• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekobiologi Ikan Bilih Mystacoleucus Padangensis (Bleeker, 1852) Sebagai Dasar Pengelolaan Di Sungai Naborsahan, Danau Toba, Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ekobiologi Ikan Bilih Mystacoleucus Padangensis (Bleeker, 1852) Sebagai Dasar Pengelolaan Di Sungai Naborsahan, Danau Toba, Sumatera Utara"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

EKOBIOLOGI IKAN BILIH

Mystacoleucus padangensis

(Bleeker, 1852)

SEBAGAI DASAR PENGELOLAAN DI SUNGAI NABORSAHAN,

DANAU TOBA, SUMATERA UTARA

ANI SURYANTI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Ekobiologi Ikan Bilih

Mystacoleucus padangensis (Bleeker, 1852) sebagai Dasar Pengelolaan di Sungai Naborsahan, Danau Toba, Sumatera Utara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2015

(4)

RINGKASAN

ANI SURYANTI. Ekobiologi Ikan Bilih Mystacoleucus padangensis (Bleeker, 1852) sebagai Dasar Pengelolaan di Sungai Naborsahan, Danau Toba, Sumatera Utara. Dibimbing oleh SULISTIONO, ISMUDI MUCHSIN dan ENDI S. KARTAMIHARDJA.

Ikan bilih Mystacoleucus padangensis (Bleeker, 1852) pada awalnya merupakan ikan endemik Danau Singkarak kemudian berhasil diintroduksi di Danau Toba sebagai salah satu upaya untuk mencegah terjadinya kepunahan spesies dan saat ini ikan bilih merupakan komoditas tangkapan utama di Sungai Naborsahan Danau Toba Sumatera Utara. Aktivitas penangkapan yang cukup tinggi dikhawatirkan mempengaruhi pertumbuhan dan reproduksi ikan bilih.

Tujuan penelitian ini adalah: 1) mengkaji karakteristik habitat pemijahan, asuhan dan pembesaran bagi kehidupan ikan bilih, 2) mengkaji makanan dan kebiasaan makan ikan bilih, 3) mengkaji pertumbuhan dan laju eksploitasi ikan bilih, 4) mengkaji potensi reproduksi ikan bilih, dan 5) menentukan strategi pengelolaan yang tepat bagi keberlanjutan sumberdaya ikan bilih.

Penelitian dilakukan di Sungai Naborsahan yang bermuara ke Danau Toba Sumatera Utara. Pengamatan parameter lingkungan dan parameter biologi dilakukan setiap bulan selama 12 bulan dari Bulan April 2013 hingga Maret 2014. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Desain penelitian ditetapkan dengan cara zonasi dengan mempertimbangkan karakteristik perairan sungai yang bermuara ke Danau Toba berdasarkan tipologi habitat, pengaruh tekanan lingkungan sekitar danau, dan eksploitasi sehingga contoh ikan yang diperoleh menggambarkan kondisi ikan bilih yang ada di perairan atau habitatnya, dan efisiensi operasional pelaksanaan. Berdasarkan hal tersebut ditetapkan enam stasiun yaitu tiga stasiun mewakili bagian sungai, satu stasiun muara dan dua stasiun mewakili bagian danau.

Principal Component Analysis (PCA) digunakan untuk mengetahui

keterkaitan antar faktor yang dapat berpengaruh pada kondisi habitat pemijahan, asuhan dan pembesaran bagi kehidupan ikan bilih, kelimpahan juvenil dan ikan antar stasiun dan waktu. Struktur populasi ikan berdasarkan jenis kelamin, struktur ukuran dan struktur Tingkat Kematangan Gonad (TKG) menurut stasiun dan waktu dianalisis secara deskriptif. Hubungan fekunditas dengan ukuran ikan (panjang dan bobot) ditentukan menggunakan analisis regresi, parameter pertumbuhan (K, L∞, dan t0) ikan bilih diduga menggunakan metode ELEFAN

yang terakomodasi pada perangkat lunak FISAT II.

Hasil pengamatan karakteristik habitat diperoleh ada tiga pengelompokan stasiun yang memiliki kemiripan yang sama, yaitu kelompok 1 (Stasiun 1 mirip dengan Stasiun 2), kelompok 2 (Stasiun 3 mirip dengan Stasiun 4), dan kelompok 3 (Stasiun 5 mirip dengan Stasiun 6). Sifat fisika, kimia dan biologi yang menonjol pada Stasiun 1 dan 2 adalah DO, arus, jumlah ikan betina dan jumlah ikan jantan. Pada Stasiun 3 dan 4, sifat-sifat yang dominan adalah Fosfat, Nitrit, kedalaman, kecerahan, COD, BOD5, kekeruhan, jumlah anakan dan juvenil.

(5)

kemudian DO, sementara kekeruhan dan BOD5 lebih berpengaruh kuat di stasiun

3 dan 4 dibandingkan faktor fisika kimia lainnya. Pada stasiun 5 dan 6, faktor fisika dan kimia yang paling berpengaruh kuat adalah alkalinitas, pH dan amoniak. Secara umum kondisi kualitas air di lokasi penelitian masih mendukung untuk kehidupan plankton, perifiton dan ikan bilih. Fitoplankton dan perifiton yang paling banyak ditemukan di lokasi penelitian dari kelas Bacillariophyceae.

Makanan alami ikan bilih di sungai dan Danau Toba adalah sama yaitu fitoplankton dari kelas Bacilariopiceae. Pakan alami ikan bilih di dalam usus adalah fitoplankton diantaranya: Rhizosolenia, Synedra, Gonatozygon, Closterium, Surirella, Pinnularia, Oscillatroria, Melosira, Gyrosigma, Aulacoseira dan Zooplankton antara lain Creseis, Tubifex dan Daphnia. Jenis pakan alami yang ditemukan paling banyak di dalam usus ikan bilih adalah fitoplankton dari genus Synedra kelas Bacilariopiceae nilai IP (Index of

Preporedance) yaitu 98.9%. Berdasarkan komposisi pakan alami yang

mendominasi, ikan bilih termasuk ikan pemakan plankton (plankton feeder). Ikan bilih selama waktu beruaya tetap melakukan aktivitas makan dan aktif mencari makan pada siang hari atau bersifat diurnal.

Hasil tangkapan ikan bilih selama penelitian sebanyak 6 069 ekor yang terdiri dari 4 044 ikan jantan dan 2 025 ekor ikan betina. Pola pertumbuhan ikan bilih jantan dan betina bersifat allometrik negatif (P<0.05). Panjang asimtotik ikan bilih jantan (L∞) 184.97 mm, koefisien pertumbuhan (K) 0.25 t-1, t0 -0.399,

sedangkan panjang asimtotik ikan bilih betina (L∞) 190.47 mm, koefisien pertumbuhan (K) 0.39 t-1 dan t0 -0.25. Laju mortalitas alami ikan bilih jantan

(0.404) dan ikan bilih betina (0.536). Laju eksploitasi ikan bilih jantan (0.886) dan laju eksploitasi ikan bilih betina (0.825). Nilai rata-rata laju eksploitasi, ikan bilih di Sungai Naborsahan, Danau Toba telah melebihi laju ekploitasi optimum (0.5).

TKG ikan bilih dapat dibedakan menjadi 5 tahap yaitu tahap 1 (immature), Tahap II (pra mature), Tahap III (maturing), Tahap IV (mature) dan Tahap V (spent). Fekunditas atau potensi reproduksi ikan bilih bervariasi berdasarkan ukuran bobot tubuh ikan. Tipe pemijahan ikan bilih adalah berulang (partial spawner), puncak pemijahan terjadi pada bulan September dan Maret. Jumlah ikan matang gonad pada tiap stasiun penelitian relatif sama, namun semakin ke hulu menunjukkan kecenderungan peningkatan jumlah ikan bilih matang gonad.

Strategi pengelolaan ikan bilih di Sungai Naborsahan, Danau Toba Sumatera Utara dapat ditentukan berdasarkan aspek ekobiologi, meliputi: pengaturan musim penangkapan, pengaturan alat tangkap yang boleh dioperasikan dan ukuran ikan terkecil yang boleh ditangkap, penataan kawasan perbaikan habitat serta penetapan kawasan konservasi. Disamping aspek ekobiologi juga harus tetap memperhatikan aspek sosial ekonomi masyarakat sekitar danau dan sungai. Penerapan konsep manajemen kooperatif yang tepat dan berkelanjutan menjadi salah satu faktor penting dalam keberhasilan pengelolaan sumberdaya ikan, khususnya ikan bilih. Koordinasi dan kerjasama dari semua instansi antara lain pemerintah daerah, pemerintah pusat, masyarakat, swasta dan perguruan tinggi dalam pengelolaan sumberdaya ikan bilih sangat diperlukan.

(6)

SUMMARY

ANI SURYANTI. Ecobiology of Bilih Fish Mystacoleucus padangensis (Bleeker, 1852) as their Management Basis in the Naborsahan River, Lake Toba, North Sumatera. Supervised by SULISTIONO, ISMUDI MUCHSIN and ENDI S. KARTAMIHARDJA.

Bilih fish, Mystacoleucus padangensis (Bleeker, 1852) is an originally endemic fish of Singkarak Lake which has been successfully introduced to Toba Lake as one of the effort to prevent the extinction. Now, the bilih fish become a main catch commodity in the Naborsahan River, Toba Lake of North Sumatera. High catch activity could influence the growth and reproduction of the fish. The objetives of this studies were: 1) to assess the characteristics of spawning habitat, nursery ground and rearing area of the fish, 2) to assess food and feeding habits of the fish, 3) to assess growth and exploitation rate of the fish, 4) to assess the potential reproduction of the fish, and 5) to determine appropriate management strategy for sustainability of the fish resources.

This study was conducted in Naborsahan River that flows to the Toba Lake of North Sumatera. Observation of the environmental and biological parameters were done each month, from April 2013 to March 2014. The study used a descriptive method. The study design was defined by zonation considered to the river aquatic characteristics that flow to the Toba Lake based on the habitat typological, influence on environmental pressure around the lake, and the exploitation so that the fish sample obtained representing the fish in the waters, according to the fish habitat, and efficiency of sampling operational. Based on this character, six stations were determined, namely three stations representing part of the river, one estuary station and two stations representing a part of the lake.

Principal Component Analysis (PCA) was used to determine the linkages among factors that can ifluence the condition of the spawning habitat, nursery and growth for the fish life, and abundance of fish juvenile between the station and time. Structure of the fish population was distingaished by sex, size and gonads Maturity Level (TKG) according to the station and time analyzed descriptively. Fecundity size (length and weight) relationship of fish was determined using regression analysis, while growth parameter (K, L∞ and t0 ) was analized using

ELEFAN accommodated in the software FISAT II.

The result of this study showed that there was three group of station of the habitat characteristics with similar characters, namely group 1 (station 1 was similar to station 2), group 2 (station 3 was similar to station 4), group 3 (station 5 was similar to station 6). Dominant character (physical, chemical and biological) at the station 1 and 2 was DO, water current and number of male and female fish. At the station 3 and 4, dominant characters were phosphate, nitrite, depth, transperancy, COD, BOD5, turbidity, larvae and juvenile. Nitrate, phosphate,

temperature, alkalinity, pH, ammonia were dominant characters at stasion 5 and 6. Dominant physical characteristics at station 1 and 2 were water current and DO, while turbidity and BOD5 were dominant at station 3 and 4 comparing to other

(7)

pH and ammonia. Generaly, condition of water quality at the study location was still support for plankton, perifiton and the fish life. Fitoplankton and periphyton found in the study site was class of Bacillariophyceae.

Natural food of the fish in the River and Lake Toba was similar namely. phytoplankton from class Bacilariopiceae. Natural food of the bilih fish found in the intestine was phytoplankton, namely Rhizosolenia, Synedra, Gonatozygon, Closterium, Surirella, Pinnularia, Oscillatroria, Melosira, Gyrosigma, Aulacoseira and Zooplankton including Creseis, Tubifex and Daphnia. Type of natural food found in large number in the intestine was phytoplankton Genus

Synedra Class Bacilariopiceae, with IP (Index of Preporedance) > 40%-98.9%. Based on the composition of the dominant natural food, the fish could classified to be planktonfeeder fish. During migration, the fish keep feeding activity and actively looking for food during the day.

Total catch of the fish during the study was 6 069 of fish, consisted of 4 044 males and 2 025 females fish. Growth pattern of the males and female fish were allometric negative (P <0.05). Asymptotic length of fish (L∞) was 184.97 mm, the growth coefficient (K) was 0:25 t-1 and t0 was -0399 for male. While

asymptotic length (L∞ ) was 190.47 mm, the growth coefficient (K) was 0:39 t-1 and t0 -0.25 for female one. Natural mortality rate of the male fish was 0.404 and

female one was 0.536. The exploitation rate of male fish was 0.886 and female one was 0.825. The average value of exploitation rate of the fish caught at Naborsahan River Lake Toba was exceeded the optimum of exploitation value rate (0.5).

Gonad development stages (GDS) of the fish can be divided to five stages namely Stage 1 (Immature), Stage II (pre mature), Stage III (maturing), Stage IV (mature) and Stage V (spent). Fecundity or reproductive potential of the fish was various based on fish body weight. The spawning pattern of the fish was partial, with the peak spawning occurred in September 2013 and March 2014. Number of maturing fish found at each station was relatevely similar, but the station located in upper channel of the river showed the increase number of the maturing fish.

Strategic management of the fish caught at the Naborsahan River of Lake Toba North Sumatera, could be determined using by ecobiological aspects namely a fishing season, fishing gear operation and size of the smallest fish allowable to be caught, arrangement of habitat improvement and establishment of conservation areas. Besides the ecobiological aspects, it also must consider to the socio-economic aspects of the community around the lake and river. The application of the proper concept management and sustainibility were important factors for successful management of the fish resources, especially this bilih fish. Coordination and cooperation of all institutions such as, local government, central government, public, private sector and universities for the management of the fish resources were very important.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

EKOBIOLOGI IKAN BILIH

Mystacoleucus padangensis

(Bleeker, 1852)

SEBAGAI DASAR PENGELOLAAN DI SUNGAI NABORSAHAN,

DANAU TOBA, SUMATERA UTARA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr Ir Isdy Sulistyo, DEA

2. Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc Penguji pada Ujian Terbuka:

1. Dr Ir Isdy Sulistyo, DEA

(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih pada penelitian ini adalah biologi perikanan dan stok ikan dengan judul Ekobiologi Ikan Bilih Mystacoleucus padangensis (Bleeker, 1852) sebagai Dasar Pengelolaan di Sungai Naborsahan, Danau Toba, Sumatera Utara.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof Dr Ir Sulistiono, MSc, selaku ketua komisi pembimbing, Prof Dr Ir Ismudi Muchsin dan Prof Dr Endi Setiadi Kartamihardja, MSc selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan motivasi, arahan dan masukan mulai dari penyusunan proposal pelaksanaan penelitian dan penyusunan disertasi. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr Ir Isdy Sulistyo, DEA selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup dan terbuka dan Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc selaku penguji ujian prelim, penguji luar komisi pada ujian tertutup serta ujian terbuka, Prof Dr Ir Indra Jaya, MSc selaku Dekan FPIK IPB, Dr Ir M. Mukhlis Kamal, MSc, selaku Ketua Departemen MSP Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc selaku Ketua Program Studi SDP, Prof Dr Ridwan Affandi, atas saran dan masukannya dalam ujian prelim dan Dr Fredinan Yulianda atas saran dan masukannya pada pelaksanaan kolokium penulis.

Terima kasih kepada DIKTI yang telah memberikan biaya pendidikan selama tiga tahun di Sekolah Pascasarjana IPB. Terima kasih kepada Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan yang telah membantu sebagian dana penelitian disertasi. Terima kasih kepada Ketua Program Studi MSP, Dekan Fakultas Pertanian dan Rektor Universitas Sumatera Utara, atas izin melanjutkan S3. Terima kasih kepada pemerintah Kabupaten Toba Samosir atas ijin penelitian yang diberikan. Terima kasih kepada Kepala Laboratorium di lingkungan Universitas Sumatera Utara (Kepala Laboratorium MSP Terpadu, Kepala Laboratorium Patologi dan Anatomi, Kepala Laboratorium Kimia), Kepala Laboratorium Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Medan, Kepala Laboratoriun Badan Industri Medan, Kepala Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Departemen MSP, FPIK, IPB,

Disamping itu terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Ayahanda Rapan Singawijaya dan Ibunda Sartem, Kakanda Rasun, Kusen, Agus, Ayunda Sani dan Sus atas doa, kasih sayang, dukungan moril maupun materil, atas motovasi dan nasihat yang luar biasa kepada penulis untuk terus menuntut ilmu serta menyelesaikan karya ilmiah ini. Terima kasih untuk SDP angkatan 2011 (Dr Dade Jubaedah, Dr Eko Prianto, Dr Abdul Hamid, Usman Madubun MSi). Terima kasih kepada PT Aquafarm (Bpk Bambang), Alumni MSP USU (Hafiz, Melinda, Putri, Victor, Reza, Vindi, Chairnawar, Green, Azri, Riski, Nisa) yang telah membantu selama pengumpulan data. Teman-taman Al Farabi terkhusus Silvia Hermawati MSi terima kasih atas bantuan, nasihat, dan kerjasamanya. Terima kasih juga kepada Staf Perpustakaan IPB dan BRPU atas bantuannya mendapatkan referensi.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh keluarga, rekan, dan sahabat yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu dan telah membantu dalam penyelesaian disertasi ini. Kiranya segala bantuan yang diberikan dicatat sebagai amal jariah. Penulis juga menyampaikan permohonan maaf apabila selama studi, selama pelaksanaan penelitian maupun penulisan disertasi terdapat tutur kata, sikap maupun perbuatan yang kurang berkenan. Semoga disertasi ini bermanfaat.

Bogor, November 2015

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN viii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

Ruang Lingkup Penelitian 5

Kebaruan (Novelty) 6

2 KARAKTERISTIK HABITAT IKAN BILIH Mystacoleucus padangensis

(Bleeker, 1852) DI SUNGAI NABORSAHAN, DANAU TOBA,

SUMATERA UTARA 7

Pendahuluan 7

Bahan dan Metode 7

Hasil 11

Pembahasan 14

Kesimpulan 16

3 MAKANAN DAN KEBIASAAN MAKAN IKAN BILIH Mystacoleucus

padangensis (Bleeker, 1852) DI SUNGAI NABORSAHAN, DANAU

TOBA, SUMATERA UTARA 17

Pendahuluan 17

Bahan dan Metode 17

Hasil 19

Pembahasan 23

Kesimpulan 26

4 PERTUMBUHAN, MORTALITAS DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN BILIH Mystacoleucus padangensis (Bleeker, 1852) DI SUNGAI

NABORSAHAN, DANAU TOBA, SUMATERA UTARA 27

Pendahuluan 27

Bahan dan Metode 27

Hasil 30

Pembahasan 36

Kesimpulan 41

5 BIOLOGI REPRODUKSI IKAN BILIH Mystacoleucus padangensis

(Bleeker, 1852) DI SUNGAI NABORSAHAN, DANAU TOBA,

SUMATERA UTARA 42

(14)

Bahan dan Metode 42

Hasil 45

Pembahasan 51

Kesimpulan 57

6 PEMBAHASAN UMUM 58

7 KESIMPULAN 63

DAFTAR PUSTAKA 65

LAMPIRAN 73

RIWAYAT HIDUP 84

DAFTAR TABEL

1. Posisi stasiun penelitian ikan bilih di Sungai Naborsahan, Danau Toba

Ajibata Sumatera Utara 8

2 Kelimpahan plankton pada tiap stasiun penelitian 12 3 Jumlah kisaran panjang dan bobot ikan bilih selama penelitian 30 4 Parameter pertumbuhan (L, K dan t0) ikan bilih di Sungai Naborsahan,

Danau Toba Sumatera Utara. 35

5 Mortalitas total (Z), alami (M), penangkapan (F) dan laju eksploitasi ikan bilih di Sungai Naborsahan, Danau Toba Sumatera Utara 36 6 Ukuran pertama matang gonad ikan bilih 45

DAFTAR GAMBAR

1. Skema perumusan masalah penelitian 4

2. Ikan bilih Mystacoleucus padangensis dari Sungai Naborsahan Danau

Toba Sumatera Utara 5

3. Ruang lingkup penelitian 5

4. Lokasi penelitian di Sungai Naborsahan, Danau Toba 8 5. Biplot antara stasiun penelitian dengan parameter fisika, kimia dan

biologi perairan 11

6. Keanekaragaman jenis perifiton pada tiap stasiun penelitian 13 7. Indeks Kepenuhan Isi Lambung (ISC) ikan bilih jantan dan betina pada

waktu penelitian 20

(15)

11. Rasio panjang usus dengan panjang total ikan bilih pada tiap stasiun

penelitian 23

12. Hubungan panjang dan bobot ikan bilih di lokasi penelitian 30 13. Faktor kondisi rata-rata ikan bilih tiap bulan pengambilan sampel 32 14. Distribusi frekuensi ikan bilih jantan pada tiap bulan pengambilan

sampel 33

15. Distribusi frekuensi ikan bilih betina pada tiap bulan pengambilan

sampel 34

16. Distribusi frekuensi ikan bilih jantan dan betina pada tiap stasiun

penelitian 35

17. Pertumbuhan Von-Bertalanffy ikan bilih di lokasi penelitian 36 18. Kurva pertumbuhan ikan bilih jantan dan betina di lokasi penelitian 37 19. Produksi tangkapan rata-rata nelayan per alat tangkap pada tiap bulan

pengambilan sampel

20. Nisbah kelamin ikan bilih pada tiap bulan pengambilan sampel 41 21. Nisbah kelamin ikan bilih pada tiap stasiun penelitian 41 22. Nisbah ikan bilih jantan dan betina matang gonad pada tiap bulan

pengambilan sampel 42

23. Nisbah ikan bilih jantan dan betina matang gonad pada tiap stasiun

penelitian 42

24. Nilai rata-rata Indeks Gonadosomatik (IGS) ikan bilih jantan dan

betina pada tiap bulan pengambilan sampel 43

25. Nilai rata-rata Indeks Gonadosomatik (IGS) ikan biih jantan dan betina

pada tiap stasiun penelitian 43

26. Persentase Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ikan bilih pada tiap

bulan pengambilan sampel 44

27. Persentase Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ikan bilih pada tiap

stasiun penelitian 44

28. Jumlah ikan bilih matang gonad pada tiap bulan pengambilan sampel 44 29. Jumlah ikan bilih matang gonad pada pada tiap stasiun penelitian 45 30. Histologi ovarium ikan bilih (M. padangensis) jantan di Sungai

Naborsahan, Danau Toba Sumatera Utara: A) tahap 1 (immature), B) Tahap II (pra mature), C) Tahap III (maturing), D) Tahap IV (mature), E) Tahap V (spent), Ca (oosit alveolar cortikal), Pg (pertumbuhan oosit primer), Mb (muscle bundle),Vg1 (oosit vitelogenesis primer), Vg2 (oosit vitelogenesis sekunder), Vg3 (oosit vitelogenesis tersier), GVBD (germinal vesicle breakdown), Pof (post ovulatori folikel), a

(oosit atresi) 45

31. Hubungan fekunditas dengan bobot tubuh ikan bilih 46 32. Sebaran diameter telur ikan bilih yang diukur langsung 46 33. Sebaran diameter telur ikan bilih yang diukur pada preparat histologi 47 34. Jumlah juvenil dan anakan ikan bilih pada tiap bulan pengambilan

sampel penelitian 48

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Nilai kisaran parameter kualitas air pada tiap stasiun penelitian 74

2. Analisis PCA 75

3. Persentase makan alami dalam usus ikan bilih tiap stasiun penelitian 77 4. Nilai t, Lt dan L∞ ikan bilih jantan dan betina 78 5. Jumlah sampel ikan bilih jantan dan betina pada tiap stasiun penelitian

dan tiap bulan pengambilan sampel 80

6. Ukuran pertama matang gobad ikan bilih jantan dan betina 81 7. Ikan kaca-kaca Parambassis siamensis yang diperoleh pada waktu

penelitian 83

8. Jumlah ikan kaca-kaca Parambassis siamensis yang diperoleh pada tiap

(17)

DAFTAR ISTILAH

APHA : American Public Health Association, asosiasi kesehatan masyarakat di Amerika, dengan fokus pada issu dan kebijakan terkait kesehatan masyarakat berbasis ilmu pengetahuan

BOD : Biological Oxygen Demand, banyaknya oksigen yang

dibutuhkan oleh mikroorganisme dalam proses dekomposisi bahan organik

COD : Chemical Oxygen Demand, jumlah total oksigen yang

dibutuhkan untuk mengoksidasi semua bahan organik yang terdapat di perairan menjadi CO2 dan H2O

Diameter telur : Garis tengah atau ukuran panjang dari suatu telur yang diukur dengan mikrometer berskala yang sudah ditera

DO : Dissolved Oxygen, menunjukkan jumlah oksigen (O2) yang

tersedia dalam suatu badan air

Eksploitasi : Penangkapan ikan

Feeding ground : Daerah mencari makan ikan

Fekunditas : Jumlah telur yang terdapat pada ovari ikan betina yang telah matang gonad dan siap untuk dikeluarkan pada waktu memijah

Fitoplankton : Plankton yang bersifat tumbuhan (mampu berfotosintesis)

GSI : Gonado Somatic Index, indeks kematangan gonad (IGS)

merupakan perbandingan antara bobot gonad dengan bobot tubuh

Kelimpahan : Banyaknya sel atau individu tersebut yang terdapat dalam contoh yang diambil

Nursery ground : Daerah Asuhan ikan

Overfishing : Penangkapan yang berlebihan

Perifiton : Mikroflora yang tumbuh di atas substrat di bawah permukaan air

Plankton : Organisme mikroskopis yang berada di permukaan perairan dan pergerakkannya dipengaruhi oleh arus, bebas melayang dan hanyut dalam dalam perairan

Rekruitmen : Jumlah ikan dari kelas umur (year class) yang masuk ke dalam fase eksploitasi dari suatu perikanan dimana individu-individu yang berukuran lebih kecil dari stok tersebut pada periode waktu tertentu akan bertumbuh menjadi besar

Spawning : Pemijahan ikan

Spawning ground : Daerah Pemijahan ikan

TKG : Tingkat Kematangan Gonad, merupakan tahapan perkembangan gonad menurut perkembangan telur di dalam ovaria dan spermatozoa di dalam testes

Zooplankton : Plankton yang bersifat hewan dalam perairan (tidak mampu berfotosintesis)

(18)
(19)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ikan bilih Mystacoleucus padangensis Bleeker (Bleeker, 1852) adalah ikan endemik yang hidup di Danau Singkarak, Sumatera Barat (Kottelat et al. 1993, Syandri 1996, Kartamihardja & Sarnita 2008, 2010, Kartamihardja 2009). Tahun 2003 ikan bilih dari Danau Singkarak diintroduksi ke Danau Toba sebanyak 2 840 ekor (Kartamihardja & Sarnita 2008, 2010, Kartamihardja 2009). Introduksi ikan bilih tersebut dinilai berhasil berkembang dengan baik di Danau Toba dibandingkan dengan habitat aslinya di Danau Singkarak, Sumatra Barat. Ikan bilih di Danau Toba mengalami peningkatan dalam populasi dan ukurannya juga lebih besar daripada ukuran ikan bilih Danau Singkarak. Oleh karena itu, ikan ini tidak lagi sebagai ikan endemik Danau Singkarak.

Peningkatan populasi ikan bilih di Danau Toba terlihat pada data hasil tangkapan ikan tahun 2005 yang menunjukkan bahwa ikan bilih berkontribusi sebesar 15% dari total hasil tangkapan ikan keseluruhan di perairan Danau Toba. Hal tersebut diperkuat dengan data hasil tangkapan tahun 2004-2010 yang menunjukkan peningkatan cukup tinggi. Data hasil tangkapan ikan bilih di Danau Toba tersebut adalah tahun 2004 (310.6 ton), 2005 (639.5 ton), 2006 (860.9 ton), 2007 (1 500.0 ton), 2008 (7 500.0 ton), 2009 (13 000.0 ton) dan tahun 2010 (30 000.0 ton) (Kartamihardja & Sarnita 2010).

Ukuran panjang dan bobot ikan bilih di Danau Toba lebih besar dibandingkan dengan ukuran ikan bilih di Danau Singkarak yang merupakan habitat asli ikan ini. Ukuran ikan bilih di Danau Singkarak mempunyai panjang total antara 4.0-8.5 cm dan kisaran bobot antara 0.5-5.1 g/ekor (Kartamihardja & Sarnita 2010). Penelitian pada tahun 2008 oleh Kartamihardja dan Sarnita (2010) mendapatkan ikan bilih di Danau Toba dengan ukuran panjang total rata-rata 21.5 cm dan bobot rata-rata 9.5 g. Hasil tangkapan ikan bilih di Danau Toba pada bulan Juni 2009 menunjukkan rata-rata panjang total 12.3 cm dan bobot rata-rata 18.1 g/ekor. Pengambilan contoh ikan pada Bulan Agustus 2010 diperoleh rata-rata panjang total 13.1 cm dengan bobot 21.5 g/ekor (Umar & Kartamihardja 2011). Meskipun ukuran panjang dan bobot ikan bilih pada Bulan Juni 2009-Agustus 2010 menunjukkan adanya peningkatan, namun sudah mengindikasikan adanya penurunan ukuran jika dibandingkan dengan data ukuran panjang dan bobot ikan bilih pada tahun 2008 (Kartamihardja & Sarnita 2010).

(20)

2

lagi dengan adanya aktivitas penangkapan ikan bilih di Danau Toba yang dilakukan di muara sungai sehingga memutus jalur ruaya pemijahan ikan bilih.

Kepunahan stok ikan air tawar dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain: kerusakan atau hilangnya habitat, introduksi spesies eksotik, eksploitasi yang berlebihan dan sisanya dapat disebabkan oleh pencemaran, persaingan penggunaan air serta pemanasan global (Ried & Miller 1989 dalam Nasution 2008). Beberapa kegiatan yang berlangsung di sekitar Danau Toba yang berpotensi menyebabkan kerusakan lingkungan perairan Danau Toba antara lain: 1) penebangan hutan dan kebakaran hutan di sekitar daerah tangkapan air Danau Toba; 2) industri ulos dan industri pengolahan kopi; 3) penambangan pasir; 4) pencemaran oleh limbah domestik, hotel, restoran, pariwisata, peternakan, perikanan (Karamba Jaring Apung [KJA]) dan pertanian; 5) transportasi; serta 6) penangkapan ikan (Suwanto et al. 2011).

Aktivitas tersebut dinilai belum berpengaruh terhadap kualitas air yang dibutuhkan bagi kelangsungan hidup ikan bilih. Hal ini didasarkan pada data tahun 2008 bahwa kandungan oksigen terlarut yang terukur di perairan Danau Toba berkisar 5.8-6.8 mgL-1, pH perairan berkisar antara 6.5-8.2 (Suwanto et al. 2011). Lukman dan Ridwansyah (2010) menyatakan bahwa suhu perairan Danau Toba berkisar 26.5-28oC dan kandungan oksigen terlarut di permukaan perairan Danau Toba relatif tinggi yaitu 6-7 mgL-1. Data tersebut memperkuat dugaan bahwa indikasi terganggu perkembangan atau pertumbuhan ikan bilih di Danau Toba diperkirakan bukan karena penurunan kualitas habitat tapi karena aktivitas penangkapan. Kondisi tersebut apabila berlangsung terus-menerus dikhawatirkan akan mengancam kepunahan stok ikan bilih di Danau Toba seperti yang terjadi di Danau Singkarak.

Informasi mengenai ikan bilih terutama di habitat aslinya di Danau Singkarak sudah banyak dilakukan mulai dari ekologi (Azhar 1993, Panudju 2010), reproduksi (Rachmatika 1986, Syandri 1993, 1996, 1998, Junaidi 2005, Junaidi et al. 2009, Patriono et al. 2010), pertumbuhan dan distribusi (Syandri & Effendie 1997, Purnomo & Sunarno 2003), pengelolaan (Junaidi 2000, Koeshendrajana et al. 2005, Purnomo & Kartamihardja 2003, Purnomo et al. 2006, Syandri 2008) dan pembenihan (Syandri 2001). Informasi ikan bilih yang di Danau Toba meliputi: populasi, keberhasilan introduksi, dan pengelolaan sumberdaya ikan bilih yang di dalamnya juga memuat mengenai ekologi, reproduksi, pertumbuhan (Kartamihardja & Purnomo 2006, Kartamiharja 2009, Kartamihardja & Sarnita 2008, 2010); teknik penangkapan (Purnomo 2009), valuasi ekonomi dampak introduksi ikan bilih (Koeshendrajana et al. 2005), dan bioekologi (Barus 2011).

Informasi ikan bilih di Danau Toba yang disebutkan di atas berdasarkan hasil kajian yang dilakukan di Danau Toba sampai batas muara sungai saja, padahal ikan bilih melakukan ruaya pemijahan ke sungai yang bermuara ke danau. Kajian mengenai ikan bilih di sungai yang bermuara ke Danau Toba belum pernah dilakukan. Informasi mengenai telur juvenil anakan ikan bilih di sungai maupun di Danau juga belum pernah disampaikan. Hal tersebut menjadi dasar perlunya dilakukan penelitian mengenai ekobiologi ikan bilih di sungai yang bermuara ke Danau Toba.

(21)

3 mengalir sepanjang tahun. Sungai ini juga merupakan jalur ruaya pemijahan ikan bilih. Aktivitas penangkapan ikan bilih juga banyak ditemukan di sungai ini. Alat tangkap yang banyak digunakan adalah jala tebar. Selain menggunakan jala penangkapan ikan bilih juga dilakukan menggunakan bubu dan jaring kantong. Aktivitas penangkapan ikan bilih menggunakan bubu dan jaring kantong yang dipasang memotong sungai sehingga memutus jalur ruaya pemijahan banyak ditemukan di sungai ini. Hal tersebut menjadi dasar perlunya dilakukan penelitian mengenai ekobiologi ikan bilih di Sungai Naborsahan, Danau Toba Sumatera Utara.

Perumusan Masalah

Ukuran panjang total ikan bilih yang ditangkap tahun 2008 adalah 21.5 cm (Kartamihardja & Sarnita 2010), Umar dan Kartamihardja (2011) menyatakan bahwa ukuran panjang total ikan bilih tahun 2009 (12.3 cm) dan 2010 (13.1 cm). Berdasarkan data tersebut menunjukkan adanya indikasi bahwa ikan bilih di Danau Toba sudah mulai terganggu perkembangannya atau pertumbuhannya. Informasi dari nelayan juga menyatakan bahwa ukuran ikan bilih dan hasil tangkapan pada saat ini semakin sedikit jumlahnya dan ukurannya juga semakin kecil.

Kemampuan pulih kembali populasi ikan bilih di Danau Toba telah mengindikasikan adanya penurunan. Penurunan kemampuan pulih kembali diduga karena aktivitas penangkapan yang cenderung intensif dengan menggunakan bagan dan gill net di Danau dan tidak ramah lingkungan. Penangkapan ikan bilih secara intensif menggunakan bagan dinilai tidak selektif karena berbagai ukuran ikan dapat tertangkap, menyebabkan ikan bilih muda (belum pernah melakukan pemijahan) ikut tertangkap. Hal ini menjadi faktor penyebab gagalnya rekrutmen (penambahan baru). Penangkapan tidak ramah lingkungan dilakukan menggunakan bubu dan jaring kantong yang berada di daerah pemijahan. Alat tangkap bubu dan jaring kantong dipasang memotong sungai sehingga banyak induk-induk matang gonad lebih dahulu tertangkap sebelum dapat melangsungkan pemijahan. Hal ini menyebabkan terputusnya jalur ruaya pemijahan ikan bilih yang berarti juga menjadi faktor penyebab gagalnya rekrutmen sehingga populasi ikan bilih di Danau Toba menurun.

Rekrutmen tidak akan tercapai apabila jumlah induk ikan jantan dan betina yang matang gonad tidak tersedia dalam jumlah yang cukup. Rekrutmen dalam stok perikanan (R) dapat tercapai apabila pertumbuhan (G) dan rekrut (R) lebih besar dari kematian total (Z). Kematian total adalah penjumlahan dari kematian karena penangkapan (F) dan kematian alami (M), sehingga diformulasikan secara matematik sebagai Z = F+M.

(22)

4

digunakan untuk menentukan strategi pengelolaan konservasi ikan bilih. Belum adanya pengawasan dan pengendalian alat tangkap yang beroperasi baik dari segi jumlah, ukuran maupun teknik yang ramah lingkungan dan belum adanya pembagian zona kawasan penangkapan sehingga daerah pemijahan dan asuhan ikan bilih terganggu menjadi dasar pentingnya penelitian ini. Perumusan masalah dan pendekatan pemecahan masalah penelitian ini ditampilkan pada Gambar 1.

Gambar 1 Skema perumusan masalah penelitian

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengkaji karakteristik habitat ikan bilih

2. Mengkaji makanan dan kebiasaan makan ikan bilih 3. Menganalisis pertumbuhan dan laju eksploitasi ikan bilih 4. Menganalisis biologi reproduksi ikan bilih

5. Merumuskan konsep dan strategi pengelolaan ikan bilih di Sungai Naborsahan, Danau Toba, Sumatera Utara berdasarkan aspek bioekologi

Manfaat Penelitian

(23)

5

Ruang Lingkup Penelitian

Fokus kajian dalam penelitian ini adalah untuk mengkaji ekobiologi ikan. Gambar ikan bilih dari Sungai Naborsahan dapat dilihat pada Gambar 2 dan klasifikasi ikan bilih menurut Kottelat et al. (1993) adalah sebagai berikut:

Kelas : Actinopterygii Ordo : Cypriniformes Famili : Cyprinidae Sub Famili : Cyprininae Genus : Mystacoleucus

Spesies : Mystacoleucus padangensis (Bleeker, 1952)

Gambar 2 Ikan bilih Mystacoleucus padangensis (Bleeker, 1852) dari Sungai Naborsahan, di Danau Toba, Sumatera Utara

Kajian ekobiologi bilih dilakukan meliputi pengamatan faktor fisika, kimia dan biologi pada habitat ikan bilih, analisis makanan dan kebiasaan makan, pertumbuhan dan eksploitasi, serta kajian reproduksi ikan bilih. Gambaran kerangka pendekatan studi disajikan pada Gambar 3 sebagai berikut:

(24)

6

Kebaruan (Novelty)

Ikan bilih yang pada awalnya merupakan ikan endemik Danau Singkarak telah berhasil di introduksi ke Danau Toba. Ikan ini memiliki karakteristik yang sangat menarik yaitu beruaya untuk memijah menuju sungai yang bermuara ke danau. Penelitian mengenai ikan bilih terutama di habitat aslinya di Danau Singkarak sudah banyak dilakukan di antaranya:

1. Ekologi (Azhar 1993, Panudju 2010).

2. Reproduksi (Rachmatika 1986, Syandri 1993, 1996, 1998, Junaidi 2005, Junaidi et al. 2009, Patriono et al. 2010, Syandri 2013 ).

3. Pertumbuhan dan distribusi (Syandri & Effendie 1997, Purnomo and Sunarno 2003).

4. Pengelolaan (Junaidi 2000, Koeshendrajana et al. 2005, Purnomo & Kartamihardja 2003, Purnomo et al. 2006, Syandri 2008).

5. Pembenihan (Syandri 2001).

Penelitian ikan bilih di Danau Toba yang sudah dilakukan meliputi populasi, keberhasilan introduksi, dan pengelolaan sumberdaya ikan bilih yang di dalamnya juga memuat mengenai ekologi, reproduksi, pertumbuhan (Kartamihardja & Purnomo 2006, Kartamiharja 2009, Kartamihardja & Sarnita 2008, 2010); teknik penangkapan (Purnomo 2009), valuasi ekonomi dampak introduksi ikan bilih (Koeshendrajana et al. 2005) dan bioekologi (Barus 2011).

Penelitian ikan bilih di Danau Toba yang sudah dilakukan tersebut sampai saat ini baru sebatas di perairan danau sampai muara sungai saja, padahal ikan bilih melakukan ruaya pemijahan dari danau menuju sungai yang bermuara ke danau. Kajian mengenai ikan bilih di sungai yang bermuara ke Danau Toba belum pernah dilakukan, informasi mengenai keberadaan juvenil benih ikan bilih di sungai maupun di danau juga belum pernah disampaikan. Hal tersebut menjadi dasar perlunya dilakukan penelitian mengenai ekobiologi ikan bilih di sungai yang bermuara ke Danau Toba. Begitu juga dengan kajian mengenai parameter perumbuhan, (L, K dan t0), mortalitas total (Z), mortalitas alami (M), mortalitas

(25)

7

2

KARAKTERISTIK HABITAT IKAN BILIH

Mystacoleucus

padangensis

(Bleeker, 1852) DI SUNGAI NABORSAHAN,

DANAU TOBA SUMATERA UTARA

Pendahuluan

Danau Toba merupakan danau terbesar di Asia Tenggara. Luas Perairan Danau Toba yaitu 1 130 km2 dengan kedalaman maksimal danau 529 m. Danau Toba terletak di Pulau Sumatera tepatnya di pegunungan Bukit Barisan Propinsi Sumatera Utara. Danau Toba berjarak sekitar 176 km dari arah Selatan Kota Medan. Permukaan danau berada pada ketinggian 903 m dpl dan Daerah Tangkapan Air (DTA) 1.981 m dpl. Danau ini secara geografis terletak pada titik koordinat 2o21 32 –2o56 28 LU dan 98o26 35 –99o15 40 BT (Suwanto et al. 2011). Lukman dan Ridwansyah (2010) menyatakan bahwa Danau Toba merupakan bagian dari tujuh wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Karo, Simalungun, Dairi, Toba Samosir, Samosir, Tapanuli Utara, dan Humbang Hasundutan.

Danau ini mempunyai ratusan inlet (229) sedangkan outletnya hanya satu yaitu Sungai Asahan yang terletak di Kabupaten Simalungun. Inlet tersebut berasal dari Pulau Samosir (112) dan dari Pulau Sumatera (117). Jumlah 229 inlet tersebut, 57 diantaranya mengalirkan air secara tetap dan sisa 222 lagi adalah sungai musiman (intermitten) (Suwanto et al. 2011). Berdasarkan laporan hasil survei Kementrian Kelautan dan Perikanan tahun 2007 ada 62 sungai yang mengalir dari Pulau Samosir dan 129 sungai yang mengalir dari Pulau Sumatera. Satu diantara inlet yang mengalir sepanjang tahun adalah Sungai Naborsahan.

Sungai ini menjadi habitat banyak jenis ikan seperti ikan nila, mas, tor, lele, gabus, dan ikan bilih adalah Sungai Naborsahan. Sungai ini mempunyai letak strategis, karena dekat dengan pelabuhan penyeberangan Ajibata (Pulau Sumatera-Pulau Samosir). Aktifitas penangkapan ikan bilih dapat ditemukan di sepanjang sungai ini. Berbagai aktivitas lain, seperti pemukiman, rumah tangga, peternakan, penangkapan ikan, budidaya, pengolahan ikan dan penggalian pasir dapat dijumpai di sepanjang sungai ini. Aktivitas antropogenik tersebut memberikan potensi terhadap perubahan kualitas air Sungai Naborsahan. Kondisi ini dikhawatirkan dapat mengganggu keberadaan sumberdaya ikan di Sungai Naborsahan terutama ikan bilih. Keanekaragaman hayati ikan air tawar di Indonesia saat ini menghadapi ancaman dari berbagai faktor antropogenik yang menyebabkan penurunan keanekaragaman ikan-ikan asli di perairan (Kamal et al. 2010).

Bahan dan Metode

(26)

8

stasiun mewakili bagian danau (stasiun 5 dan stasiun 6) yang terletak di samping kanan dan kiri muara. Stasiun pengambilan sampel dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 4. Pengambilan sampel dilakukan setiap bulan selama satu tahun dari April 2013 sampai Mei 2014.

Tabel 1 Posisi stasiun penelitian ikan bilih di Sungai Naborsahan, Danau Toba, Sumatera Utara

Stasiun Zona Koordinat Posisi

1 Sungai 02o39'01.58"LU; 098o56'16.5"BT

Stasiun paling hulu, terdapat aktivitas pertanian penambangan pasir dan penangkapan ikan sangat sedikit, kedalaman sungai 0.4-1 m, substrat terdiri dari batu, kerikil dan pasir.

2 Sungai 02o39'06.89"LU; 098o56'11.6"BT

Stasiun berjarak ± 500 m dari stasiun 1 menuju hilir, terdapat aktivitas penambangan pasir, pemukiman dan penangkapan ikan sedikit, kedalaman sungai 0.4-1.3 m, substrat terdiri dari kerikil dan pasir.

3 Sungai 02o39'12.4"LU; 098o56'06.6"BT

Stasiun paling hilir berjarak ± 500 m dari stasiun 2 menuju muara, terdapat aktivitas peternakan, pemukiman dan penangkapan ikan banyak, kedalaman sungai 0.6-2 m, substrat terdiri dari pasir dan lumpur.

4 Muara 02o39'19.22"LU; 098o56'03.44"BT

Terletak di muara berjarak ± 800 m dari stasiun 3, terdapat aktivitas penyeberangan, wisata, pemukiman dan penangkapan serta pengolahan ikan. Kedalaman sungai 1-2.2 m dan substrat berupa lumpur.

5 Danau 02o39'18.58"LU; 098o56'02.53"BT

Terletak di danau, berjarak ± 500 m ke kanan muara dan 200 m dari tepi danau, substrat berupa batu dan kerikil. 6 Danau 02o39'19.76"LU

098o56'01.93"BT

Terletak di danau berjarak 500 m dari kiri muara dan 200 m dari tepi danau, substrat berupa batu dan kerikil.

Pengamatan terhadap kondisi lingkungan dilakukan melaui pengukuran parameter kualitas air di lapangan (in situ) dan pengukuran di laboratorium (eks situ). Parameter yang diukur langsung di lapangan adalah suhu (oC), arus (mdet-1), kedalaman (m), kecerahan (m), pH dan oksigen terlarut atau Dissolved Oxygen (DO) (mgL-1) dan parameter yang diukur di laboratorium meliputi kekeruhan (NTU), alkalinitas (mgL-1), Biological Oxygen Demand (BOD) (mgL-1), Chemical Oxygen Demand (COD) (mgL-1), nitrat (mgL-1), nitrit (mgL-1), fosfat (mgL-1) dan amoniak (mgL-1). Pengamatan terhadap kondisi lingkungan dilakukan setiap bulan selama satu tahun sehingga dapat mewakili musim penghujan dan kemarau. Pengamatan terhadap kondisi lingkungan juga dilakukan bersamaan dengan pengambilan sampel plankton, perifiton dan sampel ikan setiap stasiun penelitian. Metode standar dari Standard Methods for The Examination of Water and

Wastewater (APHA 2005) digunakan sebagai dasar dalam pengambilan sampel,

pengawetan, pengangkutan dan analisis sampel air. Kondisi cuaca dan kondisi lingkungan di sekitar perairan seperti pemukiman, persawahan, perkebunan, peternakan dan transportasi juga dicatat pada waktu pengambilan sampel.

Data parameter kualitas air dianalisis secara diskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel atau grafik. Selain itu, data juga dianalisis statistika multivariate

(27)

9

Gambar 4 Lokasi penelitian di Sungai Naborsahan, Danau Toba, Sumatera Utara

Pengambilan Sampel ikan

Pengambilan sampel ikan menggunakan alat tangkap jaring kantong dengan diameter mulut jaring 1.5 m panjang jaring 12 m dan mata jaring 0.79 inchi, 0.59 inchi serta 0.2 inchi dipasang selama 5 jam dan jala tebar dengan diameter jaring 5 m dan mata jaring 1 inchi. Sampel ikan bilih langsung dimasukan ke dalam kotak pendingin untuk diamati di laboratorium. Panjang total diukur di atas kertas milimeter blok (ketelitian 1 mm), dan bobot tubuh ditimbang dengan timbangan digital (ketelitian 0.01 g). Semua sampel ikan dibedah dari bagian anus ikan mengarah ke punggung lalu turun sampai ke pangkal sirip dada dan diamati bagian gonadnya untuk menentukan jenis kelamin. Sampel ikan bilih yang sudah diidentifikasi jenis kelaminnya dihitung jumlah jantan dan betina pada tiap stasiun penelitian.

Pengambilan Sampel Plankton dan perifiton

Pengambilan sampel plankton dilakukan menggunakan plankton net No. 25. Plankton net dipasang melawan arus sungai selama 5 menit. Luas mulut plankton net dan arus sungai diukur untuk menentukan volume air yang tersaring dalam plankton net. Sampel plankton dimasukkan ke botol sampel dan diberi lugol sebanyak 3-5 tetes. Sampel plankton diamati dengan Sedgewick Rafter Countingcell (SRC) di bawah mikroskop dan diidentifikasi dengan menggunakan buku identifikasi plankton Sachlan (1982) dan Edmonsond (1959) sampai taksa yang paling memungkinkan dengan perbesaran 100x dan pengamatan diulang sebanyak 3 kali.

(28)

10

dengan 3–5 tetes larutan lugol pro analisis (Pa). Pengambilan sampel dilakukan sebanyak tiga kali ulangan pada tiap stasiun.

Perhitungan Kelimpahan plankton

Perhitungan kelimpahan dilakukan untuk mengetahui berapa besar kelimpahan setiap genus tertentu yang ditemukan selama pengamatan. Kelimpahan plankton dihitung menggunakan alat SRC dengan rumus sebagai berikut (APHA, 2005):

K N t Vt

c V

Keterangan:

K = kelimpahan fitolankton (selL-1) dan Zooplankton (indL-1) N = jumlah plankton yang diamati

As = volume air yang di saring (L) untuk perhitungan plankton

At = luas penampang permukaan SRC (mm2)

Ac = luas amatan (mm2)

Vt = volume konsentrat pada botol contoh (ml) untuk perhitungan plankton

Vs = volume konsentrat dalam SRC (ml)

Indeks Keanekaragaman Plankton

Indeks keanekaragaman plankton digunakan untuk mengetahui keanekaragaman jenis plankton di perairan. Keanekaragaman plankton yang tinggi menunjukkan tidak ada didominasi oleh satu atau dua jenis individu plankton. Persamaan yang digunakan untuk menghitung indeks ini adalah persamaan Shannon-Wienner, dengan rumus :

 

 s

1

i Piln Pi

H'

Keterangan :

H' = indeks diversitas Shannon-Wienner Pi = ni/N

ni = jumlah individu jenis ke-i N = jumlah total individu S = jumlah genus

Kelimpahan Perifiton

Sampel perifiton dianalisis untuk mendapatkan data jenis dan kelimpahan perifiton. Kelimpahan perifiton dihitung dengan menggunakan rumus APHA (2005) sebagai berikut:

As x Vs x Ac Vt x At x N K 

Keterangan:

K = kelimpahan perifiton (indcm-2) N = jumlah perifiton yang diamati (ind)

At = luas penampang permukaan cover glass (mm2) Vt = volume botol sampel (30 mL)

Ac = luas amatan (mm2)

Vs = volume sampel yang diamati (mL)

(29)

11

Hasil

Kondisi Fisika Kimia Perairan`

Hasil pengamatan kondisi lingkungan perairan berupa faktor fisika dan kimia perairan disajikan pada Lampiran 1. Hasil pengukuran faktor fisika dan kimia di lokasi penelitian masih cocok untuk kehidupan biota perairan termasuk ikan bilih. Hasil analisis karakteristik habitat ikan bilih antar stasiun penelitian diperoleh keragaman sumbu pertama sebesar 73% dan keragaman sumbu kedua sebesar 23%. Total keragaman dari kedua sumbu tersebut adalah 96%. Ada tiga pengelompokan stasiun yang memiliki kemiripan yang sama, yaitu kelompok 1 (stasiun 1 mirip dengan stasiun 2), kelompok 2 (stasiun 3 mirip dengan stasiun 4), dan kelompok 3 (stasiun 5 mirip dengan stasiun 6). Sifat fisika, kimia dan biologi yang menonjol pada stasiun 1 dan 2 adalah DO, arus, jumlah ikan betina dan jumlah ikan jantan. Pada stasiun 3 dan 4, sifat-sifat yang dominan adalah Fosfat, Nitrit, kedalaman, kecerahan, COD, BOD5, kekeruhan, jumlah anakan dan jumlah

juvenil. Nitrat, plankton, suhu, akalinitas, pH, amoniak paling unggul di stasiun 5 dan 6. Jumlah ikan jantan dan betina berkorelasi kuat dan positif terhadap arus dan DO, sementara dengan jumlah anakan, jumlah juvenil dan plankton serta sifat fisika kimia air lainnya berkorelasi kuat dan negatif. Faktor fisika kimia yang berpengaruh paling kuat di stasiun 1 dan 2 adalah arus, kemudian DO, sementara kekeruhan dan BOD5 lebih berpengaruh kuat di stasiun 3 dan 4 dibandingkan

faktor fisika kimia lainnya. Pada stasiun 5 dan 6, faktor fisika dan kimia yang paling berpengaruh kuat adalah alkalinitas, kemudian pH dan amoniak (Gambar 5).

Gambar 5 Biplot antara stasiun penelitian dengan parameter fisika, kimia dan biologi perairan 3 2 1 0 -1 -2 -3 -4 4 3 2 1 0 -1 -2 -3

PCA 1 (73 % )

P C A 2 ( 2 3 % ) plankton Anakan Juvenil Betina Jantan Amoniak Posfat Nitrat Nitrit COD BOD5 DO Alkalinitas pH Kekeruhan Kecerahan Kedalaman Arus Suhu St 1 St 2

St 3

St 4

(30)

12

Komposisi Jenis dan Kelimpahan Plankton dan Perifiton

[image:30.595.87.473.194.741.2]

Kelimpahan plankton selama penelitian di Sungai Naborsahan berkisar 150 – 1400 selL-1. Stasiun yang memiliki kelimpahan paling tinggi yaitu pada stasiun 2 dan yang paling rendah pada stasiun 4. Kelimpahan plankton tiap stasiun penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Kelimpahan plankton pada tiap stasiun penelitian

Kelas Famili Genus Kelimpahan (selL-1)

st 1 st 2 st 3 st 4 st 5 st 6

Fitoplankton

Bacillariophyta Achnanthes 220 302 200 333 575 342 Bacillariophyceae

Bacillaria 231 331 220 373 625 371 Cymbella 162 287 160 264 500 257 Epithemia 370 354 170 295 600 314 Fragillaria 260 377 260 420 550 357 Frustulia 430 356 230 404 600 357 Navicula 250 352 280 467 775 357 Nitzschia 256 281 210 264 375 285 Chaetoceraceae Rhizosolenia 400 659 400 623 1125 657 Fragillariaceae Synedra 450 953 450 934 1375 957 Melosiraceae Melosira 310 429 310 498 900 428 Naviculaceae Gyrosigma 260 347 260 358 725 342 Pinnularia 280 527 280 529 800 528 Surirellaceae Surirella 320 408 320 389 600 400 Chlorophyceae Chlorophyta Pediastrum 200 387 200 467 575 385 Scenedesmus 230 377 230 389 700 371 Desmidiceae Closterium 210 348 210 451 475 342 Gonatozygaceae Gonatozygon 320 488 320 389 700 428 Coscinodiscophyceae Aulacoseiraceae Aulacoseira 250 378 250 389 700 371 Bacillariophyta Coscinodiscus 200 349 200 358 600 342 Cyanophyceae Cyanobacteria Anabaena 220 459 220 327 625 400 Oscillatoriaceae Oscillatoria 260 445 260 420 700 400 Zygnematophyceae Streptophyta Cosmarium 200 327 200 249 400 257 Pleurotenium 180 245 180 234 450 285 Tidak Teridentifikasi 90 124 90 155 175 114 Zooplankton Kelimpahan (indL-1)

(31)

13

Perifiton

[image:31.595.113.510.203.704.2]

Perifiton yang ditemukan di substrat selama penelitian pada stasiun 1 terdiri dari 40 genus yang terbagi dalam lima kelas yaitu Bacillariophyceae (22 genus), Chlorophyceae (12 genus), Cyanophyceae (3 genus), Euglenoida (2 genus) dan Rotatoria (1 genus). Pada stasiun 2 terdiri dari 44 genus yang terbagi dalam empat kelas yaitu Bacillariophyceae (22 genus), Chlorophyceae (17 genus), Cyanophyceae (3 genus) dan Euglenoida (2 genus) (Gambar 6).

(32)

14

Pembahasan

Kecepatan arus dari suatu perairan akan mempengaruhi keberadaan biota (plankton, perifiton dan ikan bilih) yang terdapat di dalamnya. Berdasarkan Lampiran 1 diketahui bahwa kisaran arus berkisar antara 0.23-0.61 mdet-1. Hal ini menunjukkan bahwa kecepatan arus di stasiun 1 dan 2 pada penelitian ini tergolong cepat. Menurut Welch (1980) bahwa arus dibagi menjadi 5 yaitu arus sangat cepat (>1 mdet-1), cepat (0.5-1 mdet-1), sedang (0.25-0.5 mdet-1), lambat (0.1-0.25 mdet-1) dan sangat lambat (<0.1 ms-1). Kategori untuk perairan berarus sedang berkisar antara 0.25-0.50 mdet-1. Di antara keenam stasiun terdapat perbedaan kecepatan arus selama pengamatan. Kecepatan arus tertinggi terdapat pada stasiun 1.

Hasil PCA biplot pada Gambar 5 menunjukkan bahwa di stasiun 1 dan 2 parameter yang menjadi penciri pada dua stasiun ini adalah sama yaitu DO dan arus, karena dua stasiun ini bagian hulu sungai pada penelitian ini. Pengaruh DO dan arus signifikan di kedua stasiun ini. Hal ini ditunjukkan dengan sudut yang dibentuk oleh DO dan arus berupa sudut lancip (kurang dari 90o). Peubah akan digambarkan sebagai garis berarah dengan biplot. Menurut Kohler dan Luniak (2005) bahwa dua peubah berkorelasi positif tinggi jika dua buah garis dengan arah yang sama, atau membentuk sudut yang sempit (kurang dari 90o). Kondisi ini sangat relevan dengan kondisi sebenarnya di stasiun 1 dan 2. Stasiun 1 yang terletak di bagian paling hulu dari lokasi penelitian ini dan selanjutnya diikuti stasiun 2. Kedua stasiun ini memiliki substrat dasar perairan yang hampir sama yaitu batu, kerikil dan pasir. Kandungan DO yang tinggi di kedua stasiun ini sangat dipengaruhi oleh arus. Arus yang cepat akan membentuk permukaan perairan menjadi lebih luas sehingga difusi oksigen dari udara ke perairan menjadi semakin besar. Sitompul (2000) menyatakan sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal dari proses difusi oksigen bebas di udara ke dalam air dan juga berasal dari hasil fotosintesis organisme dalam perairan tersebut.

Karakteristik di stasiun 3 adalah memiliki korelasi positif tinggi secara berturut-turut adalah fosfat, nitrit dan kedalaman, sedangkan kecerahan, COD, BOD5 dan kekeruhan berkorelasi positif rendah. Karakteristik stasiun 4 adalah

parameter kedalaman, kecerahan, nitrit, fosfat, COD, BOD5 dan kekeruhan.

Karakteristik stasiun 5 mempunyai kemiripan dengan stasiun 6. Parameter yang berpengaruh pada stasiun ini adalah alkalinitas, amoniak, pH, nitrat dan suhu. Parameter alkalinitas, amoniak, pH, nitrat dan suhu memiliki korelasi positif yang tinggi. Dua stasiun ini mempunyai karakteristik yang hampir sama karena dua stasiun ini sama-sama stasiun yang mewakili bagian danau yang letaknya di sebelah kanan dan kiri muara. Hal tersebut yang menyebabkan adanya ksamaan karakteristik di stasiun 5 dan 6.

(33)

15 tersebut menunjukkan suhu di lokasi penelitian masih mendukung untuk kehidupan ikan bilih dan kehidupan plankton maupun perifiton sebagai pakan alami ikan bilih.

Kecerahan merupakan gambaran sifat optik dari suatu perairan yang ditentukan oleh banyaknya cahaya yang masuk. Kecerahan dipengaruhi oleh bahan-bahan tersuspensi seperti lumpur, pasir, bahan organik dan anorganik, plankton dan organisme mikroskopik lainnya. Kecerahan sangat mempengaruhi proses fotosintesis fitoplankton (Muharram 2006). Nilai kisaran kecerahan di lokasi penelitian antara 38-103 cm. Nilai kecerahan sangat dipengaruhi oleh zat-zat terlarut dalam air karena dapat mengurangi banyaknya cahaya yang masuk ke badan air. Barus (2004) menyatakan terjadinya penurunan nilai kecerahan disebabkan oleh kurangnya intensitas cahaya matahari yang masuk ke badan perairan, adanya kekeruhan oleh zat-zat terlarut dan kepadatan plankton di suatu perairan menyebabkan kecerahan pada bagian hulu suatu ekosistem sungai pada umunya lebih tinggi dibandingkan dengan bagian hilir.

Nilai pH di lokasi penelitian berkisar antara 6.6-8.2, nilai tersebut masih tergolong pH normal dan masih sesuai bagi kehidupan organisme plankton dan ikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Barus (2004) bahwa nilai pH ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara 7 sampai 8.5. Kondisi yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi.

Nilai BOD5 menunjukkan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba

aerob untuk mengoksidasi bahan organik di air. Berdasarkan Lampiran 1 diketahui nilai BOD5 antara 0.8-13.8 mgL-1dan nilai BOD5 yang paling tinggi

stasiun III dan IV. Hal ini disebabkan oleh banyaknya aktivitas masyarakat di sekitar sungai, seperti kegiatan mandi, cuci, kakus. Lee et al. (1978) dalam Wijaya (2009) menyatakan bahwa perairan dengan kandungan BOD5 berkisar 5.0-15

mgL-1masih optimal bagi kehidupan organisme perairan yaitu pakan alami dan ikan.

Nilai kekeruhan keenam stasiun pengamatan berkisar antara 0.16-42.075 NTU. Nilai kekeruhan tertinggi terdapat pada stasiun 4 dan terendah pada stasiun 4. Tingginya nilai kekeruhan di stasiun 4 disebabkan oleh terakumulasinya limbah-limbah dari berbagai aktivitas masyarakat yang berasal dari hulu sampai hilir. Selain itu juga disebabkan oleh adanya gelombang dari danau sehingga partikel lumpur terangkat dan mengakibatkan kekeruhan yang tinggi. Hal ini sesuai dengan Kristanto (2002) kekeruhan membatasi masuknya cahaya ke dalam air. Kekeruhan ini terjadi karena adanya bahan yang terapung, dan terurainya zat tertentu, seperti bahan organik, jasad renik, lumpur tanah klei dan benda lain yang melayang atau terapung sangat halus sekali. Semakin keruh air, semakin tinggi daya hantar listriknya dan semakin banyak pula padatannya.

(34)

16

Kelimpahan plankton selama penelitian di Sungai Naborsahan berkisar 30-90 selL-1. Stasiun yang memiliki kelimpahan paling tinggi yaitu pada stasiun 3 dan yang paling rendah pada stasiun 4. Kelimpahan plankton tiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 2. Keenam stasiun penelitian menunjukkan bahwa stasiun yang memiliki kelimpahan tertinggi yaitu pada stasiun 3 sebanyak 19 668 selL-1 dan kelimpahan terendah terdapat pada stasiun 4 sebanyak 6 121 selL-1. Kombinasi pengaruh antara faktor fisika, kimia dengan kelimpahan fitoplankton menjadikan komunitas dan dominansi fitoplankton pada setiap perairan tidak sama.

Kecepatan arus juga dapat mempengaruhi jenis-jenis organisme plankton yang hidup di perairan. Hasil pengamatan, plankton yang mendominasi perairan pada stasiun pengamatan di antaranya adalah Synedra. Menurut Round (1964) dalam Wijaya (2009) bahwa tipe komunitas perairan yang berarus < 0.2-1 mdet

-1

didominasi oleh plankton seperti Nitzschia, Navicula, Synedra, Oscillatoria. Berdasarkan Gambar 6, keanekaragaman jenis perifiton yang terdapat di Sungai Naborsahan pada masing-masing stasiun pengamatan didominasi oleh kelas Bacillariophyceae yang memiliki proporsi yang tertinggi berkisar 50–55%. Menurut Whitton (1975), pada perairan yang berarus kuat, alga bentik yang mendominasi dikarakteristikkan dengan kelompok diatom. Selain itu, Wetzel (2001) mengemukakan bahwa keberadaan kelompok Bacillariophyceae di perairan sering mendominasi dan kelimpahannya sangat tinggi.

Persentase jenis perifiton dari kelas lainnya adalah Chlorophyceae berkisar antara 30–38.64%, Cyanophyceae 6.82–7.5%, Euglenoida 4.54–5% dan Rotatoria 0–2.5%. Kelas Euglenoida dan Rotatoria terdapat dalam jumlah komposisi yang sangat sedikit. Menurut Hynes (1972) dalam Wijaya (2009), kelompok alga perifitik yang sering ditemukan melimpah terutama berasal dari kelas Bacillariophyceae, Chlorophyceae, Cyanophyceae dan Rhodophyceae. Kelas Euglenophyceae dan Chrysophyceae mempunyai kelimpahan yang sangat kecil disebabkan organisme tersebut memiliki alat gerak yang berupa flagella sehingga jarang ditemukan sebagai perifiton.

Kesimpulan

Karakteristik habitat di stasiun 1 sama dengan stasiun 2 yang ditandai dengan arus dan DO yang tinggi masuk ke dalam zona sungai, karakteristik habitat di staiun 3 sama dengan stasiun 4 ditandai dengan parameter fosfat, nitrit, kedalaman, kecerahan, COD, BOD5 dan kekeruhan, dua stasiun ini masuk dalam

(35)

17

3

MAKANAN DAN KEBIASAAN MAKAN IKAN BILIH

Mystacoleucus padangensis

(Bleeker, 1852) DI SUNGAI

NABORSAHAN DANAU TOBA SUMATERA UTARA

Pendahuluan

Ikan bilih Mystacoleucus padangensis (Bleeker, 1852) merupakan salah satu anggota Famili Ciprinidae bersifat endemik Danau Singkarak. Ikan ini mempunyai daerah penyebaran terbatas, dan di dunia hanya ditemukan di Danau Singkarak. Oleh karena itu, Danau Singkarak merupakan habitat asli ikan bilih (Umar & Kartamihardja 2011, Kottelat et al. 1996). Namun, saat ini ikan bilih dapat ditemukan di Danau Toba. Ikan ini bukan jenis ikan asli Danau Toba, melainkan ikan introduksi dari Danau Singkarak, Sumatera Barat.

Ikan bilih mempunyai bentuk badan yang sangat mirip dengan kerabatnya, yaitu ikan genggehek (Jawa Barat) atau wader (Jawa Tengah dan Jawa Timur) yaitu Mystacoleucus marginatus yang banyak di perairan umum Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Ikan ini juga mirip dengan ikan wader cakul (Jawa Tengah dan Jawa Timur), beunter (Jawa Barat) atau pora-pora (Sumatera Utara) yaitu Puntius binotatus. Ikan pora-pora di Danau Toba sejak tahun 1990-an tidak pernah tertangkap lagi, maka masyarakat sekitar Danau Toba menyebut ikan bilih sebagai ikan pora-pora. Nama pora-pora yang sebenarnya adalah ikan bilih terus melekat dan populer sampai sekarang (Kartamihardja & Sarnita 2008, 2010).

Ikan ini di Danau Toba berkembang cukup pesat. Hal ini terlihat dari data tangkapan ikan bilih yang mencapai 30 000 ton pada tahun 2010 (Kartamihardja & Sarnita 2010). Pertumbuahan dan perkembangan biota di perairan sangat ditentukan oleh ketersediaan pakan alami dan jenis ikan yang memanfaatkannya. Kajian mengenai makanan dan kebiasaan makan ikan bilih baik di Danau Toba maupun di Danau Singkarak sudah pernah dilakukan yaitu oleh Purnomo (2008), Purnomo dan Sunarno (2009), Umar dan Kartamihardja (2011). Namun kajian tersebut baru menganalisis jenis makanan utama, makanan tambahan dan makanan pelengkap bagi ikan bilih yang ditangkap di danau. Kajian mengenai kapan waktu makan ikan bilih belum pernah dilakukan. Kajian mengenai makanan ikan bilih yang ditangkap di sungai juga belum pernah dilakukan. Hal ini menjadi penting karena ikan bilih beruaya dari danau menuju sungai untuk melakukan pemijahan. Apakah ikan bilih ini makan ketika beruaya untuk memijah menjadi salah satu informasi yang perlu dikaji terkait biologi perikanan.

Bahan dan Metode

(36)

18

Pengambilan sampel ikan bilih dilakukan sebulan sekali selama 12 bulan, untuk analisis makanan utama ikan bilih. Pengambilan sampel ikan bilih setiap 1 jam sekali dilakukan sebanyak tiga kali untuk analisis periode makan ikan bilih. Sampel ikan diambil dengan jala tebar. Sampel langsung ditimbang bobotnya, kemudian disuntik formalin 40% untuk menghentikan laju metabolisme ikan. Selanjutnya sampel dimasukkan ke botol sampel yang berisi larutan formalin 10%. Setiap botol sampel diberi label berisi keterangan mengenai kode sampel, nomor stasiun, jam pengambilan sampel dan tanggal koleksi.

Makanan dan kebiasaan makan ikan bilih dianalisis berdasarkan kelompok ukuran ikan bilih dari saluran pencernaannya. Makanan dan kebiasaan makan ikan bilih ini diketahui dengan cara ikan dibedah dan diambil organ pencernaannya (lambung dan usus), lalu ditimbang bobotnya dan diukur volumenya. Pengukuran volume dilakukan dengan cara sampel usus yang telah ditimbang dimasukkan ke gelas ukur berisi akuades 10 mL. Selisih volume akuades dalam gelas ukur sebelum dan sesudah berisi merupakan volume usus ikan. Usus kemudian dikeluarkan dari gelas ukur, diukur panjangnya dengan cara merentangkan usus dari pangkal hingga ujung, kemudian dibedah, isi usus ikan diambil diencerkan dengan akuades. Hasil pengenceran disaring kemudian dimasukkan ke botol sampel, dan ditetesi formalin 4%. Pengamatan terhadap isi usus dilakukan menggunakan mikroskop stereoskopik, kemudian dilakukan identifikasi dengan buku identifikasi plankton Sachlan (1982) dan Edmonsond (1959) sampai taksa yang paling memungkinkan dengan perbesaran 100x dan pengamatan diulang sebanyak 3 kali.

Indeks kepenuhan isi lambung atau Index of Stomach Content (ISC) ditentukan untuk mengetahui tingkat konsumsi pakan relatif sampel ikan. ISC ditentukan dengan menggunakan perhitungan menurut Sphatura dan Gophen (1982) dalam Sulistiono (1998) yaitu:

100 x BW SCW ISC Keterangan:

ISC = Indeks kepenuhan isi lambung (%) SCW = bobot isi lambung (g)

BW = bobot total ikan (g)

Frekuensi kejadian ditentukan dengan mencatat keberadaan masing-masing organisme yang terdapat dalam sejumlah alat pencernaan ikan yang berisi bahan makanannya dan dinyatakan dalam persen ( Effendie 1979) adalah sebagai berikut :

100 x I Ni FK 

Keterangan :

FK = frekuensi kejadian

(37)

19 Komposisi diet dan penentuan komponen makanan utama ikan bilih diketahui dengan analisis isi saluran pencernaan (intestin atau usus). Perhitungan isi saluran pencernaan dilakukan dengan menghitung Indeks of Preponderance untuk analisis tingkat kepenuhan komposisi pakan alami dalam saluran pencernaan ikan bilih. Menurut Natarjan dan Jhingran (1961) dihitung dengan rumus :

VixOi

x100

Oi x Vi IP

Keterangan :

IP = indeks utama (Indeks of Preponderance) Vi = persen volume suatu jenis makanan Oi = persen kejadian suatu jenis makanan ∑(Vi x Oi) = Jumlah Vi x Oi dari semua jenis makanan

Indeks pilihan (index of electivity) merupakan perbandingan antara organisme pakan ikan yang terdapat lambung dengan organisme pakan ikan yang terdapat dalam perairan. Indeks pilihan dalam penelitian ini merupakan preferensi tiap organisme jenis plankton maupun perifiton yang terdapat dalam alat pencernaan ikan dengan yang ada di perairan ditentukan berdasarkan rumus Effendi (1979) sebagai berikut:

pi ri  ri-pi

E

Keterangan :

E = indeks pilihan

ri = jumlah relatif macam-macam organisme yang dimakan pi = jumlah relatif macam organisme di perairan

Ketentuan:

1. 0<E<1 berarti pakan digemari

2. –1<E< 0 berarti pakan tersebut tidak digemari oleh ikan 3. E=0 berarti tidak ada seleksi oleh ikan terhadap pakannya

Hasil

(38)

20

Index Kepenuhan Isi Lambung (ISC)

Hasil perhitungan ISC tiap jam pengambilan sampel dapat dilihat pada Gambar 7. Nilai ISC menunjukkan persentase tinggi pada siang hari dan rendah pada malam hari.

Gambar 7 Indeks Kepenuhan Isi Lambung (ISC) ikan jantan dan betina pada waktu penelitian

Kebiasaan Makanan (Indeks Bagian Terbesar) berdasarkan Jenis Kelamin

[image:38.595.87.482.161.625.2]
(39)
[image:39.595.204.445.200.352.2]

21 alami berupa fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae dengan genus Synedra merupakan makanan alami yang paling sering ditemukan di dalam usus ikan bilih. Hasil analisis pakan alami ikan bilih berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Gambar 9. Pakan alami yang diperoleh dari berbagai kelas ukuran memiliki jenis makanan yang sama berupa fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae. Kelas Bacillariophyceae genus Synedra merupakan pakan alami yang paling sering ditemukan di dalam usus ikan bilih pada seluruh stasiun di Sungai Naborsahan.

[image:39.595.117.512.391.540.2]

Gambar 8 Komposisi makanan alami ikan bilih di lokasi penelitian

Gambar 9 Komposisi makanan alami ikan bilih berdasarkan jenis kelamin Makanan alami ikan bilih pada ikan jantan dan betina adalah sama (Gambar 9). Perbedaan terletak pada persentase di setiap jenis makanan alami yang ditemukan pada usus ikan bilih. Persentase Synedra mendominasi dalam usus ikan bilih baik jantan maupun betina. Persentase Synedra pada ikan bilih jantan (99%) dan betina (97%). Hal tersebut menunjukkan Synedra sebagai pakan utama bagi ikan bilih baik jantan maupun betina.

(40)
[image:40.595.86.493.61.562.2]

22

(41)
[image:41.595.164.459.83.384.2]

23

Gambar 11 Rasio panjang usus dengan panjang total ikan bilih pada tiap stasiun penelitian

Pembahasan

Berdasarkan Gambar 7 dapat dilihat bahwa puncak nilai ISC pada ikan jantan dan betina b

Gambar

Tabel 2 Kelimpahan plankton pada tiap stasiun penelitian
Gambar 6 Keanekaragaman jenis perifiton di Sungai Naborsahan pada tiap stasiun pengamatan
Gambar 7. Nilai ISC menunjukkan persentase tinggi pada siang hari dan rendah  Hasil perhitungan ISC tiap jam pengambilan sampel dapat dilihat pada pada malam hari
Gambar 8 Komposisi makanan alami ikan bilih di lokasi penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Keseluruhan ikan bilih jantan dan ikan bilih betina di Sungai Aek Alian Kabupaten Toba Samosir memiliki nilai b &lt; 3, sehingga dapat disimpulkan bahwa pola pertumbuhan ikan bilih

danau Toba yang selama ini belum banyak dimanfaatkan oleh jenis ikan lain yang. ada di

Populasi ikan bilih di Danau Toba (Keberhasilan introduksi ikan, implikasi pengelolaan dan prospek masa depan).. Pusat Riset Perikanan

Pola pertumbuhan ikan bilih (Mystacoleucus padangensis Bleeker) jantan dan betina berdasarkan hubungan panjang berat di perairan Sungai Aek Alian Kecamatan Balige

Perbedaan komposisi nukleotida pada kedua ikan bilih yang diteliti tersebut memperlihatkan adanya indikasi variasi genetik intra-populasi ikan bilih di Danau

Kebijakan dan strategi pengelolaan ikan bilih Danau Singkarak berdasarkan skala perioritas yang ditampilkan pada Tabel 2 adalah sebagai berikut : (1) melakukan pengelolaan

Dewasa ini, keberhasilan introduksi ikan bilih tersebut belum diikuti dengan pelaksanaan pengelolaannya sehingga dikhawatirkan eksploitasi ikan bilih yang telah dilakukan sejak

Dari Gambar 3, dapat diketahui bahwa jumlah hasil produksi ikan pora-pora di Danau Toba yang ditangkap dengan menggunakan alat tangkap doton lebih stabil..