• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Gugatan In Rem Dalam Sistem Hukum D

BAB I PENDAHULUAN

C. Implementasi Gugatan In Rem Dalam Sistem Hukum D

Konsep menggugat aset koruptor secara perdata bukanlah hal yang baru di Indonesia. Pemerintah sudah memulai memperkenalkan upaya ini melalui Pasal 32 sampai dengan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo. Pasal 38 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Misalnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 memperbolehkan JPN untuk menggugat aset koruptor secara perdata apabila telah terbukti adanya “kerugian negara” tetapi tidak terdapat cukup bukti untuk membuktikan unsur-unsur pidana korupsi.116

Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo Undang- Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

116

Bismar Nasution, Memerankan Rejim Civil Forfeiture Memberantas Korupsi,Op.Cit. Hal 2.

dinyatakan pemberantasan korupsi dengan “cara luar biasa” dan dengan “cara yang khusus”, karena korupsi di Indonesia terjadi secara sistimatik dan meluas serta telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas.

Khusus mengenai kondisi sebagaimana diatur dalam Pasal 38 C Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, menunjukkan bahwa gugatan perdata merupakan komplemen atas kegagalan proses pidana melakukan perampasan kekayaan terpidana yang diduga dari hasil korupsi. Gugatan perdata itu pun tampak bersifat fakultatif (tidak wajib). Hal tersebut dapat dipahami dari kata “negara dapat melakukan gugatan perdata”, yang berarti pula negara dapat juga tidak mempersoalkan kekayaan tersebut atau tidak menggugat kekayaan yang diduga hasil korupsi. Apabila gugatan perdata merupakan instrumen yang komplementer dari perampasan seharusnya Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menjadikannya sebagai kewajiban. Ketentuan tersebut sesungguhnya tidak mencerminkan prinsip pengembalian aset negara atau kerugian negara akibat tindak pidana korupsi. Seyogianya, kata “dapat” dalam frasa ketentuan pasal tersebut dihilangkan, sehingga JPN menjadi wajib. Hal ini sejalan dengan prinsip “assets recovery”, sehingga semangat pemberantasan tindak pidana korupsi tidak

hanya terkesan menekankan pemidanaan terdakwa atau koruptor, namun juga pengembalian kerugian keuangan negara.117

Beberapa kegunaan gugatan bersifat in rem sebagai alat yang berguna untuk menyita dan mengambilalih aset dari para koruptor di Indonesia dalam membantu para aparat hukum dalam proses pengembalian aset para koruptor, yaitu:

1. Tidak menunggu penanganan secara pidana;

2. Adanya pembuktian secara perdata tanpa unsur kerugian negara. 3. Bertitik tolak terhadap aset/kekayaan

Ad. 1. Tidak menunggu penanganan secara pidana;

Upaya penyitaan terhadap aset koruptor harus dilakukan secara cepat dan tepat merupakan hal yang penting dalam melaksanakan proses stolen asset recovery. karena seringkali para koruptor memindahkan asetnya ke luar negeri untuk mempersulit aparat hukum Indonesia dalam menyita dan mengambilnya begitu ada indikasi bahwa dirinya akan diperiksa dalam keterlibatan sebuah tindak pidana.

Ketentuan hukum terdahulu yang berlaku di Indonesia mengisyaratkan pemberantasan korupsi harus mendahulukan instrumen hukum pidana, yaitu

117 Eka Iskandar, Prinsip Pengembalian Aset Hasil Korupsi (Bagian VI), 29 September 2008 diakses pada tanggal 3 Juni 2009;

berupa penundaan tuntutan mengenai ganti rugi,118 gugatan perdata merupakan upaya terakhir119, dan mengutamakan penanganan secara pidana.120

Gugatan perdata dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 hanya dapat dilakukan setelah adanya status tersangka, terdakwa atau terpidana. Mengingat cepatnya aset berpindah tangan, penerapan gugatan bersifat in rem mempunyai kelebihan untuk melakukan penyitaan karena gugatan yang diajukan dapat dimasukkan ke pengadilan sebelum adanya status tersangka atau bahkan sebelum pelaku tindak pidananya diketahui identitasnya, sehingga penyitaan dapat lebih cepat diminta kepada pengadilan daripada criminal forfeiture. Berbeda dengan penyitaan dalam proses pidana yang mengharuskan adanya seorang tersangka atau putusan bersalah, penyitaan civil forfeiture dapat dilakukan dengan secepat mungkin begitu pemerintah menduga adanya hubungan antara sebuah aset dengan tindak pidana.121

118

Pasal 29 AB (Algemene Bepalingen van Wetgevin voor Indonesie) yaitu Peraturan Umum mengenai Perundang-Undangan untuk Indonesia menentukan :” Selama dalam proses tuntutan pidana, ditundalah tuntutan perdata mengenai ganti rugi yang sedang ditangani oleh hakim perdata, dengan tidak mengurangi cara-cara pencegahan yang diperkenankan oleh undang-undang.”

119

Pasal 32, 33 dan 34 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengisyaratkan bahwa pengajuan gugat perdata oleh Jaksa Pengacara Negara baru dapat dilakukan sesudah penuntutan perkara pidana terhadap tindak pidana korupsi tidak dapat dilakukan.

120

Keputusan Jaksa Agung RI Nomor 052/JA/V/1996, yang mengatur hubungan antara Satuan Kerja Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara dengan satuan kerja lainnya, menentukan bahwa jika satu perkara ditangani bersama-sama secara pidana dan secara perdata, maka penanganan secara pidana harus didahulukan.

121

Ario Wandatama dan Detania Sukarja, “Implementasi Instrumen Civil Forfeiture di Indonesia untuk mendukung Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative. Ibid. Hal 7

Ad. 2 Adanya pembuktian secara perdata tanpa unsur kerugian negara.

a. Tindakan korupsi di sektor pemerintah

Upaya hukum gugatan perdata pengembalian kerugian keuangan negara ternyata tidak mencakup keseluruhan jenis tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU PTPK. Hal tersebut disebabkan penyebutan tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian keuangan negara hanya diatur dalam dua pasal. Pasal yang dimaksud, yaitu Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK.

Ketentuan lain yang mengatur jenis tindak pidana korupsi sama sekali tidak menyinggung kemungkinan dapat atau secara nyata menimbulkan kerugian keuangan negara. Secara keseluruhan, tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU PTPK, meliputi ketentuan-ketentuan dalam Pasal 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 12 B, 13, 14, 15, 16 untuk jenis “Tindak Pidana Korupsi”. Di sisi lain dikenal “Tindak Pidana Lain yang Berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi”, yang diatur dalam Pasal 21, 22, 23, dan 24 UU PTPK. Jenis ini tidak dapat dikatagorikan sebagai tindak pidana korupsi meskipun diatur dalam UU PTPK.122

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) membedakan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 2 sampai Pasal 13 UU PTPK tersebut kedalam 30 (tiga puluh) jenis. Berdasarkan pengelompokan yang dibuat

122Eka Iskandar, Prinsip Pengembalian Aset Hasil Korupsi (Bagian VI), 29 September 2008 diakses pada tanggal 3 Juni 2009;

oleh KPK, tindak pidana korupsi yang (dapat) menimbulkan kerugian keuangan negara hanya diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK. Jenis tindak pidana korupsi selebihnya (28 jenis) dianggap tidak memiliki unsur merugikan keuangan negara, sehingga tidak dapat dilakukan upaya gugatan perdata sebagaimana tindak pidana korupsi yang (dapat) menimbulkan kerugian keuangan negara.123

Menentukan keberadaan dan besarnya kerugian negara selalu menjadi perdebatan antara berbagai pihak, misalnya antara terdakwa dan pembelanya dengan jaksa penuntut umum. Untuk menentukan hal tersebut, selama ini jaksa banyak dibantu ahli dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, atau ahli lain yang ditunjuk. Keterangan dari ahli ini diberikan berdasarkan keahlian atau setelah melakukan semacam audit khusus terhadap instansi atau perusahaan yang menimbulkan kerugian negara. Apabila kerugian negara ini terkait dengan suatu barang yang sulit untuk dilakukan penilaian, misalnya pabrik petrokimia perlu dilakukan penilaian oleh jasa penilai, maka untuk melakukan penilaian ini perlu dilakukan dengan metode yang prudence dan baku.124

Untuk itu perlu diatur tentang metode yang dapat dilakukan jasa penilai agar diperoleh hasil yang standar yang dapat diterima semua pihak. Keterangan ahli ini diperlukan untuk menjelaskan dan membuktikan kerugian negara yang timbul dan berasal dari berbagai transaksi yang disebutkan di atas yang terkait

123

Ibid.

124Yunus Husein [Kepala PPATK dan Anggota Komite Nasional Kebijakan Governance] Kerugian Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi , 24 Juni 2008

diakses pada

dengan terdakwa, misalnya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dapat membantu dengan memberikan laporan hasil analisisnya tentang berbagai transaksi yang menimbulkan kerugian negara tersebut. Di samping itu, PPATK juga dapat membantu melihat perbuatan melawan hukum yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melihat berbagai transaksi dari pihak-pihak yang terkait, misalnya melihat apakah ada penyuapan (kickback) yang diterima seorang pejabat negara.125

b. Tindakan korupsi di sektor swasta

Tindak pidana korupsi yang tidak merugikan keuangan negara secara langsung, seperti tindak pidana penyuapan. Dalam hal ini yang dirugikan adalah masyarakat, bukan negara. Walaupun tidak merugikan keuangan negara, dampak tindak pidana suap ini sangat merugikan pelaku pasar yang secara tidak langsung dapat merugikan perekonomian.

Banyaknya suap akan menimbulkan high cost economy yang membuat daya saing pelaku pasar menjadi lemah dan harga barang menjadi lebih mahal. Hal ini memberatkan masyarakat. Suap ini sangat merugikan rakyat kecil yang tidak memiliki uang dan kekuasaan.

Pengaturan gugatan in rem mengadopsi prinsip pembuktian terbalik dimana para pihak yang merasa keberatan apabila yang membuktikan aset yang

125

digugat tidak mempunyai hubungan dengan korupsi yang mengakibatkan adanya kerugian pada negara.126

Tugas JPN dalam gugatan in rem adalah cukup membuktikan adanya dugaan bahwa aset yang digugat mempunyai hubungan dengan suatu tindak pidana korupsi. Hal tersebut yang membedakan dengan gugatan perdata dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang memberikan beban pembuktian adanya unsur kerugian negara kepada JPN.127

Sistem pembuktian undang-undang tindak pindana korupsi diterapkan pembuktian terbalik, sebagaimana diatur dalam penjelasannya. Sistem ini tidak sama dengan hukum pembuktian dalam KUHAP dalam hal hukum pembuktian, maka sistem hukum KUHAP sama dengan sistem HIR.

128

Keduanya memiliki persamaan dalam sistem dan cara menggunakan alat bukti, yakni sistem pembuktian negatif menurut undang-undang (negatief wettelijke) yang tercermin dalam Pasal 183 KUHAP129 dan Pasal 294 ayat (1) HIR.130

126

Eka Iskandar, Prinsip Pengembalian Aset Hasil Korupsi (Bagian VI), 29 September 2008

Ibid.

127 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menentukan :” Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara”, kemudian dalam Pasal 3 menentukan:” Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”

128

Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999), (Bandung : Mandar Maju, 2001), Hal 100

129

Pasal 183 KUHAP menentukan :” Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Pembuktian tindak pidana korupsi selain merupakan kewajiban penuntut umum, terdakwa juga mempunyai beban pembuktian, yaitu terdakwa wajib membuktikan tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta benda miliknya, harta benda isterinya atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan. Beban pembuktian pada terdakwa disebut “pembuktian terbalik terbatas” (Penjelasan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999).131

Penerapan pembalikan beban pembuktian dalam perkara pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 38 B jo Pasal 37 UU PTPK, bukan digunakan secara langsung untuk membuktikan terjadinya tindak pidana, tetapi bagi terdakwa digunakan agar hakim tidak menjatuhkan pidana perampasan barang terhadap harta benda yang belum didakwakan. Pembalikan beban pembuktian bagi jaksa penuntut umum digunakan untuk menuntut agar hakim menjatuhkan pidana perampasan barang. Kepentingan hakim dalam pembalikan beban pembuktian digunakan untuk menolak tuntutan jaksa penuntut umum atau

130

Pasal 294 ayat (1) HIR menentukan : "Tiada seorang pun dapat dihukum, kecuali hakim berdasarkan alai alat bukti yang sah, memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa terdakwa telah bersalah melakukannya."

131

Penjelasan Pasal 37 menentukan :”Ketentuan ini merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang memnetukan bahwa jaksa yang wajib membuktikan dilakukannya tindak pidana, bukan terdakwa. Menurut ketentuan ini terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Apabila terdakwa dapat membuktikan hal tersebut tidak berarti ia tidak terbukti melakukan korupsi, sebab penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Ketentuan pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang terbatas, karena jaksa masih tetap wjib membuktikan dakwaannya.

menerimanya in casu untuk menjatuhkan pidana perampasan harta benda yang belum didakwakan.132

Pembalikan beban pembuktian secara ekstensif dapat juga dilakukan dalam hal gugatan perdata sehubungan dengan Pasal 38 C UU PTPK. Apabila demikian, maka hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa pembuktian yang diajukan tergugat.133

Menurut M. Yahya Harahap dikenal ada 4 (empat) macam teori pembuktian, yaitu:134

1. Sistem pembuktian conviction in time, menentukan salah tidaknya terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakim yang menentukan terdakwa terbukti melakukan kesalahan, dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya tidak menjadi masalah dalam sistem ini.

2. Sistem pembuktian conviction rasionce, dalam sistem ini pun dapat dikatakan keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa, akan tetapi dalam sistem pembuktian ini keyakinan hakim dibatasi, yang mana keyakinan hakim itu harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas.

132 Eka Iskandar, Prinsip Pengembalian Aset Hasil Korupsi (Bagian VI), Op.Cit. 133Ibid.

134

M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), Hal 797

3. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif, dalam membuktikan kesalahan terdakwa sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditemukan undang-undang. Untuk membuktikan salah tidaknya terdakwa semata-mata digantungkan kepada alat bukti yang sah.

4. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, sistem ini merupakan teori gabungan antara sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction in time.135

Menurut Adami Chazawi, dinyatakan bahwa ada tiga sistem pembebanan pembuktian tindak pidana korupsi sebagai kemajuan yang luar biasa dalam sistem hukum Indonesia yaitu tidak lagi terfokus pada JPU untuk membuktikan kesalahan terdakwa terhadap tindak pidana yang didakwakannya, yaitu antara lain:136

1. Pertama, sistem pembebanan sepenuhnya pada terdakwa in casu jika

terdakwa tidak berhasil membuktikan bahwa ia tidak bersalah mengenai

135

Sistem pembuktian Conviction-in Time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian "keyakinan" hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim dan langsung menarik keyakinan dari keterangan dan pengakuan terdakwa. Sistem pembuktian ini, sudah barang tentu mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas "dasar keyakinan" belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. (M. Yahya Harahap, , Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP edisi Kedua, 1985, hal. 256)

136

Adami Chazawi,Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung : PT. Alumni, 2006) Hal 411.

tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka dia dianggap telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi tersebut (sistem pembuktian terbalik);

2. Kedua, sistem pembebanan sebagian kepada terdakwa, bila tidak berhasil

membuktikan ketidakbersalahannya dalam tindak pidana korupsi yang didakwakan (in casu asal muasal kekayaannya yang didakwakan maupun yang belum/tidak didakwakan), maka akan digunakan untuk memperkuat bukti yang sudah ada (in casu JPU) bahwa terdakwa telah bebrsalah melakukan tindak pidana korupsi. Sistem ini disebut dengan semi terbalik. 3. Ketiga, khusus tindak pidana korupsi menerima pemberian gratifikasi sistem

berimbang bersyarat. Jika penerimaan gratifikasi yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih maka berlaku sistem terbalik. Ada juga yang menyebutnya dengan sistem terbalik murni, yakni pembuktian yang ada pada terdakwa sendiri. Jika terdakwa berhasil membuktikan ketidakbersalahannya, maka keberhasilan terdakwa itu digunakan majelis hakim untuk menyatakan bahwa dakwaan JPU tidak terbukti (Pasal 37 ayat 2). Dalam hal demikian JPU pasif dan pembuktian JPU tidak diperlukan. Akan tetapi, dalam hal nilai penerimaan gratifikasi itu kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) pembuktian ada pada JPU (dengan menggunakan sistem biasa). Jadi, syarat dalam sistem berimbang bersyarat dalam hal hendak menggunakan sistem terbalik atau

sistem biasa yang diletakkan pada syarat nilai kurang atau lebih dan Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

Martiman Prodjohamidjojo137

Penerapan pembuktian terbalik yang digunakan untuk menghukum terdakwa, ini jelas bertentangan dengan beberapa asas hukum pidana di Indonesia yaitu asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) dan non- selfincrimination. Asas praduga tidak bersalah sudah lama dikenal di Indonesia, yang sekarang diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Asas ini intinya menyatakan bahwa setiap orang yang ditangkap, ditahan dan dituntut karena disangka melakukan tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannnya secara sah dalam sidang pengadilan. Sementara itu asas non-selfincrimination ditemui dalam praktek dan dalam peraturan tertulis di Indonesia seperti dalam undang- undang tentang Hak Asasi Manusia.

memandang bahwa sistem hukum pembuktian diartikan sebagai suatu keseluruhan dari unsur-unsur hukum pembuktian yang berkaitan dan berhubungan satu dengan yang lain serta saling berpengaruh mempengaruhi dalam suatu keseluruhan atau kebulatan.

138

137

Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999), (Bandung : Mandar Maju, 2001), Hal 98

138

Mulyanto, Pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang, Varia Peradilan No. 254 Januari 2007, Hal 46

Artidjo Alkostar,139

Pada gugatan in rem yang dianut pada sistem hukum Common Law, asas praduga tak bersalah dikenal dengan istilah the privilege against self

incrimination yaitu seseorang tidak dapat dituntut secara pidana atas dasar

keterangan yang diberikannya atau dokumen yang ditunjukkannya. Secara konsekuensi tersangka atau terdakwa dapat diam dan tidak menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, asas ini dapat berjalan dengan baik di Negara yang menganut sistem hukum common law, akan tetapi sistem hukum di Negara Indonesia apabila terdakwa tidak menjawab pertanyaaan yang diajukan, maka hal itu dianggap menyulitkan jalannya persidangan hingga dapat memperberat hukuman nantinya, sehingga terdapat kecendrungan seorang terdakwa akan menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, hingga pada akhirnya tidak merugikan dirinya.

pemberlakuan pembuktian terbalik dituntut untuk memiliki postulat moral yang kokoh sehingga dalam aplikasinya memiliki nilai legitimasi yang kuat dan tidak kontradiktif dengan prinsip hukum yang universal. Sehingga jika atas dasar tuntutan sosial-politik harus membenarkan adanya diskriminasi positif dengan pemberlakuan pembuktian terbalik kepada kejahatan korupsi dalam dalam kacamata penegakan hukum terlihat sudah menjadi extra- ordinary crime di Indonesia.

140

139 Artidjo Alkostar, Korupsi Politik di Negara Modern,(Yogyakarta : FH-UII Press, 2008) Hal 99-100.

140

Mulyanto, Pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang, Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun ke XXII No. 254 ,( Jakarta : Ikatan Hakim Indonesia, 2007) Hal 46

Pada sistem hukum di Indonesia, objek yang wajib dibuktikan oleh masing-masing pihak berbeda, tetapi agar dapat menguntungkan bagi pembuktian jaksa penuntut umum, maka hasil akhir pembuktian dari terdakwa haruslah ada hubungan dengan hasil pembuktian jaksa penuntut umum. Indikator adanya hubungan itu, adalah :141

1. Pertama, terdakwa tidak berhasil membuktikan tentang adanya

keseimbangan antara harta bendanya dengan sumber pendapatannya atau sumber penambahan kekayaannya (Pasal 37 ayat (2) )

2. Kedua, jaksa dapat membuktikan bahwa menurut sifat dan keadaannya serta berdasarkan akal, tindak pidana yang didakwakan menghasilkan kekayaan. Misalnya, menerima suap, menggelapkan uang Negara atau menyalahgunakan kewenangan.

Analisis perbandingan mengenai ketentuan pembalikan beban pembuktian dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 maka peraturan terdahulu tidak mengatur mengenai kesalahan pelaku dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) untuk melakukan pembalikan beban pembuktian akan tetapi hanya terhadap kewajiban tersangka untuk memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya

141

dan harta benda isteri/suami dan anak dan harta benda sesuatu badan hukum yang diurusnya, apabila diminta oleh Jaksa.142

Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Perpu Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, menyebutkan, “Setiap tersangka wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri/suami dan anak dan harta benda sesuatu badan hukum yang diurusnya, apabila diminta oleh Jaksa”. Substansi pasal ini mewajibkan tersangka memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya apabila diminta oleh Jaksa. Konsekuensinya, tanpa ada permintaan dari Jaksa maka tersangka tidak mempunyai kesempatan untuk memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya.

Akan tetapi dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 diatur mengenai pembalikan beban pembuktian baik terhadap kesalahan maupun harta kepemilikan pelaku tindak pidana korupsi. Ketentuan kedua pasal tersebut mensiratkan adanya beberapa asumsi yaitu di satu sisi, dimensi pembalikan beban pembuktian untuk kesalahan pelaku dan kepemilikan harta terdakwa hanya diperkenankan sepanjang hakim memandang perlu untuk kepentingan pemeriksaan. Konsekuensi logisnya, di sisi lain maka pembalikan beban pembuktian tidak dimiliki terdakwa sebagai hak dan terdakwa baru dapat

142 Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Korupsi

Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Dihubungkan Dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003, Disertasi, Program Pascasarjana Program Studi Doktor (S3) Universitas