• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS OF FACTORS THAT CONSUMER CONSIDERED IN SHOPPING AT MINIMARKET (Study on consumer of Alfamart in Kortagajah,Central Lampung)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS OF FACTORS THAT CONSUMER CONSIDERED IN SHOPPING AT MINIMARKET (Study on consumer of Alfamart in Kortagajah,Central Lampung)"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

ANALISIS OF FACTORS THAT CONSUMER CONSIDERED IN SHOPPING AT MINIMARKET

(Study on consumer of Alfamart in Kortagajah,Central Lampung)

By: Yudhi Hermawan

The growth of retail trade in this country increasingly mushrooming effect of minimarket with all the advantage. One of them is Alfamart Minimarket. Given minimarket is a new concept in the world trade in Indonesia, it is necessary to know the factors that consumers considered in shopping at minimarket.

This problem can be formulated the factor that consumers considered in shopping at Alfamart Minimarket. The issues that need to be know are the dominant factors that influence on purchase decision at Alfamart Minimarket.

(2)

named (1) Social class and family with the variant contribution equal to 14.659 % and deputizing value 1,759, (2) Personality, Self concept and Attitude with the variant contribution equal to 14.252 % and deputizing value 1,710, (3) Perception with the variant contribution equal to 13.605 % and deputizing value 1,633, (4) Motivation and Learning process with the variant contribution equal to 13.314 % and deputizing value 1,598, (5) Social groups with the variant contribution equal to 10.999 % and deputizing value 1,320.

(3)

ABSTRAK

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG DIPERTIMBANGKAN KONSUMEN DALAM BERBELANJA DI MINIMARKET (STUDI PADA

KONSUMEN ALFAMART YANG BERADA DI KECAMATAN KOTAGAJAH LAMPUNG TENGAH).

Oleh: Yudhi Hermawan

Tumbuhnya perdagangan retail di tanah air memberikan dampak semakin menjamurnya minimarket dengan segala keunggulannya. Salah satu dari minimarket tersebut adalah minimarket Alfamart. Mengingat minimarket adalah sebuah konsep baru di dunia perdagangan Indonesia, maka perlu diketahui faktor-faktor yang diprtimbangkan konsumen dalam berbelanja di minimarket.

Dapat dirumuskan permasalahannya yaitu faktor-faktor yang dipertimbangkan konsumen dalam berbelanja di Minimarket Alfamart. Masalah yang perlu diketahui lainnya adalah faktor-faktor yang dominan mempengaruhi keputusan pembelian di minimarket Alfamart.

(4)

Berdasarkan hasil analisis faktor terdapat 12 indikator membentuk 5 faktor dengan total varian (kumulatif persentasi) sebesar 66,828 %. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah (1) Kelas sosial dan Keluarga dengan kontribusi sebesar 14,659% dan tingkat keterwakilan 1,759, (2) Kepribadian, Konsep diri dan Sikap, dengan kontribusi sebesar 14,252% dan tingkat keterwakilan 1,710, (3) Persepsi, dengan kontribusi sebesar 14,659% dan tingkat keterwakilan 1,759,(4) Motifasi dan Proses belajar dengan kontribusi sebesar 13,605% dan tingkat keterwakilan 1,633, (5) Kelompok sosial dengan kontribusi sebesar 13,314% dan tingkat keterwakilanya 1,320.

(5)

ABSTRACT

Characteristic Buyer Factors that Influencing Purchase Decision of Shar-E Card

(Study on Shar-E Customer of PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk. Cabang Bandar Lampung).

By: Marina Ashari

Syariah banking growth give impacts to various products of syariah banking which bargained with all of the utilities. One of banking products which in accordance with syariah is Shar-E Card that marketed by Bank Muamalat Indonesia. Shar-E Card is a new concept on Indonesia’s banking, therefore necessary to know about characteristic buyer factors that influencing purchase decision of Shar-E Card.

The problem of this research is characteristic buyer factors that influencing purchase decision of Shar-E Card. Another problem which need to know is characteristic buyer factors that very dominant influencing purchase decision of Shar-E Card.

(6)

named are personal, culture, psychology and social, the variance total is 67,294% and factor loading between 0,526 until 0,863. The result of regression analysis that way aggregative, purchase decision of Shar-E Card influenced by personal, culture, psychology and social. It’s point out signification less than 0,05 is 0,000. coefficient correlation value is 0,595 with coefficient determinant value 0,354. that way partial, psychology factor is a factor that influencing purchase decision of Shar-E Card, with signification 0,000 (<0,05). But, another factors doesn’t influencing dependent variable because the signification more than 0,05.

(7)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dasawarsa terakhir ini isu kesejahteraan anak terus mendapat perhatian masyarakat dunia, mulai dari permasalahan buruh anak, peradilan anak, pelecehan seksual pada anak, dan anak jalanan. Hal tersebut juga dicerminkan dari banyaknya dokumen internasional yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak anak. Sedikitnya terdapat 16 dokumen internasional yang terkait dengan permasalahan anak, beberapa diantaranya: United Nations Standard Minimum Rules For The Administration Of Juvenile Justice (Peraturan Administrasi Standar Minimum Persatuan Bangsa-bangsa Untuk Keadilan Anak), Resolusi MU PBB 1985: The Use of Children in The Illicit Traffi in Narcotic Drugs (Peran Anak-anak Dalam Perdagangan Obat-Obatan Narkotika), Resolusi MU-PBB 1988: Convention on The Right of The Child (Konvensi Hak Anak), Resolusi MU-PBB 1989: The Effects of Armed Conflicts on Children Lives (Efek Dari Penanganan Konflik Anak), Resolusi Komisi HAM PBB 1991: The Special Rapporteur on The Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography (Pelopor Perdagangan Anak, Prostusi Anak dan Pornograpi Anak), dan Resolusi Komisi HAM PBB 1994.

(8)

menyebutkan bahwa terdapat 30 juta anak tinggal dan menjaga diri mereka sendiri di jalan. Di Asia, saat ini paling tidak terdapat sekitar 20 juta anak jalanan. Jumlah tersebut diramalkan akan meningkat dua kali lipat pada 30 tahun mendatang (Childhope,1991:40).

Demikian halnya di Indonesia, laporan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (2005) memberitakan bahwa fenomena anak jalanan semakin meningkat dari segi kualitas maupun kuantitas. Penelitian tersebut menemukan kenyataan bahwa sebagian besar anak jalanan berasal dari keluarga tidak mampu. Dari 226 juta keluarga tidak mampu, sekitar 35,29% tak tamat SD, sekitar 34,22% tamat SD, dan sekitar 13,57% tamat SMP (www.scribd.com/anakjalanan).

Tetapi, hubungan kemiskinan dengan perginya anak ke jalan bukanlah hubungan yang sederhana. Diantaranya terdapat faktor-faktor intermediate (tingkat menengah) seperti harmoni keluarga, kemampuan pengasuhan anak, dan langkanya dukungan keluarga (family support) pada saat krisis keluarga di rumah manjadi penyebab anak pergi ke jalanan.

(9)

Dalam kaitannya dengan pembangunan sumberdaya manusia, terutama di perkotaan, penanganan yang serius terhadap masalah anak jalanan merupakan suatu isu kebijakan yang mendesak. Penanganan tuntas tentunya tidak hanya mencakup upaya-upaya yang bersifat rehabilitatif saja, tetapi juga mencakup usaha yang bersifat pencegahan dan pengembangan. Selain itu, kebijakan yang kurang tepat dan menyederhanaan permasalahan yang sesungguhnya hanya akan membuat usaha penanggulangan anak jalanan menjadi usaha tambal sulam karena kesalahan dalam melihat masalah yang sesungguhnya.

Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia merupakan persoalan sosial yang kompleks. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak bermasadepan jelas. Keberadaan mereka tidak jarang menjadi “masalah” bagi banyak pihak, yaitu keluarga, masyarakat, dan negara. Namun, perhatian terhadap nasib anak jalanan tampaknya belum begitu besar dan solutif, padahal mereka adalah saudara kita. Mereka adalah amanah Allah yang harus dilindungi, dijamin hak-haknya, sehingga tumbuh-kembangnya menjadi manusia dewasa yang bermanfaat, beradab, dan bermasa depan cerah akan lebih terjamin

(10)

Convention on the Right of the Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak). Mereka perlu mendapatkan hak-haknya secara normal sebagaimana layaknya anak, yaitu hak sipil dan kemerdekaan (civil righ and freedoms), lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan (family envionment and alternative care), kesehatan dasar dan kesejahteraan (basic health and welfare), pendidikan, rekreasi, budaya (education, leisure, and culture activites), dan perlindungan khusus (special protection) (www.depsos.go.id).

Mengamen di jalanan, itulah yang kita tahu tentang mereka. Padahal ada dunia tersendiri yang mereka geluti, yaitu menjalani kehidupan seks bebas pada usia sangat muda, baik yang dilakukan secara paksa maupun suka sama suka (semata agar bisa diterima sebagai anggota, dan juga perlindungan dari sesama teman jalanan karena kerasnya kehidupan dan persaingan di jalanan, dengan syarat melakukan hubungan seks sebagai imbalannya), dan berikut sedikit uraiannya.

(11)

entitas yang keberadaannya berkaitan erat dengan tatanan nilai, norma, dan sistem pengetahuan suatu masyarakat

Seksualitas selalu hadir dalam setiap sisi kehidupan manusia dan kehadirannyapun tidak luput dari makin banyaknya dan mudahnya mendapatkan pengetahuan tentang seks. Disamping itu, maraknya pornografi telah menjadi bagian keseharian remaja sehingga remaja menjadi iluisif (banyak berhayal), hidupnya diliputi bayang-bayang kosong, lebih suka melamun, meremehkan nilai-nilai sosial, bahkan pada taraf yang lebih buruk lagi, remaja menyalahgunakan seks.

Kasus-kasus seks bebas, seperti casting iklan sabun mandi, adegan seks remaja di handphone, serta peredaran VCD porno oleh sepasang remaja atau mahasiswa, mengindikasikan bahwa perilaku seksual yang tidak sesuai dengan budaya dan norma-norma di masyarakat, telah menempati level mengkhawatirkan dan menjadi pemicu rusaknya moralitas generasi muda. Kondisi ini juga mengindikasikan kurangnya kontrol dan aturan hukum terhadap pengguna akses informasi yang akhirnya menyebabkan kecenderungan penyimpangan perilaku seksual remaja menjadi kuat. Hal ini sejalan dengan membanjirnya informasi mengenai perilaku seksual, mulai dari media cetak sampai elektronik, sedikit banyak memberikan pengaruh terhadap kecenderungan terjadinya penyimpangan perilaku seksual pada remaja (id.wikipedia.org/wiki/anakjalanan).

(12)

dengan perubahan-perubahan fisik dan peran-sosial yang sedang terjadi padanya. Gejolak seksualitas yang terjadi pada akhirnya memicu keinginan remaja untuk melakukan hubungan seks, selain juga ditunjang minimnya pengalaman seksual.

Maraknya remaja yang melakukan seks bebas saat ini dapat dilihat dari dua faktor penyebab, yaitu faktor internal dan faktor ekstrnal. Faktor internal berasal dari dalam diri remaja itu sendiri, dimana seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa remaja adalah seseorang yang sedang mengalami peningkatan hasrat seksual dikarenakan perubahan fisik dan biologis yang sedang terjadi padanya. Faktor ini bertendensi membuat remaja ingin melakukan hubungan seks. Sementara faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar diri remaja, diantaranya adalah peer group (teman sepermainan) yang biasanya memiliki influence yang cukup besar dalam kehidupan remaja. Dimulai dari obrolan atau cerita mengenai pengalaman seksual diantara teman dan akhirnya mempengaruhi remaja untuk mencontoh perilaku seksual tersebut.

Selain itu media saat ini juga semakin marak menampilkan tayangan-tayangan yang bermuatan seksualitas sehingga dapat memicu remaja untuk melakukan perilaku seks bebas. Pergaulan remaja saat ini yang semakin bebas juga semakin membuka celah untuk melakukan perilaku seks bebas. Dan ini juga terjadi karena remaja masa kini sudah banyak menjadi konsumerisme budaya barat tanpa adanya penyaringan terlebih dahulu sehingga perilaku tersebut sangat tidak sesuai dengan norma dan aturan yang ada di negara kita (www.pendidikan.net/seksbebas).

(13)

dari keluarga atau orangtua, dan juga banyak faktor lain yang mendukung. Pada anak jalanan faktor eksternal lebih banyak mempengaruhi mereka dalam melakukan seks bebas tersebut. Sehingga membentuk perilaku-perilaku seks yang kurang baik pada mereka.

Anak jalanan memperoleh “pengetahuan” seksnya dari teman sebaya atau anak

jalanan yang lebih tua, baik yang bersumber dari buku porno, film atau VCD porno, atau mengintip orang yang sedang melakukan hubungan seksual. Mudahnya memperoleh pengetahuan mengenai seks mempengaruhi sikap anak jalanan terhadap hubungan seksual. Terlebih, anak-anak jalanan terkadang memiliki anggapan, bahwa hubungan seksual di luar nikah sebagai hal yang wajar karena itu merupakan urusan dari anak jalanan itu sendiri dan tidak mengganggu kepentingan orang lain.

Kondisi ini tidak lepas dari kehidupan mereka yang bebas di jalanan serta norma yang serba longgar. Selain itu, yang mendorong anak jalanan makin permisif terhadap perilaku seks bebas karena kemampuan mereka mencari nafkah secara mandiri. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian di Thailand yang menemukan bahwa remaja yang sudah bisa mencari nafkah sendiri, lebih permisif dalam urusan seksualitas daripada remaja yang masih sekolah (Sarwono, 1997).

B. Rumusan Masalah

(14)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan dan menjelaskan tentang perilaku anak jalanan dalam melakukan hubungan seks bebas di kalangan mereka dan faktor penyebabnya.

2. Kegunaan Penelitian

a. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan dan pengetahuan seputar perilaku seks bebas di kalangan anak jalanan dan juga diharapkan dapat berguna bagi upaya pengembangan khasanah ilmu Sosiologi, khususnya Sosiologi Perilaku Menyimpang.

(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Anak Jalanan dan Permasalahannya

Anak jalanan adalah anak-anak yang menghabiskan sebagian waktunya untuk bekerja di jalanan kawasan urban. UNICEF (1986) memberikan batasan sebagai

“Children who work on the streets of urban areas, without reference to the time they spend there or the reasons for being there” (Anak yang bekerja di jalanan area kota, tanpa kejelasan waktu yang mereka habiskan atau alasan mereka berada disana). Mereka umumnya bekerja di sektor informal, sedangkan yang menyebabkan mereka menjadi anak jalanan adalah akibat kesulitan ekonomi; banyaknya orangtua yang melakukan urbanisasi dan menjadi pengemis di ibukota, kekacauan dalam kehidupan keluarga, perlakuan keras, penelantaran, menghindar dari penganiayaan, dan kemiskinan.

Komunitas ini sangat mudah ditemui, umumnya mereka bergerombol di perapatan lampu merah, pusat pertokoan, terminal bus, dan tempat-tempat keramaian yang memungkinkan mereka mendapatkan uang.

Berdasarkan latar belakang kehidupan dan motivasinya, mereka dibedakan atas: a. Golongan anak jalanan pekerja perkotaan, yakni mereka yang keberadaannya

(16)

b. Golongan anak jalanan “murni”, yakni yang menjalani seluruh aspek kehidupannya di jalanan. Mereka umumnya adalah pelarian dari keluarga bermasalah. Kehidupan jalanan membentuk subkultur tersendiri yang disebut budaya jalanan dengan nilai moralitas yang longgar, nilai perjuangan untuk bertahan hidup, penuh kekerasan, penonjolan kekuatan, ketiadaan figur orangtua, dan peranan kelompok sebaya yang besar (www.damandiri.or.id).

Sampai saat ini belum ada satu ketetapan mengenai definisi anak jalanan. Setiap orang mempunyai tanggapan yang berbeda tentang definisi anak jalanan, tergantung dari sudut pandang yang dianut. Namun demikian dapat diidentifikasi karakteristik yang menonojol dari anak jalanan, diantaranya adalah:

1. Nampak kumuh/kotor, baik kotor pada badan/tubuh, atau pada pakaian yang mereka pakai;

2. Memandang orang lain (di luar orang yang berada di jalanan) adalah orang yang bisa/dapat dimintai uang;

3. Mandiri, artinya anak-anak tidak terlalu menggantungkan hidup terutama dalam hal tempat tidur atau makan;

4. Muka/mimik yang selalu memelas, terutama ketika berhubungan dengan orang yang bukan dari jalanan;

5. Anak-anak tidak memiliki rasa takut untuk berinteraksi, bercakap, dan ngobrol dengan siapapun di jalanan;

(17)

UNICEF mendefinisikan anak jalanan sebagai anak-anak yang pergi meninggalkan rumah, sekolah, dan lingkungan tinggalnya sebelum mencapai usia 16 tahun. Mereka berada di jalan-jalan ataupun tempat-tempat umum lainnya. Biasanya kelompok anak-anak ini mempunyai karakteristik dan gaya hidup yang serupa. Mereka kebanyakan berasal dari keluarga miskin yang orang tuanya tidak memiliki pekerjaan, kehidupan perkawinannya tidak stabil, peminum alkohol, dan lain lain. Kekerasan tampak merupakan cara yang biasa diterapkan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan antar pribadi, mereka umumnya anak yang liar, dan tidak tersosialisasi dengan baik. Biasanya lembaga-lembaga yang mengurusi persoalan kesejahteraan umum menyatakan mereka sebagai “the most

damaged and deprived” (Jurnal Psikologi Sosial No. 2/th I/Maret/1989).

Ada pula yang beranggapan bahwa anak jalanan adalah anak-anak yang meminta-minta di tempat-tempat umum, mengemis dengan pakaian kumal, badan kotor, dan penampilan tidak terawat. Meskipun ada perbedaan, secara umum fenomena yang diperlihatkan adalah sama, yakni bahwa anak jalanan adalah anak-anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalan-jalan dan tempat umum lainnya dengan kisaran usia 9 –12 tahun (Jurnal Psikologi Sosial No. 2/Th I/Maret/1989).

(18)

Seperti kita ketahui, corak kehidupan di jalanan sangatlah keras. Ketika pertamakali hadir di jalan, seorang anak harus beradaptasi dan mulai menerima cara-cara hidup yang berlaku di lingkungan yang baru tersebut. Salah satu bentuk penyesuaian dirinya adalah dengan mengganti nama. Hal ini dilakukan untuk menjaga jarak dengan masa lalunya, sekaligus masuk dalam masa kekiniannya, anak-anak yang berasal dari daerah pedesaan misalnya, mengganti namanya dengan nama-nama yang dianggap sebagai nama "modern" yang diambil dari bintang sinetron atau yang biasa didengarnya, misalnya dengan nama Andi, Roy, dan semacamnya. Seorang anak yang bernama Mohammad kemudian mengganti namanya menjadi Roni. Alasan yang diberikan karena Mohammad adalah nama Nabi. Nama itu tidak cocok dengan kehidupan di jalan karena yang dilakukan di jalan umumnya merupakan tindakan haram.

Mereka juga harus membiasakan diri dengan berbagai macam bentuk kekerasan, baik dari anak jalanan yang lain, orang dewasa yang mengeksploitasi dan memanfaatkan mereka, maupun aparat keamanan. Bentuk kekerasan yang biasa mereka terima adalah dimintai uang dengan paksa, dipukuli, diperkosa ataupun bentuk pelecehan seksual lainnya. Namun tak jarang pula mereka yang menjadi pelaku kekerasan tersebut, misalnya meminta dengan paksa uang atau barang milik teman yang lebih lemah, pencurian kecil-kecilan, judi, dan perdagangan obat-obat terlarang.

(19)

yang dimaksud adalah dalam bentuk pelecehan seksual dari yang tingkatnya paling ringan sampai dengan perkosaan. Seks bebas di kalangan mereka juga sudah menjadi hal yang lazim, mereka melakukannya dengan sesama anak jalanan dengan pola hubungan yang saling menguntungkan. Anak laki-laki sebagai manusia normal yang memiliki kebutuhan biologis, membutuhkan wanita sebagai “teman”, sementara anak jalanan wanita membutuhkan pria untuk melindungi dirinya.

Orang dewasa yang sering memperhatikan dan bergaul dengan anak-anak jalanan mengatakan bahwa jika dilarang untuk melakukan tindakan tertentu, maka anak-anak jalanan itu seperti disuruh melakukan hal yang sebaliknya. Apa pun akan dilakukan untuk menentangnya. Katanya, itu bagian dari indentitas pembangkangan, atau dalam kata lain menolak dianggap (anak) kecil terus.

(20)

"keras" dan jantan. Menenggak minuman keras dan pil adalah satu kebiasaan yang juga biasa dilakukan selama di jalan. Alasan yang diberikan adalah untuk melupakan masalah.

Beberapa studi mengenai anak jalanan secara gamblang menunjukkan berbagai tekanan yang dialami oleh anak jalanan. Secara ekonomi mereka harus bekerja dalam jam kerja yang cukup panjang, secara sosial ia diletakkan sebagai sampah masyarakat, secara hukum keberadaannya melanggar pasal 505 KUHP. Bukanlah satu hal yang mengada-ada bila mereka merasa tidak pernah merasa nyaman dalam kehidupan sehari-harinya. Tindakan-tindakan yang dipilih ini akan membawa anak-anak pada masalah hukum, karena semua tindakan ini dianggap melanggar hukum. Seorang anak jalanan memberikan alasan bahwa sebelum bekerja ia mabuk dulu untuk menghilangkan rasa malu. Karena sebetulnya ia gengsi kalau harus jadi pengamen. Dengan demikian selain sebagai strategi ekonomi, mabuk akhirnya menimbulkan sikap cuek (tidak peduli) dengan aturan hukum.

(21)

ketegangan dalam diri. Obat dianggap sebagai alat untuk mencapai satu kondisi nyaman (www.scribd.go.id).

Jumlah anak jalanan yang semakin meningkat tidak bisa dibiarkan begitu saja. Hal ini akan berdampak pada besarnya permasalahan yang menyangkut kesejahteraan sosial anak. Jika hal ini tidak segera ditangani, tentu akan berakibat ke berbagai aspek, seperti menurunnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), serta meningkatnya tindak kenakalan, dan kriminal di masyarakat. Mengingat hal tersebut, maka, perlu dilakukan tindakan untuk mengatasinya, baik sebelum maupun setelah anak-anak tersebut turun ke jalan. Penanganan anak-anak jalanan ini harus bersifat terpadu, artinya tidak hanya melibatkan anak itu sendiri tetapi juga keluarga dan masyarakat.

Sebenarnya pemerintah sudah mengambil suatu langkah untuk mengatasi masalah anak jalanan ini. Salah satunya adalah dengan membuat rumah singgah. Rumah Singgah Anak Jalanan (RSAJ) adalah suatu model penanganan anak jalanan yang menggunakan rumah sebagai pusat kegiatan (centre based). Di RSAJ, anak dibimbing dan dibina dalam suasana kekeluargaan sehingga RSAJ seringkali dipandang sebagai tempat persinggahan bagi anak yang termasuk kategori homeless, dan tempat mereka mendapatkan berbagai kegiatan yang bermanfaat.

(22)

merasa ada tempat yang dapat mereka gunakan sebagai rumah. Selain itu, rumah singgah yang ada kebanyakan benar-benar berfungsi sebagai “tempat singgah” di siang hari saja. Artinya, mereka hanya dibenarkan beristirahat di rumah singgah setelah mereka selesai bekerja saja. Sedangkan pada malam hari, mereka harus mencari tempat lain karena rumah singgah tersebut tutup. Selain itu, di banyak rumah singgah seringkali tidak dilaksanakan pendidikan yang sebenarnya menjadi kebutuhan utama anak-anak tersebut.

Kelemahan lain dari penyelenggaraan RSAJ adalah pada agen-agen perubahan atau fasilitator yang kurang memiliki kesamaan dengan sasaran perubahan. Kondisi seperti ini mengakibatkan kurangnya kemampuan empati pada agen perubahan yang pada akhirnya berdampak pada komunikasi yang kurang efektif (www.pendidikan.co.id).

1. Kehidupan di Jalanan

(23)

Mereka mudah saja berkelahi atau tersinggung, seperti dalam perebutan tempat mangkal atau lokasi mencari uang. Ciri-ciri mereka adalah liar, tertutup, tidak tergantung kepada orang lain, dan bebas. Mereka sangat mudah berpindah tempat dari kota yang satu ke kota yang lain. Kontrol orangtua tidak ada karena hubungan yang sudah terputus. Mereka mengembangkan gaya hidup sendiri untuk survive. Kebutuhan terhadap lembaga-lembaga formal yang semestinya menampung mereka, seperti lingkungan rumah, sekolah, dan kelompok bermain tidak lagi didapatkan. Anak-anak jalanan yang dibimbing di rumah singgah pun, setelah keluar tak jarang kembali lagi ke jalanan. Fenomena ini seringkali terjadi walapun pihak rumah singgah telah memberikan sekolah gratis, makanan gratis, dan atap untuk berlindung bagi mereka. Mengapa hal ini terjadi? Karena uang. Di jalanan, mereka dengan gampang bisa memperoleh uang, yang biasanya minimum mencapai Rp. 20.000 per hari. Berarti dalam sebulan mereka bisa memperoleh paling tidak Rp. 600.000. Jumlah ini tentu saja relatif besar bagi seorang anak di bawah umur 18 tahun dan hidup di jalanan.

(24)

anak-anak, maka sistem jalanan demikian pula. Jika nilai positif yang banyak diserap maka ia akan menjadi orang yang tangguh karena telah terbiasa latihan keras dan kebal sejak anak-anak.

Banyak pengusaha dan tokoh-tokoh masyarakat yang ditempa di jalanan. Sayangnya lebih banyak yang terpuruk ke perilaku negatif dan menjadi korban, oleh karenanya keberadaan anak jalanan selalu menjadi perhatian luas dari jenjang lokal sampai international. Dengan kondisi tersebut, maka jelas mereka mudah menerima berbagai masalah. Oleh aparat pemerintah dianggap pengganggu ketertiban sehingga sering dikejar-kejar dan terus dirazia, sementara itu oleh masyarakat setempat atau orang yang mengunakan jalan raya, dianggap mengganggu kenyamanan. Anak-anak yang berperilaku menyimpang dianggap tengah bersosialisasi dengan kejahatan (www.sabda.co.id).

2. Faktor-faktor Penyebab Timbul dan Tumbuhnya Gejala Anak Jalanan

Berikut ini ada 3 tingkatan penyebab keberadaan anak jalanan secara umum (Depsos, 2001:25-26):

1. Tingkat mikro (immediate causes), yaitu faktor yang berhubungan dengan anak dan keluarga.

2. Tingkat messo (underlying causes), yaitu faktor yang ada di masyarakat. 3. Tingkat makro (basic causes), yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur

messo.

(25)

1. Lari dari keluarga, antara lain karena disuruh bekerja baik karena masih sekolah atau sudah putus sekolah, bermain, atau diajak teman.

2. Dari keluarga terlantar, antara lain karena ketidakmampuan orangtua menyediakan kebutuhan dasar, ditolak orangtua, salah perawatan atau kekerasan di rumah, kesulitan berhubungan dengan keluarga atau tetangga, terpisah dengan orangtua, sikap-sikap yang salah terhadap anak, dan keterbatasan merawat anak yang mengakibatkan anak menghadapi masalah fisik, psikologis, dan sosial.

Pada tingkat messo (masyarakat), sebab yang dapat diidentifikasi meliputi:

1. Pada masyarakat miskin, anak-anak adalah aset untuk membantu meningkatkan penghasilan keluarga, anak-anak diajarkan bekerja yang berakibat si anak tidak dapat mengenyam pendidikan secara optimal.

2. Pada masyarakat lain, urbanisasi menjadi kebiasaan, dan anak-anak mengikuti kebiasaan itu.

3. Penolakan mayarakat dan anggapan bahwa anak jalanan adalah sebagai calon kriminal.

Pada tingkat makro (struktur masyarakat), sebab yang dapat diidentifikasi adalah: 1. Ekonomi, adalah adanya peluang pekerjaan sektor informal yang tidak terlalu

(26)

2. Pendidikan, adalah biaya sekolah yang tinggi, perilaku guru yang dikriminatif, dan kententuan-ketentuan teknis dan birokratis yang mengalahkan kesempatan belajar.

3. Belum seragamnya unsur-unsur pemerintah dalam memandang anak jalanan sebagai kelompok yang memerlukan perawatan (pendekatan kesejahteraan), dan pendekatan yang menganggap anak jalanan sebagai trouble maker atau pembuat masalah (security approach / pendekatan keamanan).

B. Pengertian Perilaku Seks Bebas

1. Pengertian Perilaku

Menurut Singgih (1990), perilaku adalah tindakan sosial dan merupakan tindakan yang dipergunakan sebagai alat atau cara untuk mencapai tujuan sehingga kebutuhan atau kehendak dipenuhi. Selain itu perilaku merupakan perwujudan dari sikap seseorang apakah sikap itu mempunyai arah yang positif atau arah yang negatif terhadap suatu objek. Sedangkan menurut Skiner (1939), perilaku adalah hasil hubungan antara peran seseorang (stimulus) dan tanggapan (respon).

Semua manusia dalam bertingkahlaku pada dasarnya dimotivasi oleh dua kebutuhan yang saling berkaitan satu sama lain, sebagai perwujudan dari adanya tuntutan-tuntutan dalam hidup bersama kelompok sosial sekitar. Dan berikut dua kebutuhan yang dimaksud:

1. Kebutuhan untuk diterima oleh kelompok atau oleh orang lain 2. Kebutuhan untuk menghindar dari penolakan orang lain.

(27)

2. Pengertian Seks

Seks merupakan masalah penting bagi kehidupan manusia dan dalam setiap agama dianggap sebagai sesuatu yang bertujuan untuk meneruskan ciptaan Tuhan. Ditinjau dari pengertiannya, seks, seksual, dan seksualitas mempunyai arti yang berbeda. Kata seks mempunyai arti jenis kelamin, sesuatu yang dapat dilihat dan ditunjuk. Seks ini memberikan kita pengetahuan tentang suatu sifat atau ciri yang membedakan laki-laki dan perempuan. Sedangkan arti seksual, yaitu yang ada hubungannya dengan seks atau yang muncul dari seks. Misalnya pelecehan seksual, yaitu menunjuk kepada jenis kelamin yang dilecehkan. Menurut Sarwono (1983), pengetian seks dibagi dalam dua bagian, yaitu:

1. Seks dalam arti sempit

Seks dalam arti sempit berarti jenis kelamin, yaitu alat kelamin itu sendiri; anggota-anggota tubuh dan ciri-ciri badaniah yang membedakan laki-laki dan perempuan (misalnya: perbedaan suara, pertumbuhan kumis, pertumbuhan payudara); kelenjar-kelenjar dan hormon-hormon dalam tubuh yang mempengaruhi bekerjanya alat kelamin; kehamilan dan kelahiran (termasuk pencegahan kehamilan atau lebih dikenal dengan istilah Keluarga Berencana).

2. Seks dalam arti luas

(28)

Dalam buku “Pendidikan Seks dan Cinta Remaja” yang ditulis Larose (1993) juga

dimuat pengertian seks, yaitu: “Seks bukanlah urusan kelenjar saja, adakalanya seks juga diartikan sebagai suatu pantulan rasa cinta. Oleh karena itu hubungan seks sering terjadi antara dua orang yang saling mencintai. Lambat laun akan disadari bahwa seksualitas adalah sesuatu yang luas dan amatlah kompleks. Seks merupakan perpaduan antara perasaan-perasaan yang membara”.

Seks merupakan naluri fitri dan unsur orisinal yang dimiliki manusia. Gairahnya cukup kuat dan panas. Ibarat arus listrik, ia harus disalurkan dan dilepaskan. Jika tidak, ia akan memberontak sang “majikan” dengan kekuatan yang cenderung tak

terbendung. Namun melepaskan kendali seks di luar kerangka sistem yang legal berarti “anarki” dan meluluhkan nilai terhadap seks itu sendiri.

Perilaku seks adalah segala bentuk tingkahlaku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kepuasan untuk mencari atau memperoleh kepuasan seks diluar institusi perkawinan yang tentunya melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat. Bentuk tingkahlaku itu bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik, sampai dengan tingkahlaku berkencan, bercumbu, dan bersenggama.

Berbagai perilaku seksual pada remaja dalam menyalurkan kebutuhan seksualnya antara lain:

(29)

2. Berpacaran dengan berbagai perilaku seksual yang ringan seperti sentuhan, pegangan tangan, sampai pada ciuman dan sentuhan-sentuhan seks yang pada dasarnya adalah keinginan untuk menikmati dan memuaskan dorongan seksual.

3. Berbagai kegiatan ysng mengarah pada pemuasan dorongan seksual yang pada dasarnya menunujukkan tidak berhasilnya seseorang dalam mengendalikannya atau kegagalan untuk mengalihkan dorongan tersebut ke kegiatan positif yang sebenarnya masih dapat dikerjakan.

Perilaku seks yang diteliti pada anak jalanan dalam penelitian ini bukan hanya sekedar sebatas berhubungan kelamin antar lawan jenis, tetapi seperti yang di jelaskan oleh Sarlito perilaku seks ada beberapa jenis, diantaranya ialah:

1. Saling berpelukan 2. Saling berciuman 3. Meraba payudara, dan

4. Meraba alat kelamin atau meraba bagian sensitif lainnya.

C. Remaja dan Hubungan Seks Bebas

(30)

Pengetahuan seks yang hanya setengah-setengah tidak hanya mendorong remaja untuk mencoba-coba, tapi juga bisa menimbulkan salah persepsi. Misalnya saja, berciuman atau berenang di kolam renang yang "tercemar" sperma bisa mengakibatkan kehamilan, mimpi basah dikira mengidap penyakit kotor, kecil hati gara-gara ukuran penis kecil, atau sering melakukan onani bisa menimbulkan impotensi.

Beberapa akibat yang tentunya memprihatinkan ialah terjadinya pengguguran kandungan dengan berbagai risikonya, perceraian pasangan keluarga muda, atau terjangkitnya penyakit menular seksual (termasuk HIV) yang kini sudah mendekam di tubuh ribuan orang di Indonesia.

(31)

Menurut Ramali (1987) hubungan seks bebas merupakan persetubuhan bebas dengan siapa saja. Secara lebih operasional seks bebas merupakan hubungan seks tanpa ada ikatan perkawinan. Menurut Barker (2005), seks bebas adalah hubungan seks antara dua individu tanpa ikatan perkawinan. Pendapat yang paling ekstrim menyatakan bahwa aktivitas apapun yang dilakukan asalkan pikiran mengarah ke hubungan seks termasuk melanggar norma agama, yang dengan demikian termasuk seks bebas.

D. Kekerasan Seksual Pada Anak Jalanan

Dimasa yang akan datang, tampaknya masyarakat akan dikejutkan lagi oleh keterkaitan anak jalanan dengan obat-obat terlarang, terkenanya mereka oleh virus HIV, berkembangnya sikap anti sosial, dan gaya hidup yang khas, yang selama ini baru berupa potensi. Semua itu tentu tidak diharapkan, tetapi di Brazil, anak jalanan adalah bagian dari rantai jaringan narkotika, yang menyebabkan mereka “dihabisi” di jalan-jalan. Di Philipina dan Thailand, ancaman sodomi dan pembunuhan oleh kaum paedophilia (orang yang secara seksual tertarik pada anak) bukan berita baru lagi.

(32)

Secara teoritis, ada tiga karakteristik anak-anak jalanan, pertama, adalah anak-anak yang hidup di jalanan, kedua, anak-anak-anak-anak yang bekerja di jalanan, dan ketiga anak-anak yang rentan menjadi anak jalanan. Faktor-faktor yang membedakan karakteristik tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini:

Tabel 1. Perbedaan Karaktersitik Anak Jalanan

Faktor pembeda Hidup di jalanan Bekerja di jalanan Rentan menjadi anak jalanan Tempat tinggal Di jalanan Mengontrak

(bersama-sama)

Bersama keluarga Pendidikan Tidak sekolah Tidak sekolah Masih sekolah

Tabel di atas memperlihatkan bahwa anak yang hidup di jalanan merupakan kelompok yang berisiko tinggi terhadap berbagai bahaya dibandingkan kelompok lain. Kelompok anak yang bekerja di jalanan relatif lebih aman karena umumnya mereka tinggal berkelompok dan sebagian bersama orangtua atau warga sekampungnya di daerah kumuh di kota-kota, sehingga mereka bisa saling mengontrol satu sama lainnya. Namun karena kebersamaan ini pula, gampang sekali tergerak pada perilaku negatif seperti pencurian, judi, seks bebas, dan lain-lain. Perilaku itu sebagian menjadi kebiasaan mereka sebagai refreshing jika uang mereka habis di meja judi, dan mereka berpikir uang akan mudah didapat lagi di jalan (www.indonesia.org). Dan pada penelitian ini, anak yang diteliti adalah anak jalanan yang 24 jam berada di jalanan.

(33)

mereka lebih lama di jalan, meninggalkan rumah dan sekolah, dan memilih berkeliaran di jalan karena lebih banyak memberikan kebebasan dan kesenangan. Dayatarik ini dirasakan semakin kuat apabila di rumah hubungan dengan orangtua kurang harmonis, orangtua yang bekerja dari pagi sampai malam sehingga anak tidak terawasi, atau unsur eksploitasi dimana anak harus memberikan penghasilannya kepada orangtua, yang jika tidak maka akan menerima hukuman fisik.

Persoalan nyata yang dihadapi anak jalanan adalah adanya eksploitasi dalam kehidupannya, seperti seks, pekerjaan, dan kehidupan yang lebih luas. Eksploitasi ini bertingkat dari cara yang halus sampai yang sangat kasar. Sodomi, seks pada anak di bawah umur, pergaulan dengan Wanita Tuna Susila (WTS), dan kumpul kebo, merupakan eksploitasi yang bersifat seks, sedangkan eksploitasi pekerjaan bersifat penghisapan upah. Eksploitasi lainnya adalah si anak tinggal bersama preman dan menjadi anak asuhnya serta wajib melayaninya, termasuk sodomi. Di beberapa tempat, hampir setiap malam anak-anak jalanan didatangi kaum paedofil di tempat-tempat mereka biasa berkumpul. Hal ini kemudian menimbulkan kekhawatiran anak-anak jalanan terhadap orang baru yang mendekati mereka, pertama, takut diajak homo, kedua, takut dijual. Akibatnya, mereka selalu curiga kepada orang yang baru dikenalnya.

(34)

sekitarnya tidak terlalu ramai. Jika anak itu terbangun, maka dia akan menenangkan anak lalu mencoba merayu dengan cara mengajak makan, menjanjikan membeli baju baru, dan membawanya kerumah. Anak lama dan telah memiliki pengalaman, biasanya berontak dan melawan, lalu sebisa mungkin menghindarinya dengan cara lari atau memanggil teman-temannya. Tetapi anak yang baru datang ke jalanan, tanpa pengalaman, dan masih kecil sehingga tidak mengetahui sedang diapakan, mereka menurut dan mau diajak kerumah. Anak-anak yang diincar bukan saja yang tidur, tetapi mereka yang bekerja atau sedang bermain di jalanan. Mereka pun dirayu dengan jenis rayuan yang sama dan dijanjikan diberikan uang. Bisa seribu rupiah atau bisa sampai puluhan ribu rupiah. Mereka yang menjadi korban adalah anak-anak yang memang membutuhkan uang.

(35)

kurun waktu yang lama. Perilaku seks yang lain adalah dimana anak tidak saja menjadi korban, melainkan sebagai pelaku seks, artinya dengan sadar ia melakukan hubungan-hubungan seks. Hubungan seks dengan Wanita Tuna Susila (WTS) atau paedofil tidak saja didasarkan pada motif seks, tetapi sebagian dianggap sebagai upaya menyalurkan kasih sayang, seperti halnya anak kepada orangtuanya. Akibat dari masalah ini adalah semakin rentannya anak terhadap virus HIV/AIDS. Di Indonesia anak jalanan masih belum dianggap sebagai kelompok dengan resiko tinggi terkena HIV/AIDS, padahal di Thailand, sekitar 40% dari puluhan pelacur anak-anak yang beroperasi di jalan-jalan di Bangkok mendapat vonis mati akibat tercemar virus HIV. Di Bombay terdapat sekitar 50.000 pekerja seks berusia di bawah 18 tahun. Di Brazil sekitar 250.000 anak terlibat prostitusi (Andri,1993).

E. Kerangka Pikir

(36)

untuk proses pertumbuhan anak dan merealisasikan petensi-potensi yang ada pada diri anak-anak.

Mereka kerap mengalami eksploitasi ekonomi oleh orang dewasa (termasuk orang tuanya); mereka rentan terhadap kekerasan fisik, sosial, dan seksual. Mereka juga sering dipaksa harus menjadi pengedar narkoba dan atau terlibat kejahatan lainnya. Pada umumnya anak jalanan tidak hidup dengan orangtuanya, tidak bersekolah, dan tidak memiliki orang dewasa atau lembaga yang merawat mereka. Kemiskinan diyakini sebagai faktor utama yang menimbulkan fenomena anak jalanan. Keluarga yang miskin cenderung menyuruh anak mereka bekerja, selain itu tidak sedikit anak-anak yang menjadi anak jalanan karena keluarga tidak harmonis, diterlantarkan oleh keluarganya, atau karena mengalami kekerasan dalam rumahtangga.

(37)

III. METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Tipe penelitian ini adalah deskriptif. Menurut Hadari Nawawi, penelitian deskriptif adalah prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian (seseorang, masyarakat, lembaga, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya (1991:63). Sedangkan menurut Singarimbun dan Sofian Effendi (1998:4), tujuan dari penelitian deskriptif adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui perkembangan sarana fisik tertentu atau frekuensi terjadinya suatu aspek fenomena sosial tertentu

b. Untuk mendeskripsikan secara terperinci fenomena sosial.

B. Definisi Konseptual dan Operasional Variabel

(38)

1. Perilaku Seks Bebas Anak Jalanan

Perilaku seks bebas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perilaku seks di kalangan anak jalanan mulai dari berciuman, meraba-raba (payudara, alat kelamin), sodomi, sampai dengan hubungan kelamin atau hubungan badan yang disalahgunakan dan dilakukan tanpa adanya ikatan yang sah di dalamnya atau di luar institusi perkawinan.

2. Faktor Penyebab Perilaku Seks Bebas

Faktor-faktor penyebab yang dimaksud dalam penelitian ini adalah faktor apa saja yang menyebabkan anak-anak jalanan sampai terjerumus ke dalam perilaku seks bebas di kalangan mereka. Dalam penelitian ini, ada beberapa aspek yang akan diamati, antara lain sebagai berikut:

1. Motivasi dalam melakukan hubungan seks 2. Kondisi ekonomi keluarga

3. Keutuhan keluarga

4. Pola pengasuhan di dalam keluarga 5. Pendidikan orangtua

6. Pergaulan di kalangan anak jalanan

C. Lokasi Penelitian

(39)

dalam waktu yang lama. Peneliti memilih lokasi Bandar Lampung karena menurut peneliti lokasi ini merupakan tempat yang tepat untuk melakukan penelitian yang berhubungan dengan judul, dan selain itu dapat lebih meminimalisasikan baik waktu maupun materi dari peneliti.

D. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Menurut Masri Singarimbun dan Sofian Efendi (1995:52), populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisa yang cirinya akan diduga. Berdasarkan tema penelitian, maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah anak-anak jalanan yang berada di Kota Bandar Lampung, tepatnya anak-anak jalanan yang berada di Lapangan Engggal, Stasiun Kereta Api, di bawah Mall Ramayana, lampu merah Rumah Sakit Abdul Muluk, dan Pasar Tengah.

Peneliti turun langsung ke lapangan dalam mengumpulkan data, karena anak jalanan selalu berpindah-pindah, sehingga data yang didapatkan dari LSM terkadang kurang tepat. Jadi dari berbagai tempat yang dikunjungi oleh peneliti didapat 106 orang anak jalanan. Dan 106 orang anak jalanan tersebut merupakan akumulasi dari tempat-tempat sebagai berikut:

1. Lapangan Enggal, terdapat 18 orang anak jalanan 2. Stasiun Kereta Api, terdapat 30 orang anak jalanan 3. Mall Ramayana, 21 orang anak jalanan

(40)

2. Sampel

Sampel adalah perwakilan dari seluruh populasi yang akan dijadikan objek penelitian. Dalam menentukan banyaknya sampel penelitian terhadap populasi, digunakan rumus Yamane (dalam Jalaludin Rahmat, 1984:82) dengan rumus sebagai berikut:

d2= taraf nyata, (ditentukan sebesar 0,1) 1 = bilangan konstanta

Jumlah dari keseluruhan anak jalanan tersebut 106 orang, maka akan dicari sampelnya berdasarkan rumus. Berdasarkan rumus di atas, maka diperoleh jumlah sampel sebagai berikut:

Karena bilangan 51,456 adalah pecahan, maka dibulatkan menjadi 52 sampel (n=52 orang). Jadi sampelnya berjumlah 52 orang anak jalanan.

(41)

populasi yang ada. Untuk itu penulis menggunakan rumus area proporsional

S = banyaknya sampel keseluruhan Pi = banyaknya populasi kesatu, kedua, ...

N = banyaknya populasi keseluruhan (Henny Farida, 1999:30)

Jadi sampel yang diperoleh dari tiap-tiap tempat adalah sebagai berikut:

n

1 =

(42)

Tabel 2. Sebaran Populasi dan Sampel Anak Jalanan Di Tempat-tempat Persinggahan Anak Jalanan Di Kota Bandar Lampung

Lokasi Populasi

Sumber: Data Primer Hasil Penelitian Tahun 2009

Penentuan responden yang dijadikan sampel penelitian pada masing-masing tempat dilakukan dengan cara simple random sampling melalui undian.

E. Teknik Pengumpulan Data

Pada penelitian ini teknik yang dipakai untuk mengumpulkan data yang diperlukan adalah:

a. Kuesioner

Adalah suatu daftar yang berisikan rangkaian pertanyaan yang ditujukan untuk memperoleh data atau informasi yang dimaksud dalam penelitian ini, yaitu tentang perilaku seks bebas di kalangan anak jalanan, dan apa saja faktor penyebabnya.

(43)

b. Wawancara

Teknik ini digunakan untuk memperoleh data tambahan dengan cara tanya-jawab sambil bertatapmuka secara langsung antara pewawancara dengan responden. c. Dokumentasi

Suatu teknik pengumpulan data yang digunakan untuk mencari atau mengumpulkan data sekunder yang berhubungan dengan masalah penelitian, dimaksudkan untuk melengkapi data primer yakni dengan cara mempelajari sumber-sumber sekunder, dan mencatat dokumen/arsip-arsip yang ada di lokasi penelitian.

F. Teknik Pengolahan Data

Setelah data yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh, maka data penelitian diolah dengan melalui tahapan:

a. Editing

Dalam tahap ini, data yang diperoleh dari lapangan diperiksa kembali, dalam arti dilakukan pengecekan kembali terhadap kemungkinan kesalahan pengisian daftar pertanyaan dan ketidakserasian informasi.

b. Koding

Yaitu mengklasifikasikan jawaban-jawaban responden menurut macammnya. Klasifikasi dilakukan dengan jalan menandai masing-masing jawaban dengan kode tertentu.

(44)

Tabulating yaitu memasukkan data ke dalam kolom-kolom tabel atau mengelompokkan jawaban-jawaban yang serupa dengan teliti dan teratur. Kegiatan ini dilaksanakan sampai dengan terwujudnya tabel-tabel, yang selanjutnya digunakan untuk menganalisa data yang diperoleh.

G. Teknik Analisis Data

Menurut Singarimbun dan Effendi (1987:263), analisis data adalah menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan sesuai dengan tipe penelitian yang digunakan.

(45)

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Gambaran Umum Kota Bandar Lapung

1. Sejarah Singkat Kota Bandar Lampung

Sebelum tanggal 18 Maret 1964, Provinsi Lampung merupakan Keresidenan (sebagai tindaklanjut statusnya pada zaman Pemerintahan Hindia Belanda dahulu) dengan sebutan Residentic der Lapoenghoe Districten. Sewaktu zaman Pemerintahan Hindia Belanda, Keresidenan Lampung merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Selatan. Namun, berdasarkan peraturan pemerintah pengganti Undang-undang No. 3 tahun 1964, yang kemudian menjadi Undang-undang No. 14 tahun 1964, Keresidenan Lampung ditingkatkan statusnya menjadi Provinsi Lampung dengan ibukotanya Tanjung Karang-Teluk Betung. Sementara itu, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1983 Kotamadya Daerah Tingkat II Tanjungkarang-Teluk Betung diganti menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Bandar Lampung, dan sejak tahun 1999 berubah menjadi Kota Bandar Lampung.

(46)

nomor 140/1799/PUOD tanggal 19 Mei 1987 tentang Pemekaran Kelurahan di Wilayah Kota Bandar Lampung, maka Kota Bandar Lampung terdiri dari 9

kecamatan dan 84 kelurahan. Selanjutnya pada tahun 2001 berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung No. 04, Kota Bandar Lampung diperluas lagi menjadi 13 kecamatan dengan 98 kelurahan.

Sejak tahun 1965 sampai saat ini, pimpinan Kota Bandar Lampung telah dijabat oleh beberapa Walikota/KDH Tingkat II, berturut-turut sebagai berikut:

1. Sumarsono Periode 1956-1957

2. H. Zainal Abidin Pagaralam Periode 1957-1963 3. Alimudin Umar, S.H. Periode 1963-1969 4. Drs. H. M. Thabrani Daud Periode 1969-1976 5. Drs. H. Fauzi Saleh Periode 1976-1981 6. Drs. H. Zulkarnain Subing Periode 1981-1986 7. Drs. H. A. Nurdin Murhayat Periode 1986-1995

8. Drs. H. Suharto Periode 1996-2005

9. Edy Sutrisno, S.Pd, M.Pd. Periode 2005 sampai sekarang (Sumber: Kota Bandar Lampung dalam Angka, 2008)

2. Keadaan Geografis dan Luas Wilayah

(47)

strategis, juga merupakan daerah transit perekonomian antar pulau, yakni Sumatra dan Pulau Jawa sehingga menguntungkan bagi pertumbuhan dan pengembangan Kota Bandar Lampung sebagai pusat perdagangan, industri, dan pariwisata.

Secara geografis, Kota Bandar Lampung terletak pada posisi 5°20’ sampai dengan 5°30’ Lintang Selatan dan 105°28’ sampai dengan 105°37’ Bujur Timur. Ibukota Provinsi Lampung ini berada di Teluk Lampung yang terletak di ujung Selatan Pulau Sumatera. Kota Bandar Lampung memiliki luas wilayah 197 km2 yang terdiri dari 13 kecamatan dan 98 kelurahan.

Secara administratif, batas wilayah Kota Bandar Lampung meliputi:

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan.

b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan, Ketibung Lampung Selatan dan Teluk Lampung.

c. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Tanjung Bintang Kabupaten Lampung Selatan.

d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran.

Seluruh kecamatan yang membatasi wilayah Kota Bandar Lampung ini merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Lampung Selatan dan Pesawaran.

3. Kondisi Topografi dan Demografi

(48)

tingkat migrasi masuk di Kota Bandar Lampung sebesar 4,8%. Lampung menjadi tujuan transmigrasi utama pada awal tahun 1930. Penduduk meliputi sebagian besar atau lebih dari 70 persen keturunan migran dari Jawa, Madura, Bali, Sumatra Utara dan migran dari Sumatra Selatan, sementara sisanya adalah masyarakat suku asli Lampung.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk di Kota Bandar Lampung adalah sebanyak 809.860 jiwa, yang tersebar ke dalam 13 kecamatan. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 3. Jumlah Penduduk Kota Bandar Lampung menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin Tahun 2008

Kecamatan Penduduk / Populasi (Jiwa)

Laki-laki Perempuan Jumlah

Teluk Betung Barat 27.485 27.485 54.505

Teluk Betung Selatan 55.607 54.669 110.276

Panjang 31.571 31.039 62.610

Tanjung Karang Timur 42.064 41.355 83.419

Teluk Betung Utara 33.443 32.884 66.327

Tanjung Karang Pusat 40.907 40.218 81.125

Tanjung Karang Barat 27.111 26.653 53.764

Kemiling 26.823 26.370 53.193

Kedaton 45.278 44.515 89.793

Rajabasa 16.334 16.057 32.391

Tanjung Seneng 14.748 14.499 29.247

Sukarame 27.416 26.953 54.369

Sukabumi 26.151 26.953 51.861

Jumlah / Total 414.938 407.942 822.880 Sumber: BPS Kota Bandar Lampung

(49)

kepadatan penduduknya sebesar 8.253 jiwa. Secara demografis, jumlah populasi di kota Bandar Lampung dapat dikategorikan pula berdasarkan kelompok usia dari 0 tahun hingga 75 tahun ke atas, seperti yang dijabarkan dalam Tabel 5 berikut:

Tabel 4. Jumlah Penduduk Kota Bandar Lampung menurut Kelompok Usia dan Jenis Kelamin Tahun 2008

Kelompok Usia Laki-laki Perempuan Jumlah

0-4 42.319 39.810 82.129

Dari data tersebut diketahui bahwa golongan penduduk yang mendominasi di Kota Bandar Lampung adalah golongan umur 15-19 tahun sebanyak 101.989 jiwa dan golongan umur 20-24 tahun sebanyak 95.126 jiwa, sedangkan untuk usia anak 10-14 tahun sebanyak 85.601 jiwa.

Kota Bandar Lampung terletak pada ketinggian 0 sampai 700 meter di atas permukaan laut dengan topografi sebagai berikut:

a. Daerah pantai, yaitu sekitar Teluk Betung bagian Utara.

(50)

d. Daerah dataran tinggi sedikit bergelombang, terdapat di sekitar Tanjung Karang bagian Barat yang dipengaruhi oleh Gunung Balau serta perbukitan Batu Serampak di bagian Timur Selatan.

Di tengah-tengah Kota Bandar Lampung mengalir beberapa sungai, diantaranya Way Halim, Way Balau, Wai Awi, dan Way Simpur di wilayah Tanjung Karang, Way Kuripan, Way Kupang, Way Garuntang, dan Way Kuwala yang mengalir di wilayah Teluk Betung. Daerah hulu sungai berada di bagian Barat, sedangkan daerah hilir berada di sebelah Selatan, yaitu di wilayah pantai. Sebagian wilayah Kota Bandar Lampung juga merupakan perbukitan yang diantaranya bernama Gunung Kunyit, Gunung Kelutum, Gunung Banten, Gunung Kucing, dan Gunung Kapuk.

4. Kondisi Perekonomian

(51)

untuk dikembangkan, antara lain di sektor perkebunan dengan komoditi utama yang dihasilkan berupa cengkeh, kakao, kopi robusta, dan kelapa hibrida. Kontributor utama perekonomian daerah ini adalah dari sektor industri pengolahan. Terdapat berbagai industri yang bahan bakunya berasal dari bahan tanaman dan perkebunan, industri tersebut sebagian besar merupakan industri rumahtangga yang mengolah kopi, pisang menjadi keripik pisang, dan lada. Hasil industri ini kemudian menjadi komoditi perdagangan dan ekspor. Perdagangan menjadi tumpuan matapencaharian penduduk di samping sektor industri dan jasa. Keberadaan infrastruktur berupa jalan darat yang memadai lebih memudahkan para pedagang untuk berinteraksi sehingga memperlancar, baik arus barang maupun jasa. Daerah ini juga memiliki berbagai sarana dan prasarana pendukung, diantaranya terdapat beberapa pelabuhan utama yaitu Pelabuhan Teluk Betung dan Pelabuhan Khusus Tarahan. Selain itu, terdapat juga sarana pembangkit tenaga listrik, air bersih, gas, dan jaringan telekomunikasi.

B. Pendidikan di Kota Bandar Lampung

Pendidikan merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan tingkat kemajuan masyarakat, makin tinggi tingkat pendidikan, maka gambaran kemajuan masyarakat makin tinggi.

(52)

dilakukan untuk mendukung peningkatan kualitas pendidikan dasar dan menengah serta meningkatkan daya tampung sekolah-sekolah sehingga dapat memberikan kesempatan belajar yang seluas-luasnya bagi masyarakat.

Hal ini sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Bandar Lampung Tahun 2005-2010, yaitu mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau yang dilandasi oleh keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Untuk mencapai maksud tersebut, maka Walikota Bandar Lampung terus mengambil langkah-langkah strategis untuk merampungkan misi tersebut sehingga diakhir masa jabatannya dapat mewujudkan peningkatan sumberdaya manusia melalui peningkatan kualitas dan cakupan pelayanan pendidikan untuk menjawab tantangan pembangunan sekarang dan masa yang akan datang.

Ada tiga pilar utama sektor pendidikan yang dikembangkan oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung, yakni:

1. Perluasan dan pemerataan akses pendidikan melalui peningkatan angka partisipasi kasar (APK) pendidikan anak usia dini, peningkatan angka partisipasi murni (APM) untuk jenjang SD, SMP, MTS, SMA, MA, dan SMK, serta peningkatan partisipasi dan perluasan jalur nonformal.

(53)

3. Penguatan tatakelola, akuntabilitas, dan pencitraan publik melalui dukungan fasilitas pembelajaran dan kualifikasi pendidikan guru, kompetensi mengajar guru, meminimalkan siswa mengulang, dan peningkatan prestasi akademik (hasil ujian nasional).

C. Mobilitas Sosial di Kota Bandar Lampung

Menurut para ahli, yang dimaksud dengan mobilitas sosial adalah suatu proses perpindahan, baik status sosial maupun tempat tinggal. Mobilitas sosial dapat terjadi dalam dua arah, yakni arah vertikal (tinggi-rendah) dan arah horizontal (ke samping). Tetapi yang dimaksud mobilitas sosial dalam penelitian ini, dibatasi hanya dalam pengertian berupa perpindahan penduduk dari satu lokasi ke lokasi lainnya, dalam hal ini dapat juga dikatakan dengan migrasi penduduk (www.ilmupedia.com).

(54)

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada Bab V ini akan dibahas hasil analisis data yang diperoleh dari penelitian yang disajikan dalam bentuk tabel distribusi tunggal. Dari penyajian tabel distribusi tunggal ini, diharapkan dapat menggambarkan kondisi yang nyata tentang keadaan responden yang meliputi identitas atau karakteristiknya, latar belakang dan motivasi menjadi anak jalanan, serta motivasi melakukan seks bebas.

A. Identitas Responden

Identitas responden yang dibahas dalam penelitian ini meliputi umur, agama, jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan anak jalanan yang berada di Kota Bandar Lampung.

1. Umur

(55)

kekuatan fisik mengingat pekerjaan dan aktifitas mereka yang kebanyakan di jalanan. Selain itu, dalam umur yang relatif masih muda tersebut, mereka juga mencari jati diri dengan selalu ingin mencoba hal-hal baru, seperti misalnya mencoba obat-obatan terlarang dan zat-zat adiktif lainnya, juga seks bebas yang menjadi tema dalam penelitian ini. Dari mencoba-coba inilah kemudian kegiatan tersebut menjadi suatu kebutuhan bagi mereka.

Berdasarkan data yang terkumpul, diketahui umur responden yang terendah adalah 13 tahun dan yang tertinggi 17 tahun. Jumlah anak jalanan menurut kelompok umur dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini:

Tabel 5. Distribusi Anak Jalanan di Kota Bandar Lampung berdasarkan Kelompok Umur

Sumber: Data Primer Hasil Penelitian Tahun 2009

(56)

2. Agama yang Dianut

Responden dalam penelitian ini beragama Islam dan Katolik, tetapi agama Islam lebih mendominasi karena penduduk di Kota Bandar Lampung mayoritas beragama Islam, dengan jumlah 43 orang (82,7%) dan Katolik berjumlah 9 orang (17,3%).

Distribusi responden berdasarkan agama bisa dilihat dalam Tabel 6 berikut ini: Tabel 6. Distribusi Anak Jalanan di Kota Bandar Lampung

berdasarkan Agama

Agama Jumlah

(Orang)

Persentase (%)

Islam 43 82,7

Katolik 9 17,3

Jumlah 52 100,0

Sumber: Data Primer Hasil Penelitian Tahun 2009

(57)

3. Jenis Kelamin

Penelitian ini menggunakan teknik sampling random, yang penarikan sampelnya dilakukan secara acak sederhana (simple random) tanpa memperhitungkan jenis kelamin. Hal ini mengakibatkan distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin menjadi tidak berimbang. Dengan berinteraksi secara bebas tanpa adanya batasan antara laki-laki maupun perempuan di kalangan anak jalanan bisa menjadi salah satu pemicu responden melakukan seks bebas. Misalnya dengan tidur bersama, melakukan kontak fisik seperti berpelukan, berpegangan tangan, dan lain-lain. Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 7 berikut ini:

Tabel 7. Distribusi Anak Jalanan di Kota Bandar Lampung berdasarkan Jenis Kelamin banyak 71,2%, dibandingkan dengan jumlah responden perempuan sebesar 28,8%. Perbedaan ini juga disebabkan karena memang di kalangan anak jalanan, anak laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan anak perempuan.

(58)

B. Penyebab Menjadi Anak Jalanan

Banyak hal yang menyebabkan mengapa responden memilih turun ke jalan. Data yang disajikan pada Tabel 8 di bawah ini akan menjelaskan alasan-alasan mereka menjadi anak jalanan.

Tabel 8. Distribusi Anak Jalanan di Kota Bandar Lampung berdasarkan Sebab Menjadi Anak Jalanan

(59)

mereka berada di jalanan dikarenakan responden diusir dari panti asuhan tempat responden dan kakak responden tinggal.

C. Pekerjaan

Yang dimaksud dengan pekerjaan disini ialah pekerjaan yang sedang dikerjakan oleh responden. Kegiatan sehari-hari yang paling utama dilakukan oleh anak jalanan adalah bekerja. Jenis pekerjaan apapun mereka lakukan demi mendapatkan uang. Dari menjadi pengamen, menjual koran, sampai tukang semir sepatupun mereka lakukan. Untuk lebih jelasnya, lihat Tabel 9 berikut ini:

(60)

Tetapi mereka mengatakan pekerjaan mereka tersebut sewaktu-waktu bisa saja berubah.

1. Penghasilan Perhari

Dengan pekerjaan yang berpenghasilan tidak tetap, responden menggunakan sebagian besar uangnya untuk makan dan hampir tidak bisa ditabung. Data yang disajikan pada Tabel 10 berikut akan menjelaskan penghasilan dari responden perharinya.

Tabel 10. Distribusi Anak Jalanan di Kota Bandar Lampung berdasarkan Penghasilan Perhari

(61)

merasa tidak ingin meninggalkan jalanan karena disana mereka bisa menghasilkan banyak uang. Pendapatan tersebut sewaktu-waktu bisa saja berubah pada tiap responden, tergantung berapa lama mereka bekerja.

2. Penggunaan Uang Pendapatan

Sebagian besar uang penghasilan responden digunakan untuk makan, dan bila berlebih akan ditabung. Tetapi sedikit sekali responden yang menyisakan uangnya untuk ditabung, kebanyakan dibelikan rokok, mabuk, dan main. Meski demikian, masih ada juga responden yang diteliti yang tidak menggunakan obat-obatan atau zat terlarang lainnya, mereka ini termasuk yang penghasilannya diarahkan ke hal-hal lain selain obat-obatan atau zat terlarang. Data yang disajikan pada Tabel 11 berikut ini akan menjelaskan kemana responden menggunakan sisa uang pendapatannya.

Tabel 11. Distribusi Anak Jalanan di Kota Bandar Lampung berdasarkan Penggunaan Sisa Uang Pendapatannya

(62)

keadaan nyaman, dan biasanya anak jalanan melakukan hubungan seks di bawah pengaruh obat-obatan. Dan sebagian anak jalanan juga terkadang lebih memilih tidak makan asalkan mereka bisa menggunakan obat-obatan terlarang atau lem aibon dalam satu hari.

D. Perilaku Seks Bebas Di Kalangan Anak Jalanan

Seks bebas yang menjamur pada saat ini sudah tidak asing lagi di kalangan anak jalanan. Dari 52 responden yang diteliti, semuanya sudah mengenal seks bebas, bahkan mereka juga menjalani seks bebas tersebut. Berikut ini akan dijelaskan tentang pengetahuan mereka tentang seks bebas.

1. Sumber Informasi tentang Seks Bebas

Dari responden yang diteliti, semuanya sudah cukup tahu tentang seks bebas, dan rata-rata dari mereka menyetujui seks bebas. Kebanyakan dari mereka tidak mengetahui sebab dari seks bebas itu sendiri, begitu pula dengan efek dari seks bebas tersebut. Tetapi mereka tetap saja melakukannya. Responden mendapatkan pengetahuan seksnya dari berbagai macam sumber, berikut penjelasannya:

(63)

Dari Tabel 12 dapat diketahui bahwa anak jalanan mendapat pengetahuan seksnya paling banyak dari teman-teman mereka sendiri, yaitu sebesar 51,9%, dari menonton VCD porno 36,5%, dari pacar sebesar 3,8%, dan tahu sendiri sebanyak 7,6%. Namun informasi yang mereka peroleh melalui saluran ini terbatas dan mungkin banyak salahnya, akan tetapi anak jalanan sepertinya tidak menghiraukan kekeliruan itu. Dari cerita teman-teman mereka tersebut anak jalanan memiliki keinginan untuk mulai mencoba-coba perilaku seks bebas. Berawal dari mencoba mencium, meraba, dan akhirnya pada tahap melakukan hubungan kelamin atau hubungan badan.

2. Pengetahuan tentang Efek Seks Bebas

(64)

Tabel 13. Distribusi Anak Jalanan Tahu atau Tidak Efek dari Seks Bebas di

Sumber: Data Primer Hasil Penelitian Tahun 2009

3. Jenis atau Bentuk Perilaku Seks Bebas yang Pertamakali Dilakukan

Seperti yang sudah dijelaskan pada Bab II, ruang lingkup seks pada penelitian ini bukan hanya sebatas pada kontak kelamin atau berhubungan badan antar lawan jenis atau sesama jenis, tetapi disini berciuman atau meraba-rabapun sudah termasuk dari seks. Dan pada saat responden tersebut ditanyai tentang arti dari seks bebas itu sendiri, mereka berasumsi kalau seks adalah melakukan hubungan badan atau kontak kelamin seperti layaknya yang dilakukan pasangan suami istri. Dari beberapa pilihan tentang perilaku seks bebas yang peneliti tanyakan, berciumanlah yang paling banyak mereka lakukan pertamakali, yaitu sebanyak 92,3%, sisanya meraba-raba sebanyak 7,7%. Berikut keterangannya pada Tabel 14 berikut ini:

Tabel 14. Bentuk Perilaku Seks Bebas yang Pertama Dilakukan Anak Jalanan di Kota Bandar Lampung

Sumber: Data Primer Hasil Penelitian Tahun 2009

(65)

Ini disebabkan karena anak-anak merupakan masa dimana rasa ingin tahunya sangat besar. Dari pengakuan tentang perasaan mereka saat pertamakali melakukan perilaku seks bebas, ada yang merasa takut, senang, bingung, sedih, dan ada juga yang mengaku biasa saja.

Lepas dari hanya sekedar berciuman atau meraba-raba, banyak juga responden yang melakukan perilaku seks bebas lebih dari itu, yaitu melakukan hubungan badan dengan lawan jenisnya.

Tabel 15. Bentuk Perilaku Seks Bebas yang Dijalani Anak Jalanan di Kota Bandar Lampung Saat Ini

Bentuk Seks Bebas Jumlah (Orang)

Persentase (%)

Sebatas Berciuman 17 32,7

Sebatas Meraba-raba 11 21,2

Berhubungan Badan 24 46,2

Jumlah 52 100,0

Sumber: Data Primer Hasil Penelitian Tahun 2009

(66)

Pada tabel di bawah ini akan dijelaskan seberapa sering responden berganti pasangan dalam melakukan hubungan seks bebas.

Tabel 16. Distribusi Anak Jalanan di Kota Bandar Lampung berdasarkan Sering Tidaknya Berganti Pasangan dalam Melakukan Seks Bebas

Sering Tidaknya

Tampak dari Tabel 16 di atas, dalam melakukan seks, mereka seringkali berganti pasangan, walaupun ada juga yang tidak. Telihat dari jumlah yang sering berganti pasangan sebesar 46,2% dan yang tidak berganti pasangan sebesar 53,8%. Dalam kehidupan anak jalanan, memang biasanya pasangan itu bukan merupakan suatu hal yang begitu penting, sehingga mereka bisa dengan mudahnya berganti-ganti pasangan. Biasanya satu orang perempuan dipacari atau dalam istilah mereka “digilir” dalam satu kelompoknya. Dalam berhubungan seks, tidak jarang responden justru yang dimintai bayaran oleh pasangannya, atau sebaliknya responden meminta bayaran pada pasangan mereka pada saat melakukan hubungan seks.

(67)

Tabel 17. Distribusi Anak Jalanan di Kota Bandar Lampung berdasarkan Penggunaan Alat Pengaman dalam Berhubungan Seks

Menggunakan atau Tidak

Dengan hanya berbekal pengetahuan seadanya, anak jalanan sering melakukan hubungan seks bebas dengan cara tidak aman, misalnya dengan tidak menggunakan alat pengaman. Dari Tabel 17 di atas dapat diketahui jumlah responden yang menggunakan alat pengaman (alat kontrasepsi) pada saat berhubungan, hanya 36,5%, dan yang tidak menggunakan alat pengaman sebesar 63,5%. Dengan alasan yang berbeda-beda mereka mengemukakan mengapa mereka tidak menggunakan alat pengaman, seperti misalnya lupa, malas, tidak punya uang untuk membelinya, repot, dan banyak lagi alasan lainnya. Padahal jika mereka tau bahaya dari perilaku seks bebas yang tidak aman seperti yang mereka lakukan tersebut, sangat banyak kerugian yang akan mereka dapat nantinya.

(68)

Tabel berikut akan menjelaskan berapa orang responden yang pernah atau tidak pernah terkena penyakit kelamin.

Tabel 18. Distribusi Anak Jalanan di Kota Bandar Lampung berdasarkan Pernah/Tidak Terkena Penyakit Kelamin

Pernah/Tidak Terkena

Berdasarkan Tabel 18 diketahui, jumlah responden yang tidak pernah terkena penyakit kelamin cukup banyak, yaitu sebesar 88,5%, sementara 11,5% orang lainnya pernah terkena penyakit kelamin. Menurut pengalaman ke 6 orang yang pernah terkena penyakit kelamin tersebut, semuanya adalah penyakit kelamin sifilis, dan kesemuanya itu adalah anak laki-laki. Penyakit tersebut merupakan penyakit yang paling sering didapatkan oleh orang yang melakukan hubungan intim dengan pasangan yang tidak tetap, apalagi jika pada saat melakukan hubungan intim tidak menggunakan alat pengaman atau alat kontrasepsi.

4. Pengalaman Melakukan Seks Bebas dengan Pekerja Seks Komersial (PSK)

(69)

Tabel 19. Distribusi Anak Jalanan di Kota Bandar Lampung berdasarkan Pernah/Tidak Melakukan Hubungan Seks dengan

Pekerja Seks Komersial (PSK) tahun, sedangkan 86,5% tidak pernah melakukan hubungan seks dengan pekerja seks komersial (PSK).

Dari informasi yang peneliti dapat, responden ternyata lebih banyak memilih melakukan seks dengan pasangan mereka dibandingkan melakukannya dengan pekerja seks komersial (PSK).

5. Tanggapan Orangtua terhadap Perilaku Seks Bebas Anak Jalanan

Gambar

Tabel 1. Perbedaan Karaktersitik Anak Jalanan
Tabel 2. Sebaran Populasi dan Sampel Anak Jalanan  Di Tempat-tempat    Persinggahan Anak Jalanan Di Kota Bandar Lampung
Tabel 3. Jumlah Penduduk Kota Bandar Lampung  menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin Tahun 2008
Tabel 4. Jumlah Penduduk Kota Bandar Lampung menurut Kelompok Usia dan Jenis  Kelamin Tahun 2008
+7

Referensi

Dokumen terkait

Validitas dari lembar kerja siswa adalah 4,4, ke- praktisan dari LKS (validator mengatakan bahwa LKS dapat digunakan dalam kegiatan pembela- jaran dengan revisi kecil,

Kesalahan UN, Perlu menjadi perhatian dalam pelaksanaan UN sebagai hasil evaluasi pendidikan dalam negeri ini, dalam sitemnya UN menggunakan program tes sumatif

umat Islam telah kehilang an berbagai daerah yang semula telah dikuasai Isla m, yang kemudian jatuh. ke tangan orang Kristen, y ang

Alkaloid yang terkandung dalam daun pacar cina dapat menekan peristaltik untuk atau bersifat antimotilitas usus (Tan Rahardja, 2000)?. Minyak atsiri merupakan salah satu senyawa

Bapak dan Ibu dosen Teknik Sipil Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan materi selama perkuliahan yang juga bermanfaat dalam penyusunan laporan tugas akhir

Berdasarkan dari hal tersebut penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang “ pengaruh self regulated learning terhadap disiplin siswa dalam pembelajaran

Starting from the left, we have a Consumer bundle (represented using a component icon); it is utilizing Blueprint Container to import services from OSGi Service Registry

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah apakah Return On Investment (ROI), Earning Per Share