• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Kompetensi terhadap Kinerja Perawat dalam Kesiapsiagaan Triase dan Kegawatdaruratan pada Korban Bencana Massal di Puskesmas Langsa Baro Tahun 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Kompetensi terhadap Kinerja Perawat dalam Kesiapsiagaan Triase dan Kegawatdaruratan pada Korban Bencana Massal di Puskesmas Langsa Baro Tahun 2013"

Copied!
170
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

AYU ARTLINTA 117032111/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PENGARUH KOMPETENSI TERHADAP KINERJA PERAWAT DALAM KESIAPSIAGAAN TRIASE DAN KEGAWATDARURATAN

PADA KORBAN BENCANA MASSAL DI PUSKESMAS LANGSA BARO TAHUN 2013

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M. Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Manajemen Kesehatan Bencana pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

AYU ARTLINTA 117032111/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Judul Tesis : PENGARUH KOMPETENSI TERHADAP KINERJA PERAWAT DALAM

KESIAPSIAGAAN TRIASE DAN

KEGAWATDARURATAN PADA KORBAN BENCANA MASSAL DI PUSKESMAS LANGSA BAROTAHUN 2013

Nama Mahasiswa : Ayu Artlinta Nomor Induk Mahasiswa : 117032111

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Manajemen Kesehatan Bencana

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M) Ketua

(Suherman, S.K.M, M.Si) Anggota

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)

(4)

Telah Diuji

pada Tanggal : 13 Juni 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M Anggota : 1. Suherman, S.K.M, M.Si

(5)

PERNYATAAN

PENGARUH KOMPETENSI TERHADAP KINERJA PERAWAT DALAM KESIAPSIAGAAN TRIASE DAN KEGAWATDARURATAN

PADA KORBAN BENCANA MASSAL DI PUSKESMAS LANGSA BARO TAHUN 2013

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karyan atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka

Medan, Juli 2013

(6)

ABSTRAK

Puskesmas sebagai unit pelayanan kesehatan terdekat yang ada di masyarakat memiliki peran kunci di lini pertama dalam penanggulangan bencana, sebagaimana dirancang dalam sistem penanggulangan gawat darurat terpadu (SPGDT). Namun keterbatasan dalam jumlah sumber daya dan luasnya wilayah cakupan kerja Puskesmas menjadi beban ganda yang menghambat implementasi peran tersebut. Untuk itulah diperlukan inovasi atau pembaharuan kekuatan untuk menambah sumber daya awam terlatih yang memiliki kesiapsiagaan dalam fase kritis.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh antara variabel independen yaitu pengaruh kompetensi terhadap kinerja perawat dalam kesiapsiagaan Triase dan Kegawatdaruratan pada Korban Bencana Massal di Puskesmas Langsa Baro Kota Langsa. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat di Puskesmas Langsa Baro yang berjumlah 56 perawat. Sampel sebanyak 56 responden, diambil dengan teknik total sampling. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dianalisis dengan cara univariat, bivariat dan multivariate dan diuji melalui regresi linear berganda.

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara kompetensi terhadap kinerja perawat dalam kesiapsiagaan triase dan kegawatdaruratan pada korban bencana massal di Puskesmas Langsa Baro, dengan nilai p= 0.045 (p<0.05). ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan terhadap kinerja perawat dalam kesiapsiagaan triase dan kegawatdaruratan pada korban bencana massal di Puskesmas Langsa Baro, dengan nilai p= 0.001 (p<0.05), dan tidak ada hubungan yang signifikan antara sikap terhadap kinerja perawat dalam kesiapsiagaan triase dan kegawatdaruratan pada korban bencana massal di Puskesmas Langsa Baro, dengan nilai p= 0.009 (p>0.05). Variabel yang paling dominan berhubungan dengan kinerja perawat dalam kesiapsiagaan triase dan kegawatdaruratan pada korban bencana massal di Puskesmas Langsa Baro, dengan nilai koefisien (Exp.β) 0.363 (keterampilan)

Disarankan kepada kepada Dinas Kesehatan Kota Langsa perlu melakukan pembinaan dan evaluasi terhadap kinerja perawat khususnya dalam kesiapsiagaan triase dan kegawatdaruratan pada korban bencana massal, dan melakukan terobosan untuk meningkatkan pemahaman bagi perawat tentang kesiapsiagaan triase dan kegawatdaruratan pada korban bencana massal melalui pendidikan dan latihan.

(7)

ABSTRACT

Puskesmas (Public Health Center) as a health service unit, which is close to community, plays the key role and the spearhead in handling disaster as it is designed in the SPGDT (Integrated System of Handling Emergency). However, the lack of human resources and Puskesmas large working area has a doubled burden for its implementation. Therefore, it is necessary to innovate and to renew the power to add skilled human resources who have the sense of alertness on any critical condition.

The aim of the research was to analyze the influence of competence as the independent variable on nurses’ performance in triase alertness and emergency on the victims of mass disaster at Langsa Baro Puskesmas, Langsa. The population was all 56 nurses at Langsa Baro Puskesmas, and all of them were used as the samples, using total sampling technique. The data were gathered by conducting interviews and using questionnaires and analyzed by using univatriate, bivatriate, and multivatriate analysis and tested by using multiple linear regression tests.

The result of the research showed that there was significant correlation between competence and nurses’ performance in triase alertness and emergency on the victims of mass disaster at Langsa Baro Puskesmas with the value of p=0.045 (p<0.05), and there was significant correlation between knowledge and nurses’ performance in triase alertness and emergency on the victims of mass disaster at Langsa Baro Puskesmas with the value of p=0.001 (p<0.05). On the other hand, there was no significant correlation between attitude and nurses’ performance in triase alertness and emergency on the victims of mass disaster at Langsa Baro Puskesmas with the value of p=0.009 (p>0.05). The most dominant variable which had the correlation with nurses’ performance in triase alertness and emergency on the victims of mass disaster at Langsa Baro Puskesmas was the variable of skills with the coefficient value (Exp.β) of 0.363.

It is recommended that Langsa Health Office should develop and evaluate the nurses’ performance, especially in triase alertness and emergency on the victims of mass disaster, and do a breakthrough in order to increase the nurses’ understanding about triase alertness and emergency on the victims of mass disaster through education and training.

(8)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Shalawat dan salam keharibaan Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia ke alam yang berilmu pengetahuan, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini yang berjudul ”Pengaruh Kompetensi terhadap Kinerja Perawat dalam Kesiapsiagaan Triase dan Kegawatdaruratan Pada Korban Bencana Massal di Puskesmas Langsa Baro Tahun 2013”.

Adapun tujuan penulisan Tesis ini adalah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kesehatan (M. Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Bencana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara,

Pembuatan Tesis ini didasarkan pada petunjuk yang telah ditetapkan. Namun demikian Penulis menyadari bahwa pembuatan Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan baik isi maupun susunan bahasa, oleh sebab itu Penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari pembaca demi kesempurnaan Tesis ini.

(9)

1. Prof. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, M.sc (CTM), Sp. A (K) sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang diberikan menjadi mahasiswa Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. 3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M. Si selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan

Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, dan Dr. Ir, Evawany Aritonang, M.Si selaku sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing dan memberikan masukan serta saran dalam penyelesaian tesis.

4. Dr. Drs. R Kintoko Rochadi, M.K.M sebagai Ketua Komisi Pembimbing yang dengan tulus ikhlas membimbing dan mengarahkan Penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

5. Suherman, S.K.M, M. Si Sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang selalu bersedia meluangkan waktu dalam membimbing, memberikan masukan dan pemikiran dengan penuh kesabaran di tengah – tengah kesibukannya.

6. Siti Zahara Nasution, S. Kp, M.N.S dan Prof. Dr. Amri Amir, Sp.F, S.H selaku Komisi Pembanding yang telah membantu memberikan bimbingan, masukan dan saran untuk perbaikan tesis ini.

(10)

8. Ayahanda tercinta H. Bahardin Halim, S.E dan Ibunda tercinta Hajjah Siti Raji’ah yang senantiasa mendo’akan dan memberikan dorongan moril maupun materil, dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuan dan memberikan semangat dalam penyusunan tesis ini.

Akhir kata penulis berharap semoga Tesis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan Allah SWT senantiasa memberi rahmat dan hidayahnya kepada kita semua, Amin Yarabbal ’Alamin.

Langsa, Juli 2013 Penulis

(11)

RIWAYAT HIDUP

Ayu Artlinta lahir pada tanggal 30 Mei 1982 di Pangkalan Brandan Sumatera Utara. Merupakan anak ke 2 dari 5 bersaudara dari pasangan H. Bahardin Halim, S.E dan Hajjah Siti Raji’ah.

Pendidikan formal penulis dimulai dari sekolah dasar di SDN Pangkalan Brandan tamat pada tahun 1997, kemudian melanjutkan ke MTs Ulumul Qur’an Bustanul Ulum Kota Langsa tamat pada tahun 1997, dilanjutkan dengan masuk ke SPK Depkes Prodi Langsa tamat tahun 2000 kemudian melanjutkan ke Akademi Keperawatan Imelda Medan selesai tahun 2003 kemudian melanjutkan ke FKM Universitas Sumatera Utara dan lulus pada tahun 2007.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ASBTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

BAB 1. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 10

1.3. Tujuan Penelitian ... 10

1.4. Hipotesis ... 10

1.5. Manfaat Penelitian ... 11

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1. Kompetensi ... 12

2.1.1. Pengertian Kompetensi ... 12

2.1.2. Cara Menentukan Kompetensi ... 14

2.1.3. Mengembangkan Sistem Kompetensi ... 15

2.1.4. Tujuan dan Sasaran Analisis Kompetensi ... 16

2.1.5. Metode Analisis Kompetensi ... 17

2.1.6. Kompetensi Individu ... 18

2.2. Kinerja ... 21

2.2.1. Definisi Kinerja ... 21

2.2.2. Tujuan Kinerja... 22

2.2.3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Pencapaian Kinerja ... 22

2.2.4. Sasaran Kinerja ... 24

2.2.5. Kinerja Individu ... 26

2.2.6. Jenis Kinerja ... 27

2.2.7. Kesepakatan Kinerja ... 28

2.2.8. Standar Kinerja ... 28

2.2.9. Lingkungan Kinerja ... 29

2.2.10. Penilaian Kinerja ... 30

2.2.11. Manfaat Penilaian Kinerja ... 30

2.2.12. Masalah dalam Penilaian Kinerja ... 31

2.2.13. Faktor-faktor Penilaian Kinerja ... 32

(13)

2.3. Bencana ... 41

2.3.1. Definisi Bencana ... 41

2.3.2. Proses Terjadinya Bencana ... 43

2.3.3. Kriteria Terjadinya Bencana ... 43

2.3.4. Jenis-jenis Bencana ... 44

2.3.5. Dampak Bencana ... 47

2.3.6. Tanggap Darurat Bencana... 48

2.4. Bencana Massal ... 48

2.4.1. Definisi Bencana Massal ... 48

2.4.2. Korban Massal ... 49

2.4.3. Jenis-jenis Bencana Massal ... 49

2.5. Kesiapsiagaan ... 49

2.5.1. Definisi Kesiapsiagaan ... 49

2.5.2. Tujuan Kesiapsiagaan ... 50

2.5.3. Dimensi Kesiapsiagaan ... 50

2.6. Triase ... 50

2.6.1. Definisi Triase ... 50

2.6.2. Prinsip-prinsip Triase ... 51

2.6.3. Metode Triase ... 52

2.6.4. Kategori Triase ... 53

2.6.5. Kartu Triase ... 54

2.6.6. Pos medis lanjutan ... 56

2.6.7. Organisasi Pos Medis Lanjutan... 57

2.6.8. Luas Pos Medis Lanjutan ... 59

2.6.9. Tenaga Pelaksana Pos Medis Lanjutan Standar ... 60

2.6.10. Pos Penatalaksanaan Evakuasi ... 65

2.7. Kegawatdaruratan ... 66

2.7.1. Definisi Kegawatdaruratan ... 66

2.7.2. Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) . 66 2.7.3. Prinsip Manajemen Gawat Darurat... 67

2.8. Kegawatdaruratan ... 68

2.8.1. Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) . 68 2.8.2. Pertolongan Pertama ... 68

2.8.3. Teknik Pengkajian Fisik yang Dibutuhkan pada Keperawatan Bencana ... 69

2.9. Perawat ... 72

2.10.Keperawatan Bencana ... 73

2.11. Puskesmas ... 76

2.11.1. Definisi Puskesmas ... 76

2.11.2. Visi ... 76

2.11.3. Misi ... 76

2.12. Pengetahuan... 77

(14)

2.13.1. Pengertian Sikap ... 85

2.13.2. Ciri-ciri Sikap ... 87

2.13.3. Karakteristik Sikap ... 88

2.13.4. Sumber-sumber dari Pengembangan Sikap ... 89

2.13.5. Pengukuran Sikap ... 90

2.14. Keterampilan ... 91

2.15. Landasan Teori ... 93

2.15.1. Hubungan Sebab Akibat Kompetensi dengan Kinerja ... 94

2.16. Kerangka Konsep ... 96

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 97

3.1. Jenis Penelitian ... 97

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 97

3.2.1. Lokasi Penelitian ... 97

3.2.2. Waktu Penelitian ... 97

3.3 Populasi dan Sampel ... 98

3.3.1. Populasi ... 98

3.3.2. Sampel ... 98

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 98

3.4.1. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 98

3.5. Variabel dan Defenisi Operasional ... 100

3.5.1. Variabel Penelitian ... 100

3.5.2. Definisi Operasional ... 101

2.6. Metode Pengukuran ... 101

3.7. Metode Analisis Data ... 102

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 105

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 105

4.2. Karakteristik Responden ... 106

4.2.1. Distribusi Frekuensi Umur Responden ... 106

4.2.2. Distribusi Frekuensi Pendidikan Responden ... 107

4.2.3. Distribusi Frekuensi Masa Kerja Responden ... 108

4.3. Analisis Univariat ... 109

4.3.1. Kompetensi Responden ... 109

4.3.2. Kinerja ... 118

4.4. Analisis Bivariat ... 120

4.5. Analisis Multivariat ... 121

BAB 5. PEMBAHASAN ... 124

(15)

5.2. Pengaruh Pengetahuan terhadap Kinerja Perawat dalam Kesiapsiagaan Triase dan Kegawatdaruratan pada Korban

Bencana Massal di Puskesmas Langsa Baro... 130

5.3. Pengaruh Sikap terhadap Kinerja Perawat dalam Kesiapsiagaan Triase dan Kegawatdaruratan pada Korban Bencana Massal di Puskesmas Langsa Baro... 132

5.4. Pengaruh Keterampilan terhadap Kinerja Perawat dalam Kesiapsiagaan Triase dan Kegawatdaruratan Pada Korban Bencana Massal di Puskesmas Langsa Baro... 134

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 138

6.1. Kesimpulan ... 138

6.2. Saran ... 139

(16)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

2.1. Kategori Triase... 53

2.2. Perbedaan antara Keperawatan Bencana (Fase Akut) dan Keperawatan Gawat Darurat (Saat Normal) ... 74

3.1. Hasil Uji Validitas dan Reabilitas ... 99

3.2. Aspek Pengukuran Variabel ... 102

4.1. Distribusi Umur Responden ... 106

4.2. Paired Samples Test (Uji T) Umur Responden ... 106

4.3. Distribusi Frekuensi Pendidikan Responden ... 107

4.4. Paired Samples Test (Uji T) Pendidikan Responden ... 107

4.5. Distribusi Frekuensi Masa Kerja Responden ... 108

4.6. Paired Samples Test (Uji T) Masa Kerja Responden ... 109

4.7. Distribusi Frekuensi Variabel Kompetensi Responden ... 110

4.8. Distribusi Frekuensi Indikator Pengetahuan Responden dalam Kesiapsiagaan Triase dan Kegawatdaruratan Pada Korban Bencana Massal di Puskesmas Langsa Baro ... 110

4.9. Distribusi Jawaban Responden Mengenai Pengetahuan dalam Kesiapsiagaan Triase dan Kegawatdaruratan Pada Korban Bencana Massal di Puskesmas Langsa Baro Kota Langsa ... 111

4.10. Hubungan Pengetahuan dengan Kinerja Perawat dalam Kesiapsiagaan Triase dan Kegawatdaruratan pada Korban Bencana Massal ... 112

(17)

4.12. Distribusi Jawaban Responden Mengenai Sikap Responden dalam Kesiapsiagaan Triase dan Kegawatdaruratan pada Korban Bencana Massal di Puskesmas Langsa Baro Kota Langsa ... 114 4.13. Hubungan Sikap dalam Kesiapsiagaan Triase dan Kegawatdaruratan

pada Korban Bencana Massal dengan Kinerja Perawat Puskesmas Langsa Baro Kota Langsa ... 116 4.14. Distribusi Frekuensi Indikator Keterampilan Responden dalam

Kesiapsiagaan Triase dan Kegawatdaruratan pada Korban Bencana Massal di Puskesmas Langsa Baro Kota Langsa ... 116 4.15. Distribusi Jawaban Responden Mengenai Keterampilan Responden

Dalam Kesiapsiagaan Triase dan Kegawatdaruratan pada Korban Bencana Massal di Puskesmas Langsa Baro ... 117 4.16. Hubungan Keterampilan dalam Kesiapsiagaan Triase dan

Kegawatdaruratan pada Korban Bencana Massal dengan Kinerja Perawat Puskesmas Langsa Baro Kota Langsa ... 118 4.17. Distribusi Frekuensi Variabel Kinerja Responden dalam

Kesiapsiagaan Triase dan Kegawatdaruratan pada Korban Bencana Massal di Puskesmas Langsa Baro ... 119 4.18. Distribusi Jawaban Responden Mengenai Kinerja Responden dalam

Kesiapsiagaan Triase dan Kegawatdaruratan pada Korban Bencana Massal di Puskesmas Langsa Baro ... 119 4.19. Hubungan Kompetensi dalam Kesiapsiagaan Triase dan

(18)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

2.1. Alur Triase ... 52

2.2. Kartu Triase PMI Daerah Nanggroe Aceh Darussalam ... 55

2.3. Pos Medis Lanjutan ... 56

2.4. Arus Pasien dan Triase ... 57

(19)

ABSTRAK

Puskesmas sebagai unit pelayanan kesehatan terdekat yang ada di masyarakat memiliki peran kunci di lini pertama dalam penanggulangan bencana, sebagaimana dirancang dalam sistem penanggulangan gawat darurat terpadu (SPGDT). Namun keterbatasan dalam jumlah sumber daya dan luasnya wilayah cakupan kerja Puskesmas menjadi beban ganda yang menghambat implementasi peran tersebut. Untuk itulah diperlukan inovasi atau pembaharuan kekuatan untuk menambah sumber daya awam terlatih yang memiliki kesiapsiagaan dalam fase kritis.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh antara variabel independen yaitu pengaruh kompetensi terhadap kinerja perawat dalam kesiapsiagaan Triase dan Kegawatdaruratan pada Korban Bencana Massal di Puskesmas Langsa Baro Kota Langsa. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat di Puskesmas Langsa Baro yang berjumlah 56 perawat. Sampel sebanyak 56 responden, diambil dengan teknik total sampling. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dianalisis dengan cara univariat, bivariat dan multivariate dan diuji melalui regresi linear berganda.

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara kompetensi terhadap kinerja perawat dalam kesiapsiagaan triase dan kegawatdaruratan pada korban bencana massal di Puskesmas Langsa Baro, dengan nilai p= 0.045 (p<0.05). ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan terhadap kinerja perawat dalam kesiapsiagaan triase dan kegawatdaruratan pada korban bencana massal di Puskesmas Langsa Baro, dengan nilai p= 0.001 (p<0.05), dan tidak ada hubungan yang signifikan antara sikap terhadap kinerja perawat dalam kesiapsiagaan triase dan kegawatdaruratan pada korban bencana massal di Puskesmas Langsa Baro, dengan nilai p= 0.009 (p>0.05). Variabel yang paling dominan berhubungan dengan kinerja perawat dalam kesiapsiagaan triase dan kegawatdaruratan pada korban bencana massal di Puskesmas Langsa Baro, dengan nilai koefisien (Exp.β) 0.363 (keterampilan)

Disarankan kepada kepada Dinas Kesehatan Kota Langsa perlu melakukan pembinaan dan evaluasi terhadap kinerja perawat khususnya dalam kesiapsiagaan triase dan kegawatdaruratan pada korban bencana massal, dan melakukan terobosan untuk meningkatkan pemahaman bagi perawat tentang kesiapsiagaan triase dan kegawatdaruratan pada korban bencana massal melalui pendidikan dan latihan.

(20)

ABSTRACT

Puskesmas (Public Health Center) as a health service unit, which is close to community, plays the key role and the spearhead in handling disaster as it is designed in the SPGDT (Integrated System of Handling Emergency). However, the lack of human resources and Puskesmas large working area has a doubled burden for its implementation. Therefore, it is necessary to innovate and to renew the power to add skilled human resources who have the sense of alertness on any critical condition.

The aim of the research was to analyze the influence of competence as the independent variable on nurses’ performance in triase alertness and emergency on the victims of mass disaster at Langsa Baro Puskesmas, Langsa. The population was all 56 nurses at Langsa Baro Puskesmas, and all of them were used as the samples, using total sampling technique. The data were gathered by conducting interviews and using questionnaires and analyzed by using univatriate, bivatriate, and multivatriate analysis and tested by using multiple linear regression tests.

The result of the research showed that there was significant correlation between competence and nurses’ performance in triase alertness and emergency on the victims of mass disaster at Langsa Baro Puskesmas with the value of p=0.045 (p<0.05), and there was significant correlation between knowledge and nurses’ performance in triase alertness and emergency on the victims of mass disaster at Langsa Baro Puskesmas with the value of p=0.001 (p<0.05). On the other hand, there was no significant correlation between attitude and nurses’ performance in triase alertness and emergency on the victims of mass disaster at Langsa Baro Puskesmas with the value of p=0.009 (p>0.05). The most dominant variable which had the correlation with nurses’ performance in triase alertness and emergency on the victims of mass disaster at Langsa Baro Puskesmas was the variable of skills with the coefficient value (Exp.β) of 0.363.

It is recommended that Langsa Health Office should develop and evaluate the nurses’ performance, especially in triase alertness and emergency on the victims of mass disaster, and do a breakthrough in order to increase the nurses’ understanding about triase alertness and emergency on the victims of mass disaster through education and training.

(21)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Negara kesatuan Republik Indonesia sering mengalami bencana, baik bencana alam (natural disaster) maupun bencana karena ulah manusia (manmade disaster). Kejadian bencana biasanya diikuti dengan timbulnya korban manusia maupun kerugian harta benda. Adanya korban manusia dapat menimbulkan kerawanan status kesehatan pada masyarakat yang terkena bencana dan masyarakat yang berada disekitar bencana (Depkes, R.I, 2007).

Letak geografis dan kondisi sosial kemasyarakatan yang beragam menyebabkan Indonesia berada dalam prevalensi bencana tingkat tinggi, baik bencana alam maupun akibat ulah manusia. Tidak dapat dipungkiri telah banyak upaya penanggulangan bencana yang dilakukan, baik dalam pembenahan sistem, kebijakan, maupun program teknis. Namun upaya tersebut masih belum dapat menuai hasil yang maksimal karena kendala waktu, letak/jarak, dan jumlah tenaga penolong yang tidak sebanding dengan korban masal akibat bencana. Korban kegawatdaruratan yang berada alam fase kritis membutuhkan setidaknya 24 – 48 jam efektif untuk mengurangi resiko kematian dan kecacatan. Jika bantuan dalam fase ini terlambat maka akan menurunkan 50 % harapan hidup korban (Bakun, 2011).

(22)

penduduk yang padat sehingga daerah Aceh rawan terjadinya bencana banjir. Kondisi tersebut memberi dampak kepada masyarakat dalam berbagai sektor kehidupan. Sektor-sektor seperti kesehatan, pertanian, kehutanan, ketahanan pangan dan lain-lain turut mengalami kerugian saat kondisi memburuk atau bahkan menjadi ekstrim.

Berdasarkan laporan BPBD (2011), kondisi ini terutama dialami oleh daerah-daerah yang secara topografi terletak di kawasan rawan bencana banjir seperti di Kabupaten Aceh Tamiang, Kabupaten Pidie dan Kotamadya Langsa, merupakan daerah yang memiliki resiko dampak terbesar terkena bencana.

Berdasarkan pengalaman di Indonesia, permasalahan yang kerap timbul dalam penanganan bencana dilapangan adalah masalah diskoordinasi, keterlambatan transportasi dan distribusi, serta ketidaksiapan lokal dalam pemenuhan sarana dan prasarana. Oleh karena itu, dalam rangka pengurangan dampak resiko perlu penguatan upaya kesehatan pada tahap sebelum terjadi (pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan) (Depkes, R.I, 2007).

Keberhasilan penanganan krisis kesehatan akibat bencana ditentukan oleh manajemen penanganan bencana serta kegiatan pokok seperti penanganan korban massal, pelayanan kesehatan dasar di pengungsian, pengawasan dan pengendalian penyakit, air bersih dan sanitasi, penanganan gizi darurat, penanganan kesehatan jiwa, serta pengelolaan logistik dan perbekalan kesehatan (Depkes, R.I, 2007).

(23)

rujukan antara rumah sakit dengan pendekatan lintas program dan multisektoral. Penanggulangan gawat darurat menekankan respon cepat dan tepat dengan prinsip Time Saving is Life and Limb Saving. Public Safety Care (PSC) sebagai ujung tombak safe community adalah sarana publik/masyarakat yang merupakan perpaduan dari unsur pelayanan ambulans gawat darurat, unsur pengamanan (kepolisian) dan unsur penyelamatan. PSC merupakan penanganan pertama kegawatdaruratan yang membantu memperbaiki pelayanan pra RS untuk menjamin respons cepat dan tepat untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan, sebelum dirujuk ke Rumah Sakit yang dituju (Kemenkes, R.I, 2009).

Dalam dunia keperawatan kita mengenal pelayanan keperawatan gawat darurat. Yang dimaksud dengan pengertian pelayanan keperawatan gawat darurat adalah adalah pelayanan profesional yang didasarkan pada ilmu dan metodologi keperawatan gawat darurat yang berbentuk pelayanan bio-psiko-sosial-spiritual yang komprehensif ditujukan kepada klien/pasien yang mempunyai masalah aktual atau resiko yang disertai kondisi lingkungan yang tidak dapat dikendalikan. Rangkaian kegiatan yang dilaksanakan dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu mencegah kematian atau kecacatan yang mungkin terjadi (Feryandi, 2012).

(24)

membutuhkan sangat banyak sumber tenaga medis sehingga terjadi ketidakseimbangan (Zailani dkk, 2009).

Profesi keperawatan bersifat luwes dan mencakup segala kondisi, dimana perawat tidak hanya terbatas pada pemberian asuhan dirumah sakit saja melainkan juga dituntut mampu bekerja dalam kondisi siaga tanggap bencana. Situasi penanganan antara keadaan siaga dan keadaan normal memang sangat berbeda, sehingga perawat harus mampu secara skill dan teknik dalam menghadapi kondisi seperti ini. Kegiatan pertolongan medis dan perawatan dalam keadaan siaga bencana dapat dilakukan oleh keperawatan. Berbekal pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki seorang perawat bisa melakukan pertolongan siaga bencana dalam berbagai bentuk.

Prioritas utama dilokasi bencana adalah untuk menyelamatkan korban yang terluka. Pada fase ini untuk menyelamatkan orang - orang yang bertahan hidup, sangat penting adanya kerjasama dari berbagai pihak, tidak hanya petugas medis, namun juga anggota militer, pemadam kebakaran (paramedis) dan tenaga sukarelawan. Karena terbatasnya waktu untuk menyelamatkan hidup, maka perlu ditentukan prioritas dalam menyelamatkan orang yang sakit dan terluka dengan melakukan Triase (Zailani dkk, 2009).

(25)

dengan tingkat prioritasnya. Langkah selanjutnya adalah menyeleksi antara korban - korban yang memerlukan perawatan medis darurat (treatment) dan yang bisa dibawa pulang, dengan korban - korban yang harus dipindahkan ke lokasi lain (transportation) untuk menapatkan perawatan medis khusus. “3T Bencana” (triage, treatment, and transportation) dan akan menjadi kunci dalam menyelamatkan lebih banyak orang pada saat bencana (Zailani dkk, 2009).

Di sisi lain, pelayanan kesehatan harus terus berlanjut selama masa gawat-darurat dimana fasilitas kesehatan harus dirancang agar dapat tetap berdiri kuat dan berfungsi meskipun ditempa bencana. Seluruh fasilitas kesehatan juga harus memiliki rencana gawat-darurat dimana semua staf kesehatan harus tahu tentang rencana tersebut serta bagaimana menerapkannya (Efizudin, 2012).

Puskesmas sebagai unit promotif dan preventif dalam sistem kesehatan yang menstimulasi dan menjaring partisipasi masyarakat menuju taraf hidup mandiri, madani, dan sejahtera optimal. Bila dikaitkan dengan peran strategis di lini pertama sistem penanggulangan gawat darurat terpadu (SPGDT), Puskesmas bukan saja bertanggung jawab dalam persoalan teknis medis, tetapi juga bagaimana menciptakan masyarakat yang berkapasitas, baik secara pengetahuan maupun keterampilan, untuk ikut serta dalam upaya penanggulangan bencana. Dengan revitalisasi fungsi tersebut akan terbangun simbiosis mutualisme yang efektif dan dinamis (Bakun, 2011).

(26)

meminimalisir kecacatan dan kematian di “fase penentu” (the golden period) kejadian bencana. Untuk memaksimalkan kapasitas masyarakat dan optimalisasi upaya penanggulangan bencana, gagasan ini perlu didukung oleh instansi terkait di jajaran pemerintahan, pihak akademisi, swasta, dan tokoh masyarakat. Penanganan cepat dan tepat oleh masyarakat setempat dan oleh pelayanan kesehatan terdekat adalah jalur efektif penanggulangan bencana, namun dukungan yang komprehensif dan kontinue akan menuai hasil yang jauh lebih maksimal dalam membangun komunitas madani yang berdaya terhadap bencana (Bakun, 2011).

Puskesmas sebagai unit pelayanan kesehatan terdekat yang ada di masyarakat memiliki peran kunci di lini pertama dalam penanggulangan bencana, sebagaimana dirancang dalam sistem penanggulangan gawat darurat terpadu (SPGDT). Namun keterbatasan dalam jumlah sumber daya dan luasnya wilayah cakupan kerja Puskesmas menjadi beban ganda yang menghambat implementasi peran tersebut. Untuk itulah diperlukan inovasi atau pembaharuan kekuatan untuk menambah sumber daya awam terlatih yang memiliki kesiapsiagaan dalam fase kritis (Bakun, 2011).

(27)

Saat ini upaya yang dilakukan bagi penyelesaian masalah kesehatan akibat bencana adalah yang sifatnya responsif atau tanggap darurat. Ini dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Sampai saat ini upaya tersebut sering datang terlambat. Hal ini disebabkan masih kurang pengalaman dan kemampuan petugas dalam bidang tanggap darurat, kesiapsiagaan dan kesadaran tentang pentingnya risk dan hazards assessment (Depkes RI, 2007).

Menurut Sutton dan Tierney (2006), kegiatan kesiapsiagaan hendaknya didasarkan kepada pengetahuan tentang potensial dampak bahaya bencana dalam kesehatan dan keselamatan, kegiatan pemerintahan, fasilitas dan infrastruktur, pemberian pelayanan dan kondisi lingkungan dan ekonomi, serta dalam peraturan dan kebijakan.

Menurut LIPI – UNESCO/ISDR (2006), parameter pertama faktor krisis kesiapsiagaan untuk mengantisipasi bencana alam adalah pengetahuan, sikap dan keterampilan (kompetensi) terhadap resiko bencana. Pengetahuan merupakan faktor utama dan menjadi kunci untuk kesiapsiagaan. Pengetahuan yang dimiliki biasanya dapat memengaruhi sikap dan keterampilan untuk siap siaga dalam mengantisipasi bencana.

(28)

meninggal sebanyak itu, sekitar 126.915 jiwa adalah warga Aceh dan Sumatera (Indonesia). Kematian massal akibat bencana seperti itu, jarang terjadi dalam sejarah peradaban dunia, kecuali akibat perang (Syukri, 2011).

Pada tahun 2010, jumlah kejadian bencana di Indonesia, mencapai 2.232 kejadian. Jumlah korban meninggal dan hilang pada 2010 mencapai 2.139 orang, menderita dan mengungsi sekitar 1,7 juta orang. Sementara itu, rumah rusak berat 52.401unit," (Ansyari, 2011).

Data Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan (PPKK) Kemenkes RI menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 2011, telah terjadi 813 kali kejadian bencana yang mengakibatkan krisis kesehatan, yaitu korban meninggal dunia (3.463 orang), korban rawat inap (6.744 orang) serta lebih dari satu juta jiwa harus mengungsi. Jumlah kejadian bencana dari Januari sampai November 2012, tercatat 437 kejadian dengan jumlah korban meninggal dunia (599 orang), korban rawat inap (1999 orang), korban rawat jalan (29.515 orang), serta puluhan ribu jiwa harus mengungsi (Kemenkes, 2012).

(29)

beliung 259 kejadian atau 36 persen, banjir 193 kejadian atau 26 persen dan tanah longsor 138 kejadian atau 19 persen (Puspitasari, 2012).

Berdasarkan Riset Tsunami dan Mitigasi Bencana atau Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Unsyiah, melalui program Knowledge Management (KM) Provinsi Aceh selama tahun 2010 dilanda 92 kasus bencana alam. Banjir menempati urutan pertama dengan 47 kasus, angin kencang 13 kasus, puting beliung 10 kasus, tanah longsor dan gelombang pasang masing-masing 7 kasus, abrasi 4 kasus, gempa 3 kasus, dan erosi 1 kasus. Secara umum, kejadian bencana di Aceh pada tahun 2010 ini hampir 95 persen didominasi oleh bencana hidrologis dan meteorologis, seperti banjir, gelombang pasang dan abrasi, tanah longsor, erosi, angin kencang dan puting beliung. bencana-bencana tersebut menyebabkan 11 jiwa meninggal; 8 jiwa akibat tanah longsor dan sisanya disebabkan banjir. Korban luka-luka 39 jiwa, yaitu 36 disebabkan gempa dan sisanya karena puting beliung dan angin kencang. Untuk kasus pengungsian, banjir penyebab utama warga mengungsi dengan jumlah 9438 jiwa dari total 9467 pengungsi (Harian Aceh, 2011).

(30)

kerusakan bangunan dan infrastruktur lainnya. Sementara jumlah pengungsi, tahun 2010 mengalami penurunan dibandingkan 2009 (Nasarudin, 2010).

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh kompetensi terhadap kinerja perawat dalam kesiapsiagaan triase dan kegawatdaruratan pada korban bencana massal di Puskesmas Langsa Baro Kota Langsa Tahun 2013.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang maka dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: bagaimanakah pengaruh kompetensi terhadap kinerja perawat dalam kesiapsiagaan triase dan kegawatdaruratan pada korban bencana massal di Puskesmas Langsa Baro Kota Langsa Tahun 2013.

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk menganalisis pengaruh kompetensi terhadap kinerja perawat dalam kesiapsiagaan triase dan kegawatdaruratan pada korban bencana massal di Puskesmas Langsa BaroKota Langsa Tahun 2013.

1.4 Hipotesis

(31)

1.5Manfaat Penelitian

1. Menjadi masukan bagi perawat Puskesmas untuk menambah wawasan dalam pelaksanaan triase dan kegawatdaruratan pada korban bencana massal.

2. Menjadi masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Langsa untuk meningkatkan peran aktif perawat Puskesmas dalam perencanaan penanggulangan bencana massal khususnya triase dan kegawatdaruratan dan kesiapsiagaan menghadapi bencana untuk meminimalisir dampak bencana.

(32)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.2.Kompetensi

2.2.1. Pengertian Kompetensi

Menurut Finch dan Crunkilton dalam Mulyasa yang dimaksud dengan kompetensi adalah penguasaan terhadap suatu tugas, keterampilan, sikap dan apresiasi yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan. Hal itu menunjukkan bahwa kompetensi mencakup tugas, keterampilan sikap dan apresiasi yang harus dimiliki peserta didik untuk dapat melaksanakan tugas - tugas pembelajaran sesuai dengan jenis pekerjaan tertentu (Mulyasa, 2004).

Menurut US approach dalam Moeheriono (2009), menyatakan bahwa kompetensi lebih banyak di wujudkan dalam bentuk sertifikasi dan akreditasi. Pendekatan occupational competence, seperti ini mendefinisikan kompetensi sebagai “ability to perform activity within an occupation to the standarts expected in employment” elemen kompetensi diidentifikasikan sebagai fungsi-fungsi yang diperlakukan individu yang kompeten agar mampu untuk menyelesaikan sesuatu.

(33)

Kompetensi adalah keterampilan yang diperlukan seseorang yang ditunjukkan oleh kemampuannya untuk dengan konsisten memberikan tingkat kinerja yang memadai atau tinggi dalam suatu fungsi pekerjaan spesifik. Kompeten harus dibedakan dengan kompetensi, walaupun dalam pemakaian umum istilah ini digunakan dapat dipertukarkan. Ini adalah suatu pendekatan model input, yang fokus pada keterampilan yang dibutuhkan untuk mengerjakan suatu pekerjaan (Buyung, 2007).

Keterampilan adalah kompetensi dan mencerminkan kemampuan potensial untuk melakukan sesuatu. Dengan munculnya manajemen ilmiah, perhatian orang-orang berbalik lebih pada perilaku para manajer efektif dan pada hasil manajemen yang sukses. Pendekatan ini adalah suatu model output, dengan penentuan efektivitas manajer, yang menunjukkan bahwa seseorang telah mempelajari bagaimana melakukan sesuatu dengan baik (Buyung, 2007).

Menurut Spencer, pengertian dan kompetensi adalah karakteristik dasar yang terdiri atas keterampilan (skills), pengetahuan (knowledge) serta atribut personal (personal attributs) lainnya yang mampu membedakan seseorang hanya yang melakukan dan tidak melakukan (Moeheriono, 2009).

(34)

Berdasarkan dari definisi kompetensi ini, maka beberapa makna yang terkandung di dalamnya adalah sebagai berikut.

1. Karakteristik dasar (underlying chatacteristic) kompetensi adalah bagian dari kepribadian yang mendalam dan melekat pada seseorang serta mempunyai perilakuyang dapat diprediksi pada berbagai keadaan tugas pekerjaan.

2. Hubungan kausal (causally related) berarti kompetensi dapat menyebabkan atau digunakan intuk memprediksi kinerja seseorang, artinya jika mempunyai kompetensi yang lebih tinggi, maka akan mempunyai kinerja tinggi pula (sebagai akibat).

3. Kriteria (criterian referenced) yang dijadikan sebagai acuan, bahwa kompetensi secara nyata akan memprediksi seseorang dapat bekerja dengan baik, harus terukur dan spesifik atau terstandar (Moeheriono, 2009).

2.2.2. Cara Menentukan Kompetensi

Merujuk pada konsep-konsep dasar tentang kompetensi seperti yang telah di ungkapkan oleh spencer atau mengacu The Competency Handbook, ada beberapa pedoman dasar untuk mengembangkan sistem kompetensi ini, yaitu sebagai berikut. 1. Mengidentifikas pekerjaan pada posisi-posisi kunci dari deskripsi jabatan (job

description) yang nantinya akan dibuat sebagai kompetensi modelnya.

(35)

3. Melakukan survey mengenai kompetensi apa saja yang dibutuhkan agar dapat berhasil melaksanakan pekerjaan nantinya (Moeheriono, 2009).

Menentukan skala tingkat penguasaan kompetensi dapat dilakukan dengan pembuatan skala, misalkan skala 1 (sangat rendah), 2 (rendah), 3 (sedang), 4 (baik), 5 (sangat baik) atau menggunakan skala b (basic), I (intermediate), A (advance) atau E (expert) (Moeheriono, 2009).

2.2.3. Mengembangkan Sistem Kompetensi

Menurut Moeheriono (2009), sistem perkembangan kompetensi pada setiap organisasi wajib dan harus dikembangkan seluas-luasnya, dalam rangka mengembangkan manajemen sumber daya manusia atau SDM - nya. Manfaat dan keuntungan dalam pengembangan sistem kompetensi ini adalah sebagai berikut.

1. Dapat dipakai sebagai acuan kesuksesan awal bekerja seseorang. Model kompetensi yang akurat ini akan dapat menentukan dengan tepat pengetahuan serta keterampilan apa saja yang dubutuhkan untuk keberhasilan dalam suatu pekerjaan tersebut. Apabila seseorang memegang posisi jabatan tertentu, maka harus mampu memiliki kompetensi yang dipersyaratkan pada posisinya.

2. Dapat dipakai sebagai dasar merekrut karyawan yang baik dan handal. Apabila telah berhasil ditentukan kompetensi - kompetensi apa saja yang diperlukan bagi suatu posisi tertentu, maka dengan mudah dapat dijadikan sebagai kriteria dasar rekrutmen karyawan baru.

(36)

dipakai sebagai tolok ukur kemampuan seseorang. Dengan demikian, berdasarkan sistem kompetensi ini dapat diketahui apakah sesorang sudah memiliki kompetensi tertentu yang disyaratkan.

4. Dapat dipakai sebagai dasar penilaian kinerja dan pemberian kompensasi (reward) bagi karyawan berprestasi atau sebagai hukuman (punishment) bagi karyawan tidak berprestasi. Akhirnya, kompetensi dapat juga dikaitkan dengan sistem kompensasi dan hukuman. Dengan adanya model kompetensi yang telah dibuat untuk setiap posisi, maka dapat diukur seberapa besar kemampuan seseorang dalam memenuhi persyaratan kompetensi yang telah ditentukan baginya.

5. Pihak manajemen bisa menarik kesimpulan bahwa kompetensi sangat bermanfaat untuk training need analysis atau TNA.

2.2.4. Tujuan dan Sasaran Analisis Kompetensi

Pengertian analisis kompetensi secara sederhana adalah segala bentuk pendekatan analisis sistematis yang menjelaskan muatan-muatan atau tugas pekerjaan seseorang baik kegiatan aktivitas maupun perilakunya, konteks pekerjaan pada lingkungan kerja dan segala tuntutannya serta persyaratan pekerjaan tersebut, yang terdiri atas pengetahuan (knowledge), keahlian (skill), dan kemampuan (ability) secara detail dan menyeluruh (Moeheriono, 2009).

(37)

penempatan karyawan tersebut sesuai dengan the right man on the right job. Adapun tujuan dan sasaran analisis kompetensi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Menjamin pelaksanaan sistem personalia yang digunakan benar - benar berfokus dan sangat produktif. Penggunaan analisis kompetensi yang dirancang dengan baik dan benar akan dapat memberikan informasi secara rinci dan akurat perihal tugas pekerjaan (job description) dan karakteristik pekerjaan sehingga memudahkan rancangan sistem sumber daya manusia dalam perencanaannya. 2. Terciptanya perekat untuk membentuk suatu sistem personalia yang terpadu dan

terarah. Menurut pengalaman, sering kali terjadi pada sistem seleksi, sistem pelatihan, sistem perencanaan tenaga kerja dan sistem promosi berjalan sendiri - sendiri tanpa ada koordinasi dan relevansinya sehingga menghasilkan duplikasi usaha dan akhirnya terjadi kontra produktif pada fungsi masing-masing tersebut (Moeheriono, 2009).

2.1.6. Metode Analisis Kompetensi

Menurut Moeheriono (2009), pelaksanaan metode analisis kompetensi dalam perencanaan pengembangan sumber daya manusia memang sangat penting dilakukan bagi seluruh organisasi. Ada beberapa proses dan metode analisis kompetensi perlu diperhatikan, yaitu sebagai berikut.

(38)

2. Metode analisis yang berhubungan dengan pekerjaan atau job relatedness analysis (JRA). Metode ini sering kali dipergunakan dan diterapkan di banyak organisasi atau perusahaan modern. Adapun tahapannya yang harus dilakukan adalah sebagai berikut.

a. Melakukan perencanaan dan riset pendahuluan.

b. Mengenali terlebih dahulu pekerjaan – pekerjaan yang sudah ada.

c. Membuat data, mengumpulkan data pekerjaan yang berbeda, dengan wawancara dan kuesioner kemudian dikelompokan.

d. Membuat data integrasi, mengintegrasikan data yang diperoleh dari hasil wawancara dan kuesioner kemudian menentukan kategori menjadi kompetensi baru untuk menetukan perilaku yang diperoleh.

e. Membuat Dimension Selection Questionaire (DSQ) yang berisikan narasi dan kompetensi serta menganalisis perilaku, tugas pekerjaan, dan motivasi. f. Membuat dokumentasi, menyiapkan laporan yang berisikan prosedur analisis

kompetensi yang dihasilkan, data nama, dan jenis kelamin, serta keputusan kompetensi.

2.2.6. Kompetensi Individu

(39)

1. Watak (traits), yaitu yang membuat seseorang mempunyai sikap perilaku atau bagaimanakah orang tersebut merespons sesuatu dengan cara tertentu, misalnya percaya diri (self confidence), kontrol diri (self –kontrol ), ketabahan atau daya tahan (hardiness).

2. Motif (motive), yaitu sesuatu yang diinginkan seseorang atau secara konsisten dipikirkan dan diinginkan yang mengakibatkan suatu tindakan atau dasar dari dlam yang bersangkutan untuk melakukan suatu tindakan.

3. Bawaan (self - concept), yaitu sikap dan nilai-nilai yang dimiliki seseorang. Sikap dan nilai tersebut dapat diukur melalui tes untuk mengetahui nilai (value) yang dimilki, apa yang menarik seseorang untuk melakukan sesuatu.

4. Pengetahuan (knowledge), yaitu informasi yang dimilki seseorang pada bidang tertentu atau pada area tertentu, pengetahuan merupakan kompetensi yang komplek dan agak rumit.

5. Keterampilan atau keahlian (skill), yaitu kemampuan untuk melaksanakan tugas tertentu, baik secara fisik maupun mental,

Dalam kompetensi individu ini dapat dikatagorikan atau dikelompokkan menjadi dua, yang terdiri atas (1) threshold competence atau dapat disebut kompetensi minimum, yaitu kompetensi dasar yang harus dimilki oleh seseorang, misalnya kemampuan pengetahuan atau keahlian dasar seperti kemampuan membaca dan menulis (Moeheriono, 2009).

(40)

meningkatkan kompetensi tersebut, yaitu dengan cara menambah program pendidikan dan pelatihan (training) bagi karyawan yang masih dianggap kurang kompetensinya. Sedangkan kompetensi konsep diri, watak dan motif berada pada personality iceberg, lebih tersembunyi (hidden) sehingga cukup sulit untuk dikembangkan. Salah satu cara yang paling efektif untuk mengetahuinya adalah melalui psikologi dengan tes atau wawancara (Moeheriono, 2009).

Secara rinci, ada lima dimensi kompetensi yang harus dimiliki oleh semua individu, yaitu sebagai berikut.

1. Task skill ,yaitu keterampilan untuk melaksanakan tugas-tugas rutin sesuai dengan standar di tempat kerja.

2. Task management skill, yaitu keterampilan untuk mengelola serangkaian tugas yang berbeda yang muncul dalam pekerjaan.

3. Contingency management skill, yaitu keterampilan mengambil tindakan yang cepat dan tepat bila timbul suatu masalah dalam pekerjaan.

4. Job role environment skill, yaitu keterampilan untuk bekerja sama serta memelihara kenyamanan lingkungan kerja.

5. Transfer skill, yaitu keterampilan untuk beradaptasi dengan lingkungan kerja baru.

(41)

1. Level yang menunjukan seseorang karyawan mampu melaksanakan tugas tanggung jawab pekerjaan secara rutin dan pada pemahaman prosedur kerja atau instruksi tetapi masih di bawah pengawasan dan pembinaan atasan langsung (belum mandiri).

2. Level yang menunjukkan seseorang karyawan mampu melaksanakan tugas tanggung jawab pekerjaan secara rutin dan pada pemahaman prosedur kerja instruksi dengan secara mandiri tanpa pengawasan dan pembinaan atasan langsung (agak sudah mandiri)

3. Level yang menunjukan seseorang karyawan mampu melaksanakan tugas tanggung jawab pekerjaan secara rutin dan pada pemahaman prosedur kerja atau instruksi dengan secara mandiri, tanpa pengawasan dan pembinaan atasan langsung serta:

- mampu menganalisis masalah pekerjaan; - mampu memecahkan masalah tersebut;

- mampu memberikan masukan dan ide kepada atasan; dan - mampu melakukan koordinasi dengan bagian lain.

2.3. Kinerja

2.2.13. Definisi Kinerja

(42)

kinerja mempunyai makna yang lebih luas, bukan hanya hasil kerja, tetapi termasuk bagaimana proses pekerjaan berlangsung (Wibowo, 2007).

Menurut Armstrong dan Baron (1998) dalam (Wibowo, 2007) , kinerja adalah tentang melakukan pekerjaan dan hasil yang dicapai dari pekerjaan tersebut. Kinerja adalah tentang apa yang dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakannya. Kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen dan memberikan kontribusi ekonomi.

2.2.14.Tujuan Kinerja

Kinerja merupakan kegiatan pengelolaan sumber daya organisasi untuk mencapai tujuan organisasi. Tujuan adalah tentang arah secara umum, sifatnya luas, tanpa batasan waktu dan tidak berkaitan dengan prestasi tertentu dalam jangka waktu tertentu. Tujuan merupakan aspirasi (Wibowo, 2007).

Dengan adanya tujuan memungkinkan pekerja mengetahui apa yang diperlukan dari mereka, atas dasar apa kinerja harus dilakukan dan bagaimana kontribusinya akan dinilai (Wibowo, 2007).

2.2.15.Faktor-faktor yang Memengaruhi Pencapaian Kinerja

Faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation). Hal ini sesuai dengan pendapat Davis dalam Mangkunegara (2005) yang merumuskan bahwa :

1. Faktor Kemampuan (Ability)

(43)

memiliki IQ di atas rata-rata (IQ 110-120) apalagi IQ superior, very superior, gifted dan genius dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari, maka akan lebih mudah mencapai kinerja maksimal.

2. Faktor Motivasi (Motivation)

Motivasi diartikan suatu sikap (attitude) pimpinan dan karyawan terhadap situasi kerja (situation) di lingkungan organisasinya. Mereka yang bersikap positif (pro) terhadap situasi kerjanya akan menunjukkan motivasi kerja tinggi dan sebaliknya jika mereka bersikap negatif (kontra) terhadap situasi kerjanya akan menunjukkan motivasi kerja yang rendah. Situasi kerja yang dimaksud mencakup antara lain hubungan kerja, fasilitas kerja, iklim kerja, kebijakan pimpinan, pola kepemimpinan kerja dan kondisi kerja (Mangkunegara, 2005). Menurut Henry simamora (1995) dalam Mangkunegara (2005), kinerja (performance) dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu:

1. Faktor individual yang terdiri dari: a. Kemampuan dan keahlian b. Latar Belakang

c. Demografi

2. Faktor psikologis yang terdiri dari: a. Persepsi

b. Attitude

(44)

d. Pembelajaran e. Motivasi

3. Faktor organisasi yang terdiri dari: a. Sumber daya

b. Kepemimpinan c. Penghargaan d. Struktur e. Job design

2.2.4. Sasaran Kinerja

Sasaran kerja atau operasional menunjukkan kepada hasil yang harus dicapai dan kontribusi yang harus diberikan terhadap pencapaian sasaran kelompok, bagian dan organisasi. Pada tingkat organisasi hal ini berhubungan dengan misi organisasi, nilai dasar dan rencana strategis (Dharma, 2011).

Sasaran kinerja merupakan suatu pernyataan secara spesifik yang menjelaskan hasil yang harus dicapai, kapan, dan oleh siapa sasaran yang ingin dicapai tersebut diselesaikan. Sifatnya dapat dihitung, prestasi yang dapat diamati, dan dapat diukur. Sasaran merupakan harapan (Wibowo, 2007).

Sebagai sasaran, suatu kinerja mencakup unsur-unsur diantaranya: a. The performers, yaitu orang yang menjalankan kinerja;

b. The action/ performance, yaitu tentang tindakan atau kinerja yang dilakukan oleh performer;

(45)

d. An evaluation method, tentang cara penilaian bagaimana hasil pekerjaan dapat dicapai; dan

e. The place, menunjukkan tempat dimana pekerjaan dilakukan (Wibowo, 2007). Sasaran yang efektif dinyatakan dengan baik dalam bentuk kata kerja secara spesifik dan dapat diukur. Perkataan menurunkan, meningkatkan, dan mendemonstrasikan bersifat lebih efektif daripada mengawasi, mengorganisai, memahami, mempunyai pengetahuan atau apresiasi (Wibowo, 2007).

Menurut Dharma (2011), sasaran kerja yang baik paling tidak memiliki ciri sebagai berikut :

a. Konsisten, dengan nilai organisasi dan sasaran departemental dan organisasi. b. Tepat, jelas dan didefinisikan dengan baik, menggunakan kata yang jelas.

c. Menantang, untuk merangsang standar kinerja yang tinggi dan mendorong kemajuan.

d. Dapat diukur, dapat dihubungkan dengan ukuran kinerja yang dapat diukur kuantitatif dan kualitatif;

e. Dapat dicapai, ada di dalam batas kemampuan dari seseorang – harus pula diperhitungkan semua hambatan yang akan dapat memengaruhi kemampuan seseorang untuk mencapai sasaran tersebut; ini termasuk ketiadaan sumber daya (uang, waktu, peralatan, dukungan dari orang-orang lainnya), ketiadaan pengalaman ataupun pelatihan, faktor eksternal diluar kendali seseorang, dst. f. Disepakati, oleh manajer serta orang yang bersangkutan – tujuannya adalah

(46)

walaupun ada juga situasi di mana seseorang itu harus dibujuk untuk dapat menrima suatu standar yang lebih tinggi dari pada yang mereka percayai dapat mereka capai.

g. Dihubungkan dengan waktu, dapat dicapai pada suatu jangka waktu tertentu (ini tidak berlaku bagi suatu sasaran tetap).

h. Berorientasikan kerja kelompok : menekankan kepada kerja sama kelompok selain pencapaian individu.

2.2.5. Kinerja Individu

Menurut Anwar (2005), kinerja individu adalah hasil kerja karyawan baik dari segi kualitas maupun kuantitas berdasarkan standar kerja yang telah ditentukan. Kinerja individu ini akan tercapai apabila didukung oleh atribut individu, upaya kerja (work effort) dan dukungan organisasi.

Dengan kata lain, kinerja individu adalah hasil:

1. Atribut individu, yang menentukan kapasitas untuk mengerjakan sesuatu. Atribut individu meliputi faktor individu (kemampuan dan keahlian, latar belakang serta demografi) dan faktor psikologis meliputi persepsi, attitude, personality, pembelajaran dan motivasi.

2. Upaya kerja (work effort), yang membentuk keinginan untuk mencapai sesuatu. 3. Dukungan organisasi, yang memberikan kesempatan untuk berbuat sesuatu.

(47)

Menurut A. Dale Timple (1992) dalam Mangkunegara (2005), faktor-faktor kinerja terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal (disposisional) yaitu faktor yang dihubungkan dengan sifat - sifat seseorang.

Faktor eksternal yaitu faktor - faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang yang berasal dari lingkungan. Seperti perilaku, sikap, dan tindakan-tindakan rekan kerja, bawahan atau pimpinan, fasilitas kerja, dan iklim organisasi. Faktor internal dan faktor eksternal ini merupakan jenis-jenis atribut yang mempengaruhi kinerja seseorang. Seorang karyawan yang menganggap kinerjanya baik berasal dari faktor-faktor internal seperti kemampuan atau upaya, diduga orang tersebut akan mengalami lebih banyak perasaan positif tentang kinerjanya dibandingkan dengan jika ia menghubungkan kinerjanya yang baik dengan faktor eksternal (Anwar, 2005).

2.2.6. Jenis Kinerja

Dalam suatu organisasi dikenal ada 3 (tiga) jenis kinerja yang dapat dibedakan, yaitu sebagai berikut:

1. Kinerja operasional (operation performance). Kinerja ini berkaitan dengan efektivitas penggunaan sumber daya yang digunakan oleh perusahaan, seperti modal, bahan baku, teknologi, dan lain sebagainya, yaitu seberapa penggunaan tersebut secara maksimal untuk mencapai keuntungan atau mencapai visi dan misinya.

(48)

3. Hubungan otoritas wewenang dan tanggung jawab dari orang yang menduduki jabatan.

4. Kinerja strategik (strategic performance). Kinerja ini berkaitan atas kinerja perusahaan, dievaluasi ketepatan perusahaan dalam memilih lingkungannya dan kemampuan adaptasi perusahaan, khusunya secara strategis perusahaan dalam menjalankan visi dan misinya (Moeheriono, 2009).

2.2.7. Kesepakatan Kinerja

Kesepakatan kinerja merupakan kontrak kinerja antara pekerja dengan manajer, yang disebut sebagai personal contract. Antara manajer dan pekerja harus sepakat tentang tujuan dan sasaran yang hendak dicapai dan menjadi komitmen untuk menjalankannya. Kontrak kinerja merupakan dasar penting untuk melakukan penilaian terhadap kinerja pekerja (Wibowo, 2007).

Kesepakatan kinerja, juga dikenal sebagai perjanjian kinerja, menetapkan pengharapan dan pekerjaan yang harus dilakukan, hasil yang harus dicapai dan atribut (keahlian, pengetahuan dan kepiawaian) serta kompetensi yang diperlukan untuk mencapai hasil tersebut. Ia juga mengidentifikasikan ukuran-ukuran yang harus dipakai untuk memantau, mengevaluasi dan menilai kinerja (Dharma, 2011).

2.2.8. Standar Kinerja

(49)

dipergunakan sebagai dasar untuk penilaian. Standar kinerja merupakan tolok ukur terhadap kinerja. Standar kinerja harus dihubungkan dengan hasil yang diinginkan dari setiap pekerja (Wibowo, 2007).

Standar kinerja mempunyai dua tujuan, yakni pertama, membimbing perilaku pekerja untuk menyelesaikan standar yang telah dibangun. Apabila manajer menciptakan standar kinerja dengan pekerja dan memperjelas apa yang diharapkan, hal tersebut akan merupakan latihan yang berharga. Hal ini karena orang menginginkan melakukan pekerjaan yang dapat diterima (Wibowo, 2007).

Alasan kedua untuk standar kinerja adalah menyediakan dasar bagi kinerja pekerja dapat dinilai secara efektif dan jujur. Sampai standar kinerja dibuat, penilaian sering kali dinilai dari perasaan dan evaluasi subjektif. Tanpa memandang pendekatan dan bentuk yang digunakan dalam program review kinerja dan penilaian, proses klarifikasi dari apa yang diharapkan merupakan hal yang penting program berjalan efektif. Standar kinerja merupakan terbaik untuk melakukannya (Wibowo, 2007). 2.2.9. Lingkungan Kinerja

Berdasarkan perencanaan kinerja yang telah disepakati bersama antara manajer dan pekerja, dilakukan implementasi kinerja. Pelaksanaan kinerja berlangsung dalam suatu lingkungan internal dan eksternal yang dapat memengaruhi keberhasilan maupun kegagalan kinerja (Wibowo, 2007).

(50)

faktor yang berasal dari dalam diri sumber daya manusia sendiri maupun dari luar dirinya (Wibowo, 2007).

Setiap pekerja mempunyai kemampuan berdasarkan pada pengetahuan dan keterampilan, kompetensi yang sesuai dengan pekerjaannya, motivasi kerja dan kepuasan kerja. Namun, pekerja juga mempunyai kepribadian, sikap dan perilaku yang dapat memengaruhi kinerjanya (Wibowo, 2007).

2.2.10.Penilaian Kinerja

Penilaian kinerja merupakan alat yang paling dipercaya oleh manajer dalam mengontrol sumber daya manusia dan produktivitas (Swanburg, 1987). Proses penilaian kinerja dapat digunakan secara efektif dalam mengarahkan perilaku pegawai dalam rangka menghasilkan jasa keperawatan dalam kualitas dan volume yang tinggi. Perawat manajer dapat menggunakan proses operasional kinerja untuk mengatur arah kerja dalam memilih, melatih, membimbing dan perencanaan karier serta memberi penghargaan kepada perawat yang berkompeten (Nursalam, 2007). 2.2.11.Manfaat Penilaian Kinerja

Manfaat penelitian kerja yang dapat dijabarkan menjadi 6 (enam), yaitu : 1. Meningkatkan prestasi kerja staf, baik secara individu atau kelompok, dengan

memberikan kesempatan pada mereka untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri dalam rangka pencapaian tujuan pelayanan Rumah Sakit.

(51)

3. Merangsang minat dalam mengembangkan pribadi dengan tujuan meningkatkan hasil karya dan prestasi, dengan cara memberikan umpan balik kepada mereka tentang prestasinya.

4. Membantu Rumah Sakit untuk dapat menyusun program pengembangan dan pelatihan staf yang lebih tepat guna. Sehingga Rumah Sakit akan mempunyai tenaga yang cakap dan tampil untuk pengembangan pelayanan keperawatan di masa depan.

5. Menyediakan alat dan sarana untuk membandingkan prestasi kerja dengan meningkatkan gaji atau sistem imbalan yang baik.

6. Memberikan kesempatan kapada pegawai atau staf untuk mengeluarkan perasaannya tentang pekerjaannya, atau hal lain yang ada kaitannya melalui jalur komunikasi dan dialog, sehingga dapat mempererat hubungan antara atasan dan bawahan (Nursalam, 2007).

2.2.12.Masalah dalam Penilaian Kinerja

Menurut Gillies, (1996) dalam Nursalam, (2007), penilaian pelaksanaan kerja perawat sering ditemukan berbagai permasalahan, antara lain

1. Pengaruh Halo Effect

(52)

2. Pengaruh Horn

Pengaruh horn adalah kecenderungan untuk menilai pegawai lebih rendah dari pelaksanaan kerja yang sebenarnya karena alasan-alasan tertentu. Seorang pegawai yang melaksanakan kerjanya di atas tingkat rata-rata sepanjang tahun sebelumnya, namun dalam beberapa hari pelaksanaan kerja tahun tersebut, telah melakukan kesalahan terhadap perawatan pasien atau supervise pegawai, ia cenderung menerima penilaian lebih rendah dari pada penilaian sebenarnya. 2.3.13.Faktor-faktor Penilaian Kinerja

Menurut Moeheriono, (2009), faktor penilaian kinerja terbagi atas empat aspek, yakni sebagai berikut.

1. Hasil kerja, yaitu keberhasilan karyawan dalam pelaksanaan kerja (output) biasanya terukur, seberapa besar yang dihasilkan, berapa jumlahnya dan berapa besar kenaikannya.

2. Perilaku, yaitu aspek tindak tanduk karyawan dalam melaksanakan pekerjaan, pelayanan, kesopanan, sikap, dan perilakunya, baik terhadap sesama karyawan maupun kepada pelanggan.

3. Atribut dan kompetensi, yaitu kemahiran dan penguasaan karyawan sesuai tututan jabatan, pengetahuan, keterampilan dan keahliannya, seperti kepemimpinan, inisiatif dan komitmen.

(53)

Aspek terpenting dalam penilaian kinerja adalah faktor-faktor penilaian itu sendiri. Beberapa prinsip yang menjadi penilai, yaitu seperti berikut (Moeheriono, 2009).

1. Relevance, yaitu harus ada kesesuaian faktor penilaian dengan tujuan sistem penilai.

2. Acceptability, yaitu dapat diterima atau disepakati karyawan.

3. Reability, yaitu faktor penilaian harus dapat dipercaya dan diukur karyawan secara nyata.

4. Sensitivity, yaitu dapat membedakan kinerja yang baik atau yang buruk 5. Practicality, yaitu mudah dipahami dan dapat diterapkan secara praktis. 2.3.14.Penilaian Kinerja

Menurut Rivai (2005), penilaian kinerja dapat dinilai berdasarkan orientasi masa, yaitu;

1. Penilaian Kinerja Berorientasi Masa Lalu

Metode penilai kinerja berorientasi masa lalu (past oriented evoluation methods) dilakukan berdasarkan kinerja masa lalu . keuntungan dari metode ini adalah dapat dijadikan umpan balik (feed back) yang dapat mengarahkan usaha untuk peningkatan kinerja.

a. Skala Peringkat (Rating Scale)

(54)

dalam penilaian yang berhubungan dengan hasil kerja karyawan dalam skala-skala tertentu, mulai dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi. b. Daftar Pertanyaan (Checklist)

Penilaian berdasarkan metode ini biasanya menggunakan sejumlah pertanyaan dengan menggunakan kalimat: berilah jawaban pertanyan berikut cara memberi tanda (√) pada kolom yang tersedia. Metode ini menggunakan formulir isian yang menjelaskan beraneka macam tingkat perilaku bagi suatu pekerjaan tertentu. Pemilihan hanya perlu memilih kata atau pernyataan yang menggambarkan karakteristik dan hasil serja karyawan.

c. Metode dengan Pilihan Terarah (Forced Choice Methode)

Metode ini dirancang untuk meningkatkan objektivetas dan mengurangi subjektivitas dalam penilaian. Salah satu sasaran dasar pendekatan pilihan ini adalah untuk mengurangi dan menyingkirkan kemungkinan berat sebelah penilaian dengan memaksakan suatu pilihan antara pertanyaan-pertanyaan desktiptif yang kelihatannya mempunyai nilai yang sama.

d. Metode Peristiwa Kritis (Critical Incident Method)

(55)

e. Metode Catatan Prestasi

Metode ini berkaitan erat dengan metode peristiwa kritis, yaitu catatan penyempurnaan, yang banyak digunakan terutama oleh para profesional, misalnya penampilan, kemampuan berbicara, peran kepemimpinan, dan aktivitas lain yang berhubungan dengan pekerjaan.

f. Skala Peringkat Dikaitkan dengan Tingkah Laku (Behaviorally Anchored Rating Scale = BARS)

Metode ini merupakan suatu cara penilaian prestasi kerja karyawan untuk satu kurun waktu tertentu di masa lalu dengan mengaitkan skala peringkat prestasi kerja dengan perilaku tertentu. Salah satu kelebihan metode ini ialah pengurangan subjektivitas dalam penilaian. Deskripsi prestasi,yang baik maupun yang kurang memuaskan ,dibuat oleh pekerja sendiri, rekan kerja dan atasan langsung masing-masing.

g. Metode Peninjauan Lapangan (Field Review Methode)

Di sini penilai turun kelapangan bersama-sama dengan ahli dari SDM. Spesialis SDM mendapat informasi dari atasan langsung perihal prestasi karyawannya, lalu mengevaluasi berdasarkan informasi tersebut. Hasil penilaian dikirim ke penyelia dan dibawa ke lapangan untuk keperluan yang dinilai.

h. Tes dan Observasi Prestasi Kerja (Performance Test and Observation)

(56)

peragaan, syarat tes harus valid (sahih) dan reliabel (dapat dipercaya ). Untuk jenis-jenis pekerjaan tertentu, penilaian dapat berupa tes dan observasi. Artinya, karyawan dinilai, diuji kemampuannya, baik melalui ujian tertulis yang menyangkut berbagai hal seperti tingkat pengetahuan tentang prosedur dan mekanisme kerja yang telah ditetapkan dan harus di taati atau melalui ujian praktik yang langsung dinikmati oleh penilai.

i. Pendekatan Evaluasi Komparatif (Comparative Evaluation Approach)

Metode ini mengutamakan perbandingan prestasi kerja seseorang dengan karyawan lain yang menyelenggarakan kegiatan sejenis. Perbandingan demikian dipandang bermanfaat untuk manajemen sumber daya manusia dengan lebih rasional dan efektif, khususnya dalam hal kenaikan gaji, promosi, dan dan pemberian berbagai bentuk imbalan kepada karyawan.

2. Penilaian Kinerja Berorientasi Masa Akan Datang

Metode penilaian kinerja berorientasi kemasa depan terfokus pada kinerja masa mendatang dengan mengevaluasi potensi karyawan atau menetapkan karyawan atau menetapkan sasaran kinerja di masa mendatang secara bersama – sama antara pimpinan dengan karyawan.

a. Self Appraisal

(57)

untuk menghasilkan laporan penilaian yang dapat dijadikan sebagai catatan permanen sulit dilaksanakan.

b. Manajemen Berdasarkan Sasaran (Management By Objective)

Management By Objective (MBO) berarti manajemen berdasarkan sasaran, merupakan satu bentuk penilaian dimana karyawan dan penyelia bersama-sama menetapkan tujuan-tujuan atau sarana-sarana pelaksanaan kerja karyawan secara individu di waktu yang akan datang. Pada akhir periode tertentu, karyawan dievaluasi tentang seberapa baik mencapai sasaran tertentu yang telah ditetapkan dan faktor - faktor penting apa saja yang dialami dalam penyelesaian pekerjaan mereka. MBO adalah proses mengkonversi tujuan - tujuan perusahaan kedalam sasaran - sasaran individual.

c. Implikasi Penilaian Kinerja Indivividu dengan Pendekatan MBO

(58)

d. Penilaian dengan Psikolog

Penilaian ini lazimnya dengan teknik terdiri atas wawancara, tes psikolog, diskusi - diskusi dengan penyelia – penyelia. Psikolog tersebut membuat satu tes kecerdasan intelektual, tes kecerdasan emosional, diskusi – diskusi, tes kecerdasan spiritual dan tes kerpibadian, yang dilakukan melalui wawancara atau tes tertulis terutama untuk menilai kompetensi karyawan di masa mendatang. akurasi penilaiannya tergantung keterampilan psikolog dan penggunaan metode ini memakan waktu yang lama dan mahal sehingga biasanya hanya digunakan bagi kepentingan - kepentingan tingkat eksekutif saja.

e. Pusat Penilaian (Assessment Center)

Assessment centre atau pusat penilaian sebagai metode lain dari evaluasi potensi mendatang, tapi pusat – pusat penilaian ini tidak bertumpu kepada ketetapan psikolog. Penilaian ini sebagai suatu bentuk penilaian pekerjaan terstandar yang bertumpu pada beragam tipe evaluasi dan beragam penilai. Pusat – pusat penilaian sebagai bentuk standar pekerja yang bertumpu pada tipe – tipe evaluasi ganda dan nilai – nilai ganda.

2.3.15.Kinerja Perawat dalam Melaksanakan Asuhan Keperawatan

(59)

oleh PPNI (2000) dalam Nursalam (2007) yang mengacu dalam tahap proses keperawatan meliputi:

1. Pengkajian Keperawatan

Perawat mengumpulkan data tentang status kesehatan klien secara sistematis, menyeluruh, akurat, singkat dan berkesinambungan.

Kriteria pengkajian keperawatan, meliputi :

a. Pengumpulan data dilakukan dengan cara anamnesis, observasi, pemeriksaan fisik serta dari pemeriksaan penunjang.

b. Sumber data adalah klien, keluarga, atau orang terkait, tim kesehatan, rekam medis dan catatan lain.

c. Data yang dikumpulkan difokuskan untuk mengidentifikasi status kesehatan klien masa lalu, status kesehatan klien saat ini, status biologis-psikologis-sosial-spiritual, respon terhadap terapi, harapan terhadap tingkat kesehatan yang optimal dan resiko-resiko tinggi masalah.

d. Kelengkapan data dasar mengandung unsur LARB (lengkap, akurat, relevan, dan baru).

2. Diagnosis Keperawatan

Perawat menganalisis data pengkajian untuk merumuskan diagnosis keperawatan. Kriteria proses meliputi :

(60)

b. Diagnosis keperawatan terdiri atas : masalah (P), penyebab (E) dan tanda atau gejala (S) atau terdiri atas masalah dan penyebab (PE).

c. Bekerjasama dengan klien dan petugas kesehatan lain untuk memvalidasi diagnosis keperawatan.

d. Melakukan pengkajian ulang dan merevisi diagnosis berdasarkan data terbaru. 3. Perencanaan Keperawatan

Perawat membuat rencana tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah dan meningkatkan kesehatan klien. Kriteria proses, meliputi :

a. Perencanaan terdiri atas penerapan prioritas masalah, tujuan dan rencana tindakan keperawatan.

b. Bekerja sama dengan klien dalam menyusun rencana tindakan keperawatan. c. Perencanaan bersifat individual sesuai dengan kondisi atau kebutuhan klien. d. Mendokumentasikan rencana keperawatan.

4. Implementasi

Perawat mengimplementasikan tindakan yang telah diidentifikasi dalam rencana asuhan keperawatan. Kriteria proses, meliputi :

a. Bekerjasama dengan klien dal

Gambar

Gambar 2.1. Alur Triase
Tabel 2.1. Kategori Triase
Gambar 2.2.  Kartu Triase PMI Daerah Nanggroe Aceh Darussalam
Gambar 2.4. Arus Pasien dan Triase
+7

Referensi

Dokumen terkait

mengenai pengaruh kompetensi dan motivasi intrinsik pegawai SAR dalam memberikan pelatihan pertolongan pertama korban bencana terhadap kinerja. pegawai SAR di kantor SAR

Penerbit : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia 164 Berdasarkan tabel 3 tampak bahwa proporsi kesiapsiagaan perawat di tiga Puskesmas wilayah kerja