• Tidak ada hasil yang ditemukan

Zigomikosis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Zigomikosis"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

ZIGOMIKOSIS

OLEH

IMAM BUDI PUTRA

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RSUP. H. ADAM MALIK

MEDAN

(2)

ZIGOMIKOSIS

(Phycomycosis, mucormycosis, entomophthoromycsois , hyphomycosis, subcutaneoupshycomycosis, rhinophycomycosis, phycomycosis entomophthrae,

basidiobolomycosis, oomycosis, rhinoentomophthoromycosis)1

PENDAHULUAN

Zigomrkosis adalah infeksi yang disebabkan oleh golongan filum zygomicota. Infeksi ini sangat jarang pada manusia maupun hewan. Pada umumnya kasus zigomikosis pada manusia dihubungkan dengan kondisi imunologisnya (asidosis metabolik, imunosupresi, trauma). Pada hewan kondisi demikian kurang jelas, tetapi kurangnya nutrisi dan hewan yang dengan populasi padat dapat menjadi predisposisi terinfeksi jamur tersebut.2

Istilah zigomikosis lebih disukai dibandingkan dengan mukormikosis dan fikomikosis. Istilah fikomikosis dulu digunakan ketika zigomikosis, oomycetes, dan chytrid digolongkan bersama-sama kedalam divisi tunggal. Taksonomi modern membuat kelompok ini tidak beranggota (kosong) dan oleh sebab itu istilah fikomikosis tidak dipakai lagi. Kelas zigomikosis terdiri atas dua ordo, yaitu mucorales dan entomophthorales. Mucorales biasanya menyerang orang yang immunocompromised dan entomophthorales menyerang orang imunokompeten. Beberapa penulis lebih rnenyukai penggunaan istilah mukormikosis dan entomoftoromikosis, karena istilah tersebut telah digunakan secara luas dan masih tetap digunakan sebagai judul dalam indeks di National Library of Medicine di Amerika Serikat.2,3

SEJARAH

(3)

tersebut termasuk Mucor mucedo, tetapi masih meragukan kemungkinan M. circinelloides. Lindt kemudian mengindentifikasi jamur tersebut sebagai Absidia corimbifera (Mucor corimbifera) pada tahun 1885. Paltauf pertama kali melaporkan tentang mukormikosis generalisata yang didukung oleh adanya filamen jamur pada berbagai organ. Walaupun tidak dilakukan kultur jamur, tetapi Paltauf meyakini jamur penyebab adalah Mucor corimbifera. Beberapa tahun kemudian dilaporkan pula kasus-kasus infeksi zigomikosis.

Pada tahun 1943, Gregory dkk, melaporkan tiga kasus zigomikosis jenis rinoserebral dan melaporkan gejala, riwayat penyakit, dan perkembangan penyakit dengan sangat akurat, sehingga menjadi acuan bagi peneliti lainnya. Setelah tulisan tersebut, hampir 400 kasus dilaporkan.

Sejak tahun 1960, karena semakin banyak populasi dengan imunitas yang terganggu, maka semakin sering pula ditemui kasus zigomikosis. Saat ini zigomikosis merupakan infeksi oportunistik keempat tersering pada pasien immunocompromised, setelah kandidiasis, aspergilosis dan kriptokokosis, sebagai infeksi oportunistik.

Lie Kiam Joe dkk, pada tahun 1956, melaporkan tiga kasus pertama zigomikosis subkutan pada anak di Indonesia. Laporan lainnya dari Asia Afrika dan Amerika Selatan juga menggambarkan anak-anak dan dewasa muda yang pada umumnya sehat, terinfeksi jamur genera Enthomopthorales. Infeksi ini lebih sering terjadi di daerah tropis dan subtropis dibandingkan dengan daerah lainnya.2,3,4

EPIDEMIOLOGI

Jamur ini mempunyai distribusi yang luas di seluruh dunia dan merupakan penyebab infeksi oportunistik yang dapat memberi gambaran klinis bermacam- macam bergantung pada faktor predisposisinya. Juga tidak dipengaruhi oleh faktor usia, jenis kelamin, ras dan geografis. Pada umumnya jamur ini tumbuh pada bahan yang mengandung karbohidrat. Jamur ordo Mucorales dapat ditemukan dalam jumlah besar pada sayuran yang membusuk, dan timbunan kompos.2,3,4

(4)

pada perban dan plester di rumah sakit. Juga dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui alat suntik yang terkontaminasi, kateter, jarum infus intravena, dan luka operasi. Bila manusia mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi spora jamur, dapat terjadi zigomikosis primer pada saluran cerna.2,3

Jamur ordo Entomophthorales juga dapat ditemukan pada sayuran dan buah-buahan yang membusuk, tanah dan dalam saluran cerna hewan reptil, ikan, binatang amfibi, dan kelewar. Diduga trauma kecil dan, sengatan serangga dapat menjadi tempat masuknya jamur ini ke dalam tubuh manusia. Pada umumnya infeksi lebih banyak terjadi pada pria muda. Di Uganda dilaporkan perbandingan pria dan wanita adalah 3 : 2 dan di Negeria 3 : 1, sedangkan Clark dan Martinson yang meneliti secara retrospektif kasus- kasus konidiobolomikosis di Afrika dan Amerika Selatan, melaporkan rasio pria : wanita sebesar 10 : 1.3

Di Indonesia infeksi zigomikosis subkutan pernah dilaporkan di Semarang, Jakarta dan Surabaya. Kasus yang ditemui hanya sedikit mungkin karena lesi kecil dapat diobati dengan eksisi dan banyak kasus yang tidak terdiagnosis dengan cepat.4

ETIOLOGI

Zigomikosis biasanya disebabkan oleh jamur ordo Mucorales, misalnya :

Rhizomucor pussilus, Absidia corimbifEra, Cokeromyees recurvatus, Mucor circinelloides, Mortierella wolfii, Cuninghamella bertholletiae, SaksanaeA sp., dan Apophysomyces elegans. Jamur-jamur tersebut sering menginfeksi pasien

immunocompromised, sedangkan ordo Entomophthorales misalnya Basidiobolus

ranarum, Basidiobolus meristoporus, Canidiobolus coronatus, Canidiobolus incongruus, lebih sering menginfeksi pasien imunokompeten. Pernah dilaporkan

(5)

Rhizous arrhizus

Sinonimnya adalah R. Oryzae, terdapat 60% dari kasus penyakit manusia dan

± 90% dari penyakit rhinocerebral. Seviour dkk, menyimpulkan bahwa moriblogi, efek temperatur, dan lain-lain terlalu bervariasi untuk memisah-misahkan spesies. Ellis menemukan 95% hubungan dengan hibridisasi DNA antara strain. Roryzae dan R. arrhizus var arrhizus. Di Inggris, dua pasien yang menerima kartikosteroid (karena nefitis) dari dokter yang sama, keduanya kemudian menderita zigomikosis rhinoserebral. Dengan analisis epidemiologi, organisme itu ditemukan dalam AC (Air Conditioner) di kantor dokter itu.2

Rhizopus rhizopodoformis

Ditemukan dari infeksi kulit pada pasien DM yang mendapat transplantasi ginjal dan dari penyakit rhinocerebral pasien DM. Jumlahnya ± 10 – 15%. Termasuk etiologi yang paling sering dari infeksi kulit dan GIT. Dapat juga diperoleh dari pakaian bedah yang terkontaminasi. Namun, hanya sedikit infeksi organ ini yang serius.2

Absidia corimbifbra

Mungkin merupakan etiologi pada kasus zigomikosis pertama yang dilaporkan Fubinger dan Paltauf. Urutan kedua setelah R. arrhizus pada penyakit manusia, dan merupakan yang tersering pada mamalia dan burung.2

Rhizomucor pusillus

(6)

R. meihei

Adalah spesies termotoleran, patogen pada tikus tapi tidak didokumentasikan sebagai penyebab infeksi natural. Beberapa strain R. pusillus (Ainsworth dan Autswick, 1950-an) diidentifikasi sebagai. R . meihei. R. tauricus bersifat termofilik (diatas 55oC) dan osmofilik tapi sejauh ini tidak ada kasus dilaporkan.2

Cokeromyces recurvatus

Diisolasi dari tanah dan kotoran binatang pengerat dan kadal. Terjadi pada manusia pada 2 kasus. Yang pertama melibatkan kolonisasi di vagina dan yang kedua kolonisasi pada vesica urinaria. Dalam kedua kasus ini, bentuknya adalah “multiple budding yeast” dengan ∅ 15 – 25 mm.2

Mucor circinelloides

Bersama dengan anggota genus Mucor lain, dapat menghasilkan bentuk “yeast like” dalam pertumbuhannya, ditemukan dalam urine manusia. Ada juga yang ditemukan pada spesimen feses, dan dari katak dalam bentuk “yeast”. Infeksi pada manusia jarang.2

Mortierella wolfill

Pada pertama kali diisolasi di India dari tanah, mirip penyebab pneumonia dan aborsi dari sapi. Wabah penyakit ini terjadi di Selandia Baru, Australia, Inggris, Amerika Serikat. Dibandingkan dengan spesies lain, relatif tidak sangat virulen kecuali diberikan dari rute intraserebral.2

Cunninghamella bertholletiae

(7)

Saksenaea

Genus monotype Saksenaea ditemukan oleh Saksena (1953) berdasarkan isolan dari tanah di India dan tempat lain. S Vasiformis dicatat dari infeksi manusia tahun 1976, dimana pasiennya menderita trauma kepala yang parah, dan infeksi suborbital berkembang ketika pasien mendapat steroid. Terapi Amphotericin-B gagal. 3 kasus dilaporkan Ellis dan Kominski. Yang pertama terjadi pada lengan atas kiri, berupa makula yang berulkus dan progresif, Amphotericin B berhasil. Kasus kedua terjadi pada wanita Goth berupa makula eritema di tungkai tanpa riwayat luka sebelumnya, dibutuhkan amputasi karena terjadi kerusakan jaringan kutan yang progresif. Tidak ada detail yang diberikan pada kasus ketiga.2

Apophysomyces elegans

Didapat dari tanah di India. Ellis dan Ayelb menemukannya dari hapusan bronkus pasien (1982). Winn dkk (1982) melaporkan 3 kasus pada manusia dengan lesi invasif yang mengikuti trauma. Debridement yang agresif dan Amphotericin B dibutuhkan; 1 pasien meninggal. Kasus Wieden dkk terjadi pada pasien diabetes yang tidak terkontrol. Lawrence dkk melaporkan infeksi sistemik pada host yang imunocompromised. Pada semua kasus, jalan masuknya diperkirakan melalui kulit atau paru.2

GAMBARAN KLINIS

Zigomikosis adalah penyakit yang sangat bergantung pada kondisi imunologis tubuh pejamu dan kemampuan organisme penyebab untuk tumbuh pada lingkungan tertentu. Dengan demikian infeksi dapat berlangsung kronis bahkan dorman, tetapi dapat pula akut dan fulminan. Demikian pula organ tubuh yang diserang dapat bermacam-macam, bergantung pada tempat masuknya organisrne.2,4

Zigomikosis rinoserebral akut

(8)

Gejala klinis pada hidung : dari hidung keluar sekret berwarna hitam dengan sedikit bercak darah. Pada septum dan konka tampak bercak-bercak merah kehitaman sebagai area nekrotik. Kerokan yang diambil dari sekret/nanah hidung diperiksa dengan Potassium hydroxida yang akan menunjukkan mivelium bersepta lebar dan jarang dan mengkonfirmasikan diagnosa. Kultur juga harus dikerjakan, dan jika berhasil akan menunjukkan Rhizopus sp. Jika sinus terlibat, penampakan berawan, dengan air fluid level pada pemeriksaanX -Ray.2,3,4,6 Gejala klinis pada mata : Berupa rasa nyeri, terbatas yang gerakan mata, proptosis dan kehilangan penglihatan. Dapat pula diikuti timbulnya selulitis orbita yang hebat, yang merupakan tanda prognosis yang buruk. 1,2,3,4,5 Gejala klinis serebral : Saraf otak ketujuh dapat diserang dan menyebabkan kelumpuhan wajah ipsilateral. Bila terjadi invasi serebral lebih jauh dapat menyebabkan gangguan neurologis sampai koma.2,3,4,5,6

Zigomikosis rinofasial kronis

Dalam beberapa kepustakaan penyakiti ni dimasukkand aiam satu golongan

Entomophthorales, karena organisme penyebab adalah Conidiobolus sip. dari ordo Entomophthorales.2,3,4

Baik pada manusia maupun hewan, infeksi dimulai dari hidung dan melibatkan area-area yang berdekatan/berbatasan dengan kecenderungan kecil untuk menyebar. Tidak ada korelasi dengan faktor predisposisi atau penyakit yang mendasari, dan pasien dalam keadaan sehat.

(9)

pipi, dahi dan bibir. Pembengkakan kelopak mata menyebabkan Leukoma mata. Pemeriksaan rontgen menunjukkan antrum yang opaque, obliterasi dari ruangan udara di hidung, penebalan mukosa. Tidak ada demam, jumlah darah tidak meningkat dan pasien normal. Kelenjar getah bening sekitarnya dapat terinfeksi tetapi kondisi kesehatan pasien tetap normal.2,3,4

Zigomikosis Sub Kutan Kronis

Gejala klinis berupa massa subkutan yang tunggal, tidak nyeri, berbatas tegas dan teraba keras. Ukuran bertambah besar mengikuti bertambahnya waktu. Dengan palpasi massa dapat digerakkan dari dasarnya, tetapi melekuk pada kulit. Konsistensinya keras seperti karet India (firm India rubber), tidak melekuk bila ditekan dan tepinya licin membulat. Kadang kala tepi dapat berbenjol-benjol, demikian pula dapat dijumpai bagian-bagian yang lunak. Salah satu tanda yang khas, yaitu jari pemeriksaan dapat dimasukkan ke bawah massa tersebut dan mengangkatnya. Kulit pada permukaan lesi dapat normal atau hipotrofik disertai kelainan pigmentasi, tetapi tidak terdapat ulserasi. Biasanya aktif berwarna kebiruan atau merah kebiruan. Demam ringan kadang-kadang ditemukan. Rasa gatal dan terbakar timbul, bila ada infeksi sekunder yang disebabkan oleh bakteri, juga disertai feukositosis dan peningkatan laju endap darah.2,3,4,5,6,7

(10)

Pembengkakan sub kutan mempunyai konsistensi yang keras dan berbatas tegas ; tidak sakit dan tidak melekat ke kulit di atasnya, namun konsistensi yang keras dan berbatas tegas ; tidak sakit dan tidak melekat ke kulit di atasnya, namun terikat ke fascia otd di bawahnya. Biasanya terkandung di dalam pamiculus. Kulit diatasnya cenderung menjadi atropi dan berubah warna atau hiperpigmentasi tapi tidak berulcus. Massa terus tumbuh dan kadang- adang melibatkan seluruh bahu, lengan, tubuh bagian atas, wajah dan leher atau seluruh kaki tungkai dan bokong. Pada sedikit kasus, keterlibatan organ di bawahnya seperti hati, usus dan otot telah diamati.2

Pasien biasanya tidak mempunyai faktor predisposisi dan perjalanan penyakitnya ringan. Beberapa laporan menyebutkan kasus - kasus fatal yang tidak lazim, misalnya : seorang anak Brazil dengan infeksi intra-abdominal, pasien diabetes yang tidak terkontrol dengan sinusitis maksilaris akut yang meluas ke palatum dan konka, serta seorang pasien yang diobati dengan bermacam - macam antibiotik, sehingga penyakitnya menjadi generalisata.2,3,4

Lokasi yang paling sering adalah pada bokong atau paha, dapat pula pada ekstremitas dan batang tubuh. Beberapa kasus infeksi diawali di leher dan wajah, menyebar ke jaringan sekitarnya secara kontinuitatum. Tidak ada penyebaran hematogen. Kelenjar getah bening regional biasanya membesar, tetapi kadang kala dapat membesar dengan gambaran histopatologis yang hanya menunjukkan hiperplasia dan sangat jarang ditemukan jamur.2,3,4

Zigomikosis kutan

Zigomikosis kutaneus primer paling sering terjadi pada pasien

imunocompromised, misalnya :

- transplantasi ginjal yang diobati dengan azatioprin dan steroid. - diabetes melitus

(11)

- terapi imunosupresi

- luka bakar stadium 2 dan 3

- trauma lokal karena kateter intravena, maserasi akibat plester dan keringat yang berlebihan, serta gigitan serangga

- gagal ginjal kronis.2,3

Fenuilhade de Chauvin dkk melaporkan pada pasien transplantasi ginjal yang mendapatkan lesi konfluen pada tempat penusukan kateter. Rhizopus rhizodoformis ditemukan, dan pasien terapi dengan Amphotericin B dan Ketoconazzle. Mereka membahas l8 kasus lain dengan gambaran sama. West dkk melaporkan abses inguinal pada pasien tranplantasi ginjal yang lain yang juga terinfeksi R. rhizopodofbrmis. Terapi dengan bedah dan Amphotericin B berhasil. Pada potongan histologi dari kebanyakan kasus, reaksi pyogranulomatus sampai nekrosis, biasanya kekurangan infiltrasi leukosit, dicatat. Hifa hanya sedikit mempunyai halo eosinofilik, dan walaupun pembuluh darah dapat terinvasi, invasinya tidak seperti pada tipe rhinocerebral. Pada kebanyakan kasus Apophysomyces, kulit yang rusak adalah jalan masuknya.2

Banyak dari kasus zigomikosis kutan primer dihubungkan dengan perban yang terkontaminasi dan pakaian bedah. Lesinya bervariasi tergantung morfologi, termasuk palque, ulkus, abses yang dalam, dan gambaran nekrotik. Kebanyakan sembuh dengan sedikit terapi dan tidak berhubungan dengan penyebaran.2

Dalam kasus yang dilaporkan oleh Myskowski dkk, plaque subkutan berukuran 2 x 2 cm, lunak, eritematous, dengan daerah tengah berindurasi ungu tua berkembang di anterior dari paha kiri pada pasien transplantasi sumsum tulang. Pemeriksaan dada pada waktu yang sama menunjukkan infiltrat pada lobus kanan bawah. Mycelium tidak bersepta ditemukan dalam spesimen punch biopsi dari lesi, dan R. rhizopodoformis tumbuh.2

(12)

Azathioprine. Penggunaan Cyclosporin tampaknya mengurangi insidens zigomikosis pada pasien tipe ini, dan tidak terlalu mesupresi imun.2

Bahkan pasien diabetes non-acidotik terpapar kolonisasi dan infeksi kulit oleh karena zigomycetes. Reyes dan Rippon dan Maliwan dkk menyebutkan ulkus zygomycetes primer di anggota gerak, tumit dan kaki dari pasien diabetes. Ini juga diduga sebagai invasi primer dari kulit yang utuh atau terjadi di area yang sebelumnya mengalami trauma, seperti tabrakan.2

Kerusakan barrier lainnya yang menjadi predisposisi untuk kolonisasi dan infeksi zygomycetes terjadi pada pasien luka bakar yang parah. Kadang-kadang onset dan perjalanan penyakit cepat dan dramatis dengan invasi pembuluh darah dan diseminasi ; namun, lesinya bisa statis, indolent, dan mudah diatasi dengan eksisi.2

Bentuk lesi bisa bermacam-macam, mulai dari lesi tunggal yang eritematosa, indurasi dan sedikit nyeri seperti selulitis. Di bagian tengah timbul area yang nekrotik berwarna kehitaman. Batas nekrosis tegas dan mirip gambaran ektima gangrenosum atau necrotizing fasciitis. Lesi dapat disertai pustul dan ulserasi dengan abses yang dalam dan bercak-bercak nekrosis. Sebagian ahli membagi zigomikosis kutan dalam dua bentuk, yaitu :

- Superfisial ; sering terjadi karena plester (Elotoplast), lesi berupa eritema, pustul dan vesikel, tidak ada invasi pembuluh darah.

- Gangrenosa ; bentuk lesi berupa ulkus, nekrosis, disertai eskar, ada invasi vaskular.2,3,4

Bila pasien tersebut imunikompeten, maka infeksi menyembuh dengan pengobatan ringan (krim tramsinolon asetonid, salap gentamisin sulfat, dan kompres aluminium diasetat atau air) dan tidak menjadi diseminata. Pada pasien

imunocompromised, infeksi dapat menyebar, diduga melalui jalan hematogen sampai

ke paru dan susunan saraf pusat.2,3,4

(13)

Infeksi ini jugu dihubungkan dengan kondisi imunocompromised yang disebabkan oleh human imunodefiency virus (HIV). Delapan dari sepuluh pasien zigomikosis yang juga penderita infeksi HIV, adalah pengguna obat-obatan intravena. Hubungani ni sulit dijelaskan, tetapi ada dugaan penyuntikan karbon koloidal dan zat besi ternyata meningkatkan patogenitas jamur ini. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya kasus zigomikosis serebral pada pasien kecanduan obat yang diberikan secara parenteral, awal aupun tidak tampak adanya imunosupresi. Diduga disfungsi sel T pada penderita HIV bukan merupakan faktor penting untuk terjadinya zigomikosis. Neutrofil memegang peranan utama dalam pertahanan tubuh terhadap jamur ini. Pertumbuhan jamur ini membutuhkan adanya zat besi. Pasien yang menggunakan desferioksamin (obat yng mengikat zat besi yang berlebihan di dalam tubuh), misalnya pasien gagal ginjal kronis dengan dialisis, dapat mengalami zigomikosis. Diduga jamur ini mengambil zat besi yang berikatan dengan desferioksamin tersebut untuk pertumbuhannya. Pasien diabetes dengan asidosis metabolik tidak memiliki aktivitas inhibisi terhadap jamur Rhizopus arrhizus dalam serumnya. Bila asidosisnya telah dikoreksi, maka aktivitas inhibisi ini dapat kembali normal.4

Zigomikosis Pulmoner Dan Disseminata

(14)

pluera, dan sputum berdarah. Kavitas masif dapat terbentuk. Infiltrat nodular dan non spesifik muncul di lapangan paru dan menyerupai Aspergillosis atau infeksi bakteri. Penyakit ini biasanya progresif sampai fatal dalam 3-30 hari. Beberapa pasien, bahkan dengan infeksi akut, telah bertahan dengan terapi Amphotericin B. walaupun tipe ini paling banyak pada pasien leukemia dan limfoma, faktor prediposisi lain termasuk transplantasi organ (kadang-kadang terjadi sebagai infeksi nosokomial), diabetes, pembedahan dan penggunaan stereoid. Gambaran histologi dideskripsikan seperti infeksi oportunistik lain : invasi pembuluh darah, trombosis, infark. Ketika diisolasi, Rhizopus arrhizus adalah penyebab tersering, tetapi sejumlah spesies lain telah dilaporkan. Hanya 5 dari 38 pasien dengan penyakit paru bertahan, dan tak satupun dari 21 dengan infeksi paru dan sistemik sembuh. Kolonisasi dari zygomycetes membentuk kavitas di paru atau bronkus mengakibatkan pembentukan pola-pola jamur yang analog dengan aspergilloma, (yang lebih sering terlihat). Seperti dijumpai pada aspergilloma, bola-bola jamur zygomycetes dapat indolen atau membesar perlahan dan mengkikis pembuluh darah menyebabkan hemoptysis.2

Zigomikosis Abdominal- Pelvis Dan Gaster

Zigomikosis gastrointestinal sering terjadi pada hewan seperti lembu dan babi, tetapi jarang pada manusia. Seperti infeksi primer pada manusia, sering dihubungkan dengan pasien bergizi rendah, terutama anak-anak. Dalam pembahasan 22 kasus, Neam dan Rayner menemukan penyakit gastrointestinal parah yang mendasarinya untuk menjadi faktor predisposisi. Termasuk didalamnya adalah kwashiokor, kolitis amuba, thypus dan pell agra. Terdapat bukti dalam beberapa kasus bahwa anak-anak memakan biji-bijian berjamur, yang menyebabkan infeksi. Kondisi predisposisi lainnya termasuk leukemia, diabetes dan pembedahan. Dalam kasus Gaster dari Bittencourt dkk, de Aguilar dkk, Schmidt dkk, agen penyebabnya adalah Conidiobolus dan Basidiobolus spp, dan tampaknya masuk melalui mukosa gaster.

Pasien tidak mempunyai predisposisi yang terdeteksi. Dalam kebanyakan kasus gaster lain dimana kulturnya telah dibuat, absidia cosimbifera dapat diisolasi.

(15)

“coffee ground” hematemesis, dan buang air besar darah dilaporkan. Ulcerasi dari

mukosa gaster dengan trombosis dan pembuluh darah yang berhubungan sering diamati dalam suatu otopsi manusia. Dalam beberapa kasus ada penyebaran hematogen ke sub mandibular node ; dalam kasus lain ada keterlibatan sistem organ yang berdekatan. Tidak terdapat daerah yang khusus, seperti daftar laporan di kolon, lambung, esofagusi, leum dan pelebaran ke vesica urinaria, pankreas, limfa. Tanda-tanda peritonitis dapat menjadi bukti bahwa umumnya lesi menyebabkan perforasi dinding gasrointestinal. Biasanya perjalanan penyakit ini 70 hari. Penyebab kematian adalah shock karena perdarahan usus, mengakibatkan peritonitis dan infeksi usus. Dalam situasi biasa, bukti histologik dari invasi hifa ke dinding pembuluh darah dan lumennya ditemukan. Dalam kasus kronis (Bittencout dkk) hifa ditemukan dalam jaringan yang terkena, dan mempunyai halo eosinofilik. Durasi penyakit ini beberapa bulan. Pada pasien yang dijelaskan oleh Aguilar dkk, suatu massa fibrotik mengelilingi lambung & kolon transversum. Dalam kasus pertama yang dilaporkan dari Amerika Serikat, Schmidt dkk menjelaskan infeksi Basidiobolus ranarum pada pasien diabetes berumur 69 tahun melibatkan massa yang melekat ke ileum terminalis, caecum dan kolon ascendens.2

Sementara kebanyakan infeksi gasrointestinal pada manusia oleh zygomycosis dihubungkan dengan faktor predisposisi, hal ini tidak teradi pada binatang. Zygomycosis hewan peliharaan lebih sering terlihat dalam dua pola. Yang lebih sering adalah keterlibatan lymph node mesenterika, bronkial, mediastinal atau submaksilar, kadang - kadang hepar, paru dan ginjal ikut terkena. Ini merupakan proses granulomatous yang dapat mengakibatkan kematian binatang. Bentuk kedua dari penyakit binatang adalah ulcerasi gaster dan usus.2

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Sediaan langsung

(16)

di laboratorium. Sediaan diambil dari cairan ulkus, abses, cairan hidung, aspirasi sinns, atau sputum penderita.2,3,8,9

Kultur

Jamur golongan Mucor dan Entomophthorales tumbuh dengan cepat pada sebagian besar media jamur. Jamur ini sensitif terhadap sikloheksamid, sehingga media mycosel dan mycobiotic tidak dapat dipergunakan. Bahkan kultur. Diinkubasi pada suhu 25 - 30Co dalam media Sabodrand dan jamur tumbuh dalam satu sampai dua minggu. Dapat pula digunakan potato-glucose agar, malt agar atau czapek

solution agar.2,3,8,9 Biopsi Jaringan

Biopsi jaringan yang terinfeksi menunjukkan hifa lebar, dengan sedikit septa, bercabang dan caenositik. Pada jamur golongan Mucorales, dapat dilihat invasi hifa ke dalam pembuluh darah dan menyebabkan trombosis dan infark, sedangkan lazimnya terdapat di dermis dan jaringan dibawahnya. Secara histopatologis tampak jaringan granulomatosa yang menggantikan jaringan lemak, walaupun kadang kadang masih dapat ditemukan jaringan lemak. Di sekeliling hifa jamur Basidiobolus dan Conidiobolus dapat dilihat halo-eosinofilik (Splendore-Hoepple Phenomenon) yang merupakan petanda khas jamur ini. Halo-eosinofilik ini tidak ditemukan pada jamur lain dalam kelas zygomycetes. Substansi perihifa ini dahulu diduga merupakan area nekrotik yang disebabkan oleh metabolit jamur, tetapi sekarang diduga merupakan presipitat imun, walaupun pada Conidiobolus coronatus tidak dapat ditemukan IgG. Untuk pewarnaan dapat dipakai hematoksilin eosin atau PAS. Dengan pewarnaan PAS, haloeosinofilik akan tampak jelas, sehingga memudahkan pencarian hifa. Pewarnaan hematoksilin-eosin menampakan hifa yang berwarna biru tua.2,3,4

Serologi

(17)

presipitin antigen spesifik dari masing masing genera. Tes ini berguna untuk memonitor resolusi kedua penyakit tersebut.2,3,4

DIAGNOSIS BANDING

Zigomikosis dengan keterlibatan sinus paranasalis harus didiagnosis banding dengan sinusitis bakterial. Bila ada perluasan ke orbita, perlu dibedakan dengan trombosis sinus kavenosus. Zigomikosis pulmonal sulit dibedakan dengan aspergilosis dan pneumonia karena Pseudomonas aeruginosa terutama pada pasien immunocompromised. Midline granuloma dan granulomatosis wagner dapat menimbulkan obstruksi hidung dan rinore, tetapi pada kelainan ini ada vaskulitis dan nekrolisis jaringan, yang tidak ada pada zigomikosis. Zigomikosis subkutan harus dibedakan dengan sarkoma jaringan lunak dan misetoma yang mempunyai derajad indurasi yang sama. Perbedaanya terletak pada sinus- sinus yang mengeluarkan sekret dan adanya fiksasi pada jaringan di bawahnya, terutama bila ada perluasan ke tulang. Selulitis bakterial lebih akut dan nyeri, sedangkan zigomikosis subkutan kronis dan tidak nyeri. Semua kelainan di atas dapat disingkirkan dengan pemeriksaan langsung, biopsi, dan kultur.2,3,4

PENGOBATAN

Pengobatan tepat dan cepat dapat menyelamatkan penderita. Pengobatan harus segera diberikan, terutama pada pasien imunocompromised. Dapat diobati dengan cara:

1. Operatif/debriedement ; khususnya pada kasus zigomikosis kutan, perawatan luka sangat penting. Pada beberapa kasus dapat terjadi penyembuhan tanpa pengobatan spesifik.

2. Kombinasi dengan amfoterisin B.

(18)

Menurut Prevo dkk, pengobatan dengan griseofulfin dan ketokonazol tidak memberikan hasil yang memuaskan.4

Amfoterisin B diberikan secara intravena dengan dosis I mg/kg berat badan sampai infeksi mereda. Setelah itu dapat diturunkan 0,5-0,6 mg/kb berat badan atau dua kalinya setiap dua hari. Peneliti lain memberikan amfoterisin B dengan kombinasi rifampisin, karena bersifat sinergistik. Ada pula yang mengkombinasikan amfoterisin B dengan golongan triazole, karena dalam satu laporan percobaan pada hewan dengan kandidiasis obat-obat ini bekerja sinergistik. Kadang kala amfoterisin B resisten, tetapi masih tetap dapat dipakai karena mempunyai efek menstabilkan dinding sel. Dengan demikian obat golongan azol dapat masuk ke intrasel dan menghambat enzym P-450 yang dibutuhkan oleh jamur untuk perbaikan dinding selnya. Pengobatan dilanjutkan hingga 8- l0 minggu. Tidak ada patokan lama pemakaian dan dosis amfoterisin B. pernah dilaporkan kekambuhan, tetapi jarang.3,4

Basidiobolus sp. dapat diobati dengan larutan KJ dengan dosis 30 mg/kg

berat, diberikan sebagai dosis tunggal alau terbagi. Pembagian biasanya dimulai dengan 3 x 3 tetes dan perlahan-lahan dinaikkan sampai tampak tanda-tanda intoksikasi. Dosis maksimum tidak bergantung pada usia dan bersifat perorangan. Pengobatan biasanya dilanjutkan 6 -12 bulan. Bila tidak ada perbaikan, dapat diberi ketokonazol 400 mg, selama 1 bulan. Laporan lainnya berhasil dengan trimetropim-sulfametoksasol, demikian pula itrakonasol 100-200 mg/hari selama l-2 bulan. Penyembuhan spontan pernah dilaporkan.3,4,8,9

Belum ada pengobatan yang memuaskan untuk Conidiobulus. Pengobatan dengan amfoterisin B memberikan hasil kurang baik dengan kekambuhan. Terapi operatif dapat mengurangi gejala untuk sementara. Kalium yodida tidak memberikan hasil baik pada infeksi oleh golongan Mucorales.4

PROGNOSIS

(19)

PENUTUP

Zigomikosis merupakan infeksi jamur yang terjadi, tetapi dapat fatal. Penyakit ini perlu diwaspadai terutama karena semakin banyaknya penderita

imunocompromised, misalnya penderita dengan transplantasi organ, penggunaan

(20)

DAFTAR PUSTAKA

1. Chandler WF. Kaplan W, Ajello, Zigomycosis dalam A Colour Atlas and Textbook of the Histophatology of Mycotic Diseases, Wolfe Medical Publications Ltd, 1980. t22 - 6.

2. Rippon JW, Medical mycology. The pethogenic fungi and the pathogenic acitinomycetes. Edisi ke - 3. PhiladelphiaW: B Saunders. 1988. 68 - 113.

3. Kwon-Chung KJ, Bennet JE, Medical mycology, Philadelphia. Lea & Febriger, 1992 : 441 - 63, 524-59.

4. Sirait SP. Menaldi SL, Zigomikosis dalam Media Dermato-venereologika Indonesiana, Vol. 26. No. 1 Januari 1999, 49 - 59.

5. Shandomy HJ, Utz JP. Deep fungal infections. Dalam : Fitpatrick TB, Eisen AZ, Wolf K. Freeburg IM, Austen KF. Dermatology in general medicine. Edisi ke-4. New York: McGraw-Hill Inc. 1993 2487 - 9.

6. Rook, Wilkinson, Ebling. Texbook of dermatology. Edisi ke-5 Champion RH, Burton H, Ebling FJ. Editor. Oxford Blackwell Scientific Publ.

7. Elgart ML, Warren NG, Superficial and deep mycoses. Dalam Moshella SL. HurleyH J. Dermatology. Edisi ke-2. Philadelphia Wb Saunders Co. 1985: 186-7. 8. Kuswadji. Fikomikosis subkutis, dalam : Diagnosis dan penatalaksanaan

dermatomikosis. Budimulia U et all, Editor. J akarta, Balai Penerbit FK-UI, 1992, 99 - 102.

9. Siregar RS. Penyakit Jamur Kulit, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1995 : 49 - 52.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

orang mengalami penyakit ginjal kronik stadium akhir.Pengobatan untuk penderita yang didiagnosa mengalami gagal ginjal terminal tetapi tidak menjalani transplantasi

Magnetic Resonance Imaging (MRI) digunakan untuk mengevaluasi kasus yang disebabkan oleh obstruksi uropathi, ARF, proses infeksi pada ginjal serta post transplantasi

Dugaan klinis PH harus dipikirkan pada semua kasus sesak napas tanpa penyakit paru atau jantung yang nyata atau pada pasien dengan latar belakang penyakit jantung atau

Hal ini bisa terjadi secara primer yang berkaitan dengan uremia ataupun sekunder dari adanya kelebihan cairan, penyakit jantung ginjal, emboli paru, dan infeksi

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rahimian, dkk terhadap 80 pasien penyakit ginjal kronik yang telah menjalani hemodialisis selama 6 bulan,

Fungsi dukungan sosial antara lain membantu penderita gagal ginjal melalui masa – masa sulitnya (Taylor dkk, 2009; Baum dkk, 2010), membantu pasien beradaptasi dengan penyakit

Pada kasus ini, pasien memiliki riwayat penyakit batu ginjal (pada ginjal kiri) sejak 10 tahun yang lalu, namun tidak dilakukan oerasi, karena pasien menolak tindakan

Dialysis pertitoneal merupakan terapi pilihan bagi pasien gagal ginjal yang tidak mampu atau tidak mau menjalani hemodialsis atau transplantasi ginjal. Pasien yang rentan