• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biodiversitas dan Peran Mikrofungsi Isolat Telaga Warna dalam Mendekomposisi Bahan Organik pada Limbah cair Tahu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Biodiversitas dan Peran Mikrofungsi Isolat Telaga Warna dalam Mendekomposisi Bahan Organik pada Limbah cair Tahu"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

ORGANIK PADA LIMBAH CAIR TAHU

INNA PUSPA AYU

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Biodiversitas dan Peran Mikrofungi Isolat Telaga Warna dalam Mendekomposisi Bahan Organik pada Limbah Cair Tahu adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini

Bogor, Mei 2008

Inna Puspa Ayu

(3)

Inna Puspa Ayu. Biodiversity of Microfungi Isolated from Telaga Warna and There Role in Organic Decomposition of Tofu Liquid Waste. Under the direction of Hefni Effendi and Yusli Wardiatno

Biodiversity of Microfungi Isolated from Telaga Warna and Its Role in Decomposing Organic Matter of Tofu Liquid Waste

The biodiversity of microfungi isolated from Telaga Warna and its role in decomposing organic matter of tofu liquid waste. Microfungi are decomposer microorganism of organic matter and could be used as biological agent in waste process. Aquatic fungi exploration in Indonesia is still in low number. As a conservation area, Telaga Warna has fungi biodiversity such as Abisidia spinosa

(AS), Cephalosphorium acremonium (CA), Acremonium strictum (ACST),

Penicillium rugulosum (PR), Penicillium viridicatum (PV) and, K (Control). Those microfungi have been experimented in order to reduce organic matter content in Tofu Liquid waste. This content was measured for six days through COD (Chemical Oxygen Demand) and organic nitrogen also its effect to microfungi’s growth. The experiment result shows the treatments that could reduce organic matter faster and biggest also followed with increasing of coverage percentage are PV and PV on second day. Each of treatments could reduce COD 73,96% and 63,54% with percentage of coverage 53,33% and 46,67%. Meanwhile, organic matter in ACST and CA treatments reduce on fourth day 77,08% and 72,92% but the percentage of coverage was followed by the life of new organisms. All fungi in AS treatment were died in first day even COD reduced in the fifth day because of the living of other microorganism. Control treatment also faced the reducing of COD in the forth day which followed by existence of other microorganism.

(4)

Warna dalam mendekomposisi bahan organik pada limbah cair tahu. Dibimbing oleh HEFNI EFFENDI dan YUSLI WARDIATNO.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji jenis-jenis mikrofungi dari Telaga Warna serta menjelaskan kemampuannya dalam memanfaatkan bahan organik yang berasal dari limbah cair tahu. Penelitian ini dilakukan dalam dua rangkaian, yaitu penelitian pendahuluan dan utama. Penelitian pendahuluan meliputi pengambilan sampel mikrofungi dari perairan Telaga Warna pada musim hujan dan kemarau, pengisolasian, kultivasi, dan identifikasi mikrofungi, kemudian penentuan konsentrasi limbah tahu yang akan digunakan untuk media mikrofungi pada penelitian utama. Penelitian utama merupakan rangkaian kegiatan yang terdiri dari pengujian jenis-jenis mikrofungi pada konsentrasi limbah hasil penelitian pendahuluan. Pada penelitian utama dilakukan pengukuran kandungan bahan organik dalam air limbah melalui hasil pengukuran COD serta N organik. Selain itu, dilakukan juga pengukuran DO, pH, kekeruhan, TDS, suhu, serta persentase penutupan mikrofungi.

Analisis data yang digunakan adalah analisis ragam menggunakan Rancangan Acak Lengkap dan uji lanjutan (uji Tukey) untuk melihat pengaruh perbandingan konsentrasi limbah terhadap pertumbuhan mikrofungi, keragaman konsentrasi bahan organik antarwaktu pada masing-masing jenis mikrofungi uji. Selain itu digunakan pula Rancangan Acak Lengkap (RAL) dalam waktu untuk melihat jenis mikrofungi yang memberikan pengaruh terhadap penurunan konsentrasi bahan organik.

Isolat mikrofungi yang didapatkan dari Perairan Telaga Warna pada musim kemarau adalah jenis Mucor hiemalis, Mucor plumbeus, Mucor substilissimus, Abisidia spinosa, Aspergillus niger, Aspergillus conicus, Penicillium viridicatum, Penicillium rugulosum, Trichoderma koningii, Acremonium strictum, Cephalosporium acremonium. Sedangkan yang ditemukan pada musim hujan adalah Mucor rouxianus, Mucor ramannianus, Mucor genevensis, Mucor jansseni, Mucor pussilus, Rhizopus cohnii, Rhizopus stolonifer, Rhizopus oryzae, Penicillium rugulosum, Cephalosporium acremonium, Penicillium citrinum, Penicillium urticae, Penicillium spinulosum, Aspergillus amstelodami, Monilia humicola.

Mikroorganisme uji yang digunakan dalam peneltian ini adalah

Penicillium rugulosum (PR), Penicillium viridicatum (PV), Acremonium strictum

(ACST), Cephalosphorium acremonium (CA), dan Abisidia spinosa (AS).

(5)
(6)

@HakCipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencatumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan.

penelitian, penulisan karya ilmiah. penyusunan laporan, penul isan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

ORGANIK PADA LIMBAH CAIR TAHU

INNA PUSPA AYU

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perairan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Nama : Inna Puspa Ayu

NIM : C151050051

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil. Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pasca Sarjana IPB Ilmu Perairan Dekan

Prof. Dr. Ir. Enang Harris, MS. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.

(9)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga Tesis yang berjudul “Biodiversitas dan peran mikrofungi isolat Telaga Warna dalam mendekomposisi bahan organik pada limbah cair tahu” dapat diselesaikan. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Master of Sains pada Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil. sebagai dosen pembimbing I atas bimbingan

dan arahan selama penelitian serta telah memberikan kesempatan penulis untuk turut serta dalam penelitian mikrofungi.

2. Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. selaku dosen pembimbing II yang senantiasa memotivasi, mengarahkan, dan memberi saran bagi penulis.

3. Dr. Ir. Niken TM Pratiwi, M.Si. selaku penguji tamu untuk saran dan masukan dalam perbaikan tesis ini serta bantuannya selama penelitian.

4. Osaka Gas Foundation melalui PPLH IPB yang telah mendanai penelitian ini. 5. Kedua orang tua, adikku serta keluarga besar yang telah mendoakan dan

memberi dorongan untuk mencapai ridho-Nya.

6. Anton Aliabbas dan keluarga lampung atas doa, semangat dan bantuannya. 7. Ibu Maya, bu Nur, Pak Sodikin, Aan, Devit, Ari, Tina, Yeyen, Apri, Ningsih,

Rommy serta seluruh anggota Lab. ProLingkungan Perairan atas segala kebaikan dan kerjasamanya.

8. Ibu Utami, Toni, Senin untuk masukkannya dalam penyususnan tesis. 9. Iis, Usman, Rabbani, Indah, Endang serta teman-teman Pasca Air. 10. Bapak Satari, anti, serta seluruh kerabat di Malabar, Bogor.

11. Seluruh kerabat dan teman yang telah membantu dalam penelitian, serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan. Akhir kata, penulis mohon maaf atas segala kekurangan yang terdapat dalam tesis ini.

Bogor, Mei 2008

(10)
(11)

DAFTAR TABEL ... iii

2.1.4. Metabolisme (absorbsi nutrien) mikrofungi ... 12

2.2. Karakteristik tahu dan limbah cair tahu ... 13

2.4. Proses pengolahan limbah secara biologi ... 20

III. METODE PENELITIAN ... 23

3.1. Waktu dan tempat ... 23

3.2. Penelitian pendahuluan... 23

(12)

3.5. Analisis statistik ... 26

3.5.1. Penelitian pendahuluan ... 26

3.5.2. Penelitian utama ... 27

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

4.1. Hasil ... 30

4.1.1. Penelitian pendahuluan ... 30

4.1.1.1. Biodiversitas mikrofungi akuatik dari Telaga Warna ... 30

4.1.1.2. Penentuan konsentrasi limbah ... 31

4.1.2. Penelitian Utama ... 33

4.1.2.1. Analisis COD (Chemical Oxygen Demand) ... 33

4.1.2.2. Analisis persentase penutupan ... 37

4.1.2.3. Analisis N organik ... 43

4.1.2.4. Analisis N anorganik ... 48

4.1.2.5. Analisis TDS dan TSS ... 50

4.1.2.6. Analisis pH ... 52

4.1.2.7. Analisis oksigen terlarut (Dissolved oxygen) ... 53

4.1.2.8. Analisis suhu ... 53

4.2. Pembahasan ... 55

4.2.1. Hubungan antara keberadaan bahan organik dengan persen penutupan ... 55

4.2.2. Pertumbuhan mikrofungi ... 59

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 62

5.1. Kesimpulan ... ... 62

5.2. Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 63

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Karakteristik air limbah tahu ... ...16

2. Baku mutu limbah cair industri dan kegiatan usaha lainnya ... 16

3. Tabel sidik ragam RAL ... 27

4. Tabel sidik ragam RAL dalam waktu ... 29

5. Pengelompokkan jenis-jenis mikrofungi akuatik yang terdapat di Danau Telaga Warna ... 31

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Skema perumusan masalah ... 4

2. Morfologi mikrofungi...8

3. Kurva pertumbuhan mikrofungi ... 9

4. Bagan proses pembuatan tahu ... 14

5. Skema mikroscreen pada recycle reaktor ... 21

6. Rata-rata konsentrasi COD pada limbah cair tahu dengan mikrofungi Abisidia spinosa ... 33

7. Rata-rata konsentrasi COD pada limbah cair tahu dengan mikrofungi Cephalosphorium acremonium ... 34

8. Rata-rata konsentrasi COD pada media dengan mikrofungi Acremonium strictum ... 35

9. Rata-rata konsentrasi COD pada media dengan mikrofungi Penicilium rugulosum ... 35

10. Rata-rata konsentrasi COD pada limbah cair tahu dengan mikrofungi Penicilium viridicatum ... 36

11. Rata-rata konsentrasi COD pada limbah cair tahu tanpa mikrofungi ... 36

12. Rata-rata konsentrasi COD (mg/l) pada limbah cair tahu Pada tiap perlakuan fungi ... 38

13. Keberadaan mikroorganisme kontaminan pada media ... 39

14. Persentase penutupan mikroorganisme pada limbah cair tahu ... 40

15. Kurva pertumbuhan mikrofungi pada limbah cair tahu ... 42

16. Rata-rata konsentrasi N organik pada limbah cair tahu dengan mikrofungi Abisidia spinosa ... 44

17. Rata-rata konsentrasi N organik pada limbah cair tahu dengan mikrofungi Cephalosphorium acremonium... 44

18. Rata-rata konsentrasi N organik pada limbah cair tahu dengan mikrofungi Acremonium strictum ... 45

19. Rata-rata konsentrasi N organik pada limbah cair tahu dengan mikrofungi Penicilium rugulosum ... 45

20. Rata-rata konsentrasi N organik pada limbah cair tahu dengan mikrofungi Penicilium viridicatum ... 46

(15)

22. Rata-rata konsentrasi N organik (mg/l) pada limbah cair tahu

pada tiap perlakuan fungi ... 47 23. Nilai rata-rata ammonia (mg/l) pada limbah cair tahu

pada tiap perlakuan fungi ... 49 24. Nilai rata-rata nitrat (mg/l) pada limbah cair tahu

pada tiap perlakuan fungi ... 49 25. Nilai rata-rata nitrit (mg/l) pada limbah cair tahu

pada tiap perlakuan fungi ... 50 26. Nilai rata-rata TDS (mg/l) pada limbah cair tahu

pada tiap perlakuan fungi ... 51 27. Nilai rata-rata TSS (mg/l) pada limbah cair tahu

pada tiap perlakuan fungi ... 52 28. Nilai rata-rata pH pada limbah cair tahu

pada tiap perlakuan fungi ... 53 29. Nilai rata-rata oksigen terlarut (mg/l) pada limbah cair tahu

pada tiap perlakuan fungi ... 54 30. Konsentrasi COD limbah dan persentase penutupan

tiap jenis mikrofungi ... 57 31. Konsentrasi N organik limbah dan persentase penutupan

tiap jenis mikrofungi ... 58

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Potatoes Dextrose Agar ... 67

2. Treatment limbah dengan menggunakan UV ... 68

3. Prosedur pengukuran COD ... 69

4. Karakteristik spesial mikrofungi di perairan Telaga Warna ... 70

5. Persentase pertumbuhan mikrofungihari ke empatpada konsentrasi uji ... 72

6. Hasil analisis statistik konsentrasi uji terhadap pertumbuhan mikrofungi ... 73

7. Hasil pengukuran nilai COD serta persentase penurunannya pada limbah cair tahu ... 74

8. Hasil analisis statistik pengaruh waktu terhadap konsentrasi COD ... 75

9. Hasil analisis statistik pengaruh jenis mikrofungi, waktu serta interaksinya terhadap penurunan COD pada limbah cair tahu ... 78

10. Nilai rata-rata persentase penutupan pada berbagai perlakuan (%) ... 81

11. Nilai rata-rata N organik serta persentase penurunnanya pada limbah cair tahu ... 82

12. Hasil analisis statistik pengaruh waktu terhadap konsentrasi N organik ... 83

13. Hasil analisis statistik pengaruh jenis mikrofungi, waktu serta interaksinya terhadap penurunan N organik ... 86

14. Nilai rata-rata N anorganik pada limbah cair tahu ... 89

15. Rata-rata konsentrasi serta persentase penurunan TDS dan TSS ... 90

(17)

1.1. Latar Belakang

Mikrofungi merupakan mikroorganisme tidak berklorofil dan memiliki

sifat saprofit yang berperan penting dalam lingkungan perairan, yaitu sebagai

dekomposer atau pengurai bahan organik yang berasal dari mahluk hidup yang

telah mati (Wong et al. 1998). Mikroorganisme ini menggunakan hifa untuk

melekat pada bahan organik tersebut yang kemudian akan didekomposisi menjadi

bahan anorganik. Bahan organik yang diuraikan oleh mikroorganisme

dekomposer ini merupakan nutrien yang akan digunakan untuk produksi biomassa

mikrofungi itu sendiri. Kemampuan dalam memanfaatkan dan menguraikan

mahluk hidup yang telah mati tersebut menyebabkan mikrofungi berfungsi dalam

regenerasi material yang terurai serta berperan dalam siklus karbon, nitrogen, dan

fosfat di lingkungan perairan danau, sungai, ataupun perairan tawar lainnya

(Davidson et al. 1996; Sigee, 2004).

Mikrofungi perairan tawar memiliki jenis yang beragam. Lebih dari 600

spesies sudah diidentifikasi pada daerah temperate (Wong et al. 1998), sedangkan di daerah tropis, penelitian dan eksplorasi fungi masih relatif minim. Penelitian

untuk mengungkapkan biodiversitas fungi, khususnya penemuan fungi jenis baru

di Indonesia masih dimungkinkan (Ilyas et al. 2006). Salah satu contoh perairan tawar di Indonesia yang belum diketahui keanekaragaman hayati fungi

akuatiknya adalah Telaga Warna. Danau ini terletak di Kecamatan Cisarua

Kabupaten Bogor (6o42’LS;106o,59’BT) dengan ketinggian sekitar 1400 m dpl (Wardiatno et al. 2003). Perairan alami ini berbentuk elips mendekati bundar dengan luas permukaan sebesar 1,04 ha dan kedalaman maksimum 7,8 m (Pratiwi

et al. 2006). Telaga Warna merupakan bagian dari kawasan konservasi cagar alam dan taman wisata alam, sehingga dimungkinkan memiliki potensi

mikrofungi yang dapat dikembangkan.

Setiap fungi di alam memiliki peran dan potensi yang berbeda karena

setiap jenisnya memiliki keunikan sifat dan karakteristik tersendiri. Beberapa

jenis fungi diketahui memiliki nilai ekonomi yang tinggi karena diperlukan dalam

(18)

obat-obatan (Zhigiang, 2005 in Paulus, 2006), agen bioleaching (Kisielowskadan Kasińska-Pilut, 2005), penyubur lahan, biopestisida, penghasil enzim, dan bahan organik aktif lainnya (Harman et al. 2004 in Gil, 2006), serta obyek menarik dalam penelitian genetika (Ilyas et al. 2006).

Dewasa ini mikrofungi banyak dikembangkan dalam pengolahan limbah

secara biologis. Hal ini sejalan dengan meningkatnya limbah yang berasal dari

kegiatan manusia, sehingga diperlukan metode yang tepat dalam penanganan

limbah. Limbah banyak mengandung bahan organik seperti protein, karbohidrat,

lemak, dan bila dibuang langsung ke perairan umum dapat menimbulkan

pencemaran. Limbah tersebut di antaranya berasal dari industri rumah tangga,

misalnya industri pembuatan tahu (Saubani, 2006). Limbah yang dihasilkan

industri tahu berupa limbah padat dan cair. Limbah padat dapat ditanggulangi

dengan memanfaatkannya sebagai bahan pembuat oncom dan bahan makanan

ternak (Dhahiyat, 1990), sedangkan limbah cair (whey) kebanyakan dibuang

langsung ke sungai atau badan air lainnya (Warisno, 1994; Rubiyanto, 2000).

Limbah cair tahu mengandung bahan organik yang kompleks serta karbon dan N

yang tinggi. Hal ini akan menurunkan tingkat kualitas air dan akhirnya

berdampak buruk pada ekosistem air yang menerimanya bila limbah cair yang

diterima di perairan melebihi kemampuan daya pulih lingkungan perairan

tersebut.

Bahan organik yang kompleks tersebut dapat diuraikan oleh fungi menjadi

zat-zat kimia yang lebih sederhana yang selanjutnya dapat meningkatkan

kesuburan perairan, serta sebagian bahan-bahan organik tersebut digunakan untuk

kolonisasi mikrofungi itu sendiri. Pemanfaatan mikrofungi dalam pengolahan

limbah dikenal dengan istilah bioremediasi (Gadd, 1993 in Ahmad, 2005). Proses bioremediasi didasari oleh dekomposisi bahan organik di biosfer yang dilakukan

oleh bakteri dan fungi heterotrofik, yang memiliki kemampuan memanfaatkan

senyawa organik alami sebagai sumber karbon dan energi. Penggunaan

mikrofungi dalam pengolahan limbah menjadi salah satu alternatif yang menarik

untuk dikembangkan karena penanganannya efisien dan efektif (Zhang et al.

(19)

1.2. Perumusan masalah

Mikrofungi merupakan organisme yang dapat mendekomposisi bahan

organik dari air limbah, dan memanfaatkan senyawa organik di dalamnya sebagai

nutrien untuk proses metabolisme. Proses tersebut akan menyebabkan organisme

mengalami pertumbuhan. Pertumbuhan mikrofungi ada yang cepat atau lambat

tergantung pada jenis mikrofungi itu sendiri.

Pertumbuhan merupakan respon dari kemampuan mikrofungi dalam

memanfaatkan bahan organik. Bahan organik yang dikaji dalam penelitian ini

adalah bahan organik yang berasal dari limbah cair tahu. Limbah cair tahu

mengandung bahan organik, terutama nitrogen, dengan kadar yang cukup tinggi,

yang bila dibuang langsung ke perairan akan mempengaruhi kualitas air di

perairan tersebut.

Peran mikrofungi dalam dekomposisi atau pun bioremediasi dapat

dimanfaatkan untuk mengatasi pencemaran bahan organik. Untuk itu diperlukan

pengujian atau pengukuran terhadap kemampuan mikrofungi dalam menurunkan

kandungan bahan organik yang terdapat dalam limbah cair tahu. Hasil dari

pengujian tersebut dapat bersifat positif, yakni mikrofungi dapat menurunkan

konsentrasi bahan organik dalam air limbah, atau sebaliknya. Bila tidak dapat

menurunkan konsentrasi bahan organik, maka diperlukan pengkajian atau evaluasi

kembali terhadap kondisi bahan organik pada air limbah tersebut atau isolat

mikrofungi yang digunakan (Gambar 1).

1.3. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji jenis-jenis mikrofungi

dari Telaga Warna serta menjelaskan kemampuan mikrofungi isolat Telaga Warna

dalam memanfaatkan bahan organik yang berasal dari limbah cair tahu.

1.4. Manfaat

Manfaat penelitian ini adalah untuk mendapatkan jenis isolat mikrofungi dari

Telaga Warna yang efektif dalam mengolah limbah bahan organik, serta

(20)
(21)

1.5. Hipotesis

Mikrofungi dengan jenis yang berbeda akan melakukan dekomposisi bahan

organik dengan kemampuan yang berbeda-beda. Hal tersebut terkait dengan

waktu yang diperlukan oleh mikrofungi itu sendiri dalam mendekomposisi bahan

organik.

(22)

2.1. Mikrofungi

2.1.1. Taksonomi mikrofungi

Fungi digolongkan ke dalam kelompok dunia ketiga oleh E. Haeckel yaitu

kelompok protista, yang merupakan kelompok selain hewan dan tumbuhan.

Fungi (kapang) merupakan organisme yang sebagian termasuk fotosintetik dan

sebagian lagi nonfotosintetik; beberapa dapat menyerupai tumbuhan, beberapa

serupa dengan hewan, dan beberapa sama-sama mempunyai sifat yang khusus

bagi kedua dunia tumbuhan dan hewan (Buss 1983; Buchalo et al. 1998). Ciri-ciri

organisme yang dikelompokkan ke dalam kingdom fungi adalah eukariotik, tidak

memiliki klorofil, tumbuh sebagai hifa, memiliki dinding sel yang mengandung

khitin, bersifat heterotrof, menyerap nutrien melalui dinding selnya dan

mengekskresikan enzim-enzim ekstraseluker ke lingkungan, menghasilkan spora

atau konidia, serta melakukan reproduksi seksual dan atau aseksual (Trinci dan

Cutter 1986; Brock et al. 1994; Gandjar et al. 2006).

Taksonomi fungi pada saat ini didasarkan pada morfologi dan pola

perkembangan dari struktur reproduksi seksual yang dihubungkan dengan struktur

biokimia dan molekulnya, termasuk pada analisis rDNA. Deacon (1997) dan

Alexopoulos et al.(1996) in Sigee (2005) membagi fungi dalam kelompok sebagai

berikut:

1. Filum Chitridiomycota

Kelompok ini ada pada habitat akuatik dan tanah, memiliki jenis parasit

ataupun saprofit. Anggota dari filum ini dikenal dengan sebutan chytrid.

Banyak anggota fungi ini yang tidak memiliki miselium; thallus (tubuh)

tereduksi menjadi sebuah single globular structure yang dapat masuk ke

dalam inangnya atau pada substrat. Single globular structure adalah sistem

rhizoid (struktur yang mirip dengan akar) yang tidak beraturan. Beberapa

chytrid merupakan endobiotik; hidup di dalam inangnya. Sementara yang

epibiotik memproduksi organ reproduksi pada permukaan inangnya atau pada

bahan organik yang mati. Filum ini, pada habitat akuatik memiliki empat

(23)

a. Ordo Chytridiales

b. Ordo Blastocladiales

c. Ordo Spizellomycetales

d. Ordo Monoblepharidales

2. Filum Zygomycota

Memiliki dua kelas yang mewakili lingkungan perairan tawar, yaitu

Zygomycetes dan Trichomycetes. Zygomycetes bersifat kosmopolitan dan

dapat menggunakan substrat dengan spektrum yang luas (Gandjar et a/.

2006).

3. Filum Ascomycota(fungi tingkat tinggi)

Karakter dari filum ini adalah memiliki miselium yang bersepta dan ascocarp

(tubuh buah seksual; suatu struktur reproduksi seksual yang menghasilkan

askus) dengan bentuk multiselular. Fungi jenis ini jarang ditemukan di

perairan tawar.

4. Filum Basidiomycota

Sama halnya dengan filum Ascomycota, kapang dari kelompok

Basidiomycota jarang ditemukan di lingkungan akuatik tawar. Bila

ditemukan, ada pada kayu dan bahan organik yang ada di dalam atau di sekitar

sungai.

5. Deuteromycota

Menurut Manoharachary et al. (2005), kelompok ini disebut juga anamorf,

fungi imperfect, fungi konidial, fungi mitosporik, atau fungi aseksual. Banyak

spesies yang dimasukkan ke dalam deuteromycota, namun setelah ditemukan

fase seksualnya (teleomorf) dimasukkan ke dalam Ascomycota atau

Basidiomycota. Deuteromycota merupakan kelompok yang khusus bagi

spesies cendawan dengan fase seksual yang belum diketahui.

2.1.2. Morfologi mikrofungi

Bagian penting tubuh mikrofungi adalah hifa. Hifa adalah suatu struktur

fungus berbentuk tabung menyerupai seuntai benang panjang yang terbentuk dari

pertumbuhan spora atau konidia. Kumpulan hifa yang bercabang-cabang tersebut

membentuk suatu jala yang umumnya berwarna putih, dan disebut sebagai

(24)

suatu dinding yang kuat. Morfologi mikrofungi dapat dilihat pada Gambar 2.

Berdasarkan morfologi hifa secara mikroskopis, hifa dapat dibedakan menjadi:

a. Aseptat atau senositik

Hifa seperti ini tidak mempunyai septum, sehingga memiliki banyak inti.

b. Monositik

Sekat membagi hifa menjadi ruang-ruang atau sel-sel berisi nukleus tunggal.

Pada setiap septum terdapat pori di tengah-tengah yang memungkinkan

terjadinya perpindahan nukleus dan sitoplasma dari satu ruang ke ruang yang

lain (Trinci dan Cutter, 1986).

a b

Gambar 2. Morfologi mikrofungi Penicilium Viridicatum a: sketsa tubuh mikrofungi (Gandjar, 1999),

b: miselium(www.3phase.com)

2.1.3. Pertumbuhan dan reproduksi mikrofungi 2.1.3.1. Pertumbuhan

Fase pertumbuhan dapat diketahui melalui perubahan luas daerah di

bawah kurva pertumbuhan atau disebut dengan area under the kinetic curve

(AUKC). Kecepatan pertumbuhan mikroorganisme ini tergantung pada

lingkungan fisik dan kimianya. Berdasarkan laju pertumbuhannya, maka

Meletiadis (2001) membagi fase pertumbuhan fungi menjadi lima, yaitu fase

pertumbuhan lambat (lag phase), fase akselerasi (first transition period), fase log

(log phase), fase penurunan (second transition period atau declining phase), dan

fase stasioner (stationer phase). Kurva pertumbuhan fungi dapat dilihat pada

Gambar 3.

(25)

Gambar 3. Kurva Pertumbuhan Mikrofungi

(a). fase pertumbuhan lambat, (b) fase akselerasi, (c) fase log, (d) fase penurunan, (e) fase stasioner (sumber: Meletiadis et al. 2001)

Fase pertama adalah fase lag. Pada tahap ini tidak terjadi pertumbuhan sel.

Pengamatan secara mikroskopik yang dilakukan oleh Meletiadis (2001)

menunjukkan bahwa pada fase ini sedang terjadi persiapan pembelahan sel atau

pun persiapan pertumbuhan spora dan konidia. Fase ini dicirikan oleh perubahan

(Δr) AUKC yang kurang dari 5%.

Pembelahan sel akan diikuti oleh persipan perpanjangan hifa, dan hal ini

menunjukkan terjadinya fase akselerasi atau dapat juga disebut first transition

period (Reinhardt 1892 in Trinci dan Cutter 1986). Fase ini dapat dilihat melalui

peningkatan ΔrAUKC hingga 30%. Pada tahap ini, persiapan perpanjangan hifa

sulit ditentukan karena tidak hanya tergantung pada jumlah sel yang

diinokulasikan, tetapi juga tergantung pada karakteristik metaboliknya, seperti

umur dan keadaan fisiologisnya, serta tergantung juga pada jenis nutrien dalam

medianya (Quoreshp et al. 1995). Fase pertumbuhan lambat yang lama

menunjukkan adanya bahan-bahan beracun dan substrat bersifat melawan, kurang

inokulasi, atau pre-kultur tidak sesuai (sel mati inaktif).

Perpanjangan hifa akan terjadi setelah fase akselerasi, yaitu pada fase log.

Fase log memiliki kurva pertumbuhan dengan kemiringan (slope) yang maksimal

(Meletiadis 2001), sehingga laju pertumbuhan spesifik pada fase ini merupakan

nilai maksimum. Laju pertumbuhan eksponensial ini sangat dipengaruhi oleh

(26)

Akhir dari fase log (eksponensial) diikuti oleh periode pertumbuhan linier

sebelum berangsur-angsur ke fase stasioner. Pertumbuhan linier disebut juga

sebagai fase penurunan (second transition period atau declining phase). Fase

penurunan di dalam kultur disebabkan oleh habisnya atau terbatasnya beberapa

nutrien dan terdapatnya akumulasi sisa produk. Selama periode transisi, slope

kurva pertumbuhan fungi mengalami perubahan yang cepat dan ΔrAUKC yang

tinggi bila dibandingkan fase-fase lainnya. Kemiringan pada periode transisi ke

dua berkurang secara terus menerus, dan bila dilihat dari ΔrAUKC nilainya

mencapai 70% (Meletiadis et al. 2001).

Setelah fase penurunan, fungi akan mengalami fase stasioner, dengan

ΔrAUKC kurang dari 70% dari nilai maksimal ΔrAUKC (Meletiadis et al. 2001). Pada fase ini fungi akan mulai rusak, yang mengindikasikan bahwa pertumbuhan

fungi telah berhenti atau disebut fase stasioner (Quoreshp et al. 1995; Leung dan

Wu 2007).

2.1.3.2. Reproduksi

Fungi yang sudah dewasa akan membentuk struktur-struktur untuk

melakukan reproduksi agar spesiesnya menyebar dan tidak punah (Gandjar et al.

2006). Ketika kondisi buruk, pembentukan jaringan secara vegetatif

(pembelahan, penguncupan) akan berkurang bahkan tidak akan dilakukan, dan

spora akan terbentuk. Spora ini dapat bertahan pada lingkungan yang buruk

(Lyon et al. 1943).

Secara alamiah mikrofungi berkembang biak dengan berbagai cara, baik

secara aseksual dengan atau tanpa pembentukan spora, maupun secara seksual

dengan peleburan nukleus dari dua sel induknya. Spora aseksual, yang berfungsi

untuk menyebarkan spesies, dibentuk dalam jumlah besar (Gilman 1945). Ada

beberapa tipe spora aseksual, di antaranya:

a. Konidiospora atau konidium

Konidium dibentuk di ujung atau di sisi suatu hifa. Konidium yang kecil dan

bersel satu disebut mikrokonidium. Konidium yang besar dan bersel banyak

dinamakan makrokonidium.

b. Sporangiospora

(27)

(sporangium) yang terdapat di ujung hifa khusus. Aplanospora ialah

sporangiospora nonmotil. Zoospora ialah sporangiospora yang motil.

Motilitasnya disebabkan oleh adanya flagelum.

c. Oidium atau artrospora

Spora bersel satu yang terbentuk karena terputusnya sel-sel hifa

d. Klamidiospora

Spora bersel satu yang berdinding tebal, sangat resisten terhadap keadaan

buruk, terbentuk dari sel-sel hifa somatik

e. Blastospora

Tunas atau kuncup pada sei-sel khamir

Spora seksual yang dihasilkan dari peleburan dua nukleus, lebih jarang terbentuk.

Jumlahnya yang lebih sedikit dibandingkan dengan spora aseksual, hanya

terbentuk dalam keadaan tertentu (Gilman 1945). Ada beberapa tipe spora

seksual, yaitu:

a. Askospora, adalah spora bersel satu yang terbentuk dalam kantung yang

(askus). Biasanya terdapat delapan askospora di dalam setiap askus. Contoh

fungi yang menghasilkan aksospora adalah filum Ascomycota (Buchalo et al.

1998).

b. Basidiospora, adalah spora bersel satu yang terbentuk di atas struktur berbentuk

gada yang dinamakan basidium. Contoh fungi yang menghasilkan spora tipe

ini adalah fungi yang berasal dari filum Basidiomycota (Gilman 1945).

c. Zigospora, adalah spora besar berdinding tebal yang terbentuk apabila

ujung-ujung dua hifa yang secara seksual serasi, disebut juga gametangia, dan pada

beberapa fungi, spora ini melebur. Zygospora terbentuk pada fungi tingkat

rendah, yaitu filum Zygomycota (Gandjar et al. 2006).

d. Oospora, adalah spora yang terbentuk di dalam struktur betina khusus yang

disebut ooginium. Pembuahan telur atau oosfer oleh gamet jantan yang

terbentuk di dalam anteredium menghasilkan oospora. Dalam setiap oogonium

terdapat satu atau beberapa oosfer. Oospora terdapat pada fungi tingkat rendah

dari filum Chitridiomycota dihasilkan oospora (Gilman 1945).

Suatu fungi tunggal dapat membentuk spora aseksual dan seksual dengan

(28)

Struktur serta metode pembentukan spora-spora tersebut cukup konstan atau tidak

berubah (Pelczar dan Chan 1986).

2.1.4. Metabolisme (absorbsi nutrien) pada mikrofungi

Faktor paling penting yang berhubungan dengan aktivitas fungi adalah

nutrien. Nutrien akan digunakan sebagai energi melalui proses metabolisme,

sehingga organisme dapat melaksanakan fungsi hidupnya. Metabolisme adalah

seluruh proses kimia di dalam organisme hidup untuk memperoleh dan

menggunakan energi (Voet dan Voet 1995 in Gandjar et al. 2006). Ketika sel

melakukan metabolisme, nutrien akan diubah ke dalam bentuk materi sel, energi,

dan produk buangan (Bilgrami dan Verma 1994 in Gandjar et al. 2006). Proses

tersebut akan menyebabkan organisme tumbuh dan berkembang. Proses

metabolisme pada fungi meliputi dua fungsi utama yaitu, fungsi anabolisme

(asimilasi/bioenergi) dan katabolisme (disimilasi/biosintesis). Dalam fungsi

anabolisme nutrien diubah menjadi komponen struktural dan fungsional oleh

mikroorganisme. Dalam fungsi katabolisme energi kimia diambil dari nutrien

untuk menghasilkan energi yang akan digunakan dalam reaksi anabolisme. Proses

anabolisme tergantung pada katabolisme, tidak hanya pada energi yang dalam

bentuk ATP, NADH, dan NADPH, tapi juga produksi senyawa intermediate bagi

berlangsungnya proses biosintesis makromolekul dari struktur hifa (Trinci dan

Cutter 1986; Ayres 1986 in Gandjar et al. 2006).

Pada proses katabolisme, nutrien berfungsi sebagai sumber energi atau

penerima elektron. Proses ini bersifat eksergonik atau eksotermik dengan energi

yang dihasilkan berbentuk energi kimia dan bukan energi panas. Hal tersebut

terjadi karena sel tidak dapat menggunakan energi panas, melainkan

Adenosin-trifosfat (ATP). ATP diperlukan untuk aktivitas sel, misalnya untuk

perkembangbiakan, pembentukan spora, pergerakan, biosintesa, dan sebagainya

(Ayres 1986 in Gandjar et al. 2006).

Proses anabolisme sebagai salah satu kegiatan dalam metabolisme,

memerlukan sumber energi yang didapat dari proses katabolisme. Selama proses

katabolisme berlangsung, produk yang dihasilkan tidak hanya energi bagi

berlangsungnya anabolisme, melainkan juga senyawa yang akan menjadi bahan

(29)

oksalasetat, asam suksinat, dan sebagainya. Reaksi anabolisme pada dasarnya

terbagi ke dalam beberapa proses, diantaranya: asimilasi nitrogen dan sulfat,

sintesis mikromolekul (sintesis asam amino), serta sintesis makromolekul (sintesis

DNA, RNA, dan protein) (Trinci dan Cutter 1986).

Secara umum fungi memerlukan nutrien dalam bentuk karbon, nitrogen,

sulfur, kalium, magnesium, natrium, kalsium, nutrien mikro (besi, mangan,

kobalt, molibdenum), dan vitamin. Fungi adalah organisme heterotrof karena

tidak memiliki kemampuan untuk mengoksidasi senyawa karbon anorganik.

Senyawa karbon organik yang dapat dimanfaatkan fungi untuk membuat materi

sel baru dapat berupa molekul sederhana seperti gula sederhana, asam organik,

gula terikat alkohol, polimer rantai pendek dan rantai panjang yang mengandung

karbon (Gadd 1988; Ayres 1986 in Gandjar 2006). Beda halnya dengan karbon,

nitrogen dimanfaatkan oleh fungi dalam bentuk senyawa organik dan anorganik.

Fungi lebih menyukai nitrogen dalam bentuk organik. Nitrogen organik yang

dapat dimanfaatkan oleh fungi adalah dalam bentuk protein (Lyon et al. 1952).

Menurut Gunderson (1967); Guest dan Smith (2007), senyawa nitrogen anorganik

yang dapat dimanfaatkan oleh mikrofungi adalah dalam bentuk ammonium (NH4

-N); nitrat (NO3); dan nitrit (NO2). Nitrit dapat dimanfaatkan oleh mikrofungi

dalam kondisi yang tidak asam. Selain itu, fungi diketahui dapat menghidrolisis

senyawa-senyawa toksik yang sulit diuraikan menjadi senyawa-senyawa lebih

sederhana, sehingga dapat dimanfaatkan oleh organisme itu sendiri atau lainnya

(Quoreshp et al. 1995).

2.2. Karakteristik tahu dan limbah cair tahu 2.2.1. Karakteristik tahu

Tahu merupakan bahan makanan yang terbuat dari kedelai yang

mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi. Menurut Soedarma dan Sediaoetma

(1977) in Dhahiyat (1990) di dalam 100 gram kedelai yang merupakan bahan

tahu, terkandung 35 gram protein, 18 gram lemak, dan 10 gram karbohidrat;

sedangkan dalam 100 gram tahu terdapat 7,8 gram protein, 4,6 gram lemak, dan

1,6 gram karbohidrat.

Pengolahan kedelai menjadi tahu umumnya dilakukan secara tradisional,

(30)

penggumpal yang lazim digunakan ialah batu tahu (CaSO4) atau cioko, asam cuka

(CH3COOH), dan MgSO4 (Pusbangtepa 1989). Proses pengolahan tahu dapat

dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Bagan Proses Pembuatan Tahu

(Sumber: Nuraida 1985; Pusbangtepa 1989 in Sylvi 2001)

Pencetakan/Pengerasan Pencucian Kedelai

Perendaman

Penggilingan

Pemasakan

Penyaringan

Pemotongan Penggumpalan

Perendaman Tahu

Air matang/air bersih

Air dingin (12-24 jam) Air hangat 55 oC (1-2

Air hangat (9:1)

100oC (7-14 menit)

Tahu Air hangat 80 oC Air

Ampas tahu

Whey

Whey

(31)

2.2.2. Karakteristik limbah cair tahu

Limbah tahu adalah limbah yang dihasilkan dalam proses pembuatan tahu

atau pun pada saat pencucian kedelai. Limbah yang dihasilkan dapat berupa

limbah padat dan cair. Pada Gambar 4 terlihat adanya hasil sampingan dari proses

pembuatan tahu yaitu whey. Whey adalah limbah cair yang dihasilkan dari proses

penggumpalan dan pencetakan pada pembuatan tahu. Sebagian pabrik tahu ada

yang menggunakan sebagian kecil whey sebagai biang. Selain whey, limbah cair

tahudapat berupa sisa air tahu yang tidak menggumpal atau berupa potongan tahu

yang hancur pada saat proses karena kurang sempurnanya proses penggumpalan

(Dhahiyat 1990). Setiap kuintal kedelai akan menghasilkan 1,5 - 2 m3 limbah cair. Limbah padat belum dirasakan dampaknya terhadap lingkungan karena

dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, sedangkan limbah cair pada umumnya

langsung dibuang ke lingkungan sekitar. Limbah cair bila dibiarkan akan

berwarna hitam dan berbau busuk.

Padatan tersuspensi maupun terlarut yang terdapat pada limbah cair

tersebut dapat menjadi media untuk tumbuhnya agen penyakit. Air limbah dapat

meresap ke dalam tanah yang dekat dengan sumur, sehingga air sumur itu tidak

layak dimanfaatkan lagi. Begitu pula bila limbah dialirkan ke sungai, maka akan

mencemari sungai dan bila masih digunakan akan menimbulkan penyakit, seperti

gatal dan diare (Nurhasan dan Pramudyanto 1991). Pencemaran akibat limbah

akan berdampak negatif pada lingkungan di sekitarnya.

Air buangan industri tahu memiliki karaktersitik fisika dan kimia yang

dapat dilihat pada Tabel 1. Pemahaman tentang karakteristik limbah tahu

merupakan hal yang penting untuk mengetahui tingkat pencemaran serta

penanggulangannya. Selain itu juga untuk menentukan cara pengolahan yang

tepat serta memudahkan penentuan parameter yang akan dianalisis. Berhubungan

dengan hal tersebut, Bapedalda Provinsi Jawa Timur menetapkan baku mutu

limbah cair untuk usaha pembuatan tahu sesuai dengan keputusan Gubernur

(32)

Tabel 1. Karakteristik Air Limbah Tahu

Sumber: Nurhasan (1987) in Sylvi (2001)

Tabel 2. Baku mutu limbah cair industri dan kegiatan usaha lainnya (Keputusan Gubernur No.45 Tahun 2002)

No. Parameter Satuan

Golongan Baku Mutu Limbah Cair

I II III IV

A Fisika

1 Temperatur 0C 35 38 40 45

2 Zat padat terlarut mg/liter 1500 2000 4000 5000

3 Zat padat tersuspensi mg/liter 100 200 200 500

B Kimia

Sumber: BPLHD Surabaya in jukungkami.files.wordpress.com (2008)

2.3. Parameter kualitas air 2.3.1. Parameter fisika

a. Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor yang mengontrol dekomposisi bahan

organik yang dilakukan oleh fungi. Kondisi temperatur yang rendah dapat

menghambat metabolisme fungi sehingga memperlambat laju dekomposisi bahan

organik yang ada di perairan (Lindblom dan Tranvik 2003).

Karakteristik Hasil Pengukuran

Suhu

Kebutuhan oksigen biologi (BOD) Kebutuhan oksigen kimia (COD)

(33)

Pertumbuhan dan kelangsungan hidup mikroorganisme dipengaruhi pula

oleh suhu. Fungi termasuk organisme termofilik yang dapat tumbuh pada suhu

lebih dari 550C. Salah satu contoh, Mucor pusillus, dapat tumbuh dengan suhu minimum 21-23, suhu optimum 45-50, dan suhu maksimum 50-58.

Mikroorganisme seperti fungi dapat tumbuh dalam kisaran suhu yang luas. Bagi

kebanyakan spesies saprofitik berkisar 22 sampai 30°C, sedangkan untuk spesies

patogenik mempunyai suhu optimum lebih tinggi, biasanya mencapai 30-37°C

(Sigee 2004).

b. TSS, TDS, dan kekeruhan

Berdasarkan ukuran padatannya yang terdapat di perairan dapat

diklasifikasikan menjadi: padatan terlarut (< 10-6 mm), koloid (10-6 sampai 10-3 mm), dan padatan tersuspensi (> 10-3 mm). Total Suspendid Solid adalah padatan

yang tertahan pada saringan milipore dengan diameter pori 0,45 μm (Effendi

2003). Total Dissolved Solid adalah bahan-bahan terlarut (diameter <10-6 mm) dan koloid (diameter 10-6 mm-10-3 mm) yang berupa senyawa-senyawa kimia dan bahan-bahan lain, yang tidak tersaring pada kertas saring berdiameter pori 0,45

μm (Rao, 1992 in Effendi 2003). TDS biasanya disebabkan oleh adanya bahan

anorganik yang berupa ion-ion yang biasa ditemukan di perairan. Air buangan

atau limbah, selain banyak mengandung padatan tersuspensi, juga mengandung

bahan-bahan yang bersifat koloid, misalnya protein (Yusuf 2001).

Kekeruhan merupakan sifat optik yang ditentukan berdasarkan banyaknya

cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam

air, yang dapat diukur dengan turbidimeter. Dengan demikian kekeruhan (optical

density) dari media fungi dapat digunakan untuk memperkirakan laju

pertumbuhan mikrofungi. Padatan tersuspensi berkolerasi positif dengan

kekeruhan. Semakin tinggi nilai padatan tersuspensi, nilai kekeruhannya juga

semakin tinggi. Akan tetapi, tingginya padatan terlarut tidak selalu diikuti dengan

tingginya kekeruhan (Meletiadis et al. 2001; Effendi 2003).

2.3.2. Parameter kimia

a. Dissolved Oxygen (DO)

Keberadaan oksigen menentukan proses dekomposisi bahan organik yang ada di

(34)

dekomposisi, serta dapat menghasilkan senyawa-senyawa sampingan, seperti

CH4,CO2,N2, dan H2S. Keadaan ini dapat disebut sebagai anaerob (Lindblom

dan Tranvik 2003; Pagliuso et al. 2002). Menurut Gray (2004), oksigen terlarut

kurang dari 2 mg/l menyebabkan keadaan anaerob.

Burges dan Fenton (1953) in Panseseko (1967), menyebutkan bahwa fungi

dapat dibedakan menjadi tiga kelompok berdasarkan keberadaan oksigen.

Kelompok pertama adalah kelompok fungi yang dapat hidup pada kondisi

aerobik; kelompok kedua adalah kelompok fungi yang memiliki toleransi terhadap

karbondioksida dan sebagian anaerobik; sedangkan kelompok ketiga adalah

mikrofungi yang dapat hidup baik pada kondisi aerob maupun anaerob.

c. Chemical Oxygen Demand (COD)

COD limbah adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi

zat-zat organik yang ada dalam satu liter limbah secara kimiawi. Nilai COD yang

tinggi menunjukkan adanya pencemaran oleh zat-zat organik yang tinggi

(Suhardi, 1991 in Yusuf, 2001). Zat organik dalam limbah dibedakan menjadi

dua, yaitu yang mudah didegradasi oleh mikroba, dan yang sulit didegradasi oleh

mikroba. Parameter COD menunjukkan oksidasi bahan organik, baik yang dapat

didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar didegradasi

secara biologis (non biodegradable) menjadi CO2 dan H2O (Effendi 2003).

Keberadaan bahan organik dapat berasal dari alam ataupun dari aktivitas

rumah tangga, dan industri. Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar

biasanya kurang dari 20 mg/l, sedangkan nilai COD pada perairan yang tercemar

dapat mencapai lebih dari 200 mg/l (UNESCO/WHO/UNEP, 1992 in Effendi

2003).

d. Nilai pH

Nilai pH mencirikan keseimbangan antara asam dan basa dalam limbah,

dan merupakan pengukuran konsentrasi ion hidrogen. pH mempengaruhi

pertumbuhan mikrofungi melalui proses-proses yang terjadi di dalam sel, salah

satunya adalah aktivitas enzim (Busa et al., 1986 in Robson et al. 1996).

Pada umumnya, mikroba dapat tumbuh pada lingkungan yang asam hingga

sangat alkalin (pH 0 - 12), yang dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu acidophil (pH 0

(35)

tergolong ke dalam kelompok acidophil dan neutrophil, namun biasanya fungi

lebih menyukai pH rendah atau dalam kondisi asam, yaitu antara 4 – 6 (Sigee

2004).

e. Amonia nitrogen

Sumber amonia di perairan dapat berasal dari pemecahan nitrogen organik,

dapat berupa protein atau pun urea. Nitrogen organik terikat pada unsur pokok sel

makhluk hidup, seperti protein. Fungi dan mikroorganisme lainnya

mentransformasi bahan organik tersebut menjadi nitrogen anorganik, yaitu

amonia, nitrit, nitrat, dan gas nitrogen (Lyon et al. 1943). Proses perubahan

nitrogen organik menjadi amonia ini dikenal dengan amonifikasi. Hal ini

ditunjukkan dalam persamaan reaksi sebagai berikut (Effendi 2003):

N organik + O2 NH3-N + O2 N02 -N + O2 N03-N (1)

Amonifikasi nitrifikasi

Amonia yang terukur di perairan berupa amonia total (NH3 dan NH4+).

Amonia (NH3) beserta garam-garamnya bersifat mudah larut dalam air, sedangkan

amonium (NH4+) adalah bentuk transisinya. Amonia bebas yang tidak dapat

terionisasi bersifat toksik terhadap organisme aquatik. Kadar amonia bebas yang

tidak terionisasi (NH3) pada perairan tawar sebaiknya tidak lebih dari 0,02

mg/liter. Jika kadar amonia bebas lebih dari 0,2 mg/liter, perairan bersifat toksik

bagi beberapa biota air (Sawyer dan McCarty, 1978 in Effendi 2003). Kadar

amonia yang tinggi dapat merupakan indikasi adanya pencemaran bahan organik

yang berasal dari limbah domestik, industri, dan run off (Effendi 2003).

f. Nitrat nitrogen dan nitrit nitrogen

Nitrat (N03) adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami, dan sangat

mudah larut dalam air. Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi sempuma

senyawa nitrogen di perairan, dan nitrit merupakan hasil antara dari reduksi

ammonia menjadi nitrat (Gundersen 1967). Nitrit, sebagai hasil antara, memiliki

sifat tidak stabil dan mudah berubah dalam bentuk lainnya (Sedlak 1991 in

(36)

Nitrifikasi merupakan proses oksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat

(persamaan 1). Nitrifikasi merupakan proses yang penting dalam siklus nitrogen

dan berlangsung pada kondisi aerob (Effendi 2003). Pada kondisi anaerob, nitrat

dapat berubah menjadi nitrit atau nitrogen dalam bentuk gas (N2), yang biasa

dikenal dengan istilah denitrifikasi. Perubahan nitrat menjadi nitrogen menurut

Gray (2004), dapat dilihat pada persamaan (2) berikut ini:

(2)

Salah satu mikroorganisme yang dapat melakukan nitrifikasi adalah

mikrofungi. Mikrofungi memiliki kemampuan untuk memanfaatkan oksigen

terlarut dalam kondisi aerob, namun dapat juga menggunakan nitrat sebagai

penerima elektron dalam respirasi ketika oksigen terlarut menjadi faktor pembatas

(Sigee 2004).

Kadar nitrat-nitrogen pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari

0,1 mg/liter. Kadar nitrat nitrogen yang lebih dari 0,2 mgl/liter dapat

mengakibatkan terjadinya eutrofikasi perairan (Davis dan Cornwell 1991 in

Effendi 2003).

g. Nitrogen total

Nitrogen total Kjeldahl adalah gambaran nitrogen dalam bentuk organik

dan ammonia pada air limbah (Davis and Cornell, 1991 in Effendi 2000).

Nitrogen total adalah penjumlahan dari nitrogen anorganik yaitu N-NO3, N-NO2,

dan N-NH3 yang bersifat terlarut, dan nitrogen organik yang berbentuk partikulat

dan tidak terlarut dalam air (Mackereth et al. 1989 in Effendi 2000).

2.4. Proses pengolahan limbah secara biologi

Pengolahan limbah dengan cara biologi dapat dilakukan dengan

menggunakan mikroba. Proses biologi yang dilakukan mikroorganisme dalam

mendegradasi bahan-bahan organik diaplikasikan untuk membersihkan

lingkungan yang tercemar dari polutan. Hal ini dapat diistilahkan sebagai

bioremediasi (Hamman 2004). Tujuan dari bioremediasi itu sendiri adalah untuk

NO3 NO2 NO N2O N2

reductase reductase reductase reductase

(37)

mereduksi polutan menjadi senyawa yang tidak toksik atau mereduksi hingga

taraf / konsentrasi yang diperbolehkan (Gray 2004).

Salah satu mikroorganisme yang dapat digunakan dalam sistem

pengolahan biologis ini adalah mikrofungi. Penggunaan mikrofungi dalam

bioremediasi dikenal dengan istilah mycoremediation (Hamman 2004).

Beberapa penelitian yang telah dilakukan, misalnya oleh Van Leeuwen

(2004), menggunakan mikrofungi untuk mengolah limbah cair, dengan cara

melewatkan mikrofungi yang ditempatkan pada suatu tempat yang memiliki

screen. Screen tersebut memiliki ukuran pori yang kecil (100 μm), yang bertujuan agar bakteri dapat ikut terbuang saat limbah dialirkan, namun

mikrofungi tetap berada di dalam wadah tersebut. Skema screen pada reaktor

untuk mengolah limbah menggunakan mikrofungi, dapat dilihat pada Gambar 5.

Pertumbuhan mikrofungi dapat dikontrol dengan melakukan pemanenan.

Biomassa mikrofungi yang terbentuk dapat dijadikan sebagai stok inokulan untuk

pengolahan limbah berikutnya dan dapat dijadikan sebagai pupuk tanaman.

(38)

Fungi mendegradasi bahan-bahan organik dengan mentransformasi karbon

dan nitrogen ke jaringan fungi itu sendiri dalam proporsi yang lebih banyak

daripada mikroorganisme lainnya. Selain itu, hasil sampingan berupa

karbondioksida dan ammonium relatif lebih sedikit. 50% substansi yang

didekomposisi oleh fungi digunakan untuk pembentukan jaringan (Lyon et al.

1943), sehingga pemulihan lingkungan oleh mikroorganisme ini dianggap

sebagai strategi potensial (Frankenberger dan Losi 1996; Gadd 1992 in Gandjar et

(39)

3.1. Waktu dan tempat

Penelitian ini dilakukan dalam dua rangkaian, yaitu penelitian

pendahuluan dan utama. Penelitian pendahuluan terdiri dari dua tahap. Tahap

pertama meliputi pengambilan sampel mikrofungi dari perairan Telaga Warna,

pengisolasian, kultivasi, dan identifikasi mikrofungi. Tahap kedua berupa

penentuan konsentrasi limbah tahu yang akan digunakan untuk media mikrofungi

pada penelitian utama. Penelitian utama merupakan rangkaian kegiatan yang

terdiri dari pengujian jenis-jenis mikrofungi pada konsentrasi limbah hasil

penelitian pendahuluan. Dalam penelitian utama ini juga dilakukan pengukuran

parameter fisika-kimia air serta persentase penutupan mikrofungi.

Pengambilan contoh tersebut dilakukan pada bulan Juli 2006 yang

mewakili musim kemarau dan bulan Februari 2007 yang mewakili musim hujan.

Penelitian pendahuluan dan utama dilakukan pada Mei 2007 di Laboratorium

Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya

Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.2. Penelitian pendahuluan 3.2.1. Tahap pertama

3.2.1.1. Pengambilan sampel mikrofungi dari Telaga Warna

Pengambilan sampel mikrofungi dilakukan secara langsung, yaitu dengan

mengambil langsung dari air, serasah, daun, batu, ataupun ranting yang terdapat di

perairan Telaga Warna. Sampel tersebut diambil atau dikerik menggunakan jarum

ose, kemudian digoreskan pada media agar yang telah diperkaya nutrien. Nutrien

yang digunakan adalah Potato Dextrose Agar/PDA (Lampiran 1).

3.2.1.2. Isolasi mikrofungi

Isolat mikrofungi yang telah diambil dari perairan Telaga Warna tersebut

diinkubasi selama 2-5 hari pada suhu kamar. Biakan mikrofungi yang tumbuh

dalam media agar masih heterogen. Biakan ini kemudian diisolasi dan diinkubasi

kembali dalam suhu kamar selama 2-5 hari untuk mendapatkan biakan tunggal

(40)

mikroskopis.

3.2.1.3. Identifikasi mikrofungi

Identifikasi mikrofungi bertujuan untuk mengetahui biodiversitas atau

keanekaragaman hayati mikrofungi di perairan Telaga Warna. Identifikasi

dilakukan melalui beberapa tahapan berikut.

a. Pembuatan slide kultur

Bagian bawah dalam cawan petri diberi alas kertas saring. Batang gelas

berbentuk U diletakkan di atas kertas saring, kemudian diletakkan gelas objek

dan gelas penutupnya di atasnya, lalu disterilisasi di autoclave pada suhu

121 0C dengan tekanan 1 atm selama ± 15 menit. Setelah dingin, di atas gelas objek diberi setetes media PDA steril. Kemudian, secara aseptis,

menggunakan jarum ose, mikrofungi target diinokulasi pada permukaan agar

yang sudah membeku. Kemudian ditutup dengan gelas penutup. Di bagian

kertas saring diteteskan 7-10 ml gliserol 10% steril, kemudian diinkubasi pada

suhu kamar selama 3-5 hari.

b. Pengamatan

Untuk menentukan jenis mikrofungi, struktur mikrofungi yang tumbuh

diamati dengan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 10x10.

Mikrofungi diidentifikasi dengan menggunakan beberapa acuan, seperti

Gandjar et al. (1999), Fassatiova (1986), dan Gilman (1945).

3.2.1.4. Penyiapan stok mikrofungi

Mikrofungi homogen yang telah diidentifikasi, ditumbuhkan kembali pada

cawan petri dengan media PDA yang disimpan sebagai stok. Stok mikrofungi

tersebut disimpan pada suhu kamar, yang berikutnya dapat digunakan sebagai

mikrofungi uji.

3.2.2. Tahap kedua

3.2.2.1. Penyiapan mikrofungi uji

PDA yang telah ditumbuhi mikrofungi tertentu (dalam hal ini adalah

(41)

sembilan bagian (8,72 cm2). Masing-masing bagian PDA tersebut dimasukkan ke dalam limbah cair tahu.

3.2.2.2. Treatment limbah

Limbah tahu yang akan digunakan disaring dan diberi penyinaran UV

terlebih dahulu. Penyaringan dilakukan menggunakan saringan dengan ukuran

pori 30 μm untuk menghilangkan kotoran besar. Penyinaran UV dilakukan untuk menghilangkan mikroorganisme yang ada pada limbah dengan panjang

gelombang 250-270 nm selama 30 menit (Lampiran 2).

3.2.2.3. Penentuan konsentrasi limbah

Penentuan konsentrasi limbah perlu dilakukan untuk melihat viabilitas

atau kelangsungan hidup biakan mikrofungi pada media limbah. Masing-masing

jenis mikrofungi uji yang telah dipotong, dimasukkan ke dalam wadah yang berisi

limbah cair tahu dengan konsentrasi yang berbeda. Pada tahap penentuan

konsentrasi limbah, konsentrasi uji yang digunakan adalah 75% (perlakuan A),

50% (perlakuan B), dan 25% limbah (perlakuan C). Pengencer yang digunakan

adalah akuades. Konsentrasi tersebut akan dibandingkan dengan kontrol, yang

berupa 100% limbah (perlakuan D), dan masing-masing perlakuan mendapatkan

tiga kali pengulangan.

Viabilitas inokulan mikrofungi uji akan dilihat selama enam hari, dengan

asumsi pertumbuhan mikrofungi sudah mencapai fase log, bahkan mencapai fase

stasioner selama rentang waktu tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan

Meletiadis (2004), mikrofungi dengan pertumbuhan yang lambat dapat mencapai

fase log dalam waktu 72 jam atau tiga hari masa pertumbuhannya.

3.3. Penelitian utama

Penelitian utama dilakukan setelah didapatkan konsentrasi limbah yang

sesuai untuk viabilitas inokulan mikrofungi. Pada tahap ini, pada limbah dengan

konsentrasi terpilih tersebut dimasukkan mikrofungi uji dengan jenis yang

berbeda-beda (selanjutnya disebut sebagai perlakuan). Limbah cair tahu dengan

mikrofungi uji ditempatkan pada stoples kaca (2,5 l). Kemudian dilakukan

(42)

pencatatan pertumbuhan mikrofungi uji pada hari ke- 0; 1; 2; 3; 4; 5; 6. Pada

penelitian ini, masing-masing perlakuan mendapatkan tiga kali ulangan.

3.4. Metode pengumpulan data 3.4.1. Analisis parameter kualitas air

Keberadaan kandungan bahan organik dalam air limbah digambarkan

melalui hasil pengukuran COD (Lampiran 3) serta N organik. Nilai N organik

dihitung melalui selisih antara nilai N total dengan penjumlahan nilai NH3-N,

NO3-N, dan NO2-N. Selain pengukuran bahan organik, dilakukan juga

pengukuran DO, pH, kekeruhan, TDS, suhu, serta penentuan persentase

penutupan untuk melihat pertumbuhan mikrofungi.

3.4.2. Analisis persentase perubahan nilai karakteristik limbah

Analisis persentase perubahan nilai karakteristik limbah dimaksudkan

untuk melihat perubahan nilai limbah yang diukur setiap hari. Hasil perubahan

nilai karakteristik limbah dalam persen ditentukan dengan menggunakan rumus

(Purwati, 1985 in Sukaton, 2007) :

Persentase perubahan nilai karakteristik limbah = a

a = Nilai pengamatan pada hari pertama

b = Nilai pengamatan pada hari terakhir

3.5. Analisis statistik

3.5.1. Penelitian pendahuluan

Pada penelitian pendahuluan, untuk melihat pengaruh perbandingan

konsentrasi limbah terhadap pertumbuhan mikrofungi, digunakan Rancangan

Acak Lengkap (RAL) dengan rumus umum sebagai berikut:

Yij = µ + i + ij

Yij : Laju penurunan bahan organik pada konsentrasi ke-i, pada ulangan ke-k

: Rata-rata laju penurunan bahan organik

τi : Pengaruh konsentrasi ke-i, i = 1, 2, 3, 4

(43)

Untuk melihat pengaruh keragaman dari variabel konsentrasi terhadap

pertumbuhan mikrofungi, dalam penelitian ini dilakukan uji satu arah

anova/Analisis of Variance (Tabel 3). Hipotesis yang digunakan adalah : HO : µ i = 0

(Faktor konsentrasi tidak ada pengaruhnya pada pertumbuhan mikrofungi)

H1 : µ i≠ 0

(Faktor waktu ada pengaruhnya pada pertumbuhan mikrofungi)

Tabel 3. Tabel sidik ragam RAL

Sunber keragaman

Derajat bebas Jumlah

Kuadrat

Dikutip dari Mattjik dan Sumertajaya (2000)

*) Keterangan: - i adalah total perlakuan

- k adalah total ulangan untuk semua perlakuan

- Bila F hitung < F 5 % tidak ada perbedaan nyata; H0diterima

- Bila F hitung > F 5 % ada perbedaan nyata; H1 diterima

3.5.2. Penelitian utama

a. Pengaruh waktu terhadap penurunan bahan organik

Rancangan Acak Lengkap (RAL) digunakan juga pada penelitian utama

untuk melihat keragaman konsentrasi bahan organik antarwaktu pada

masing-masing jenis mikrofungi yang diujikan. Rumus umum yang digunakan adalah

Yij = µ + τi + ij

Yij : Laju penurunan bahan organik pada waktu ke-i, pada ulangan ke-k

µ : Rata-rata laju penurunan bahan organik

τi : Pengaruh waktu ke-i, i = 1, 2, 3, 4, 5, 6

(44)

Untuk melihat pengaruh keragaman dari variabel waktu terhadap

penurunan konsentrasi bahan organik, dalam penelitian ini dilakukan uji satu arah

anova/Analisis of Variance (Tabel 3). Secara umum hipotesis yang digunakan adalah

H0 : µ i = 0

H1 : µ i≠ 0

Hipotesis tersebut menjelaskan bahwa pada limbah cair tahu dengan jenis

mikrofungi tertentu, waktu memberikan pengaruh yang sama terhadap rata-rata

laju penurunan konsentrasi bahan organik (H0). Atau minimal ada satu perlakuan

waktu memberikan pengaruh yang berbeda terhadap rata-rata laju penurunan

konsentrasi bahan organik (H1).

b. Pengaruh jenis mikrofungi terhadap penurunan bahan organik

Untuk melihat jenis mikrofungi yang memberikan pengaruh terhadap

penurunan konsentrasi bahan organik, digunakan Rancangan Acak Lengkap

(RAL) dalam waktu. Rumus umum yang digunakan adalah

Yijk = µ + αi + ij + ωk + jk + αωik + ijk

Yijk : Laju penurunan bahan organik

µ : Rata-rata laju penurunan bahan organik

αi : Pengaruh jenis mikrofungi ke-i, i = 1, 2, 3, 4, 5

ij : Komponen acak perlakuan

ωk : Pengaruh waktu ke-k, k = 1, 2, 3, 4, 5, 6

jk : Komponen acak waktu

αωik : Pengaruh interaksi dari mikrofungi ke-i dan waktu ke-k

ijk : Komponen acak interaksi waktu dan perlakuan

Uji yang digunakan pada tahap ini adalah MANOVA/Multivariate

Analisis of Variance (Tabel 4) dan Profil Plot (grafik rata-rata nilai tengah). Beberapa hipotesis yang diuji adalah pengaruh faktor jenis mikrofungi, waktu,

serta interaksi antara faktor jenis mikrofungi dan waktu, dengan bentuk hipotesis

(45)

a. HO : Tidak ada pengaruh dari waktu terhadap penurunan konsentrasi bahan

konsentrasi bahan organik

c. HO : Tidak ada pengaruh dari interaksi faktor jenis mikrofungi dan waktu

pada penurunan konsentrasi bahan organik

H1 : Ada pengaruh dari Interaksi faktor jenis mikrofungi dan waktu

terhadap penurunan konsentrasi bahan organik

Tabel 4. Tabel sidik ragam RAL dalam waktu

Sunber keragaman Derajat bebas

Sumber modifikasi dari Mattjik dan Sumertajaya (2000)

Keterangan: - i adalah total perlakuan

- r adalah total ulangan untuk semua perlajuan

- Bila F hitung < F 5 % tidak ada perbedaan nyata; H0diterima

(46)

4.1. Hasil

4.1.1. Penelitian pendahuluan

4.1.1.1. Biodiversitas mikrofungi akuatik dari Telaga Warna

Jenis mikrofungi akuatik yang ditemukan dari perairan Telaga Warna

merupakan fungi jenis kapang. Sebelas spesies mikrofungi ditemukan pada

musim kemarau dan 15 spesies pada musim hujan. Kapang yang ditemukan pada

musim kemarau adalah Mucor hiemalis, Mucor plumbeus, Mucor substilissimus,

Abisidia spinosa, Aspergillus niger, Aspergillus conicus, Penicillium viridicatum, Penicillium rugulosum, Trichoderma koningii, Acremonium strictum, dan

Cephalosporium acremonium. Yang ditemukan pada musim hujan adalah Mucor rouxianus, Mucor ramannianus, Mucor genevensis, Mucor jansseni, Mucor pussilus, Rhizopus cohnii, Rhizopus stolonifer, Rhizopus oryzae, Penicillium rugulosum, Cephalosporium acremonium, Penicillium citrinum, Penicillium urticae, Penicillium spinulosum, Aspergillus amstelodami, dan Monilia humicola.

Deacon (1997) dan Alexopoulos et al. (1996) in Sigee (2005) membagi fungi dalam filum Chitrdiomycota, Zygomycota, Ascomycota, Basidiomycota,

dan Deuteromycota. Isolat mikrofungi yang didapat dari perairan Telaga Warna

termasuk ke dalam filum Zygomycota dan Deuteromycota (Tabel 5).

Karakteristik visual mikrofungi yang ditemukan di Perairan Telaga dapat dilihat

pada Lampiran 4.

Jenis-jenis kapang tersebut, sebagian memiliki dampak yang negatif bagi

kesehatan, seperti Aspergillus conicus yang memiliki pertumbuhan sangat cepat.

Spora Aspergillus mudah sekali terbawa udara sehingga mudah terhirup oleh

manusia dan dapat mengganggu kesehatan, diantaranya mengganggu sistem

kekebalan tubuh, dan sistem syaraf (Kuhn dan Ghannoum 2003). Oleh karena itu,

mikroorganisme uji yang digunakan dalam peneltian ini adalah Penicillium

rugulosum, Penicillium viridicatum, Acremonium strictum, Cephalosphorium acremonium, dan Abisidia spinosa. Mikrofungi uji yang digunakan, sebelumnya telah diujikan untuk mendegradasi minyak (Widiyanti 2007), dan dapat digunakan

(47)

mampu menghasilkan metabolit yang dapat dimanfaatkan untuk bioleaching; serta menghasilkan antifungal yang digunakan dalam bidang farmasi (Breen 1995;

Kisielowskadan Kasińska-Pilut 2005).

Tabel 5. Pengelompokan jenis-jenis mikrofungi akuatik yang terdapat di Danau Telaga Warna

a. Deacon (1997) dan Alexopoulos et.al.(1996) in Sigee (2005) b. Fassatiová (1986) dan Gilman (1945)

4.1.1.2. Penentuan konsentrasi limbah

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan konsentrasi limbah

yang tepat bagi kelangsungan hidup mikrofungi. Konsentrasi uji yang digunakan

adalah 75% (perlakuan A), 50% (perlakuan B), dan 25% limbah (perlakuan C).

Konsentrasi tersebut dibandingkan dengan kontrol, yang berupa 100% limbah

(perlakuan D).

Berdasarkan hasil pengamatan, ternyata semua limbah dengan

konsentrasi yang diujikan dapat mendukung viabilitas inokulan mikrofungi. Hal

Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies

Zygomycotaa Zygomycetesb Mucoralesb Mucoraceaeb

Mucorb

Trichodermab T.koningii

Acremoniumb A. strictum

Cephalosporiumb C. acremonium

(48)

ini dicirikan dengan keberadaan inokulan yang tetap bertahan di permukaan

media. Selain itu, mikrofungi uji mampu tumbuh pada media uji tersebut.

Mikrofungi yang diujikan adalah Abisidia spinosa (AS); Cephalosphorium acremonium (CA) dan Penicillium rugulosum (PR). Mikrofungi uji tersebut mengalami pertumbuhan hingga hari keempat. Berdasarkan persentase

penutupan pada tiap perlakuan limbah, pertumbuhan mikrofungi uji tersebut

berbeda. Pertumbuhan mikrofungi tertinggi didapatkan pada perlakuan A,

berturut-turut diikuti oleh perlakuan D, B, dan C. Persentase penutupan

mikrofungi pada hari keempat dapat dilihat pada Lampiran 5.

Lambatnya pertumbuhan mikrofungi pada perlakuan D diduga karena

tingginya konsentrasi bahan organik, sehingga mikrofungi sulit untuk

mendekomposisi bahan organik yang ada dalam waktu singkat. Di samping itu,

mikroorganisme uji dapat mengalami pertumbuhan yang lambat apabila media

hidup kurang sesuai untuk pertumbuhannya, seperti pada perlakuan B dan C. Hal

ini diduga karena berkurangnya konsentrasi bahan organik akibat pengenceran

yang lebih dari 25%.

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi limbah

mempengaruhi pertumbuhan mikrofungi (p < 0,05) (Lampiran 6). Hal ini

ditunjukkan melalui nilai rata-rata persentase penutupan masing-masing jenis

mikrofungi pada masing-masing konsentrasi limbah yang berbeda.

Untuk menentukan konsentrasi yang berbeda nyata dalam memberikan

pengaruh terhadap pertumbuhan, dilakukan uji lanjut menggunakan uji Tukey.

Hasil analisis lanjut terhadap pertumbuhan mikrofungi jenis AS dan CA yang

ditumbuhkan pada perlakuan A dan D berbeda dari yang ditumbuhkan pada

perlakuan C dan B. Pertumbuhan mikrofungi jenis PR berbeda pada semua

perlakuan limbah.

Karena pada perlakuan A (75% limbah) terdapat pertumbuhan satu jenis

mikrofungi yang relatif tinggi, maka untuk penelitian utama digunakan

konsentrasi limbah 75%. Selain itu, berdasarkan hasil yang didapat secara visual,

(49)

Hari

ke-4.1.2. Penelitian utama

Kemampuan mikrofungi uji (Abisidia spinosa, Cephalosphorium

acremonium, Acremonium strictum, Penicillium rugulosum, dan Penicillium viridicatum) dalam mendekomposisi bahan organik pada limbah cair tahu dapat dilihat dari beberapa parameter kualitas air yang menggambarkan kandungan

bahan organik dan penurunannya selama waktu penelitian. Disamping itu juga

dapat dilihat pengaruh dari keberadaan bahan organik terhadap pertumbuhan

mikrofungi tersebut. Berikut hasil pengukuran beberapa parameter kualitas air

yang digunakan serta pertumbuhan mikrofungi yang diamati.

4.1.2.1. COD (Chemical Oxygen Demand)

Keberadaan bahan organik yang terdapat pada limbah cair tahu dapat

diketahui melalui Chemical Oxygen Demand (COD). Hasil pengukuran

konsentrasi COD serta persentase penurunannya pada berbagai jenis mikrofungi

serta kontrol disajikan pada Lampiran 7. Perubahan konsentrasi COD antar waktu

pada masing-masing media (limbah cair tahu) dengan inokulan mikrofungi dan

tanpa inokulan mikrofungi diuraikan sebagai berikut.

A. Konsentrasi COD pada media dengan inokulan Abisidia spinosa (AS)

Rata-rata konsentrasi COD antar waktu pada media dengan mikrofungi

jenis AS berbeda nyata (p < 0,05) (Lampiran 8). Konsentrasi COD pada media

dengan inokulan AS berkisar 1925-7000mg/l, dengan konsentrasi terendah terjadi

pada H5 dan tertinggi pada H1 (Gambar 6).

Gambar 6. Rata-rata konsentrasi COD pada limbah cair tahu dengan mikrofungi

Gambar

Gambar 4.  Bagan Proses Pembuatan Tahu
Tabel 2.  Baku mutu limbah cair industri dan kegiatan usaha lainnya (Keputusan                  Gubernur No.45 Tahun 2002)
Gambar 5. Skema mikroscreen pada recycle reaktor (Van Leeuwen 2004)
Tabel 4.  Tabel sidik ragam RAL dalam waktu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Parameter : Uji kandungan kimia N dan P pada pupuk organik cair kombinasi daun lamtoro, limbah tahu, dan feses sapi.

Dengan demikian isolat bakteri tersebut merupakan mikrob dominan pada limbah cair yang mampu memanfaatkan bahan organik sebagai nutrisi untuk tumbuh serta

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh aplikasi pupuk organik cair limbah cair pabrik tahu terhadap sifat fisik tanah pada tanaman pakcoy (Brassica rapa L.)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlakuan terbaik dalam menurunkan kandungan bahan organik limbah tahu dengan menggunakan tanaman eceng gondok (Eichhornia

Pada penelitian selanjutnya, untuk mendapatkan produksi biogas yang lebih cepat dalam jumlah besar dapat dikaji campuran dengan bahan dasar limbah cair tahu dengan

Berdasarkan analisis data dan pembahasan pupuk organik cair kombinasi daun lamtoro, limbah tahu, dan feses sapi maka dapat disimpulkan bahwa kandungan makronutrien nitrogen

Jurnal Teknik Lingkungan Volume 20 Nomor 1, Mei 2014 Hal 78-87 78 EFISIENSI PENYISIHAN ORGANIK LIMBAH CAIR INDUSTRI TAHU DENGAN ALIRAN HORIZONTAL SUBSURFACE PADA CONSTRUCTED

Berdasarkan uraian tersebut maka penelitian sejenis masih layak untuk dilanjutkan yaitu melakukan penelitian dengan memanfaatkan limbah cair tahu sebagai pupuk organik cair dengan