 5 Tingkat kerentanan wilayah berdasarkan rata-rata IR tahunan beberapa kecamatan di Kabupaten Bogor tahun 2004-2013

Kecamatan Rata-Rata IR Tahunan Tingkat Kerentanan

Cisarua 45.64 Sangat Tinggi

Cijeruk 54.84 Sangat Tinggi

Jasinga 35.89 Tinggi

Cigudeg 26.91 Sedang

Ciampea 28.75 Sedang

Cibinong 26.28 Sedang

Jonggol 23.00 Sedang

Leuwiliang 24.07 Sedang

Cileungsi 25.49 Sedang

Wilayah kabupaten Bogor sebagian besar dapat dikategorikan sebagai wilayah pedesaan dimana pada umumnya penyakit diare ditemukan, karena sebagian besar penduduknya berpenghasilan rendah dan tinggal jauh dari pelayanan kesehatan (Bappenas 2010), sehingga tidak ada kecamatan yang tingkat kerentanannya rendah (Tabel 5).

(21)

9

curam. Sumber air pada ketinggian >600 mdpl lebih banyak yang berasal dari sumber air permukaan mata air (PDAM Kab. Bogor 2011). Selain itu berdasarkan data PDAM Kab. Bogor (2011) pasokan sumber air bersih pada kecamatan Cisarua dan Cijeruk relatif kecil jika dibandingkan dengan kecamatan kajian lainnya yakni 20 L/detik di kecamatan Cisarua dan 10 L/detik di kecamatan Cijeruk. Minimnya pasokan air bersih ini dapat mengakibatkan tingginya kejadian diare. Selain diduga karena sumber air, kedua kecamatan ini juga menerima curah hujan bulanan yang cukup tinggi sehingga hampir setiap bulan penyakit diare kejadiannya sangat tinggi. Hasil uji statistik menunjukkan curah hujan memiliki hubungan yang bermakna terhadap kejadian kasus diare (r = 0.377, p = <0.05) (Su 2008). Kecamatan dengan nilai rata-rata IR tahunan terendah yaitu kecamatan Jonggol, dengan IR sebesar 23.00/1000 penduduk dengan tingkat kerentanan sedang. Curah hujan tahunan kecamatan Jonggol yaitu sebesar 2,109 mm/tahun termasuk kedalam curah hujan rendah bila dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Dengan curah hujan yang rendah ini mengakibatkan peluang kejadian banjir di kecamatan ini kecil, sehingga air bersih di kecamatan ini jarang tercemar oleh banjir. Selain itu kecamatan Jonggol juga termasuk dalam kecamatan yang dijadikan sebagai tempat pengembangan prasarana sumber air permukaan untuk air bersih di Kabupaten Bogor. Ketersediaan air bersih yang cukup memadai menyebabkan tingkat kerawanan penyakit diare di kecamatan ini kecil (Pemkab Bogor 2014).

Kabupaten Bogor termasuk wilayah yang cakupan air bersihnya sangat minim. Rata-rata volume limbah cair per tahun selama kurun waktu tahun 2003 sampai dengan 2007 sebanyak 314,178.92 m3/bln. Penilaian status mutu air, menunjukkan bahwa hasil kajian yang dilakukan Badan Pengendalian Hidup Daerah kualitas beberapa sungai yang melintas di Kabupaten Bogor, diantaranya Sungai Ciliwung, Sungai Cisadane, dan Sungai Cileungsi berada pada level tercemar berat (Level D) (Pemkab Bogor 2014). Menurut Singh et al (2001) kurangnya cakupan air bersih merupakan salah satu faktor penting dalam kejadian penyakit diare. Kejadian diare juga sangat dipengaruhi oleh akses terhadap sanitasi lingkungan. Beberapa faktor yang berkorelasi positif dengan kejadian kasus diare yaitu kurang baiknya sistem pembuangan sampah (Bruyn 2000). Banyaknya sampah dapat menyebabkan sanitasi lingkungan menjadi buruk. Jumlah penduduk kabupaten Bogor pada tahun 2013 yang mencapai lebih dari 5 juta penduduk terutama kecamatan Cibinong, Cileungsi dan Jasinga diestimasi menghasilkan jumlah timbulan sampah mencapai 10,290 m3/hari sedangkan kapasitas jumlah sampah yang terangkut hanya mampu sebesar 1,050 m3/hari. (Pemkab Bogor 2014) sehingga terlihat tingkat kerentanan masing-masing kecamatan dominan berada pada tingkat sedang (Tabel 5).

Peta kerentanan wilayah penyakit diare

(22)

10

setingkat menunjukkan angka yang berbeda-beda. Banyak faktor selain faktor geografi yang mempengaruhi kerentanan wilayah terhadap angka kejadian diare seperti pada sub bab pembahasan sebelumnya yaitu faktor sumber air, kepadatan penduduk, dan akses menuju sarana kesehatan yang berpengaruh pada tingkat endemik selain faktor geografis. Peta yang dihasilkan ini, yaitu peta tingkat kerentanan wilayah diharapkan dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor untuk mengatur atau membuat prioritas penanganan serta menyediakan tempat dan volume sarana dan prasarana yang sesuai dengan tingkat kebutuhan yang harus dipersiapkan untukmenanggulangi penyakit diare.

Gambar 2 Peta tingkat kerentanan wilayah terhadap penyakit diare di beberapa kecamatan di Kabupaten Bogor tahun 2004-2013

Korelasi Curah Hujan Bulanan Terhadap Penyakit Diare

(23)

11

Tabel 6 Korelasi curah hujan bulanan IR diare

Kecamatan r (Koefisien Korelasi) P-value

Cisarua -0.851 0.000

Cijeruk 0.054 0.866

Leuwiliang -0.335 0.287

Cigudeg -0.301 0.342

Ciampea -0.335 0.287

Cibinong -0.558 0.059

Jonggol -0.536 0.073

Jasinga -0.709 0.010

Cileungsi -0.085 0.793

Dari hasil analisis korelasi diperoleh informasi bahwa hampir di semua kecamatan kecuali Cijeruk, IR diare berkorelasi linear negatif dengan curah hujan. Terdapat 4 kecamatan yang curah hujannya berkorelasi nyata dengan kejadian diare, diantaranya yaitu kecamatan Cisarua, Cibinong, Jonggol, dan Jasinga (Tabel 6). Keempat kecamatan tersebut masing-masing memiliki nilai koefisien korelasi (r) sebesar -0.851; -0.558; -0.536 dan -0.709 dengan nilai uji p <0.10. Berdasarkan nilai r (koefisen korelasi), didapatkan informasi bahwa keempat kecamatan tersebut memiliki korelasi linear negatif artinya apabila curah hujan tinggi maka kejadian penyakit diare justru mengalami penurunan dengan pengaruh nyata <0.10. Kecamatan Cijeruk, Leuwiliang, Cigudeg, Ciampea dan Cileungsi tidak memiliki pengaruh nyata antara curah hujan dengan kejadian penyakit diare hal ini dapat terlihat dari nilai r (koefisien korelasi) dan nilai uji P (Tabel 6). Pada kecamatan-kecamatan tersebut lebih banyak faktor lain yang mempengaruhi kejadian diare, diduga antara lain kondisi lingkungan dan perilaku penduduk setempat. Berdasarkan analisis korelasi menunjukkan bahwa data yang ada pada wilayah dan periode penelitian baru bisa menangkap kondisi seperti ini, akan tetapi berdasarkan plot antara curah hujan bulanan dengan kejadian diare menunjukkan kondisi hujan yang tinggi yang diikuti oleh kejadian diare tinggi sesekali terjadi namun tidak konsisten.

Variasi Curah Hujan dan IR Diare Tahun 2004-2013

(24)

12

Oscilation Index) sebesar -10.4 di bulan Juni. Pada umumnya jika nilai negatif

SOI pada suatu peristiwa El-Nino mencapai -10 atau kurang maka dapat dipastikan akan terjadi penurunan curah hujan dibawah normal (Fox 2000). Pada tahun tersebut curah hujan yang rendah menyebabkan kekurangan pasokan air sehingga sanitasi lingkungan buruk yang berdampak pada tingginya angka kejadian diare. El-nino berkaitan dengan variabilitas iklim di suatu wilayah yang berakibat pada tinggi atau rendahnya kejadian diare di wilayah tersebut (Bennet et al 2012). Fluktuasi kejadian IR terhadap curah hujan lebih terlihat jelas, dimana kondisi curah hujan yang tinggi menyebabkan kejadian IR rendah. Hal ini terlihat jelas karena pola curah hujan di kecamatan Cisarua menunjukkan fluktuasi yang tinggi dan lebih jelas antara curah hujan yang tinggi dan curah hujan rendahnya, dimana pada bulan Desember-Januari curah hujan tinggi sedangkan bulan Juni-Agustus curah hujan rendah. Hal sama juga terlihat di kecamatan Cibinong, Jonggol, dan Jasinga namun dengan intensitas yang berbeda. Hal ini membuktikan bahwa di 4 kecamatan yang telah di bahas sebelumnya menunjukkan nilai koefisien korelasi yang tinggi dengan pengaruh yang nyata dibandingkan kecamatan lainnya, koefisien korelasi menunjukkan nilai negatif artinya apabila curah hujan tinggi maka kejadian diare rendah.

Sementara di kecamatan lainnya, seperti kecamatan Leuwiliang, Ciampea dan Cigudeg menunjukkan fluktuasi IR diare yang cukup tinggi, namun antara IR diare dengan curah hujan tidak menunjukkan bentuk yang jelas, dengan kata lain tidak ada pengaruh nyata antara keduanya. Sementara pada kecamatan Cijeruk dan Cileungsi, fluktuasi IR diare tidak begitu tinggi sehingga bentuk yang dihasilkan dari grafik antara IR diare dan curah hujan tidak menunjukkan adanya hubungan yang nyata (Lampiran 4). Hal ini dibuktikan juga pada sub bab sebelumnya dimana kecamatan Cijeruk, Ciampea, Cigudeg, Cileungsi, dan Leuwiliang memiliki korelasi negatif linear tetapi tidak menunjukkan pengaruh nyata antara IR diare dan curah hujan. Pada kecamatan-kecamatan tersebut lebih banyak faktor lain yang mempengaruhi kejadian diare salah satunya yaitu kondisi lingkungan dan perilaku penduduk.

Karakteristik Curah Hujan Terhadap Penyakit Diare

(25)

13

Jan Mar Mei Jul Sep Nop

CH

Jan Mar Mei Jul Sep Nop

CH

Jan Mar Mei Jul Sep Nop

CH

Jan Mar Mei Jul Sep Nop

CH

Jan Mar Mei Jul Sep Nop

CH

Jan Mar Mei Jul Sep Nop

CH

Jan Mar Mei Jul Sep Nop

(26)

14

(b)

Gambar 3 Plot bulanan curah hujan dan IR diare kecamatan dengan korelasi nyata (a) dan tidak nyata (b) tahun 2004-2013

Curah hujan dibuat dalam 5 kategori yaitu curah hujan dengan kisaran <100 mm, 100-200 mm, 200-300 mm, 300-400 mm, dan <400 mm, dimaksudkan untuk mengetahui kisaran curah hujan yang menyebabkan tinggi atau rendahnya kejadian diare (Tabel 7). Pengkategorian curah hujan ini dilakukan dengan mempertimbangkan batasan curah hujan pada klasifikasi iklim Oldeman dimana curah hujan <100 mm/bulan termasuk curah hujan rendah atau bulan kering dan >200 mm/bulan termasuk curah hujan tinggi atau bulan basah. Kabupaten Bogor termasuk kedalam wilayah yang basah yang memiliki curah hujan yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya.

Tabel 7 Kategori dan kisaran curah hujan bulanan

Kategori Kisaran Curah Hujan (mm)

Rendah <100

Agak Rendah 100-200

Sedang 200-300

Agak Tinggi 300-400

Tinggi >400

Jan Mar Mei Jul Sep Nop

CH

<100 100-200 200-300 300-400 >400

IR

(27)

15

(b)

(c)

(d)

Gambar 4 Pola IR terhadap kategori curah hujan kecamatan Cisarua (a), Cibinong (b), Jonggol (c), dan Jasinga (d) tahun 2004-2013

Kejadian diare terhadap curah hujan menunjukkan pola yang berbeda-beda di kecamatan Cisarua, Cibinong, Jonggol, dan Jasinga. Pola yang terbentuk dibuat berdasarkan frekuensi terbanyak dari kategori IR terhadap kategori curah hujan dan di setiap kecamatan menunjukkan frekuensi kategori IR yang berbeda-beda (Gambar 4). Frekuensi kategori IR yang berbeda ini disebabkan karena perbedaan faktor iklim dan non iklim.

0

<100 100-200 200-300 300-400 >400

IR

CH (mm/bln) Agak Rendah Sedang

<100 100-200 200-300 300-400 >400

IR

CH (mm/bln) Agak Rendah Sedang

<100 100-200 200-300 300-400 >400

IR

CH (mm/bln) Sedang

(28)

16

Di kecamatan Cisarua, frekuensi kategori IR terbanyak yaitu kategori agak tinggi dan tinggi, dengan kata lain jumlah penderita diare di kecamatan Cisarua menunjukkan angka yang tinggi. Frekuensi kategori IR agak tinggi paling sering terjadi pada saat kondisi curah hujan rendah (<100 mm/bulan) dan curah hujan tinggi (>400 mm/bulan), sedangkan frekuensi kategori IR tinggi paling sering terjadi pada kondisi curah hujan agak tinggi (300-400 mm/bulan).

Di kecamatan Cibinong dan Jonggol, frekuensi kategori IR terbanyak yaitu kategori agak rendah dan sedang, dengan kata lain jumlah penderita diare di kecamatan Cibinong dan Jonggol menunjukkan angka rata-rata yang tidak tinggi sehingga kejadian luar biasa diare di kedua kecamatan ini tidak menjadi masalah yang sering dihadapi. Di kecamatan Cibinong, frekuensi kategori IR agak rendah menunjukkan bahwa kejadian diare kategori ini paling sering terjadi pada saat kondisi curah hujan rendah (100-200 mm/bulan), sedangkan frekuensi IR pada kategori sedang paling sering terjadi pada kondisi curah hujan sedang (200-300 mm/bulan). Di kecamatan Jonggol frekuensi kategori IR agak rendah dan sedang paling sering terjadi pada saat kondisi curah hujan rendah (100-200 mm/bulan).

Di kecamatan Jasinga, frekuensi kategori IR terbanyak adalah kategori sedang dan agak tinggi. Frekuensi kategori IR sedang dan agak tinggi paling sering terjadi pada saat kondisi curah hujan rendah (100-200 mm/bulan). Di empat kecamatan yang dikaji diketahui kejadian diare tinggi dominan terjadi pada curah hujan rendah, sedangkan di kecamatan Cisarua, kejadian diare tinggi bisa terjadi pada kondisi curah hujan rendah dan tinggi. Bennet et al (2012) menjelaskan bahwa musim penghujan dengan terjadinya banjir merupakan puncak terjadinya penyakit diare serta musim kemarau juga menunjukkan adanya hubungan dengan kejadian penyakit diare.

Jadi karakteristik curah hujan yang menyebabkan kasus atau kategori diare tinggi berbeda antar kecamatan, diduga karena perbedaan geografi yang menyebabkan perbadaan kondisi cuaca (curah hujan) di masing-masing kecamatan. Jumlah hari hujan diduga juga merupakan unsur iklim penting dalam proses perkembangan jumlah kasus diare, tetapi karena data hari hujan tidak tersedia maka data ini tidak dapat dianalisis. Jika tersedia data hujan harian, diduga akan menghasilkan hasil analisis yang lebih tajam dibandingkan jika menggunakan data hujan bulanan karena perkembangan bakteri dan virus sangat tergantung dari kondisi iklim harian suatu wilayah. Vektor penyebab penyakit diare juga perkembangannya sangat bergantung pada kondisi iklim harian.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

(29)

17

ketinggian tempat dan curah hujan. Pada ketinggian >600 mdpl, kejadian diare berkurang dengan bertambahnya ketinggian, hal yang sama juga terjadi pada ketinggian <600 mdpl tetapi dengan intensitas yang berbeda. Korelasi curah hujan nyata terhadap angka kejadian diare di kabupaten Bogor hanya terlihat di kecamatan Cisarua, Cibinong, Jonggol, dan Jasinga, masing-masing memiliki nilai koefisien korelasi sebesar -0.851; -0.558; -0.536 dan -0.709 dengan nilai uji p <0.10. Curah hujan berkorelasi linear negatif dengan diare artinya semakin tinggi curah hujan maka kejadian diare semakin rendah. Di kecamatan Cibinong, Jonggol, dan Jasinga, curah hujan yang harus diwaspadai terhadap tingginya kejadian diare berada pada kisaran 100-200 mm/bulan. Sedangkan di kecamatan Cisarua berada pada kisaran 300-400 mm/bulan.

Saran

Penelitian selanjutnya diharapkan dapat dilengkapi dengan data parameter iklim lain seperti jumlah hari hujan, suhu udara dan kelembaban udara, juga diperlukan data iklim harian sehingga hasil yang didapatkan lebih baik. Perlu ditambahkan mengenai karakteristik wilayah dan sosial pada wilayah kajian dengan survei langsung atau dengan menggunakan kuisioner, sehingga diketahui pengaruh faktor lain selain faktor iklim.

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi UF. 2008. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta (ID): UI Pr. [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2010. Indonesia Climate

Change Sectoral Roadmap (ICCSR) Sektor Kesehatan. Jakarta : Bappenas.

Bennet A, Leonardo DE, Robert HG, Vitaliano C, Caryn , Lilia C, Andres GL, Jonathan P, Cesar C, Charles RS Dan William C. 2012. Effects of the 1997– 1998 El Nino episode on community rates of diarrhea. American Journal of

Public Health 102 (7): 63-69.

[BOM] Australian Government Bureau of Meteorology. 2008. Southern

Oscillation Index (SOI). [internet].[diacu Agustus 2014].Tersedia dari

http://www.bom.gov.au

[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. 2013. Kabupaten Bogor Dalam

Angka 2013. Bogor : BPS.

Bruyn DG. 2000. Infectious disease : Diarrhea. Western Journal of Medicine 177: 409-412.

Checkley W, Epstein LD, Gilman RH, Figueroa D, Cama RI dan Patz JA. 2000. Effects of El Nino and ambient temperature on hospital admissions for diarrhoeal diseases in Peru. The Lancet 355: 442-450.

[DINKES] Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor. 2010. Profil Kesehatan

Kabupaten Bogor. Bogor : DINKES.

(30)

18

Hidayati R, Boer R, Koesmaryono Y, Kesumawati U, Manuwoto S. 2009. Penyusunan metode penentuan indeks kerawanan wilayah dan pemetaan wilayah rentan penyakit demam berdarah di indonesia. J Ekologi Kesehatan 8 (4) : 1066-1076.

Kelly-Hole LA, Alonso WJ, Thiem VD, Canh DG, Anh DC, Lee H dan Miller MA. 2007. Temporal trends and climatic factors associated bacterial enteric diseases in vietnam 1991-2001. Environmental Health Perspectives 116: 7-12. [KEMENKES] Kementerian Kesehatan. 2011. Situasi Diare di Indonesia. Buletin

Jendela dan Informasi Kesehatan 2: 1.

Kolstad E, Johansson W dan Arne Kjell. 2011. Uncertainties associated with quantifying climate change impacts on human health : A case study for diarrhea. Enviromental Heath Perspective 199: 299-305.

Kovats RS, Bouma MJ, Hajat S, Worrall E dan Haines A. 2003. El Nino and Health. The Lancet 362: 1481-1489.

Lapan. 2009. Perubahan iklim dan dampaknya pada kesehatan. [internet].[diacu Juli 2014].Tersedia dari http://dirgantara.lapan.or.id

[PDAM Kab. Bogor] Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Bogor. 2011. Lokasi Pengolahan Air. [internet].[diacu Juli 2014].Tersedia dari http://www.pdamkabbogor.co.id/lokasi_pengolahan.php

[Pemkab Bogor] Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. 2014. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bogor Tahun 2013-2018. Bogor : Pemkab Bogor.

Singh RBK, Hales S, Wet ND, Raj R, Heamden M Dan Weinstein P. 2001. The influence of climate variation and change on diarrheal disease in the pacific islands. J Environmental Health Perspectives 109 (2): 155-159.

(31)

19

LAMPIRAN

Lampiran 1 Diagram alir penelitian

Pembagian ketinggian tempat ( >600mdpl dan <600mdpl)

Pengaruh ketinggian tempat terhadap penyakit diare

Plot ketinggian tempat dengan IR diare

Karakteristik kondisi iklim pada penyakit diare

Pengaruh curah hujan terhadap penyakit diare

Penentuan dan pemetaan tingkat kerentanan penyakit diare kecamatan kajian

Pengkategorian curah hujan mempertimbangkan batasan CH pada klasifikasi iklim Oldeman

N

Mulai

Selesai

Data iklim (CH) Data kejadian penyakit Data ketinggian tempat

Lengkap ?

Pendugaan data hilang

Data CH bulanan

Y

Penentuan angka kejadian penyakit (IR) bulanan

Pengkategorian nilai IR berdasarkan nilai IR normal DEPKES (2012)

Penentuan rata-rata IR tahunan setiap kecamatan

(32)

20

Lampiran 2 Peta wilayah kajian penelitian Kabupaten Bogor

Lampiran 3 Kepadatan penduduk kecamatan kajian kabupaten Bogor

Kecamatan Luas (m2) Luas (km2) Jumlah penduduk

Kepadatan Penduduk

Cisarua 69,440,000 69.44 110,666 1,594

Cijeruk 95,640,000 95.64 87,308 913

Leuwiliang 128,100,000 128.1 126,487 987

Cigudeg 169,900,000 169.9 114,813 676

Ciampea 33,120,000 33.12 155,957 4,709

Cibinong 45,850,000 45.85 283,041 6,173

Jonggol 133,800,000 133.8 113,388 847

Jasinga 121,600,000 121.6 94,774 779

(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)

26

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir pada 29 Januari 1992 di UjungPandang provinsi Selawesi Selatan dari pasangan Munir Chan dan Kurniyah. Penulis merupakan anak kelima dari enam bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri Curug 3 Bogor tahun 2004 dan menengah pertama di SMP Negeri 4 Bogor tahun 2007. Pada tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 5 Bogor dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI) untuk program studi Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi (GFM), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA).

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di kegiatan organisasi Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi (HIMAGRETO) 2012-2013 dan penulis menjabat sebagai anggota departemen Pengembangan Masyarakat. Pada tahun 2012 penulis melakukan kegiatan magang di Lanud Atang Sandjaja (ATS) Bogor di bagian pengamatan cuaca penerbangan.

Gambar

Tabel 3  Kepadatan penduduk dan rataan IR bulanan kecamatan dengan
Gambar 2  Peta tingkat kerentanan wilayah terhadap penyakit diare di beberapa
Tabel 6  Korelasi curah hujan bulanan IR diare
Tabel 7  Kategori dan kisaran curah hujan bulanan
+2

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan pada posisi akhir RWL yang diperoleh adalah 7,5 dengan LI 3,9 maka mengangkat produk dengan posisi ini tidak dianjurkan, karena posisi badan yang

Dari hasil wawancara dari Bapak Abdul Hafid (Kepala Desa Borong Pa’la’la) dan salah satu dari masyarakat, Peneliti menyimpulkan bahwa sudah sesuai dengan Indikator

telah memberitahukan dan menyerahkan kontra memori banding yang diajukan Pembanding dalam perkara Nomor ...yang diterima oleh Kepaniteraan Pengadilan Agama Sumenep pada

Menurut Goldstone (2009, p14), Unity3D membuat produksi game menjadi lebih mudah dengan memberikan beberapa logika untuk membangun skenario game yang sudah

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis sebaran suhu permukaan Kota Gorontalo dan Sekitarnya dengan memanfaatkan saluran thermal ( band 61) citra Landsat 7

Secara keseluruhan terdapat korelasi yang sangat tinggi antara sumber belajar biologi dengan nilai rata-rata Ujian Nasional IPA SMPN di Kabupaten Banjar, jika dilihat

Dampak lain dari perilaku seksual remaja yang sangat berhubungan dengan kesehatan reproduksi adalah konsensi psikologis. Setelah kehamilan terjadi, pihak perempuan atau

Terjadi gangguan kesehatan atau gangguan fisik akibat pekerja tidak memakai Perlengkapan kerja yang sesuai dengan syarat, c.. Terjadi kecelakaan atau tertabrak kendaraan