KERUGIAN KEUANGAN NEGARA PADA YAYASAN
BEASISWA SUPERSEMAR
TESIS
Oleh:
TAMBOK NAINGGOLAN 087005012 / ILMU HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KERUGIAN KEUANGAN NEGARA PADA YAYASAN
BEASISWA SUPERSEMAR
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora Pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh:
TAMBOK NAINGGOLAN 087005012 / ILMU HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Tesis : KERUGIAN KEUANGAN NEGARA PADA YAYASAN
BEASISWA SUPERSEMAR
Nama Mahasiswa : TAMBOK NAINGGOLAN
NIM : 087005012
Program Studi : ILMU HUKUM
MENYETUJUI KOMISI PEMBIMBING
Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S. Ketua
Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum
Anggota Anggota
Ketua Program Studi Ilmu Hukum Dekan Fakultas Hukum
Telah Lulus Diuji Pada
Tanggal, 15 November 2010
PANITIA PENGUJI
Ketua
: Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S.
Anggota
: 1. Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum.
2.
Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H.
ABSTRAK
Selama kepemimpinan Soeharto pada Yayasan Supersemar telah banyak merugikan keuangan negara melalui penyaluran beasiswa kepada Pelajar dan Mahasiswa. Judul dalam penelitian ini adalah, “Kerugian Keuangan Negara Pada Yayasan Beasiswa Supersemar”. Karena Soeharto telah meninggal dunia, maka diajukan gugatan perdata terhadap Soeharto dan Yayasan Supersemar melalui Jaksa Pengacara Negara pada tanggal 9 Juli 2007 dengan Nomor Registrasi Perkara Nomor 904/Pdt/G/2007/PN Jaksel. Dalam gugatan tersebut, Jaksa Pengacara Negara menuntut pengembalian dana yang telah disalahgunakan senilai 420 juta dolar AS dan Rp.185 miliar, ditambah ganti rugi immateriil Rp.10 triliun dengan mendasarkan kepada Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Permasalahan di dalam penelitian ini, Pertama, bagaimana kerugian keuangan negara sebagai salah satu unsur tindak pidana korupsi? Kedua, bagaimana gugatan perdata atas kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi Soeharto dan Yayasan Beasiswa Supersemar? dan Ketiga, bagaimana analisis putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap kerugian keuangan negara yang dilakukan H.M. Soeharto dan Yayasan Beasiswa Supersemar?
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yakni mengacu kepada nilai-nilai dan norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Bahan hukum primer digunakan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1976 tanggal 23 April 1976 tentang Penetapan Penggunaan Sisa Laba Bersih Bank-Bank Milik Pemerintah yang kemudian diatur lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 333/KMK.011/1978 tentang Pengaturan Lebih Lanjut Penggunaan 5% (Lima Persen) Dari Laba Bersih Bank-Bank Milik Negara, serta Anggaran Dasar Yayasan Supersemar, dan HIR/Rbg.
Kesimpulan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan Jaksa Pengacara Negara untuk menghukum Yayasan Supersemar dengan membayar ganti kerugian materiil sejumlah US $ 105.000.727,66, dan Rp.46.479.512.226,187, sedangkan kerugian immateril sama sekali tidak dikabulkan majelis hakim.
Diharapkan dalam putusan Mahkamah Agung nantinya menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Pengadilan Tinggi Jakarta. Putusan itu semestinya tetap menghukum semua pengurus Yayasan Supersemar secara tanggung renteng membayar kerugian atas perbuatan melawan hukum sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan.
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas
segala karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar
Magister Humaniora (M.Hum) di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Judul penelitian ini yaitu,
”Kerugian Keuangan Negara Pada Yayasan Beasiswa Supersemar”. Telah dinyatakan
lulus yudisium dengan baik dan tepat pada waktunya pada tanggal 15 November
2010.
Banyak pihak yang telah membantu selama studi dan penelitian ini
berlangsung. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu,
DTM&H, M.Sc(CTM). Sp.A(K);
2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung
Sitepu, SH, M.Hum;
3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum, Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH,
yang telah banyak memberikan motivasi mulai sejak awal perkuliahan sampai
pada akhirnya meja hijau selalui saran, petunjuk, arahan, bimbingan, dan
semangat sehingga studi dan penelitian ini dapat selesai tepat waktu dengan nilai
yang sangat memuaskan;
4. Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang
banyak berperan memberikan motivasi dan masukan-masukan selama studi dan
penelitian ini berlangsung;
5. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, selaku Anggota Komisi Pembimbing I yang telah
banyak berupaya memberikan koreksi sehingga penelitian ini menjadi sempurna;
6. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum, selaku Anggota Komisi Pembimbing II juga
telah memberikan koreksi untuk perbaikan dan mengarahkan penulis sampai
7. Seluruh Staf Pengajar/Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dan kepada kawan-kawan yang
telah banyak memberikan dukungan dan bantuannya;
8. Seluruh Staf/Pegawai adminstrasi yang telah melancarkan segala urusan
berkenaan dengan administrasi dan informasi selama studi dan penelitian ini
berlangsung;
9. Yang terhormat, Ibunda tercinta T. Br. Aritonang, setiap waktu dan sepanjang
hari selalu memberikan semangat dan mendukung karir, selalu berdo’a agar
penulis dapat menyelesaikan studi ini tepat waktu;
10.Istri ku yang tercinta Dra. Dandy Nadeak, bersama dengan pengorbanan dan
pengertiannya selalu mengiringi langkah dalam keadaan apapun tidak pernah
menunjukkan keluh kesahnya walau kadang-kadang ditinggal demi untuk
menyelesaikan studi ini;
11.Anak kon hi do hamoraon di au, khusus kepada anak-anak ku, penawar lelah dan
penyejuk hati: Yosua dan Josephine, karena mereka juga penulis semakin
bertambah semangat yang luar biasa menyelesaikan studi ini. Mudah-mudahan
dengan melihat Papanya yang tidak pernah malas-malas belajar dan terus belajar,
hendaknya menjadi dorongan memunculkan semangat bagi mereka dan
termotivasi untuk maju menjadi anak yang berprestasi terbaik dan bertaqwa
kepada Tuhan;
12.Seluruh saudara-saudara famili dan handai toulan yang tidak dapat disebutkan
satu per satu, yang penulis banggakan dalam keluarga besar dimana bahwa
mereka juga selalu mengingatkan dan mendorong agar studi ini cepat diselesaikan
tepat waktu.
Demikianlah sebagai kata pengantar, mudah-mudahan penelitian ini memberi
manfaat bagi semua pihak dalam menambah dan memperkaya wawasan Ilmu
Pengetahuan. Khusus kepada penulis, mudah-mudahan dapat memadukan dan
mengimplementasikan ilmu serta mampu menjawab tantangan atas perkembangan
Akhir kata, mohon maaf atas kesilapan dan kekurangan yang terdapat dalam
penelitian ini, penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun demi
perbaikan ke depannya. Semoga penulis lebih giat lagi menambah wawasan ilmu
pengetahuan pada masa-masa yang akan datang. Amin.
Medan, 15 November 2010 Penulis
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : TAMBOK NAINGGOLAN
Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 17 Agustus 1961
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Kristen
Alamat : Jl. Menteng VII Gang Aries No. 11 Medan Denai
Pekerjaan : Kepala Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam
Pendidikan Formal : - Sekolah Dasar Katholik Balige (Lulus Tahun 1973);
- Sekolah Menengah Pertama Negeri Kisaran (Lulus
Tahun 1976);
- Sekolah Menengah Atas Negeri 5 Medan (Lulus
Tahun 1980);
- S-1 Fakultas Hukum USU (Lulus Tahun 1988);
- S-2 Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
E. Keaslian Penelitian... 20
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional... 20
1. Kerangka Teori... 20
2. Landasan Konsepsional... 38
G. Metode Penelitian ... 42
1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 42
2. Sumber Data... 43
3. Teknik Pengumpulan Data... 45
4. Analisis Data ... 45
BAB II : KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM SEBAGAI UNSUR TINDAK PIDANA KORUPSI ... 49
A. Pengertian Keuangan Negara dan Kerugian Keuangan Negara .... 49
1. Keuangan Negara ... 49
2. Kerugian Keuangan Negara ... 55
3. Beberapa Hal yang Dapat Merugikan Keuangan Negara ... 57
B. Tindak Pidana Korupsi Dapat Merugikan Keuangan Negara... 59
C. Unsur Dapat Merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi ... 66
BAB III : GUGATAN PERDATA ATAS KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI SOEHARTO
DAN YAYASAN BEASISWA SUPERSEMAR... 85
A. Gugatan Perdata Untuk Mengembalikan Kerugian Keuangan Negara ... 85
B. Dasar Hukum Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Sebagai Jaksa Pengacara Negara Dalam Mengajukan Gugatan Perdata Soeharto dan Yayasan Beasiswa Supersemar ... 101
1. Dasar Hukum Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Negeri Republik Indonesia ... 101
2. Dasar Hukum Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK)... 109
3. Dasar Hukum Dalam KUH Perdata dan Hukum Peninggalan Kolonial Belanda... 111
4. Dasar Hukum Dalam Peraturan Pemerintah ... 114
C. Kontradiksi Penerapan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi... 115
D. Perkara Perdata Nomor 904/Pdt.G/2007/PN Jakarta Selatan ... 121
1. Duduk Perkara Atas Perbuatan Melawan Hukum yang Dilakukan Para Tergugat... 123
2. Permohonan Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) dan Putusan yang Dapat Dilaksanakan Lebih Dahulu (Uit Voerbaar Bij Voorraad)... 127
BAB IV : ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN TERHADAP KERUGIAN KEUANGAN NEGARA YANG DILAKUKAN SOEHARTO DAN YAYASAN BEASISWA SUPERSEMAR ... 130
A. Yayasan Beasiswa Supersemar Sebagai Yayasan yang Berbadan Hukum... 130
B. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ... 135
1. Eksepsi ... 135
2. Provisi ... 142
C. Analisis Putusan ... 144
1. Kedudukan Atas Pihak-Pihak Yang Berperkara ... 144
3. Dalam Pokok Perkara... 156
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 169
A. Kesimpulan ... 169
B. Saran... 171
ABSTRAK
Selama kepemimpinan Soeharto pada Yayasan Supersemar telah banyak merugikan keuangan negara melalui penyaluran beasiswa kepada Pelajar dan Mahasiswa. Judul dalam penelitian ini adalah, “Kerugian Keuangan Negara Pada Yayasan Beasiswa Supersemar”. Karena Soeharto telah meninggal dunia, maka diajukan gugatan perdata terhadap Soeharto dan Yayasan Supersemar melalui Jaksa Pengacara Negara pada tanggal 9 Juli 2007 dengan Nomor Registrasi Perkara Nomor 904/Pdt/G/2007/PN Jaksel. Dalam gugatan tersebut, Jaksa Pengacara Negara menuntut pengembalian dana yang telah disalahgunakan senilai 420 juta dolar AS dan Rp.185 miliar, ditambah ganti rugi immateriil Rp.10 triliun dengan mendasarkan kepada Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Permasalahan di dalam penelitian ini, Pertama, bagaimana kerugian keuangan negara sebagai salah satu unsur tindak pidana korupsi? Kedua, bagaimana gugatan perdata atas kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi Soeharto dan Yayasan Beasiswa Supersemar? dan Ketiga, bagaimana analisis putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap kerugian keuangan negara yang dilakukan H.M. Soeharto dan Yayasan Beasiswa Supersemar?
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yakni mengacu kepada nilai-nilai dan norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Bahan hukum primer digunakan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1976 tanggal 23 April 1976 tentang Penetapan Penggunaan Sisa Laba Bersih Bank-Bank Milik Pemerintah yang kemudian diatur lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 333/KMK.011/1978 tentang Pengaturan Lebih Lanjut Penggunaan 5% (Lima Persen) Dari Laba Bersih Bank-Bank Milik Negara, serta Anggaran Dasar Yayasan Supersemar, dan HIR/Rbg.
Kesimpulan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan Jaksa Pengacara Negara untuk menghukum Yayasan Supersemar dengan membayar ganti kerugian materiil sejumlah US $ 105.000.727,66, dan Rp.46.479.512.226,187, sedangkan kerugian immateril sama sekali tidak dikabulkan majelis hakim.
Diharapkan dalam putusan Mahkamah Agung nantinya menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Pengadilan Tinggi Jakarta. Putusan itu semestinya tetap menghukum semua pengurus Yayasan Supersemar secara tanggung renteng membayar kerugian atas perbuatan melawan hukum sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu unsur yang mendasar dalam tindak pidana korupsi adalah adanya
kerugian keuangan negara. Sebelum menentukan adanya kerugian keuangan negara,
maka perlu ada kejelasan secara yuridis pengertian keuangan negara. Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mendefinisikan
keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan
uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat
dijadikan milik negara berhubung pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Kerugian keuangan negara berkaitan pula dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3
Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah direvisi dengan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(UUPTPK) yang menyebutkan bahwa salah satu unsur yang harus dipenuhi dalam
mengungkap terjadinya tindak pidana korupsi adalah dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara.
Kemudian dalam Pasal 32 UUPTPK disebutkan bahwa kerugian keuangan
negara adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil
temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk. Mengenai siapa
instansi berwenang yang dimaksud tersebut, tidak dijelaskan lebih lanjut. Namun,
maka sekurang-kurangnya tiga instansi mempunyai kewenangan dimaksud yaitu
BPK, BPKP dan Inspektorat baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.1
Dalam perspektif UUPTPK secara umum yang dimaksud dengan kerugian
keuangan negara adalah yang disebabkan karena perbuatan melawan hukum atau
tindakan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada pada
seseorang karena jabatan atau kedudukannya dan hal tersebut dilakukan dalam
hubungannya dengan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi.
Terhadap kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi ditinjau dari
penyelesaiannya dapat dilakukan atas 4 (empat) cara yaitu:2
a. Tuntutan pidana/pidana khusus korupsi;
b. Gugatan perdata; dan
c. Tuntutan ganti rugi melalui pembayaran uang pengganti.
Terhadap pelaku tindak pidana korupsi dapat dituntut secara pidana akan
tetapi jika pelaku korupsi telah meninggal dunia, secara pidana telah gugur haknya
untuk dituntut. Namun secara hukum perdata tetap saja dilakukan upaya hukum untuk
menggugat pelaku korupsi, di samping itu juga dilakukan upaya terhadap pelaku atau
keluarganya mengganti rugi segala kerugian keuangan negara.
1
Eddy Milyadi Soepardi., “Memahami Kerugian Keuangan Negara Sebagai Salah Satu Unsur Tindak Pidana Korupsi”, Makalah disampaikan dalam ceramah ilmiah pada Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor, tanggal 24 Januari 2009, hal. 3.
2
Dalam pemerintahan H.M. Soeharto yang berlangsung selama 32 tahun, telah
terjadi penyalahgunaan kekuasaan salah satunya korupsi pada Yayasan Supersemar
(disingkat YBS). Hal ini merupakan salah satu faktor berakhirnya era Soeharto.
Lengsernya Soeharto menimbulkan kasus dugaan korupsi dimana Soeharto memiliki
dan mengetuai tujuh yayasan, yaitu Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan
Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya
Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong
Royong Kemanusiaan, Yayasan Trikora. Pada 1995, Soeharto mengeluarkan
Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995. Keppres ini menghimbau para pengusaha
untuk menyumbang 2% (dua persen) dari keuntungannya untuk Yayasan Dana
Mandiri.3
Perbuatan Soeharto digolongkan kepada tindak pidana korupsi. Maka tepatlah
Koentjaraningrat menyatakan bahwa, “Korupsi sudah menjadi budaya bangsa
3
Indonesia, dapat dilakukan oleh sendiri atau orang lain atau suatu korporasi pada
umumnya selalu merugikan keuangan negara.4
Kejaksaan diberikan kewenangan oleh undang-undang di samping sebagai
penuntut umum juga dapat berwenang sebagai penggugat atau tergugat untuk
mewakili negara di dalam maupun di luar pengadilan.5 Pengembalian kerugian
keuangan negara hasil dari perbuatan korupsi dalam pelaksanaannya terasa sulit
diterapkan karena pada umumnya tindak pidana korupsi baik dalam skala kecil
maupun skala besar dilakukan dengan cara-cara yang sangat rahasia, terselubung,
melibatkan banyak pihak dengan solidaritas yang kuat untuk saling melindungi dan
menutupi melalui manipulasi hukum, rekayasa hukum, dan masa bodoh para pejabat
negara terhadap kepentingan rakyat. Bahkan harta kekayaan dari hasil jarahan para
koruptor sudah sampai melewati lintas batas negara melalui ditransfer antar rekening
4
Koentjaraningrat., Bunga Rampai Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, (Jakarta: PT. Gramedia, 1974), hal. 75. Perbuatan korupsi merupakan penyakit yang sulit disembuhkan, karena sudah menjadi budaya bangsa Indonesia akibatnya mencemaskan dalam masyarakat.
5
Marwan Effendy., Kejaksaan Republik Indonesia, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif
Hukum, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), hal. 136, tugas dan wewenang kejaksaan yang
bertindak sebagai JPN, diperjelas di dalam Pasal 30 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004. Profesi Jaksa memiliki aturan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Pertanyaan yang muncul adalah apakah jaksa diperkenankan beracara dalam lapangan hukum perdata?, dalam lapangan hukum perdata berdasarkan undang-undang ini hanya ada 2 (dua) pasal yang mengatur secara tegas tentang jaksa dapat beracara dalam lapangan hukum perdata yaitu Pasal 30 Ayat (2), ”Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.” sedangkan dalam Pasal 35 butir d, ”Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara”. Salah satu bentuk wewenang lain yang dimaksud tersebut adalah kewenangan untuk bertindak sebagai JPN yang diberi wewenang sebagai aktor yang berprofesi membela hak-hak negara dalam mengambil harta kekayaan atau aset hasil korupsi, bukanlah masalah atau hal yang baru karena telah menjadi hukum berdasarkan
Koninklijk Besluit tertanggal 27 April 1922, kurang jelas alasan-alasannya mengapa sampai tahun 1977
ke negara lain sebagai antisipatif dan untuk mengaburkan asal-usul sumber keuangan
tersebut.6
Gagasan untuk menggugat Soeharto secara perdata, pertama kali dilontarkan
oleh Baharudin Lopa yang menggantikan Marzuki Darusman. Setelah itu, penyidikan
terhadap Soeharto menggantung karena sakit bahkan H.M. Soeharto telah meninggal
dunia. Akhirnya dikeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan Perkara
(SKP3) oleh Jaksa Agung yang dijabat Abdul Rahman Saleh pada 2004.7
Untuk mengembalikan kerugian keuangan negara, berdasarkan kewenangan
Kejaksaan,8 maka dibentuklah tim Jaksa Pengacara Negara (selanjutnya disingkat
JPN) di bawah Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara untuk menggugat
Soeharto secara perdata. JPN dipimpin langsung oleh Dachamer Munthe.9
Abdul Rahman Saleh belum sempat mewujudkan rencana gugatan perdata
terhadap Soeharto sampai masa jabatannya berakhir karena harus diganti oleh
Hendarman Supandji. Masa Kejaksaan Agung (Kejagung), dipimpin oleh Hendarman
Supandji, resmi mendaftarkan gugatan perdata terhadap mantan Presiden Soeharto.10
6
Oka Mahendra., ”Kerjasama Bantuan Timbal Balik Dalam Pengembalian Aset Hasil Korupsi”, Makalah dalam Seminar ”Sinergi Pemberantasan Korupsi”, Jakarta, Selasa 4 April 2006, dikutip dari Alatas, ”Korupsi Sifat dan Fungsi”, tahun 1987, hal. 9.
7
Bismar Nasution., ”Stolen Asset Recavery Initiative dari Perspektif Hukum Ekonomi di Indonesia”, Makalah, Narasumber dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasional (SPHN 2007), Jakarta 28 Nopember 2007, hal. 11.
8
Kejaksaan Agung RI., Lima Windu Sejarah Kejaksaan Republik Indonesia/1945-1985, (Jakarta: Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 1985), hal. 226-227.
9
RM. Surachman., dan Andi Hamzah., Jaksa di Berbagai Negara, Peranan dan
Kedudukannya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hal. 42.
10
Secara resmi mendaftarkan gugatan terhadap mantan Presiden ke-2 RI
tersebut ke Paniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 9 Juli 2007
dengan daftar perkara Nomor 904/Pdt.G/2007/PN.Jak.Sel. Dengan pendaftaran
gugatan ini, Kejaksaan Agung membuka kembali upaya pengembalian kerugian
keuangan negara terhadap harta kekayaan mantan Presiden Soeharto. Ketua Tim
Jaksa Pengacara Negara (JPN), Dachamer Munthe mengatakan, “Kualifikasi gugatan
perdata yang didaftarkan Kejaksaan adalah perbuatan melawan hukum karena
pengumpulan dana yang disalurkan kepada Yayasan Supersemar tidak sesuai dengan
peruntukan”.11 Kejaksaan mengajukan gugatan ganti rugi materil sebesar Rp.1,5
triliun dan immateril Rp.10 triliun.
Gugatan perdata terhadap Mantan Presiden ke-2 Soeharto hanya terfokus pada
pengembalian dana kepada negara saja, hal ini sesuai dengan asas dan tujuan di
dalam Stolen Asset Recovery Initiative sebagai dasar pokok dalam pengembailan
kerugian keuangan negara.12 Strategi pencegahan korupsi harus dilihat sebagai upaya
11
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=17123&cl=Berita, “Yayasan Supersemar Resmi Digugat”, ”Perburuan harta mantan Presiden Soeharto kembali dimulai. Mungkinkah berhasi?”, diakses terakhir tanggal 14 Januari 2010.
12
I. Gusti Ketut Ariawan., ”Stolen Asset Recovery Initiative, Suatu Harapan Dalam Pengembalian Aset Negara”, Kertha Patrika, Volume 33 Nomor 01, Bali, Januari 2008, hal. 6, Negara Indonesia telah meratifikasi UNCAC 2003 dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Korupsi. UNCAC 2003 telah diadopsi oleh sidang Majelis Umum PBB dalam resolusinya Nomor 58/4 Tanggal 31 Oktober 2003, dan terbuka untuk ditandatangani di Meksiko dari Tanggal 9 Desember 11 Desember 2003. Sebelum UNCAC 2003, ada dua konvensi yang dikeluarkan oleh negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa (Organization of Council of Europe) yaitu Criminal Law Convention on Corruption yang telah berlaku sejak Tanggal 1 Juli 2002, dan Civil
Law Convention on Corruption yang berlaku efektif sejak Tanggal 1 November 2003, dan telah
diratifikasi oleh 21 negara Uni Eropa. Selain itu, dapat dicatat bahwa negara-negara yang tergabung dalam Uni Afrika telah pula menghasilkan Africa Union Convention on Preventing and Combating
strategis di samping upaya pemberantasan (represif). Dan yang lebih penting lagi
adalah strategi pengembalian asset (asset recovery) hasil korupsi.13
JPN tidak mengusut sampai kepada pihak yang menerima penyelewenangan
melainkan pertanggungjawaban dipegang yayasan sebagai koorporasi.14 Total semua
kerugian negara dari penyimpangan dana tersebut mulai dari Bank dan masyarakat
sekitar 420 juta AS Dollar dan Rp.184 miliar, yang disalurkan kepada pihak ketiga
yang diduga menerima dana dari Yayasan adalah sejumlah nama yang tercantum
dalam dokumen mulai dari Bank Duta hingga Kelompok Usaha Kosgoro yang
diperlihatkan kepada hukumonline.15
1. Sejumlah US $ 125.000.000 (seratus dua puluh lima juta dollar Amerika
Serikat) pada tanggal 22 September 1990 diberikan kepada PT. Bank Duta; 2. Sejumlah US $ 19.959.807.,19 (sembilan belas juta sembilan ratus lima puluh
sembilan delapan ratus tujuh dollar Amerika Serikat sembilan belas sen) pada tanggal 25 September 1990 diberikan kepada PT. Bank Duta;
3. Sejumlah US $ 275.043.103,45 (dua ratus tujuh puluh lima juta empat puluh
tiga ribu seratus tiga dollar Amerika Serikat empat puluh lima sen) pada tanggal 26 September 1990 diberikan kepada PT. Bank Duta;
4. Sejumlah Rp. 13.173.178.904,75 (Tiga belas miliar seratus tujuh puluh tiga
juta seratus tujuh puluh delapan ribu sembilan ratus empat rupiah tujuh puluh lima sen) antara tanggal 23 September 1989 s/d 17 November 1997 diberikan kepada PT. Kiani Lestari dan PT. Kiani Sakti;
5. Sejumlah Rp. 150.000.000.000,- (Seratus lima puluh miliar rupiah) pada
tanggal 13 November 1995 diberikan kepada PT. Kiani Lestari dan PT. Kiani Sakti;
13
Chapter V Artikel 51 dan 57 UNCAC 2003. 14
Muladi., Kebijakan Pidana Dalam Upaya Menanggulangi Pencemaran/Perusakan
Lingkungan Hidup, Makalah Pada Seminar Nasional Pengenalan Lingkungan Hidup dan Kebijakan
Penyidik secara Integratif, Hotel Emeral Garden Medan, 7-8 Januari 1997. 15
6. Sejumlah Rp. 12.744.870.000,00 (Dua belas miliar tujuh ratus empat puluh empat juta delapan ratus tujuh puluh ribu rupiah) antara Desember 1982 sampai dengan Mei 1993 diberikan kepada PT. Kalhold Utama, Essam Timber dan PT. Tanjung Redep Hutan Tanaman Industri; dan
7. Sejumlah Rp. 10.000.000.000,00 (Sepuluh miliar rupiah) pada tanggal 28
Desember 1993 diberikan kepada Kelompok Usaha Kosgoro.
Sebelum tahun 2001, peraturan secara tertulis tentang Yayasan belum ada.
Dalam KUH Perdata hanya dijumpai ketentuan mengenai istilah saja yakni pada
Pasal 365, Pasal 680, Pasal 1680, Pasal 1852 dan Pasal 1954 KUH Perdata. Dalam
KUH Dagang dan peraturan-peraturan lainnya tidak ada yang mengatur mengenai
Yayasan.16 Baru setelah 56 tahun Indonesia merdeka, Negara Republik Indonesia
memiliki Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang diundangkan
pada tanggal 6 Agustus 2001. 17
Setelah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 berjalan kurang lebih tiga
tahun, akhirnya padatanggal 6 Oktober 2004 diubah melalui Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2004 tentang Yayasan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4430 dan mulai berlaku sejak tanggal 6 Oktober 2005 satu tahun setelah
diundangkan. Sebelum diundangkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001, belum
ada keseragaman tentang cara mendirikan Yayasan. Pendirian Yayasan hanya
didasarkan kepada hukum kebiasaan, diktrin, dan yurisprudensi (kedua
16
Gatot Supramono., Hukum Yayasan di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hal. 11. disebutkannya bahwa Yayasan sudah lama ada dan telah dikenal manusia sejak awal sejarah. Yayasan dengan tujuan khusus pun seperti keagamaan dan pendidikan sudah sejak lama pula ada. Pada tahun 1977, Belanda telah memiliki peraturan mengenai Yayasan. Secara khusus di atur dalam
Rechtspersoonen dalam Buku 2 Titel 5 Pasal 289 sampai dengan Pasal 305 yang dilakukan secara
sistematis mengenai ketentuan tentang syarat-syarat pendiriannya, kewenangan pengurusnya, dan sebagainya.
17
undang ini disebut UU Yayasan).18
Kalau dipelajari secara seksama, atas perubahan UU Yayasan tersebut,
nampak adanya keinginan pemerintah untuk mengendalikan ataupun
sekurang-kurangnya memonitor kegiatan yayasan di masa yang akan datang.19 Berbagai kasus
penyalahgunaan yayasan selama ini juga menunjukkan adanya kebutuhan akan
pengaturan masalah yayasan ini. Prinsip yang ingin diwujudkan dalam ketentuan UU
Yayasan adalah kemandirian yayasan sebagai badan hukum, keterbukaan seluruh
kegiatan yang dilakukan yayasan, dan akuntabilitas kepada masyarakat mengenai apa
yang telah dilakukan oleh yayasan, serta prinsip nirlaba yang merupakan prinsip yang
fundamental bagi suatu yayasan. 20
Ada 4 (empat) prinsip yang harus dimiliki Yayasan sesuai dengan harapan
dalam UU Yayasan, yakni:21
1. Kemandirian Yayasan sebagai badan hukum;
2. Keterbukaan seluruh kegiatan Yayasan;
3. Akuntabilitas publik; dan
4. Prinsip nirlaba.
Menurut UU Yayasan, yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas
18
Anwar Borahima., Kedudukan Yayasan di Indonesia, Eksistensi, Tujuan dan Tanggung
Jawab Yayasan, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), hal. 22.
19
Ahmad Rafiq., Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998), hal. 491-492.
20
Gatot Supramono., Op. cit., hal. 7. Prinsip nirlaba adalah dimana Yayasan diperbolehkan mencari keuntungan akan tetapi keuntungan tersebut tidak boleh dibagi-bagi kepada pengurus dan anggota dalam Yayasan sebagai dividen, dengan catata, dana yang disalurkan untuk membuka usaha tersebut tidak boleh lebih dari 25% dari total aset Yayasan.
21
kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu dalam
bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, dan tidak mempunyai anggota.
Yayasan sebagai suatu badan hukum terdapat pemisahan harta kekayaan
badan hukum dari harta kekayaan pemilik dan pengurusnya. Dengan demikian suatu
Badan hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas memiliki kekayaan yang terpisah
dari kekayaan Direksi (sebagai pengurus), Komisaris (sebagai pengawas), dan
Pemegang Saham (sebagai pemilik). Begitu juga kekayaan yayasan sebagai Badan
Hukum terpisah dengan kekayaan Pengurus Yayasan dan Anggota Yayasan, serta
Pendiri Yayasan. Selanjutnya kekayaan Koperasi sebagai Badan Hukum terpisah dari
Kekayaan Pengurus dan Anggota Koperasi.22
Secara philosofis dibentuknya suatu Yayasan bersifat nirlaba karena memang
orang yang mendirikan Yayasan itu memiliki tujuan yang ideal yaitu mengutamakan
kesejahteraan sosial, agama dan kemanusiaan. Dalam hal YBS adalah milik
pemerintah Indonesia, jadi dalam hal ini pemerintah wajib mengetahui apakah dana
yang telah diserahkan kepada YBS tersebut memang dipergunakan untuk kepentingan
sosial, agama dan kemanusiaan.23 Yayasan bergerak di bidang nirlaba dalam UU
Yayasan dibolehkan memiliki badan usaha dengan syarat bahwa dana untuk badan
usaha tidak lebih dari 25% (dua puluh lima persen) dari total aset yayasan.24
22
Erman Rajagukguk., “Pengerian Keuangan Negara dan Kerugian Keuangan Negara”, Makalah yang Disampaikan pada Diskusi Publik “Pengertian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi”, Komisi Hukum Nasional (KHN) RI, Jakarta 26 Juli 2006, hal. 2.
23
http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/12/04/brk,20071204-112844,id.html (1 of 2)1/17/2008 12:01:20 AM, diakses terakhir tanggal 16 Mei 2010.
24
Terkait pertanggungjawaban Yayasan, maka pihak yang bertanggung jawab di
dalam Yayasan adalah pengurus. Penguruslah yang mempertanggungjawabkan atas
pengelolaan dana yayasan itu. Secara internal, maka pertanggungjawaban pengurus
sudah selesai, akan tetapi secara external pengurus harus mempertanggungjawabkan
pula berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku diluar
Anggaran Dasar (AD) Yayasan.25 Dimana bahwa Yayasan Supersemar memiliki
program beasiswa (disingkat YBS) untuk membantu siswa/siswi, pelajar yang pintar
dan cakap, namun tidak memiliki kemampuan dari segi uang melanjutkan sekolah.
Hingga pada akhirnya JPN menggugat secara perdata biasa terhadap
perbuatan melawan hukum Soeharto dan YBS. Pada tanggal 27 Maret 2008, PN
Jaksel memutuskan bahwa Yayasan Supersemar wajib membayar US$ 105 juta
ditambah Rp.46 miliar, atas gugatan JPN dalam kasus penyalahgunaan aliran dana
yayasan.26
Gugatan perdata terhadap H.M. Soeharto dan YBS, berdasarkan asumsi
terjadinya tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian negara, meski tindak
pidana korupsi tidak cukup bukti untuk diajukan atau karena sebab-sebab yang
25
Sebelum adanya UU Yayasan, AD Yayasan Supersemar memberikan kekuasaan yang sangat luas kepada pengurus tanpa adanya pengawasan. Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 (yang lama) mengatakan yang berwenang melakukan perubahan Anggaran Dasar Yayasan adalah Pengurus Yayasan. Kemudian pendiri Yayasan Supersemar juga merangkap sebagai pengurus Yayasan, (dia mendirikan dan dia juga bertindak sebagai pengurus). Namun setelah direvisi melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan (yang baru), maka eksistensi Yayasan di lndonesia memperoleh landasan hukum yang kokoh.
26
membuat gugurnya penuntutan dan pemidanaan sebagaimana ketentuan Pasal 32
UUPTPK. Di samping itu dasar gugatan juga di alasankan pada Pasal 34
UUPTPPK.27
Pada Salinan Resmi Putusan Perkara Gugatan Perdata terhadap HM. Soeharto
dan YBS, selain dari Pasal 32, Pasal 34 UUPTPK, pengajuan gugatan juga
didasarkan kepada Pasal 1365 KUH Perdata. Selengkapnya pada bagian konsideran
putusan berbunyi, ”Menimbang bahwa menurut hukum acara perdata, dalam hal
mengajukan gugatan mengenai perbuatan melawan hukum tidak harus mendasarkan
pada ketentuan Pasal 32 UU No. 31 Tahun 1999, Pasal 29 A B dan Pasal 34 UU No.
31 Tahun l999 melainkan berdasarkan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata”.28
Pasal 32, Pasal 34, UUPTPK dan Pasal 1365 KUH Perdata yang mendasari
Jaksa Agung selaku pengacara negara mengajukan gugatan perdata terhadap Soeharto
untuk memulihkan kerugian keuangan negara tersebut. Pasal 32 UUPTPK secara
tegas dan jelas menyatakan bahwa gugatan perdata yang diajukan oleh Jaksa sebagai
Pengacara Negara dilakukan dalam hal Penyidik menemukan dan berpendapatan
bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi terdapat cukup bukti, sedangkan
secara nyata telah ada kerugian Negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas
perkara hasil penyidikan tersebut kepada Tim JPN.
27
UUPTPTK adalah Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 jo Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Pasal 34 disebutkan, “Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan peneriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan Negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada JPN atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya”
28
Peluang menggugat perdata sesungguhnya tidak terbatas hanya karena alasan
tidak ditemukannya unsur cukup bukti, tetapi secara nyata ada kerugian negara,
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3229, Pasal 3330, dan Pasal 34 UUPTPK31.
Gugatan perdata juga dimungkinkan dilakukan dengan alasan; saat penyidikan atau
pemeriksaan persidangan, pelaku tindak pidana korupsi meninggal dunia, sedangkan
secara nyata telah ada kerugian keuangan negara. Maka, Jaksa selaku pengacara
negara atau instansi lain yang dirugikan, dapat mengajukan gugatan perdata.
UUPTPK mengatur tiga hal dalam kaitannya dengan pengembalian kerugian
negara. Yaitu, Pertama, gugatan perdata untuk mengembalikan kerugian keuangan
negara yang nyata seperti yang diatur dalam Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34
UUPTPK, Kedua, gugatan perdata terhadap harta benda yang diduga berasal dari
tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara seperti yang
29
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dnegan Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) sebagai berikut: Pasal 32 menyatakan:
(1) Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan; dan
(2) Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara.
30
Ibid., Pasal 33 menyatakan, “Dalam hak tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya”.
31
diatur dalam Pasal 38 C UUPTPK,32 Ketiga, pidana tambahan berupa pembayaran
uang pengganti dengan jumlah sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi seperti yang diatur dalam Pasal 18 Ayat (1)
Huruf b UUPTPK.33 Upaya pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak
pidana korupsi melalui gugatan perdata tersebut semakin kuat ketika Mahkamah
Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan kontroversial. Yakni, sifat perbuatan
melawan hukum secara materiil dalam UUPTPK seperti yang dicantumkan dalam
penjelasan Pasal 2 Ayat (1)34 adalah batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
Gugatan perdata terhadap H.M. Soeharto alias Soeharto, sebagai pendiri
sekaligus sebagai Ketua YBS bertempat tinggal di Jalan Cendana Nomor 8 Jakarta
Pusat (selanjutnya disebut Tergugat I) dan YBS, merupakan Badan Hukum yang
32
Ibid, Pasal 38 C, “Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.”
33
Ibid, Pasal 18 Ayat (1) Huruf b, “Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi”;
34
didirikan menurut hukum Indonesia, berkedudukan di Jalan H.R. Rasuna Said Kav.
8-9 (Gedung Granadi) kuningan, Jakarta Selatan.35
Perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan adanya kerugian negara pada
YBS bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1976 tanggal 23
April 1976 tentang Penetapan Penggunaan Sisa Laba Bersih Bank-Bank Milik
Pemerintah (selanjutnya disebut PP No. 15 Tahun 1976) yang kemudian diatur lebih
lanjut dengan dalam Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 333/KMK.011/1978
tanggal 30 Agustus 1978 tentang Pengaturan Lebih Lanjut Penggunaan 5% dari Laba
Bersih Bank-Bank Milik Negara (selanjutnya disebut Kepmenkeu
No.333/KMK.011/1978). Karena sudah tidak sesuai dengan tujuan peruntukan yang
telah ditetapkan dalam Pasal 2 huruf f PP No. 15 Tahun 1976 yang berbunyi, “5%
(lima persen) dipergunakan untuk keperluan-keperluan di bidang sosial yang diatur
lebih lanjut oleh Menteri Keuangan Negara dengan persetujuan Presiden”. Kemudian
dalam pada Pasal 1 Kepmenkeu No.333/KMK/.011.1978 ditentukan bahwa, “Dana
yang berasal dari 5% (lima puluh persen) dari laba bersih bank-bank milik negara,
50% disetorkan langsung ke dalam rekening Yayasan Dharmais dan 50% (lima puluh
persen) lainnya disetorkan langsung ke dalam rekening Yayasan Supersemar pada
35
Bank Indonesia dengan nama rekening: 5% dari laba bersih bank-bank milik negara
untuk keperluan sosial”.
Uang yang dipergunakan secara tidak sesuai dengan tujuan peruntukan
tersebut mencapai sejumlah US $ 420.002.910,64 atau Rp.185.918.048.904,
berdasarkan kepada ketentuan dalam PP No. 15 Tahun 1976 dan Kepmenkeu RI
No.333/KMK.011/1978, yang seharusnya disetorkan kepada YBS untuk
dipergunakan sesuai dengan tujuan peruntukan yang tercantum dalam Anggaran
Dasar dan Anggaran rumah Tangga YBS untuk dana sosial, akan tetapi telah
disalahgunakan oleh H.M. Soeharto dan YBS sebagaimana diuraikan di atas maka
Penggugat berhak untuk menuntut agar uang tersebut dikembalikan kepada Negara
karena negara sudah dirugikan.
Dengan digunakannya sejumlah uang US $ 420.002.910,64 atau
Rp.185.918.048.904,75 yang tidak sesuai dengan tujuan peruntukannya itu sehingga
mengakibatkan banyak siswa/mahasiswa Indonesia yang cukup cakap, tetapi tidak
dapat melanjutkan pelajarannya karena kesulitan dalam pembiayaan, karena telah
kehilangan kesempatan untuk mendapatkan bantuan biaya pendidikan. Oleh karena
itu, maka Tim JPN dalam gugatannya mencantumkan sejumlah gugatan materil dan
immateril terhadap H.M. Soeharto dan YBS diperkirakan sebesar Rp.1,5 triliun dan
immateril Rp.10 triliun.
Perbuatan H.M. Soeharto dan YBS sebagaimana diuraikan di atas merupakan
dimaksud dalam Pasal 1365 KUH Perdata,36 karena perbuatan tersebut bertentangan
dengan Pasal 2 huruf f PP No. 15 Tahun 197637 yang kemudian diatur lebih lanjut
dengan Pasal 1 Kepmenkeu No.333/KMK.011/197838 serta Pasal 3 Ayat (2)
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga YBS.39
Perbuatan melawan hukum tersebut dikatakan merugikan keuangan negara
karena, Pertama, Negara memiliki kewajiban konstitusional untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa dan sesuai dengan ketentuan Pasal 31 UUD 1945, Negara
mempunyai kewajiban konstitusional untuk memenuhi hak setiap warga Negaranya
mendapatkan pengajaran, pencapaian tujuan antara lain dipercayakan kepada YBS,
Kedua, Dana yang oleh negara telah disetorkan kepada YBS berdasarkan PP No. 15
Tahun 1976 yang kemudian diatur lanjut dengan Kepmenkeu
No.333/KMK.011/1978, serta ketentuan Pasal 3 ayat (2) Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga YBS, telah berakibat bahwa dana tersebut tidak dapat
36
Subekti., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1990), hal. 288, Pasal 1365 menyebutkan: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut”.
37
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 15 Tahun 1976 tentang Penetapan Penggunaan Sisa Laba Bersih Bank-Bank Milik Negara, Pasal 2 Huruf f menyebutkan: “5% (lima persen) dipergunaakan untuk keperluan-keperluan di bidang sosial yang diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan dengan persetujuan Presiden”.
38
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 333/KMK.011/1978 tentang Pengaturan Lebih Lanjut Penggunaan 5% (Lima Persen) Dari Laba Bersih Bank-Bank Milik Negara, Pasal 1 menyatakan: “Dana yang berasal dari 5% (lima persen) dari laba bersih bank-bank milik negara, 50% disetorkan langsung ke dalam rekening Yayasan Dharmais dan 50% lainnya disetorkan langsung ke dalam rekening Yayasan Supersemar pada Bank Indonesia dengan nama rekening 5% dari
laba bersih bank-bank milik negara untuk keperluan sosial”.
39
Angaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Yayasan Supersemar (AD dan ART), Pasal 3 Ayat (2) Menyatakan maksud dan tujuan Yayasan adalah:
1. Membantu/membina para siswa/mahasiswa yang cukup cakap, tetapi tidak dapat melanjutkan pelajarannya karena kesulitan dalam pembiayaan;
digunakan untuk membantu/membina para siswa/mahasiswa cukup cakap yang tidak
mampu melanjutkan pelajarannya.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis memberikan pokok permasalahan
yang diteliti di dalam tesis ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kerugian keuangan negara dan perbuatan melawan hukum sebagai
unsur tindak pidana korupsi?
2. Bagaimana gugatan perdata atas kerugian keuangan negara dalam tindak
pidana korupsi H.M. Soeharto dan Yayasan Beasiswa Supersemar?
3. Bagaimana analisis putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap
kerugian keuangan negara yang dilakukan H.M. Soeharto dan Yayasan
Beasiswa Supersemar?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan melakukan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan mendalami kerugian keuangan negara dan perbuatan
melawan hukum sebagai unsur tindak pidana korupsi.
2. Untuk mengetahui dan mendalami gugatan perdata atas kerugian keuangan
negara dalam tindak pidana korupsi H.M. Soeharto dan Yayasan Beasiswa
3. Untuk menganalisis putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap
kerugian keuangan negara yang dilakukan H.M. Soeharto dan Yayasan
Beasiswa Supersemar.
D. Manfaat Penelitian
Permasalahan yang diteliti di dalam penelitian ini memberikan sejumlah
manfaat yang berguna secara teoritis dan praktis. Sehubungan dengan itu, penelitian
ini bermanfaat untuk:
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
membuka paradigma berfikir terhadap permasalahan tindak pidana korupsi dan
kerugian keuangan negara berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan perbandingan
dan referensi bagi peneliti lanjutan serta dapat memperkaya khazanah ilmu
pengetahuan. Penelitian ini juga diharapkan bisa memberikan masukan bagi
penyempurnaan perangkat peraturan perundang-undangan dan masukan terhadap
eksekusi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan;
2. Secara praktis penelitian ini ditujukan kepada kalangan aparat penegak hukum
yang menangani kasus-kasus tindak pidana korupsi. Khususnya bagi masyarakat
umum agar dapat mengetahui sejauh mana penerapan undang-undang yang
berkenaan dengan korupsi Soeharto dan YBS dan secara tidak langsung publik
juga mengetahui hak-hak rakyat yang dikorupsi semasa rezim pemerintahan
atau dikembalikan kepada publik yang seharusnya diperuntukkan oleh negara
kepada bantuan sosial kemasyarakatan.
E. Keaslian Penulisan
Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang
sama, maka peneliti melakukan pemeriksaan data tentang ”Kerugian Keuangan
Negara Pada YBS”, dan juga pemeriksaan terhadap hasil-hasil penelitian yang ada
baik di perpustakaan Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, di Perpustakaan Besar Universitas Sumatera Utara dan di
perpustakaan di luar dari pada Kampus Universitas Sumatera Utara serta di institusi
lain mengenai judul di atas, ternyata penelitian ini belum pernah dilakukan peneliti
lain dalam topik dan permasalahan yang sama.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional
1. Kerangka Teori
Menurut hukum perdata, ada dua subyek hukum yang dikenal yaitu orang
(persoon) dan badan hukum (rechtspersoon). Kedua subyek hukum ini sebagai
pengemban hak dan kewajiban. Oleh sebab itu, terhadap keduanya diwajibkan hukum
untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Hal ini sehubungan dengan
suatu asas dalam hukum perdata menyebutkan bahwa semua kekayaan seseorang
perdata, yaitu suatu hukuman yang menyatakan bahwa seseorang tidak dapat
memiliki sesuatu hak lagi.40
Selain orang, subyek hukum yang kedua adalah badan hukum
(rechtspersoon). Badan hukum ini juga memiliki hak dan kewajiban sebagaimana
layaknya manusia bernyawa. Badan hukum meliputi organisasi atau perkumpulan
yang memiliki kekayaan sendiri ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan
perantaraannya manusia. Jadi badan hukum itu adalah orang yang diciptakan oleh
hukum. Biasanya orang memiliki tempat tinggal (domicili), begitu pula suatu badan
hukum juga memiliki tempat tinggal.41
Subyek hukum dalam tindak pidana korupsi meliputi orang dan badan hukum.
Sebagaimana orang yang sudah meninggal dunia, maka subyek hukum yang masih
mengemban hak dan kewajiban itu adalah orang yakni ahli waris termasuk pula
organisasi atau perkumpulam yang didirikan berdasarkan badan hukum di Indonesia.
Badan hukum juga disebut dengan korporasi.42 Korporasi disebut juga legal
personality artinya korporasi dapat memiliki harta kekayaan sebagaimana halnya
manusia dapat menuntut dan dapat dituntut dalam kasus perdata. Dalam
40
Subekti., Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 1982), hal. 19-21. 41
Ibid., hal. 21. 42
Chaidir Ali., Badan Hukum, (Bandung: Alumni, 1987), hal. 65. Korporasi berasal dari kata
corporatio atau corporation artinya secara luas adalah suatu kesatuan menurut hukum atau suatu
perkembangannya korporasi sebagai subjek hukum yang dapat melakukan tindak
pidana dan sekaligus dapat mempertanggugjawabkan dalam hukum pidana dan
hukum perdata sudah merupakan realita.
Mulanya orang menolak korporasi dapat dipertanggungjawabkan. Alasannya,
korporasi tidak mempunyai perasaan seperti manusia sehingga korporasi dianggap
tidak mungkin melakukan kesalahan, dan pidana penjara tidak mungkin diterapkan
terhadap korporasi. Namun, mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh
kegiatan korporasi, maka timbul pemikiran untuk mempertanggungjawabkan
korporasi dalam perkara pidana. Korporasi dapat bertanggung jawab atas perbuatan
yang dilakukan oleh anggotanya dalam kaitannya dengan ruang lingkup
pekerjaannya. Tentu saja pidana yang dijatuhkan kepada korporasi biasanya berupa
pidana denda.43
Menurut Utrech dan M. Soleh Djindang, korporasi adalah suatu gabungan
orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai suatu objek
hukum tersendiri sebagai suatu personifikasi. Korporasi adalah badan hukum yang
beranggota, namun mempunyai hak dan kewajiban tersendiri yang terpisah dari hak
dan kewajiban anggota masing-masing.44 Sementara menurut Muladi dan Dwija
Prijatna, korporasi dipandang sebagai realita sekumpulan manusia yang diberikan hak
hukum untuk tujuan tertentu. Sedangkan Subekti dan Tjitrosudiro menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan korporasi adalah suatu perseroan yang merupakan badan
43
Ibid., hal. 51. 44
hukum. Pramadya Puspa, mengartikan korporasi atau badan hukum adalah suatu
perseroan yang merupakan badan hukum, yang dimaksudkan sebagai suatu
perkumpulan atau organisasi yang oleh hukum diperlakukan seperti seorang manusia
(personal), sebagai pengemban atau pemilik hak dan kewajiban, memiliki hak
menggugat atau digugat di muka persidangan pengadilan.45
Berbagai pengertian mengenai korporasi di atas, maka dapat dikatakan bahwa
korporasi mempunyai arti yang luas. Pengertian korporasi juga lebuh luas dari
pengertian badan hukum, hal ini terlihat dari berbagai ketentuan perundang-undangan
di luar KUH Pidana yang memakai istilah badan usaha, sekelompok orang dan lain
sebagainya sebagai subjek hukum pidana.
Mengenai bentuk-bentuk korporasi, tidak terlepas dari persoalan dunia
bisnis.46 Ruang lingkup usaha korporasi itu cukup luas, bisa meliputi bidang industri,
bidang perdagangan, bidang jasa dan bidang lainnya. Dalam melaksanakan bisnis ini
maka bisa dilakukan oleh perseorangan dan juga dilakukan dalam suatu organisasi
atau perkumpulan untuk bisnis-bisnis yang besar, yang dinamakan korporasi, baik
berupa badan hukum maupun bukan badan hukum.
Subjek hukum dalam tindak pidana korpusi adalah orang, badan hukum, dan
korporasi. Akan tetapi secara umum korporasi dipandang sama dengan badan hukum.
45
Muladi., dan Dwija Prijatna., Pertanggungjawaban Korporasi Adalah Hukum Pidana, Cetakan Pertama, (Bandung: Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 1991), hal. 14.
46
Sebagaimana yang dikatakan Setiyono, adalah ”Korporasi merupakan istilah yang
biasa digunakan oleh para ahli hukum pidna dan kriminologi untuk menyebut apa
yang di bidang hukum lain, khususnya di bidang hukum perdata sebagai badan
hukum, atau dalam bahasa Belanda disebut dengan rechtspersoon atau dalam bahasa
Inggris disebut dengan legal person atau legal body.”47
Alasan pemikiran untuk menjadikan korporasi sebagai subjek hukum di
samping subjek hukum manusia alamiah adalah karena ingin kerja sama untuk
memperoleh keuntungan dan membagi risiko jika sewaktu-waktu timbul kerugian.
Alasan lainnya adalah agar memudahkan menunjuk siapa subjek hukum yang harus
bertanggung jawab di antara sedemikian banyak orang-orang yang terhimpun dalam
badan tersebut, yang secara yuridis mengonstruksikannya cukup dengan menunjuk
”badan” itu sebagai subyek hukum yang harus bertanggung jawab.48
Korporasi sebagai subyek hukum di atas menyangkut subyek hukum Soeharto
(orang) dan Yayasan Beasiswa Supersemar (sebagai badan hukum atau korporasi)
pelaku dalam tindak pidana korupsi. Terhadap kasus gugatan perdata Soeharto dan
Yayasan Beasiswa Supersemar dilakukan gugatan perdata biasa. Karena jalur
keperdataan dalam pengembalian aset negara, dibandingkan jalur pidana relatif lebih
mudah karena dalam hal pembuktian korupsi. Pemerintah cukup mempunyai bukti
awal bahwa aset yang akan diambil adalah hasil, atau berhubungan dengan tindak
pidana.
47
Sutiyono., Kejahatan Korporasi, Analisis Victimologis dan Pertanggungjawaban
Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, (Malang: Bayumedia, 2009), hal. 2.
48
Implementasinya adalah apa yang disebut civil forfeiture. Dalam masalah
pembuktian, pemerintah cukup menghitung berapa pendapatan yang layak bagi
pelaku, kemudian membandingkan dengan aset yang dimiliki. Jika aset yang dimiliki
melebihi jumlah pendapatannya, maka pelaku berkewajiban membuktikan bahwa aset
tersebut diperoleh secara legal.49
Model civil forfeiture adalah model yang menggunakan pembalikan beban
pembuktian, dinama bahwa model ini merupakan model yang memfokuskan kepada
gugatan terhadap aset bukan mengejar pelaku (tersangka atau terdakwa). Penyitaan
dengan menggunakan model civil forveiture ini lebih cepat setelah diduga adanya
hubungan aset dengan tindak pidana. Sehingga aset negara dapat diselamatkan meski
tersangka telah melarikan diri atau meninggal dunia. Karena pada prinsipnya
penerapan model ini adalah bahwa hak negara harus kembali ke negara demi
kesejahteraan rakyat. Terdapat beberapa perbedaan mendasar secara umum antara
civil forfeiture dibandingkan dengan criminal forfeiture, antara lain; Pertama, Civil
forfeiture tidak berhubungan dengan sebuah tindak pidana, sehingga penyitaan dapat
lebih cepat diminta kepada pengadilan. Penyitaan dalam proses pidana mengharuskan
adanya seorang tersangka atau putusan bersalah. Civil forfeiture dapat dilakukan
secepat mungkin begitu adanya hubungan antara aset dengan tindak pidana. Kedua,
Civil forfeiture menggunakan standart pembuktian perdata, tetapi dengan
menggunakan sistem pembalikan beban pembuktian, sehingga lebih ringan dalam
49
melakukan pembuktian terhadap gugatan yang diajukan. Ketiga, Civil forfeiture
merupakan proses gugatan terhadap asset (in rem), sehingga pelaku tindak pidana
tidak relevan lagi. Keempat, Civil forfeiture berguna bagi kasus dimana penuntutan
secara pidana mendapat halangan atau tidak mungkin untuk dilakukan. Keberhasilan
penggunaan civil forfeiture di negara maju mungkin bisa dijadikan wacana di
Indonesia karena prosedur ini akan memberikan keuntungan dalam proses peradilan
dan untuk mengejar aset para koruptor. Seperti yang terlihat selama ini, seringkali
jaksa mengalami kesulitan dalam membuktikan kasus-kasus korupsi karena tingginya
standar pembuktian yang digunakan dalam kasus pidana. Selain itu seringkali dalam
proses pemidanaan para koruptor, mereka menjadi sakit, hilang atau meninggal yang
dapat mempengaruhi atau memperlambat proses peradilan. Hal ini dapat
diminimalisir dengan menggunakan civil forfeiture karena obyeknya adalah aset
bukan koruptornya, sehingga sakit, hilang atau meninggalnya si koruptor bukan
menjadi halangan dalam proses persidangan.50
Kemudahan dalam masalah pembuktian melalui jalur civil forfeiture,
merupakan alternatif yang potensial, karena lebih efektif dalam upaya pengembalian
aset, walaupun prosedur ini tidak luput dari berbagai kelemahan, seperti lambat dan
biaya tinggi. Di samping itu, perlu dipertimbangkan bahwa pemanfaatan potensi civil
forfeiture harus diikuti dengan adanya perjanjian bilateral disamping pula
memerlukan suatu re-strukrisasi hukum nasional. Restrukrisasi di bidang hukum,
antara lain menghendaki adanya reformasi bidang hukum materiil dan formil. Bidang
50
hukum formil antara lain, hukum acara perdata yang harus diformat kembali,
mengingat Indonesia masih menggunakan hukum acara perdata yang hanya berlaku
dalam kasus-kasus yang bersifat individual atau private to private. Di samping itu
pula civil forfeiture menuntut legal expertise dan pengetahuan teknis yang tinggi, dan
dikhawatirkan Indonesia masih belum memiliki sumber daya yang bisa memenuhi
tuntutan ini. Perluasan jurisdiction scope dari civil forfeiture merupakan suatu hal
yang mutlak, mengingat aset hasil korupsi lebih banyak disembunyikan di negara
lain. Yang lebih penting, adalah perlu dipertimbangkannya aspek check and balance
karena jalur ini rawan penyalahgunaan oleh aparat penegak hukum51.
Masalah pembuktian menggunakan asas civil forfeitur akan tetapi instrumen
hukum yang diterapkan untuk mengembalikan aset negara atau harta negara yang
dikorupsi oleh pihak-pihak tertentu berdasarkan hukum perdata, diperani oleh Jaksa
dengan sebutan Jaksa Pengacara Negara (selanjutnya disebut JPN). Untuk kekayaan
negara dalam hal ini disamakan dengan aset negara yang haknya diambil alih oleh
seorang atau lebih atau suatu korporasi yang dapat dimungkinkan terjadi melalui
perbutaan korupsi selama melaksanakan tugas-tugas kenegaraan.
Dalam civil forfeiture menggunakan guagatan in rem. Gugatan in rem adalah
suatu guagatan yang substansinya merupakan perampasan terhadap harta kekayaan
hasil tindak pidana korupsi secara perdata yakni dengan pemulihan kembali harta
kekayaan negara yang telah dikorupsi. Berbeda dengan perampasan harta kekayaan
51
secara pidana merupakan bagian dari pelaksanaan putusan hakim pidana dalam suatu
perkara pidana, jenis perampasan harta kekayaan ini disebut juga sebagai tindakan in
personam terhadap terpidana, bukan tindakan in rem terhadap harta kekayaan yang
terkait dengan tidak pidana. Civil forfeiture merupakan proses gugatan terhadap asset
(in rem), sehingga pelaku tindak pidana tidak relevan lagi. Terhadap civil forfeiture
cukup menjanjikan karena dapat melakukan penyitaan dan pengambilalihan suatu
aset melalui gugatan in rem atau gugatan terhadap aset hasil korupsi secara perdata.52
Indonesia telah meratifikasi UNCAC 2003 dengan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Korupsi. UNCAC 2003 telah
diadopsi oleh sidang Majelis Umum PBB dalam resolusinya Nomor 58/4 Tanggal 31
Oktober 2003, dan terbuka untuk ditandatangani di Meksiko dari Tanggal 9
Desember 11 Desember 2003. Sebelum UNCAC 2003, ada dua konvensi yang
dikeluarkan oleh negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa (Organization of
Council of Europe) yaitu Criminal Law Convention on Corruption yang telah berlaku
sejak Tanggal 1 Juli 2002, dan Civil Law Convention on Corruption yang berlaku
efektif sejak Tanggal 1 November 2003, dan telah diratifikasi oleh 21 negara Uni
Eropa. Selain itu, dapat dicatat bahwa negara-negara yang tergabung dalam Uni
Afrika telah pula menghasilkan Africa Union Convention on Preventing and
52
Combating Corruption, yang ditetapkan di Adis Ababa pada Tanggal 18 s/d 19
September 2002.53
Dalam materi UNCAC 2003 tercermin suatu perubahan cara pandang
terhadap multi aspek korupsi, antara lain:54
a. Masalah korupsi memiliki multi aspek, aspek hukum, HAM, pembangunan
berkelanjutan, kemiskinan, keamanan;
b. Bahwa sistem pembuktian secara konvensional tidak selalu ampuh dalam
pemberantasan korupsi, sehingga beban pembuktian terbalik merupakan alternatif solusi yang potensial.
Ratifikasi UNCAC 2003 oleh pemerintah Indonesia yang secara politis
menempatkan posisi Indonesia sebagai salah satu negara di Asia yang memiliki
komitmen pemberantasan korupsi lewat kerjasama internasional, diharap mampu
memberikan dorongan terutama bagi negara- negara lain yang kurang kooperatif
dalam pengembalian asset hasil korupsi di Indonesia, di samping pula langkah
Indonesia untuk mencegah dan mengembalikan aset hasil korupsi dari negara lain
akan menjadi bagian dari agenda kerjasama internasional dalam upaya pemberantasan
korupsi secara global.
Dijelaskan pula bahwa pemberantasan korupsi sebenarnya bukanlah hanya
dalam lingkup penegakan hukum pidana lewat penuntutan (conviction) lewat suatu
proses peradilan pidana (criminal proceedings) semata-mata, melainkan juga dapat
dilaksanakan lewat upaya keperdataan (civil proceeding). Strategi pencegahan
korupsi harus dilihat sebagai upaya strategis di samping upaya pemberantasan
53
I. Gusti Ketut Ariawan, ”Stolen Asset RecoveryInitiative, Suatu Harapan Dalam Pengembalian Aset Negara”, Kertha Patrika, Volume 33 Nomor 01, Bali, Januari 2008, hal. 6.
(represif). Dan yang lebih penting lagi adalah strategi pengembalian asset (asset
recovery) hasil korupsi. Suatu hal yang paling mendasar dalam UNCAC 2003, adalah
kerjasama internasional di bidang asset recovery.55
UNCAC 2003 disusul dengan diluncurkannya Stolen Asset RecoveryInitiative
(StAR), pada bulan Juni 2007, yang memuat challenges, opportunities dan action
plan dalam upaya pengembalian aset hasil korupsi. StAR (Stolen Asset Recovery)
merupakan program bersama yang diluncurkan oleh Bank Dunia (World Bank) dan
Perserikatan Bangsa-Bangsa khususnya UNODC (United Nations Office on Drugs
and Crimes) untuk meningkatkan kerjasama internasional dalam
mengimplementasikan upaya pengembalian aset hasil korupsi, sebagai salah satu
terobosan dalam hukum internasional yang menetapkan landasan mengenai
pengembalian asset hasil kejahatan (terutama korupsi) di negara-negara sedang
berkembang. StAR merupakan bagian integral dari Governance and Anti Corruption
Strategy World Bank Group yang menyatakan perlunya bantuan bagi negaranegara
berkembang dalam pengembalian asset. Progam yang diluncurkan oleh PBB ini
sebenarnya terinspirasi dari keberhasilan Peru, Nigeria dan Filipina dalam
mengembalikan aset-aset yang diinvestasikan di Negara lain oleh mantan kepala
negaranya. Walaupun keberhasilan tersebut tidak mudah dan membutuhkan waktu
yang relatif lama.
55
Pengembalian asset tersebut dilakukan dengan melalui proses litigasi dan
permintaan antar pemerintah melalui MLA (Mutual Legal Assistance). Bila
dielaborasi, tujuan StAR adalah dalam rangkaian:56
1. Memberikan faktor deterence dengan menunjukkan bahwa tidak adanya safe
haven bagi koruptor serta meningkatkan kewaspadaan komunitas
internasional untuk memberikan komitmen penuh dalam pemberantasan korupsi;
2. Meningkatkan kapasitas dalam mengembalikan aset-aset yang dicuri dan
mencegah tindak pidana korupsi di masa depan. Aset-aset yang berhasil dikembalikan, dipergunakan untuk kepentingan pembangunan berkelanjutan; dan
3. Meningkatkan kerjasama negara-negara berkembang dengan membantu
mengurangi hambatan-hambatan yang dialami negara-negara tersebut dalam upayanya mengembalikan asset yang dicuri. Mendorong upayaupaya bersama untuk mengembalikan asset-aset negara berkembang yang seringkali disimpan di negara maju.
Salah satu bentuk kerjasama Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik
(Mutual Legal Assistance/MLA) yang dapat dilakukan oleh negara-negara yang
tergabung dalam UNCAC 2003, pada prinsipnya dapat dilakukan 3 (tiga) bentuk
yaitu, Pertama, yang dibuat secara bilateral, Kedua, yang dibuat secara regional,
Ketiga, yang dibuat secara multilateral.57 Pada prinsipnya Perjanjian Bantuan Hukum
Timbal Balik (Mutual Legal Assistance/MLA), menurut Yunus Husein,58 harus
memperhatikan prinsip persamaan (aquality) yang didasarkan pada sikap saling
menghargai dan kedaulatan (souvereignity) dari negara-negara yang terlibat dalam
56
I. Gusti Ketut Ariawan, Op. cit, hal. 8. 57
Zulkarnain Sitompul, “Merampas Hasil Korupsi Tantangan Kerjasama Internasional, Forum Keadilan”, Nomor 40, Tanggal 13 Februari 2005.
58
kerjasama tersebut, dan kerjasama yang tertuang dalam perjanjian Internasional akan
berlaku dan mengikat secara politik dan hukum (legally and politically binding effect)
kepada negara-negara yang membuatnya.
Stolen Asset Recovery Initiative merupakan program bersama yang
diluncurkan oleh Bank Dunia (World Bank)59 dan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam
rangkaian peningkatan kerjasama internasional dalam mengimplementasikan upaya
pengembalian aset hasil korupsi, sebagai salah satu terobosan dalam hukum
internasional yang menetapkan landasan mengenai pengembalian aset hasil korupsi di
negara-negara sedang berkembang.
Objek tindak pidana korupsi adalah keuangan negara. Sementara keuangan
negara merupakan urat nadi dalam pembangunan suatu negara dan amat menentukan
kelangsungan perekonomian baik sekarang maupun yang akan datang. Kalau semakin
banyak korupsi, maka terhadap kelangsungan perekonomian suatu bangsa akan
terganggu.60
Pengaturan keuangan negara dalam UUD 1945 yang sangat singkat dan diatur
dalam Pasal 23 Bab VIII tentang “Hal Keuangan”, menjadi titik awal (starting point)
pengaturan hukum keuangan negara di Indonesia. Meskipun rumusannya sangat
59
I. Gusti Ketut Ariawan, Op. cit, hal. 9. 60