TESIS
PENGGUNAAN MALTODEKSTRIN HASIL HIDROLISIS
PATI PISANG PADA FORMULASI SEDIAAN
ORALLY DISINTEGRATING TABLET (ODT)
OLEH:
MINDA SARI LUBIS
NIM 087014002
PROGRAM STUDI MAGISTER DAN DOKTOR ILMU FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Medan
PENGGUNAAN MALTODEKSTRIN HASIL HIDROLISIS
PATI PISANG PADA FORMULASI SEDIAAN
ORALLY DISINTEGRATING TABLET (ODT)
TESIS
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Ilmu Farmasi Pada Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara
OLEH:
MINDA SARI LUBIS
NIM 087014002
PROGRAM STUDI MAGISTER DAN DOKTOR ILMU FARMASI
FAKULTAS FARMASI
PERSETUJUAN TESIS
Nama Mahasiswa : Minda Sari Lubis No. Induk Mahasiswa : 087014002
Program Studi : Magister Farmasi
Judul Tesis : Penggunaan Maltodekstrin Hasil Hidrolisis Pati Pisang pada Formulasi Sediaan Orally
Disintegrating Tablet (ODT)
Medan, September 2011
Menyetujui:
Komisi Pembimbing,
Ketua,
Prof. Dr. Karsono, Apt. NIP 195409091982011001
Anggota,
Dr. M. Pandapotan Nasution, MPS., Apt. NIP 194908111976031001
Ketua Program Studi, Dekan,
PENGESAHAN TESIS
Nama Mahasiswa : Minda Sari Lubis No. Induk Mahasiswa : 087014002
Program Studi : Magister Farmasi
Judul Tesis : Penggunaan Maltodekstrin Hasil Hidrolisis Pati Pisang pada Formulasi Sediaan Orally
Disintegrating Tablet (ODT)
Telah di uji dan dinyatakan LULUS di depan Tim Penguji Tesis pada hari Kamis tanggal empat bulan Agustus tahun dua ribu sebelas
Mengesahkan:
Tim Penguji Tesis
Ketua Tim Penguji : Prof. Dr. Karsono, Apt.
Anggota Tim Penguji : 1. Dr. M. Pandapotan Nasution, MPS., Apt. 2. Prof. Dr. Urip Harahap, Apt.
3. Prof. Dr. M. Timbul Simanjuntak, M.Sc., Apt.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur khadirat Allah SWT atas segala nikmat yang tak terhingga sehingga penulis bisa menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis dengan judul Penggunaan Maltodekstrin Hasil Hidrolisis Pati Pisang pada Formulasi Sediaan
Orally Disintegrating Tablet (ODT) sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Sains pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Shalawat dan salam kepada Rasullullah SAW.
Selama menyelesaikan penelitian dan tesis ini penulis telah banyak mendapatkan bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, baik moril maupun materil. Untuk itu penulis ingin menghaturkan penghargaan dan terima kasih yang tiada terhingga kepada :
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H., M.Sc., (CTM)., Sp.A(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Magister.
2. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., yang telah menyediakan fasilitas dan kesempatan bagi penulis menjadi mahasiswa Program Studi Magister Farmasi Fakultas Farmasi.
3. Ketua Program Studi Magister Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Karsono, Apt., dan juga selaku Pembimbing I yang tiada hentinya memberikan dorongan dan semangat sehingga penulis terpacu untuk menyelesaikan pendidikan Program Magister Farmasi.
4. Bapak Dr. M. Pandapotan Nasution, MPS., Apt., selaku Pembimbing II yang telah membimbing, mengarahkan, memberi saran, dan dorongan dengan penuh kesabaran selama penulis menjalani pendidikan, penelitian dan penyelesaian tesis ini.
5. Bapak Prof. Urip Harahap, Apt. dan Bapak Prof. Dr. Timbul Simanjuntak, M.Sc., Apt., sebagai penguji.
7. Bapak Prof. Dr. rer. nat. Effendy De Lux Putra, Apt., Kepala Laboratorium Penelitian beserta staf.
Serta buat semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah banyak membantu dalam penelitian tesis ini. Kiranya Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda atas kebaikan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun.Akhir kata semoga tulisan ini dapat menjadi sumbangan yang berarti bagi ilmu pengetahuan khususnya bidang farmasi.
Medan, September 2011 Penulis
PENGGUNAAN MALTODEKSTRIN HASIL HIDROLISIS
PATI PISANG PADA FORMULASI SEDIAAN ORALLY
DISINTEGRATING TABLET (ODT)
Abstrak
Maltodekstrin merupakan salah satu turunan pati yang dihasilkan dari proses hidrolisis parsial oleh enzim α-amilase yang memiliki nilai Dextrose Equivalent (DE) kurang dari 20. Aplikasi maltodekstrin telah banyak pada industri makanan dan industri farmasi. Untuk meningkatkan penggunaan maltodekstrin, maka penelitian ini mencoba penggunaan maltodekstrin sebagai disintegrant pada sediaan Orally Disintegrating Tablet (ODT). ODT atau tablet hancur di mulut merupakan salah satu sediaan obat yang paling berguna untuk pasien geriatrik dan pediatrik yang mengalami kesulitan dalam menelan tablet atau kapsul konvensional. Kriteria utama dari ODT adalah cepat larut atau cepat hancur di dalam rongga mulut dengan bantuan air liur dalam waktu 15 sampai 60 detik. Metoklopramida dipilih sebagai model obat untuk Orally Disintegrating Tablet di mana memberikan keuntungan pada pasien-pasien tertentu.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fungsi maltodekstrin yang dihasilkan melalui proses hidrolisis pati pisang dengan enzim α-amilase sebagai
disintegrant pada sediaan ODT, mengetahui pengaruh variasi jumlah maltodekstrin terhadap karakteristik ODT, mengetahui disolusi dari ODT dan tablet metoklorpramida dalam rangka evaluasi maltodekstrin sebagai disintegrant. Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi pembuatan pati pisang dan analisis karakteristik pati pisang, pembuatan maltodekstrin dan analisis karakteristik maltodekstrin, selanjutnya maltodekstrin diformulasikan menjadi sediaan ODT.
Hasil analisis karakterisasi maltodekstrin menunjukkan rendemen 36,42%, mikroskopik berupa granul tunggal, tidak ditemukan partikel granul pati yang utuh seperti tidak adanya hilus dan lamella, solubility 42,7%, swelling power
11,43%, identifikasi maltodekstrin memberikan endapan merah bata dengan larutan Fehling dan memiliki nilai DE maksimal 17,18 serta analisis spektofotometri inframerah yang mempunyai pola puncak yang sama dengan maltodekstrin komersil. Organoleptis berupa serbuk bewarna agak kekuningan, tidak berasa dan tidak berbau. Kadar air dan kadar abu maltodekstrin sebesar 7,35% dan 0,71%, sudut diam 35,3o dengan waktu alir 12,9 detik dan Indeks kompresibilitas 19 %.
Hasil evaluasi tablet dari 5 formula ODT yang diteliti, menunjukkan ODT dengan maltodekstrin 15% (ODT4) memberikan waktu hancur in vitro yang paling cepat yaitu sebesar 22,2 detik. Kadar obat rata-rata dari ODT4 sebesar 102,06%, keseragaman kandungan rata-rata sebesar 102,93%, waktu pembasahan rata-rata sebesar 42,095 detik, waktu hancur in vivo rata-rata berkisar antara 55,38 detik sampai 75,72 detik. Selain itu, disolusi dari ODT4 dan tablet metoklopramida menunjukkan perbedaan yang signifikan secara statistik (p < 0,05).
THE USE OF MALTODEXTRIN OF BANANA STARCH IN
THE FORMULATION OF ORALLY DISINTEGRATING
TABLET
AbstractMaltodextrin is a starch derivative resulting from the partial hydrolysis by α-amylase enzyme which has a Dextrose Equivalent (DE) value of less than 20. Maltodextrin has many applications in food and pharmaceutical industries. To increase the use of maltodextrin, the study sought to use maltodextrin as the disintegrant in Orally Disintegrating Tablet (ODT). ODT or crushed tablets in the mouth is one of the most useful drug dosage to geriatric and pediatric patients who have difficulty in swallowing conventional tablets or capsules. The main criteria of the ODT is a fast dissolve or rapidly disintegrated in the oral cavity with the help of saliva within 15 to 60 seconds. Metoklopramida chosen as a model drug, which is a drug candidate for Orally Disintegrating Tablet which provides advantages in certain patients.
The aims of this study is to determine the function of maltodextrin produced by the hydrolysis of banana starch with α-amylase enzyme as desintegrant in ODT, to determine the effect of variation the amount of maltodextrin in ODT characteristics, to determine the dissolution of ODT and metoclorpramide tablets in order to evaluate maltodextrin as disintegrant. The method used in this study includes the making of banana starch and analysis of banana starch characteristic, the making of maltodekstrin and analysis of maltodekstrin characteristic, and then the maltodekstrin was formulated to become ODT.
Results analysis of the characterization of maltodextrin shows the yield 36.42%, microscopically is a single granule, not found the intact starch granule particle as such as lack of hilum and lamella, solubility 42.7%, swelling power 11.43%, the identification of maltodextrin provided brick red precipitate with Fehling solution and maximal DE value 17.18 and analysis of infrared spectrophotometry have a peak pattern similar to commercial maltodextrin. Organoleptic yellowish powder, tasteless and odorless. Maltodextrin has moisture content and ash content 7.35% and 0.71%, the angle of repose 35.3 with flow o rate 12.9 seconds and compressibility index 19%.
Results of the evaluation of tablets from 5 ODT formulas, showed the ODT with 15% maltodextrin (ODT4) gave the fastest in vitro disintegration time of 22.2 seconds. The average drug content of the ODT4 102.06%, the uniformity of content of average 102.93%, the average wetting time 42.095 seconds, the in vivo disintegration time average ranged from 55.38 seconds up to 75.72 seconds. In addition, dissolution of ODT4 and metoclopramide tablets showed that statistically there was a significant difference (p < 0.05).
DAFTAR ISI
2.5 Orally Disintegrating Tablet... 25
2.5.1 Karakteristik Ideal ODT... 26
2.5.2 Kelebihan dan Kekurangan Formulasi ODT ... 27
BAB III METODE PENELITIAN ... 30
3.1 Desain Penelitian ... 30
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 30
3.3 Alat dan Bahan ... 31
3.3.1 Alat-alat yang digunakan ... 31
3.3.2 Bahan-bahan yang digunakan... 31
3.5.4 Pembuatan Maltodekstrin... 37
3.5.5 Karakteristik Maltodekstrin ... 38
3.5.3.1 Rendemen ... 38
3.5.5.5.5 Analisis Spektrofotometri Infra Merah ... 40
3.5.5.11 Indeks Kompresibilitas ... 43
3.5.6 Pembuatan ODT Metoklopramida ... 43
3.5.7 Uji Preformulasi tiap Formula ... 44
3.5.7.1 Sudut Diam ... 44
3.5.7.2 Penetapan Waktu Alir ... 45
3.5.7.3 Penetapan Indeks Kompresibilitas ... 45
3.5.8 Evaluasi Tablet terhadap Berbagai Formula ... 45
3.5.8.1 Uji Friabilitas ... 45
3.5.8.2 Uji Kekerasan ... 46
3.5.8.3 Uji Waktu Hancur In Vitro ... 46
3.5.9.1.1 Pembuatan Larutan Baku
Induk Metoklorpramida HCl ... 46
3.5.9.1.2 Pembuatan Kurva Serapan ... 47
3.5.9.1.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi ... 47
3.5.9.1.4 Penetapan Kadar Metoklopramida dalam ODT... 47
3.5.9.2 Uji Keseragaman Sediaan ... 48
3.5.9.3 Uji Waktu Pembasahan ... 48
3.5.9.4 Uji Waktu Hancur In Vivo ... 49
3.5.9.4 Uji Profil Pelepasan Bahan Obat (Disolusi). 49 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 51
4.1 Hasil Pemeriksaan Pati Pisang ... 51
4.2 Hasil Pemeriksaan Maltodekstrin ... 55
4.2.1 Pembuatan Maltodekstrin ... 55
4.2.2 Hasil Karakteristik Maltodekstrin ... 58
4.3 Pembuatan ODT Metoklorpramida ... 67
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1 Kriteria ODT Metoklorpramida yang diharapkan... 43
Tabel 3.2 Komposisi ODT Metoklorpramida... 44
Tabel 4.1 Hasil Karakterisasi pati pisang... 51
Tabel 4.2 Kondisi pembuatan maltodekstrin dari pati pisang... 57
Tabel 4.3 Hasil analisis terhadap karakterisasi maltodekstrin... 59
Tabel 4.4 Data hasil uji preformulasi massa serbuk... 67
Tabel 4.5 Hasil Evaluasi tablet... 70
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.1 Diagram yang menunjukkan kerangka konsep penelitian
pembuatan maltodekstrin sebagai desintegrant... 8
Gambar 1.2 Diagram yang menunjukkan kerangka konsep penelitian pembuatan Orally Desintegrating Tablet... 9
Gambar 2.1 Struktur Pati... 17
Gambar 2.2 Struktur Maltodekstrin... 23
Gambar 2.3 Struktur Metoklopramida... 28
Gambar 4.1 Bentuk mikroskopik pati pisang dengan perbesaran 400x.... 52
Gambar 4.2 Bentuk mikroskopik maltodekstrin pisang kepok dengan perbesaran 400 x... 61
Gambar 4.3 Bentuk mikroskopik maltodekstrin komersil dengan perbesaran 400 x... 61
Gambar 4.4 Spektrum FT-IR maltodekstrin pisang kepok ... 64
Gambar 4.5 Spektrum FT-IR maltodekstrin komersil... 64
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Sertifikat Analisis Maltodekstrin... 84
Lampiran 2 Sertifikat Analisis Metoklopramida Hidroklorida... 85
Lampiran 3 Pisang Kepok………... 86
Lampiran 4 Bagan pembuatan pati pisang kepok... 87
Lampiran 5 Gambar pembuatan pati pisang kepok... 88
Lampiran 6 Data hasil rendemen pati pisang... 90
Lampiran 7 Data hasil % solubility pati pisang... 91
Lampiran 8 Data hasil swelling power pati pisang... 92
Lampiran 9 Data hasil kadar abu pati pisang...93
Lampiran 10 Data hasil kadar air pati pisang...94
Lampiran 11 Bagan pembuatan maltodekstrin...95
Lampiran 12 Gambar proses pembuatan maltodekstrin... 96
Lampiran 13 Data hasil rendemen maltodekstrin... 97
Lampiran 14 Data hasil % solubility maltodekstrin...98
Lampiran 15 Data hasil swelling power maltodekstrin...99
Lampiran 16 Data hasil kadar abu maltodekstrin...100
Lampiran 17 Data hasil kadar air maltodekstrin... 101
Lampiran 18 Data hasil Uji Dextrose Equivalent...102
Lampiran 19 Data hasil sudut diam dan waktu alir maltodekstrin...104
Lampiran 20 Data hasil indeks kompresibilitas maltodekstrin...105
Lampiran 21 Tablet ODT metoklopramida dengan berbagai konsentrasi maltodekstrinsebagaidisintegrant...106
Lampiran 22 Data hasil uji preformulasi ODT1... 107
Lampiran 23 Data hasil uji preformulasi ODT2... 108
Lampiran 24 Data hasil uji preformulasi ODT3... 109
Lampiran 25 Data hasil uji preformulasi ODT4... 110
Lampiran 26 Data hasil uji preformulasi ODT5... 111
Lampiran 27 Data hasil friabilitas ODT... 112
Lampiran 28 Data hasil kekerasan ODT... 113
Lampiran 30 Data hasil penentuan kurva serapan metoklopramida baku dalam
larutan HCL 0,1 N... 115
Lampiran 31 Data hasil penentuan kurva kalibrasi metoklopramida baku dalam larutan HCL 0,1 N...116
Lampiran 32 Data hasil penentuan kadar metoklopramida pada ODT4…117 Lampiran 33 Data hasil uji keseragaman sediaan ODT4... 119
Lampiran 34 Data hasil uji waktu pembasahan ODT4... 120
Lampiran 35 Gambar uji waktu pembasahan ODT4... 121
Lampiran 36 Data hasil uji waktu hancur in vivo ODT4... 122
Lampiran 37 Gambar uji waktu hancur in vivo ODT4... 124
Lampiran 38 Data hasil penentuan kurva serapan metoklopramida baku dalam air suling... 130
Lampiran 39 Data hasil penentuan kurva kalibrasi metoklopramida baku dalam air suling... 131
Lampiran 40 Data hasil uji disolusi ODT4...132
Lampiran 41 Data hasil uji waktu hancur in vitro terhadap ODT4 dan tablet metoklopramida... 138
Lampiran 42 Data hasil analisis t-test secara SPSS uji disolusi ODT4 dan tablet metoklopramida ...139
Lampiran 43 Spesifikasi enzim α-amilase...141
Lampiran 44 Hasil spektrum inframerah maltodekstrin pati pisang...142
Lampiran 45 Hasil spektrum inframerah maltodekstrin komersil...143
PENGGUNAAN MALTODEKSTRIN HASIL HIDROLISIS
PATI PISANG PADA FORMULASI SEDIAAN ORALLY
DISINTEGRATING TABLET (ODT)
Abstrak
Maltodekstrin merupakan salah satu turunan pati yang dihasilkan dari proses hidrolisis parsial oleh enzim α-amilase yang memiliki nilai Dextrose Equivalent (DE) kurang dari 20. Aplikasi maltodekstrin telah banyak pada industri makanan dan industri farmasi. Untuk meningkatkan penggunaan maltodekstrin, maka penelitian ini mencoba penggunaan maltodekstrin sebagai disintegrant pada sediaan Orally Disintegrating Tablet (ODT). ODT atau tablet hancur di mulut merupakan salah satu sediaan obat yang paling berguna untuk pasien geriatrik dan pediatrik yang mengalami kesulitan dalam menelan tablet atau kapsul konvensional. Kriteria utama dari ODT adalah cepat larut atau cepat hancur di dalam rongga mulut dengan bantuan air liur dalam waktu 15 sampai 60 detik. Metoklopramida dipilih sebagai model obat untuk Orally Disintegrating Tablet di mana memberikan keuntungan pada pasien-pasien tertentu.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fungsi maltodekstrin yang dihasilkan melalui proses hidrolisis pati pisang dengan enzim α-amilase sebagai
disintegrant pada sediaan ODT, mengetahui pengaruh variasi jumlah maltodekstrin terhadap karakteristik ODT, mengetahui disolusi dari ODT dan tablet metoklorpramida dalam rangka evaluasi maltodekstrin sebagai disintegrant. Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi pembuatan pati pisang dan analisis karakteristik pati pisang, pembuatan maltodekstrin dan analisis karakteristik maltodekstrin, selanjutnya maltodekstrin diformulasikan menjadi sediaan ODT.
Hasil analisis karakterisasi maltodekstrin menunjukkan rendemen 36,42%, mikroskopik berupa granul tunggal, tidak ditemukan partikel granul pati yang utuh seperti tidak adanya hilus dan lamella, solubility 42,7%, swelling power
11,43%, identifikasi maltodekstrin memberikan endapan merah bata dengan larutan Fehling dan memiliki nilai DE maksimal 17,18 serta analisis spektofotometri inframerah yang mempunyai pola puncak yang sama dengan maltodekstrin komersil. Organoleptis berupa serbuk bewarna agak kekuningan, tidak berasa dan tidak berbau. Kadar air dan kadar abu maltodekstrin sebesar 7,35% dan 0,71%, sudut diam 35,3o dengan waktu alir 12,9 detik dan Indeks kompresibilitas 19 %.
Hasil evaluasi tablet dari 5 formula ODT yang diteliti, menunjukkan ODT dengan maltodekstrin 15% (ODT4) memberikan waktu hancur in vitro yang paling cepat yaitu sebesar 22,2 detik. Kadar obat rata-rata dari ODT4 sebesar 102,06%, keseragaman kandungan rata-rata sebesar 102,93%, waktu pembasahan rata-rata sebesar 42,095 detik, waktu hancur in vivo rata-rata berkisar antara 55,38 detik sampai 75,72 detik. Selain itu, disolusi dari ODT4 dan tablet metoklopramida menunjukkan perbedaan yang signifikan secara statistik (p < 0,05).
THE USE OF MALTODEXTRIN OF BANANA STARCH IN
THE FORMULATION OF ORALLY DISINTEGRATING
TABLET
AbstractMaltodextrin is a starch derivative resulting from the partial hydrolysis by α-amylase enzyme which has a Dextrose Equivalent (DE) value of less than 20. Maltodextrin has many applications in food and pharmaceutical industries. To increase the use of maltodextrin, the study sought to use maltodextrin as the disintegrant in Orally Disintegrating Tablet (ODT). ODT or crushed tablets in the mouth is one of the most useful drug dosage to geriatric and pediatric patients who have difficulty in swallowing conventional tablets or capsules. The main criteria of the ODT is a fast dissolve or rapidly disintegrated in the oral cavity with the help of saliva within 15 to 60 seconds. Metoklopramida chosen as a model drug, which is a drug candidate for Orally Disintegrating Tablet which provides advantages in certain patients.
The aims of this study is to determine the function of maltodextrin produced by the hydrolysis of banana starch with α-amylase enzyme as desintegrant in ODT, to determine the effect of variation the amount of maltodextrin in ODT characteristics, to determine the dissolution of ODT and metoclorpramide tablets in order to evaluate maltodextrin as disintegrant. The method used in this study includes the making of banana starch and analysis of banana starch characteristic, the making of maltodekstrin and analysis of maltodekstrin characteristic, and then the maltodekstrin was formulated to become ODT.
Results analysis of the characterization of maltodextrin shows the yield 36.42%, microscopically is a single granule, not found the intact starch granule particle as such as lack of hilum and lamella, solubility 42.7%, swelling power 11.43%, the identification of maltodextrin provided brick red precipitate with Fehling solution and maximal DE value 17.18 and analysis of infrared spectrophotometry have a peak pattern similar to commercial maltodextrin. Organoleptic yellowish powder, tasteless and odorless. Maltodextrin has moisture content and ash content 7.35% and 0.71%, the angle of repose 35.3 with flow o rate 12.9 seconds and compressibility index 19%.
Results of the evaluation of tablets from 5 ODT formulas, showed the ODT with 15% maltodextrin (ODT4) gave the fastest in vitro disintegration time of 22.2 seconds. The average drug content of the ODT4 102.06%, the uniformity of content of average 102.93%, the average wetting time 42.095 seconds, the in vivo disintegration time average ranged from 55.38 seconds up to 75.72 seconds. In addition, dissolution of ODT4 and metoclopramide tablets showed that statistically there was a significant difference (p < 0.05).
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tumbuhan Pisang banyak terdapat di Indonesia dan dapat tumbuh dengan
baik di daerah tropis dan subtropis. Di Asia, Indonesia merupakan penghasil
pisang terbesar yaitu kira-kira 50% dari produksi pisang Asia. Pisang merupakan
buah-buahan terpenting di Indonesia, dengan jumlah produksi tertinggi diantara
buah-buahan yang ada (Prabawati, dkk., 2008). Pisang merupakan tumbuhan yang
tidak mengenal musim dan mudah berkembangbiak; hal tersebut menyebabkan
ketersediaan buah pisang di pasaran selalu melimpah. Kendala yang ada adalah
buah pisang memiliki waktu penyimpanan yang relatif singkat karena mempunyai
kadar air yang tinggi sehingga membuat buah pisang cepat busuk. Salah satu cara
untuk mengatasi kendala tersebut yakni untuk memperpanjang daya simpan serta
daya penggunaannya, buah pisang diolah menjadi berbagai produk seperti dalam
bentuk tepung pisang atau produk olahan lain.
Pengolahan buah pisang menjadi tepung merupakan salah satu alternatif.
Tepung buah pisang mengandung karbohidrat yang cukup tinggi yaitu 70% - 80%
(Prabawati, dkk., 2008), sehingga buah pisang cukup potensial dikembangkan
sebagai sumber pati.
Di Indonesia, kebanyakan industri pati mengandalkan satu jenis bahan
baku saja, yaitu singkong. Selama ini kurang ada usaha untuk mencari alternatif
pati selain singkong, umbi-umbian (umbi kimpul, kentang dan ganyong) dan
pati sehingga pasokan tidak terhalang jika terjadi gangguan penyediaan bahan
baku konvensional. Berdasarkan perihal tersebut, perlu diteliti sumber pati lain
dari bahan alam. Salah satunya adalah buah pisang. Pada penelitian ini buah
pisang yang digunakan adalah pisang kepok mentah. Menurut Bello, et al.,
(2002), kandungan pati yang terbesar terdapat pada buah-buahan yang belum
ranum, kandungan patinya mencapai 70% dari berat keringnya. Pada saat buah
menjadi ranum, maka sebagian pati akan diubah menjadi sukrosa sehingga kadar
patinya menurun. Pada waktu kadar pati menurun, kandungan sukrosa akan naik,
dan sukrosa yang terbentuk akan dipecah menjadi glukosa dan fruktosa (Winarno,
2002). Buah pisang kepok menghasilkan pati dengan warna lebih putih jika
dibandingkan dengan pati dari pisang ambon dan pisang siem yang menghasilkan
pati bewarna coklat kehitaman (Satuhu dan Supriyadi, 1999; Prabawati, dkk
2008). Pati pisang kepok memiliki sifat fisikokimia pati yang baik, sehingga buah
pisang kepok memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan sebagai
sumber pati sebagai bahan pangan maupun keperluan lain, misalnya sebagai
bahan tambahan dalam bidang farmasi, baik dalam bentuk pati asli ataupun dalam
bentuk hasil modifikasi.
Pati alami (belum dimodifikasi) mempunyai beberapa kelemahan pada
karakteristiknya yaitu tidak larut dalam air dingin, membutuhkan waktu yang
lama dalam pemasakan, pasta yang dihasilkan cukup keras, dan mempunyai
kestabilan yang rendah. Dengan berbagai kekurangan tadi, maka dikembangkan
berbagai modifikasi terhadap pati yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan
pasar (industri) yang berbeda-beda tersebut. Modifikasi pati dilakukan dengan
untuk merubah beberapa sifat yang diharapkan agar dapat memenuhi kebutuhan
tertentu. Pati termodifikasi banyak digunakan dalam bidang industri, misalnya
industri pangan, industri kertas dan industri farmasi. Dewasa ini metode yang
banyak digunakan untuk memodifikasi pati adalah dengan cara hidrolisis,
modifikasi pati secara kimia dan modifikasi pati secara fisika. Setiap metode
modifikasi pati menghasilkan pati termodifikasi dengan sifat yang berbeda-beda
(Anonim, 2006). Modifikasi pati secara hidrolisis dapat dilakukan dengan
penambahan asam atau enzim. Metode hidrolisis menggunakan asam memiliki
kelemahan diantaranya tidak ramah lingkungan, karena residu yang dihasilkan
dari proses hidrolisis asam akan mencemari lingkungan. Hidrolisis asam juga
bersifat toksik apabila terhirup dalam waktu yang lama sehingga terakumulasi
dalam tubuh dan menyebabkan berbagai penyakit. Proses hidrolisis menggunakan
katalis asam hanya menghidrolisis secara acak dan juga memerlukan suhu yang
sangat tinggi, yaitu 120oC – 160oC agar hidrolisis dapat terjadi. Berdasarkan
kelemahan tersebut proses hidrolisis pati menggunakan asam jarang digunakan.
Metode hidrolisis pati yang lebih sering digunakan adalah secara enzimatis
dengan menggunakan enzim. Enzim yang digunakan adalah amilase, seperti α
-amilase. α-amilase dapat menghidrolisis ikatan α-1,4-glikosida secara spesifik
(Assegaf, 2009). Pada penelitian ini, dipilih metode modifikasi pati secara
hidrolisis menggunakan enzim, karena memiliki keunggulan dibandingkan dengan
hidrolisis menggunakan asam. Proses hidrolisis pati secara enzimatik juga lebih
ekonomis, dapat dilakukan pada suhu rendah dan mudah dalam pengontrolan
Maltodekstrin merupakan salah satu turunan pati yang dihasilkan dari
proses hidrolisis parsial oleh enzim α-amilase yang memiliki nilai Dextrose
Equivalent (DE) kurang dari 20. DE menyatakan jumlah total gula pereduksi hasil
hidrolisis pati. Maltodekstrin memiliki kelarutan yang lebih tinggi, mampu
membentuk film, memiliki higroskopisitas rendah, mampu sebagai pembantu
pendispersi, mampu menghambat kristalisasi dan memiliki daya ikat kuat
(Luthana, 2008). Maltodekstrin tidak berasa dan dikenal sebagai bahan tambahan
makanan yang aman (Blancard dan Katz, 1995). Maltodekstrin merupakan bahan
tambahan makanan yang telah diaplikasikan selama 35 tahun. Maltodekstrin lebih
mudah larut daripada pati, harga maltodekstrin lebih murah dibandingkan dengan
major edible hydrocolloids lainnya, maltodekstrin juga mempunyai rasa yang
enak dan lembut (Sadeghi, et al., 2008).
Maltodekstrin memiliki penggunaan yang lebih banyak dalam industri
pangan, bahkan farmasi. Maltodekstrin telah banyak digunakan pada industri
makanan, seperti pada minuman susu bubuk, minuman berenergi dan minuman
Prebiotik (Blancard dan Katz, 1995). Beberapa penelitian sebelumnya di bidang
farmasi telah menggunakan maltodekstrin sebagai niosom pembawa obat (Anwar,
2004) dan maltodekstrin sebagai bahan penyalut lapis tipis tablet (Anwar, 2002).
Pati pisang telah digunakan sebagai bahan dasar dalam memproduksi
maltodekstrin (Bello, et al., 2002). Struktur maltodekstrin tergantung dari sumber
botaninya, karena masing-masingnya mempunyai sifat fisika dan kimia yang
berbeda-beda. Berdasarkan sifat dan kegunaan maltodekstrin yang dipaparkan
mencoba penggunaan maltodekstrin sebagai disintegrant pada sediaan Orally
Disintegrating Tablet (ODT).
ODT merupakan salah satu bentuk penyampaian obat untuk tujuan
tertentu. Walaupun banyak kemajuan besar dalam penyampaian obat, rute oral
merupakan rute yang dianggap sempurna untuk pemberian zat berkhasiat obat
karena pemberiannya yang mudah sehingga meningkatkan kepatuhan pasien dan
juga merupakan terapi dengan biaya yang rendah (Patel, et al., 2006).
Tablet merupakan bentuk sediaan padat oral yang paling umum
digunakan, karena lebih nyaman untuk dibawa, rasa dan bau bahan obat yang
tidak menyenangkan dapat ditutupi. Walaupun serbuk atau kapsul juga merupakan
bentuk sediaan oral, tetapi keduanya mempunyai kelemahan seperti dapat
melekat di tenggorokan atau faring. Bentuk sediaan cairan, seperti emulsi atau
suspensi, memiliki masalah pada stabilitas bahan obat dan tidak praktis untuk
membawa atau menggunakan bentuk sediaan cairan tersebut, ini menunjukkan
bahwa tablet memiliki keunggulan. Banyak pasien sulit menelan tablet dan kapsul
gelatin keras sehingga pasien tersebut tidak meminum obat mereka seperti yang
dianjurkan. Kesulitan dalam menelan dialami hampir 35% dari pasien geriatrik.
Pasien geriatrik banyak yang mengalami kesulitan meminum obat dalam bentuk
sediaan konvensional (larutan, suspensi, tablet dan kapsul) karena tangan mereka
yang tremor dan kesulitan pasien geriatrik menelan obat. Masalah menelan juga
umum pada pasien pediatrik di bawah umur 12 tahun. Kelompok lain, yang
mungkin mengalami masalah dalam menelan bentuk sediaan padat adalah pasien
disfagia. Dalam beberapa kasus seperti mabuk perjalanan, serangan alergi yang
menelan tablet atau kapsul dapat menjadi sulit. Dalam rangka membantu pasien,
beberapa sistem penyampaian obat cepat hancur telah dikembangkan (Sharma,
2008). Orally Disintegrating Tablet (ODT) dapat hancur dan terdispersi di dalam
rongga mulut dengan sedikit air liur, sehingga tidak diperlukan air untuk menelan
obat (pasien dapat membawa ODT ini tanpa sumber portabel air minum) (Patel, et
al., 2006).
Menurut FDA (Food and Drugs Administration, Amerika Serikat), ODT
didefinisikan sebagai suatu bentuk sediaan padat mengandung senyawa aktif obat,
yang dapat hancur secara cepat, biasanya dalam hitungan detik, ketika diletakkan
di atas lidah. Kriteria utama dari ODT adalah cepat hancur didalam rongga mulut
dengan bantuan air liur dalam 15 sampai 60 detik (Indurwade, et al., 2002). Zat
penghancur (disintegrant) digunakan untuk memenuhi kriteria tablet hancur pada
batas waktu yang ditetapkan. ODT dapat diformulasi dengan berbagai metode. Di
antaranya adalah cetak langsung (direct compression). Teknik cetak langsung
tidak memerlukan alat khusus atau wadah khusus untuk membentuk tablet.
Namun, formulasi yang dirancang pada suatu penelitian sangat penting untuk
mendapatkan tablet yang menunjukkan tingkat disintegrasi dan kekerasan yang
tepat. Waktu disintegrasi tergantung pada karakteristik fisika kimia bahan obat
dan bahan tambahan.
Metoklopramida yang merupakan suatu antiemetik, dipilih sebagai model
obat dalam penelitian ini, karena metoklopramida dapat diberikan pada pasien
mabuk perjalanan yang kemungkinan tidak mempunyai sumber portable air
minum pada waktu ingin meminum obatnya. Contohnya pasien penumpang kapal
peristiwa-peristiwa seperti itu, metoklopramida merupakan model obat yang sesuai untuk
ODT dengan memberikan keuntungan pada pasien-pasien tertentu (Alanazi,
2007).
Berdasarkan pemaparan diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti
maltodekstrin sebagai disintegrant yang akan diformulasikan ke dalam bentuk
sediaan ODT, sebagai bahan obatnya adalah metoklopramida. ODT yang
diformulasi akan dievaluasi friabilitas, kekerasan, dan waktu hancur in vitro. ODT
yang memiliki waktu hancur in vitro yang paling baik, selanjutnya akan dievaluasi
kadar zat berkhasiat, keseragaman kandungan, waktu pembasahan, waktu hancur
in vivo dan disolusi. Disolusi dari ODT tersebut akan dibandingkan dengan tablet
1.2 Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan hal-hal yang dipaparkan pada latar belakang, maka kerangka
konsep penelitian adalah seperti ditunjukkan pada Gambar 1.1 dan 1.2.
Pisang Kepok mentah
Pati Pisang
Maltodekstrin
Disintegrant pada sediaan ODT
Rendemen
Gambar 1.1. Diagram pembuatan maltodekstrin yang akan digunakan sebagai
Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter Kadar Zat Berkhasiat (%) Waktu Pembasahan (detik)
Gambar 1.2. Diagram yang menunjukkan kerangka konsep penelitian pembuatan
Orally Disintegrating Tablet.
1.3 Perumusan masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang maka rumusan permasalahan
adalah sebagai berikut:
a. apakah maltodekstrin yang berasal dari proses hidrolisis pati pisang dengan
enzim α-amilase dapat digunakan sebagai disintegrant untuk pembuatan Orally
b. apakah variasi jumlah maltodekstrin mempengaruhi karakteristik Orally
Disintegrating Tablet ?
c. apakah Orally Disintegrating Tablet menghasilkan disolusi yang lebih baik
daripada disolusi tablet metoklopramida?
1.4 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis penelitian adalah:
a. maltodekstrin yang berasal dari proses hidrolisis pati pisang dengan enzim α
-amilase dapat digunakan sebagai disintegrant untuk pembuatan Orally
Disintegrating Tablet
b. variasi jumlah maltodekstrin mempengaruhi karakteristik Orally Disintegrating
Tablet
c. disolusi Orally Disintegrating Tablet lebih baik daripada disolusi tablet
metoklopramida
1.5 Tujuan Penelitian 1.5.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah mengembangkan suatu formula ODT
yang memiliki karakteristik ideal.
1.5.2 Tujuan Khusus
Penelitian ini secara khusus bertujuan antara lain:
pisang dengan enzim α-amilase sebagai disintegrant pada pembuatan Orally
Disintegrating Tablet.
b. mengetahui pengaruh variasi jumlah maltodekstrin terhadap karakteristik
Orally Disintegrating Tablet.
c. mengetahui disolusi dari Orally Disintegrating Tablet dan tablet
metoklopramida dalam rangka evaluasi maltodekstrin sebagai disintegrant.
1.6 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan aplikasi maltodekstrin pada
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pisang Kepok
Pisang adalah tumbuhan yang berasal dari kawasan di Asia Tenggara
(termasuk Indonesia). Tumbuhan pisang kemudian menyebar ke Afrika
(Madagaskar), Amerika Selatan dan Amerika Tengah. Iklim tropis yang sesuai
serta kondisi tanah yang banyak mengandung humus membuat tumbuhan pisang
sangat cocok dan tersebar luas di Indonesia. Saat ini, hampir seluruh wilayah
Indonesia merupakan daerah penghasil pisang. Tumbuhan pisang banyak terdapat
dan tumbuh didaerah tropis maupun sub tropis.
Pisang merupakan tumbuhan monokotil yang termasuk dalam familia
Musaceae. Pohonnya memiliki tinggi dua hingga sembilan meter, akar rizoma
berada dalam tanah dan pelepahnya terdiri dari lembaran daun dan mahkota
terminal daun tempat munculnya bakal buah. Pisang merupakan buah klimaterik
yang artinya memiliki fase perkembangan, dengan meningkatnya ukuran buah
dan meningkatnya kadar karbohidrat yang terakumulasi dalam bentuk pati.
Pertumbuhan terhenti saat buah telah benar-benar ranum dan fase pematangan
buah terhambat. Selama fase pematangan, kekerasan buah menurun, pati berubah
menjadi gula, warna kulit berubah dari hijau menjadi kuning dan kekelatan pada
buah hilang, berkembang menjadi flavor dengan karakteristik yang khas (Stover
dan Simmonds, 1987).
Pisang merupakan buah yang sangat bergizi dan merupakan sumber
meja, sale pisang, pure pisang dan tepung pisang. Kulit pisang dapat dimanfaatkan
untuk membuat cuka melalui proses fermentasi alkohol dan asam cuka. Daun
pisang dipakai sebagai pembungkus berbagai macam makanan trandisional
Indonesia. Batang pisang abaca diolah menjadi serat untuk pakaian, kertas dan
sebagainya. Batang pisang yang telah dipotong kecil dan daun pisang dapat
dijadikan makanan ternak ruminansia (domba dan kambing) pada saat musim
kemarau karena tidak/kurang tersedianya rumput. Secara tradisional, air umbi
batang pisang kepok dimanfaatkan sebagai obat disentri dan pendarahan usus
besar sedangkan air batang pisang dapat digunakan sebagai obat diabetes dan
penawar racun (Ngraho, 2008).
Varietas-varietas pisang di seluruh dunia yang ditanam dapat dibagi dalam
empat golongan besar (Ngraho, 2008), yaitu:
a. Pisang yang dimakan buahnya setelah ranum, misalnya Pisang Ambon, Pisang
Susu, Pisang Raja, Pisang Cavendish, Pisang Barangan dan Pisang Mas.
b. Pisang yang dimakan setelah direbus atau digoreng, misalnya Pisang Nangka,
Pisang Tanduk dan Pisang Kepok.
c. Pisang yang berbiji biasanya dimanfaatkan daunnya, misalnya Pisang Klutuk.
d. Pisang yang diambil seratnya, misalnya Pisang Manila.
Produksi pisang di Indonesia cukup besar. Indonesia termasuk penghasil
pisang terbesar di Asia karena 50% produksi pisang Asia dihasilkan oleh
Indonesia. Buah pisang juga merupakan buah dengan jumlah produksi paling
banyak di Indonesia jika dibandingkan dengan produksi buah lainnya (Ngraho,
Buah pisang sangat prospektif sebagai bahan baku industri. Hal tersebut
karena kemudahan dalam mendapatkan bahan baku, serta berbagai produk dapat
diolah dari buah pisang sehingga dapat meningkatkan nilai tambah. Salah satu
alternatif dari pemanfaatan pisang yaitu dapat diolah menjadi pati. Sifat fisika dan
kimia tepung pisang dari beberapa varietas, yaitu: tepung pisang kepok bewarna
putih, tepung pisang nangka bewarna putih coklat, tepung pisang ambon bewarna
putih abu-abu, tepung pisang raja bulu bewarna putih kecoklatan, tepung pisang
ketan bewarna putih abu-abu dan tepung pisang siem bewarna kuning kecoklatan
dengan komposisi kimia rata-rata tepung pisang, yaitu kadar air 6,24% - 8,39%
dan kadar karbohidrat 70,10% - 78,88% (Prabawati, dkk., 2008).
Pada dasarnya semua varietas pisang dapat diolah menjadi pati. Namun,
tidak semua varietas pisang menghasilkan pati dengan mutu yang baik. Buah
pisang kepok menghasilkan pati yang bermutu baik dengan warna lebih putih jika
dibandingkan dengan pati dari pisang ambon dan pisang siem yang menghasilkan
pati bewarna coklat kehitaman (Satuhu dan Supriyadi, 1999; Prabawati, dkk
2008). Jenis pati yang demikian tidak menarik walaupun aroma pisangnya lebih
kuat dibandingkan pati yang terbuat dari pisang kepok (Satuhu dan Supriyadi,
1999).
Pisang kepok termasuk pisang berkulit tebal dengan warna kuning yang
menarik kalau sudah matang. Satu tandan terdiri dari 10 -16 sisir dengan berat 14
– 22 kg. Setiap sisir terdapat ± 20 buah. Kandungan nutrisi tiap 100 gram daging
buah pisang mengandung zat gizi sebagai berikut : kalori 79 kkal, karbohidrat
21,2 gram, protein 1,1 gram, lemak 0,2 gram, air 75,5 gram, vitamin A 0,022
Menurut Herbarium Medanense (2011), klasifikasi pisang kepok, adalah
sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Class : Monocotyledoneae
Ordo : Zingiberales
Famili : Musaceae
Genus : Musa
Spesies : Musa paradisiaca. L.
Nama Lokal : Pisang Kepok
2.2 Pati
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik.
Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai C-nya,
serta apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya. Pati terdiri dari dua fraksi
yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi
tidak larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa, sedang amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan α
-(1,6)-D-glukosa (Winarno, 2002).
Sumber pati utama di Indonesia adalah beras. Disamping itu dijumpai
beberapa sumber pati lainnya yaitu : jagung, kentang, tapioka, sagu, gandum, dan
lain-lain. Dalam bentuk aslinya secara alami pati merupakan butiran-butiran kecil
yang sering disebut butir pati. Bentuk dan ukuran butir pati merupakan
keadaan murni butir pati berwarna putih, mengkilat, tidak berbau dan tidak berasa,
dan secara mikroskopik butir pati dibentuk oleh molekul-molekul yang
membentuk lapisan tipis yang terusun terpusat. Butir pati bervariasi dalam bentuk
dan ukuran, ada yang berbentuk bulat, oval, polihedral atau poligonal. Demikian
juga ukurannya, mulai kurang dari 1 mikron sampai 150 mikron tergantung
sumber patinya. Selain ukuran butir pati, karakteristik lain adalah bentuk,
keseragaman butir pati, lokasi hilum, serta permukaan butir patinya. Ukuran dan morfologi butir pati bergantung pada jenis tumbuhan penghasil pati (Anonim,
2006; Elida, 1994). Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama yaitu
amilosa, amilopektin dan material antara seperti, protein dan lemak. Umumnya
pati mengandung 15 – 30% amilosa, 70 – 85% amilopektin dan 5 – 10% material
antara. Struktur dan jenis material antara tiap sumber pati berbeda tergantung
sifat-sifat botani sumber pati tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa pati
biji-bijian mengandung bahan antara yang lebih besar dibandingkan pati batang
dan pati umbi (Anonim, 2006).
Kandungan pati pada setiap tumbuhan berbeda, tergantung pada
masing-masing spesiesnya, bahkan kandungan pati dapat bervariasi pada bagian yang
berbeda dari tumbuhan yang sama (Lehninger, 1982).
Kegunaan pati dan turunannya pada industri minuman dan confectionery
memiliki persentase paling besar yaitu 29 %, pada industri makanan dan pada
industri kertas masing-masing sebanyak 28 %, pada industri farmasi dan bahan
kimia 10 %, pada industri non pangan 4% dan sebagai makanan ternak sebanyak 1
%. Untuk memperoleh sifat-sifat yang digunakan pada aplikasi tertentu pada
Struktur kimia pati ditunjukkan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Struktur pati (Rowe, et al., 2009)
Perkembangan teknologi dibidang pengolahan pati menunjukkan bahwa
pati alam dapat dimodifikasi sehingga mempunyai sifat-sifat yang diinginkan
sesuai dengan aplikasi tertentu. Modifikasi disini dimaksudkan sebagai perubahan
alami dapat dibuat menjadi pati termodifikasi dengan sifat-sifat yang diinginkan
atau sesuai dengan kebutuhan (Anonim, 2006).
Pati termodifikasi adalah pati yang gugus hidroksilnya telah diubah lewat
suatu reaksi kimia atau dengan menggangu struktur asalnya. Dibidang pangan pati
termodifikasi banyak digunakan dalam pembuatan salad cream, mayonaise, saus
kental, jeli, produk-produk konfeksioneri (permen coklat dan lain lain), pengganti
gum arab dan lain lain, sedangkan dibidang non pangan digunakan pada industri
kertas, tekstil, bahan bangunan, dan bahan pencampur (insektisida dan fungisida,
sabun detergen dan sabun batangan).
Dewasa ini metode yang banyak digunakan untuk memodifikasi pati
adalah modifikasi pati dengan hidrolisis, modifikasi pati secara kimia dan
modifikasi pati secara fisika. Setiap metode modifikasi pati menghasilkan pati
termodifikasi dengan sifat yang berbeda-beda (Anonim, 2006).
Prinsip dasar untuk memperoleh produk pati termodifikasi (Anonim, 2006)
yaitu:
a. Starch Acetate diperoleh dengan cara menambahkan gugus karboksil ke rantai
starch.
b. Thin Boilling Starch, diperoleh dengan cara mengasamkan suspensi pati pada
pH tertentu dan memanaskannya pada suhu tertentu sampai diperoleh derajat
konversi atau modifikasi yang diinginkan. Kemudian dilakukan penetralan,
penyaringan, pencucian dan pengeringan.
c. Pati teroksidasi, diperoleh dengan cara mengoksidasi pati dengan
logam berat atau garam dari logam berat yang dilakukan pada pH tertentu,
pada suhu dan pada waktu reaksi yang sesuai.
d. Pregelatinized Starch, pati ini diperoleh dengan cara memasak pati pada suhu
pemasakan, kemudian mengeringkannya dengan menggunakan rol-rol (drum
drying) yang dipanaskan. Pada proses ini terjadi kerusakan butir pati tetapi
amilosa dan amilopektinnya tidak terdegradasi. Pregelatinisasi pati mempunyai
sifat umum yaitu terdispersi dalam air dingin. Parameter pengeringan seperti
rol dan gap antar rol dapat mempengaruhi sifat dan karakteristik dari pati
dihasilkan.
e. Dekstrin, dibuat dari pati melalui proses enzimatik atau proses asam yang
disertai dengan pemanasan. Sifat-sifat yang penting dari dekstrin ialah
kelarutan dalam air dingin yang lebih tinggi dari pati dan memiliki kadar gula
yang rendah.
f. Siklodekstrin (CD), merupakan produk pati modifikasi yang mengandung 6 –
12 unit glukosa yang berbentuk siklis (ring). CD dibuat dari pati dengan
bantuan enzim cyclomaltodextrin glucanotransferase (CG Tase).
2.3 Enzim α-amilase
Enzim adalah katalisator organik (biokatalisator) yang dihasilkan oleh sel.
Enzim berfungsi seperti katalisator anorganik, yaitu untuk mempercepat reaksi
kimia tanpa mempengaruhi keseimbangan reaksi. Enzim invertase dipakai untuk
menghidrolisis sukrosa menjadi gula invert. Lactase dibutuhkan dalam hidrolisis
sakarifikasi, memakai cellulose sebagai katalisnya. Sementara untuk
menghasilkan maltodekstrin dipakai enzim α-amylase.
Enzim α-amilase adalah enzim yang mempunyai banyak fungsi dalam
kehidupan. Enzim α – amilase terdapat pada tumbuhan, jaringan mamalia,
jaringan mikroba. Dapat juga diisolasi dari Aspergillus oryzae dan Bacillus
subtilis. Enzim α-amilase adalah endo-enzim yang bekerja memutus ikatan α
-1,4-D-glukosa secara spesifik di bagian dalam molekul baik pada amilosa maupun
amilopektin. Aktivitas enzim α-amilase menyebabkan pati terputus-putus dengan
rantai sepanjang 6-10 unit glukosa. Banyaknya hidrolisis ikatan glukosida dari
pati biasanya dijelaskan dengan dextrose equivalent (DE). Glukosa murni
mempunyai DE 100 dan pati mempunyai DE sebesar 0 (Chaplin, 2004).
Menurut Mckee dan Mckee (2003) beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi kerja enzim yaitu:
a. Suhu, semua reaksi kimia dipengaruhi oleh suhu. Kecepatan reaksi katalis
enzim dapat meningkat dengan meningkatnya suhu, tetapi karena enzim
merupakan protein yang akan terdenaturasi pada suhu tinggi maka enzim
memiliki suhu optimum dalam melakukan kerjanya. Setiap enzim memiliki
temperatur optimum yang berbeda-beda sehingga diperoleh efisiensi yang
maksimum.
b. Nilai pH, konsentrasi ion hidrogen dapat mempengaruhi kerja enzim.
Perubahan pH yang tajam dapat menyebabkan enzim terdenaturasi. Beberapa
enzim aktif hanya pada nilai pH yang sempit. Nilai pH optimum pada setiap
c. Konsentrasi substrat, kecepatan reaksi enzimatis pada umumnya tergantung
pada konsentrasi substrat. Kecepatan reaksi akan meningkat apabila
konsentrasi substrat meningkat. Semakin tinggi kecepatan reaksi enzim maka
semakin banyak pati yang terhidrolisis, namun setelah hampir semua pati
terhidrolisis kecepatan reaksi enzim akan berkurang.
d. Konsentrasi enzim, penambahan konsentrasi enzim akan meningkatkan
kecepatan reaksi bila substrat tersedia secara berlebih. Kecepatan reaksi dalam
reaksi enzim sebanding dengan konsentrasi enzim, semakin tinggi konsentrasi
enzim maka kecepatan reaksi akan semakin tinggi.
Cara kerja enzim α - amilase terjadi melalui dua tahap, yaitu : tahap
pertama, degradasi amilosa menjadi maltosa dan amiltrotriosa, degradasi ini
terjadi sangat cepat dan diikuti dengan menurunnya viskositas yang cepat pula.
Tahap kedua, relatif sangat lambat yaitu pembentukan glukosa dan maltosa
sebagai hasil akhir. Kedua tahap tersebut merupakan kerja enzim α - amilase pada
molekul amilosa. Enzim α - amilase menghidrolisis amilosa lebih cepat dibanding
hidrolisisnya terhadap amilopektin (Anonim, 2006). Perbedaan waktu hidrolisis
akan menyebabkan jumlah pati yang termodifikasi juga berbeda. Makin lama
waktu hidrolisis makin besar persentase pati yang berubah menjadi gula
pereduksi. Hal ini dapat dilihat dari harga DE yang semakin tinggi. Konsentrasi
katalis juga dapat berpengaruh pada harga DE dari produk yang dihasilkan. Makin
tinggi konsentrasi katalis, dalam hal ini adalah enzim, makin banyak gula
pereduksi yang terbentuk. Hal ini berarti harga DE akan semakin tinggi. Meskipun
demikian, penentuan konsentrasi katalis memiliki batas optimum. Jika melebihi
pati, terdapat tiga tahapan dalam mengkonversi pati yaitu tahap gelatinisasi,
likuifikasi dan sakarifikasi. Tahap gelatinisasi merupakan tahap pembentukan
suspensi kental dari butir pati, tahap likuifikasi yaitu hidrolisis pati parsial yang
ditandai dengan menurunnya viskositas, sedangkan sakarifikasi merupakan proses
lebih lanjut dari hidrolisis untuk menghasilkan glukosa (Shi, et. al., 2000).
2.4 Maltodekstrin
Maltodekstrin merupakan salah satu produk hasil hidrolisa pati dengan
menggunakan asam maupun enzim, yang terdiri dari campuran glukosa, maltosa,
oligosakarida, dan dekstrin (Deman, 1993). Produk hasil hidrolisis enzimatis pati
mempunyai karakteristik yaitu tidak higroskopis, meningkatkan viskositas
produk, mempunyai daya rekat, dan ada yang dapat larut dalam air seperti laktosa
(Anonim, 2006).
Maltodekstrin pada dasarnya merupakan senyawa hasil hidrolisis pati yang
tidak sempurna atau disebut hidrolisis parsial, yang terdiri dari campuran
gula-gula dalam bentuk sederhana (mono- dan disakarida) dalam jumlah kecil,
oligosakarida dengan rantai pendek dalam jumlah relatif tinggi serta sejumlah
kecil oligosakarida berantai panjang (Luthana, 2008).
Maltodekstrin merupakan salah satu turunan pati yang dihasilkan dari
proses hidrolisis parsial oleh enzim α-amilase yang memiliki nilai Dextrose
Equivalent (DE) kurang dari 20. Maltodekstrin memiliki mouthfeel yang lembut
dan mudah dicerna. Harga DE (Dextrose Euquivalent) hanya memberi gambaran
tentang kandungan gula pereduksi. Pada hidrolisis sempurna (pati seluruhnya
sekali tidak terhidolisis DE-nya 0. Nilai DE maltodekstrin berkisar antara 3 – 20.
Maltodekstrin dengan DE yang rendah bersifat non-higroskopis, DE yang rendah
menunjukkan kecenderungan rendahnya penyerapan uap air. Maltodekstrin
dengan DE tinggi cenderung menyerap air (higroskopis) (Luthana, 2008).
Perubahan pada nilai DE akan memberikan karateristik yang berbeda-beda.
Peningkatan nilai DE akan meningkatkan warna, sifat higroskopis, plastisitas, rasa
manis dan kelarutan (Kuntz, 1997). Rumus umum maltodekstrin adalah
[(C6H10O5)nH2O)] (Luthana, 2008).
Struktur kimia Maltodekstrin ditunjukkan pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2. Struktur Maltodekstrin (Rowe, et al., 2009)
Maltodekstrin dibuat dari hidrolisis pati oleh enzim. Enzim ini digunakan
al., 2005). Maltodekstrin merupakan produk hidrolisis parsial, sehingga proses
hidrolisisnya berhenti hanya sampai likuifikasi. Pada tahap likuifikasi terjadi
pemecahan ikatan α-(1,4)-D-glikosidik oleh enzim α-amylase pada bagian dalam
rantai polisakarida sehingga dihasilkan glukosa, maltosa, maltodekstrin dan α
-limit dekstrin. Enzim α-amylase merupakan enzim yang menghidrolisis secara
khas melalui bagian dalam dengan memproduksi oligosakarida dari konfigurasi
alfa yang memutus ikatan α-(1,4)-D-glikosidik pada amilosa dan amilopektin.
Ikatan α-(1,6)-D-glikosidik tidak dapat diputus oleh α-amylase, tetapi dapat dibuat
menjadi cabang-cabang yang lebih pendek (Anonim, 2006).
Maltodekstrin harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan yaitu susut
pengeringan < 6%, sisa pemijaran < 0,5% dan pH antara 4-7. Maltodekstrin
sangat banyak aplikasinya, seperti halnya pati, maltodekstrin merupakan bahan
pengental sekaligus dapat sebagai emulsifier. Kelebihan maltodekstrin adalah
bahan tersebut dapat dengan mudah melarut pada air dingin, kelebihan lainnya
adalah maltodekstrin merupakan oligosakarida yang tergolong dalam prebiotik
(Luthana, 2008). Aplikasinya penggunaan maltodekstrin contohnya pada
minuman susu bubuk, minunan berenergi (energen) dan minuman prebiotik.
Sifat-sifat yang dimiliki maltodekstrin antara lain mengalami memiliki Sifat-sifat daya larut
yang tinggi, memiliki sifat membentuk film, membentuk sifat higroskopis yang
rendah, memiliki sifat browning yang rendah, dapat menghambat kristalisasi dan
memiliki daya ikat kuat. Maltodekstrin merupakan salah satu jenis bahan
pengganti lemak berbasis karbohidrat yang dapat diaplikasikan pada produk
frozen dessert seperti es krim, yang berfungsi membentuk padatan, meningkatkan
2.5 Orally Disintegrating Tablet
Orally Disintegrating Tablet (ODT) adalah suatu bentuk sediaan padat
mengandung senyawa aktif obat yang dapat hancur secara cepat, biasanya dalam
hitungan detik, ketika diletakkan di atas lidah. Orally disintegrating Tablet juga
disebut dengan Oro-disperse, mouth dissolving, rapidly disintegrating, fast melt,
quick dissolve dan freeze dried wafers (Kundu dan Sahoo, 2008). ODT telah
mendapatkan perhatian sebagai alternatif pilihan dari tablet konvensional dan
kapsul, karena dapat memberikan kepatuhan pasien yang lebih baik. Teknologi
ODT memenuhi beberapa kebutuhan pasien dalam kenyamanan penggunaan obat
seperti pada pasien geriatrik, pasien pediatrik dan pasien disfagia (Jaysukh, et al.,
2009).
ODT diharapkan cepat terdisintegrasi di mulut ketika kontak dengan air
ludah atau saliva dalam waktu kurang dari 60 detik (Kundu dan Sahoo, 2008). Zat
aktif kemudian akan melarut atau terdispersi dengan adanya air ludah, lalu ditelan
oleh pasien dan obat akan diabsorpsi seperti umumnya. Untuk proses ini, jumlah
air ludah yang sedikit telah mencukupi untuk memungkinkan terjadinya
disintegrasi tablet. Oleh karena itu, tidak diperlukan air untuk menelan obat
(Koseki, et al., 2008). Hal inilah yang akan mempermudah dan meningkatkan
kepatuhan pasien anak-anak ataupun orang tua dalam penggunaan obat. Selain itu,
sejumlah bagian obat juga mungkin diabsorpsi di daerah pra-gastrik seperti mulut,
faring, dan esofagus ketika air ludah turun ke lambung sehingga ketersediaan
hayati obat akan meningkat dan pada akhirnya juga meningkatkan efektivitas
2.5.1 Karakteristik Ideal ODT
Sediaan ODT berbeda dari tablet konvensional umumnya, maka sediaan
ODT harus memiliki beberapa karakteristik yang ideal antara lain:
a. disintegrasi harus cepat. Secara umum, hal ini berarti bahwa tablet ODT harus
terdisintegrasi dalam waktu kurang dari 1 menit. Namun demikian, akan lebih
disukai bila disintegrasi terjadi secepat mungkin di dalam rongga mulut.
Begitu juga ODT harus terdisintegrasi dengan sedikit atau tanpa meminum air
sama sekali dan dimaksudkan untuk terdispersi dengan air ludah pasien
sendiri.
b. penutupan rasa (taste-masking) dari senyawa aktif. Hal ini dikarenakan ODT
akan mengalami disintegrasi di dalam mulut. Setelah melarut, sediaan
diharapkan tidak atau sedikit meninggalkan residu serta rasa enak di mulut.
Teknologi penutupan rasa yang ideal hendaknya mampu menghasilkan
mouthfeel yang baik dan tidak memberikan sensasi berpasir (grittiness) di
mulut.
c. kekerasan dan porositas tablet yang optimal. Oleh karena ODT dirancang
untuk memiliki waktu disintegrasi dan disolusi yang cepat maka dibutuhkan
zat tambahan (excipient) dan struktur tablet dengan porositas yang tinggi,
yang dimaksudkan untuk absorpsi air yang cepat ke dalam tablet.
d. sensitifitas yang rendah terhadap kelembapan. ODT seringkali sensitif
terhadap kelembapan, hal ini disebabkan zat tambahan dengan kelarutan
dalam air yang tinggi sehingga sangat rentan terhadap kelembapan. Untuk
mengatasi hal ini, diperlukan strategi pengemasan yang baik agar tablet
2.5.2 Kelebihan dan Kekurangan Formulasi ODT
ODT memiliki semua kelebihan dari bentuk sediaan solida, antara lain
ketepatan dosis, kemudahan produksi dan praktis dibawa bepergian. ODT juga
memiliki kelebihan formulasi seperti kemudahan penggunaan obat, tidak ada
resiko sesak nafas (tersedak) akibat obstruksi fisik bentuk solida di tenggorokan
(Fu, et al., 2004), kecepatan absorpsi dan onset obat yang cepat, serta ketersediaan
hayati yang tinggi.
Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan di atas, zat aktif dapat
diabsorpsi baik di daerah bukal, faring maupun esofagus selama larutan obat turun
ke lambung. Karena absorpsi pra-gastrik akan menghindarkan zat aktif dari
metabolisme lintas pertama di hati, maka dosis obat juga dapat dikurangi bila
sejumlah besar zat aktif mengalami metabolisme tersebut selama pemberian tablet
konvensional (Fu, et al., 2004). Oleh karena itu dalam kasus terapi tertentu, ODT
merupakan obat pilihan untuk mendapatkan konsentrasi sistemik yang tinggi
secara cepat atau high drug loading (Kundu dan Sahoo, 2008).
ODT menawarkan kemudahan bagi pasien yang mengalami kesulitan
menelan (disfagia) terutama pasien pediatri dan geriatri serta untuk pasien yang
sedang berlibur dan menempuh perjalanan jauh yang kemungkinan besar air
minum mungkin sulit diperoleh (Verma dan Garg, 2001). Di samping berbagai
kelebihan ODT seperti yang telah disebutkan di atas, sediaan ODT juga memiliki
kekurangan yaitu keterbatasan jumlah obat yang dapat diformulasi dalam setiap
unit dosisnya. Selain itu, terkait sifat bentuk sediaan ODT yang rapuh (fragile),
2.6 Metoklopramida
Metoklopramida hidroklorida merupakan serbuk kristalin berwarna putih
atau praktis putih, tak berbau atau praktis tak berbau. Sangat mudah larut dalam
air, larut dalam alkohol, agak sukar larut dalam kloroform, praktis tidak larut
dalam eter (Ditjen POM, 1995). Metoklopramida pertama kali dideskripsikan
oleh Justin-Besançon Dr.Louis dan C. Laville pada tahun 1964. Metoklopramida
adalah suatu derivat prokainamid yang merupakan antagonis reseptor dopamin
D2, reseptor 5HT3, pelepas asetilkolin dan inhibitor kolinesterase. Struktur kimia
Metoklopramida ditunjukkan pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3. Struktur Metoklopramida (Ditjen POM, 1995)
Metoklopramida yang merupakan suatu antiemetik, dipilih sebagai model
obat dalam penelitian ini, karena metoklopramida dapat diberikan pada pasien
mabuk perjalanan yang tidak mempunyai persediaan air pada waktu ingin
meminum obat. Contohnya pasien penumpang kapal terbang atau pasien yang
sedang menempuh perjalanan jauh. Pada peristiwa-peristiwa seperti itu,
metoklopramida merupakan suatu kandidat obat untuk ODT karena memberikan
BAB III
METODE PENELITIAN
Metodologi yang digunakan pada penelitian ini adalah metodologi
eksperimental (experimental research). Metodologi penelitian ini adalah suatu
observasi yang dilakukan di laboratorium dengan kondisi buatan (artificial
condition), yang diatur peneliti.
3.1 Desain Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi pembuatan pati
pisang dan analisis karakteristik pati pisang, pembuatan maltodekstrin dan analisis
karakteristik maltodekstrin, selanjutnya maltodekstrin diformulasikan menjadi
sediaan ODT. ODT yang diformulasi akan dievaluasi friabilitas, kekerasan, dan
waktu hancur in vitro. ODT yang memiliki waktu hancur in vitro yang paling
baik, selanjutnya akan dievaluasi kadar zat berkhasiat, keseragaman kandungan,
waktu pembasahan, waktu hancur in vivo dan disolusi. Disolusi dari ODT tersebut
akan dibandingkan dengan tablet metoklopramida komersil.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Semi Solid dan Laboratorium
Penelitian Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara Medan, Laboratorium
Riset dan Teknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan, .
Laboratorium Penelitian Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
3.3 Alat dan Bahan
3.3.1 Alat - alat yang digunakan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat–alat gelas,
neraca kasar (Ohaus), neraca listrik (Mettler toledo), blender (Miyako),
termometer digital, freeze dryer (Modulyo, Edward, serial no: 3985), hot plate
dan magnetic stirrer (Boeco-Germany), indikator universal (Macherey-nagel), pH
meter (Hanna), oven (Gallenkamp), ayakan mesh no. 60, microscope
binoculer-projection (Boeco-Germany) dengan digital camera MDCE-5A, eksikator, tanur
(Barnstead Thermolyne), spektrofotometer infra merah (Shimadzu
IR-Prestige-21), spektofotometer ultraviolet (Shimadzu UV-1800), himac compact centrifuges
(Hitachi RXII series), disintegration tester (Erweka), disolution tester (Erweka
DT), friabilator (Roche), stopwatch, kertas saring, kertas lakmus, penangas air,
kain penyaring, mortir dan stamper.
3.3.2 Bahan - bahan yang digunakan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pisang kepok
mentah, air suling, enzim α-amilase (LIPI Bogor), maltodekstrin komersil
(Qinhuangdao Lihua Starch Co., LTD), tablet metoklopramida (Soho),
bahan-bahan kimia yang berkualitas pro analisis (E Merck, Jerman) yaitu : natrium sulfit,
etanol, iodium, natrium hidroksida, asam klorida, kalium bromida anhidrat,
kalium iodida, CuSO4.5H2O, kalium natrium tartrat tetrahidrat, glukosa anhidrat,
3.4 Pembuatan Pereaksi
Prosedur pembuatan pereaksi kecuali dinyatakan lain adalah berdasarkan
Ditjen POM (1995).
3.4.1 Larutan Natrium Sulfit
Natrium sulfit sebanyak 1,22 gram dilarutkan dengan air suling lalu
volumenya dicukupkan sampai 1000 ml.
3.4.2 Larutan Iodium 0,005 M
Iodium kristal sebanyak 14 gram dilarutkan dalam larutan 36 gram kalium
iodida pekat dalam 100 ml air suling, kemudian ditambahkan 3 tetes asam klorida
pekat, lalu diencerkan dengan air suling sampai 1000 ml.
3.4.3 Larutan Natrium Hidroksida 0,1 N
Natrium hidroksida pellet sebanyak 4 gram dilarutkan dalam air suling
bebas CO2 lalu volumenya dicukupkan sampai 1000 ml.
3.4.4 Larutan Asam Klorida 0,1 N
Larutan asam klorida pekat sebanyak 8,3 ml diencerkan dengan air suling
sampai 1000 ml.
3.4.5 Larutan Fehling A
Cupri sulfat sebanyak 69,3 gram dilarutkan dalam air suling lalu
3.4.6 Larutan Fehling B
Kalium natrium tartrat tetrahidrat 346 gram dan natrium hidroksida 100
gram dilrutkan dalam air suling lalu volumenya dicukupkan sampai 1000 ml.
3.4.7 Larutan Fehling
Larutan Fehling A dicampurkan ke larutan Fehling B sama banyak
kedalam erlenmeyer, lalu dihomogenkan.
3.4.8 Larutan Glukosa Standard
Glukosa dikeringkan selama 2 jam pada 100oC, kemudian didinginkan
didalam desikator sebelum digunakan. Sebanyak 3 gram glukosa (yang telah
dikeringkan) ditimbang dan dilarutkan dengan air suling lalu volumenya
cukupkan sampai 100 ml.
3.4.9 Larutan Indikator Metilen Biru 0,2 %
Metilen biru sebanyak 0,2 gram dilarutkan dengan air suling lalu
volumenya dicukupkan sampai 100 ml.
3.5 Bahan Penelitian 3.5.1 Pengambilan Bahan
Pengambilan bahan penelitian dilakukan secara purposif, yaitu tanpa
membandingkannya dengan daerah lain. Bahan penelitian yang digunakan adalah
3.5.2 Pembuatan Pati Pisang
Buah pisang kepok mentah dikupas kulitnya, dicuci, dipotong-potong ,
kemudian ditimbang dengan berat total 500 gram, dimasukkan ke dalam blender
dan ditambahkan larutan Natrium Sulfit sebanyak 500 ml, dihidupkan blender
selama 2 menit dengan kecepatan rendah, lalu diserkai menggunakan kain,
diperas, kemudian ampasnya ditambahkan dengan air suling, diserkai dan diperas
kembali sampai air cucian jernih. Gabungan filtrat didiamkan selama 12 jam, lalu
dibuang larutannya dan tambahkan air suling, didiamkan kembali sampai
larutannya jernih. Larutan tersebut di buang dan endapan pati yang diperoleh
dikeringkan dalam oven pada suhu 40o C selama 48 jam, kemudian pati yang
kering, digerus didalam lumpang, dan diayak dengan ayakan no. 60. Pati pisang
yang diperoleh disimpan pada temperatur kamar dalam wadah tertutup rapat
(Bello, et al., 2002).
3.5.3 Karakterisasi Pati Pisang 3.5.3.1 Rendemen
Pisang kepok mentah yang telah dipotong-potong, ditimbang beratnya.
Kemudian setelah diisolasi, ditimbang berat akhir pati pisang yang dihasilkan.
Dihitung rendemennya, dengan rumus (Ranganna, 1987).
3.5.3.2 Mikroskopik
Pati pisang diletakkan diatas gelas objek, diberi air lalu diamati di bawah
mikroskop (bentuk pati, letak hilus dan lamella).
3.5.3.3 Organoleptis
Pati pisang diamati konsistensi bentuk, warna, bau dan rasa.
3.5.3.4 Identifikasi 3.5.3.4.1 Analisis Pati
Pati pisang sebanyak 1 gram disuspensikan dalam 50 ml air yang
dipanaskan hingga mendidih selama 1 menit kemudian didinginkan sampai
terbentuk larutan kanji (Ditjen POM, 1979).
3.5.3.4.2 Iodine Test
Larutan kanji tersebut diambil 1 ml kemudian dicampur dengan 0,05 ml
iodium kemudian diamati perubahan yang terjadi (Ditjen POM, 1979).
3.5.3.4.3 Analisis dengan Kertas Lakmus
Pati pisang sebanyak 1 gram disuspensikan dalam 50 ml air suling bebas
CO2 diletakkan diatas kertas lakmus merah dan diamati perubahan warna yang
3.5.3.4.4 Analisis pH
Pati pisang sebanyak 1 gram disuspensikan dalam 50 ml air suling bebas
CO2 diletakkan diatas stirer sehingga suspensi selalu homogen, kemudian
dicelupkan kedalamnya pH meter dan diamati pH (Ditjen POM, 1979).
3.5.3.5 Kadar Air
Pati sebanyak 2 gram sampel dimasukkan ke dalam cawan yang telah
diketahui beratnya. Kemudian ditempatkan di dalam oven pada suhu 1050C
selama 5 jam. Kemudian didinginkan di dalam eksikator dan ditimbang. Sampel
dipanaskan kembali selama 60 menit, didinginkan di dalam eksikator dan
ditimbang. Perlakuan tersebut diulangi sampai diperoleh berat konstan (Ditjen
POM,1995).
% Kadar air = Kehilangan berat (g) x 100% Berat sampel (g)
3.5.3.6 Kadar Abu
Pati pisang sebanyak 3 gram dimasukkan ke dalam cawan pengabuan yang
telah diketahui beratnya, kemudian diletakkan di dalam tanur pengabuan. Ditanur
pada suhu 6750C sampai bebas karbon yaitu abu yang berwarna abu-abu (5 jam).
Kemudian didinginkan di dalam eksikator dan ditimbang. Sampel ditanur kembali
selama 60 menit, didinginkan di dalam eksikator dan ditimbang. Perlakuan
tersebut diulangi sampai diperoleh berat konstan. Dalam hal ini, sebelum masuk
ke dalam tanur, sampel dibakar terlebih dahulu pada pembakaran gas sampai