KAJIAN TERHADAP PEMBUKTIAN UNSUR PENYALAHGUNAAN WEWENANG DALAM JABATAN PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
(Studi Putusan Nomor : 12/Pid.SUS/TPK/2014/PTTK)
Oleh
ARNOL SIALAGAN
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
MOTO
“Orang baik tidak memerlukan hukum untuk memerintahkan agar bertindak
penuh dengan tanggungjawab, sementara orang jahat akan selalu menemukan celah disekitar hukum”
( Plato )
DAFTAR ISI
Halaman
I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Permasalahan dan Ruang lingkup ... 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8
E. Sistematika Penulisan ... 15
II TINJAUAN PUSTAKA ... 17
A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ... 17
B. Jenis – jenis Korupsi ... 20
C. Pengertian Penyalahgunaan Kewenangan ... 23
D. Teori Pembuktian dan Faktor yang Memengaruhi Pembuktian dalam Penegakan Hukum ... 27
III METODE PENELITIAN ... 34
A. Pendekatan Masalah ... 34
B. Sumber dan Jenis Data ... 35
C. Penentuan Narasumber... 37
D. Prosedur Pengumpulan dan pengolahan data ... 37
E. Analisis Data ... 38
IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... .. 40
A. Karakteristik Responden ... 40
wewenang dalam jabatan pada tindak pidana korupsi
pada ptusan No. 12/Pid.SUS/TPK/2014/PTTK ... 52
V PENUTUP ... 59
A. Simpulan ... 59
B. Saran ... 60
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan
tampak lebih nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga
senantiasa mengikuti perkembangan zaman dan dalam bentuk-bentuk yang
semakin canggih dan beranekaragam. Salah satu tindak pidana yang sekarang
fenomenal dan sangat merugikan negara adalah masalah korupsi. Korupsi
merupakan gejala masyarakat yang dijumpai disetiap bidang kehidupan
masyarakat baik dibidang ekonomi, hukum, sosial budaya maupun politik.
Fakta adanya sejarah membuktikan bahwa hampir setiap negara dihadapkan
pada masalah korupsi1.
Korupsi masih merupakan permasalahan yang serius di Indonesia karena
korupsi sudah merebak di segala bidang dan sektor kehidupan masyarakat
secara meluas, sistematis dan terorganisir. Korupsi sudah merupakan
pelanggaran terhadap hak – hak sosial dan hak – hak ekonomi masyarakat.
Korupsi menjadi penyebab timbulnya krisis ekonomi, merusak sistem hukum
dan menghambat jalannya pemerintahan yang bersih(good governance).
1
Masalah korupsi di Indonesia dari tahun ke tahun tidak pernah lepas dari
pembicaraan dan perdebatan termasuk usaha-usaha untuk memperbaiki
perundang-undangan yang mengaturnya (in casu : peraturan
perundang-undangan tentang tindak pidana korupsi). Negara Indonesia adalah negara
hukum, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen Keempat, lebih
lanjut asas legalitas (principle of legality) mengamanatkan bahwa penegakan
hukum (law enforcement) harus didasarkan pada aturan perundang-undangan
yang tertulis. Asas legalitas (principle of legality) ini diatur dalam ketentuan
Pasal 1 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang
menyatakan: “suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan
kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”.
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu jenis kejahatan yang dapat
menyentuh berbagai kepentingan, yang menyangkut hak asasi, ideologi
negara, perekonomian, keuangan negara, moral bangsa dan lain sebagainya,
tidak heran jika tindak pidana korupsi cukup banyak mengundang perhatian
masyarakat2.
Ketentuan pemberantasan tindak pidana korupsi yang berlaku sekarang ini
adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diperbarui dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) tentang Perubahan Atas
2
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, Alasan diadakannya perubahan terhadap Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 dapat diketahui dari konsiderans butir b
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yaitu :
a. Untuk lebih menjamin kepastian hukum.
b. Menghindari peragaman penafsiran hukum.
c. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi
masyarakat, serta ;
d. Perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 oleh Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 diharapkan lebih mampu memenuhi dan mengantisipasi
perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan
memberantas secara efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sangat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara pada khususnya serta
masyarakat pada umumnya3.
Pasal 3 Undang – Undang No 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berbeda dengan
pengertian “setiap orang” dalam Pasal 2 ayat 1. Apabila kata “setiap orang”
dalm Pasal 2 ayat 1 bermakna setiap orang selaku subjek hukum pada
umumnya tanpa membedakan kualifikasi tertentu, maka kata “setiap orang”
dalam Pasal 3 ini bermakna setiap orang selaku subjek hukum dengan
3
R. Wiyono,Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
kualifikasi tertentu, yakni pejabat atau pegawai negeri. Selain kedua tersebut
tidak dapat dikategorikan sebagai “setiap orang” berdasarkan ketentuan Pasal 3
tersebut.
Mengingat pegawai negeri atau pejabat hanya dapat dijabat oleh manusia
sebagai subjek hukum, maka pengertian “setiap orang” dalam Pasal 1 ayat 3
Undang-Undang No 31 Tahun 1999 jo Pasal 20 Tahun 2001 yang mencakup “
orang perseorangan atau termasuk korporasi” tidak dengan sendirinya dapat
diterapkan pada pengertian “setiap orang” dalamPasal 3. Sebab hanya manusia
yang dapat menduduki jabatan sebagai pegawai negeri atau pejabat, sedangkan
korporasi tidak dapat melakukan tindakan. Oleh karena itu, korporasi tidak
termasuk dalam pengertian “setiap orang” dalam Pasal 3. Tindak pidana
korupsi merupakan permasalahan yang saat ini dirasakan semakin pesat
perkembangannya seiring dengan semakin maju pembangunan suatu bangsa,
maka semakin meningkat pula kebutuhan dan mendorong untuk melakukan
korupsi4.
Mengenai pembuktian unsur penyalahgunaan wewenang dalam jabatan pada
tindak pidana korupsi pada kasus putusan nomor 12/Pid.Sus/TPK/2014/PTTK,
Kasus ini bermula pada 8 Agustus 2011 Ketua Komite Pembangunan GOR
Pringsewu, Lampung, Imop Sutopo mengajukan anggaran senilai Rp 4,5 miliar
ke Kementerian Olahraga. Dalam proses lelang, ditetapkan pemenang tender
adalah PT Berkah Cahaya Mutiara. Namun, tanpa sepengetahuan perusahaan
pemenang tender, Imop Sutopo justru mengerjakan sendiri proyek tersebut.
4
Hasil audit BPKP Perwakilan Lampung, pembangunan tersebut ternyata tidak
sesuai dengan RAB, dan negara dirugikan sebesar Rp 1,2 miliar. Jaksa
penuntut umum menuntut para terdakwa dengan hukuman berbeda-beda. Imop
Sutopo dituntut selama 7 tahun penjara, sedangkan terdakwa Dahroni, Ahmad
Diah dan terdakwa Yunizar dituntut selama 1 tahun 6 bulan penjara.
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Tanjungkarang, menyatakan Imop Sutopo
secara sah bersalah melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No.
31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dan
ditambah dengan Undang – Undang No. 20 Tahun 2001 Jo pasal 55 ayat (1)
ke-1 KUHP. Terhadap terdakwa Imop Sutopo divonis 4 tahun penjara dan
denda sebesar Rp100 juta subsidair 6 bulan penjara.
Akibat perbuatan terdakwa Imop Sutopo dianggap telah memenuhi unsur
menyalahgunakan wewenangnya selaku ketua pelaksana pembangunan Gor
Mini Pringsewu dan perbuatan terdakwa, dianggap memenuhi unsur pidana
seperti dakwaan subsidair, yaitu Pasal 3 jo Pasal 18 Undang– Undang Tindak
Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Oleh karena itu terdakwa Imop
Sutopo dijatuhkan pidana penjara selama 4 tahun dikurangi masa tahanan yang
telah dijalani oleh terdakwa.
Putusan hakim terhadap terdakwa ternyata lebih rendah dari tuntutan Jaksa
Penuntut umum. Berdasarkan putusan nomor : 12/Pid.SUS/TPK/2014/PTTK
Jaksa Penuntut umum memberi tuntutan kepada terdakwa 7 (tujuh) tahun
penjara dan denda Rp. 100.000.000,00 sedangkan hakim pada tingkat pertama
pada tingkat banding putusan yang diberikan hakim berubah yaitu 4 (empat)
tahun penjara. Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk melakukan
pengkajian lebih lanjut dan melakukan penelitian dengan judul “ Kajian
Terhadap Pembuktian Unsur Penyalahgunaan Wewenang Dalam Jabatan Pada
Tindak Pidana Korupsi “
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Dari apa yang telah diuraikan dalam latar belakang di atas, maka
Permasalahan yang di ambil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Bagaimanakah pembuktian unsur penyalahgunaan wewenang dalam
jabatan pada tindak pidana korupsi pada Putusan nomor :
12/Pid.SUS/TPK/2014/PTTK?
2) Apakah yang menjadi faktor penghambat dalam pembuktian unsur
penyalahgunaan wewenang dalam jabatan pada tindak pidana korupsi
pada Putusan nomor : 12/Pid.SUS/TPK/2014/PTTK?
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup dari penelitian ini adalah kajian bidang Hukum Pidana dan
Hukum Acara Pidana pada umumnya dan khususnya mengenai
pembuktian unsur penyalahgunaan wewenang dalam jabatan pada tindak
pidana korupsi. Objek kajian dalam penelitian ini adalah Putusan No.12/
Pid.SUS/ TPK/ 2014/PTTK dengan terdakwa Imop Sutopo bin Sudarman.
dilaksanakan pada tahun 2015, dengan lokasi penelitian di Bandar
Lampung.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di dalam penelitian ini, maka tujuan penelitian
skripsi antara lain:
a. Untuk mengetahui tentang pembuktian unsur penyalahgunaan
wewenang dalam jabatan pada tindak pidana korupsi pada Putusan
Nomor: 12/Pid.SUS/TPK/2014/PTTK.
b. Untuk mengetahui tentang faktor penghambat dalam pembuktian unsur
penyalahgunaan wewenang dalam jabatan pada tindak pidana korupsi
pada Putusan Nomor : 12/Pid.sus/TPK/2014/PTTK.
2. Kegunaan Penelitian
a. Teoritis, yaitu berguna sebagai sumbangan pemikiran dalam upaya
pengembangan wawasan dan pemahaman di bidang ilmu Hukum
Pidana, khususnya mengenai kajian terhadap penyalahgunaan
wewenang dalam jabatan pada tindak pidana korupsi.
b. Praktis, dengan penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan
masukan kepada mahasiswa untuk lebih memahami tentang kajian
terhadap penyalahgunaan wewenang dalam jabatan pada tindak pidana
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah konsep–konsep yang merupakan abstraksi dari hasil
– hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk
mengadakan identifikasi teradap dimensi – dimensi sosial yang dianggap
relevan5.
a. Teori Pembuktian.
Hukum pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum acara pidana
yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem
yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara yang
mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima,
menolak dan menilai suatu pembuktian. Dalam pemeriksaan delik korupsi
selain diterapkan KUHAP, diterapkan juga sekelumit hukum acara pidana
yang diatur dalam Undang – Undang No 31 Tahun 1999 jo Undang –
Undang No 20 Tahun 2001. Dalam hal pembuktian Undang –Undang No
31 Tahun 1999 menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat berbatas
dan berimbang. Sedangkan dalam KUHAP, sistem pembuktian dengan
menggunakan alat bukti atau sistem pembuktian negatif menurut Undang–
Undang 183 KUHAP dan Pasal 294 ayat 1 HIR. Ada beberapa teori dan
Sistem pembuktian diantaranya sebagai berikut :
5
1. Teori Negatif.
Teori ini mengatakan bahwa Hakim boleh menjatuhkan pidana, jika
hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa telah
terjadi perbuatan yang dilakukan terdakwa.
2. Teori Positif.
Teori ini mengatakan bahwa Hakim hanya boleh menentukan kesalahan
terdakwa, bila ada bukti minimum yang diperlukan ole Undang –
Undang. Dan jika bukti itu kedapatan Hakim diwajibkan mengatakan
bahwa kesalahan terdakwa tidak ada bukti tidak di hukum, ada bukti
meskipun sedikit harus di hukum.
3. Teori bebas.
Teori ini tidak mengikat hakim kepada aturan hukum yang dijadikan
pokok, asal saja ada keyakinan tentang kesalahan terdakwa yang
didasarkan pada alasan – alasan yang dapat dimngerti dan dibenarkan
oleh pengalaman. Teori ini tidak dianut oleh sistem HIR maupun
Sistem KUHAP.
Hakim dalam memberikan keputusannya berpedoman terhadap hal – hal
sebagai berikut:6
a. Keputusan Mengenai Peristiwanya, ialah apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya.
b. Keputusan mengenai hukumnya, ialah apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindakan pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat di pidana.
c. Keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang dapat dipidana.
6
Pengertian unsur “menyalahgunakan kewenangan” dalam Pasal 3
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang-Undang-Undang No. 20 Tahun 2001,
Mahkamah Agung adalah berpedoman pada putusannya tertanggal 17 februari
1992, No. 1340 K/Pid/1992, yang telah mengambil alih pengertian
“menyalahgunakan kewenangan” yang pada Pasal 52 ayat (2) huruf b
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986, yaitu telah menggunakan wewenangnya
untuk tujuan lain dari maksud diberikan wewenang tersebut atau yang dikenal
dengan “detourment de pouvoir” pendapat Indriyanto Seno Adji dalam
makalahnya “Antara Kebijakan Publik” (Publiek Beleid) Azas Perbuatan
Melawan Hukum Materiel dalam Prespektif Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia” yang pada pokoknya adalah Pengertian “menyalahgunakan
wewenang” dalam hukum pidana, khususnya dalam tindak pidana korupsi
tidak memiliki pengertian yang eksplisitas sifatnya. Unsur – unsur tindak
pidana korupsi sebenarnya dapat dilihat dari pengertian tindak pidana korupsi
atau rumusan delik yang terdapat dalam ketentuan peraturan perundang –
undangan yang berlaku, adapun unsur – unsur tindak pidana korupsi
sebagaimana di maksud dalam Undang –Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 3
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah :
a. Setiap orang.
b. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
c. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan tau kedudukan.
d. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Adanya unsur–unsur tindak pidana korupsi yang ditetapkan dalam peraturan
perundang – undangan, maka setiap tindakan seseorang atau korporasi yang
sanksi sesuai dengan ketentuan berlaku. Unsur – unsur tindak pidana sangat
penting untuk diketahui karena dengan tidak terpenuhinya unsur suatu tindak
pidana, maka pelaku kejahatan dapat bebas dari segala tuntutan hukum dan
dalam kenyataan nya penyebab sehingga seorang terdakwa korupsi bebas dari
jeratan hukum karena tidak terpenuhinya unsur–unsur tersebut.
b. Teori faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut Soerjono
Soekanto. Faktor–faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut
Soerjono Soekanto adalah7:
1) Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)
Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali
terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini
dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang
bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang
telah ditentukan secara normatif. Oleh karena itu suatu tindakan atau
kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan
suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu
tidak bertentangan dengan hukum.
2) Faktor penegak hukum
Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah
mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam
rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum,
7
keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa, terlihat dan
diaktualisasikan.
3) Faktor sarana dan fasilitas
Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang
berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang
memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang
memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan
penegak hukum tidak mungkin menjalankan peranan semestinya.
4) Faktor masyarakat
Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan
penegakan hukum, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat
dan bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat. Bagian yang
terpenting dalam menentukan penegak hukum adalah kesadaran
hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat
maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik.
5) Faktor Kebudayaan
Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat.
Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus
mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam
penegakan hukum, semakin banyak penyesuaian antara peraturan
perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan
2. Konseptual
Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan
antara konsep – konsep Khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang
berkaitan dengan istilah–istilah yang ingin di teliti atau ingin diketahui8.
Adapun konseptual dari Skripsi ini adalah :
1. Kajian adalah Kata yang dikenal dan diapakai oleh para ilmuwan atau
kaum terpelajar dalam karya – karya ilmiah atau suatu hasil dari
pemikiran, penyelidikan, mepelajari serta menelaah suatu karya ilmiah9.
2. Pembuktian adalah penyajian alat – alat bukti yang sah kepada hakim
yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang
kebenaran peristiwa yang dikemukakan10.
3. Penyalahgunaan adalah proses, cara, perbuatan, menyalahgunakan
seuatu11
4. Wewenang adalah hak dan kekuasaan untuk bertindak, kewenangan,
kekuasaan membuat keputusan12
5. Jabatan adalah pekerjaan atau nsuatu posisi dalam suatu organisasi atau
pemerintahan yang mempunyai kedudukan, tanggunjwab, wewenang dan
hak13
8
Soerjono Soekanto ,Pengantar Penelitian Hukum, op.cit.hlm.58.
9
Ebta setiawan.Kamus Besar Bahasa IndonesiaOnline. 2012-2015 versi 1,4.
10
H.Riduan Syahrani.Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti. 2004.hlm.83.
11
http://satriagosatria.blogspot.co.id/2009/12/pengertian-penyalahgunaan.html
12
http://satriagosatria.blogspot.co.id/2009/12/pengertian-wewenang.html
13
6. Tindak Pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan
hukuman pidana14.
7. Korupsi adalah
a) Pasal 2 Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa barang
siapa yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung
merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara.
b) Pasal 3 Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa barang
siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu badan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan secara langsung
dapat merugikan negara atau perekonomian negara.
c) Barang siapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam Pasal 209,
210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 425, 435 KUHP.
14
E. Sistematika Penulisan
Peneliti dalam melakukan penulisan skripsi ini, menggunakan sistematika
berikut:
I. PENDAHULUAN
Bab ini terdiri atas latar belakang dari permasalahan yang diselidiki,
masalah yang dijadikan fokus studi, ruang lingkup permasalahan, tujuan
dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual yang
dipergunakan, serta sistematika penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi pengertian tindak pidana korupsi serta bahasan tentang
korupsi dan teori–teori penyalahgunaan wewenang dalam jabatan.
III. METODE PENELITIAN
Bab ini memuat tentang metode yang menjelaskan mengenai
langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan masalah, metode pengumpulan
data yang merupakan penjelasan tentang darimana data itu diperoleh dan
pengolahan data serta metode analisis dan pembahasan.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini merupakan jawaban dari permasalahan tentang pembuktian unsur
penyalahgunaan wewenang dalam jabatan serta kendala pembuktian unsur
V. PENUTUP
Bab ini memuat kesimpulan dan saran terhadap permasalahan yang
A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Istilah tindak pidana berasal dari bahasa Belanda yaitu Strafbaar feit dan delic
yang diterjemahkan dalam bahasa indonesia sebagai peristiwa pidana,
perbuatan pidana, perbuatan yang dapat dihukum, perbuatan yang boleh
dihukum. Pengertian tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum, larangan yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu bagi barang siapa melanggar aturan tersebut. Dapat juga dikatakan
tindak pidana atau perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan
hukum dilarang dan diancam pidana, perlu diketahui dan diingat bahwa
larangan ditujukan kepada perbuatan ( yaitu suatu keadaan atau kejadian yang
ditimbulkan oleh kelakuan orang) sedangkan ancaman pidananya ditujukan
kepada orang yang menimbulkan kejadian itu1.
Selanjutnya mengenai korupsi, sebuah istilah yang cukup dikenal orang
dimana –mana termasuk di Indonesia dan pada Tahun 1957 gejala sosial ini
mendapat istilah resmi dalam hukum pidana. Kata korupsi berasal dari bahasa
latin yang artinya corruptio, kata corruptio berasal dari bahasa latin
corrumpere. Dari bahasa latin itulah turun kebanyak negara eropa seperti
inggris : corruption, corrupt, perancis : corruption, belanda : corruptie dan
dalam bahasa indonesia diserap menjadi korupsi. Arti harfiah dari kata
korupsi ialah kebusukan, keburukan, ketidakjujuran, dapat disuap, dan
penyimpangan dari kesucian.
Pengertian korupsi tergantung dari sudut pandang setiap orang apa dan
bagaimana korupsi tersebut dilaksanakan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, hal ini ditandai dengan belum terdapatnya keseragaman dalam
merumuskan pengertian korupsi, namun demikian perlu dikemukakan bahwa
korupsi adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang untuk menyuap
orang atau kelompok orang lain untuk mempermudah keinginannya dan
mempengaruhi si penerima untuk memberikan pertimbangan khusus guna
mengabulkan permohonannya2.
Definisi tersebut dapat dikembangkan sebagai berikut :
1. Korupsi adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang
memberikan hadiah berupa uang maupun benda kepada sipenerima untuk
memenuhi keinginannya.
2. Korupsi adalah seseorang atau sekelompok orang yang meminta imbalan
dalam menjalankan kewajibannya.
3. Korupsi adalah mereka yang menggelapkan dan menerima uang negara
atau milik umum untuk kepentingan pribadi.
4. Korupsi merupakan perbuatan – perbuatan manusia yang dapat
merugikan keuangan dan perekonomian negara.
2
Korupsi merupakan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain
sebagai akibat pertimbangan yang ilegal. Perbuatan – perbuatan korupsi
dilakukan bukan saja oleh pegawai negeri tetapi juga meliputi orang –orang
yang menangani proses pemberian pelayanan yang menerima gaji atau upah
dari suatu hukum yang menerima bantuan dari keungan negara atau daerah
atau badan hukum yang mempergunakan secara illegal.
Pengertian korupsi yang dipergunakan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
adalah pengertian korupsi dalam arti luas meliputi perbuatan – perbuatan
yang merugikan keuangan dan perekonomian negara yang dapat dituntut dan
dipidana berdasarkan peraturan perundang – undangan yang berlaku saat ini
yang mengatur perbuatan– perbuatan yang bersifat korupsi adalah Undang–
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan ketentuan ketentuan pidana dalam Kitab Undang – Undang
Hukum Pidana.
Subyek tindak pidana korupsi dalam Undang – Undang Nomor 31 Tahun
1999 berbeda dengan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971 “ karena selain
orang perorangan dalam Undang – Undang ini juga menyebutkan korporasi
sebagai subyek tindak pidana korupsi sedangkan yang dimaksud korporasi
adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisir, baik merupakan
badan hukum maupun merupakan badan hokum.
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999
menentukan bahwa yang dimaksud dengan “cara melawan hukum” dalam
dalam arti steril, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam
Perundang – undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela
karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma–norma kehidupansosial
dalam masyarakat , maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Tindak pidana
korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur – unsur perbuatan yang sudah
dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
B. Jenis-jenis Korupsi
Banyak jenis korupsi yang dapat diidentifikasi. Haryatmoko mengutip
pendapat Yves Meny membagi korupsi ke dalam empat jenis, yaitu (1)
korupsi jalan pintas (2) korupsi upeti (3) korupsi kontrak (4) korupsi
pemerasan3.
Korupsi jalan pintas, terlihat dalam kasus penggelapan uang negara,perantara
ekonomi politik, pembayaran untukkeuntungan politik atau uang balas jasa
untuk partai politik, dan money politik. Korupsi upeti merupakan bentuk
korupsi yang dimungkinkan karena jabatan strategis. Karena jabatan yang di
sandangnya,seseorang mendapatkan persentase keuntungan dari berbagai
kegiatan, baik ekonomi maupun politik, termasuk pula upeti dari bawahan
dan kegiatan–kegiatan lain atau jasa dalam suatu perkara.
Korupsi kontrak, yaitu korupsi yang diperoleh melalui proyek atau pasar.
Termasuk dalam kategori ini adalah usaha untuk mendapatkan fasilitas dari
pemerintah.
3
Korupsi pemerasan, terkait dengan jaminan keamanan dan urusan-urusan
gejolak intern dan ekstern. Perekrutan perwira menengah TNI atau polisi
menjadi Manager Human resource department atau pencamtuman nama
perwira tinggi dalam dewan komisaris perusahaan merupakan contoh korupsi
pemerasan. Termasuk pula dalam korupsi jenis ini adalah membuka
kesempatan kepemiikan saham kepada orang kuat tertentu untuk
menghindarkan akuisisi perusahaan yang secara ekonomi tak beralasan.
Dilihat dari sifatnya, Kurniawan, dkk. Membagi korupsi kedalam tiga bentuk,
yaitu :
1. Korupsi individual.
Wujud korupsinya adalah
- Merasa kebutuhannya tidak terpenuhi, sehingga korupsi menjadi
kebutuhan atau korupsi adalah jalan satu-satunya untuk membiayai
kebutuhan (need corruption).
- Adanya keinginan untuk menumpuk harta sebanyak-banyaknya
atau adanya motif serakah (greed corruption).
2. Korupsi Terlembagakan.
Wujud korupsinya adalah
- Telah terjadi dalam waktu sekian lama melalui media administrasi
dan birokrasi yang ada, sehingga terjadi dalam proses yang lama
dan telah berurat berakar dalam lingkungan birokrasi. Situasi ini
sehingga situasi ini dimaklumi bahwa korupsi adalah suatu yang
lumrah.
- Pelaku korupsi kemudian enggan dan kehilangan semangat untuk
melakukan pemberantasan korupsi di lingkungannya bahkan
mereka melakukan legitimasi dan toleransi atas praktek korupsi
yang terjadi.
3. Korupsi politis
Wujud Korupsinya adalah
- Ada praktik konspiratif dan kolutif diantara para pemegang otoritas
politik dengan pengambil kebijakan dan penegak hukum.
- Adanya praktik pembiaran (ignoring)terhadap praktik korupsi yang
diketahui, baik yang terjadi di lingkungannya maupun di tempat
lain.
- Mashal (2011) menunjukkan bahwa pada masyarakat demokrasi,
dapat diidentifikasikan 3 tipe korupsi, yaitu grand corruption,
bureaucratic corruption, danlegislative corruption4.
Grand Corruption adalah tindakan elit politik (termasuk pejabat-pejabat
terpilih) diamana mereka menggunakan kekuasaannya untuk membuat
kebijakan ekonomi. Elit politik yang korup dapat mengubah kebijakan
nasional atau implementasi kebijakan nasional untuk melayani kepentingan
mereka. Dengan kewenangannya, mereka juga dapat menggelapkan belanja
publik demi kepentingan mereka. Tipe korupsi ini yang paling sulit
4
diidentifikasi, karena para elit dapat memanfaatkan celah peraturan atau
kebijakan yang mereka buat untuk memenuhi kepentingan mereka buat
untuk memenuhi kepentingan mereka dan kroni-kroninya.
Bureaucratic corruption adalah tindakan korupsi yang dilakukan para
birokrat yang diangkat, yang dilakukan demi dan untuk kepentingan elit
politik ataupun kepentingan mereka sendiri. Dalam bentuknya yang kecil,
korupsi birokrasi terjadi ketika masyarakat (public) memerlukan pelayanan
cepat dari birokrat, dengan imbalan uang atau materi tertentu. Dalam
konteks ini penyuapan (bribery) dilakukan untuk memperlancar urusan
tertentu. Korupsi ini terjadi di lembaga peradilan, utamanya untuk
mempengaruhi keputusan pengadilan yang menguntungkan pihak yang
berperkara.
Legislative Corruption menunjuk pada perilaku voting dari legislator yang
mungkin dapat dipengaruhi. Dalam korupsi ini, legislator di suap oleh
kelompok kepentingan tertentu membuat legislasi yang dapat mengubah
rente ekonomi yang berkaitan dengan aset.
C. Pengertian Penyalahgunaan Kewenangan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti penyalahgunaan wewenang
adalah: “perbuatan penyalahgunaan hak dan kekuasaan untuk bertindak atau
menyalahgunakan kekuasaan yang membuat keputusan”. Penyalahgunaan
wewenang yang dimasukkan sebagai bagian inti delik (bestanddeel delict)
yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara. Selain itu tidak dijelaskan lagi secara
lengkap yang dimaksud penyalahgunaan wewenang sehingga menimbulkan
implikasi interpretasi yang beragam.
Perbuatan yang dapat diklasifikasikan sebagai perbuatan “melawan hukum”
apabila perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan (melawan hukum formil) atau bertentangan dengan nilai kepatutan
dan keadilan masyarakat (melawan hukum materiil). Sedangkan mengenai
unsur “penyalahgunaan kewenangan”, berdasarkan kajian baik terhadap UU
PTPK maupun doktrin hukum pidana, sama sekali tidak terdapat definisi atas
konsep penyalahgunaan kewenangan beserta parameter yang dapat
dipergunakan untuk melakukan penilaian apakah suatu perbuatan dapat
dikategorikan sebagai “penyalahgunaankewenangan” atau bukan.
Pencantuman kedua unsur, melawan hukum dan penyalahgunaan
kewenangan dalam UU PTPK menimbulkan ketidakjelasan dalam
menentukan konsep dan parameter unsur “penyalahgunaan kewenangan”.
Penilaian sah tidaknya suatu keputusan tata usaha negara dalam hukum
administrasi dilakukan dengan penelaahan terhadap keterkaitan peraturan
perundang-undangan(gelede of getrapt normstelling)atau norma berjenjang.
Sedangkan dalam hukum pidana, penentuan apakah suatu perbuatan
Tidaklah tepat apabila menyatakan suatu perbuatan patut dipidana dengan
mendasarkan pada perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan,
yang lebih tepat adalah melanggar undang-undang dan peraturan daerah
(Pasal 14 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan)5.
a. Karakter penyalahgunaan kewenangan dalam tindak pidana korupsi
Pada dasarnya, penyalahgunaan kewenangan mempunyai karakter atau ciri
sebagai berikut:
1) Menyimpang dari tujuan atau maksud dari suatu pemberian
kewenangan. Setiap pemberian kewenangan kepada suatu badan atau
kepada pejabat administrasi negara selalu disertai dengan “tujuan dan
maksud” atas diberikannya kewenangan tersebut, sehingga penerapan
kewenangan tersebut harus sesuai dengan “tujuan dan maksud”
diberikannya kewenangan tersebut. Dalam hal penggunaan kewenangan
oleh suatu badan atau pejabat administrasi negara tersebut tidak sesuai
dengan “tujuan dan maksud” dari pemberian kewenangan, maka pejabat
administrasi Negara tersebut telah melakukan penyalahgunaan
kewenangan(detournement de power).
2) Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas
legalitas. Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang
dijadikan dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan, terutama
5
Nur Basuki Minarno.Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana Korupsi Dalam
dalam sisitem hukum kontinental. Pada negara demokrasi tindakan
pemerintah harus mendapatkan legitimasi dari rakyat yang secara
formal tertuang dalam undang-undang.
3) Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan
asas-asas umum pemerintahan yang baik.
b. Hakekat Penyalahgunaan Kewenangan
Indriyanto Seno Adji, dengan mengutip pendapat Jean Rivero dan Waline
dalam kaitannya “detournement de pouvoir” dengan “freis ermessen”,
memberikan pengertian mengenai penyalahgunaan kewenangan dalam
hukum administrasi dapat diartikan dalam 3 (tiga) wujud, yaitu :
1. penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang
bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan
kepentingan pribadi, kelompok atau golongan;
2. penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat
tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi
menyimpang dari tujuan kewenangan yang diberikan oleh
undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya;
3. penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur
yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi
telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.
Pada hakekatnya penyalahgunaan kewenangan sangat erat kaitan dengan
tindakan pemerintah/penyelenggara negara. Sadjijono, dengan menyitir
pendapat Phlipus M. Hadjon mengemukakan bahwa cacat yuridis keputusan
dan atau tindakan pemerintah/penyelenggara negara pada umumnya
menyangkut tiga unsur utama, yaitu unsur kewenangan, unsur prosedur dan
unsur substansi, dengan demikian cacat yuridis tindakan penyelenggara
negara dapat diklasifikasikan dalam tiga macam, yakni : cacat wewenang,
cacat prosedur dan cacat substansi.
D. Teori Pembuktian dan Teori faktor yang mempengaruhi pembuktian dalam Penegakan hukum.
A. Teori Pembuktian.
Hukum pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum acara pidana
yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem
yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara yang mengajukan
bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan
menilai suatu pembuktian. Dalam pemeriksaan delik korupsi selain
diterapkan KUHAP, diterapkan juga sekelumit hukum acara pidana yang
diatur dalam Undang–Undang No 31 Tahun 1999 jo Undang–Undang No
20 Tahun 2001. Dalam hal pembuktian Undang – Undang No 31 Tahun
1999 menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat berbatas dan
berimbang. Sedangkan dalam KUHAP, sistem pembuktian dengan
menggunakan alat bukti atau sistem pembuktian negatif menurut Undang –
acara pidana sebagaimana yang diatur dalam KUHAP, telah diatur pula
beberapa pedoman dan penggarisan:
a. Penuntut umum bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang untuk mengajukan segala daya upaya membuktikan kesalahan yang didakwakannya kepada terdakwa.
b. Sebaliknya terdakwa atau penasihat hukum mempunyai hak untuk melemahkan dan melumpuhkan pembuktian yang diajukan penuntut umum, sesuai dengan cara-cara yang dibenarkan undang-undang. c. Terutama bagi hakim, harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan
mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang diketemukan selama pemeriksaan persidangan.
Pembuktian ini menjadi penting apabila suatu perkara tindak pidana telah
memasuki tahap penuntutan di depan sidang pengadilan. Tujuan adanya
pembuktian ini adalah untuk membuktikan apakah terdakwa benar bersalah
atas tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Secara Teoretis terdapat
empat teori mengenai sistem pembuktian yaitu6:
1. Sistem pembuktian menurut Undang-undang secara positif (positief wettelijke bewijs theorie).
Menurut teori ini, sistem pembuktian positif bergantung pada alat-alat
bukti sebagaimana disebut secara limitatif dalam undang-undang.
Singkatnya, undang-undang telah menentukan tentang adanya alat-alat
bukti mana yang dapat dipakai hakim, cara bagaimana hakim
menggunakannya, kekuatan alat bukti tersebut dan bagaimana hakim
harus memutus terbukti atau tidaknya perkara yang sedang diadili. Jadi
jika alat-alat bukti tersebut digunakan sesuai dengan undang-undang
maka hakim mesti menentukan terdakwa bersalah walaupun hakim
berkeyakinan bahwa terdakwa tidak bersalah.
6
2. Sistem pembuktian menurut keyakinan hakim melulu (conviction intime).
Pada sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim, hakim dapat
menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan belaka dengan tidak
terikat oleh suatu peraturan. Melalui sistem “Conviction Intime”,
kesalahan terdakwa bergantung kepada keyakinan belaka sehingga
hakim tidak terikat pada suatu peraturan. Dengan demikian, putusan
hakim dapat terasa nuansa subjektifnya.
3. Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (Laconviction Raisonnee)
Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah
berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada
dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang
berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu.
Keyakinan hakim tetap memegang peranan penting untuk menentukan
kesalahan terdakwa, tetapi penerapan keyakinan hakim tersebut
dilakukan dengan selektif dalam arti keyakinan hakim dibatasi dengan
harus didukung oleh alasan-alasan jelas dan rasional dalam mengambil
keputusan.
4. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijs theorie)
Pada prinsipnya, sistem pembuktian menurut undang-undang secara
negatif menentukan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana
tehadap terdakwa apabila alat bukti tersebut secara limitatif ditentukan
terhadap eksistensinya alat-alat bukti tersebut. Jadi dalam menentukan
apakah orang yang didakwakan tersebut bersalah atau tidak, haruslah
kesalahannya dapat dibuktikan paling sedikit dengan dua jenis alat
bukti seperti yang tertuang di dalam KUHAP pasal 183 “ Hakim tidak
boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurng-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang
bersalah melakukannya”. Alat bukti yang sah dalam KUHAP Pasal 184
ayat (1) undang-undang yaitu:
a) keterangan saksi, b) keterangan ahli, c) surat,
d) petunjuk, dan
e) keterangan terdakwa.
B. Teori faktor yang mempengaruhi pembuktian dalam penegakan hukum
menurut Soerjono Soekanto
Langkah dan strategi yang sangat mendesak (urgent) untuk dilakukan saat
ini sebagai solusi terhadap persoalan tersebut ialah melakukan pembenahan
dan penataan terhadap sistem hukum yang ada. Sebagai masyarakat
Indonesia, negeri ini butuh penegakan hukum yang adil dan tegas. Tidak ada
diskriminasi dalam penegakanya, masyarakat Indonesia begitu haus dengan
Faktor – faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut Soerjono
Soekanto adalah7:
a. Faktor Perundang–undangan (Substansi Hukum)
Praktik penyelengaraan hukum di lapangan, ada kalanya terjadi
pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh
konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrack,
sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah
ditentukan secara normatif. Undang – undang dalam arti material adalah
peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat
maupun daerah yang sah.
b. Faktor Penegakan Hukum.
Fungsi hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum
memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas
petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci
keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian
penegak hukum. Ada beberapa halangan yang mungkin dijumpai pada
penerapan peranan yang seharusnya dari golongan sasaran atau penegak
hukum.
c. Faktor sarana atau fasilitas pendukung
Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan
perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan.
7
Pendidikan yang diterima oleh polisi dewasa ini cenderung pada hal2 yang
praktis konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi mengalami
hambatan di dalam tujuannya, diantarany adalah pengetahuan tentang
kejahatan computer, dalam tindak pidana khusus yang selama ini masih di
berikan wewenang kepada jaksa, hal tersebut karena secara teknis yuridis
polisi dianggap belum mampu dan belum siap. Walaupun di sadari pula
bahwa tugas yang harus di emban oleh polisi begitu luas dan banyak.
Sarana atau fasilitas mempunyai peran yang sangat penting dalam
penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan
mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan
peranan yang aktual.
d. Faktor masyarakat.
Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai
kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok
sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul
adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang,
atau kurang adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum,
merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.
Masyarakat Indonesia mempunyai kecenderungan yang besar untuk
mengartikan hukum dan bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas
(dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi). Salah satu akibatnya adalah,
bahwa baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola prilaku
e. Faktor kebudayaan
Berdasarkan konsep kebudayaan sehari – hari, orang begitu sering
membicarakan soal kebuddayaan. Kebudayaan menurut soerjono soekanto,
mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia ndan masyarakat, yaitu
mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak,
berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang
lain.
Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang
mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi
abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang
A. Simpulan
berdasarkan hasil pembahasan mengenai permasalahan yang dibahas dalam
penelitian ini pada bab sebelumnya, maka ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pembuktian unsur penyalahgunaan wewenang dalam jabatan pada tindak
pidana korupsi dalam putusan nomor : 12/Pid.SUS/TPK/2014/PTTK
mengenai teori dari sistem pembuktian Undang – Undang secara negatif
dijelaskan sistem pembuktian ini menentukan bahwa hakim boleh
menjatuhkan pidana terhadap terdakwa apabila alat bukti tersebut secara
limitatif ditentukan oleh Undang - undang dan didukung oleh adanya
keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat – alat bukti tersebut, dalam
putusan ini teori pembuktian menurut Undang – Undang secara negatif
sudah terpenuhi. Penerapan Hukum oleh pengadilan tingkat banding di
Pengadilan Tinggi Lampung terhadap terdakwa juga telah sesuai dan
memenuhi unsur delik, sebagaimana dakwaan yang telah dipilih hakim
yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak
pidana korupsi. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 3 Undang –Undang
No 31 Tahun1999 jo Undang – Undang No 20 Tahun 2001 tentang
semua unsur pembuktian tindak pidana korupsi atas terdakwa telah
terpenuhi, dengan telah terbukti dan terpenuhinya semua unsur tindak
pidana, maka terdakwa Imop Sutopo bin Sudarman secara hukum
dinyatakan bersalah dan wajib menerima akibat dari perbuatannya.
2. Faktor penghambat terhadap pembuktian unsur penyalahgunaan
wewenang dalam jabatan pada tindak pidana korupsi dalam putusan
Nomor : 12/Pid.SUS/PTK/2014/PTTK adalah faktor aparat penegak
hukum, banyaknya penegak hukum yang masih tebang pilih dalam
menangani kasus tindak pidana korupsi, dan juga banyak nya penegakan
tanpa kejujuran yang menyebabkan para aparat penegak hukum
menyalahkan wewenangnya untuk menangani kasus tindak pidana korupsi
dan faktor masyarakat, masyarakat banyak yang kontra karena terdakwa di
beri hukuman lebih rendah dari tuntutan jaksa, masyarakat menuntut
terdakwa harus diberi hukuman lebih tinggi dari tuntutan jaksa karena
menurut masyarakat dengan terdakwa diberi hukuman yang lebih rendah
dari tuntutan, dapat merusak program anti korupsi di indonesia.
B. Saran
Berdasarkan simpulan di atas dapat disarankan :
1. Diharapkan kepada Hakim dapat memberikan hukuman yang lebih berat
lagi, mengingat bahwa tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang
dapat merugikan masyarakat dan negara. Sehingga dapat menimbulkan
efek jera pada pelaku tindak pidana korupsi dan dapat
2. Sebaiknya aparat penegak hukum yaitu Peradilan, Kejaksaan, Kepolisian
maupun juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak tebang pilih
dalam menangani kasus korupsi dan juga memberikan pemahaman
kepada masyarakat tentang bahaya korupsi, sehingga perilaku koruptif
dapat diatasi. Selain itu penegak hukum harus bekerja sesuai dengan apa
yang diamanatkan dalam UU No 31 Tahun 1999 yang telah dirubah atas
Undang – Undang No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Literatur:
Adji, Indriyanto Seno.1997.Korupsi, Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana. Diadit Media. Jakarta.
Chazawi, Adami.2005.Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia. Bayumedia, Malang.
---.2008.Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi.PT Alumni: Bandung.
Handoyo, Eko.2013.Pendidikan Anti Korupsi.Ombak. Yogyakarta.
Hamzah, Andi.2005.Perbandingan Korupsi Diberbagai Negara.Sinar Grafika, Jakarta.
Hartanti,Evi.2005.Tindak pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta.
Minarno, Nur Basuki. 2009. Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Edisi Pertama. Cetakan Kedua. Laksbang Mediatama. Surabaya.
Moeljatno.1993. Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Dalam Hukum Pidana.Diesrede UGM.Yogyakarta.
Nawawi Arief, Barda dan Muladi.1991. Teori – teori dan Kebijakan Pidana. Sinar Grafika, Bandung.
Prodjodikoro, Wirjono. 2002. Asas Hukum Pidana Indonesia. Rafika Aditama. Bandung.
Sangaji. W. 1994. Tindak Pidana Korupsi. Aditya Bhakti. Bandung.
Singgih. 1992.Dalam Kata Pengantar buku Laden Marpaung,Tindak Pidana Korupsi Masalah dan Pemecahannya, Bagian Pertama, Cetakan Pertama, Sinar Grafika. Jakarta
Syahrani. H. Riduan. 2004. Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata. P.T. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Waluyadi. 2004. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana. Mandar Maju. Bandung.
Wiyono, R .200. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta.
Undang–undang terkait :
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 2003, Penerbit Raja Grafindo Persada.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, 2003, Penerbit Raja Grafindo Persada.
Undang–Undang No 31 Tahun 1999 jo Undang–Undang No. 73 Tahun 1958
tentang “Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Internet :
http://satriagosatria.blogspot.co.id/2009/12/pengertian-penyalahgunaan.html
http://satriagosatria.blogspot.co.id/2009/12/pengertian-wewenang.html