• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak kebijakan pengembangan kedelai terhadap kinerja dan kesejahteraan konsumen dan produsen kedelai di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak kebijakan pengembangan kedelai terhadap kinerja dan kesejahteraan konsumen dan produsen kedelai di Indonesia"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KEDELAI

TERHADAP KINERJA DAN KESEJAHTERAAN KONSUMEN

DAN PRODUSEN KEDELAI DI INDONESIA

DEVI SETIABAKTI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Dampak Kebijakan Pengembangan Kedelai Terhadap Kinerja dan Kesejahteraan Konsumen dan Produsen Kedelai di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2013

(3)

RINGKASAN

DEVI SETIABAKTI, Dampak Kebijakan Pengembangan Kedelai Terhadap Kinerja dan Kesejahteraan Konsumen dan Produsen Kedelai di Indonesia. Dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM, WILSON H LIMBONG dan HANDEWI P SALIEM.

Kedelai merupakan tanaman palawija yang kaya akan protein dan memiliki arti penting sebagai sumber protein nabati untuk peningkatan gizi masyarakat. Permintaan kedelai yang terus meningkat tidak dapat diimbangi oleh produksi dalam negeri, padahal Indonesia pernah mencapai swasembada kedelai pada tahun 1992, namun kemudian produksi dalam negeri terus menurun sampai tahun 2010 sehingga dilakukan impor yang cukup besar. Besarnya impor kedelai juga dipicu oleh perubahan kebijakan tata niaga kedelai, yakni dengan diberlakukannya pasar bebas mengakibatkan banjirnya kedelai impor dengan harga murah. Kedelai impor telah membuat para petani enggan untuk menanam kedelai. Hal ini terjadi karena kedelai lokal kalah bersaing dengan kedelai impor dari segi harga maupun kualitas. Dengan demikian petani merasa tidak mendapatkan insentif untuk menanam kedelai sehingga kesejahteraannya turun, apalagi tidak ada jaminan harga pada saat panen raya.

Tujuan penelitian secara umum adalah menganalisis dampak kebijakan pengembangan kedelai terhadap perubahan penawaran dan permintaan, kesejahteraan konsumen dan produsen kedelai di Indonesia. Metode, Data yang digunakan adalah time series dari tahun 1981 sampai 2010. Data dianalisis dengan pendekatan ekonometrika dengan model persamaan simultan. Parameter diestimasi dengan metode two stage least squares (2SLS) yang menggunakan program SAS/ETS (Statistical Analysis System/Econometric Time Series) R 9.1.

Kesimpulan: Produksi kedelai di Indonesia sangat dipengaruhi oleh harga kedelai di tingkat petani, harga sarana produksi terutama pupuk urea dan benih kedelai, upah tenaga kerja serta jumlah impor kedelai. Faktor-faktor ini berpengaruh melalui perubahan peningkatan luas areal panen dan produktivitas kedelai. Luas areal panen kedelai sangat responsif terhadap perubahan harga atau upah tenaga kerja pertanian baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Sedangkan produktivitas kedelai kurang responsif terhadap faktor-faktor pembentuknya. Satu dari hasil simulasi kebijakan adalah peningkatan harga kedelai di tingkat petani sebesar 35 persen sangat efektif untuk meningkatkan kesejahteraan bagi produsen atau petani kedelai. Meningkatnya kesejahteraan produsen kedelai ini karena adanya peningkatan luas areal panen kedelai sehingga akan meningkatkan produksi kedelai.

Implikasi kebijakan: Untuk meningkatkan produksi kedelai sebaiknya pemerintah merumuskan kebijakan yang akan memberikan manfaat baik kepada produsen maupun konsumen. Kebijakan yang dilakukan secara partial hanya akan menguntungkan satu pihak saja. Untuk mendorong petani agar mau meningkatkan produksinya, kebijakan pemerintah selain memberikan bantuan berupa subsidi sarana produksi juga harus dibarengi oleh adanya jaminan harga ketika terjadi panen raya, karena pada saat ini posisi tawar petani sangat rendah.

(4)

SUMMARY

DEVI SETIABAKTI, Impact of Soybean Development Policy on Performance and Soybean Consumer and Producer Welfare in Indonesia. Supervised by DEDI BUDIMAN HAKIM, WILSON H LIMBONG and HANDEWI P SALIEM.

Soybean is one of the major food commodities. It is a food crop that is rich in protein and it has an important role as a plant nutrients protein source that can

improve people’s nutrition. Soybean demand that keeps increasing cannot be

complied with domestic production, instead of the fact that Indonesia used to be a self-relying soybean country in 1992. However, the production then decreased gradually until 2010, so finally it must be imported greatly. The big amount of imported soybean is enhanced by the change of soybean business, namely the existence of free trade so that there is a lot of imported soybean with reasonable prices. Imported soybean has made farmers reluctant to grow soybean seeds. This is because local soybean is not competitive enough to imported soybean, seen from the viewpoint of price as well as quality. Farmers feel they do not have any incentive for growing soybean, so that their welfare becomes lower, especially when there is no guarantee during the great harvest.

The general objective of this research is analyzing impact of soybean development policy on supply, demand changes and soybean consumer and producer welfare in Indonesia. Methods: The survey was conducted on time-series datas between 1981 to 2010. Data were analyzed using a simultaneous equation model and parameter was estimated using the two stage least squares (2SLS) method that applies SAS/ETS (Statistical Analysis System/Econometric Time Series) program Versi 9.1 for Windows.

Conclusions: Soybean production in Indonesia is strongly influenced by the price of soybeans at the farm level, prices of production facilities especially urea fertilizers and soybean seeds, labor wage and soybean imports in which these factors are influential through changes in the increase of crop acreage and soybean productivity. Soybean crop area width is very responsive to changes in prices or wages of agricultural labor both in short term and long term while soybean productivity is less responsive to its constituent factors. One of simulation policies was to increase soybean price in producer level at 35 percent, it would stimulate farmers to increase harvested area, soybean production and farmers welfare.

Implications of Policies to increase soybean production, the government should formulate policies that will provide benefits to both producers and consumers. Policies that are partially formulated will not benefit both parties, but only one party. To encourage farmers to increase their production, government policies must not only provide a subsidy of production facilities but also give guarantees in price during harvest time because at this time the bargaining power of farmers is very low. Price protection policy is aiming at output price stability

that will determine the farmers’ income, which in turn will change their welfare.

(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(6)

DAMPAK KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KEDELAI

TERHADAP KINERJA DAN KESEJAHTERAAN KONSUMEN

DAN PRODUSEN KEDELAI DI INDONESIA

DEVI SETIABAKTI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr.Ir. M. Parulian Hutagaol, MS Dr.Ir. Harianto, MS

(8)

Judul Disertasi : Dampak Kebijakan Pengembangan Kedelai Terhadap Kinerja dan Kesejahteraan Konsumen dan Produsen Kedelai di Indonesia

Nama Mahasiswa : Devi Setiabakti

NRP : H363090171

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Dedi Budiman Hakim, MEc Ketua

Prof.Dr.Ir. Wilson H. Limbong, MS Dr.Ir. Handewi Purwati Saliem, MS Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ilmu Ekonomi Pertanian,

Dr.Ir. Sri Hartoyo, MS Dr.Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr

(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Alloh SWT, karena atas ridho dan karunia-ζya penulis dapat menyelesaikan disertasi ini yang berjudul “Dampak Kebijakan Pengembangan Kedelai Terhadap Kinerja dan Kesejahteraan Konsumen

dan Produsen Kedelai di Indonesia”. Penyusunan disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Disertasi ini merupakan kajian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan harga kedelai yang akan berdampak terhadap kinerja perkedelaian di Indonesia yang digambarkan oleh perubahan jumlah permintaan dan penawaran kedelai serta analisis perubahan kesejahteraan konsumen dan produsen kedelai.

Kami mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Tim Komisi Pembimbing yang diketuai oleh Bapak Dr.Ir. Dedi Budiman Hakim, MEc dan anggota Bapak Prof.Dr.Ir. Wilson H. Limbong, MS dan Ibu Dr.Ir. Handewi Purwati Saliem, MS yang telah memberikan banyak ilmu, bimbingan dan arahan baik dalam substansi materi, teori dan redaksi serta sistimatika berfikir.

Terima kasih pula atas motivasi dan dukungan semangatnya untuk terus maju dalam menyelesaikan studi yang kami rasakan cukup berat, khususnya kepada Kepala Pusat Pengembangan dan Pendidikan Pertanian - Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian Kementrian Pertanian yang telah memberikan kesempatan dan biaya untuk pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB, Sekretaris Direktorat Jenderal Tanaman yang telah memberikan izin belajar, Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang selalu mengingatkan dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan disertasi, Tim Penguji Prelim 2 (Dr.Ir. M. Parulian Hutagaol, MS, Dr.Ir. Sri Hartoyo, MS dan Dr.Ir. Ana Fariyanti, MS), Tim Penguji Ujian Tertutup (Dr.Ir. M. Parulian Hutagaol, MS, Dr.Ir. Harianto, MS, Dr.Ir. Sri Hartoyo, MS dan Dr. Muhamad Firdaus, SP.,MSi selaku moderator) yang telah memberikan masukkan, Tim Penguji Ujian Terbuka (Dr.Ir. Hermanto, MS, Dr.Ir. Sri Hartoyo, MS dan Dr. Meti Ekayani, S.Hut, MSc. dan Dr.Ir. Yusman Syaukat, MS selaku moderator). Terima kasih pula kami sampaikan kepada seluruh Staf Administrasi Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian dan rekan-rekan EPN Angkatan 2009 atas bantuan dan kerjasamanya. Kepada istriku Dedeh Rosidah dan anak-anakku tercinta, Sarah Fauziyah, Hibban Mubarak dan Nisrina Mardiyah terima kasih atas dorongan dan doanya. Demikian juga terima kasih kepada ayahanda Almarhum H. Endang Rukmana dan ibunda Hj. Emi Halimah serta H. Taufik Rosyidin dan Almarhumah Hj. Nuratiah atas pengorbanan dan doa restunya.

Tiada gading yang tak retak, begitupun dengan disertasi ini. Namun inilah karya maksimal yang dapat kami persembahkan, dengan harapan semoga karya ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Bogor, November 2013

(11)

DAFTAR ISI

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Kebaruan dan Kontribusi Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORITIS Program Pengembangan Kedelai di Indonesia

Konsumsi Kedelai

Harga dan Pemasaran Kedelai di Indonesia Sarana Produksi Usahatani Kedelai

Impor Kedelai Nasional Struktur Perdagangan Kedelai Kebijakan Kedelai Nasional Kesejahteraan Ekonomi Kedelai Efisensi Alokatif

Tinjauan Studi Terdahulu Kerangka Konseptual Penelitian Produksi Kedelai

Konsumsi/Permintaan Kedelai Penawaran Kedelai

Elastisitas

Impor Kedelai Indonesia

Dampak Kebijakan Ekonomi Dalam Pengembangan Kedelai Kebijakan Harga

Kebijakan Subsidi Sarana Produksi Kebijakan Tarif Impor

METODOLOGI

(12)

4.

5.

Validasi Model Simulasi Model

Perhitungan Perubahan Kesejahteraan Pengukuran Efisiensi Alokatif

Waktu dan Lokasi Penelitian Jenis dan Sumber Data

KINERJA MODEL PASAR KEDELAI DI INDONESIA Hasil Pendugaan Model

DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP PENGEMBANGAN KEDELAI DI INDONESIA

Simulasi Historis Periode Tahun 1998-2010

Simulasi 1 : Peningkatan Harga Kedelai Petani 35 Persen Masa Depan Kinerja Kedelai Periode 2011-2017

(13)

6.

7.

Analisis Dampak Kebijakan Terhadap Perubahan Indikator Kesejahteraan Periode Tahun 2011-2017

Analisis Efisiensi Alokatif Usahatani Kedelai

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KEDELAI DI INDONESIA Analisis Kebijakan

Rumusan Kebijakan Pengembangan Kedelai SIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN Simpulan

Implikasi Kebijakan S a r a n

82 84

86 88

91 92 93

(14)

DAFTAR TABEL

Potensi Industri Kecil Pengolahan Kedelai Tahun 2011 Perkembangan Luas Panen, Provitas dan Produksi Kedelai Tahun 1999-2010

Kebutuhan Kedelai per Tahun Bagi Industri Kecil dan Menengah (IKM) Pengolah Kedelai

Neraca Konsumsi dan Produksi Kedelai di Indonesia Tahun 1996-2008 Proyeksi Konsumsi Kedelai di Indonesia Tahun 2012-2025

Perkembangan Impor Kedelai Tahun 2000-2010 Analisis Kesejahteraan Dampak Penetapan Harga

Analisis Kesejahteraan Dampak Subsidi Sarana Produksi Analisis Kesejahteraan Dampak Pengenaan Tarif Impor Hasil Pendugaan Model Kinerja Kedelai di Indonesia Hasil Pendugaan Peubah dan Elastisitas Luas Areal Panen Hasil Pendugaan Peubah dan Elastisitas Produktivitas Kedelai Hasil Pendugaan Peubah dan Elastisitas Harga Kedelai Petani Hasil Pendugaan Peubah dan Elastisitas Harga Ked Pedagang Besar Hasil Pendugaan Peubah dan Elastisitas Permintaan Kedelai Nasional Hasil Pendugaan Peubah dan Elastisitas Persediaan Kedelai Nasional Hasil Pendugaan Peubah dan Elastisitas Impor Kedelai Indonesia Hasil Pendugaan Peubah dan Elastisitas Harga Ked Impor Indonesia Hasil Pendugaan Peubah dan Elastisitas Ekspor Kedelai Amerika Hasil Pendugaan Peubah dan Elastisitas Harga Ekspor Ked Amerika Hasil Validasi Model Pengembangan Kedelai di Indonesia

Hasil Simulasi Historis Peningkatan Harga Kedelai Petani 35 Persen Hasil Simulasi Historis Peningkatan Haraga Pupuk Urea 60 Persen Hasil Simulasi Historis Peningkatan Harga Benih Kedelai 25 Persen Hasil Simulasi Historis Swasembada Plus

Hasil Simulasi Historis Kombinasi Kebijakan Ekstensifikasi dan Intensifikasi Usahatani Kedelai

Hasil Simulasi Historis Penetapan Tarif Impor Kedelai 0 Persen Hasil Simulasi Historis Penetapan Tarif Impor Kedelai 27 Persen Rangkuman Hasil Simulasi Peramalan Tanpa Kebijakan

Hasil Simulasi Peramalan Peningkatan Harga Ked Petani 35 Persen Hasil Simulasi Peramalan Penurunan Harga Pupuk Urea 20 Persen Hasil Simulasi Peramalan Penurunan Haraga Benih Kedelai 20 Persen Hasil Simulasi Peramalan Swasembada Plus

Hasil Simulasi Peramalan Kombinasi Kebijakan Ekstensifikasi dan Intensifikasi Usahatani Kedelai

Hasil Simulasi Peramalan Penetapan Tarif Impor 27 Persen

Hasil Simulasi Peramalan Penurunan Prod Ked Amerika 20 Persen Rekapitulasi Dampak Simulasi Kebijakan Historis Tahun 1998-2010 Rekapitulasi Dampak Simulasi Peramalan Kebijakan Tahun 2011-2017 Dampak Simulasi Kebijakan Terhadap Perubahan Kesejahteraan Tahun 1998-2010

Dampak Simulasi Kebijakan Terhadap Perubahan Kesejahteraan Tahun 2011-2017

Hasil Analisis Efisiensi Alokatif Usahatani Kedelai di Indonesia

(15)

DAFTAR GAMBAR 1.

2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.

Perkembangan Produksi dan Konsumsi Kedelai Tahun 1999-2010 Harga Eceran Bulanan Kedlai Lokal dan Paritas Impor Thn 2008-2011 Rantai Pemasaran Kedelai di Indonesia

Surplus Produsen Surplus Konsumen

Kerangka Konseptual Penelitian

Dampak Penetapan Harga Terhadap Surplus Konsumen dan Produsen Dampak Subsidi Sarana Produksi Terhadap Surplus Konsumen dan Produsen

Dampak Penerapan Tarip Impor Terhadap Surplus Konsumen dan Produsen

Kerangka Model Ekonometrika Kinerja Kedelai di Indonesia

4 5 12 16 17 23 29 30 31 36

DAFTAR LAMPIRAN 1.

2. 3. 4. 5. 6. 7.

Data Dasar yang Digunakan dalam Penelitian

Program Pendugaan Model Kinerja Kedelai di Indonesia Hasil Pendugaan Model Kinerja Perkedelaian di Indonesia Hasil Validasi Model

Hasil Peramalan Peubah Eksogen Tahun 1998-2010 Hasil Peramalan Peubah Endogen Tahun 2011-2017 Hasil Analisis Efisiensi Alokatif

(16)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sektor pertanian masih memegang peranan strategis dalam pembangunan perekonomian nasional, dimana peran ini dapat digambarkan melalui kontribusi yang nyata dalam pembentukan kapital, penyediaan lapangan pekerjaan, sumber devisa negara dan sumber pendapatan serta pelestarian lingkungan melalui praktek usahatani yang ramah lingkungan. Salah satu peran strategis pertanian adalah pemenuhan kebutuhan pangan bagi penduduk Indonesia yang berjumlah 237,64 juta jiwa (2010) dengan laju pertumbuhan sebesar 1,25 persen per tahun, dimana tugas ini merupakan tugas yang tidak ringan. Pada kondisi tersebut Kementrian Pertanian selama lima tahun kedepan menempatkan beras, jagung, kedelai, daging sapi dan gula sebagai lima komoditas pangan utama (Kementerian Pertanian, 2010).

Kedelai salah satu komoditas pangan utama, merupakan tanaman palawija yang kaya akan protein dan memiliki arti penting sebagai sumber protein nabati untuk peningkatan gizi masyarakat. Menurut Direktorat Gizi (2001), biji kedelai mengandung gizi yang cukup tinggi, terutama proteinnya yang mendekati protein susu sapi (+ 35-38 %). Pemanfaatan kedelai disamping sebagai sumber protein dan lemak juga mengandung vitamin dan mineral serta merupakan sumber serat sehingga dapat digunakan sebagai makanan penurun kolesterol dan dapat mencegah penyakit jantung serta dapat berfungsi sebagai antioksidan juga dapat mencegah penyakit degenaratif seperti diabetes melitus dan kanker (Astawan, 2009). Oleh karena itu, kebutuhan kedelai akan meningkat seiring dengan kesadaran masyarakat tentang makanan sehat dan pertambahan jumlah penduduk.

Produk kedelai sebagai bahan olahan pangan berpotensi dan berperan dalam menumbuh kembangkan industri kecil dan menengah bahkan sebagai komoditas ekspor. Industri Kecil dan Menengah (IKM) pengolah kedelai berjumlah sekitar 92,4 ribu unit usaha, yang terdiri dari IKM tempe sebanyak 56,76 ribu unit usaha, tahu sebanyak 28,60 ribu unit usaha dan sisanya IKM kecap dan tauco serta aneka olahan kedelai lainnya. IKM kedelai menyerap tenaga kerja sebanyak lebih kurang 273 ribu orang, dengan nilai produksi total sebesar Rp. 1,74 triliun (Ditjen Industri Kecil dan Menengah, 2011). Secara rinci hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Potensi Industri Kecil Pengolahan Kedelai Tahun 2011 No Jenis Industri Perusahaan

(Unit Usaha)

Tenaga Kerja (Orang)

Nilai Produksi (Juta Rp) 1

2 3 4 5

T e m p e T a h u K e c a p T a u c o

Aneka Olahan Lain

56.762 28.609 1.506 2.086 3.430

151.279 99.462

8.596 5.107 8.529

695.716 831.645 101.894 38.851 72.886

J u m l a h 92.393 272.973 1.740.992

(17)

Permintaan kedelai yang terus meningkat tidak dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri, padahal Indonesia pernah mencapai swasembada kedelai pada tahun 1992, namun kemudian produksi dalam negeri terus menurun sehingga dilakukan impor yang cukup besar. Menurunnya produksi kedelai dalam negeri ini antara lain disebabkan oleh rendahnya produktivitas, dimana produktivitas kedelai di Indonesia selama dua belas tahun terakhir hanya berkisar antara 12,01–13,73 ku/ha. Sementara potensi hasil dari berbagai varietas berkisar antara 20,00 – 35,00 ku/ha. Senjang hasil ini terjadi karena para petani belum menerapkan sepenuhnya teknologi budidaya kedelai terutama dalam penggunaan benih unggul (Ditjen Tanaman Pangan, 2012). Pemerintah hingga kini telah melepas sebanyak 73 varietas unggul kedelai dimana 19 varietas unggul tersebut berpotensi hasil antara 21,60–35,00 ku/ha (Ditjen Tanaman Pangan, 2010).

Dari perbedaan produktivitas tersebut, pemerintah melalui Kementrian Pertanian khususnya Direktorat Jenderal Tanaman Pangan berupaya meningkatkan produksi kedelai dimana salah satu strateginya adalah melalui peningkatan produktivitas. Disisi lain rendahnya produksi kedelai ini juga disebabkan oleh menurunnya areal panen kedelai. Data menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan luas panen kedelai dari tahun 1999 sebesar 1,15 juta ha menjadi 0,66 juta ha pada tahun 2010 atau terjadi penurunan sebesar 43,6 persen selama dua belas tahun.

Hal lain yang menyebabkan rendahnya produksi kedelai adalah rendahnya penggunaan teknologi budidaya kedelai terutama penggunaan input produksi yaitu pupuk. Mahalnya harga pupuk yang mengakibatkan para petani tidak mampu membeli pupuk tersebut sehingga tidak dapat meningkatkan produksi kedelai. Diharapkan dengan adanya subsidi harga pupuk maka daya beli petani kedelai akan meningkat. Dengan asumsi jumlah anggaran tetap, harga pupuk rendah maka para petani dapat membeli pupuk lebih banyak sehingga dengan penggunaan pupuk yang lebih banyak akan meningkatkan produksi kedelai. Peningkatan produksi ini akan meningkatkan pendapatan/kesejahteraan petani.

Besarnya impor kedelai juga dipicu oleh perubahan kebijakan tata niaga kedelai yakni dengan diberlakukannya pasar bebas mengakibatkan meningkatnya kedelai impor dengan harga murah. Kondisi ini menyebabkan berkurangnya minat petani untuk melaksanakan usahatani kedelai karena insentif yang diterima rendah. Rendahnya produksi ini diduga selain disebabkan oleh harga kedelai impor yang murah juga berkaitan dengan efisiensi penggunaan input produksi.

Disisi lain struktur pasar kedelai internasional lebih bersifat pasar oligopolistik, sehingga negara importir seperti Indonesia sangat beresiko tinggi terhadap instabilitas pasokan dan harga kedelai impor. Hal ini menjadi sangat penting apabila dikaitkan dengan peran kedelai sebagai salah satu pangan utama yang merupakan sumber protein bagi masyarakat Indonesia. Walaupun Indonesia mengimpor kedelai, yang harus dihindari adalah sifat ketergantungan kepada impor yang besar pada satu negara seperti Amerika Serikat. Karena Amerika Serikat sering menggunakan instrumen impor untuk menekan negara yang tidak sejalan dengan politik dan kepentingannya (Nuryanti dan Kustiari, 2007).

(18)

bersaing dengan kedelai impor. Besarnya impor kedelai ini juga menyebabkan kehilangan devisa yang cukup besar (Ditjen Tanaman Pangan, 2010).

Produksi kedelai di Indonesia selama 8 tahun (2000 – 2007) terus menurun dengan rata-rata penurunan sebesar 6,80 persen. Pada tahun 2000 produksi mencapai 1,02 juta ton dengan luas panen 0,82 juta ha dan produktivitas sebesar 12,34 kuintal/ha, tahun 2007 produksinya hanya 0,59 juta ton dengan luas areal panen 0,46 juta ha dan produktivitas sebesar 12,91 kuintal/ha. Namun pada tahun 2008-2009 produksi kedelai mulai meningkat masing-masing sebesar 30,91 persen dan 24,59 persen dimana kenaikan ini antara lain didorong dengan membaiknya harga kedelai dunia dan dilaksanakannya program peningkatan produksi kedelai. Pada tahun 2010 kebutuhan kedelai domestik sebanyak lebih kurang 2,65 juta ton dengan laju pertumbuhan 2,3 persen setiap tahun, sedangkan produksi dalam negeri pada tahun 2010 hanya 0,91 juta ton atau baru memenuhi 34,21 persen dari total kebutuhan, selebihnya dipenuhi dari impor (Ditjen Tanaman Pangan, 2010).

Sementara itu, kapasitas produksi pangan nasional termasuk kedelai tumbuh lambat bahkan stagnan karena adanya kompetisi dalam pemanfaatan sumber daya lahan dan air serta stagnasi pertumbuhan produktivitas dan tenaga kerja pertanian. Ketidak seimbangan pertumbuhan permintaan dan kapasitas produksi nasional ini mengakibatkan penyediaan pangan nasional termasuk kedelai yang berasal dari impor cenderung meningkat. Ketergantungan terhadap pangan impor ini sering diterjemahkan sebagai ketidakmandirian dalam penyediaan pangan nasional (Saliem et al, 2003).

Permintaan kedelai impor selama kurun waktu 1999-2002 terus meningkat dengan laju 14 persen per tahun. Sebaliknya produksi kedelai dalam negeri selama kurun waktu yang sama menurun dengan laju 12 persen. Besarnya permintaan dan besarnya pemenuhan dari impor adalah merupakan tantangan sekaligus peluang bagi pengembangan agribisnis kedelai. Kecenderungan meningkatnya impor kedelai menunjukan bahwa pasar kedelai dalam negeri di masa yang akan datang memiliki prospek yang cukup baik (Kusbini, 2010). Indonesia sebagai negara agraris dengan lahan yang cukup luas seharusnya mampu mengembangkan produksi kedelai nasional untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga tidak tergantung kepada impor (Ditjen Tanaman Pangan, 2007). Upaya pengembangan kedelai di Indonesia untuk memenuhi permintaan pasar domestik harus dikaitkan dengan pasar kedelai dunia, karena apabila terjadi perubahan-perubahan di pasar dunia akan mempengaruhi pasar kedelai domestik.

Tekanan kedelai impor semakin besar ketika Pemerintah melalui Kepmen Perindustrian dan Perdagangan No. 406/MPP/Kep/II/1997 menghapus tata niaga kedelai yang semula hanya dilakukan oleh Bulog menjadi importir umum sesuai kemauan WTO dan IMF dengan alasan untuk membantu pengusaha kecil dan menengah untuk memperoleh bahan baku kedelai. Kebijakan ini kelihatan baik namun dengan besarnya impor kedelai dan tidak adanya bea masuk (0 persen) mengakibatkan pemasukan atau pendapatan negara berkurang dan harga kedelai di pasar domestik menjadi murah sehingga berdampak terhadap penurunan produksi kedelai dalam negeri. Disamping itu negara pengekspor kedelai terbesar dunia seperti Amerika, menyediakan subsidi ekspor, sehingga mendorong para importir kedelai di Indonesia untuk memanfaatkan fasilitas tersebut.

(19)

untuk menanam kedelai, apalagi tidak ada jaminan harga pada saat panen raya. Implikasinya adalah terjadi penurunan produksi kedelai dalam negeri sehingga Indonesia semakin bergantung kepada kedelai impor. Persoalannya selama ini, petani kedelai domestik terjebak dalam jaringan perdagangan importir kedelai yang membuat harga kedelai tidak menentu. Saat petani kedelai panen, selalu bersamaan dengan membanjirnya kedelai impor di pasaran sehingga harga jatuh dan akibatnya petani enggan menanam kedelai. Impor kedelai ini perlu diawasi secara serius agar tujuannya tercapai, yaitu menstabilkan harga dan yang lebih utama adalah membuat petani kembali bergairah untuk menanam kedelai.

Dalam usahatani kedelai ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar bisa mencapai produksi yang optimal untuk memperoleh keuntungan maksimal, diantaranya adalah penggunaan faktor input produksi. Oleh karena itu alokasi penggunaan faktor input produksi yang optimal perlu dilakukan untuk mencapai efisiensi khususnya efisiensi alokatif sehingga diperoleh keuntungan maksimal.

Perumusan Masalah

Dalam rangka perdagangan bebas yang mengharuskan penghapusan tarif, quota dan subsidi akan mempengaruhi jumlah permintaan dan penawaran kedelai sehingga mempengaruhi harga kedelai dunia. Perubahan harga kedelai dunia pada akhirnya akan mempengaruhi keputusan produsen dalam mengalokasikan anggarannya serta mempengaruhi keputusan konsumen dalam mengkonsumsi kedelai. Perubahan dalam sistem perdagangan dunia terutama perubahan aturan yang telah disepakati bersama antara negara-negara yang tergabung dalam WTO harus dilaksanakan secara bijak agar stabilitas pasar kedelai dalam negeri tetap terjamin, serta kesejahteraannya baik produsen maupun konsumen meningkat.

Adanya kesenjangan antara produksi dan konsumsi kedelai dalam negeri selama kurun waktu 12 tahun terakhir menyebabkan meningkatnya impor kedelai dengan laju pertumbuhan sekitar 14 persen per tahun. Senjang antara produksi dan konsumsi ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Sumber : Kementrian Perdagangan RI (2011)

(20)

Dari grafik di atas terlihat bahwa produksi kedelai sepanjang tahun tidak dapat memenuhi kebutuhan atau konsumsi masyarakat, sehingga dilakukan impor Ditjen Tanaman Pangan (2007), menyatakan bahwa laju pertumbuhan produksi kedelai di Indonesia cukup rendah, hal ini disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut : 1) penerapan teknologi budidaya kedelai yang rendah, karena mahalnya harga input produksi seperti benih bermutu, pupuk, pestisida dan terbatasnya modal petani; 2) harga jual kedelai petani rendah, karena kualitasnya kurang baik sehingga menyebabkan konsumen terutama industri yang menggunakan bahan baku kedelai akan membeli kedelai impor yang berkualitas lebih baik; 3) kurangnya partisipasi pihak swasta dalam pengembangan kedelai, hal ini terlihat sampai saat ini belum ada investor yang mau membangun perkebunan kedelai, dan 4) kemitraan antara petani dan pengusaha (industri) kedelai masih sedikit.

Kurangnya kemitraan dan dukungan dari pengusaha terutama dalam penyediaan sarana produksi khususnya benih unggul menyebabkan turunnya minat para petani untuk menanam kedelai sehingga beralih ke tanaman lain yang lebih menguntungkan. Disamping itu juga sulitnya para petani kedelai untuk dapat akses ke sumber biaya. Hal ini disebabkan rumitnya persyaratan dan tingginya tingkat suku bunga yang mendekati tingkat suku bunga komersial (Kusbini, 2010). Diharapkan dengan adanya kredit dari pemerintah dengan suku bunga rendah dapat merangsang para petani dan investor berminat untuk berusahatani kedelai yang pada akhirnya dapat meningkatkan produksi kedelai dalam negeri. Disisi lain produktivitas kedelai yang masih rendah ini bila dibandingkan dengan potensi yang dapat dihasilkan diduga berkaitan dengan efisiensi penggunaan input. Produksi yang efisien akan menyebabkan penurunan biaya produksi dan akan meningkatkan pendapatan petani serta daya saing komoditas tersebut.

Hal lain yang menyebabkan petani tidak tertarik berusahatani kedelai adalah karena adanya perbedaan harga, dimana harga kedelai impor lebih murah dibanding dengan harga kedelai petani (lokal). Perbedaan harga kedelai lokal dan kedelai impor pada tahun 2008 – 2011 dapat dilihat pada Gambar 2.

Sumber : Kementrian Perdagangan RI, 2011.

(21)

Dari grafik diatas terlihat bahwa harga eceran bulanan kedelai lokal jauh diatas harga kedelai impor, sehingga konsumen dan produsen tahu tempe akan membeli kedelai impor karena harganya yang lebih murah dan kualitasnya lebih baik. Disisi lain kondisi keuangan negara mengharuskan melakukan penghematan devisa, sehingga hal ini akan menjadikan beban bagi perekonomian nasional, namun secara ekonomi impor kedelai ini akan menguntungkan pihak konsumen.

Sementara itu kebijakan yang pernah dilakukan oleh Pemerintah untuk mempertahankan produksi dan menstabilkan harga adalah instrumen kebijakan harga kedelai melalui penetapan harga dasar (floor price) yang dimulai sejak tahun 1979/80 sampai akhir tahun 1991 dan setiap tahun ditetapkan melalui Inpres pada tanggal 1 Nopember kecuali untuk tahun 1991 yang ditetapkan sebulan lebih awal. Harga dasar kedelai dimulai pada tingkat Rp 210 per kg dan berakhir pada tingkat Rp 500 per kg selama kurun waktu 12 tahun tersebut (Siregar, 2003). Upaya untuk meningkatkan minat petani dalam melakukan usahatani kedelai, kebijakan pemerintah yang harus dilakukan salah satunya adalah menerapkan harga pembelian pemerintah (HPP) yang telah diusulkan ke DPR, dimana upaya ini bertujuan agar para petani mendapatkan kepastian harga jual (CIC, 2010). Kebijakan lain yang masih harus dilakukan adalah kebijakan makro dalam tata niaga kedelai. Tarif impor masih diperbolehkan sampai 27 persen perlu diberlakukan untuk menumbuhkan agribisnis kedelai dalam negeri disamping itu perlu diberlakukan importir produsen kedelai (Ditjen Tanaman Pangan, 2011). Dilain pihak juga belum diberlakukannya Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang pelabelan bahan pangan transgenik. Upaya-upaya yang dilakukan ini pada dasarnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dari pengusahaan komoditas kedelai, dimana ukurannya adalah surplus baik produsen maupun konsumen.

Dari uraian tersebut diatas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana jumlah permintaan dan penawaran kedelai di Indonesia.

2. Faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap perubahan luas areal panen, produktivitas dan penawaran kedelai di Indonesia.

3. Bagaimana dampak kebijakan pengembangan kedelai khususnya kebijakan impor kedelai terhadap kinerja kedelai di Indonesia yang mempengaruhi kesejahteraan konsumen dan produsen kedelai.

4. Bagaimana tingkat efisiensi penggunaan input budidaya kedelai khususnya efisiensi alokatif.

5. Alternatif kebijakan apakah yang perlu ditempuh oleh pemerintah di masa yang akan datang untuk mengantisipasi akibat negatif dari impor kedelai.

Tujuan dan Kegunaan Penelitian

(22)

1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah permintaan dan penawaran kedelai di Indonesia.

2. Menganalisis respon luas areal panen, produktivitas dan penawaran kedelai terhadap perubahan harga.

3. Mengevaluasi dampak kebijakan pengembangan kedelai khususnya impor kedelai terhadap kinerja perdagangan kedelai di Indonesia yang berpengaruh terhadap kesejahteraan konsumen dan produsen kedelai.

4. Menganalisis tingkat efisiensi alokatif usahatani kedelai.

5. Merumuskan kebijakan yang perlu ditempuh pemerintah di masa yang akan datang dalam upaya mengantisipasi dampak negatif dari impor kedelai.

Hasil penelitian, diharapkan dapat bermanfaat terutama untuk memperkaya ilmu dan pengetahuan tentang kedelai juga mampu menjawab tantangan dunia perkedelaian Indonesia serta dapat berguna bagi : (1) Pemerintah, yaitu sebagai masukan untuk merumuskan kebijakan guna pengembangan komoditas kedelai; (2) Pelaku usaha, dapat memanfaatkan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan produksi kedelai dalam melakukan usaha kedelai dan (3) Peneliti lain, dapat digunakan sebagai bahan pembanding bagi penelitian sejenis.

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini difokuskan pada :

1. Analisis dampak kebijakan pengembangan kedelai terutama kebijakan impor kedelai terhadap perilaku permintaan dan penawaran kedelai, yang akan mempengaruhi kesejahteraan konsumen dan produsen kedelai di Indonesia. 2. Analisis faktor-faktor penyebab rendahnya produksi kedelai sehingga tidak

dapat memenuhi permintaan dalam negeri. Keterbatasan dalam penelitian ini adalah :

1. Data dan informasi yang tersedia hanya konsumsi kedelai untuk industri tahu, tempe dan kecap, sedangkan data untuk industri lain yang menggunakan bahan baku kedelai seperti industri susu kedelai, industri minyak goreng, industri makanan ringan dan industri lainnya kurang lengkap

2. Tidak melakukan agregasi negara pengekspor dan pengimpor kedelai karena datanya kurang lengkap.

Kebaruan dan Kontribusi Penelitian

Kebaruan penelitian ini adalah selain menganalisis kebijakan pengembangan kedelai yang merupakan lanjutan dari penelitian terdahulu dengan data terbaru juga mengalisis tingkat efisiensi alokatif dan faktor-faktor penyebab rendahnya produksi kedelai dalam negeri yang mengakibatkan petani enggan berusahatani kedelai.

(23)

2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORITIS

Program Pengembangan Kedelai di Indonesia

Kedelai memiliki nilai guna yang cukup tinggi, karena dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan, pakan dan bahan baku industri. Kedelai mengandung protein lebih dari 40 persen dan kandungan lemak antara 10–15 persen sehingga sampai saat ini kedelai masih merupakan bahan pangan sumber protein nabati yang murah. Total kebutuhan kedelai untuk pangan mencapai 95 persen dari total kebutuhan kedelai di Indonesia (Adisarwanto, 2005). Kedelai yang merupakan tanaman cash crop dibudidayakan di lahan sawah dan lahan kering. Sekitar 60 persen areal pertanaman kedelai terdapat di lahan sawah dan sisanya 40 persen di lahan kering yang tersebar di seluruh Indonesia. Luas areal tanaman kedelai mencapai puncaknya pada tahun 1992 yaitu 1,67 juta hektar. Namun sejak tahun 2000 areal tanam kedelai terus menurun dan pada tahun 2010 hanya 0,7 juta hektar. Penurunan areal tanam ini berkaitan dengan meningkatrnya kedelai impor sehingga nilai daya saing usahatani kedelai dalam negeri menurun (Badan Litbang Pertanian, 2005). Produksi kedelai di Indonesia pada periode 1980–2010 cenderung berfluktuasi dengan rata-rata pertumbuhan sekiitar 2,67 persen per tahun. Menurut data BPS tahun 2010, produksi kedelai sebesar 905,02 ribu ton atau turun 69,50 ribu ton (7,13 persen) dibandingkan tahun 2009. Penurunan ini disebabkan terjadinya penurunan luas areal tanam (Pusdatin Pertanian, 2010).

Upaya peningkatan produksi kedelai terus dilakukan oleh pemerintah baik dengan cara intensifikasi maupun ekstensifikasi guna memenuhi kebutuhan dalam negeri dan untuk mewujudkan swasembada. Bahkan Menteri Pertanian akan memberikan insentif kepada petani kedelai melalui penetapan HPP yang telah disetujui oleh Komisi IV DPR-RI, tanpa adanya insentif bagi petani akan sulit meningkatkan produksi kedelai nasional karena produktivitasnya yang rendah (CIC, 2010). Menurut Alimoeso (2008), bahwa peningkatan produksi kedelai dapat dilakukan dengan cara : 1) perluasan areal tanam, 2) peningkatan produktivitas, 3) pengamanan produksi dan 4) memperkuat kelembagaan. Luas tanam, provitas dan produksi kedelai tahun 1999-2010 dapat dilhat pada Tabel 2.

Tabel 2. Perkembangan Luas Panen, Provitas dan Produksi Kedelai Tahun 1999-2010

Tahun Luas Tanam (Ha) Provitas (Ku/Ha) Produksi (Ton)

(24)

Dari tabel diatas terlihat bahwa produksi kedelai di Indonesia tahun 1999 sampai 2003 mengalami penurunan seiring dengan menurunnya luas areal tanam. Namun pada tahun 2004 sampai dengan 2010 meningkat walaupun berfluktuasi. Perkembangan produksi kedelai di Indonesia sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor baik teknis, ekonomis maupun sosio kultur masyarakat, sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan kedelai oleh para petani antara lain adalah : potensi sumber daya alam, ketersediaan teknologi, dukungan pemerintah yang dalam hal ini adalah penyuluhan, penyediaan sarana produksi dan permodalan, penanganan panen dan pasca panen serta pemasaran hasil.

Konsumsi Kedelai

Kedelai merupakan sumber protein nabati bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Data Susenas 2009 (BPS, 2010), bahwa angka kecukupan protein masyarakat Indonesia adalah 54,35 gram/hari/kapita, atau sedikit melebihi dari nilai kosumsi yang dianjurkan yaitu 50 gram/hari/kapita. Hasil survey juga menunjukkan bahwa lebih dari 75 persen konsumsi protein penduduk Indonesia berasal dari kedelai yang diolah menjadi tempe dan tahu (Subagio, 2010). Industri pengolahan tempe dan tahu menyerap biji kedelai sekitar 98,53 persen. Secara rinci perkembangan IKM dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kebutuhan Kedelai per Tahun Bagi Industri Kecil dan Menengah (IKM) Pengolah Kedelai (Ton)

Jenis Industri Industri Kecil Industri Rumah

Tangga

T o t a l

T e m p e T a h u K e c a p T a u c o

Kebutuhan Total Kebutuhan per hari

329.325 148.120 15.825 1.680 494.950 1.980

837.936 523.026 5.238 4.655 1.370.855 9.572

1.167.261 671.146 21.063 6.335 1.865.805 11.552

Sumber : Ditjen Industri Kecil dan Menengah-Kementerian Peridustrian (2011)

Dengan demikian, kedelai merupakan bahan pangan yang sangat dibutuhkan oleh penduduk Indonesia yang jumlahnya mencapai lebih dari 2 juta ton per tahun, sehingga apabila terjadi lonjakan harga kedelai maka harga tempe dan tahupun akan meningkat. Dengan asumsi pendapatan tetap maka daya beli masyarakat akan menurun terhadap produk olahan kedelai, dimana penurunan konsumsi tempe dan tahu ini akan menyebabkan kerawanan gizi.

(25)

kedelai yang berupa tempe dan tahu pada periode yang sama konsumsi per kapitanya masing-masing sekitar 7,01 kg/tahun dan 6,53 kg/tahun. Konsumsi tempe dan tahu cenderung meningkat setiap tahunnya dengan laju pertumbuhan sekitar 2,12 persen untuk tempe dan 2,37 persen untuk tahu (Pusdatin Pertanian, 2010). Neraca konsumsi dan produksi kedelai tahun 1996-2008 dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Neraca Konsumsi dan Produksi Kedelai di Indonesia Tahun 1996-2008 Tahun Konsumsi

(26)

Tabel 5. Proyeksi Konsumsi Kedelai di Indonesia Tahun 2012 – 2025

Harga dan Pemasaran Kedelai di Indonesia

Perkembangan harga kedelai baik harga produsen maupun konsumen di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat. Pada periode 1983-2008 rata-rata pertumbuhan harga kedelai di tingkat produsen dan konsumen adalah 12,27 persen dan 15,52 persen per tahun. Harga kedelai baik di tingkat produsen maupun konsumen tahun 2008 mengalami kenaikan yang cukup tinggi dibandingkan dengan harga tahun sebelumnya. Harga produsen tahun 2007 sebesar Rp. 4.588,- naik menjadi Rp. 6.212,- pada tahun 2008 atau mengalami peningkatan sebesar 35,40 persen. Sementara harga konsumen mengalami kenaikan dari Rp. 4.847,- pada tahun 2007 menjadi Rp. 7.788,- pada tahun 2008 atau meningkat sebesar 60,68 persen (Pusdatin Pertanian, 2010).

(27)

kedelai impor. Jika harga kedelai impor murah maka harga kedelai petani juga murah sehingga tidak akan bisa menutupi biaya usahataninya.

Pada bulan Juni 2011 harga kedelai lokal (dalam negeri) secara umum rata-rata sebesar Rp. 8.768,-/kg sementara harga kedelai impor sebesar Rp. 6.894,-/kg (Carolina dan Himawan, 2011). Dari segi persaingan harga pasar, harga kedelai impor jauh lebih murah, dimana hal ini merupakan disinsentif bagi petani dalam menanam kedelai. Selama harga kedelai impor masih rendah maka arus impor semakin deras dan harga kedelai dalam negeri akan turun, sehingga para petani tidak berminat mengusahakan kedelai.

Kedelai pada umumnya dikonsumsi dalam bentuk olahan, oleh sebab itu pemasarannya dimulai dari sentra produksi ke industri pengolahan melalui para pedagang yang berakhir di konsumen akhir. Selain dari petani, kedelai di pasar domestik juga berasal dari impor. Kedelai impor umumnya dibeli oleh koperasi (KOPTI) yang selanjutnya dipasarkan kepada para perajin tempe dan tahu (Badan Litbang Pertanian, 2005). Secara umum rantai pemasaran kedelai dapat dilihat pada Gambar 3.

Sumber : Badan Litbang Pertanian (2005)

Gambar 3. Rantai Pemasaran Kedelai di Indonesia

(28)

Sarana Produksi Usahatani Kedelai

Penyediaan sarana produksi berupa benih, pupuk dan pestisida serta alat dan mesin pertanian (alsintan) memiliki peranan yang cukup penting dalam proses peningkatan produksi kedelai. Rendahnya produksi di tingkat petani disebabkan karena sebagian besar petani belum menggunakan sarana produksi yang memadai terutama benih dan pupuk. Sarana produksi untuk usahatani kedelai merupakan komponen biaya yang dikatagorikan sebagai variable cost (Kumenaung, 2002).

Penghapusan subsidi pupuk dan pestisida pada tahun 1998 menyebabkan harga pupuk dan pestisida meningkat tajam yang mengakibatkan usahatani kedelai tidak menguntungkan. Meningkatnya harga sarana produksi dan alsintan akan menaikkan biaya produksi yang pada akhirnya menurunkan tingkat keuntungan petani kedelai. Apabila biaya untuk berusahatani kedelai tetap, sementara harga sarana produksi naik maka akan menurunkan penggunaan sarana produksi tersebut dan berdampak kepada penurunan produksi. Sebaliknya penurunan harga sarana produksi akan menurunkan biaya produksi sehingga akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani melalui peningkatan produksi

Impor Kedelai Nasional

Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri olahan kedelai akan menigkatkan jumlah kebutuhan kedelai domestik. Tingginya kebutuhan kedelai ini tidak dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri kendati pemerintah telah mencanangkan swasembada kedelai namun sampai saat ini Indonesia masih melakukan impor. Hal ini mengakibatkan pemenuhan kebutuhan bahan baku untuk pembuatan tempe dan tahu masih harus dipenuhi dari impor. Perkembangan impor kedelai berfluktuasi dan cenderung meningkat setiap tahunnya. Tingginya impor kedelai ini menunjukkan bahwa untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri masih sangat tergantung kepada impor dimana rasio ketergantungan impor kedelai berkisar antara 60-75 persen (Kusbini, 2010). Perkembangan impor kedelai tahun 2000-2010 dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Perkembangan Impor Kedelai Tahun 2000-2010 (Ton)

Tahun Kebutuhan Produksi Impor

(29)

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa impor kedelai berfluktuatif namun cenderung meningkat. Pada tahun 2002 sampai tahun 2005 impor kedelai menurun. Pada tahun 2009 ada kenaikan impor kedelai dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 11,64 persen (Pusdatin Pertanian, 2010). Data lain menunjukkan pada tahun 2010 (sampai bulan Juli) tercatat volume impor kedelai Indonesia adalah sebesar 1,13 juta ton dengan nilai impor sebesar 537 juta US $ (Kementrian Perdagangan, 2011). Penurunan impor kedelai dapat dilakukan dengan instrumen kebijakan terpadu yaitu kebijakan fiskal, moneter dan kebijakan perdagangan internasional. Oleh karena itu penurunan impor dengan konsumsi yang tetap diharapkan mampu meningkatkan produksi domestik.

Struktur Perdagangan Kedelai

Dimensi dari struktur perdagangan adalah derajat konsentrasi penjual dan pembeli, diferensiasi produk, barriers to entry and exit serta pengetahuan pasar. Yang dimaksud struktur disini adalah mengacu pada struktur pasar yang digambarkan sebagian besar oleh konsentrasi penguasaan pasar didalam pasar tersebut. Dalam konteks ini, yang termasuk dalam struktur antara lain jumlah dan ukuran perusahaan dalam industri tersebut, tingkat konsentrasi, hambatan masuk bagi perusahaan baru, diferensiasi produk, diversifikasi atau konglomerasi, dan integrasi vertikal (Carlton and Perloff, 2000). Secara kuantitatif, kita mengukur struktur pasar berdasarkan rasio konsentrasi. Istilah konsentrasi atau derajat tingkat konsentrasi mengacu pada kepemilikan atau kontrol proporsi yang besar dari beberapa kumpulan atau aktivitas sumber daya ekonomi. Penguasaan pasar (market share) adalah indikator utama dari posisi suatu perusahaan dalam pasar. Semakin kecil market share, semakin besar tekanan bersaing perusahaan tersebut. Rasio konsentrasi dari beberapa perusahaan besar menentukan horisontalnya market power dari perusahaan besar di dalam pasar. Rasio konsentrasi adalah penguasaan pasar dari perusahaan besar yang umumnya didasarkan pada dua, empat atau delapan perusahaan besar. Ini juga merupakan indikator langsung dari derajat tingkat oligopoli (Sheperd, 1997). Jika banyaknya penjual di pasar hanya satu, maka disebut monopoli. Jika ada beberapa penjual, maka disebut oligopoli. Secara teori atau prakteknya, karakter, intensitas dan efektivitas dari kompetisi antar perusahaan akan dipengaruhi oleh rasio konsentrasi (Bain, 1968).

(30)

Kebijakan Kedelai Nasional

Kedelai salah satu bahan pangan strategis karena merupakan komoditas palawija yang dimasukan dalam kebijakan pengadaan pangan, yaitu melalui upaya peningkatan produksi untuk mencapai swasembada. Pemilihan kedelai didasarkan pada kemampuannya diolah menjadi berbagai produk makanan dengan harga yang relatif murah dan mudah dijangkau oleh semua lapisan masyarakat. Kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan produksi kedelai adalah melalui : (1) intensifikasi, yaitu upaya peningkatan produksi melalui subsidi input dan penggunaan teknologi bibit unggul; (2) ekstensifikasi, yaitu upaya peningkatan produksi melalui perluasan areal tanam, baik pada lahan sawah maupun pda lahan kering dan (3) Penetapan harga dasar, dimaksudkan untuk menciptakan harga dasar yang kompetitif bagi petani sehingga termotivasi meningkatkan produksinya (Kumenaung, 2002).

Berbagai kebijakan harga yang dilakukan pemerintah antara lain : kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan tata niaga kedelai adalah Surat Kepmen Perindustrian dan Perdagangan No. 406/MPP/Kep/11/1997, yang berlaku mulai tanggal 1 Januari 1998, dimana impor kedelai yang semula hanya dilakukan oleh Bulog dialihkan kepada importir umum. Hal ini sesuai dengan keinginan WTO dan IMF dengan alasan untuk membantu pengusaha kecil dan menengah dalam memperoleh bahan baku kedelai (Hadi dan Wiryono, 2005). Kebijakan ini memacu peningkatan impor kedelai terutama dari USA, Argentina dan Brazil sehingga menurunkan minat para petani untuk berusahatani kedelai yang pada akhirnya menurunkan produksi kedelai domestik.

(31)

Kesejahteraan Ekonomi Kedelai

Dalam perekonomian, para pelaku pasar dikelompokkan menjadi produsen dan konsumen. Adanya intervensi pemerintah melalui suatu kebijakan dapat berpengaruh pada pelaku pasar tersebut, yang dampaknya bisa positif bisa negatif, sehingga akan mempengaruhi kesejahteraannya. Untuk mengukur perubahan kesejahteraan pelaku pasar akibat adanya suatu kebijakan menurut Krugman dan Obsfeld (2003), adalah dengan melihat perubahan surplus produsen dan surplus konsumen. Ellis (1992), menyatakan bahwa surplus produsen dan surplus konsumen merupakan alat praktis untuk mengukur perubahan kesejahteraan yang timbul akibat dari pemberlakuan suatu kebijakan pemerintah.

Surplus produsen merupakan ukuran keuntungan yang diperoleh produsen karena perbedaan antara harga yang diterima secara aktual dengan harga dimana produsen bersedia menjual produknya pada tingkat penjualan tertentu (Sugiarto et al, 2005). Misalnya, bila produsen kedelai bersedia menjual produknya dengan harga Rp.6.000.- per kilogram, namun ternyata harga di pasar sebesar Rp.8,000.- per kilogram, maka produsen tersebut dikatakan meraih surplus produsen sebesar Rp.2.000.- dari penjualan satu unit produknya. Secara konseptual surplus produsen dapat dijelaskan pada Gambar 4.

Sumber : Ellis (1992).

Gambar 4. Surplus Produsen

Penawaran produsen untuk suatu komoditi ditunjukkan dengan kurva S, dimana sumbu vertikal adalah harga per unit dan sumbu horizontal adalah jumlah unit komoditi. Kurva S berslope positif, artinya semakin tinggi harga komoditi, semakin banyak produk yang ditawarkan. Secara teoritis, dalam jangka pendek kurva penawaran merupakan kurva marginal cost (MC) yang terletak di atas kurva average variable cost (AVC) (Sugiarto, et al. 2005). Area di bawah kurva penawaran merupakan total variable cost (TVC), ketika beroperasi pada titik tertentu. Jika dijumlahkan seluruh MC untuk memproduksi sejumlah output (misalnya Q1), maka hasilnya sama dengan TVC untuk berproduksi sebanyak Q1

(Ellis, 1992). Pada Gambar 4a keseimbangan pasar pada titik A, dimana harga pasar per unit sebesar P1 dan jumlah yang ditawarkan sebanyak Q1 unit, sehingga

(32)

Total penerimaan dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu area di bawah kurva penawaran (area b) yang mewakili TVC untuk memproduksi sebanyak Q1 dan area

di atas kurva penawaran tetapi di bawah garis harga keseimbangan (area a), yang merupakan keuntungan yang diperoleh dengan menjual produk sebanyak Q1 pada

harga P1. Keuntungan tersebut adalah surplus produsen yang merupakan profit

ditambah dengan biaya tetap yang harus dibayarkan untuk faktor produksi tetap. Jadi surplus produsen merupakan area di atas kurva penawaran dan di bawah garis harga keseimbangan (Just, et al. 1982).

Jika pemerintah mengeluarkan kebijakan yang menyebabkan bergesernya titik keseimbangan (misalnya dari titik A ke titik B pada Gambar 4b), maka harga keseimbangan meningkat dari P1 menjadi P2 per unit dan jumlah penawaran

meningkat dari Q1 menjadi Q2. Kebijakan ini menyebabkan surplus produsen

meningkat sebesar luas area c + e. Perubahan surplus produsen seluas area c + e itu terdiri dari dua komponen yaitu luas area segi empat (area c) dan luas area segitiga (area e). Luas area c diperoleh dari perkalian antara besarnya perubahan harga dengan jumlah produksi sebelum adanya perubahan (Q1), sedangkan luas

area e merupakan setengah dari jumlah perkalian antara besarnya perubahan harga dengan perubahan jumlah produksi.

Surplus konsumen merupakan konsep yang mirip dengan surplus produsen. Surplus konsumen menunjukkan keuntungan yang diperoleh konsumen, karena membeli suatu produk (Sugiarto et al, 2005). Keuntungan diperoleh karena adanya perbedaan antara harga yang dibayar secara aktual oleh konsumen dengan harga yang bersedia dibayarnya (willingness to pay). Misalnya, jika konsumen sanggup membayar satu kilogram kedelai dengan harga Rp. 10.000.- per kilogram, namun ternyata di pasar dapat dibeli dengan harga aktual sebesar Rp. 8.000,- per kilogram, maka konsumen dikatakan memperoleh surplus sebesar Rp. 2.000.- dari setiap kilogram kedelai yang dibelinya. Konsep surplus konsumen dapat dijelaskan dengan menggunakan Gambar 5.

Sumber: Ellis, 1992 (dimodifikasi)

Gambar 5. Surplus Konsumen

(33)

konsumen untuk mendapat Q1 sebesar P1Q1 (yaitu seluas area d + e). Secara

umum, jumlah yang dibayarkan konsumen seluas daerah di bawah kurva permintaan yang dibatasi oleh garis harga keseimbangan pasar dan jumlah yang diminta pada harga tersebut. Untuk memperoleh produk sebanyak Q2, konsumen

bersedia membayar P2 per unit, sehingga jumlah total yang bersedia dibayar

sebesar P2*Q2, namun secara aktual konsumen membayar sesuai dengan harga

pasar yaitu sebesar P1 per unit atau secara keseluruhan hanya sebesar P1*Q2. Oleh

karena itu, maka konsumen akan mendapat keuntungan sebesar (P2-P1) per unit,

sehingga secara total mendapat keuntungan sebesar (P2-P1)*Q2 atau sebesar luas

area b. Luas area b disebut sebagai surplus konsumen yang diperoleh sebagai akibat dari adanya perbedaan antara harga yang bersedia dibayar untuk memperoleh barang sebanyak Q2 dengan harga aktual yang dibayar konsumen.

Generalisasi dapat dilakukan dengan mengacu pada setiap harga yang berada di atas harga pasar. Ketika harga sebesar P3 per unit, konsumen tidak bersedia

membeli atau jumlah yang diminta sama dengan nol. Kemudian, konsumen baru bersedia membeli untuk jumlah yang lebih banyak, ketika harga secara berturut-turut menurun dari P3 ke arah harga keseimbangan P1. Oleh karena itu, total

surplus konsumen yang diperoleh jika titik keseimbangan terjadi pada titik A adalah sebesar area a + b + c. Hal ini menunjukkan bahwa surplus konsumen merupakan area di bawah kurva permintaan dan di atas garis harga keseimbangan (Just et al, 1982). Area ini mewakili perbedaan antara jumlah uang yang bersedia dibayar oleh konsumen untuk memperoleh Q1, dengan jumlah aktual yang dibayar

konsumen.

Jika suatu kebijakan menyebabkan harga keseimbangan meningkat dari P1

menjadi P2 (Gambar 5b), sehingga tercapai titik keseimbangan baru pada titik B,

maka jumlah yang diminta konsumen sebanyak Q2. Dalam hal ini, konsumen

merasa dirugikan (kesejahteraannya menurun), karena mendapat jumlah lebih sedikit dengan harga lebih mahal, dibandingkan dengan sebelum adanya kebijakan tersebut. Besarnya perubahan kesejahteraan konsumen dapat diukur dengan melihat perubahan surplus konsumen. Berdasarkan Gambar 5b, kenaikan harga telah menurunkan surplus konsumen sebesar luas area b + c, dimana surplus konsumen setelah adanya kebijakan berkurang menjadi hanya sebesar luas area a.

Efisiensi Alokatif

Seorang produsen mempunyai tujuan dalam usahatani yang dijalankannya untuk meningkatkan produksi dan memperoleh keuntungan. Dalam efisiensi, asumsi yang digunakan adalah mencapai keuntungan maksimum dengan biaya yang minimum. Kedua tujuan ini adalah penentu bagi seorang petani atau produsen untuk mengambil keputusan dalam usahataninya. Seorang petani yang rasional akan bersedia meningkatkan input selama nilai tambah yang dihasilkan oleh tambahan input tersebut sama atau lebih besar dari tambahan biaya yang diakibatkan oleh tambahan input itu. Perbandingan output dengan input yang digunakan dalam suatu usahatani dikenal dengan istilah efisiensi.

(34)

berproduksi pada kurva frontier isoquant. Sedangkan efisiensi alokatif adalah kemampuan suatu perusahaan untuk menggunakan input pada proporsi yang optimal pada harga dan teknologi yang tetap atau kemampuan perusahaan untuk menghasilkan sejumlah output pada kondisi minimisasi rasio biaya dari input. Dengan kata lain, efisiensi alokatif atau efisiensi harga, mengukur tingkat keberhasilan petani dalam usahanya untuk mencapai keuntungan maksimum yang dicapai pada saat nilai produk marjinal setiap faktor produksi yang diberikan sama dengan biaya marjinalnya atau menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menggunakan input dengan proporsi yang optimal pada setiap tingkat harga input dan teknologi yang dimiliki. Efisiensi alokatif erat kaitannya dengan keberhasilan petani untuk mencapai keuntungan maksimum dalam jangka pendek, dimana efisiensi yang dicapai dengan mengkondisikan nilai produk marjinal (MVP) sama dengan harga input (Px) (Beattie dan Taylor, 1996). Secara matematik rumusnya sebagai berikut :

π = TR – TVC

= Pq.Q - Σ Pxi . Xi

= P q . A f( X i , Z i ) - ΣPxi . Xi π maksimum jika π/ xi = 0, sehingga : Pq. MPxi = Pxi

MVP = Pxi = MFC atau MVPxi/Pxi = 1 dimana : π = keuntungan

Pq = harga output

Px = harga faktor produksi (input) Xi = faktor produksi (input) variabel ke i Zi = faktor produksi (input) tetap

MVP = marginal value product MFC = marginal faktor cost Q = jumlah produksi

Menurut Nicholson (2002), bahwa efisiensi alokatif dapat tercapai jika perbandingan antara nilai produktivitas marjinal masing-masing input (VMPxi) sama dengan harga inputnya (Pxi) atau indeks efisiensi harga (ki) = 1. Bila ki > 1 maka usahatani belum mencapai efisiensi alokasi sehingga faktor produksi perlu ditambah, sedangkan bila ki < 1 maka penggunaan faktor produksi terlalu berlebihan dan perlu dikurangi agar mencapai kondisi optimal. Prinsip ini merupakan konsep yang konvensional yang didasarkan pada asumsi bahwa petani menggunakan teknologi yang sama dan petani menghadapi harga yang sama.

Tinjauan Studi Terdahulu

(35)

lahan masih memungkinkan untuk dilakukan, upaya penyediaan benih bermutu serta penerapan bea masuk kedelai impor sampai batas 27 persen.

Mengingat kemampuan produksi dalam negeri masih rendah, sementara permintaan kedelai terus meningkat dimana impor tidak dapat dihindari maka upaya peningkatan produksi dalam negeri semakin penting. Upaya ini merupakan tantangan yang tidak mudah karena kebijakan untuk melindungi petani dalam negeri semakin tidak sesuai dengan kesepakatan perdagangan bebas. Walaupun demikian, pemerintah masih dapat menganjurkan kepada petani untuk bertanam kedelai agar produksi domestik meningkat sekaligus dapat memberikan keuntungan yang tinggi (Sudaryanto, et al. 2004). Sementara itu Sejati et al. (2009), yang menyatakan bahwa untuk memberikan keuntungan dalam usahatani kedelai maka kelayakan operasional peningkatan tarif bea masuk impor untuk kedelai perlu dipertimbangkan, dimana untuk mencapai keuntungan usahatani maka untuk kedelai impor dikenakan tarif sebesar 35 persen. Hal ini karena sistem pemasaran domestik yang masih kurang efisien, sasaran yang diharapkan dapat tidak tercapai dan menguntungkan pihak pemburu rente.

Dalam pengembangan kedelai di Indonesia masih dihadapkan dengan beberapa kendala. Menurut Badan Litbang Pertanian (2000), yang menyatakan bahwa ada dua hal pokok yang masih menjadi kendala dalam pengembangan kedelai nasional yaitu : biaya produksi nasional yang lebih mahal dibandingkan biaya produksi pada tingkat dunia, sehingga pada tingkat petani diperlukan terobosan teknologi yang mampu menekan ongkos produksi dan meningkatkan produktivitas, kemudian pengembangan daerah produksi baru hendaknya diikuti oleh kesiapan lembaga pemasaran dan infrastruktur yang dapat mendorong minat petani. Sedangkan menurut Rusastra (2000), bahwa struktur insentif pengembangan kedelai diluar Jawa secara ekonomi memiliki keunggulan komparatif, namun menerima proteksi yang lebih sedikit. Pada pola perdagangan substitusi impor yang secara ekonomi lebih efisien juga menerima insentif lebih sedikit dibandingkan dengan pola perdagangan orientasi ekspor yang tidak memiliki keunggulan komparatif.

Dalam upaya meningkatkan produksi kedelai, hasil penelitian Hartoyo (1994), menunjukan bahwa : (1) terdapat keterkaitan berproduksi antara yang satu dengan tanaman lainnya (join teknologi), oleh karena itu analisis penawaran tanaman pangan harus dilakukan secara simultan dengan multi output, (2) elastisitas penawaran padi, jagung, kedelai, kacang tanah dan ubi kayu terhadap output tanaman lain dan harga input adalan inelastis, (3) elastisitas permintaan pupuk dan tenaga kerja terhadap harga input sendiri, harga input lain dan harga output adalah inelastis, (4) berbagai skenario kebijakan dengan elastisitas penawaran output dan permintaan input dapat ditunjukan bahwa pengurangan subsidi pupuk dan pengurangan pengeluaran irigasi di Jawa tidak banyak menyebabkan penurunan penawaran output tanaman pangan, (5) penurunan subsidi pupuk tidak akan menyebabkan terjadi penurunan produksi dan pendapatan petani, dan (6) usaha untuk meningkatkan penawaran sekaligus meningkatkan pendapatan petani dapat dilakukan dengan menaikan harga komoditi pertanian melalui penetapan harga dasar, disamping itu merelokasi investasi pemerintah dari investasi yang tidak memberikan tambahan penerimaan ke investasi perbaikan infrastuktur pedesaan.

(36)

luas areal diwilayah potensial diluar Jawa dan di Jawa. Hal ini menunjukan perbedaan karakteristik antara pengembangan kedelai di Jawa dan luar Jawa. Pengaruh peubah penjelas untuk persamaan luas areal dan produktivitas cenderung serupa di Jawa dan di luar Jawa, karena itu peneliti melakukan disagregasi luas areal dan produktivitas di Jawa dan luar Jawa, dimana faktor harga berpengaruh signifikan terhadap produksi kedelai nasional.

Hal lain yang berpengaruh terhadap harga adalah peningkatan infrastruktur yang akan mengurangi biaya transportasi. Tavora (2008), menyatakan bahwa peningkatan infrastruktur di Brazil telah mengurangi biaya transportasi sebesar 15 persen dan meningkatan pendapatan petani sebesar 6,9 persen serta mengurangi harga di negara-negara importir kedelai sebesar 1,7–2,2 persen, serta meningkatkan ekspor kedelai sebesar 9,8 persen. Sementara Chambers dan Plato (2004), menyatakan bahwa perluasan areal tanam kedelai telah meningkatkan produksi di Amerika Selatan dan meningkatkan pasokan kedelai dunia serta mempengaruhi harga kedelai Amerika Serikat, dimana setiap kenaikan 1 persen produksi kedelai di Amerika Selatan akan menurunkan harga kedelai Amerika Serikat rata-rata 1,5 persen.

Disisi lain untuk meningkatkan kegairahan para petani agar mau berusahatani kedelai adalah dengan adanya jaminan harga. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Radjadin (1998) yang menyatakan, bahwa kegairahan petani menanam kedelai, dominan didorong oleh faktor harga yang akan menentukan pendapatan mereka. Apabila harga dapat dikendalikan stabil meningkat maka ketergantungan terhadap impor secara bertahap dapat diatasi. Sedangkan menurut Oktaviani (2002), mengatakan bahwa pengendalian harga oleh pemerintah ditingkat domestik pada kedelai dengan perubahan kebijakan yang ada sulit untuk dilakukan. Hal yang mungkin dilakukan oleh pemerintah adalah penetapan tarif impor dengan tetap memperhatikan adanya kemungkinan retaliasi dari negara pengekspor dan mengikuti kesepakatan yang telah disetujui pemerintah dalam kerjasama regional, dimana penetapan tarif impor juga harus memperhitungkan dampaknya pada produsen dan konsumen. Namun disisi lain apabila dilakukan penetapan tarif impor maka kesejahteraan konsumen akan menurun. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Anderson dan Martin (2006), yang menyatakan bahwa penghapusan semua tarif impor dan subsidi untuk komoditi pertanian dapat menurunkan kesejahteraan produsen sebesar 20 persen terutama untuk negara-negara berkembang.

Mensah dan Wohlgenant (2007), menyatakan bahwa pengenalan dan adopsi teknologi benih baru dapat meningkatkan keunggulan kompetitif dari petani Amerika Serikat melalui hasil yang lebih tinggi dan bisa menghemat biaya produksi, sehingga peningkatan produksi kedelai ini akan meningkatkan suplai kedelai di pasar dunia yang akan menguntungkan konsumen karena harga kedelai menjadi lebih murah.

(37)

usahatani tersebut. Sedangkan pupuk KCl, jumlah tanggungan keluarga dan luas lahan usahatani walaupun berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan usahatani kedelai dan jagung namun kontribusinya masih kecil. Pada usahatani kedelai efisiensi penggunaan input dapat dicapai apabila ditambah jumlah penggunaan bibit, pupuk Urea, pupuk SP36, pupuk KCl dan herbisida serta dikurangi jumlah penggunaan tenaga kerja. Kemudian untuk mencapai efisiensi pada usahatani jagung, perlu penambahan jumlah penggunaan bibit, pupuk Urea dan pupuk SP36, namun harus dikurangi jumlah penggunaan pupuk KCl, herbisida dan tenaga kerja.

Kerangka Konseptual Penelitian

Kerangka konseptual dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Pertambahan jumlah penduduk Indonesia setiap tahunnya terus meningkat yang menyebabkan permintaan kedelai baik untuk konsumsi maupun industri terus meningkat sedangkan di sisi lain yaitu produksi kedelai rendah sehingga tidak dapat memenuhi permintaan kedelai yang terus meningkat. Sementara itu pasar kedelai dunia mengalami distorsi, khususnya oleh negara-negara utama penghasil kedelai sehingga menyebabkan harga kedelai dunia rendah. Untuk memenuhi permintaan kedelai yang cukup tinggi dan harga kedelai dunia yang rendah maka dilakukan impor. Dengan adanya impor kedelai menyebabkan harga kedelai di dalam negeri rendah. Rendahnya harga kedelai di pasar domestik meningkatkan konsumsi dan industri yang berbahan baku kedelai.

(38)

Gambar 6. Kerangka Konseptual Penelitian

Produksi Kedelai

Menurut Snodgrass dan Wallace (1980), produksi adalah kegiatan transformasi dari dua atau lebih input (sumberdaya) menjadi satu atau lebih produk. Transformasi sebagai upaya mengubah dengan cara mengkombinasikan sejumlah input menjadi bentuk dan fungsi yang berbeda. Konsep dari fungsi produksi adalah total produktivitas atau output dengan menggunakan variasi jumlah input dalam proses produksi. Menurut Semaoen (1996), fungsi produksi adalah hubungan antara produk dan input yang dinyatakan bahwa maksimum produk (keluaran) yang dapat diproduksi dengan menggunakan kombinasi input faktor produksi. Input variabel dalam proses produksi komoditas pertanian antara lain adalah tenaga kerja, pupuk, benih, pestisida dan yang lainnya, yang dapat dibeli sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan. Sedangkan faktor input tetap adalah faktor yang lain yang tidak diperoleh dalam jangka waktu satu analisis seperti lahan, infrastruktur dan layanan penyuluhan juga faktor eksogen yang tidak bisa dikendalikan seperti cuaca (Sadoulet dan De Janvry, 1995).

Secara umum dalam teori ekonomi menyatakan bahwa produksi atau jumlah keluaran suatu komoditas pertanian (Q) merupakan fungsi dari penggunaan beberapa input utama, yaitu luas areal tanam (A) dan produktivitas (Y), dimana produktivitas ini meliputi : jumlah modal (K), jumlah tenaga kerja (L), serta input yang lainnya seperti jumlah benih (B), pupuk (P) dan teknologi (T). Fungsi

Distorsi Pasar Kedelai Dunia

Produksi Kedelai Domestik Rendah

Permintaan Kedelai Tinggi

Harga Kedelai Rendah

Daya Saing Kedelai Domestik Rendah

Impor Kedelai

Harga Kedelai Dunia Rendah

Kebijakan Pemerintah

Industri dan Konsumsi Kedelai Meningkat Luas Lahan Kedelai

Rendah

Insentif Petani Kedelai Rendah

Gambar

Gambar 1.  Perkembangan Produksi dan Konsumsi Kedelai Tahun 1999-2010
Tabel 2. Perkembangan Luas Panen, Provitas dan Produksi Kedelai Tahun 1999-2010
Tabel 3.  Kebutuhan Kedelai per Tahun Bagi Industri Kecil dan Menengah (IKM)    Pengolah Kedelai (Ton)
Tabel 4.  Neraca Konsumsi dan Produksi Kedelai di Indonesia Tahun 1996-2008
+7

Referensi

Dokumen terkait

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Walikota tentang Pedoman Harga Ganti Rugi atau Sumbangan terhadap Bangunan

Pada saat teransformator memberikan output sisi positif dari gelombang AC maka dioda dalam keadaan forward bias hingga sisi positif dari gelombang AC tersebut

bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 2 huruf b, dan Pasal 5 Peraturan Bupati Kerinci Nomor 59 Tahun 2016 tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun

[r]

356/KU.Kol/X/2012 tanggal 10 Oktober 2012 tentang Persiapan Ujian Nasional Kolegium Ob-Gin, bersama ini kami diberitahukan bahwa Lokakarya dan Ujian Nasional (ujian tulis dan

[r]

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank, Merger adalah penggabungan dari 2 (dua) Bank atau

untuk memenuhi salah satu persyaratan penyelesaian program pendidikan Diploma III Manajemen Program studi Manajemen Keuangan dan Perbanakan STIE Perbanas Surabaya