Akhir Yang Baik, Wujudkanlah.
Oleh : Muhammad Fauzi Amirulloh
Sabda Rasulullah, manusia paling mulia adalah dia yang sering mengingat mati.
“Orang yang paling banyak ingat mati, paling baik dalam persiapan menyambut kematian. Merekalah orang-orang yang beruntung, dimana mereka pergi (meninggal) dengan membawa kemuliaan di dunia dan akhirat.” (HR. Ibnu Majah)
Mengingat mati memberikan pengaruh dalam menjalankan kehidupan. Kita mengetahui, tidak ada manusia yang luput dari dosa. Dosa didapatkan karena maksiat dilakukan. Maksiat adalah musuh terbesar dari keimanan. Iman yang telah terpatri dalam hati tak mudah digoyah oleh terpaan ujian. Namun yang lemah, sedikit saja diterpa, imannya akan runtuh.
Mengingat mati adalah nasihat terbaik untuk menghapus dosa yang telah berlalu di belakang, meninggalkan jejak-jejak kotor. Membangun keimanan kembali. Hati yang berkeluh kepada Allah adalah penghapus dosa terbaik, meminta pengampunan dan belas kasih-Nya. Berusaha tidak mengulang perbuatan yang hina. Perjanjian sakral dengan Allah dalam do’a pertaubatan dan pengharapan adalah gerbang pertama yang bisa dilalui.
Kemudian, kesungguhan istiqomah merupakan langkah penting dan menentukan hasil akhir. Ada kata bijak, “Lebih baik mantan preman, daripada mantan ustad” kalimat yang sederhana tapi memiliki makna mendalam. Berkaitan dengan akhir kehidupan kita di dunia, apakah akan menuai hasil yang baik atau hasil yang buruk. Khusnul khotimah atau su’ul khotimah.
Betapa sempitnya waktu yang diberikan kepada kita. Saking sempitnya, ketika manusia berada di padang mahsyar, mereka seperti hanya merasakan hidup di sore atau siang hari saja. Penantian di dunia tak sebanding dengan penantian di padang mahsyar, terlebih lagi di akhirat. Manusia terlunta di padang mahsyar selama 50.000 tahun, menunggu giliran untuk ditimbang amalnya. Sungguh sesuatu yang tidak dapat terlintas di benak. Ada yang tenggelam oleh keringatnya sendiri, namun ada yang ternaungi keteduhan. Kita berada di sana setelah melintasi jalan kematian. Yang sebelumnya hidup di dunia dengan kesenangan yang dikira abadi, nyatanya tidak.
Dunia tidak memiliki kesenangan sama sekali, hanya fana, sebuah fatamorgana. Seperti dikelilingi terali besi, itulah dunia bagi mukmin. Tidak ada yang disia-siakan, merasa kurang dalam penghambaan, terus menerus beribadah dan bertaubat memohon ampunan-Nya. Meminta syafa’at dalam ketidakberdayaan di akhirat, itulah harapan mukmin.
“dan, masuklah ke dalam surga-Ku” (Al-balad: 30)