BUDAYA ORGANISASI PADA BSA OWNER MOTORCYCLE
SIANTAR (BOM’S) DI KOTA PEMATANGSIANTAR
TESIS
Oleh
BOY ISKANDAR WARONGAN
127024022/SP
PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
BUDAYA ORGANISASI PADA BSA OWNER MOTORCYCLE
SIANTAR (BOM’S) DI KOTA PEMATANGSIANTAR
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) Program Studi Magister
Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
Oleh
BOY ISKANDAR WARONGAN
127024022/SP
PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Tesis : BUDAYA ORGANISASI PADA BSA OWNER MOTORCYCLE SIANTAR (BOM’S) DI KOTA PEMATANGSIANTAR
Nama Mahasiswa : Boy Iskandar Warongan Nomor Pokok : 127024022
Program Studi : Studi Pembangunan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Dr. R. Hamdani, Harahap M.Si) (
Ketua Anggota Drs. Kariono, M.Si)
Ketua Program Studi Dekan
(Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA) (Prof. Dr. Badaruddin, M.Si)
Telah diuji pada
Tanggal 25 Agustus 2014
PANITIA PENGUJI TESIS
KETUA : Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si Anggota : 1. Drs. Kariono, M.Si
: 2. Drs. Yance, M.Si
PERNYATAAN
BUDAYA ORGANISASI PADA BSA OWNER MOTORCYCLE SIANTAR (BOM’S) DI KOTA PEMATANGSIANTAR
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, 05 September 2014
Penulis
BUDAYA ORGANISASI PADA BSA OWNER MOTORCYCLE’ SIANTAR (BOM’S) DI KOTA
PEMATANGSIANTAR ABSTRAK
Becak BSA (Birmingham Small Arm) yang telah melekat dengan kota Pematangsiantar menghadapi segenap tantangan yang dapat mengancam keberadaannya. Padahal jika mengacu pada Undang-Undang nomor 11 tahun 2010 tentang cagar budaya, Becak BSA seharusnya sudah dapat dijadikan salah satu situs purbakala/cagar budaya dan resmi dimasukkan dalam Peraturan Daerah (Perda) agar dilarang keluar dari kota Pematangsiantar. Dalam situasi atmosfir konfrontasi untuk mempertahankan Becak BSA, lahirlah organisasi BOM’S (BSA Owner Motorcycle’ Siantar), yang menentang keras upaya penghapusan Becak BSA dari kota Pematangsiantar. Namun, banyak dari program-program BOM’S yang ditujukan untuk kelestarian becak BSA tidak berjalan. Hal itu disebabkan adanya kesenjangan pada budaya organisasi yang dipahami oleh masing-masing anggota BOM’S. Penelitian ini memfokuskan perhatian atas budaya organisasi yang terdapat pada BOM’S di Kota Pematangsiantar. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang melibatkan 3 orang informan kunci. Teknik pengumpulan data diperoleh melalui wawancara mendalam, observasi, dan penelaahan dokumen tertulis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh elemen idealistik dan behavioral dalam budaya organisasi dimiliki oleh BOM’S dan menjadi pembeda dengan organisasi sepeda motor lainnya. Budaya organisasi BOM’S ini tidak dapat dipisahkan dari rasa persaudaraan dan rasa cinta budaya yang mendasari terbentuknya organisasi ini. Budaya organisasi yang dimiliki BOM’S juga memberikan manfaat bagi jalannya organisasi.
ORGANISATIONAL CULTURE OF BSA OWNER MOTORCYCLE’ SIANTAR (BOMS) IN PEMATANGSIANTAR
ABSTRACT
BSA (Birmingham Small Arm) rickshaw which has attached to Pematangsiantar is facing some challenges that threaten it’s existence. According to The 11th Law of 2010 about cultural heritage, BSA rickshaw should be a cultural heritage site and officially added to The Local Regulation in order to prohibited for sale to another city. Under this situation, BOM’S (BSA Owner Motorcycle’ Siantar) was founded in order to against the abolition of BSA rickshaw in Pematangsiantar. However, there are some many BOM’S’s programs are not implemented. It’s caused by there is a gap between BOMS’s organisational culture and members’s understanding of the organisational culture itself. This research aimed to study the organisational culture of BOMS’s in Pematangsiantar. This research based on qualitative method. There are three key informants in this research. Depth interview, observation and document analysis were used to collecting data. As the result, it shows that BOM’S fulfill all idealistic and behavioral elements of organisational culture, which are differentiate with other motorcycle organisations. BOM’S’s organisational culture can’t be separated from brotherhood and sense of loving the heritage which are underlie it’s establishment. BOM’S’s organisational culture has been provides advantages for this organisation.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan
rahmatnya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini yang berjudul “
Budaya Organisasi pada BSA Owner Motorcycle’ Siantar di Kota
Pematangsiantar ”, sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister
Studi Pembangunan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sumatera Utara, Kota Medan.
Selama proses penelitian dan penulisan tesis ini, penulis sadar banyak
mendapatkan bimbingan dan bantuan baik moril maupun materil, oleh karena itu
melalui kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang
sebanyak-banyaknya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc, (CTM),
Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
3. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA, selaku Ketua Program Studi
Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara dan sebagai Dosen Tamu ketika Penulis
melaksanakan sidang meja hijau
4. Bapak Dr. R. Hamdani Harahap, MA selaku Sekretaris Program Studi
Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan
kepada penulis dalam proses pengerjaan tesis ini.
5. Bapak Drs. Kariono M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing yang
dengan kesabarannya sudah sangat banyak membantu memberikan
arahan dan bimbingan kepada Penulis untuk menyempurnakan
penulisan tesis ini.
6. Bapak Drs. Yance M.Si dan Bapak Nurman Achmad S.Sos.,
M.Soc.Sc., selaku Komisi Pembanding yang juga telah banyak sekali
membantu mengarahkan penulisan tesis ini.
7. Seluruh Dosen dan Staf di Program Studi Magister Studi
Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sumatera Utara yang telah banyak membantu baik dalam bidang
akademik maupun administratif.
8. Seluruh pengurus organisasi BSA Owner Motorcycle’ Siantar
(BOM’S) yang telah banyak membantu penulis dalam pengerjaan tesis
ini.
9. Istri tercinta R. Desta Mahestri S.Psi., M.Psi., Psikolog., CGA., yang
telah luar biasa banyak membantu dan memberi motivasi kepada
penulis selama pengerjaan tesis ini, juga putriku tersayang Bellova
Cherissa Warongan.
10.Papi Alm. Capt., John I Warongan MMT dan Mami Yenny E Bangun,
Oma, Opa, Bapak H.K Erizal Ginting SH dan Ibu dr. Susanti
11.Seluruh rekan-rekan seperjuangan di MSP Angkatan 25 tahun 2012
atas dukungan dan kerjasamanya, semoga kita semua sukses. Amin
YRA.
Penulis menyadari tesis ini masih banyak memiliki kekurangan dan jauh
dari sempurna. Namun harapan penulis semoga tesis ini dapat bermanfaat kepada
seluruh pembaca. Amin YRA.
Medan, 05 September 2014
Penulis
RIWAYAT HIDUP
1. Nama : Boy Iskandar Warongan
2. Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 5 September 1989
3. Jenis Kelamin : Laki-Laki
4. Agama : Islam
5. Status : Kawin
6. Suku : Manado
7. Nama Ayah Kandung : Alm. Capt. John Izhar Warongan MMT
8. Nama Ibu Kandung : Yenny Eldinarita Bangun
9. Alamat : Jln. Karya Wisata, Komplek Citra Wisata
Blok 10 No: 5
10.Pendidikan :
1. SD Swasta Persit Kartika Chandra Kirana I-I Medan
2. SMP Negeri 18 Medan
3. SMA Swasta Panca Budi Medan
4. S-1 Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP USU
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... .i
ABSTRACT ... .ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... ix
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah ... 1
1.2.Perumusan Masalah ... 8
1.3.Tujuan Penelitian ... 8
1.4.Manfaat Penelitian. ... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi ... 10
2.1.1. Defenisisi Organisasi. ... 10
2.1.2. Budaya Organisasi. ... 19
2.2. BSA Owner Motorcycle Siantar (BOM’S) ... 36
2.2.1. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga BOM’S BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 56
3.2. Lokasi Penelitian ... 58
3.3. Informan ... 58
3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 58
3.5. Analisa Data ... 59
BAB IV PEMBAHASAN
4.1. Kota Pematangsiantar ... 61
4.1.1. Sejarah Kota Pematangsiantar ... 61
4.1.2. Letak Geografis dan Kependudukan Kota Pematangsiatar ... 62
4.2. BOM’S (BSA Owner Motorclcle’ Siantar). ... 64
4.3. Pembahasan. ... 67
4.3.1. Identifikasi Diri Informan ... 67
4.3.2. Analisa Data. ... 69
BAB V KESIMPULAN 5.1. Kesimpulan ... 91
5.2. Saran... 93
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
4.1. Jumlah dan Sebaran Penduduk Kota Pematangsiantar...63
4.2. Budaya Organisasi pada Organisasi BOM’S (BSA Owner
BUDAYA ORGANISASI PADA BSA OWNER MOTORCYCLE’ SIANTAR (BOM’S) DI KOTA
PEMATANGSIANTAR ABSTRAK
Becak BSA (Birmingham Small Arm) yang telah melekat dengan kota Pematangsiantar menghadapi segenap tantangan yang dapat mengancam keberadaannya. Padahal jika mengacu pada Undang-Undang nomor 11 tahun 2010 tentang cagar budaya, Becak BSA seharusnya sudah dapat dijadikan salah satu situs purbakala/cagar budaya dan resmi dimasukkan dalam Peraturan Daerah (Perda) agar dilarang keluar dari kota Pematangsiantar. Dalam situasi atmosfir konfrontasi untuk mempertahankan Becak BSA, lahirlah organisasi BOM’S (BSA Owner Motorcycle’ Siantar), yang menentang keras upaya penghapusan Becak BSA dari kota Pematangsiantar. Namun, banyak dari program-program BOM’S yang ditujukan untuk kelestarian becak BSA tidak berjalan. Hal itu disebabkan adanya kesenjangan pada budaya organisasi yang dipahami oleh masing-masing anggota BOM’S. Penelitian ini memfokuskan perhatian atas budaya organisasi yang terdapat pada BOM’S di Kota Pematangsiantar. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang melibatkan 3 orang informan kunci. Teknik pengumpulan data diperoleh melalui wawancara mendalam, observasi, dan penelaahan dokumen tertulis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh elemen idealistik dan behavioral dalam budaya organisasi dimiliki oleh BOM’S dan menjadi pembeda dengan organisasi sepeda motor lainnya. Budaya organisasi BOM’S ini tidak dapat dipisahkan dari rasa persaudaraan dan rasa cinta budaya yang mendasari terbentuknya organisasi ini. Budaya organisasi yang dimiliki BOM’S juga memberikan manfaat bagi jalannya organisasi.
ORGANISATIONAL CULTURE OF BSA OWNER MOTORCYCLE’ SIANTAR (BOMS) IN PEMATANGSIANTAR
ABSTRACT
BSA (Birmingham Small Arm) rickshaw which has attached to Pematangsiantar is facing some challenges that threaten it’s existence. According to The 11th Law of 2010 about cultural heritage, BSA rickshaw should be a cultural heritage site and officially added to The Local Regulation in order to prohibited for sale to another city. Under this situation, BOM’S (BSA Owner Motorcycle’ Siantar) was founded in order to against the abolition of BSA rickshaw in Pematangsiantar. However, there are some many BOM’S’s programs are not implemented. It’s caused by there is a gap between BOMS’s organisational culture and members’s understanding of the organisational culture itself. This research aimed to study the organisational culture of BOMS’s in Pematangsiantar. This research based on qualitative method. There are three key informants in this research. Depth interview, observation and document analysis were used to collecting data. As the result, it shows that BOM’S fulfill all idealistic and behavioral elements of organisational culture, which are differentiate with other motorcycle organisations. BOM’S’s organisational culture can’t be separated from brotherhood and sense of loving the heritage which are underlie it’s establishment. BOM’S’s organisational culture has been provides advantages for this organisation.
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Semua manusia menginginkan kehidupan aman, tenteram dan lepas dari
gangguan yang memusnahkan harkat manusia. Kala itu orang-orang yang
mendambakan ketentraman menuju bukit dan membangun benteng, serta mereka
berkumpul disana menjadi kelompok. Kelompok inilah yang oleh Socrates
dinamakan polis (satu kota saja). Organisasi yang mengatur hubungan-hubungan
antara orang-orang yang di dalam polis itu tidak hanya mempersoalkan
organisasinya saja, tapi juga kepribadian orang-orang disekitarnya. Socrates
menganggap polis identik dengan masyarakat dan masyarakat identik dengan
negara. Sistem pemerintahan negara bersifat demokratis yang langsung. Rakyat
ikut secara langsung menentukan kebijaksanaan pemerintahan negara (Busroh,
2010).
Indonesia menurut situs resmi pemerintah Republik Indonesia merupakan
negara di Asia Tenggara, terletak di garis khatulistiwa dan berada di antara benua
Asia dan Australia serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, karena
letaknya yang berada di antara dua benua, dan dua samudra, ia disebut juga
sebagai Nusantara (Kepulauan Antara). Terdiri dari 17.508 pulau, Indonesia
adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Menurut Montesquieu dalam Busroh
2010, negara memiliki tiga fungsi yaitu, fungsi legislatif (membuat
undang-undang), fungsi eksekutif (melaksanakan undang-undang-undang), dan yang terakhir
ketiga fungsi tersebut masih belum bisa bejalan secara baik, masih banyak kasus
penyalahgunaan wewenang pada masing-masing fungsi, baik legislatif, eksekutif
maupun yudikatif. Berbagai macam permasalahan yang terjadi, mulai dari tidak
efektifnya undang-undang terhadap suatu permasalahan maupun KKN (Korupsi
Kolusi Nepotisme) pada jajaran pemerintahan (Surat kabar digital Berita Satu,
edisi 19 Februari 2014)
Berbicara mengenai tidak efektifnya undang-undang yang dirancang oleh
para legislator, dapat kita ambil contoh kasus rencana pemerintah kota
Pematangsiantar terhadap peremajaan unit becak siantar, yang berakibat langsung
pada penghapusan motor penarik becak siantar yang bermesin BSA ( Birmingham
Small Arm) yaitu motor produksi Inggris pada masa 1938 – 1956, pada masa itu
digunakan sebagai kendaraan perang pasukan sekutu dengan motor produksi
Jepang yang modern. Padahal jika kita melihat Undang-Undang nomor 11 tahun
2010 tentang cagar budaya, Becak Siantar seharusnya sudah dapat dijadikan salah
satu situs purbakala/cagar budaya dan resmi dimasukkan dalam Peraturan Daerah
(Perda) agar dilarang keluar dari kota Pematangsiantar, disebut setiap benda
peninggalan sejarah diatas usia 50 tahun dapat dinyatakan cagar budaya dan wajib
dilindungi pemerintah. Menurut pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 tahun
2010, benda cagar budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia,
baik bergerak maupun tuidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau
bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan
kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia (Undang Undang Nomor 11
Sikap pemerintah kota Pematangsiantar tersebut dapat menimbulkan
kemiskinan dikalangan penarik becak siantar dikota Pematangsiantar, hal itu
dikarenakan penggantian tipe motor pada becak siantar ke tipe motor bermesin
Jepang sudah pasti tidak efektif jika kita lihat dari kapasitas mesin Jepang yang
hanya seratus sampai seratus lima puluh cc dan mesin BSA yang berkapasitas tiga
ratus lima puluh sampai lima ratus cc. Hal ini nantinya akan mengakibatkan biaya
perawatan yang lebih besar. Pearce dalam Siagian 2012, mengatakan kemiskinan
merupakan produk dari interaksi teknologi, sumber daya alam dan modal, dengan
sumber daya manusia serta kelembagaan. Analisis kemiskinan seperti ini
didasarkan pada hipotesis bahwa berbagai unsur yang menjadi elemen suatu
ekosistem senantiasa terlibat dalam suatu interaksi. Dalam hal ini kemiskinan itu
merupakan suatu produk dari proses interaksi yang tidak seimbang atau interaksi
yang bersifat timpang diantara berbagai elemen yang ada didalam suatu
ekosistem, sehingga pada gilirannya berdampak negatif terhadap kehidupan
manusia. Teori ini sejalan dengan rencana pemerintah Kota Pematangsiantar saat
ingin menghapuskan becak siantar bermesin BSA, yang berdampak pada semakin
besarnya biaya perawatan becak dan hilangnya nilai sejarah serta budaya dari
becak tersebut sehingga pengguna jasa dari becak Siantar berkurang..
Keberadaan becak siantar telah melegenda di Sumatera Utara, Indonesia,
bahkan dunia. Hal tersebut dikarenakan Pematangsiantar merupakan satu-satunya
kota di dunia yang menggunakan sepeda motor gede merk BSA secara massal
sebagai alat transportasi umum. Hal tersebut berbanding terbalik dengan negara
tetangga kita Singapura, seperti yang diungkapkan Ramle Ismael (46 tahun) yang
motor eropa di Singapura yang juga mengkampanyekan pelestarian becak siantar
di Singapura) sebagai berikut :
“Satu unit motor BSA harganya lima ratus sampai enam ratus jutaan rupiah sekarang di Singapura, heran juga saya di Siantar bisa dijadikan becak, barang antik...” .
(Wawancara personal, 22 Februari 2014)
Perjalanan waktu sejak zaman penjajahan telah membuktikan kehandalan
dan ketangguhan mesin sepeda motor BSA yang bermesin besar melewati rute
naik turun, ciri tipologi kota Pematangsiantar yang berbukit-bukit, tentu tidak
dapat ditandingi oleh sepeda motor bermesin kecil buatan Jepang berplat hitam
yang kini keberadaan mulai banyak di kota Siantar. Becak Siantar unik karena
digerakkan oleh mesin sepeda motor merek BSA (Birmingham Small Arm)
buatan kota Birmingham, Inggris, yang kini tidak ada lagi pabriknya dan sudah
tidak di produksi. Umumnya sepeda motor BSA yang digunakan tipe M 20 buatan
tahun 1938 – 1948 berkapasitas mesin 500 cc, dan tipe ZB 31 buatan tahun 1950 –
1956 berkapasitas mesin 350 cc.
Becak Siantar, selain menjadi kendaraan angkutan umum, dapat
diandalkan menjadi sumber tambahan pemasukan devisa negara dan pemerintah
daerah sebagai obyek wisata sejarah, karena keunikannya sekaligus menambah
pendapatan ekstra bagi masyarakat yang berprofesi sebagai penarik Becak BSA,
dengan konsep memasukkannya dalam Peraturan Daerah sebagai kendaraan
angkutan pariwisata resmi satu-satunya. Sehingga bagi para wisatawan domestik
maupun mancanegara yang singgah di kota Pematangsiantar, diwajibkan
menggunakan becak BSA untuk trip wisata kota yang teknisnya dapat diatur
BSA dan becaknya sudah menjadi public domain/ milik masyarakat kota
Pematangsiantar, hal ini dikarenakan keberadaan becak siantar yang sudah
berpuluh-puluh tahun beroperasi di kota Pematangsiantar sehingga menjadi ciri
khas dari kota Pematangsiantar, bahkan masyarakat kota Pematangsiantar
menyebut BSA sebagai Becak Siantar Asli bukan Birmingham Small Arm yang
merupakan kepanjangan dari BSA itu sendiri.
Pada pertengahan bulan Mei 2006, oknum DPRD Pematangsiantar
berencana untuk meremajakan Becak BSA dengan becak motor bermesin Jepang.
Hal ini ditentang oleh masyarakat kota Pematangsiantar baik abang becak BSA,
tokoh agama, pemuda dan elemen masyarakat lainnya, namun hal itu tidak
dihiraukan semua dianggap angin lalu. Dalam situasi atmosfir konfrontasi
ditengah pesimistis masyarakat Siantar untuk mempertahankan becak BSA,
lahirlah organisasi BOM’S (BSA Owner Motorcycle’ Siantar) sebagai jawaban.
Terdiri dari para bikers dan penarik becak BSA, bersatu padu menentang keras
kebijakan penghapusan tersebut dan menuntut agar segera menghentikan
keinginan kaum penguasa menghilangkan bukti bisu sejarah kota Siantar (Becak
BSA), akhirnya keputusan penghapusan itu gagal total dan dapat dihentikan oleh
organisasi BOM’S, melalui perjuangan panjang yang tak kenal lelah dengan tekad
“ Maju bersama sampai tetes darah terakhir!”.
Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan adanya wahana perjuangan
dan pergerakan yang kuat, mampu menyalurkan aspirasi dan menyatukan saluruh
potensi pengguna, pemilik, penggemar dan pecinta motor tua bermerk BSA dikota
Pematangsiantar dengan suatu cita-cita dapat melestarikan becak BSA dan
komunitas, dan perkumpulan pengguna, pemilik, penggemar, dan pecinta motor
BSA mendirikan sebuah wadah organisasi sosial yang berangkat dari kesamaan
cita-cita dengan nama BSA Owner Motorcycle’ Siantar (BOM’S). Menurut Oliver
Sheldon (1923) : Organisasi adalah proses penggabungan pekerjaaan yang para
individu atau kelompok-kelompok harus melakukan dengan bakat-bakat yang
diperlukan untuk melakukan tugas-tugas, sedemikian rupa, memberikan saluran
terbaik untuk pemakaian yang efesien, sistematis, positif, dan terkoordinasi dari
usaha yang tersedia.
BOM’S didirikan pada 25 Juni 2006, di Kota Pematangsiantar, Provinsi
Sumatera Utara, untuk waktu yang tidak terbatas. Sifat dan bentuk BOM’S yang
tertuang dalam AD/ART pasal 3 (sifat dan bentuk), merupakan Organisasi
otomotif motor tua roda dua dan roda tiga (becak) khususnya merk BSA yang
bersifat terbuka untuk semua warga negara Republik Indonesia, tanpa
membedakan suku bangsa, ras, profesi, jenis kelamin, agama, dan kepercayaan
terhadap terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam menyikapi hal ini idealnya Pemerintah Kota Pematangsiantar dan
BOM’S sebagai dua organisasi yang paling bertanggung jawab terhadap
kelangsungan hidup dari becak BSA dan penariknya harusnya mampu
menciptakan program-program yang dapat memaksimalkan potensi dari becak
BSA di kota Pematangsiantar. BOM’S sebagai organisasi yang mewadahi becak
BSA di kota Pematangsiantar sebenarnya memiliki program yang baik untuk
kelestarian becak siantar, namun banyak dari program-program tersebut tidak
dapat berjalan sesuai harapan. Seperti yang diungkapkan oleh beberapa anggota
anggota yang lain untuk berpartisipasi aktif dalam menyukseskan program yang
telah direncanakan.
“banyak anggota mau haknya aja bang, kalau udah udah kewajiban susah kali, padahal banyaknya manfaat BOM’S ini buat parbecak siantar ...” . (Wawancara personal, 21 Februari 2014)
“program BOM’S ini udah banyak bang, buat bikers buat abang becak, tapi banyak anggota cuma ngomong aja gak ada kerjanya...” .
(Wawancara personal, 21 Februari 2014)
Kondisi diatas menunjukkan kesenjangan antara nilai yang dipahami
tiap-tiap anggota didalam BOM’S. Andrew Pettigrew, Vijai Sathe (1983) menekankan
pentingnya shared meanings untuk memahami budaya organisasi dimana hal ini
memiliki pengaruh besar terhadap kinerja organisasi. Pentingnya budaya
organisasi untuk pencapaian kinerja organisasi yang optimal juga tercermin dari
sejumlah penelitian yang menemukan bahwa budaya organisasi dapat membantu
meningkatkan performa organisasi (Ojo, 2010 ; Imam, Abbasi, Muneer & Qadri,
2013). Dalam hal ini Sathe mengartikan budaya organisasi sebagai satu set asumsi
yang dianggap sangat penting (meski kadang tidak tertulis) yang di shared oleh
para anggota organisasi. Asumsi dalam hal ini berarti suatu anggapan
mendasar/sentral yang berdampak luas bagi kehidupan organisasi dibandingkan
suatu anggapan yang lain. Padahal BOM’S merupakan satu-satunya organisasi
yang mewadahi becak BSA, jika tujuan dan program BOM’S tidak dapat berjalan
sesuai rencana maka dampaknya akan berpengaruh besar terhadap kelestarian
becak BSA di kota Pematangsiantar. Berdasarkan hal inilah peneliti merasa perlu
untuk melakukan penelitian terhadap organisasi BOM’S yang merupakan
satu-satunya organisasi yang mewadahi dan melestarikan benda cagar budaya
Organisasi Pada BSA Owner Motorcycle’ Siantar (BOM’S) di kota
Pematangsiantar “.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan diatas maka rumusan masalah
penelitian ini adalah , bagaimana budaya organisasi ( pola prilaku interaksi
anggota, norma-norma kelompok, prinsip atau nilai-nilai, kebijakan umum atau
keahlian khusus, dan kepemimpinan) pada BSA Owner Motorcycle Siantar
(BOM’S) di kota Pematangsiantar?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana budaya
organisasi ( pola prilaku interaksi anggota, norma-norma kelompok, prinsip
atau nilai-nilai, kebijakan umum atau keahlian khusus, dan kepemimpinan)
pada BSA Owner Motorcycle Siantar (BOM’S).
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis, antara
lain:
1. Dapat memberikan masukan dan sumber informasi bagi disiplin ilmu
sosial terutama pada bidang Studi Pembangunan, mengenai budaya
prinsip atau nilai-nilai, kebijakan umum atau keahlian khusus, dan
kepemimpinan) BOM’S di kota Pematangsiantar.
2. Dapat menjadi masukan bagi para peneliti lain yang tertarik untuk
meneliti lebih jauh mengenai budaya organisasi dan organisasi
BOM’S.
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis, antara
lain:
1. Memberikan masukan dan sumber informasi bagi para anggota
maupun simpatisan organisasi BSA Owner Motorcycle Siantar
(BOM’S).
2. Memberikan masukan dan sumber informasi bagi pembaca, pengamat
sosial, dan pihak-pihak yang terlibat langsung dalam penelitian ini
mengenai budaya organisasi pada BSA Owner Motorcycle Siantar
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Budaya Organisasi
2.1.1 Defenisi Organisasi
Organisasi berasal dari bahasa yunani organon, yang berarti “alat”. Kata
ini masuk ke bahasa latin, menjadi organizatio, dan kemudian ke bahasa prancis
(abad ke-14) menjadi organisation. Pengertian awalnya tidak merujuk pada benda
atau proses, melainkan tubun manusia atau mahluk biologis lainnya. tidak sama
dengan alat mekanis, organon terdiri dari bagian-bagian yang tersusun dan
terkoordinasi hingga mampu menjalankan fungsi tertentu secara dinamis. Tangan
manusia atau kaki seekor belalang memiliki kesamaan dalam hal fungsi gerak
yang dinamis ini, jadi orgonon merujuk pada keteraturan atau susunan tertentu
yang memungkinkan suatu fungsi dijalankan oleh tubuh atau mahluk hidup.
Pengertian ini masih tersisa sampai sekarang. Kata ‘organ tubuh’, ‘organik’, serta
‘organisme’ biasanya selalu mengacu pada mahluk hidup. Belakangan, kata ini
dipergunakan untuk menggambarkan penyusunan dan pengelolaan berbagai
aktivitas manusia (baik dengan institusi/lembaga maupun tidak), yang bertujuan
menjalankan suatu fungsi atau maksud tertentu. Inilah ‘organisasi’ dalam
pengertian modern.
Karateristik utama organisasi dapat diringkas sebagai 3-P, yaitu: Purposes,
People, dan Plan (Gerloff, 1985). Sesuatu tidak bisa di sebut sebagai organisasi
Dalam aspek ‘rencana’ terkandung semua ciri lainnya, seperti sistem, struktur,
desain, strategi, dan proses, yang seluruhnya dirancang untuk menggerakkan
unsur manusia (people) dalam mencapai berbagai tujuan (purposes) yang telah
ditetapkan. Menurut Kusdi dalam buku ini, organisasi ialah suatu entitas sosial
yang secara sadar terkoordinasi, memiliki suatu batas yang relatif dapat
diidentifikasi, dan berfungsi secara relatif kontinu (berkesinambungan) untuk
mencapai suatu tujuan atau seperangkat tujuan bersama.
Beberapa Pengertian Organisasi
Berikut merupakan beberapa pendapat dari berbagai ahli mengenai
organisasi.
a) Oliver Sheldon (1923) : Organisasi adalah proses penggabungan
pekerjaaan yang para individu atau kelompok-kelompok harus melakukan
dengan bakat-bakat yang diperlukan untuk melakukan tugas-tugas,
sedemikian rupa, memberikan saluran terbaik untuk pemakaian yang
efesien, sistematis, positif, dan terkoordinasi dari usaha yang tersedia.
b) Chester I. Bernard (1938) : Organisasi adalah suatu sistem tentang
aktivitas-aktivitas kerja sama dari dua orang atau lebih sesuatu yang tak
berwujud dan tak bersifat pribadi, sebagian besar mengenai hal
hubungan-hubungan.
c) Harleigh Trecker (1950) : Organisasi adalah perbuatan atau proses
menghimpun atau mengatur kelompok-kelompok yang saling
d) Ralp Currier Davis (1951) : Organisasi adalah suatu kelompok
orang-orang yang sedang bekerja ke arah tujuan bersama di bawah
kepemimpinan.
e) Dwight Waldo (1956) : Organisasi adalah struktur hubungan-hubungan
diantara orang-orang berdasarkan wewenang dan bersifat tetap dalam
suatu sistem administrasi.
f) William G. Scott (1962) : Suatu organisasi formal adalah suatu sistem
mengenai aktivitas-aktivitas yang dikoornasikan dari sekelompok orang
yang bekerja sama ke arah suatu tujuan bersama dibawah wewenang dan
kepemimpinan.
g) Michael J. Juchius (1962) : Istilah organisasi disini dipakai untuk
menunjukkan pada suatu kelompok orang yang bekerja dalam hubungan
yang saling bergantung ke arah tujuan atau tujuan-tujuan bersama.
h) Van Miller, George R. Madden, James B. Kincheloe (1972) : Istilah
organisasi menuju pada sekelompok orang yang telah mengikat mereka
sendiri bersama-sama menuntut tujuan-tujuan tertentu, telah menugaskan
tugas-tugas kepada macam-macam anggota, telah mengembangkan
kepribadian khusus untuk menjalankan tugas-tugas, dan telah memberikan
wewenang tertentu kepada para anggotanya untuk melaksanakan
tugas-tugas.
i) Cyril Soffer (1973) : Organisasi adalah perserikatan orang, yang
masing-masing diberi peranan tertentu dalam suatu sistem kerja dan pembagian
diantara para pemegang peranan, dan kemudian digabung dalam beberapa
bentuk hasil.
j) J. H. Vesting, I. V. Fine and Gary J. Zent (1976) : Organisasi diperlukan
apabila orang-orang bergabung berusaha mencapai beberapa tujuan
bersama.
Organisasi tak berwujud, agar organisasi menjadi konkrit maka harus
mempunyai nama tertentu, misalnya Pemerintah Daerah Sumatera Utara,
Universitas Sumatera Utara, BSA Owner Motorcycle Siantar. Tetapi walaupun
sudah diberi nama jenis tertentu kadang-kadang yang tertunjuk itu hanya nama
gedung tempat kerja organisasi yang bersangkutan, maka agar yang ditunjuk tidak
hanya sekedar gedung tempat kerja, organisasi harus membentuk struktur
organisasi sehingga jelas organisasi yang dimaksud, dan struktur organisasi ini
akan nampak lebih tegas apabila dituangkan dalam bagan organisasi. Struktur
organisasi ialah kerangka antar hubungan satuan-satuan organisasi yang di
dalamnya terdapat pejabat, tugas serta wewenang yang masing-masing
mempunyai peranan tertentu dalam kesatuan yang utuh. Pengertian struktur
organisasi tersebut merupakan kesimpulan sederhana dari beberapa pendapat
berikut:
a) Ralph Currier Davis : Struktur organisasi adalah hubungan antara
fungsi-fungsi tertentu, faktor-faktor fisik dan orang.
b) John Pfiffner & Owen Lane : Struktur organisasi adalah hubungan antara
para pegawai dan aktivitas-aktivitas mereka satu sama lain serta terhadap
atau fungsi-fungsi dan masing-masing anggota kelompok pegawai yang
melaksanakannya.
c) Robert Y. Durant : Struktur organisasi ialah bagan hubungan dan
tugas-tugas dari orang-orang yang digunakan oleh organisasi terutama sekali
pelaksanaan fungsi-fungsi manajerial.
d) Dalton E. McFarland : Struktur organisasi diartikan sebagai pola jaringan
hubungan antara bermacam-macam jabatan dan para pemegang jabatan.
e) F. G. Anderson : Struktur organisasi ialah susunan hubungan-hubungan,
pertanggung jawaban-pertanggungjawaban, dan wewenang-wewenang
melalui tujuan organisasi pada pencapaian sasarannya.
f) Richard A. Johnson, Fremont E. Kast dan James E. Rosenzweig : Struktur
organisasi ialah hubungan antara macam-macam fungsi atau aktivitas di
dalam organisasi.
Struktur organisasi yang akan dibentuk tentunya struktur organisasi yang
baik. Struktur organisasi yang baik harus memenuhi syarat sehat dan efesien.
Struktur organisasi yang sehat berarti tiap-tiap satuan organisasi yang ada dapat
menjalankan perannya dengan tertib, struktur organisasi yang efesien berarti
dalam menjalankan perannya tersebut masing-masing satuan organisasi dapat
mencapai perbandingan terbaik antara usaha dan hasil kerja. Struktur organisasi
yang sehat dan efesien dapat dibentuk dengan memperhatikan berbagai asas
organisasi.
Asas organisasi memiliki dua peranan yaitu, sebagai pedoman untuk
membentuk struktur organisasi yang sehat dan efesien, dan peranan kedua sebagai
dasar dua peranan organisasi tersebut maka dapat disusun defenisi organisasi
sebagai berikut, asas-asas organisasi adalah berbagai pedoman yang sejauh
mungkin hendaknya dilaksanakan agar diperoleh struktur organisasi yang baik
dan aktivitas organisasi dapat berjalan lancar.
Beberapa pendapat mengenai asas-asas organisasi ;
James D. Mooney & Alan C. Reily :
1. Asas koordinasi
2. Asas jenjang
3. Asas penyusunan fungsi
4. Asas staff
Luther Gulick & Lyndall Urwick :
1. Orang yang layak pada struktur organisasi
2. Pengakuan seorang pemimpin puncak sebagai sumber
wewenang
3. Yang bersangkutan dengan kesatuan perintah
4. Memakai staff khusus dan umum
5. Departemanisasi berdasarkan tujuan, proses, orang dan
tempat
7. Membuat tanggung jawab sepadan dengan wewenang
8. Mempertimbangkan rentangan kontrol yang tepat
L. P. Alford & H. Russel Beatty :
1. Asas tujuan
2. Asas wewenang dan tanggung jawab
3. Asas wewenang pokok
4. Asas penugasan kewajiban-kewajiban
5. Asas defenisi
6. Asas kesamaan
7. Asas efektifitas organisasi
Louis A. Allen :
1. Tujuan
2. Pembagian fungsi
3. Tanggung jawab wewenang
4. Pelimpahan
5. Pengawasan
Pengertian masing-masing bentuk organisasi :
a) Bentuk organisasi tunggal adalah organisasi yang pucuk pimpinannya ada
di tangan seseorang. Sebutan jabatan untuk bentuk tunggal antara lain
Presiden, Ketua, Direktur, Kepala.
b) Bentuk organisasi jamak adalah organisasi yang pucuk pimpinannya ada
di tangan beberapa sebagai satu kesatuan. Sebutan jabatan yang digunakan
antara lain Presidium, Direksi, Dewan.
c) Bentuk organisasi jalur adalah organisasi yang wewenang dari pucuk
pimpinan dilimpahkan ke satuan-satuan organisasi dibawahnya dalam
semua bidang pekerjaan.
d) Bentuk organisasi fungsional adalah organisasi yang wewenang dari pucuk
pimpinan dilimpahkan kepada satuan-satuan organisasi dibawahnya dalam
bidang pekerjaan tertentu; pimpinan tiap bidang berhak memerintah
kepada semua pelaksana yang ada sepanjang menyangkut bidang kerjanya.
e) Bentuk organisasi jalur dan staff adalah organisasi yang wewenang dari
pucuk pimpinan dilimpahkan kepada satuan-satuan organisasi dibawahnya
dalam semua bidang dan dibawah pucuk pimpinan atau pimpinan satuan
organisasi yang memerlukan diangkat pejabat yang tidak memeliki
wewenang komando tetapi hanya dapat memberikan nasehat tentang
bidang keahlian tertentu.
f) Bentuk organisasi fungsional dan staff adalah organisasi yang wewenang
dari pucuk pimpinan dilimpahkan ke satuan-satuan organisasi dibawahnya
dalam bidang pekerjaan teretntu, pimpinan dari tiap bidang kerja berhak
bidang kerjanya, dan dibawah pucuk pimpinan atau pimpinan satuan
diangkat pejabat yang tidak memiliki wewenang komando tetapi hanya
dapat memberikan nasihat tentang bidang keahlian tertentu.
g) Bentuk organisasi fungsional dan jalur adalah organisasi yang wewenang
dari pucuk pimpinan dilimpahkan kepada satuan-satuan organisasi
dibawahnya dalam bidang pekerjaan tertentu, pimpinan tiap bidang kerja
berhak memerintah kepada semua pelaksana yang ada sepanjang
menyangkut bidang kerjanya, dan tiap-tiap satuan pelaksana kebawah
memiliki wewenang dalam semua bidang kerja.
h) Bentuk organisasi jalur, fungsional dan staff adalah organisasi yang
wewenang dari pucuk pimpinan dilimpahkan kepada satuan-satuan
organisasi di bawahnya dalam bidang pekerjaan tertentu, pimpinan tiap
bidang berhak memerintah kepada semua pelaksana yang ada sepanjang
menyangkut bidang kerjanya, dan tiap-tiap satuan pelaksana kebawah
memiliki wewenang dalam semua bidang kerja, dan dibawah pucuk
pimpinan atau pimpinan bidang diangkat pejabat yang tidak memiliki
wewenang komando tetapi hanya dapay memberikan nasihat dalam bidang
keahlian tertentu.
Struktur organisasi akan lebih jelas dan tegas apabila digambarkan dalam
bagan organisasi, berikut beberapa pendapat mengenai bagan organisasi :
a) William Grant Ireson : Bagan organisasi akan menunjukkan dengan amat
jelas bagaimana informasi mengalir dari satuan organisasi yang satu ke
satuan organisasi yang lain, tingkatan tanggung jawab, dari mana
b) W. Warren Haynes & Joseph L. Massie : Mempelajari bagan akan
memberikan pengertian tentang organisasi dalam kenyataan.
c) William R. Spriegel & Richard H. Landsburgh : Suatu bagan organisasi
mengikhtiarkan untuk menggambarkan seperti lukisan hubungan struktur
antara bermacam-macam satuan-satuan organisasi dan kedudukan dalam
perusahaan.
d) Louis A. Allen : Bagan organisasi adalah suatu alat yang melukiskan
dengan nyata yang melukiskan data organisasi.
e) Lyman A. Keith & Carlo E. Gubellini : Bagan organisasi menggambarkan
seperti lukisan hubungan fungsi dan individu-individu serta menunjukkan
tingkatan dan aliran wewenang serta tanggung jawab.
f) George R. Terry : Suatu bagan organisasi adalah suatu gambaran lukisan
dari suatu struktur organisasi. Itu dapat dianggap sebagai suatu gambar
struktur organisasi; itu menunjukkan satuan-satuan organisasi,
hubungan-hubungan dan saluran-saluran wewenang yang sah.
2.1.2 Budaya Organisasi
Konsep budaya organisasi bisa dikatakan masih relatif baru yakni baru
berkembang sekitar awal tahun 1980-an. Konsep ini, seperti diakui para teoritis
organisasi, diadopsi dari konsep budaya yang terlebih dahulu berkembang pada
disiplin antropologi. Oleh karenanya, keragaman pengertian budaya pada disiplin
antropologi juga akan berpengaruh pada keragaman pengertian budaya pada
disiplin organisasi. Hal ini misalnya ditegaskan oleh Linda Smircich yang
mengingatkan agar kita tidak terkejut jika kita mendapatkan aneka pengertian
Secara umum konsep budaya organisasi dibagi menjadi dua school of
thought (mazhab)-ideational dan adaptationist school. Mahzab pertama ideational
school lebih melihat budaya sebuah organisasi dari apa yang di shared (dipahami,
dijiwai, dan dipraktikkan bersama) anggota sebuah komunitas atau masyarakat.
Mahzab ini biasanya di anut oleh para organization theorist yang menggunakan
pendekatan antropologi sebagai basisnya. Mahzab kedua adaptationist school
melihat budaya dari apa yang bisa di observasi baik dari bangunan organisasi
seperti arsitektur/tata ruang bangunan fisik sebuah organisasi maupun dari
orang-orang yang terlibat didalamnya seperti pola perilaku dan cara mereka
berkomunikasi. Pendek kata para adaptationist school melihat budaya dari kulit
luar organisasi. Disamping kedua mahzab diatas , gabungan keduanya realist
school juga banyak dikenal. Penganut mahzab ketiga menyadari bahwa budaya
organisasi merupakan sesuatu yang kompleks yang tidak bisa dipahami hanya dari
pola perilaku orang-orangnya saja tetap juga sumber pola perilaku tersebut.
Hubungan resiprokal keduanya menjadi cukup penting dalam mempelajari budaya
organisasi.
Pengertian Budaya Organisasi Menurut Ideational School
Andrew Pettigrew (1979), orang pertama yang secara formal
menggunakan istilah budaya organisasi, memberikan pengertian budaya
organisasi sebagai sistem makna yang diterima secara terbuka dan kolektif, yang
berlaku untuk waktu tertentu bagi sekelompok orang tertentu. Dalam hal ini
sistem makna diharapkan bisa memberikan gambaran tentang jati diri (budaya
organisasi) sebuah organisasi pada orang-orang yang berada dalam organisasi dan
semua aspek kehidupan organisasi. Biasanya hanya orang-orang tertentu
(utamanya elit organisasi) yang dapat dan merasa layak untuk memaknai semua
aspek kehidupan organisasi, oleh karena itu jika proses pemakanaan tersebut
berhenti pada elit organisasi, bisa dipastikan banyak orang yang tidak memahami
makna sesungguhnya dari setiap fenomena, kejadian atau kegiatan organisasi.
Karena alasan itu pulalah proses pemakanaan tersebut harus di komunikasikan
dan di internalisasikan kepada setiap orang, atau dengan kata lain untuk bisa
menjadi budaya, sistem makna tersebut harus di shared (dipahami, dijiwai, dan
dipraktikkan bersama) diantara orang orang yang berada didalam organisasi agar
menghasilkan shared meaning.
Seperti halnya Andrew Pettigrew, Vijai Sathe (1983) juga menekankan
pentingnya shared meanings untuk memahami budaya organisasi. Dalam hal ini
Sathe mengartikan budaya organisasi sebagai satu set asumsi yang dianggap
sangat penting (meski kadang tidak tertulis) yang di shared oleh para anggota
organisasi. Asumsi dalam hal ini berati suatu anggapan mendasar/sentral yang
berdampak luas bagi kehidupan organisasi dibandingkan suatu anggapan yang
lain.
Pengertian Budaya Organisasi Menurut Adaptationist School
Defenisi budaya menurut Stanley Davis (1984), budaya perusahaan ialah
keyakinan dan nilai bersama yang memberikan makna bagi anggota sebuah
institusi dan menjadikan keyakinan dan nilai tersebut sebagai aturan/pedoman
berperilaku dalam organisasi. Defenisi tersebut menunjukkan bahwa istilah yang
Sebagai seorang konsultan yang banyak berhubungan langsung dengan
perusahaan, sangat wajar jika Davis lebih suka menggunakan istilah budaya
perusahaan meski objek yang dikaji sama yakni budaya yang berkembang
didalam organisasi/perusahaan. Sama seperti Davis, Charles Hamdten-Turner
(1994) menggunakan istilah budaya perusahaan dan mendefenisikannya sebagai “
budaya perusahaan adalah pandangan hidup, cara pandang sebagai cara dasar
untuk bertindak, mengungkapkan perasaan dan berpikir jyang semuanya itu
merupakan hasil pembelajaran sekelompok orang yang tidak disebabkan karena
faktor keturunan “. Sedangkan Deal dan Kennedy (1998) secara sederhana
mengatakan bahwa budaya organisasi adalah cara kita melakukan sesuatu di
lingkungan organisasi ini.
Ketiga defenisi tersebut yang mewakili adaptationist school lebih
menekankan pada pentingnya memahami budaya dari aspek perilaku manusia
(behavior). Mereka mengakui bahwa keyakinan dan tata nilai adalah inti sebuah
budaya, namun mereka juga mengakui bahwa keduanya (keyakinan dan tata nilai)
lebih merupakan sumber inspirasi yang wujud kongkritnya akan tercermin dari
kejelasan, konsistensi, dan konsensus perilaku masing-masing individu dalam
organisasi. Pandangan tentang budaya semacam ini, yang tidak lain merujuk pada
konsep budaya seperti yang dikemukakan Ruth Benedict (1934) pada umumnya
dianut oleh para manajer dan praktisi bisnis yang mengelola organisasi
berorientasi laba. Penyebabnya tidak lain karena para manajer cendrung lebih
pragmatis dalam memahami budaya dan lebih memperdulikan hal-hal praktis
yang diperkirakan secara langsung berhubungan dengan kinerja perusahaan. Itulah
yang kasat mata yang mudah di manag, sedangkan aspek budaya yang lebih soft
dan susah di manag diperlakukan sebagai simbol yang jarang dijamah.
Pengertian Budaya Organisasi Menurut Realist School
Pengertian budaya yang bisa dikatakan menggabungkan ideational school
dan Adaptationist School diberikan oleh Edgar Schein sebagai berikut, “ budaya
organisasi adalah pola asumsi dasar yang di shared oleh sekelompok orang
setelah sebelumnya mereka mempelajari dan meyakini kebenaran pola asumsi
tersebut sebagai cara untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang berkaitan
dengan adaptasi eksternal dan integrasi internal, sehingga pola asmusi dasar
tersebut perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar
untuk berpersepsi, berpikir, dan mengungkapkan perasaannya dalam kaitannya
dengan persoalan-persoalan organisasi.
Seperti halnya Schein, Ogbonna dan Harris (1998) juga masuk kedalam
kelompok tengah antara ideational school dan adaptationist school. Dalam bahasa
mereka, Ogbonna dan Harris menyebut dirinya kelompok realist. Mereka
mendefenisikan budaya organisasi sebagai keyakinan, tata nilai, makna dan
asumsi-asumsi yang secara kolektif di shared oleh sebuah kelompok sosial guna
membantu mempertegas cara mereka saling berinteraksi dan mempertegas mereka
dalam merespon lingkungan.
Kedua defenisi diatas menegaskan bahwa budaya organisasi dalam
pandangan Edgar Schein dan Ogbonna dan Harris merupakan satu kesatuan yang
tidak bisa dipisahkan antara elemen yang bersifat idealistik dan behavioral.
asumsi dasar, demikian juga sangat keliru jika memahami budaya hanya dari
perilaku manusia. Secara bersama-sama kedua elemen tersebut harus dipahami
sebagai unsur pembentuk budaya.
Elemen Budaya Organisasi
Secara umum terdapat 2 elemen budaya organisasasi yaitu elemen yang
bersifat idealistik dan elemen yang bersifat behavioral, berikut pemaparannya:
a) Elemen yang idealistik
Dikatakan idealistik karena elemen ini menjadi ideoloigi organisasi
yang tidak mudah berubah walaupun disisi lain organisasi secara natural
harus selalu berubah dan beradaptasi dengan lingkungannya. Elemen ini
juga bersifat terselubung, tidak tampak kepermukaan dan hanya
orang-orang tertentu saja (biasanya elit organisasi) yang tahu apa sesungguhnya
ideologi mereka dan mengapa organisasi itu didirikan.
Bagi organisasi yang baru berdiri dan masih relatif kecil dimana
seorang pemilik atau pendiri biasanya menjadi penguasa tunggal dan
sekaligus juga merangkap sebagai manajer dan pegawai, elemen yang
idealistik itu umumnya tidak tertulis. Sebaliknya elemen tersebut melekat
pada diri pendiri atau pemilik dalam bentuk doktrin, falsafah hidup atau
nilai-nilai individual para pendiri atau pemilik organisasi. Itulah sebabnya
organisasi yang masih kecil, figur pendiri atau pemilik organisasi sangat
sentral dan menentukan. Hidup matinya organisasi dan keberhasilan
organisasi di masa datang bergantung pada karakter, insiatif dan semangat
menjadi pengikut yang menjalankan aktivitas sesuai dengan jalan pikiran
pemilik organisasi.
Berbeda dengan organisasi yang relatif masih kecil, bagi organisasi
yang sudah cukup lama berdiri dan sudah cukup besar, para pendiri
organisasi biasanya tidak lagi terlibat secara langsung dalam kegiatan
sehari-hari organisasi. Namun bukan berarti ketidak terlibatan para pendiri
atau pemilik organisasi menyebabkan organisasi kehilangan ideologinya.
Ideologi organisasi berupa doktrin, falsaha, dan nilai-nilai organisasi yang
jauh dibangun sebelumnya oleh para pendiri dalam batas-batas tertentu
akan tetap dipertahankan oleh para generasi penerus organisasi. Hal
tersebut biasanya dinyatakan secara formal dalam anggaran dasar
organisasi dan visi misi organisasi. Memang tidak jarang generasi penerus
memodifikasi atau paling tidak menginterpretasi ulang ideologi lama
dengan bahasa yang lebih cocok dengan situasi lingkungan berjalan.
Meski demikian substansi dari ideologi lama biasanya masih tetap
dipertahankan.
Stanley Davis (1984) mengungkapkan bahwa elemen yang
idealistik ini sebagai keyakinan yang menjadi penuntun kehidupan
sehari-hari sebuah organisasi. Sementara itu Schein dan Rousseau (1990)
mengatakan bahwa elemen yang idealistik tidak hanya terdiri dari
nilai-nilai organisasi tetapi masih ada komponen-komponen yang lebih esensial
yakni asumsi dasar, yang bersifat diterima apa adanya dan dilakukan
diluar kesadaran. Meski masing-masing teoritis organisasi mempunyai
mereka pada dasarnya sepakat bahwa elemen yang bersifat idealistik ini
merupakan ruh nya organisasi, karena itulah karateristik organisasi sangat
bergantung pada elemen ini. Itulah sebabnya elemen ini sering disebut
sebagai ruh nya budaya organisasi dan karena ini pula budaya organisasi
sering juga disebut ruh nya organisasi.
Schein (dalam Rollinson, 2005) menambahkan bahwa ada 2 aspek
dalam elemen idealistik ini, yaitu :
1) Asumsi dasar, merupakan keyakinan mendasar yang
dianggap benar oleh sebagian besar anggota kelompok dan
disetujui oleh mereka secara tidak sadar.
2) Nilai dan keyakinan, merupakan alasan atau pertimbangan
bagi anggota kelompok atas tindakan yang mereka lakukan.
Nilai dan keyakinan secara sadar dipegang dan merupakan
sandi moral dan etik ysng menuntun perilaku dengan cara
menempatkan asumsi dasar kedalam bentuk praktis.
b) Elemen Behavioral
Elemen yang bersifat behavioral adalah elemen yang kasat mata,
muncul ke permukaan dalam bentuk perilaku sehari-hari para
anggotanya dan bentuk-bentuk lain seperti desain dan arsitektur
organisasi. Bagi orang luar organisasi, elemen ini sering dianggap
sebagai representasi dari budaya sebuah organisasi sebab elemen
ini mudah diamati, dipahami, dan diirprentasikan meski
interpretasinya kadang-kadang tidak sama dengan interpretasi
ketika orang luar organisasi mencoba mengidentifikasikan dan
memahami budaya sebuah organisasi, cara paling mudah yang
mereka lakukan adalah dengan mengamati bagaimana para anggota
organisasi berperilakku dan kebiasaan-kebiasaan yang mereka
lakukan. Davis (1984) menyebutkan sebagai daily belief – praktik
sehari-hari organisasi. Dalam bahasa Hofstede (1997), kebiasaan
tersebut muncul dalam praktik-praktik manajemen, apakah sebuah
organisasi lebih berorientasi pada proses atau hasil, lebih peduli
pada kepentingan pekerjaan atau karyawan, lebih parochial atau
profesional, lebih terbuka atau tertutup dan lebih pragmatis atau
normatif. Sementara Schein (1990) dan Rousseau (1990)
berpendapat bahwa kebiasaan sehari-hari muncul dalam bentuk
artefak termasuk didalamnya adalah perilaku para anggota
organisasi. Artefak bisa berupa bentuk/arsitektur bangunan, logo
atau jargon, cara berkomunikasi, cara berpakaian atau cara
bertindak yang bisa dipahami oleh orang luar organisasi.
Lebih ringkasnya, Schein (Rollinson, 2005) menerangkan ada 6 hal
utama dalam elemen behavioral ini, yaitu :
1) Norma, merupakan seperangkat kode perilaku yang didasari
oleh asumsi, nilai dan terus menerus diabadikan ketika anggota
kelompok menyaksikan norma tersebut.
2) Bahasa, keberadaan bahasa yang di gunakan oleh anggota
kelompok dapat menjadi indikasi yang sangat bernilai dari
bawahan dan sebaliknya dapat menunjukkan informasi
mengenai nilai status, jargon, dan kata kunci yang sering
digunakan untuk menandakan siapa yang diterima dan siapa
yang tidak dalam organisasi tersebut.
3) Simbol, dapat mengkomunikasikan posisi sosial dan tingkatan
sosial dalam struktur. Kedudukan tersebut dapat menjadi
indikasi seberapa penting posisi tersebut dalam mengatur
kebijakan.
4) Ritual dan seremoni, baik formal maupun informal biasanya
cukup sering dilakukan di dalam kebanyakan organisasi dan
seringkali memiliki makna yang penting bagi anggota kelompok
yang terlibat di dalamnya.
5) Mitos dan cerita, merupakan cara yang sering digunakan untuk
mengkomunikasikan nilai dan asumsi dasar kepada orang lain.
6) Taboo, merupakan penanda atas apa yang tidak boleh dilakukan
dan sebaiknya dihindari dalam organisasi tersebut.
Keith Davis dan Jhon W. Newstorm (1989) mengemukakan bahwa
”Budaya organisasi adalah kesatuan dari asumsi, kepercayaan, nilai, dan
norma-norma yang di bagi bersama para anggota organisasi”. Lebih lanjut Jhon R.
Scermerhorn dan James G. Hunt (1991) mengemukakan bahwa ”Budaya
organisasi adalah suatu sistem kepercayaan bersama dan nilai yang dibangun
suatu organisasi dan membentuk kepercayaan dari anggotanya”. Sedangkan Edgar
H. Schein (1992) berpendapatan bahwa: “Budaya organisasi adalah pola asumsi
didalamnya mereka belajar untuk memecahkan masalah eksternal maupun
internal, dan hal tersebut dapat di pelajari oleh anggota baru bagaimana cara
organisasi tersebut berpersepsi, berpikir dan mendapatkan pemecahan masalah
bersama”. Berdasarkan pendapat itu dapat disimpulkan bahwa pengertian budaya
organisasi adalah seperangkat asumsi atau sistem keyakinan, nilai-nilai dan
norma yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman tingkah
laku bagi anggota-anggotanya untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan
integrasi internal.
Landasan dan Tujuan Penerapan Budaya Organisasi
Pelaksanaaan perusahaan di indonesia sangat memprihatinkan karena
masih banyak pimpinan dan manejer yang melupakan moral. Tampaknya, mereka
terpengaruh oleh budaya barat yang kapitalitas, mereka lupa bahwa bekerja itu
beribadah dan tanggung jawabnya tidak hanya di dunia saja, tetapi di akhirat
nanti. Begitu pula banyak pimpinan dan menejer yang hanya memperalat
karyawan dan mereka memperkaya dirinya sendiri. Tepatlah apa yang
dikemukakan oleh herman soewardi (1995) bahwa: “manusia yang melupakan
tuhannya akan menjadi manusia pelayan hawa nafsunya”, sedangkan menurut
ajaran agama islam, bahwa nafsu manusia harus dikendalikan”. Sebagaimana
hadist nabi muhammad saw bahwa:”orang dilarang berlebih-lebihan”. Begitu pula
dalam Al-quran (at-taubah: 41 dan 111). Dikemukakan bahwa:” fungsi harta
hanyalah sebagai alat saja dalam beribadah atau bekal untuk beribadah “.
Berdasarkan pendapat herman soewardi dan ajaran Al-quran maupun al hadist
Tujuan penerapan budaya organisasi adalah agar seluruh individu dalam
perusahaan atau organisasi mematuhi dan berpedoman pada sistem nilai
keyakinan dan norma-norma yang berlaku dalam perusahaan atau organisasi
tersebut.
Pelaksanaan dan Fungsi Budaya Organisasi
Fred luthans (1989) berpendapat bahwa: “organizitional culture has a
member of important characteristics. Some of the most readly agreed upon are the
following: observed behavioral regularities, norms, dominant values, philosophy,
rules, and organizitional cilmate”.
Stephen P. Robbins (1992: 253) mengemukakan sebagai berikut: “there
apear to be ten characteristics that when mixed and matched, expose the essence
of an organization culture: individual initiative, risk tolerance, direction,
integration, manegement support, control, indentevity, reward system, conflict
tolerance, and communication petterns”.
Berdasarkan pendapatan Fred Luthans dan Stephen P. Robbins dapat
dikemukakan bahwa pelaksanaan budaya organisasi dapat dikaji dari karakteristik
budaya organisasi yaitu:
1. Perilaku individu yang tampak
2. Norma-norma yang beralku dalam organisasi
3. Nilai-nilai yang dominan dalam kehidupan organisasi.
4. Falsafah manajemen.
5. Peraturan-peraturan yang berlaku.
7. Inisiatif individu organisasi.
8. Tolaransi terhadap risiko.
9. Pengarahan pimpinan (manajemen).
10.Integrasi kerja.
11.Dukungan manajemen (pimpinan dan manajer).
12.Pengawasan kerja.
13.Identitas individu organisasi.
14.Sistem penghargaan terhadap prestasi kerja.
15.Toleransi terhadap konflik.
16.Pola komunikasi kerja.
Fungsi budaya organisasi dapat membantu mengatasi masalah adaptasi
eksternal dan integrasi koperasi. Hal ini sesuai dengan pendapat John R.
Schermerhorn dan James G. Hunt (1991) bahwa: “the culture of an organization
can help it deal with problems of both esternal adaption and internal integration”.
Permasalahan yang berhubungan dengan adaptasi eksternal dapat
dilakukan melalui pengembangan tentang strategi dan misi koperasi, tujuan utama
organisasi dan pengukuran kinerja. Sedangkan permasalahan yang berhubungan
dengan integrasi internal dapat dilakukan antara lain komunikasi, kriteria
karyawan, penentuan standar bagi insentif (reward) dan sanksi (punishment) serta
melakukan pengawasan (pengendalian) internal organisasi.
Budaya organisasi dapat didefenisikan sebagai perangkat sistem nilai-nilai,
keyakinan-keyakinan, asumsi-asumsi, atau norma-norma yang telah lama berlaku,
pedoman perilaku dan pemecahan masalah-masalah organisasinya. Dalam budaya
organisasi terjadi sosialisasi nilai-nilai dan menginternalisasi dalam diri para
anggota, menjiwai orang per orang didalam organisasi. Dengan demikian maka
Kilmann dkk (1988) berpendapat bahwa budaya organisasi merupakan jiwa
organisasi dan jiwa para anggota organisasi. Budaya organisasi yang kuat
mendukung tujuan tujuan perusahaaan, sebaliknya yang lemah atau negatif
menghambat atau bertentangan dengan tujuan-tujuan organisasi. Budaya yang
kuat dan positif sangat berpengaruh terhadap perilaku dan efektivitas kinerja
organisasi sebagaimana dinyatakan oleh Deal & Kennedy (1982), Miner (1990),
Robbins (1990), karena menimbulkan antara lain sebagai berikut:
1. Nilai-nilai kunci yang saling menjalin, tersosialisasikan,
menginternalisasi, menjiwai para anggota, dan merupakan kekuatan
yang tidak tampak;
2. Perilaku-perilaku orang-orang didalam organisasi secara tidak disadari
terkendali dan terkoordinasi oleh kekuatan yang informal atau tidak
tampak;
3. Para anggota merasa loyal dan komit pada organisasi;
4. Adanya musyawarah dan kebersamaan dalam hal-hal yang berarti
sebagai bentuk partisipasi, pengakuan, dan penghormatan terhadap
anggota;
5. Semua kegiatan berorientasi atau diarahkan pada misi ataupun tujuan
organisasi;
6. Para anggota merasa senang, karena diakui dan dihargai martabat dan
7. Adanya koordinasi, integrasi, dan konsistensi yang menstabilkan
kegiatan-kegiatan organisasi;
8. Berpengaruh kuat terhadap organisasi dalam tiga aspek: pengarahan
perilaku dan kinerja organisasi, penyebarannya pada anggota
organisasi, dan kekuatannya, yaitu menekan para anggota untuk
melaksanakan nilai-nilai budaya.
9. Budaya berpengaruh terhadap perilaku individual maupun kelompok.
Fungsi Budaya Organisasi
Menurut Robbins (2001), budaya organisasi memiliki beberapa fungsi,
diantaranya:
c) Budaya mempunyai suatu peran pembeda. Hal itu berarti bahwa budaya
kerja menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dengan
yang lain.
d) Budaya organisasi membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota
organisasi.
e) Budaya organisasi mempermudah timbul pertumbuhan komitmen pada
sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri individual.
f) Budaya organisasi itu meningkatkan kemantapan sistem sosial.
Dalam hubungan nya dengan segi sosial Gordon (1991) berpendapat
bahwa, budaya berfungsi sebagai perekat sosial yang membantu mempersatukan
organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk apa yang
sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk
sikap serta perilaku para anggota.
Budaya organisasi yang kohesi atau efektif tercermin pada kepercayaan,
keterbukaan komunikasi, kepemimpinan yang mendapat masukan, dan didukung
oleh bawahan, pemecahan masalah oleh kelompok, kemandirian kerja, dan
pertukaran informasi (Anderson dan Kryprianou, 1994). Nelson dan Quick (1997)
mengemukakan perasaan identitas dan menambah komitmen organisasi, alat
pengorganisasian anggota, menguatkan nilai-nilai dalam organisasi dan
mekanisme kontrol dalam perilaku.
Budaya yang kuat meletakkan kepercayaan-kepercayaan, tingkah laku, dan
cara melakukan sesuatu tanpa perlu dipertanyakan lagi, oleh karena itu berakar
dalam tradisi, budaya mencerminkan apa yang dilakukan, dan bukan apa yang
akan berlaku (Pastin, 1986). Sehingga, fungsi budaya organisasi, adalah sebagai
perekat sosial dalam mempersatukan anggota-anggota dalam mencapai tujuan
organisasi berupa ketentuan-ketentuan dan nilai-nilai yang harus dikatakan dan
dilakukan oleh para anggota. Hal ini dapat berfungsi pula sebagai kontrol atas
perilaku anggota dan pembeda antar anggota organisasi.
Manfaat Budaya Organisasi
Beberapa manfaat budaya organisasi yang dikemukakan oleh Robins
(1993), sebagai berikut:
1. Membatasi peran yang membedakan antara organisasi yang satu dengan
sehingga perlu memiliki akar budaya yang kuat dalam sistem dan kegiatan
yang ada dalam organisasi.
2. Menimbulkan rasa memiliki identitas bagi para anggota organisasi. Dalam
budaya organisasi yang kuat, anggota organisasi akan merasa memiliki
identitas yang merupakan ciri khas organisasi.
3. Mementingkan tujuan bersama daripada mengutamakan kepentingan
individu.
4. Menjaga stabilitas organisasi. Kesatuan komponen-komponen organisasi
yang direkatkan oleh pemahaman budaya yang sama akan membuat
kondisi organisasi relatif stabil.
Keempat manfaat tersebut menunjukkan bahwa budaya organisasi dapat
membentuk perilaku dan tindakan anggota dalam menjalankan aktivitasnya
didalam organisasi, sehingga nilai-nilai yang ada dalam budaya organisasi perlu
ditanamkan sejak dini ‘pada setiap individu organisasi.
Kesimpulan
Budaya organisasi merupakan suatu kekuatan sosial yang tidak tampak,
yang dapat menggerakkan orang-orang dalam suatu organisasi untuk melakukan
aktivitas organisasi. Secara tidak sadar tiap-tiap orang di dalam suatu organisasi
mempelajari budaya yang berlaku dalam organisasinya. Apalagi bila ia sebagai
orang yang baru supaya dapat diterima oleh lingkungan organisasinya, ia berusaha
mempelajari apa yang dilarang dan apa yang diwajibkan, apa yang baik dan apa
dan tidak harus dilakukan didalam organisasi tersebut, jadi budaya organisasi
mensosialisasikan dan menginternalisasi pada para anggota organisasi.
Budaya organisasi yang kuat mendukung tujuan tujuan perusahaaan,
sebaliknya yang lemah atau negatif menghambat atau bertentangan dengan
tujuan-tujuan organisasi. Budaya organisasi yang benar-benar dikelola sebagai alat
manajemen akan berpengaruh dan menjadi pendorong bagi anggota untuk
berperilaku positif, dedikatif dan produktif. Nilai-nilai budaya itu tidak tampak,
tetapi merupakan kekuatan yang mendorong perilaku untuk mencapai tujuan, visi
dan misi organisasi.
2.2. BSA Owner Motorcycle Siantar (BOM’S)
Becak BSA merupakan alat transportasi yang hanya dapat kita temui dan
khas kota Pematangsiantar, mengingat keberadaannya yang sudah ada sejak awal
tahun 1960 di Pematangsiantar. Situasi ini harusnya dapat menjadi nilai positif
bagi para penarik becak BSA dengan nilai jual sejarah dan keunikan motor
bermesin besarnya, namun kini para penarik becak BSA mengalami kesulitan
dalam pemenuhan kebutuhan sehari-harinya dan berpeluang menimbulkan efek
negatif di masyarakat, kriminalitas misalnya.
Keberadaan Becak Siantar telah melegenda di Sumatera Utara, Indonesia,
bahkan dunia. Hal tersebut dikarenakan Pematangsiantar merupakan satu-satunya
kota di dunia yang menggunakan sepeda motor gede merk BSA secara massal.
Perjalanan waktu sejak zaman penjajahan telah membuktikan kehandalan dan
ketangguhan mesin sepeda motor BSA melewati rute naik turun, ciri tipologi kota
Becak Siantar unik karena digerakkan oleh mesin sepeda motor merek
BSA (Birmingham Small Arm) buatan kota Birmingham, Inggris, yang kini tidak
ada lagi pabriknya dan sudah tidak di produksi. Umumnya sepeda motor BSA
yang digunakan tipe M 20 buatan tahun 1938 – 1948 berkapasitas mesin 500 cc,
dan tipe ZB 31 buatan tahun 1950 – 1956 berkapasitas mesin 350 cc.
BSA dan becaknya sudah menjadi public domain/ milik masyarakat kota
Pematangsiantar, hal ini dikarenakan keberadaan becak Siantar yang sudah
berpuluh-puluh tahun beroperasi di kota Pematangsiantar sehingga menjadi ciri
khas dari kota Pematangsiantar.
Menarik untuk diketahui, pada medio Mei 2006 Becak BSA sudah mau di
bumi hanguskan diganti dengan becak motor bermesin Jepang oleh oknum DPRD
kota Pematangsiantar beserta aparat terkait. Hal ini ditentang oleh masyarakat
kota Pematangsiantar baik abang becak BSA, tokoh agama, pemuda dan elemen
masyarakat lainnya, namun hal itu tidak dihiraukan semua dianggap angin lalu.
Dalam situasi atmosfir konfrontasi ditengah pesimistis masyarakat Siantar untuk
mempertahankan becak BSA, lahirlah organisasi BOM’S (BSA Owner
Motorcycle’ Siantar) sebagai jawaban. Terdiri dari para bikers dan abang-abang
becak BSA, bersatu padu menentang keras kebijakan penghapusan tersebut dan
menuntut agar segera menghentikan keinginan barbar penguasa menghilangkan
bukti bisu sejarah kota Siantar (Becak BSA), akhirnya keputusan penghapusan itu
gagal total dan dapat dihentikan oleh organisasi BOM’S, melalui perjuangan
panjang yang tak kenal lelah dengan tekad “ Maju bersama sampai tetes darah