ANALISIS GUGATAN BERSIFAT
IN REM
TERHADAP
HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI PADA
SISTEM HUKUM
COMMON LAW
TESIS
Oleh
OLOAN E. HUTABARAT
077005053/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Tesis : ANALISIS GUGATAN BERSIFAT IN REM TERHADAP HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI PADA SISTEM
HUKUM COMMON LAW
Nama Mahasiswa : Oloan E. Hutabarat
Nomor Pokok : 077005053
Program Studi : Magister Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Ketua
)
(Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) (Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM Anggota Anggota
)
Ketua Program Studi D e k a n
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)
ABSTRAK
Gugatan perdata yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi hampir memiliki konsep yang sama dengan gugatan in rem yang diterapkan dalam sistem hukum common law, tetapi perbedaan yang paling menonjol adalah cara penyelesaiannya, dimana upaya hukum perdata dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi hanya mengenal proses
Permasalahan di dalam penelitian ini adalah : Pertama, Mengapa gugatan bersifat in rem berdasarkan Sistem Hukum Common Law perlu diterapkan terhadap Tindak Pidana Korupsi?, Kedua, Bagaimana instrumen yang perlu diterapkan pada gugatan bersifat in rem berdasarkan Sistem Hukum Common Law yang dikaitkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Ketiga, Bagaimana kendala dan solusi penerapan instrumen gugatan bersifat in rem berdasarkan Sistem Hukum
Common Law di Indonesia?
persidangan yang mengikuti hukum perdata formil atau materil biasa.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian pendekatan perbandingan
(Comparative Approach) hukum yaitu kegiatan untuk membandingkan hukum suatu
negara dengan hukum negara lain dari suatu waktu tertentu. Sebagai Bahan Hukum Primer berupa Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Coruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003), serta peraturan-peraturan lainnya.
Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa; Pertama, Gugatan bersifat in rem terhadap hasil tindak pidana korupsi pada Sistem Hukum Common Law perlu diterapkan Kedua, Instrumen gugatan bersifat in rem berdasarkan Sistem Hukum
Common Law yang dikaitkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi di Indonesia,
diutamakan terhadap kasus yang secara nyata telah ada kerugian keuangan negara;
Ketiga, kendala penerapannya, meliputi : sistem hukum yang kaku, belum
memaksimalkan prinsip litigasi multiyurisdiksi, serta perilaku para penegak hokum yang cenderung KKN dan masih berpihak kepada adanya aturan undang-undang.
Saran didalam penelitian ini diantaranya : Kesatu, Guna kepentingan untuk mengejar aset tindak pidana korupsi perlu diperkenalkan suatu aturan baru yang mengatur penyitaan aset secara perdata maupun secara pidana. Kedua, Instrumen yang perlu diterapkan adalah tidak selalu bergantung pada adanya kerugian Negara dan penyelesaiannya harus dilakukan secara perdata, yaitu dilakukan secara terpisah dengan penyelesaian secara pidana. Ketiga, sebaiknya para penegak hukum tidak terpaku pada aturan undang-undang saja (asas legalitas), tetapi harus lebih memperhatikan rasa keadilan masyarakat.
ABSTRACT
Civil complaint regulated in Law on Corruption has the concept which is almost the same as the in rem complaint applied in the common law system but the most significant difference is their solution in which the effort of civil law in the Law of Corruption is only familiar with the trial process following the formal or ordinary material civil law.
The research questions discussed in this study were: first, why does the Common Law System-based in rem complaint need to be applied in corruption cases?; second, How is the instrument needed to be applied in the Common Law System-based in rem complaint related to the Law on Corruption in Indonesia?; and third, what constraints and solutions are faced in applying the instrument of the Common Law System-based in rem complaint in Indonesia?
This study employed a Comparative Approach to compare the law in one country to that in other countries in a certain period of time. The data for this study were obtained from the primary legal materials such as Law No. 20/2001 on the amendment of Law No. 31/1999 on Corruption Eradication, law No. 30/2002 on Corruption Eradication Commission, Law No.7/2006 on the Ratification of United Nations Convention Against Corruption, 2003, and the other related regulations.
The conclusion drawn fronm this study are that, first, the in rem complaints against the results of corruption in Common Law System needs to be applied; second, the instrument of the Common Law System-based in rem complaint related to the Law on Corruption in Indonesia is prioritized on the cases which have obviously inflicted financial loss to the state; third, the constraints faced include rigid legal system, the principle of multi-jurisdictional litigation is not yet maximized, the law enforcers still tend to practice corruption, collusion, and nepotism and favor the legislation rules. It is suggested that: first, for the sake of pursuing the assets obtained through corruption, it is necessary to introduce a new civil or criminal rule regulating asset confiscation; second, the instrument needed to be applied does not always have to depend on the state loss and its solution must be done based on civil law which is separately done from the solution based on criminal law; and third, the law enforcers should not get stuck to the rules of legislation alone (principle of legality), but should pay more attention to the public sense of justice.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
yang senantiasa melimpahkan Kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis
ini dengan judul “Analisis Gugatan bersifat in rem terhadap hasil tindak pidana
korupsi pada sistem hukum Common Law” ,merupakan salah satu syarat yang harus
dipenuhi untuk menyelesaikan perkuliahan di Program Studi Magister Ilmu Hukum
di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini banyak
kekurangan-kekurangan dalam penulisannya juga menyadari bahwa penulisan ini tidak dapat
terlaksana tanpa bantuan dan kerja sama dari berbagai pihak. Oleh karena itu
pada kesempatan ini penulis menyampaikan banyak terima kasih yang tidak
terhingga kepada : Prof. Dr. Bismar Nasution,S.H.,M.H,
Prof.Dr.Sunarmi,S.H.,M.Hum, Syafruddin Hasibuan,S.H.,M,H, DFM,
ditengah-tengah kesibukannya meluangkan waktu dan penuh perhatian memberi bimbingan,
petunjuk dan mendorong semangat penulis untuk menyelesaikan tesis ini.
Terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada
pihak-pihak yang turut memberikan dukungan, yaitu :
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTMH, Msc(CTM), SpA(K), selaku Rektor
penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister
Ilmu Hukum.
2. Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis menjadi
mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum.
3. Prof. Dr. Suhaidi, S.H.,M.H., selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas segala arahan dan dorongan
yang diberikan selama menuntut ilmu di Program Studi Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Para dosen, staf pengajar dan seluruh pegawai di Program Studi Magister Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang senantiasa membantu
penulis dalam penyelesaian tesis ini.
5. Sefwitson, S.H.,M.H. selaku Ketua Pengadilan Negeri Tanjungpadan yang telah
memberi izin penelitian, dan memberikan dukungan kepada penulis mengikuti
pendidikan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
6. Kedua orang tua (Tambok Hutabarat,S.E. dan Herlina Hutagalung), kedua
mertua (Ir. S. Siahaan dan Dr. dr. Sarma Lumbanraja, SpOG (K)) yang selalu
memberikan dukungan nasihat-nasihat kepada penulis dalam menyelesaikan
pendidikan ini.
7. Istri tercinta (dr. Hatsari M.P.S. Siahaan,SpOg) beserta anak-anakku tersayang
membagi hati dan pikirannya menjadi kekuatan, inspirasi dan motivasi penulis
dalam penyelesaian pendidikan ini.
8. Saudara-saudaraku terkasih (Pytua Hutabarat, Dr Eng. Nauas DM Romauli
Hutabarat, S.Tp. M.Eng beserta lae Himsar Ambarita, S.T.P.HD , Anggina
Hutabarat,Amd, dr Jesurun B.D. Hutabarat, Gratia Hutabarat) yang selalu
mndukung penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.
9. Rekan-rekan hakim yang selalu membantu memberi masukan dan dorongan
kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.
10. Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara yang saling memberikan dukungan salam penyelesaian tesis ini.
Akhirnya, kritik dan saran konstruktif penulis harapkan demi perbaikan
pada masa yang akan datang. Penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat dan dapat
memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan umumnya dan ilmu hokum
khususnya.
Medan, Maret 2013
Penulis,
DAFTAR ISI Kerangka Teori dan Landasan Konsepsi ………. Metode Penelitian ………. 16 18 25 BAB II PENERAPAN GUGATAN BERSIFAT IN REM DALAM SISTEM HUKUM COMMON LAW ……… 29
A. Perkembangan gugatan bersifat in rem pada negara common law ……… 29
B. Prosedur gugatan bersifat in rem ……….. 38
C. Penerapan dan Penggunaan Gugatan Bersifat In Rem … 42 D. Upaya Pemberantasan Korupsi oleh Negara-Negara di Dunia ……… 46 E. Implementasi UNCAC dalam Gugatan In Rem …….. 47
F. Upaya Indonesia Dalam Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi ……… 55 BAB III PENERAPAN GUGATAN BERSIFAT IN REM DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA ………. 59
A. Penegakan Hukum dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ……….……… ……….. 59
B. Instrumen Perdata dalam Gugatan Korupsi …………. 62
C. Implementasi Gugatan In Rem Dalam Sistem Hukum Di Indonesia ... 68
D. Ratifikasi UNCAC ... 93
E. Kendala-kendala Dalam Menerapkan Instrumen Gugatan Bersifat In Rem Berdasarkan Sistem Hukum Common Law Di Indonesia ………. 101
F. Contoh Kasus ... 106
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ………..…….. 129
A. Kesimpulan ... 129
B. Saran ... 132
ABSTRAK
Gugatan perdata yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi hampir memiliki konsep yang sama dengan gugatan in rem yang diterapkan dalam sistem hukum common law, tetapi perbedaan yang paling menonjol adalah cara penyelesaiannya, dimana upaya hukum perdata dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi hanya mengenal proses
Permasalahan di dalam penelitian ini adalah : Pertama, Mengapa gugatan bersifat in rem berdasarkan Sistem Hukum Common Law perlu diterapkan terhadap Tindak Pidana Korupsi?, Kedua, Bagaimana instrumen yang perlu diterapkan pada gugatan bersifat in rem berdasarkan Sistem Hukum Common Law yang dikaitkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Ketiga, Bagaimana kendala dan solusi penerapan instrumen gugatan bersifat in rem berdasarkan Sistem Hukum
Common Law di Indonesia?
persidangan yang mengikuti hukum perdata formil atau materil biasa.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian pendekatan perbandingan
(Comparative Approach) hukum yaitu kegiatan untuk membandingkan hukum suatu
negara dengan hukum negara lain dari suatu waktu tertentu. Sebagai Bahan Hukum Primer berupa Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Coruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003), serta peraturan-peraturan lainnya.
Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa; Pertama, Gugatan bersifat in rem terhadap hasil tindak pidana korupsi pada Sistem Hukum Common Law perlu diterapkan Kedua, Instrumen gugatan bersifat in rem berdasarkan Sistem Hukum
Common Law yang dikaitkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi di Indonesia,
diutamakan terhadap kasus yang secara nyata telah ada kerugian keuangan negara;
Ketiga, kendala penerapannya, meliputi : sistem hukum yang kaku, belum
memaksimalkan prinsip litigasi multiyurisdiksi, serta perilaku para penegak hokum yang cenderung KKN dan masih berpihak kepada adanya aturan undang-undang.
Saran didalam penelitian ini diantaranya : Kesatu, Guna kepentingan untuk mengejar aset tindak pidana korupsi perlu diperkenalkan suatu aturan baru yang mengatur penyitaan aset secara perdata maupun secara pidana. Kedua, Instrumen yang perlu diterapkan adalah tidak selalu bergantung pada adanya kerugian Negara dan penyelesaiannya harus dilakukan secara perdata, yaitu dilakukan secara terpisah dengan penyelesaian secara pidana. Ketiga, sebaiknya para penegak hukum tidak terpaku pada aturan undang-undang saja (asas legalitas), tetapi harus lebih memperhatikan rasa keadilan masyarakat.
ABSTRACT
Civil complaint regulated in Law on Corruption has the concept which is almost the same as the in rem complaint applied in the common law system but the most significant difference is their solution in which the effort of civil law in the Law of Corruption is only familiar with the trial process following the formal or ordinary material civil law.
The research questions discussed in this study were: first, why does the Common Law System-based in rem complaint need to be applied in corruption cases?; second, How is the instrument needed to be applied in the Common Law System-based in rem complaint related to the Law on Corruption in Indonesia?; and third, what constraints and solutions are faced in applying the instrument of the Common Law System-based in rem complaint in Indonesia?
This study employed a Comparative Approach to compare the law in one country to that in other countries in a certain period of time. The data for this study were obtained from the primary legal materials such as Law No. 20/2001 on the amendment of Law No. 31/1999 on Corruption Eradication, law No. 30/2002 on Corruption Eradication Commission, Law No.7/2006 on the Ratification of United Nations Convention Against Corruption, 2003, and the other related regulations.
The conclusion drawn fronm this study are that, first, the in rem complaints against the results of corruption in Common Law System needs to be applied; second, the instrument of the Common Law System-based in rem complaint related to the Law on Corruption in Indonesia is prioritized on the cases which have obviously inflicted financial loss to the state; third, the constraints faced include rigid legal system, the principle of multi-jurisdictional litigation is not yet maximized, the law enforcers still tend to practice corruption, collusion, and nepotism and favor the legislation rules. It is suggested that: first, for the sake of pursuing the assets obtained through corruption, it is necessary to introduce a new civil or criminal rule regulating asset confiscation; second, the instrument needed to be applied does not always have to depend on the state loss and its solution must be done based on civil law which is separately done from the solution based on criminal law; and third, the law enforcers should not get stuck to the rules of legislation alone (principle of legality), but should pay more attention to the public sense of justice.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan masyarakat serta laju dinamis dunia bisnis saat ini
berlangsung demikian pesat. Dinamika dan kepesatan yang terjadi di dalam
kegiatan ekonomi dan bisnis itu ternyata telah membawa implikasi yang cukup
mendasar terhadap pranata maupun lembaga hukum.1
Berkaitan dengan penegakan bangunan hukum ini memanglah sangat
rumit, bangsa Indonesia melakukan reformasi bertujuan memberantas kezoliman
terutama “korupsi” yang merajalela melalui penegakan supremasi hukum, namun
disaksikan bersama kenyataannya setelah sekian lama gerakan reformasi tidak
mampu berbuat banyak, seperti contoh korupsi terus tumbuh semakin subur,
sementara supremasi hukum bagaikan menegakkan benang basah.2
Dulu, sebelum 1945, musuh utama bangsa Indonesia adalah penjajah
Belanda. Belandalah yang membuat bangsa ini miskin, tertindas, terbelakang,
dan sengsara. Karena itu, sudah selayaknya bangsa ini bahu-membahu tanpa
1
Erman Suparman, Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan, (Jakarta : PT. Tatanusa, 2004), Hal 1.
2
kenal menyerah dan lelah untuk bangkit melawan penjajah Belanda. Merdeka
atau mati adalah semboyan yang pas dipekikkan waktu itu.3
Saat ini musuh terberat adalah para koruptor. Koruptor telah mencuri
uang rakyat bukan hanya miliaran rupiah per tahun, melainkan triliunan. Kasus
pengemplangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), penyalahgunaan
dana Bank Indonesia, illegal loging yang puluhan triliun per bulan, korupsi
perizinan, pemborosan anggaran daerah dan nasional, serta suap-menyuap.
Semua itu hanya dinikmati segelintir elite politik.4
Pada awal kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
sangatlah dicanangkan gerakan pemberantasan korupsi. Hal ini terlihat dari
banyaknya pejabat Negara yang diijinkan untuk diperiksa dan dibawa ke
pengadilan. Hal ini sangat berbeda dengan kepemimpinan presiden yang
sebelumnya dimana proses mendapatkan ijin dari presiden memakan waktu yang
berlarut-larut, bahkan sampai pejabat yang hendak diperiksa tersebut lengser dari
kursi jabatannya.
Salah satu contoh kasus korupsi yang sempat mencuat adalah pada
skandal BLBI yang telah menyebabkan kerugian Negara dalam jumlah yang
sangat besar yakni 138,4 triliun (95,8%) dari penyimpangan penyaluran BLBI
sebesar Rp 144,5 triliun dan Rp 84,842 triliun (58,7%) dari penyimpangan
3
Jabir Alfaruqi, Nasionalisme Baru Tanpa Korupsi, 6 Agustus 2008
4
penggunaan BLBI, serta Rp. 17,76 triliun (33%) dari penyimpangan penggunaan
rekening 502 (untuk tambahan BLBI dan blanket guarantee).5
Bukan hanya itu, kerugian juga ditimbulkan akibat dikucurnya Rp. 431,6
triliun untuk penyuntikan obligasi rekap kepada pihak perbankan, ditambah
sedikitnya Rp. 600 triliun sebagai pembayaran bunganya. Sementara, atas dana
BLBI yang dikucurkan hanya sekitar 28 % rata-rata tingkat pengembalian uang
negara (recovery rate) dari penyelesaian kewajiban obligator melalui mekanisme
Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham. Beban utang yang harus ditanggung
oleh negara akibat skandal BLBI itu tentu saja juga sangat besar. Lebih dari Rp
1000 triliun harus disediakan untuk pembayaran pokok dan bunga obligasi rekap,
dengan beban pembayaran utang dalam APBN setiiap tahunnya mencapai Rp. 40
triliun – Rp. 50 triliun yang harus dilakukan hingga tahun 2021. Keadaan ini
menyebabkan menurunnya kemampuan keuangan Negara, khususnya dalam
membiayai pelayanan publik seperti kesehatan dan pendidikan serta peningkatan
kesejahteraan rakyat.
6
Secara umum, himpunan pengaturan mengenai korupsi di Indonesia telah
banyak dikeluarkan yaitu antara lain: Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, TAP MPR RI Nomor
XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi,
5 Hizbut Tahrir Indonesia, Membongkar Kembali Mega Korupsi BLBI, 1 Maret 2008 2009.
6
Kolusi dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelengara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana
Korupsi, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2000
tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Instruksi
Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem
Manajemen Sumber Daya Manusia Komisi Pemberantasan Korupsi, Keputusan
Bersama Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi dan Jaksa Agung Republik
Indonesia Nomor : KEP-1 11212005 Nomor : KEP-IAIJ.A11212005 tentang
Kerja Sama Antara Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kejaksaan Republik
Indonesia dalam Rangka Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention
Against Coruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi,
2003), serta peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan.
Khusus dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006
(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) oleh pemerintah
Indonesia, secara politis telah menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara
di Asia yang memiliki komitmen pemberantasan korupsi melalui kerjasama
Internasional.7
Konvensi Anti Korupsi 2003 (KAK 2003) telah merubah paradigma
dalam melihat fenomena serta multi aspek korupsi sebagai kejahatan
transnasional. Makin disadari, bahwa pencegahan korupsi, tidaklah dapat
dilakukan oleh suatu negara tanpa adanya kerjasama dengan negara lain yang
mempunyai komitmen sama dalam pemberantasan korupsi. Pengembalian aset
negara yang dikorupsi di negara-negara sedang berkembang (termasuk
Indonesia) yang umumnya disimpan di pusat-pusat finansial negara maju,
merupakan agenda kerjasama internasional dalam konvensi ini. Bagi Indonesia
pengembalian aset negara sangatlah penting, mengingat korupsi di Indonesia
terjadi secara sistematik, sebagai suatu perbuatan yang sangat merugikan serta
dapat merusak sendi-sendi kehidupan perekonomian suatu negara.8
Pada Bulan September 2007 the United Nations Office an Drugs and
Crime dan World Bank secara resmi meluncurkan Stolen Asset Recovery
Initiative (StAR I) yang mempunyai tujuan utama untuk memberikan technical
dan financial assistance untuk memperkuat kapasitas institusional
lembaga-7
I Gusti Ketut Ariawan, Stolen Asset Recovery Iniative; Suatu Harapan Dalam
Pengembalian Aset Negar, Januari 2008
8
lembaga nasional dari negara-negara berkembang untuk dapat mengambil
kembali asset-assetnya yang telah dicuri.9
Secara khusus prakarsa ini mempunyai lima tujuan. Pertama, membantu
membangun kapasitas untuk merespon dan mengajukan permohonan untuk
international mutual legal assistance. Kedua, membantu untuk diadopsinya dan
diberlakukannya aturan mengenai penyitaan, termasuk undang-undang mengenai
penyitaan tanpa hukuman atau kesalahan. Ketiga, membantu peningkatan
transparansi dan akuntabilitas sistem manajemen keuangan public. Keempat,
membantu membentuk dan memperkuat lembaga anti korupsi nasional. Kelima,
membantu mengawasi dana yang dikembalikan (monitoring) apabila diminta
oleh Negara terkait.10
Kebijakan dan ketentuan tentang perampasan harta hasil kejahatan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ketentuan yang mengatur tentang
pergerakan uang internasional (international money movement) yang populer
dengan label anti-money laundering.11
Pada era interdependensi antar negara, kerjasama internasional atau soft
power merupakan pilihan utama dibanding dengan hard power dalam
pengembalian harta hasil kejahatan. Soft power bersumber dari aturan dan
9
Bismar Nasution, Stolen Asset Recovery Initiative dari Perspektif Hukum Ekonomi di Indonesia, disampaikan pada Seminar Pengkajian Hukum Nasional 2007, “Pengembalian Aset (Asset Recovery) Melalui Instrumen Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative dan Perundang-Undangan Indonesia” Hotel Millenium Jakarta 28-29 November 2007.
10Ibid 11
institusi rezim internasional yang memperngaruhi suatu negara agar bertindak
sesuai dengan aturan yang disepakati. Sebaliknya hard power, terjadi ketika
suatu negara memerintahkan negara lain bertindak sesuai dengan keinginannya.12
Beberapa koruptor mungkin dapat dideteksi dan kemudian dihukum.
Akan tetapi lingkungan bisnis dan pemerintahan yang bersih tidak akan terwujud
kecuali dapat memberdayakan peran supply-side, yaitu dengan menyusun dan
mengimplementasikan standar etika bisnis atau good corporate governance. Dan
dibutuhkan pula komitmen yang kuat dari sektor swasta untuk menerapkannya.13
Di berbagai belahan dunia bagi negara-negara yang menganut sistem
hukum Anglosaxon/Common Law tidak lagi memberikan pandangan terpisah
antara sistem hukum pidana dengan perdata dalam mengejar aset hasil tindak
pidana yang dihasilkan dari suatu kejahatan. Sistem hukum yang demikian
memungkinkan mengenal adanya perampasan aset yang dikenal dengan istilah
Asset Forfeiture atau Asset Seizure. Asset Forfeiture memungkinkan penyitaan
atau perampasan hasil pidana tanpa putusan pengadilan. Akan tetapi, tidak
demikian halnya dengan negara-negara penganut sistem Eropa Kontinental/Civil
Law. Asset Forfeiture hanya dikenal dalam proses sistem hukum pidana, yang
dikenal dengan istilah penyitaan atau perampasan setelah dijatuhkannya putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.14
12 Zulkarnain Sitompul, Hal 306-307. 13Ibid
, Hal 310. 14
Seperti layaknya di Indonesia, ketentuan hukum acara pidana yang
digunakan penyidik adalah penyitaan atau sita in persona yaitu penyitaan
terhadap benda-benda milik terdakwa karena benda-benda yang akan disita
tersebut dinilai ada hubungannya dengan tindak pidana. Hal tersebut akan
menjadi masalah jika berkaitan dengan tindak pidana khusus, seperti korupsi
dimana penyidik tidak mudah menemukan hubungan langsung antara aset yang
hendak disita dengan perbuatan pidana dan pelaku.
Harapan terhadap rejim civil forfeiture menjanjikan karena dapat
melakukan penyitaan dan pengambilalihan suatu aset melalui gugatan in rem
atau gugatan terhadap aset secara perdata. Karena sifatnya perdata, rejim ini tidak
mengharuskan penuntut untuk membuktikan unsur-unsur dan kesalahan dari
orang yang melakukan tindak pidana tersebut (personal culpability). Penuntut
cukup membuktikan adanya dugaan bahwa aset yang digugat mempunyai
hubungan dengan suatu tindak pidana dengan standar pembuktian perdata
(formil). 15
Secara umum civil forfeiture adalah gugatan bersifat in rem yang tidak
mempunyai kaitan dengan tindak pidananya. Misalnya, dalam rejim ini pemilik
aset tidak harus membuktikan mengenai kesalahannya atau keterlibatannya
dalam sebuah tindak pidana korupsi, sehingga hubungan antara tipikor yang
2007
diduga dan keterlibatan pemilik aset dengan tipikor tersebut tidak relevan dalam
persidangan dan hanya hubungan antara pemilik dan aset yang dituntutlah yang
menjadi fokus dari persidangan. Konsekwensi logis dari hal ini akan membantu
kelancaran proses pengambilalihan aset hasil korupsi karena status, keberadaan
atau kondisi si koruptor tidak akan menghambat proses persidangan.16
Sebagai gambaran umum, negara-negara common law
1. Untuk mengidentifikasi setiap harta kekayaan yang berasal, baik secara
langsung maupun tidak langsung dari tindak pidana, dengan tujuan agar
harta kekayaan tersebut dirampas untuk negara;
telah memiliki
perangkat hukum yang mencegah hasil kekayaan tindak pidana digunakan atau
dinikmati oleh pelaku pidana dengan mengeluarkan Undang-Undang tentang
Asset Forfeiture. Undang-Undang tentang Asset Forfeiture ini dimaksudkan
untuk hal-hal sebagai berikut:
2. Untuk menyita setiap harta kekayaan hasil tindak pidana atau yang diperoleh
dari hasil tindak pidana, termasuk di dalamnya harta kekayaan yang
digunakan sebagai alat untuk melakukan tindak pidana, harta kekayaan yang
digunakan untuk membiayai tindak pidana, atau sebagai sarana atau
prasarana pendukung tindak pidana;
3. Untuk menjamin agar harta kekayaan yang disita dapat digunakan untuk
memulihkan kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana, termasuk di
dalamnya untuk menjamin bahwa harta kekayaan milik pelaku tindak pidana
16
tidak dialihkan atau dipindahtangankan kepada orang lain sehingga
menjamin terlaksananya ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
undang-undang ini;
4. Mencegah harta kekayaan hasil tindak pidana tersebut digunakan untuk
melanjutkan tindak pidana tersebut atau melakukan tindak pidana yang lain;
5. Untuk mengambil alih keuntungan pelaku tindak pidana menjadi milik
negara, sekaligus sebagai salah satu elemen "general deterrence" yang
ampuh.17
Dalam 18 US Code Section 981 diatur hasil kejahatan yang dapat
dilakukan penyitaan secara perdata yaitu harta kekayaan yang berasal dari tindak
pidana terorisme, perdagangan illegal narkotika dan obat terlarang lainnya,
money laundering, fraud (penipuan), korupsi, perampokan dan lainnya. Didalam
18 US Code Sections 981 (a) (1) (C); 1956 (c) (7) (B) diatur juga proses
penyitaan perdata terhadap hasil kejahatan dari tindak pidana yang dilakukan di
luar negeri (crimes commited overseas) seperti perdagangan illegal narkotika dan
obat terlarang lainnya, penyuapan, penipuan, tindak pidana di bidang perbankan,
pembunuhan, perdagangan manusia dan extraditable offences. Tidak dikenal
substitute assets sehingga yang dapat diajukan penyitaannya adalah harta
kekayaan yang berasal atau terlibat di dalam tindak pidana.18
17Ibid . 18
Dalam hal harta kekayaan berada di luar negeri dan pengadilan di luar
negeri telah melakukan pemeriksaan atas harta kekayaan tersebut atas pengadilan
Amerika Serikat, maka Pengadilan Amerika Serikat harus melakukan control
terhadap harta kekayaan tersebut. Setiap harta kekayaan yang dilakukan
penyitaan dan perampasan secara perdata dapat diblokir dan harus diumumkan
kepada publik berdasarkan perintah pengadilan.19
Dalam perkara korupsi sebagaimana Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 diatur mengenai pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi melalui
ketentuan Pasal 3220), Pasal 3321) dan Pasal 3422) serta Pasal 38C23)
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 melalui gugatan perdata serta ketentuan Pasal 38 ayat (5)24
19Ibid.
)
, Pasal
20
Pasal 32 ayat (1) menentukan: “(1) Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan“ dan Ayat (2) menentukan: ”Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara”.
21 Pasal 33 menentukan: ”Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya”.
22 Pasal 34 menentukan: ”Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya”.
23
Pasal 38C menentukan: ”Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya”.
24
38 ayat(6)25) dan Pasal 38B ayat (2)26) dengan jalur pidana melalui proses
penyitan dan perampasan.27
Aspek substansial nuansa hukum perdata tersebut eksis dalam rangka
mengembalikan aset pelaku tindak pidana korupsi kepada negara. Tegasnya, ada
gabungan antara jalur kepidanaan (criminal procedure) dan jalur keperdataan
(civil procedure) pada kebijakan legislasi Indonesia untuk memberantas tindak
pidana korupsi,28 karena pemberantasan korupsi menimbulkan kesulitan yaitu
harus menantang kepentingan-kepentingan kuat yang bercokol, terorganisasi
dalam kelompok-kelompok yang membangkitkan keuntungan timbal balik.29
Ketentuan-ketentuan mengenai pengembalian aset hasil tindak pidana
korupsi memberikan kewenangan kepada Jaksa Pengacara Negara atau instansi
yang dirugikan untuk mengajukan gugatan perdata kepada terpidana dan atau
ahli warisnya baik di tingkat penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang
pengadilan.30
pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita”.
Ketentuan pasal ini banyak menimbulkan problematika. Salah satu
yang esensial adalah tidak jelasnya status dari orang yang digugat perdata
25 Pasal 38 Ayat (6) menentukan: ”Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat dimohonkan upaya banding”.
26
Pasal 38B Ayat(2) menentukan: ”Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara”.
27
Lilik Mulyadi, Ibid. Hal 101-103 28
Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya, (Bandung : P.T. Alumni, 2007) Hal 101
29
The World Bank, Memerangi Korupsi di Indonesia, Memperkuat Akuntabilitas untuk Kemajuan (Jakarta : Kantor Bank Dunia Jakarta, 2004) Hal 61
30
tersebut apakah sebagai pelaku, tersangka atau terdakwa. Apabila mengikut jalur
polarisasi pembentuk Undang-Undang, berkas hasil penyidikan yang diserahkan
kepada Jaksa Pengacara Negara untuk digugat perdata adalah selain bagian inti
delik telah adanya kerugian keuangan negara yang telah terbukti, walaupun
bagian inti delik lainnya ataupun putusan bebas walaupun tidak terbukti tetap
dapat dilakukan gugatan perdata.31
Pasca KAK 2003, kebijakan legislasi akan dihadapkan adanya perumusan
tindak pidana korupsi yang tidak mempermasalahkan lagi adanya unsur kerugian
keuangan negara, karena berdasarkan ketentuan Pasal 20 KAK 2003 tindak
pidana korupsi berorientasi kepada perbuatan memperkaya diri sendiri (illicit
enrichment).32
Tegasnya, unsur kerugian negara bukan unsur penting sebagaimana
redaksional ketentuan Pasal 3 butir 2 KAK 2003 tentang “scope application”,
yang menegaskan bahwa :33
“For the purpose of implementating this Convention, it shall not be necessary except as otherwise stated herein. For the offence set forthin it to result in damage or harm to State property”.
(untuk tujuan pelaksanaan konvensi ini, tidak perlu, kecuali ditentukan lain dalam konvensi ini, bahwa kejahatan-kejahatan yang ditentukan dalam konvensi ini mengakibatkan kerusakan atau mencederai kekayaan Negara)34
31
Ibid. Hal 108 32Ibid. Hal 109 33Ibid
. Hal 109 34
Selain melalui jalur kepidanaan dan jalur keperdataan, dalam praktek
peradilan lazim juga terjadi pelaku melakukan tindakan lain berupa
pengembalian aset yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi dengan modus
operandi pengembalian tersebut dilakukan secara sukarela. Misalnya dalam
praktek terjadi perkara Abdullah Puteh sebagaimana diputus Mahkamah Agung
dalam Putusan Nomor. 1344 K/Pid/2005.35
Terkait dengan kerugian negara yang ditimbulkan oleh suatu tindak
pidana korupsi, Undang-Undang Antikorupsi telah mengetengahkan konsep
pengembalian kerugian keuangan negara. Konsep tersebut diharapkan mampu
mengembalikan kerugian negara di samping pelaku tindak pidana korupsi
dikenai sanksi pidana, juga dikenai pidana uang pengganti yaitu dengan jumlah
sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana
korupsi. Tetapi dalam praktiknya, pengembalian uang pengganti jarang
dilakukan.
Dengan demikian, berdasarkan hal-hal tersebut diataslah yang menjadi
latar belakang penulis untuk mengadakan penelitian tesis ini yang berjudul :
ANALISIS GUGATAN BERSIFAT IN REM TERHADAP HASIL TINDAK
PIDANA KORUPSI PADA SISTEM HUKUM COMMON LAW.
35
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Mengapa gugatan bersifat in rem berdasarkan Sistem Hukum Common Law
perlu diterapkan terhadap Tindak Pidana Korupsi?
2. Bagaimana instrumen yang perlu diterapkan pada gugatan bersifat in rem
berdasarkan Sistem Hukum Common Law yang dikaitkan Undang-Undang
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.
3. Bagaimana kendala dan solusi dalam menerapkan instrumen gugatan bersifat
in rem berdasarkan Sistem Hukum Common Law di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah dikemukakan di atas,
maka adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini, antara lain:
1. Untuk mengetahui penerapan gugatan bersifat in rem berdasarkan Sistem
Hukum Common Law terhadap Tindak Pidana Korupsi.
2. Untuk mengetahui instrumen yang perlu diterapkan gugatan bersifat in rem
berdasarkan Sistem Hukum Common Law yang dikaitkan Undang-Undang
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.
3. Untuk mengetahui kendala dan solusi dalam menerapkan gugatan bersifat in
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua
kegunaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Secara teoritis
Hasil penelitian ini diharapakan dapat menambah khasanah ilmu
hukum khususnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana
korupsi dan diharapkan dapat dijadikan sebagai landasan untuk melakukan
penelitian lebih mendalam.
2. Secarapraktis
Manfaat penelitian ini dapat memberikan pemikiran-pemikiran baru
bagi pemerintah, aparat penegak hukum dan lembaga peradilan dalam
mengatasi kendala-kendala yang di temui di lapangan dan juga dapat
menjadi pedoman atau referensi bagi pihak pencari keadilan guna
tercapainya kepastian hukum sesuai dengan perkembangan perekonomian
Indonesia sekarang ini.
E. Keaslian Penelitian
Pada tahun 2009, Irdanul Achyar melakukan penelitian terhadap analisis
Laundering.36
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di
perpustakaan Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa penelitian tentang
analisis gugatan bersifat in rem terhadap pelaku tindak pidana korupsi pada
sistem hukum common law dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang
sama.
Penelitian ini secara umum mengkaji tentang penerapan rezim
civil forfeiture yang memfokuskan pada tindak pidana pencucian uang dan tidak
ada membahas mengenai gugatan terhadap harta yang diduga berasal dari tindak
pidana korupsi.
Jadi berdasarkan pemahaman penulis dalam menelusuri bahan-bahan
hukum dan kepustakaan, penelitian ini merupakan sesuatu yang baru dan asli,
sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah
dan terbuka atas masukan dan saran-saran yang membangun sehubungan dengan
pendekatan dan perumusan masalah.
36
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsi.
1. Kerangka Teori
Di dalam melakukan suatu penelitian di perlukan adanya kerangka
teoritis bahwa untuk memberikan landasan yang mantap pada umumnya
setiap penelitian haruslah selalu disertai dengan pemikiran-pemikiran
teoritis.37
Salah satu yang menjadi sorotan publik terhadap dunia peradilan
adalah mengenai penanganan korupsi melalui proses persidangan. Terbukti
bersalah atau tidaknya terdakwa yang diajukan ke persidangan disertai
dengan jumlah besaran kerugian Negara yang telah secara sah terbukti
diselewengkan oleh terdakwa merupakan ujung dari sorotan publik tersebut,
begitu pula dengan aspek pengembalian kerugian Negara akibat perbuatan
korupsi tersebut.
Penyebutan gugatan perdata yang diatur dalam Undang-Undang
Tindak Pidana Korupsi hampir memiliki konsep yang sama dengan gugatan
in rem yang diterapkan dalam sistem hukum common law, tetapi perbedaan
yang paling menonjol adalah cara penyelesaiannya, dimana upaya hukum
perdata dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi hanya mengenal
proses
37
Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia, 1982), hal. 37.
persidangan yang mengikuti hukum perdata formil atau materil biasa.
Korupsi
Dengan mengacu pada uraian yang telah diuraikan sebelumnya,
dapatlah dipahami bahwa produk hukum Indonesia mengenai pengembalian
aset hasil tindak pidana mendapatkan problema hukum sedangkan tindak
pidana korupsi terjadi pada setiap Negara diseluruh dunia, dimana tiap
negara mengimplementasikan aturan-aturan hukum materiilnya
masing-masing.
hanyalah dapat diajukan apabila telah ada putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap serta adanya kewajiban bagi Jaksa Pengacara
Negara untuk membuktikan adanya kerugian Negara.
Problema hukum dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
inilah yang menyebabkan perlunya diadopsi pengaturan gugatan in rem pada
sistem hukum common law di Indonesia. Dalam mengimplementasikan
instrument ini, pemerintah harus memperhatikan sistem hukum perdata
Indonesia yang berlaku sehingga diperlukan adanya perbandingan hukum
antara kedua sistem hukum tersebut karena hukum menyangkut nasib
manusia, baik dalam bidang perdata maupun pidana, bahkan nyawapun bisa
dipertaruhkan sehingga diperlukan kecermatan, ketepatan dan mungkin juga
kecepatan dalam mengambil keputusan.38
38
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, (Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara, 2007) Hal 95.
yang seharusnya memberikan sesuatu yang lebih daripada sekedar prosedur
hukum.39
Perbandingan hukum (Rechtsvergelijking) pada dasarnya
menunjukkan suatu rangkaian kegiatan membanding-bandingkan sistem
hukum yang satu dengan sistem hukum yang lain; dengan perkatan lain
membanding-bandingkan lembaga hukum (legal institution) dari suatu
sistem (stelsel) hukum dengan lembaga hukum dari sistem hukum yang
lain.40
Menurut Soerjono Soekanto, menyatakan mengenai comparative law:
Perbandingan hukum akan dapat memberikan bahan-bahan tentang faktor-faktor hukum apakah yang perlu dikembangkan atau dihapuskan secara berangsur-angsur demi integrasi masyarakat, terutama pada masyarakat majemuk seperti Indonesia dan yang menjadi tujuan akhir bukan lagi menemukan persamaan dan/atau perbedaan, akan tetapi justru pemecahan masalah-masalah hukum secara adil dan tepat.41
Menurut Ridwan Khairandy, menyatakan :
Perbandingan hukum itu adalah usaha mempelajari beberapa sistem hukum secara berdampingan, dengan tujuan untuk menemukan persamaan atau perbedaan dalam sistem hukum tersebut yang memungkinkan untuk mengambil kesimpulan tertentu yang dapat membantu seseorang dalam memecahkan masalah-masalah tertentu yang dikemukakan ilmu pengetahuan hukum praktik hukum.42
39 Phillippe Nonet & Philip Selzenick, Law and Society in Transition: Toward Responsive
Law, (NewYork: Harper &Row, 2003), yang diterjemahkan oleh Rafael Edy Bosco, Op.cit. hal.59. 40
Syafruddin, Signifikasi Perbandingan Hukum Pidana dalam Proses Pembaharuan Hukum Pidana
41 Soerjono Soekanto, Perbandingan Hukum, (Bandung : Penerbit Alumni, 1979), Hal 62 42
Prof. Lambert mengklasifikasikan perbandingan hukum (comparative
law) menjadi tiga bagian, yaitu:43
a. Hukum secara deskriptif, yaitu mencoba untuk menginventarisasi sistem
hukum pada masa lalu dan masa kini sebagai satu kesatuan maupun
peraturan terpisah lainnya, di mana dalam sistem tersebut dibuat
beberapa kategori hubungan hukum.
b. Perbandingan mengenai sejarah hukum, yaitu mencoba untuk
menemukan irama atau hukum alam dengan cara membangun sejarah
hukum secara universal sebagai rangkaian dari fenomena sosial yang
secara langsung melihat perkembangan dari pelembagaan hukum.
c. Perbandingan mengenai peraturan hukum atau perbandingan
yurisprudensi, yaitu mencoba untuk menjelaskan mengenai batang
tubuh secara umum di mana doktrin hukum nasional diperuntukan untuk
mencabangkan hukum itu sendiri sebagai hasil dari perkembangan studi
hukum dan bangkitnya kesadaran akan hukum internasional.
Lawrence M. Friedman juga memberikan pandangan yang
mengatakan bahwa hukum itu tidak bersifat otonom, tetapi sebaliknya
hukum bersifat terbuka setiap waktu terhadap pengaruh luar.44
43
Pan Mohamad Faiz, Klasifikasi dan Nilai dari Perbandingan Hukum
Dengan
adanya perbandingan hukum antar Negara pada akhirnya akan melahirkan
produk hukum yang dapat diterapkan di Negara Indonesia. Hal ini juga
sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Jeremy Pope bahwa dampak dari
undang-undang anti-korupsi yang normal biasanya dapat diperkuat dengan
menambahkan dua unsur yaitu waktu untuk bertindak dan peran serta orang
luar.45
2. Landasan Konsepsi
Untuk menghindarkan terjadinya perbedaan dalam penafsiran
terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam tesis ini, perlu kiranya penulis
memberikan definisi dari istilah-istilah tersebut, antara lain:
a. Gugatan bersifat in rem adalah gugatan berupa penyitaan dan
pengambilalihan terhadap suatu asset46 melalui jalur perdata.47
b. Menganalisis Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka Tindak Pidana Korupsi
adalah48
45
Lihat Bismar Nasution, Menjaga Demokrasi dengan Pemberantasan Korupsi, Disampaikan pada Seminar Nasional “Bersama Rakyat Membangun Demokrasi” dilaksanakan oleh Gerakan Rakyat Untuk Demokrasi, Hotel Asean International, tanggal 13 Desember 2005, Medan. Hal 8. sebagaimana dikutip dari Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasional, (Yayan Obor Indonesia,Jakarta, 2003), hal. 402
:
46
David Scott Romantz, “Civil Forfeiture and The Constitution: A Legislative Abrogation of right and The Judicial Response: The Guilt of the Res”, 28 Suffolk University Law Review, 1994, Hal 390.
47
Bismar Nasution, Memerankan Rejim Civil Forfeiture Memberantas Korupsi,Op.Cit. Hal 1. 48
Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Berikut Studi Kasus
1). Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara
(Pasal 2);
2). Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau suatu
badan atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau
perekonomian Negara;
3). Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 415, Pasal
416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423 atau
Pasal 435 KUHP; serta Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12;
4). Setiap orang yang member hadiah atau janji kepada pegawai negeri
dengan mengingat kekuasaannya atau wewenangnya yang melekat
pada jabatannya atau kedudukan tersebut (Pasal 13);
5). Setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang yang secara
tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan
undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi (Pasal 14);
6). Setiap orang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan
7). Setiap orang diluar wilayah Negara Republik Indonesia yang
memberikan bantuan, kesempatan sarana atau keterangan untuk
terjadinya tindak pidana korupsi (Pasal 16);
c. Sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang
mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai
tujuan kesatuan tersebut. Kesatuan tersebut diterapkan terhadap semua
unsur-unsur juridis seperti peraturan hukum, asas hukum dan pengertian
hukum.49
d. Common law pada umumnya lebih berupa asas kaidah, bukan peraturan
tertulis, tidak berupa aturan-aturan yang absolute, tetap dan tanpa dapat
berubah; namun berupa asas-asas yang umum dan komprehensif
berdasarkan rasa keadilan, pertimbangan akal, dan pendapat umum yang
dapat diterima. Common law merupakan asal-usul dan penyebaran
praktik peradilan. Asas-asasnya ini mudah beradaptasi terhadap
keadaan, kepentingan, hubungan dan pemakaian ungkapan yang baru,
sebagaimana kemajuan masyarakat mungkin sekali mengharuskan
demikian.50
49
Syahruddin Husein, Pengantar Ilmu Hukum, (Medan : Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU,1998) Hal 115
50
e. Civil forfeiture adalah penyitaan dan pengambilalihan suatu asset
melalui gugatan in rem atau gugatan terhadap asset.51
G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Untuk mengumpulkan data dalam tesis ini dilakukan dengan
pendekatan perbandingan (Comparative Approach) hukum yaitu kegiatan
untuk membandingkan hukum suatu negara dengan hukum negara lain atau
hukum dari suatau waktu tertantu dengan hukum dari waktu yang lain yang
bermanfaat bagi penyingkapan latar belakang terjadinya ketentuan hukum
tertentu untuk masalah yang sama dari dua Negara atau lebih. Penyikapan ini
dapat dijadikan rekomendasi bagi penyusunan perundang-undangan.52 dan
kemudian diteliti secara deskriptif analitis yaitu penelitian ini hanya
menggambarkan tentang situasi atau keadaan yang terjadi terhadap
permasalahan yang telah dikemukakan, dengan tujuan untuk membatasi
kerangka studi kepada suatu pemberian, suatu analisis atau suatu klasifikasi
tanpa secara langsung bertujuan untuk menguji hipotesa-hipotesa atau
teori-teori53
51
David Scott Romantz, “Civil Forfeiture and The Constitution: A Legislative Abrogation of right and The Judicial Response: The Guilt of the Res”, 28 Suffolk University Law Review, 1994, Hal 390.
52 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, ( Jakarta : Prenada Media Group, 2005) Hal 133.
53
2. Sumber Data
Sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah berasal dari
penelitian kepustakaan (library research) sebagai salah satu cara
mengumpulkan data didasarkan pada buku-buku literatur yang telah
disediakan terlebih dahulu yang tentunya berkaitan dengan tesis ini, untuk
memperoleh bahan-bahan yang bersifat teoritis ilmiah sebagai perbandingan
maupun petunjuk dalam menguraikan bahasan terhadap masalah yang
dihadapi, selanjutnya peneliti mengumpulkan dan mempelajari beberapa
tulisan yang berhubungan dengan topik tesis ini, yaitu:
a. Bahan Hukum Primer berupa Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelengara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang
Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Keputusan
Bersama Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi dan Jaksa Agung
Republik Indonesia Nomor: 1 11212005 Nomor:
KEP-IAIJ.A11212005 tentang Kerja Sama Antara Komisi Pemberantasan
Korupsi dengan Kejaksaan Republik Indonesia dalam Rangka
Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against
Coruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi,
2003), serta peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan dengan
penelitian ini.
b. Bahan Hukum Sekunder berupa buku yang berkaitan dengan hukum
pidana dan acara perdata, hasil-hasil penelitian, artikel, hasil-hasil
seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian
ini.
c. Bahan Hukum Tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup
bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan
hukum primer, sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah
dan jurnal ilmiah, serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan
dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam
penelitian.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian tesis ini menggunakan teknik studi
dokumen, artinya data yang diperoleh melalui penelusuran kepustakaan
berupa data sekunder ditabulasi yang kemudian disistematisasikan dengan
memilih perangkat-perangkat hukum yang relevan dengan objek penelitian.
4. Analisis Data
Seluruh data yang sudah diperoleh, dikumpulkan untuk selanjutnya
dengan cara pemilihan pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang
mengatur tentang ketentuan mengenai adanya gugatan yang bersifat in rem
terhadap pelaku tindak puidana korupsi dalam sistem hukum common law
dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia, kemudian membuat sistematika dari pasal-pasal
tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan
permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Data dianalisis secara
deduktif, yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat
umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi, sehingga dapat
menjadi acuan dan pertimbangan hukum dalam mengatasi
BAB II
PENERAPAN GUGATAN BERSIFAT IN REM DALAM SISTEM HUKUM COMMON LAW
A. Perkembangan gugatan bersifat in rem pada negara common law
Selama abad pencerahan (renaissance), ilmu pengetahuan hukum di
Eropa dipengaruhi oleh kekuatan dan ketentuan hukum Romawi yang digali
kembali, dan hukum Romawi sangat mempengaruhi perkembangan gaya dan
muatan hukum di berbagai negara. Namun, bangsa Inggris tidak tergoda oleh
keagungan Roma melainkan tetap memegang erat tradisi aslinya. Memang dalam
kenyataannya, banyak pemikiran dan istilah dari hukum Romawi dan Eropa
Kontinental masuk ke sistem hukum Inggris, namun inti sistem hukumnya tetap
kokoh. Sistem yang lokal yang kuat ini disebut sistem hukum anglo amerika
(common law).54
Common law system atau Sistem common law dikenal dan berkembang di
negara-negara Anglo Saxon. Pelopor utamanya adalah Negara Inggris. Kemudian
sistem ini dikembangkan di Negara-negara commonwealth (Negara-negara
persemakmuran Inggris). Tahun 1066 dianggap sebagai tahun kelahiran tradisi
54 Zuryawan Isvandiar Zoebir, “
common law ketika bangsa Norman mengalahkan dan menaklukkan kaum asli
(Anglo Saxon) di Inggris.55
Ada beberapa ciri pokok yang penting dalam common law system, yaitu
antara lain:56
1. Pembangunan hukum tidak mengutamakan kodifikasi, nilai yang diangkat
dan diterapkan sebagai hukum diambil dari nilai yang hidup dalam
masyarakat, kebiasaan umum, maupun yang dianggap layak dan patut sesuai
dengan rasa keadilan masyarakat.
2. Kebanyakan ketentuan hukumnya tidak tertulis (unwritten law) yaitu dengan
kata lain disebut hukum kebiasaan.
3. Konkretisasi hukum melalui putusan pengadilan. Dengan adanya putusan
pengadilan, maka akan menjadi hukum yang digunakan sebagai pedoman
dan rujukan untuk menyesuaikan sengketa yang timbul dikemudian hari.
4. Menganut sistem preseden, yaitu apabila suatu nilai hukum telah
dikonkretkan melalui putusan pengadilan, maka semua pihak terikat untuk
mengikatnya.
Sistem hukum anglo Amerika (common law), tumbuh pertama kali dan
mempunyai pengaruh yang sangat kuat di Inggris pada abad ke-19, ketika
semangat romantisme historis, utilitarianisme, positivisme ilmiah dan
55
Bismar Nasution, Reformasi Pendidikan Hukum yang Menghasilkan Sarjana Hukum yang Kompeten dan Profesional, yang disampaikan dalam rangka memperingati Dies Natalis ke-51Fakultas Hukum USU, Harian Waspada, tanggal 27 Februari 2007.
56
materialisme ekonomi yang mempunyai pendekatan empiris, induktif dan
individualistis dalam melakukan upaya pemecahan pada setiap masalah-masalah
hukum.
Common law berbeda dan terus berbeda dalam banyak hal dengan tatanan
hukum di negara-negara Eropa lainnya. Satu hal yang penting, sistem hukum
Anglo Amerika (common law) menolak kodifikasi. Tidak pernah ada semacam
Undang-undang Napoleon di Inggris. Prinsip dasar hukumnya tidak ditemukan
dalam undang-undang yang dibuat di parlemen, dan hanya sebagian kecil
ditemukan melalui pernyataan hukum yang sistematis, rinci yang disahkan oleh
badan-badan legislatif atau diberlakukan melalui ketetapan.
Negara common law menganut sistem hukum yang menekankan kepada
putusan hakim, membuat perkuliahan difokuskan kepada pembahasan kasus
hukum dan putusan pengadilan sebagaimana pendapat Bismar Nasution, yang
menyatakan:57
Pada common law system, peraturan perundang-undangan bukan harga mati bagi sebuah keadilan, sehingga sering sekali putusan hakim dijadikan parameter untuk menilai apakah suatu peraturan dapat diterapkan di masyarakat. Putusan pengadilan itu juga bukan hal yang mutlak harus diikuti, apabila seorang hakim menganggap suatu putusan tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat, dia dapat membuat putusan baru tentu dengan argumentasi yang kuat. Putusan ini akhirnya akan diuji oleh Mahkamah Agung apakah diterima atau ditolak, karena adanya doktrin kalau suatu putusan pengadilan tidak boleh bertentangan dengan putusan pengadilan diatasnya. Inilah yang membuat para Sarjana Hukum common law selalu melakukan analisis dan kritis terhadap hukum. Tidak jarang mereka melakukan perbandingan hukum untuk
57
menjustifikasi argumen mereka bahwa hukum yang berlaku tidak sesuai lagi diterapkan di masyarakat.
Negara Amerika Serikat muncul secara revolusi yang memandang
Konstitusi/UUD sebagai suatu kitab suci.58
Common law juga memiliki ciri yang khas dalam hal substansi, struktur
dan budaya, karena ada yang menonjol dan mendasar, ada yang kurang menonjol
dan kurang mendasar, misalnya, dewan juri adalah lembaga common law, begitu
juga perwalian (trust), yaitu seseorang atau bank sebagai wali (trustee) yang
menerima uang atau harta kekayaan untuk diinvestasikan dan dikelola untuk
kepentingan ahli waris tertentu.
Prinsipnya terdapat pada hukum
perkara (case law), yaitu dalam perangkat pendapat yang ditulis oleh hakim, dan
dikembangkan oleh hakim dalam memutuskan perkara tertentu. Doktrin preseden
(precendent) adalah doktrin common law yang kuat yaitu hakim terikat oleh apa
yang telah diputuskan.
59
Common law tidak lagi terkungkung di satu negara kecil. Bangsa Inggris
membawanya ke koloninya dan dalam kebanyakan, common law berakar dan
berkembang pesat. Semua negara yang menganut common law, dan karenanya
merupakan The Anglo American Legal Family, pernah menjadi koloni Britania
Raya (Kerajaan Inggris). Dengan kata lain, common law merajalela di negara
58
Eddy Purnama Negara Kedaulatan Rakyat, Analisis terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara-negara lain, (Bandung: Nusamedia, 2007) Hal 112, sebagaimana dikutip dari Earl R. Kruschke, An Introduction to The Constitution of The United States,
American Book Company, New York, 1968, Hal 1. 59
mana saja yang berbahasa Inggris, antara lain: Amerika Serikat (kecuali
Lousiana), Kanada (kecuali Quebec), Australia, Selandia Baru, Jamaika,
Trinidad, Barbados dan Singapura.60
Gugatan bersifat in rem pada Negara Common law merupakan prosedur
penyitaan dan pengambilalihan suatu asset dalam rejim Civil forfeiture. Konsep
civil forfeiture didasarkan pada “taint doctrine” dimana sebuah tindak pidana
dianggap “taint” (menodai) sebuah asset yang dipakai atau merupakan hasil dari
tindak pidana tersebut.61 Walaupun mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk
menyita dan mengambilalih asset hasil kejahatan, civil forfeiture berbeda dengan
criminal forfeiture yang menggunakan gugatan in personam (gugatan terhadap
orang) untuk menyita dan mengambilalih suatu asset.62
Harta kekayaan yang dapat dirampas disesuaikan dengan jenis tindak
pidana yang terkait yaitu meliputi:63
1. Setiap harta kekayaan hasil tindak pidana atau yang diperoleh dari hasil
tindak pidana; dan atau
2. Harta kekayaan yang digunakan sebagai alat, sarana, atau prasarana untuk
melakukan tindak pidana atau mendukung organisasi kejahatan; dan atau
60 Ibid.
61
Ario Wandatama dan Detania Sukarja, “Implementasi Instrumen Civil Forfeiture di Indonesia untuk mendukung Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative”, Makalah dalam Seminar Pengkajian Hukum NAsinal, 2007, hal.22-23. sebagaimana dikutip dari David Scott Romantz, “Civil Forfeiture and The Constitution: A Legislative Abrogation of right and The Judicial Response: The Guilt of the Res”, 28 Suffolk University Law Review, 1994, Hal 390.
62 Ibid. hal 389. 63
3. Setiap harta kekayaan yang terkait dengan tindak pidana atau organisasi
kejahatan; dan atau
4. Harta kekayaan yang digunakan untuk membiayai tindak pidana atau
organisasi kejahatan; dan atau
5. Segala sesuatu yang menjadi hak milik pelaku tindak pidana atau organisasi
kejahatan;
Saat aset harta kekayaan pelaku digugat, si pelaku tindak pidana tidak
perlu ditahan guna ikut dalam proses pembuktian secara pidana, karena tradisi
pada Negara common law dan tort law yang mengharuskan semua yang bersalah
harus dihukum, walaupun hukuman yang termasuk pelayanan masyarakat, ganti
rugi dan bentuk lain dari hukuman penjara yang membiarkan terpidana untuk
tetap aktif dalam masyarakat.64
Berdasarkan Undang-Undang Asset Forfeiture di Amerika Serikat,
dikenal ada 3 jenis prosedur Asset Forfeiture, yaitu:65
1. Perampasan Harta Kekayaan secara Administratif (Administrative
Forfeiture
Perampasan harta kekayaan secara administratif dapat dilakukan jika
pemerintah menemukan dan menyita harta kekayaan di tempat kejadian
perkara. Penyitaan dilakukan dengan dasar pertimbangan bahwa harta )
64 O.C.Kaligis, Perlindungan Hukum atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana,
(Bandung : PT.Alumni, 2006) Hal 125. 65
kekayaan tersebut berdasarkan undang-undang dapat dirampas dengan
diterbitkannya izin/persetujuan penyitaan oleh pengadilan.
Pejabat pemerintah yang melakukan penyitaan harta kekayaan harus
menyerahkan surat pemberitahuan kepada orang yang menguasai harta
kekayaan dan orang-orang yang memiliki kepentingan atau terkait dengan
harta kekayaan serta memberitahukan kepada masyarakat melalui surat
kabar dan papan pengumuman pengadilan bahwa penyidik telah menyita
harta kekayaan ini dan akan merampasnya untuk negara.
2. Perampasan Harta Kekayaan secara Pidana (Criminal Forfeiture
Perampasan harta kekayaan secara pidana merupakan bagian dari
pelaksanaan putusan hakim pidana dalam suatu perkara pidana. Oleh karena
itu, jenis perampasan harta kekayaan ini disebut juga sebagai tindakan )
in
personam terhadap terpidana, bukan tindakan in rem
Hakim dalam hal ini dapat menjatuhkan putusan kepada terpidana
untuk membayar biaya perkara, dan/atau membayar denda, dan/atau
membayar ganti rugi, dan/atau membayar uang pengganti, dan/atau menyita
harta kekayaan lain milik terpidana untuk mebayar uang pengganti jika harta
kekayaan yang terkait langsung dengan tindak pidana telah dialihkan atau
tidak ditemukan.
terhadap harta
kekayaan yang terkait dengan tidak pidana.
Sekalipun secara in personam sebenarnya harta kekayaan yang dapat