• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Diri Hijabers di Kampus Non Muslim di Kota Bandung (Studi Deskriptif Tentang Konsep Diri Hijabers Dalam Menjalin Interaksi di Lingkungan Non Muslim)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konsep Diri Hijabers di Kampus Non Muslim di Kota Bandung (Studi Deskriptif Tentang Konsep Diri Hijabers Dalam Menjalin Interaksi di Lingkungan Non Muslim)"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

Interaksi Di Lingkungan Kampus Non Muslim)

S K R I P S I

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana S1 Pada Program Studi Ilmu Komunikasi Konsentrasi Humas

Oleh,

BELIA RACHMIANI NIM 41809096

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI KONSENTRASI HUMAS FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA B A N D U N G

(2)
(3)
(4)

xi 2.1 Tinjauan Tentang Penelitian Terdahulu Sejenis ... 14

2.2 Tinjauan Pustaka ... 22

2.2.1Tinjauan Tentang Ilmu Komunikasi ... 22

2.2.1.1Pengertian Tentang Komunikasi ... 22

2.2.1.2Fungsi Komunikasi ... 25

2.2.1.3Unsur-unsur Komunikasi ... 27

(5)

xii

2.2.2.2Tahap Komunikasi Antarpribadi ... 32

2.2.2.3Faktor-faktor Pembentuk Komunikasi Antarpribadi.... 34

2.2.2.4Jenis-jenis Komunikasi Antarpribadi ... 35

2.2.3 TinjauanTentang Psikologi Komunikasi ... 36

2.2.3.1Definisi Psikologi Komunikasi ... 36

2.2.3.2Ruang Lingkup Psikologi Komunikasi ... 36

2.2.3.3Penggunaan Psikologi Komunikasi ... 37

2.2.4 Tinjauan Tentang Konsep Diri ... 38

2.2.4.1Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri ... 40

2.2.4.2Konsep Diri dan Komunikasi ... 41

2.2.5 Tinjauan Tentang Interaksi Sosial ... 42

2.2.5.1Syarat-syarat Terjadinya Interaksi Sosial ... 44

2.2.5.2Jenis-jenis Interaksi Sosial ... 46

2.3 Kerangka Pemikiran ... 47

2.3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ... 47

2.3.2 Kerangka Pemikiran Konseptual... 54

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian ... 56

3.1.1 Sejarah Hijab dan Perkembangannya ... 56

3.1.2 Perkembangan Hijab di Indonesia... 68

3.2 Metode Penelitian... 70

3.2.1Desain Penelitian... 70

3.2.2Teknik Pengumpulan Data ... 73

3.2.2.1Tinjauan Pustaka ... 73

3.2.2.2Tinjauan Lapangan ... 74

3.2.3 Teknik Penentuan Informan ... 79

3.2.4 Teknik Analisa Data ... 84

(6)

xiii

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 87

3.3.1 Lokasi Penelitian ... 88

3.3.2 Waktu Penelitian ... 88

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Hasil Observasi ... 92

4.2 Deskripsi Identitas Informan & Informan Pendukung Penelitian ... 96

4.2.1Informan ... 96

4.2.2Informan Pendukung ... 103

4.3 Deskripsi Hasil Penelitian ... 108

4.3.1Pandangan Hijabers dalam Menjalin Interaksi di Lingkungan Kampus Non Muslim ... 108

4.3.2Perasaan Hijabers dalam Menjalin Interaksi di Lingkungan Kampus Non Muslim ... 122

4.3.3Konsep Diri Hijabers dalam Menjalin Interaksi di Lingkungan Kampus Non Muslim ... 129

4.4 Pembahasan Hasil Penelitian ... 136

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 143

5.2 Saran ... 144

DAFTAR PUSTAKA ... 146

LAMPIRAN – LAMPIRAN ... 150

(7)

xiv

Tabel 2.2 Tujuan Komunikasi ... 30

Tabel 3.1 Daftar Informan Penelitian ... 82

Tabel 3.2 Daftar Informan Pendukung ... 83

Tabel 3.3 Waktu dan Kegiatan Penelitian ... 89

(8)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Salah satu informan dalam kegiatan Aikido di kampus ... 3

Gambar 1.2 Salah satu informan dalam kegiatan organisasi kampus ... 4

Gambar 2.1 Johari Windows ... 41

Gambar 2.2 Kerangka Pikir Peneliti ... 55

Gambar 3.1 Berbagai model kerudung dalam tradisi keagamaan ... 66

Gambar 3.2 Komponen-komponen Analisa Data Model Kualitatif ... 85

Gambar 4.1 Informan Poppy ... 96

Gambar 4.2 Informan Nadia ... 98

Gambar 4.3 Informan Tata ... 100

Gambar 4.4 Informan Shelly ... 102

Gambar 4.5 Informan Pendukung Lidya ... 104

Gambar 4.6 Informan Pendukung Jelita ... 105

Gambar 4.7 Informan Pendukung Bu Anggi ... 107

Gambar L.1 Universitas Kristen Maranatha (Salah satu tempat penelitian) ... 225

Gambar L.2 Universitas Kristen Maranatha (Salah satu tempat penelitian) ... 225

Gambar L.3 Universitas Katolik Parahyangan (Salah satu tempat penelitian) ... 226

Gambar L.4 Universitas Katolik Parahyangan (Salah satu tempat penelitian) ... 226

Gambar L.5 Peneliti dengan Informan ... 227

Gambar L.6 Peneliti dengan Informan ... 227

Gambar L.7 Informan dengan Teman-teman Kampusnya ... 228

Gambar L.8 Informan dengan Teman-teman Kampusnya ... 228

(9)
(10)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Izin Penelitian di UNPAR ... 150

Lampiran 2 Surat Izin Penelitian di Universitas Kristen Maranatha... 151

Lampiran 3 Surat Persetujuan Menjadi Pembimbing ... 152

Lampiran 4 Berita Acara Bimbingan ... 153

Lampiran 5 Surat Rekomendasi Pembimbing Untuk Mengikuti Seminar Usulan Penelitian ... 154

Lampiran 6 Surat Pengajuan Pendaftaran Seminar Usulan Penelitian ... 155

Lampiran 7 Lembar Revisi Usulan Peneitian ... 156

Lampiran 8 Surat Rekomendasi Pembimbing Untuk Mengikuti Sidang Sarjana . 157 Lampiran 9 Surat Pengajuan Pendaftaran Ujian Sidang Sarjana ... 158

Lampiran 10 Pedoman Observasi ... 159

Lampiran 11 Hasil Observasi ... 162

Lampiran 12 Pedoman Wawancara ... 165

Lampiran 13 Data Informan ... 182

Lampiran 14 Hasil Wawancara ... 189

Lampiran 15 Lembar Revisi Skripsi ... 225

Lampiran 16 Dokumentasi foto-foto ... 226

(11)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU-BUKU

Bachtiar, Wardi, M,S. 2006. Sosiologi Klasik dari Comte hingga Parsons. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Bungin, Burhan, H.M. 2007. Penelitian Kualitatif (Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya). Jakarta : Kencana.

Cangara, Hafied. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta : PT. Raja Grafindo

Persada.

Effendy, Onong Uchjana. 2011. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Hardy, Malkcom & Heyes, Steve. 1988. Pengantar Psikologi (Edisi ke 2). Jakarta: Erlangga.

Hidayat, Dedy N. 2003. Paradigma dan Metodologi Penelitian Sosial Empirik Klasik. Jakarta: Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia.

Muhadjir, Noeng. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi IV. Yogyakarta: Rake Sarasin·

(12)

147

Mulyana, Deddy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung : PT. Remaja

Rosdakarya.

______________. 2010. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung : PT.

Remaja Rosdakarya.

Moleong, Lexy J. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Patton, Michael Quinn. 2002. Qualitative Research and Evaluation Methods, 3rd Edition. Thousand Oaks, California: Sage Publication, Inc.

Rakhmat, Jalaludin. 2009. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

______________.2008. Psikologi Komunikasi: Edisi Revisi (Cetakan keduapuluh

enam). Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Riduwan. 2010. Dasar-Dasar Statistika. Bandung : Alfabeta

Sendjaja, Sasa Djuarsa. 1993. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta : Universitas Terbuka.

Soekanto, Soerjono. 2005. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Raja Grafindo

Persada.

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung :

Alfabeta.

________. 2010. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta.

(13)

Syam, Nina W. 2012. Psikologi Sosial Sebagai Akar Ilmu Komunikasi. Bandung : Simbiosa Rekatama Media.

Widjaja, H. A. W. 2000. Ilmu Komunikasi Pengantar Studi. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Zeitlin, Irving M. 1995. Memahami Kembali Sosiologi. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

B. INTERNET

http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/2184397-pengertian-hijab-dan-keutamaannya/#ixzz28oOhTo00/Kamis 21 Maret 2013/Pukul 08:20

wib.

http://hijaberscommunity.blogspot.com/ Kamis 21 Maret 2013/Pukul 09:08 wib.

http://quanesha.com/hijabers-community-tren-baru-berbusana-muslim-yang-modis-dan-modern/Kamis 28 Maret 2013/Pukul 12.32 wib.

http://www.kerudungbandung.com/sharing/sejarah-kerudunghijabjilbab-dan-

perkembanganya-perspektif-pembacaan-perkembangan-budaya-materi/Jum’at 19 April 2013/pukul 9.23 wib

http://www.al-shia.org/html/id/service/maqalat/037.htm/Jum’at 19 April

2013/Pukul 10.14 wib.

(14)

149

C. JURNAL

E-Journal/ejournal.umm.ac.id/KONSEP DIRI DENGAN KONFROMITAS

PADA KOMUNITAS HIJABERS/ Januari 2013/Mutia Andriani dan Ni’matuzahroh

D. KARYA ILMIAH

Gultom, Otto. 2011. Pola Interaksi Sosial Siswa/i Berbeda Agama (Studi Analisa Deskriptif : Yayasan Perguruan RaksanaSMA Swasta Raksana Medan). Medan : Universitas Sumatera Utara.

Yana, Hendra. 2012. Konsep Diri Pengguna Tato Dikalangan Mahasiswa Kota Bandung Sebagai Gaya Hidupnya. Bandung : Universitas Komputer

Indonesia.

Amelia, Lia. 2012. Konsep Diri Anggota Hijabers Community Bandung. Bandung

(15)

1

1.1Latar Belakang Masalah

Sebutan Hijabers sebagai panggilan yang sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia khususnya di Kota Bandung, menjadikan nama baru bagi

identitas seorang muslimah yang mengenakan Hijab sebagai penutup aurat.

Dimana istilah bagi muslimah yang mengenakan penutup aurat mengalami

perkembangan secara kebudayaan atau tradisi, meskipun pada sejarahnya istilah

Jilbab lebih awal dikenal oleh masyarakat Indonesia daripada Hijab.

Dalam istilah yang mengandung artian sama antara Jilbab dan Hijab

memberikan paradigma baru bagi masyarakat yang melihat Hijab sebagai istilah

seorang muslim yang mengenakan Jilbab dengan bergaya atau memiliki gaya

tersendiri yang baru dari seorang muslimah yang menggunakan Jilbab pada

umumnya sebagai penutup aurat yang wajib dikenakan oleh muslimah yang telah

baligh atau dapat dikatakan mengerti mana baik dan buruk bagi dirinya. Karena

menutup aurat bagi kaum muslimah hukumnya wajib, hal tersebut telah tertulis

dalam Al-Qur‟an sebagai pedoman kitab suci umat Islam.

Berawal dari sebuah komunitas dengan sebutan Hijabers Community istilah

Hijabers muncul, dengan kata dasar Hijab. Mengenal istilah Hijab itu sendiri

(16)

2

penampilan dan perilaku manusia setiap harinya. Berikut dalam terjemahan Al

Qur'an surat Al-Ahzab ayat 59 contoh kecil hijab wanita

Hai Nabi, katakanlah kepada isterimu, anak-anak perempuanmu dan

isteri-isteri orang mukmin:

"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS: Al-Ahzab : 59)

Dan diterangkan lebih rinci oleh 'Ulama islam, Muhammad Nashiruddin Al-Albany’, mengatakan kriteria jilbab yang benar hendaklah menutup seluruh badan, kecuali wajah dan dua telapak , jilbab bukan merupakan perhiasan, tidak

tipis, tidak ketat sehingga menampakkan bentuk tubuh, tidak disemprot parfum,

tidak menyerupai pakaian kaum pria atau pakaian wanita-wanita kafir dan bukan

merupakan pakaian untuk mencari popularitas.1 Hijab juga menutup lekuk tubuh

wanita.

Di kota Bandung istilah Hijabers kian digunakan sehingga menjadi istilah yang tidak asing lagi di dengar oleh masyarakat, kemudian melihat banyaknya

muslimah yang menggunakan Hijab peneliti melihat bahwa ada minoritas

Hijabers yang menggunakan Hijabnya di lingkungan mayoritas non muslim di

dalamnya. Seperti mahasiswi yang menuntut ilmu di kampus non muslim di kota

Bandung, meskipun menggunakan Hijab sebagai identitasnya sebagai seorang

muslim, mereka mengenyam studi di kampus yang notabene memiliki identitas

kekhususan agama. Baik itu Universitas Kristen maupun Katolik.

1

(17)

Gambar 1.1

Salah satu informan dalam kegiatan aikido di kampus

Sumber: Dokumentasi Peneliti 2013

Dikategorikan sebagai kampus non muslim bukan berarti Universitas tersebut

tidak memperbolehkan mahasiswa atau mahasiswinya memeluk agama selain dari

pada identitas kampus tersebut, melainkan hanya menjadi identitas yang

memperjelas adanya simbol-simbol keagamaan di dalam kampus tersebut. Seperti

halnya di kampus Kristen akan berbeda dengan kampus umum yang tidak

memiliki kekhususan keagamaan sebagai identitasnya, dimana kampus Kristen

akan banyak simbol-simbol keagamaan yang mencirikan identitas agama.

Dengan adanya toleransi beragama, Hijabers yang melakukan studinya di lingkungan kampus dengan mayoritas non muslim di dalamnya akan berpengaruh

dalam proses interaksinya. Sehingga proses interaksi yang dilakukan akan berbeda

dengan Hijabers yang berada di lingkungan mayoritas muslim di sekitarnya,

(18)

4

Gambar 1.2

Salah satu informan dalam kegiatan organisasi kampus

Sumber : Dokumentasi Informan

Melihat keberagaman beragama dalam satu lingkungan yang berbeda, menjadi hal yang biasa di Indonesia. Karena dengan beragamnya kebudayaan, agama dan bahasa membuat setiap kampus akan memberikan toleransi tersendiri. Walaupun simbol-simbol yang terdapat pada kampus dengan mencirikan kekhususan beragama di dalamnya, masih memberikan toleransi beragama. Sehingga dengan kampus dengan kekhususan agama keristen atau katolik, masih ada toleransi bagi mahasiswa atau mahasiswinya di luar dari kekhususan agama tersebut untuk studi di kampus tersebut, meskipun dengan angka yang minimal sebagai minoritas.

Di Indonesia interaksi dalam bentuk non formal biasanya menggunakan

bahasa-bahasa yang ringan, meskipun dilihat dari kehidupan sehari-hari bahasa

yang digunakan sangat beragam. Mulai dari bahasa gaul, atau bahasa gaul dengan

campuran aksen bahasa daerah yang beraneka ragam. Membuat proses

komunikasi akan sangat berwarna dan tidak monoton. Walaupun terkadang

(19)

lain tidak memahami dengan mendalam, karena hambatannya berada pada

konteks komunikasi yakni penggunaan bahasa yang berbeda. Mungkin akan

terlihat canggung, dan keragu-raguan.

Interaksi yang telah dikemukakan oleh Homans (dalam Ali, 2004: 87)

mendefinisikan interaksi sebagai suatu kejadian ketika suatu aktivitas yang

dilakukan oleh seseorang terhadap individu lain diberi ganjaran atau hukuman

dengan menggunakan suatu tindakan oleh individu lain yang menjadi

pasangannya. Konsep yang dikemukakan oleh Homans ini mengandung

pengertian bahwa interaksi adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam interaksi merupakan suatu stimulus bagi tindakan individu lain yang

menjadi pasangannya.2

Dalam kehidupan sehari-hari peneliti ingin mengetahui apakah interaksi

dalam lingkungan kecil pada masyarakat akan membentuk suatu konsep diri atau

hanya memerankan konsep diri yang terbentuk dengan adanya pengaruh

disekitarnya. Interaksi dalam masyarakat, khususnya dalam bentuk kelompok

kecil dalam lingkungan tertentu akan membentuk konsep diri seseorang, bahkan

akan membangun konsep dirinya dengan ineteraksi dalam lingkungannya.

Memperlihatkan bahwa proses komunikasi dapat membentuk dan menampilkan

konsep diri yang berbeda, tergantung dari cara seseorang melihat apa yang ada

dalam dirinya, dan apa yang bisa membuat dirinya membangun konsep diri sesuai

dengan lingkungannya.

2 http://belajarpsikologi.com/pengertian-interaksi-sosial/dikutip pada hari kamis 21 Maret 2013/pukul 09:20

(20)

6

Pada lingkungan yang berada di sekitar individu akan mempengaruhi

bagaimana individu tersebut memerankan konsep dirinya, membangun konsep

dirinya sesuai dengan pengaruh-pengaruh yang berada disekitarnya. Begitu pula

dengan seseorang dengan lingkungan kecil, seperti disekitar kampus. Kampus

merupakan tempat pendidikan yang akan mempengaruhi bagaimana proses

interaksi dapat berjalan dengan baik atau malah kurang baik. Dan bahkan dalam

lingkungan kampus seseorang akan menutupi jati dirinya, dengan memerankan

konsep dirinya.

Konsep diri dari setiap individu akan ada banyak hal yang mempengaruhinya,

baik itu lingkungan pertemanan, sosial dan masyarakat. Bagaimana konsep diri di

bangun untuk kelangsungan interaksi diantara individu-individu yang ada

disekitar kita. Menempatkan diri menjadi salah satu acuan terpenting dalam

proses pembentukan konsep diri. Dimana setiap individu pasti akan menyesuaikan

diri atau beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya.

Konsep diri juga dapat didefinisikan secara umum sebagai keyakinan,

pandangan atau penilaian seseorang terhadap dirinya. Definisi lain menyebutkan

bahwa konsep diri merupakan semua perasaan dan pemikiran seseorang mengenai

dirinya sendiri. Menurut Prof. DeddyMulyana, M.A., Ph.D. Konsep diri adalah pandangan individu mengenai siapa diri individu, dan itu bisa diperoleh lewat

informasi yang diberikan lewat informasi yang diberikan orang lain pada diri

individu (Mulyana, 2010:8).

Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa konsep diri yang dimiliki individu

(21)

mengenai dirinya. Individu akan mengetahui dirinya cantik, pandai, atau ramah

jika ada informasi dari orang lain mengenai dirinya.

Konsep diri meliputi kemampuan, karakter diri, sikap, tujuan hidup,

kebutuhan dan penampilan diri. Those physcial, social and pshycological perceptions of ourselves that we have derived from experiences and our

interaction with others Brooks (dalam Nina W, 2012 : 55).

Menurut Mead, seperti juga Cooley, menganggap bahwa konsep diri adalah

suatu proses yang berasal dari interaksi sosial individu dengan orang lain. Cooley

mendefinisikan diri sebagai sesuatu yang dirujuk dalam pembicaraan biasa

melalui kata ganti orang pertama tunggal, yaitu “aku” (I),“daku” (me), “milikku”

(mine), dan “diriku” (myself). Ia mengatakan bahwa segala sesuatu yang dikaitkan dengan diri menciptakan emosi lebih kuat daripada yang dikaitkan dengan diri,

bahwa diri dapat dikenal hanya melalui perasaan subjektif.

Menurut Cooley sebagaimana dikutip oleh Deddy Mulyana, unsur-unsur diri

adalah:

“Suatu gagasan-diri seperti agaknya mempunyai unsur: imajinasi penampilan kita bagi orang lain; imajinasi penampilannya atas penampilan tersebut; dan sejenis perasaan-diri (self-feeling), seperti kebanggaan atau malu. (Mulyana :

2006)”

Menurut Prof. DR. Nina W. Syam, M.S. Konsep diri dapat berupa sisi negatif dan positif:

“Perubahan konsep diri ini akan membuat seseorang dengan konsep diri

positif akan bertahan dengan perbedaan disekitarnya, dimana seseorang yang memiliki konsep diri yang positif akan terlihat lebih optimis, penuh percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, juga terhadap kegagalan yang dialaminya. Sedangkan dengan konsep diri negatif hal yang

(22)

8

Kemudian Brooks (dalam Rahmat, 2002 : 99) memaparkan bahwa konsep diri

merupakan persepsi terhadap diri sendiri, baik fisik, sosial, maupun psikologis,

yang didasarkan pada pengalama-pengalaman dan hasil interaksi dengan orang

lain.

Sedangkan konsep diri menurut Calhoun dan Accocella (1990 : 67) adalah

pandangan mengenai diri sendiri. Pandangan mengenai diri sendiri tersebut

merupakan suatu proses mental yang memiliki tiga dimensi, yaitu pengetahuan,

pengharapan, dan penilaian mengenai diri sendiri. Pengetahuan individu mengenai

diri dan gambarannya berarti bahwa dalam aspek kognitif individu yang

bersangkutan terdapat informasi mengenai keadaan dirinya, seperti nama, usia,

jenis kelamin, pekerjaan, suku bangsa. Dimensi yang kedua adalah harapan

individu di masa mendatang. Dimensi ini juga disebut dengan diri ideal, yaitu

kekuatan untuk mendorong individu untuk menuju ke masa depan. Dimensi yang

terakhir, penilaian terhadap diri sendiri, merupakan perbandingan antara

pengharapan diri dengan standar diri yang akan menghasilkan harga diri.

Begitu besar pengaruh konsep diri bagi seorang individu yang berbeda di

dalam lingkungan sosialnya, akan membuat penilain baru terhadap hal-hal yang

menyangkut pada individu terkait. Dimana kepribadian diri seseorang menjadi

penentu bagaimana seseorang bersikap dan bertingkah laku.

Realita yang tidak bisa dipungkiri oleh setiap orang bahwa konsep diri dapat

terbentuk maupun dimainkan oleh setiap individu, tergantung dari seseorang

(23)

Dalam memerankan konsep dirinya, setiap individu akan melihat bagaimana

bentuk dari komunikasi antarpribadi yang ada dalam dirinya.

Hal terpenting adalah diri (self). Siapa anda dan bagaimana anda mempresepsikan diri sendiri dan orang lain akan mempengaruhi komunikasi anda

dan tanggapan anda terhadap komunikasi orang lain. Dalam unit ini, peneliti

mendalami dua aspek dari diri (self). Membahas bentuk komunikasi dimana seseorang mengungkapkan sesuatu tentang siapa diri (Johari Window, Joseph

Luft). Kesadaran diri merupakan landasan bagi semua bentuk komunikasi. Yakni

dalam diri memiliki empat jendela yang memperlihatkan seberapa besar dari

wilayah jendela diri kita yaitu, wilayah terbuka, buta, tersembunyi dan tak

dikenal. Dalam empat jendela tersebut, setiap individu memiliki sisi yang tidak

sama. Dimana setiap orang akan berbeda konsep diri yang diperankannya. Akan

berbeda pula paradigmanya dalam melihat sesuatu di dalam dirinya sendiri.

Konsep diri merupakan faktor yang sangat menentukan dalam komunikasi

interpersonal atau antarpribadi, karena setiap orang bertingkah laku sedapat

mungkin sesuai dengan konsep dirinya. William D.Brooks (dalam Rakhmat,

2008:99) mengatakan bahwa konsep diri adalah pandangan dan perasaan

seseorang tentang diri kita. Persepsi tentang diri ini dapat bersifat psikologi,

sosial, maupun fisis.

Terkait dengan komunikasi antar pribadi, dimana setiap individu memiliki

konsep dirinya masing-masing. Peran dari suatu kelompok akan mempengaruhi

berlangsungnya proses interaksi disekitarnya. Setiap individu perlu untuk

(24)

10

membangun konsep diri yang baik dengan proses interaksi yang digunakan.

Apakah lebih kepada kelompok kecil atau bisa disebut dengan komunitas, yang

positif maupun negatif. Pada penelitian ini, peneliti melihat pada konsep diri

individu yang berada pada lingkungan mayoritas non muslim yang notabene

adalah lingkungan kampusnya dimana proses interaksi berlangsung dalam waktu

yang tidak sebentar, namun lingkungan keluarga merupakan mayoritas muslim di

dalamnya.

Sehingga peneliti tertarik dalam melihat bagaimana konsep diri yang ada

pada seorang Hijabers yang berada di lingkungan kampus non muslim dapat

melakukan proses interaksi dengan teman-teman, dosen serta orang-orang yang

berada di sekitarnya.

1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Pertanyaan Makro

Berdasarkan dari latar belakang yang dikemukakan di atas, maka

peneliti merumuskan masalah penelitian berdasarkan pertanyaan makro

sebagai berikut, “Bagaimana Konsep Diri Hijabers dalam Menjalin Interaksi di Lingkungan Kampus Non Muslim?”

1.2.2 Pertanyaan Mikro

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka peneliti menyusun

pertanyaan mikro sebagai berikut :

1. Bagaimana pandangan Hijabers dalam menjalin interaksi di lingkungan kampus non muslim?

(25)

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara mendalam, dengan menganalisis dan menceritakan Tentang Konsep Diri Hijabers dalam Menjalin Interaksi di Lingkungan Kampus Non Muslim.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Untuk mencapai hasil yang optimal terlebih dahulu perlu tujuan yang terarah mengacu pada rumusan masalah dalam penelitian ini. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahuai pandangan Hijabers dalam menjalin interaksi di lingkungan kampus non muslim.

2. Untuk mengetahui perasaan Hijabers dalam menjalin interaksi di lingkungan kampus non muslim.

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis

Penelitian ini berguna secara teoritis sebagai bahan acuan dan kajian

lebih dalam pengembangan ilmu komunikasi secara umum, serta berguna

untuk pengembangan ilmu komunikasi antar pribadi dan psikologi komunikasi

secara khusus. Mengkaji interaksi sosial yang merupakan bahan dari

pengembangan ilmu komunikasi, komunikasi antar pribadi dan psikologi

(26)

12

1.4.2 Kegunaan Praktis

1. Kegunaan Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menambah ilmu

pengetahuan peneliti dalam bidang psikologi komunikasi dengan ruang

lingkup ilmu komunikasi, khususnya mengenali konsep diri Hijabers di kampus non muslim dalam menjalin interaksi di lingkungan kampusnya.

Mengetahui bagaimana inetraksi yang berjalan dalam lingkungan

mayoritas non muslim sebagai Hijabers atau pengguna Hijab. Memberikan referensi ilmu dalam kajian bidang psikologi komunikasi

sebagai ilmu yang dibutuhkan untuk melihat bagaimana konsep diri yang

dibangun oleh Hijabers yang berada di lingkungan minoritas muslim di perguruan tinggi non muslim. Serta menambah referensi pengetahuan

mengenai interaksi yang terjalin dalam lingkungan mayoritas non muslim

dengan menggunakan Hijab sebagai identitas diri seorang muslimah.

2. Kegunaan Bagi Universitas

Penelitian ini berguna bagi seluruh mahasiswa UNIKOM secara

umum untuk menambah referensi ilmu komunikasi sebagai wawasan

ilmu yang umum, dan menambah referensi mengenai konsep diri yang

menjadi bagian dari ilmu psikologi komunikasi secara umum serta ilmu

komunikasi secara khusus. Secra khusus penelitian ini dapat berguna

bagi Program Studi Ilmu Komunikasi dengan konsentrasi Humas, untuk

(27)

UNIKOM bukan merupakan Universitas yang memberikan identitas

kekhususan agama di dalamnya.

3. Kegunaan Bagi Hijabers

Adapun penelitian ini dapat berguna bagi Hijabers untuk mengetahui

bagiamana konsep diri yang terbentuk bila berada pada lingkungan

minoritas, pandangan terhadap diri dan lingkungan yang akan mengubah

konsep diri. Memberikan acuan sebagai tambahan informasi, evaluasi

diri serta memperlihatkan pandangan lain pada Hijabers yang berada pada lingkungan yang sama dan bagaimana cara melihatnya dari sisi lain

dari anggota komunitas yang mayoritas muslim sebagaimana adanya

(28)

56 BAB III

OBJEK DAN METODE PENELITIAN

3.1 Objek Penelitian

3.1.1 Sejarah Hijabdan Perkembangannya

Menurut Islam hijab memiliki makna yang lebih luas dari

kesederhanaan, privasi dan moralitas. Ini berarti hijab sebagai tirai dalam

bahasa Arab sedangkan definisi metafisik „al-hijab‟ adalah tabir yang

memisahkan laki-laki atau dunia dari Allah.

Hijab telah menjadi bagian penting dalam tradisi Islam sejak tahun

1970-an. Pendapat tentang bagaimana pakaian yang harus dikenakan

bervariasi dari orang ke orang dalam iman Islam.

Di dalam Alquran jilbab tidak disebut sebagai sebuah artikel dari

pakaian Islam bagi perempuan atau laki-laki, bukan sebagai tirai rohani.

Alquran memerintahkan Muslim laki-laki untuk berbicara dengan para

perempuan umat Muhammad SAW hanya di belakang hijab. Masalah

kesederhanaan dalam Al-Qur‟an berlaku untuk laki-laki dalam menatap

perempuan, busananya dan alat kelamin.

Wanita diharapkan untuk memakai jilbabs di depan umum untuk

mencegah mereka dari bahaya. perempuan muslim diwajibkan untuk

mengenakan jilbab di depan setiap orang yang mereka secara teoritis bisa

menikah. Oleh karena itu tidak harus dipakai di depan ayah, saudara, kakek,

paman atau anak-anak muda. Hal ini juga tidak diwajibkan untuk

(29)

Islam unik tergantung tafsirankan masing-masing individu sesuai dengan

keyakinan mereka yang spesifik. Beberapa wanita memakai pakaian yang

menutupi tubuh seluruhnya dan hanya menyisakan mata mereka yang bisa

dilihat; sedangkan yang lain hanya merasa perlu untuk menutupi rambut

mereka dan belahan dadanya saja.

Aturan umumnya longgar untuk wanita tua. karena wanita yang tua

umumnya sudah pernah menikah tapi walau bagaimanapun disarankan untuk

berbusana yang baik menurut islam dan tetap tidak boleh membuat tampilan

nakal dengan keindahan tubuh mereka.

Kerudung/Hijab/Jilbab adalah istilah yang digunakan oleh setiap muslim, dengan perkembangannya dengan banyak bahasa dan kebudayaan

yang mempengaruhi. Tentu akan membuat setiap orang bingung apabila

artiannya adalah sama dari ketiga istilah tersebut.

Kerudung dalam bahasa Arabnya adalah khimar, Allah SWT berfirman

(artinya),"…Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya…"

(QS An-Nur : 31). Dalam ayat ini, terdapat kata khumur, yang merupakan

bentuk jamak (plural) dari khimaar. Arti khimaar adalah kerudung, yaitu

apa-apa yang dapa-apat menutupi kepala (maa yughaththa bihi ar-ra`su). (Tafsir

Ath-Thabari, 19/159; Ibnu Katsir, 6/46; Ibnul Arabi, Ahkamul Qur`an, 6/65 ).

Sedangkan Jilbab, diawali dengan uraian pada Al-Qur‟an ayat 59 dari

surat al-Ahzab yang disebut di atas: dalam surat al-ahzab ayat 59 yang

artinya: Hai Nabi, katakanlah kepada istrimu, putri-putrimu, dan

(30)

58

mereka”. Dengan pakaian serupa itu, mereka lebih mudah untuk dikenal,

maka mereka tidak diganggu lagi dan Allah senantiasa Maha Pengampun dan

Maha Penyayang. Kata jibab, jamaknya jalabib, berasal dari Al-Qur‟an

seperti termaktub di dalam surat al-Ahzab ayat 59. Secara lughawi, kata ini

berarti “pakaian (baju kurung yang longgar)”. Dari pengertian lughawi ini,

Prof. Quraish Shihab mengartikannya sebagai “baju kurung yang longgar

dilengkapi dengan kerudung penutup kepala”. Menurut Ibnu Abbas dan

Qatadat, sebagaimana dikutip oleh Abu Hayyan, Jilbab ialah: “pakaian yang

menutup pelipis dan hidung meskipun kedua mata permakainnya terlihat,

namun tetap menutup dandan dan bagian mukanya”. Meskipun banyak

pendapat yang dikemukakan berkenaan dengan pengertian jilbab ini, namun

semua pendapat tersebut mengacu pada satu bentuk pakaian yang menutup

sekujur tubuh pemakainya.

Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan istilah Hijab. Bukan

Kerudung atau Jilbab dalam setiap penjelasannya, karena penggunaan istilah

baru yang dikenal oleh masyarakat Indonesia saat ini dan menjadi budaya

baru sebagai identitas muslimah menjadi daya tarik tersendiri bagi peneliti

dalam penelitian ini. Sehingga Hijab menjadi sebuah budaya materi yang

mengalami perkembangan yang cukup signifikan dalam konteks cara

pandang si pembuat dan pemakainya, dan berakibat pada perubahan makna

dan model Hijab itu sendiri.

Sehingga menurut hemat penulis dengan Hijab itu sendiri akan cukup

(31)

beberapa sumber yang saya baca, baik itu buku-buku bernuansa Islami,

maupun di beberapa blog yang tersebar di internet dengan kata kunci

pencarian “Sejarah Hijab” muncul berbagai pengetahuan mengenai asal mula

munculnya Hijab sebagai penutup bagi kaum wanita, bahkan bukan hanya

bagi kaum muslimin saja, melainkan umat selain umatnya Rassulullah SAW.

Dijelaskan dalam beberapa buku dan sumber yang telah saya baca,

bahwa telah terdapat Hijab di Iran Kuno dan kaum Yahudi. Begitu pula di

India, terdapat kemungkinan adanya hijab. Namun Hijab yang terdapat di

semua kaum ini lebih ketat dari Hijab yang terdapat dalam hukum Islam.

Adapun di kalangan kaum Arab Jahiliyah tidak terdapat Hijab, karena hijab

muncul di kalangan Arab melalui perantaraan agama Islam.

Dijelaskan dalam blognya oleh Murtadha Matahharidikutip dari buku

The History of Civilization (Sejarah Peradaban) tentang kaum Yahudi dan kitab Talmud, Will Durant menuliskan:

“Apabila seorang wanita melanggar ketentuan-ketentuan hukum Yahudi, seperti keluar rumah tanpa mengenakan sesuatu yang

menutupi kepalanya…dan berkumpul dengan orang-orang atau mengungkapkan perasaannya pada laki-laki atau berbicara dengan suara keras sehingga terdengar oleh tetangga maka suaminya berhak mentalaknya tanpa memberikan mahar.”1

Oleh karena itu, Hijab yang terdapat pada kaum Yahudi lebih keras dan

lebih berat dari Hijab Islam—sebagaimana yang akan dipaparkan pada

pembahasan berikutnya secara terperinci.

Dalam buku yang sama yang telah ditulis ulang dalam blog milik

Murtadha Matahhari, berkaitan dengan masyarakat Iran Kuno, Will Durant

1

(32)

60

berkata: “Di zaman Majusi—Zoroaster(penyembah api)—wanita mempunyai

kedudukan yang tinggi, mereka berinteraksi dengan masyarakat dengan bebas

dan wajah tanpa penutup...”2-7

Lantas ia melanjutkan perkataannya:

“Setelah zaman Darwisy kedudukan wanita menjadi rendah, khususnya mereka yang berasal dari kalangan elit (kaya). untuk Para wanita miskin terpaksa harus keluar rumah bekerja, berkumpul dengan orang-orang dan harus melindungi diri mereka sendiri. Sedangkan kebiasaan para wanita mengurung diri di dalam rumah ketika sedang haid terus berlangsung sehingga akhirnya aktivitas sosial mereka terhenti dan hal inilah yang kemudian dianggap sebagai penyebab munculnya hijab di kalangan kaum muslimin. Para wanita dari kalangan sosial atas juga tidak berani untuk keluar rumah kecuali dengan memakai penutup muka. Mereka tidak pernah diberi izin untuk berhubungan dengan laki-laki secara terang-terangan. Bahkana para wanita yang telah bersuami tidak berhak melihat laki-laki lain walaupun laki-laki itu adalah ayah atau saudara laki-laki mereka sendiri. Dari peninggalan lukisan-lukisan Iran Kuno tidak terlihat satu pun paras muka seorang wanita, begitu pula namanya...”(Ibid 3)

Berdasarkan penjelasan Will Durant ini, maka jelaslah bahwa Hijab

yang sangat ketat berlaku di Iran Kuno sehingga ayah dan saudara laki-laki

sekalipun dianggap bukan muhrim bagi wanita yang telah bersuami. Lebih

jauh, Will Durant berpendapat bahwa peraturan keras adat dan agama Majusi

tentang wanita yang harus dikurung di dalam kamar selama masa haid dan

diasingkan dari semua orang, adalah penyebab munculnya budaya Hijab di

zaman Iran Kuno. Peraturan dan adat seperti ini juga dikenakan bagi wanita

haid di kalangan penganut agama Yahudi.

Tetapi, apakah maksud Will Durant dari pernyataan: “Perkara ini

(mengurung wanita haid) merupakan sebab diwajibkannya hijab di kalangan

2-7

(33)

wanita penganut agama Islam?”. Apakah yang dimaksud adalah bahwa sebab

munculnya hijab di dalam Islam adalah peraturan keras yang terjadi pada para

wanita haid? Kita mengetahui bahwa tidak pernah ada peraturan seperti ini di

dalam ajaran Islam. Wanita haid dalam Islam hanya mendapatkan dispensasi

untuk tidak melakukan beberapa ibadah seperti shalat dan puasa serta

larangan berhubungan seksual dengan suaminya selama masa haid. Dan tidak

ada larangan baginya dalam hal interaksi dengan orang lain sehingga ia

terpaksa harus mengurung diri pada saat itu.

Dan jika yang dimaksud Will Durant dari pernyataan tersebut adalah

munculnya hijab di kalangan wanita muslim merupakan penularan dari adat

dan kebiasaan penduduk Iran setelah mereka memeluk Islam, adalah sebuah

analisa yang tidak benar. Karena sebelum orang-orang Iran masuk Islam,

ayat-ayat yang berkaitan dengan Hijab telah diturunkan.

Dari ucapannya yang lain, dapat dipahami bahwa Will Durant

berpendapat bahwaHijab muncul dan berkembang di antara kaum muslimin

melalui perantaraan orang-orang Iran yang masuk Islam dan larangan

berhubungan seksual dengan wanita haid cukup memberikan pengaruh dalam

perintah mengenakan hijab bagi para wanita muslimah, atau paling tidak

dalam pengasingan mereka di saat haid. Ia melanjutkan:

Hubungan antara Iran dan Arab adalah salah satu penyebab meluasnya

hijab dan homoseks di wilayah Islam. Laki-laki Arab pada waktu itu takut

akan rayuan wanita tetapi mereka selalu tergila-gila akan hal itu. Maka

(34)

62

melalui sikap mendua yang biasa dimiliki para lelaki berkaitan dengan

kesucian dan keutamaan wanita (Ibid 4).

Sahabat Umar berkata pada kaumnya:

“Bermusyawarahlah dengan wanita akan tetapi kerjakanlah yang berbeda dengan pendapat mereka.” Pada abad pertama, para wanita muslim tidak memakai hijab, laki-laki bisa bertemu dengan mereka, berjalan, pergi ke mesjid dan shalat bersama. Hijab baru ditetapkan pada zaman Walid Kedua (126-127 H). Pengurungan terhadap wanita muncul setelah adanya larangan bagi suami untuk berhubungan seksual dengan wanita pada saat-saat haid dan nifas mereka.”(Ibid)

Di halaman lain seperti dikutip dalam blog Murtadha Matahhari, Will

Durant menuliskan:

“Rasulullah telah melarang wanita memakai baju longgar, akan tetapi sebagian orang-orang Arab tidak melaksanakan perintah ini. Pada saat itu, semua kalangan memiliki perhiasan. Para wanita memakai baju pendek dengan sabuk yang berkilauan, pakaian lebar dan berwarna-warni. Mereka mengurai rambut atau mengikatnya dengan indah dan kadang-kadang mereka memakai celak dan benang sutra hitam pada rambutnya. Biasanya mereka merias dirinya dengan permata atau bunga. Kemudian pada tahun 97 Hijriah mereka memakai penutup (cadar) wajah dari bawah mata mereka dan setelah itu kebiasaan ini menjadi meluas di kalangan mereka.”(Ibid)

Sedangkan dalam karyanya tentang orang Iran Kuno, Will Durant

menyatakan:

“Tidak ada larangan dalam nikah mut‟ah. Nikah mut‟ah ini sama seperti

kesenangan di kalangan orang-orang Yunani dan bebas untuk dilakukan. Bahkan mereka terang-terangan melakukan dan memperlihatkannya pada masyarakat dan mereka (para wanita) hadir di perjamuan para lelaki sedangkan istri resminya dikurung di dalam rumahnya. Adat kebiasaan Iran kuno tersebut akhirnya menyebar ke dalam Islam.” (Ibid)

Will Durant berbicara sedemikian rupa seolah-olah di zaman Rasulullah

tidak ada secuilpun peraturan tentang Hijab wanita dan beliau hanya

(35)

awal abad kedua para wanita muslim berinteraksi tanpa memakai hijab. Tentu

saja hal ini tidak benar dan sejarah pun telah membuktikannya. Tidak bisa

diragukan bahwa wanita pada zaman jahiliah memang seperti yang

dipaparkan oleh Will Durant, namun Islam telah mengadakan perombakan

besar-besaran dalam hal ini.

Aisyah selalu memuji-muji para wanita Anshar dan berkata demikian:

“Keselamatan bagi para wanita Anshar. Setelah ayat-ayat surah Nur turun, tidak terlihat seorang pun dari mereka keluar rumah seperti sebelumnya. Mereka menutupi kepalanya dengan jilbab hitam, seolah-olah ada burung gagak bertengger di kepalanya.”(Kasyaf, di bawah penjelasan surah Nur ayat 31)

Kent Gubinoseperti yang dikutip oleh Murtadha Matahhari pada blognya, dalam buku Tiga Tahun di Iran, meyakini bahwa Hijab yang sangat keras di zaman Dinasti Sasani masih tersisa ketika Islam masuk di

kalangan orang-orang Iran. Ia juga berkeyakinan bahwa hijab yang ada di

Iran Sasani bukan hanya penutup bagi wanita tetapi menyembunyikan dan

mengasingkan wanita di dalam rumah. Di saat yang sama, para raja dan

keluarganya memperlakukan wanita dengan semena-mena. Apabila mereka

melihat wanita cantik di suatu rumah, maka mereka akan mengambil dan

membawanya dengan paksa.

Adapun Jawahir Nehru, mantan perdana menteri India, juga berkeyakinan bahwa hijab dalam Islam muncul melalui bangsa-bangsa non

muslim seperti Roma dan Iran kuno. Dalam karyanya yang berjudul Menilik Sejarah Dunia pada jilid pertama halaman 328, selain memuji-muji

(36)

64

“Berkaitan dengan kondisi para wanita, telah terjadi sebuah perubahan besar dan sangat menakjubkan secara berangsur-angsur. Sebelumnya, tidak adat kebiasaan hijab di kalangan para wanita Arab. Mereka hidup dalam kondisi yang tidak terpisah dan tersembunyi dari kaum laki-laki. Mereka hadir di tempat umum, pergi berlalu lalang ke masjid dan pengajian, bahkan kadang mereka sendiri yang memberikan pelajaran dan petuah. Tetapi, setelah bangsa Arab mencapai kemajuan, secara berangsur-angsur mereka meniru adat kebiasaan dua emperatur tetangga yaitu Romawi dan Persia. Bangsa Arab telah mengalahkan emperatur Roma dan mengakhiri kekuasaan emperatur Persia. Tetapi malah mereka sendiri yang tertular kebiasaan dan adat buruk kedua emperatur ini. Menurut beberapa sumber, adat kebiasaan pemisahan wanita dari laki-laki dan hijab yang terdapat di kalangan Arab muncul karena pengaruh emperatur Konstatinopel dan bangsa Persia”.(Ibid)

Adalah tidak benar jika dikatakan bahwa hanya karena pengaruh

interaksi muslim Arab dengan muslim non Arab yang memeluk Islam

setelahnya, hijab menjadi lebih ketat dari yang ada di zaman Rasulullah saw.

Dari ungkapan Nehru dapat diambil kesimpulan bahwa dalam bangsa

Romawi juga terdapat hijab (mungkin berasal dari pengaruh bangsa Yahudi)

dan adat memiliki selir berasal dari bangsa Romawi dan Persia yang

kemudian menyebar di kalangan para khalifah Islam.

Di India pun, Hijab sangat ketat dan keras. Akan tetapi belum jelas,

apakah hijab di India telah ada sebelum masuknya Islam atau setelah

masuknya Islam ke India? Dan apakah orang-orang Hindu menerima hijab

karena pengaruh kaum muslimin khususnya kaum muslimin Iran? Namun

yang pasti adalah bahwa Hijab orang-orang India sangat ketat dan keras

sekali, seperti hijab orang Iran Kuno.

Will Durant seperti yang ditulis oleh Murtadha Matahhari dalam

bolgnya, juga menyatakan bahwa Hijab di India muncul melalui perantaraan

(37)

Sedangkan Nehru berkata:

“Sangat disesalkan, tradisi buruk ini sedikit demi sedikit menjadi

bagian dari Islam. Dan penduduk India mempelajari hal itu sewaktu

orang-orang Islam mendatangi wilayahnya”.(Ibid)

Nehru berkeyakinan bahwa hijab muncul di India melalui perantaraan

kaum muslimin yang datang ke India. Namun, jika kita menerima bahwa

salah satu sebab munculnya hijab ialah karena kecenderungan untuk bertapa

dan meninggalkan segala bentuk kenikmatan, maka hijab di India telah

muncul sejak masa-masa sebelum datangnya Islam. Karena kawasan India

merupakan pusat lama pertapaan dan pengkebirian segala bentuk kenikmatan

materi.

Sementara itu, Bernard Russel dalam karyanya Pernikahan dan Etika, pada halaman 135 menyatakan:

“Etika seksual yang terdapat pada masyarakat beradab (maju) bersumber pada dua hal. Pertama kecenderungan untuk konsisten pada jiwa kebapakan, kedua keyakinan para pertapa tentang tercelanya cinta. Etika seksual pada masa sebelum munculnya agama Masehi dan di kalangan para raja di kawasan Timur Jauh, hingga kini hanya bersumber pada hal pertama. Kecuali India dan Iran Kuno karena kehidupan pertapaan muncul dari sana dan kemudian menyebar ke

seluruh penjuru dunia”.

Melihat dari perkembangannya dari berbagai pandangan tradisi

keagamaan yang berkembang di dunia, dapat dilihat bahwa setiap agama

memiliki Hijab sebagai sebuah alat yang memiliki arti sama. Namun dalam

penggunaannya memiliki perbedaan sesuai dengan budaya yang berkembang,

baik berupa perkembangan sejarah dan peradaban manusia. Maupaun dengan

(38)

66

Gambar 3.1

Berbagai model kerudung dalam tradisi keagamaan

Sumber : http://betmidrash.blogspot.com April 2013

Dengan demikian Hijab telah ada sebelum kemunculan Islam dan Islam

bukanlah pelopor pertama hijab. Dengan mengetahui sejarah, serta apa yang

mempengaruhi munculnya Hijab kini, makna dari Hijab/Kerudung/Jilbab itu

dapat dilihat dari istilah-istilah tersebut yang masuk ke Indonesia dalam

peradaban dan perkembangan istilah-istilah tersebut.

Pererkembangannya kini, melihat makna Hijab sendiri bergeser

sedikit-demi sedikit. Dimana budaya juga merupakan salah satu yang merubah

makna dari Hijab, dimana sebuah Hijab dikatakan sebagai budaya materi

didalamnya. Menjadi suatu fenomena dimana kemunculan istilah Hijab di

Indonesia menjadi sebuah icon muslimah dengan mode Hijab masa kini.

Pesatnya perkembangan Hijab meningkatkan unsur kreatifitas

(39)

mengacu pada fashion. Sehingga Hijab disini mengalami pergeseran makna, dari sakral menjadi profane. Hijab kreatif hari ini juga telah menjadi

symbol-simbol lapisan sosial, tentusaja maksud penulis bukan sebatas symbol lapisan

sosial dalam kontek antara agama, seperti pada permulaan munculnya Hijab

itu sendiri, akan tetapi sebagai sebuah symbol lapisan sosial dalam kontek

klasifikasi tingkatan ekonomi. Selanjutnya penulis juga menemukan sebuah

fenomena yang cukup menarik bahwa fenomena Hijab kreatif telah menarik

segelintir orang untuk mengapresiasi melalui sebuah perkumpulan yang

dipersatukan atas dasar budaya materi ini. Ternyata hobi, kegemaran dan

bisnis memakai Hijab ini mengispirasikan sekelompok wanita untuk

mendirikan sejumlah situs untuk mempromosikan dan kemudian mempunyai

basis massa dan visi-misi tertentu.

Kemudian munculnya Hijab kreatif juga menumbuhkan sebuah

klasifikasi yang baru, hal ini sebuah fenomena yang biasa dalam konteks

zaman sekarang. Misalnya kita berangkat dari sebuah contoh, agar mudah

menggambarkan hal ini. Lagam atau model pada budaya materi celana jeans

misalnya, tahun 70-an umum telah berkembang model calana jeans cutbrai,

baru pada tahun 90-an model ini sempat menghilang, dan kembali muncul

tahun 2007. Kemudian model ini tahun 2010 menghilang karena model

celana jeans pensil. Gaya celana pensil ini secara otomatis akan menganeliasi

gaya cutbraiy, sehingga jika ada remaja yang masih memakai celana jeans

cutbraiy saat ini dalam perspektif klasifikasi fashions dia akan masuk pada

(40)

68

dalam waktu sekejap menjamur dan dipakai segala lapisan masyarakat yang

selalu tidak mau ketinggalan mode. Nampaknya begitu juga dengan Hijab ini.

Hijab ini mulai menjamur,dengan dukungan media massa dan elektronik,

Hijab ini sudah menjadi pusat perhatian baru, sehingga masyarakat akan

banyak memburu model ini. Dalam perkembangan waktu seperti yang

berlaku pada celana jeans, bahwa jika masih ada yang menggunakan Hijab

“formal” maka secara otomatis dia akan masuk dalam klasifikasi gaya era

masa lalu, tentu hal ini melalui kacamata masyarakat pengagum mode.

3.1.2 Perkembangan Hijab di Indonesia

Kemunculan mode ini memang tidak datang sesederhana seperti apa

yang kita banyangkan. Kemunculan ini tentu melalui beberapa fase dan

kepentingan. Ada beberapa tahapan yang dapat penulis jabarkan disini tentu

dalam kontek Indonesia.

Pertama,bahwa munculnya Hijab dengan masih penggunaan istilah Jilbab ini marak di Indonesia, muncul pasca tumbangnya rezim Orde

Baru. Pada waktu itu ditandai dengan munculnya kerudungisasi

dikalangan masyarakat kampus. Orde Baru adalah dimana Hijab masih

menggunakan istilah Jilbab menjadi sebuah hal yang masih awam untuk

dipakai. Hal ini memang sangat terkait dengan situasi politik dan

budaya pada masa itu. Peperangan yang panjang pasca kemerdekaan,

sampai kondisi pemerintah yang antipati terhadap gerakan ekstrimis

kanan yang terwakilkan oleh gerakan DII dan Negara Islam Indonesia

(41)

agama islam. Selain itu juga kebijakan pemerintah yang cukup represif

terhadap pengawasan kegiatan pengamalan agama dan siar islam yang

dilakukan sejumlah organisasi islam juga berdampak pada sosialisasi

atas Hijab ini, sehingga dampaknya sangat terlihat pada masa Orde

Baru sedikit muslimah yang memakai Hijab.

Kedua, era tahun 90-an, pemerintah cukup mulai memperhatikan kehidupan beragama. Hal ini sebagai sebuah dampak dari kehidupan

pribadi Soeharto yang sudah mulai berusia lanjut. Religiusitas Soeharto

meningkat ditandai dengan berangkatnya haji dan umroh yang selalu

dipertontonkan melalui media, hal ini dampaknya cukup bagus,

kelonggaran beragama mulai ditunjukan dengan beberapa surat

keputusan presiden yang dikeluarkan.

Ketiga, pasca reformasi ada sekolompok masyarakat yang menginginkan kehidupan islami di setiap lini aktivitas, dan juga

dibarengi dengan kebebasan berekspresi, hal ini semakin

mempermudah segala aktivitas hidup sesuai dengan ideologi

masing-masing.

Keempat, kemudian fase yang terakhir inilah yang menyuburkan symbol-simbol agama dipakai dalam kehidupan, termasuk Hijab.

Sebuah catatan yang penulis tekankan adalah pada awalnya masyarakat

belum berfikiran akan memodifikasi gaya Hijab mereka. hal ini tentu

saja dapat dipahami bahwasanya, masyarakat baru belajar memakai

(42)

70

normative, dan masih sesuai dengan ketentuan yang selaras dengan

dalil.

Fase selanjutnya memang Hijab menjadi trend masyarakat muslimah

indonesia. hal ini mendorong pula dimunculkanya aturan-atruran yang

melegalkan Hijab, terutama di instansi-instansi islam yang sebagai lembaga

pendukung kebudayaan ini. Dampaknya massive Hijab menjadi hal yang biasa atau lumrah pada perkembangan selanjutnya. Kelumprahan inilah

sebenarnya akar dari sebuah upaya desakralisasi Hijab itu sendiri, ditambah

penekanan pada esensi kewajiban berkerudung bagi seorang muslimah mulai

ditinggalkan, dan hanya sebatas peraturan berkerudung yang diberlakukan,

terutama untuk sekolah islam. Tentu saja hal ini tidak mewadahi jikalau

muncul sebuah apologistik, terhadap esensi berkerudung.2

3.2 Metode Penelitian 3.2.1 Desain Penelitian

Penelitian ini dilihat menggunakan paradigma post positivisme

dengan pendekatan kualitatif dan metode deskriptif.

Dimana paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami

kompleksitas dunia nyata. Paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para

penganut dan praktisinya. Paradigma menunjukan pada mereka apa yang

penting, absah, dan masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif,

menunjukkan kepada praktisinya apa yang harus dilakukan tanpa perlu

2

(43)

melakukan pertimbangan eksistensial atau epsitemologis yang panjang.

(Mulyana, 2006:9)

Paradigma Klasik merupakan gabungan dari paradigma positivisme dan

postpositivisme, menurut Guba. (Bungin, 2008 : 238)

Sedangkan dalam penelitian ini yang menggunakan pendekatan

kualitatif dan metode deskriptif, peneliti lebih mengggunakan paradigma post

positivisme yang berlawanan dengan positivisme dimana penelitian ini

menggunakan cara berpikir yang subjektif. Kebenaran subjektif dan

tergantung pada konteks value, kultur, tradisi, kebiasaan, dan keyakinan.

Natural dan lebih manusiawi. Post positivisme merupakan pemikiran yang

menggugat asumsi dankebenaran positivisme.

Dapat dikatakan bahwa post-positivisme sebagai reaksi terhadap

positivisme. Menurut pandangan post-positivisme, kebenaran tidak hanya

satu tetapi lebih kompleks, sehingga tidak dapat diikat oleh satu teori tertentu

saja.

“Karakteristik utama paradigma postpositivisme adalah pencarian

makna di balik data” (Muhadjir, 2000:79)

Peneliti melihat menggunakan paradigma postpositivisme untuk

mengetahui pandangan dan perasaan dari Hijabers dalam menjalin interaksi

di lingkungan kampus non muslim secara alamiah atau natural.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif.

Penulis buku penelitian kualitatif (Denzin dan Lincoln 1987) menyatakan

(44)

72

alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan

dengan melibatkan berbagai metode yang ada. (Moleong 2011:5)

Sebagaimana diungkapkan oleh Deddy Mulyana yang di kutip dari

bukunya “Pendekatan Kualitatif”.

“Penelitian kualitatif dalam arti penelitian kualitatif tidak

mengandalkan bukti berdasarkan logika matematis, prinsip angka, atau metode statistik. Penelitian kualitatif bertujuan mempertahankan bentuk dan isi perilaku manusia dan menganalisis kualitaskualitasnya, alih-alih mengubah menjadi entitas-entitas kuantitatif”. (Mulyana, 2006:150)

Secara harfiah metode deskriptif adalah metode penelitian untuk

membuat gambaran mengenai situaasi atau kejadian, sehingga berkehendak

mengadakan akumulasi data dasar. Dalam hal ini peneliti menggunakan

metode deskriptif untuk menggambarakan mengenai konsep diriHijabers

dalam menjalin interaksi di lingkungan kampus non muslim.

Menggambarkan dan menjelaskan secara nyata bagaimana konsep diri

seorang Hijabers yang berada di lingkungan kampus non muslim. Melihat

fenomena yang sudah menjadi hal biasa bila seorang muslimah mengenyam

pendidikan di lingkungan dengan mayoritas non muslim, sehingga kita dapat

melihat bagaimana konsep diri yang dibangun serta bagaimana memainkan

konsep dirinya di lingkungan dengan mayoritas non muslim di dalamnya.

Memberikan deskripsi yang mendalam pada penelitian ini.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka penelitian ini lebih tepat

menggunakan metode kualitatif . Menurut Prof. DR. Sugiyono dalam bukunya yang berjudul “Memahami Penelitian Kualitatif” mengatakan

(45)

“Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan

untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih

menekankan makna dari pada generalisasi.” (Sugiyono, 2012 : 1)

Pada hakikatnya, peneliti menggunakan metode kualitatif dalam penelitian ini, karena melihat karakteristiknya penelitian ini hanya bertujuan

untuk menggambarkan atau mendeskripsikan secara faktual dan cermat atau

dengan kata lain menggunakankonsep diri seabagai acuan fokus penelitian ini.

3.2.2 Teknik Pengumpulan Data 3.2.2.1 Tinjauan Pustaka

Salah satu kegiatan pokok dalam penelitian adalah kegiatan

mengumpulkan data penelitian sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

Teknik pengumpulan data kualitatif pada dasarnya bersifat tentatif karena

penggunaannya ditentukan oleh konteks permasalahan dan gambaran data

yang ingin diperoleh. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini,

menggunakan tinjauan pustaka sebagai berikut :

a. Studi Pustaka

Memahami apa yang diteliti, maka upaya untuk menjadikan

penelitian tersebut baik. Perlu adanya materi-materi yang diperoleh dari

pustaka-pustaka lainnya.

Menurut J.Supranto dalam buku Rosadi Ruslan, mengemukakan:

“Studi pustaka adalah “Teknik pengumpulan data yang dilakukan

(46)

74

referensi dan bahan-bahan publikasi yang tersedia diperpustakaan” (Ruslan, 2003:31)

Dengan hal ini, upaya penelitian yang dilakukan pun dapat menjadi

baik karena tidak hanya berdasarkan pemikiran sendiri selaku peneliti

melainkan pemikiran-pemikiran dan pendapat dari para ahli atau

penulis lainnya. Sehingga bisa dibandingkan serta referensi yang dapat

memberikan arah kepada peneliti.

b. Penulusuran Data Online

Teknik pengumpulan data lainnya adalah Penelusuran data online, menurut Burhan Bungin adalah:

“Tata cara melakukan penelusuran data melalui media online seperti

internet atau media jaringan lainnya yang menyediakan fasilitas online, sehingga memungkinkan peneliti dapat memanfaatkan data informasi online yang berupa data maupun informasi teori, secepat atau semudah mungkin dan dapat dipertanggungjawabkan secara

akademis.” (Bungin, 2008 : 148)

3.2.2.2 Tinjauan Lapangan

Penelitian lapangan (field research, field work) merupakan penelitian kehidupan sosial masyarakat secara langsung. Dengan kata

lain, field research observe people in the setting in which they live and participate in their day to day activities (Burgess, 1982 : 15). Fokus permasalahannya dapat ditentukan berdasarkan teori maupun keperluan

praktis di lapangan. Berdasarkan fokus permasalahan yang telah

ditetapkan, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara

(47)

a. Observasi Partisipan

Nasution (1988) menyatakan bahwa, observasi adalah dasar

ilmu pengetahuan. Para ilmuwan hanya dapat bekerja berdasarkan data,

yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi.

Data itu dikumpulkan dan sering dengan bantuan berbagai alat yang

sangat canggih, sehingga benda-benda yang sangat kecil (proton dan

electron) maupun yang sangat jauh (benda ruang angkasa) dapat

diobservasi dengan jelas.

Bagi Edwards dan Talbott (1994 : 77), All good practitioner research studies start with observation. Observasi bisa dihubungkan

dengan upaya merumuskan masalah, membandingkan masalah yang

dirumuskan dengan kenyataan di lapangan, pemahaman detail

permasalahan guna menemukan detail pertanyaan yang akan

dituangkan dalam daftar pertanyaan, serta untuk menemukan strategi

pengambilan data dan bentuk perolehan pemahaman yang dianggap

tepat.

Partisi aktif (active participation) : means that the researcher generally does what others in the setting do. Dalam observasi ini peneliti ikut melakukan apa yang dilakukan oleh nara sumber, tetapi

belum sepenuhnya lengkap.

Observasi partisipatif merupakan teknik berpartisipasi yang

sifatnya interaktif dalam situasi yang alamiah dan melalui penggunaan

(48)

76

(Moleong 2007 : 164) melengkapi definisi ini, bahwa observasi

partisipan, yangdalam istilah moleongnya adalah pengamatan berperan

serta, adalah pada dasarnya berarti mengadakan pengamatan dan

mendengarkan secara cermat mungkin sampai pada yang

sekecil-kecilnya sekalipun. Kemudian Bodgan (Moleong, 2007 : 164) juga

melengkapi bahwa observasi partisipan adalah penelitian yang

bercirikan interaksi sosial yang memakan waktu cukup lama antara

peneliti dengan subjek dalam lingkungan subjek, dan selama itu data

dalam bentuk catatan lapangan dikumpulkan secara sistematis dan

berjalan tanpa gangguan. (Djam‟an, 2009 : 117).

Lebih tepatnya pada penelitian ini peneliti melakukan observasi

partisipasi aktif (active participation). Menurut Prof Dr. Sugiyono

dalam bukunya yang berjudul “Memahami Penelitian Kualitatif”, Partisipasi aktif (active participation) adalah:

Means that the researcher generally does what others in the setting do. Dalam observasi ini peneliti ikut melakukan apa yang dilakukan oleh nara sumber, tetapi belum sepenuhnya lengkap.” (Sugiyono, 2010 :66)

Melalui kegiatan observasi peneliti melakukan catatan lapangan

atau memo analitik, dimana menurut Dr. Maryaeni, M.Pd dalam

bukunya yang berjudul “Metode Penelitian Kebudayaan” diartikan

sebagai:

“Teknik pengambilan data yang dilakukan melalui observasi

(49)

sebuah fokus permasalahan yang evidensinya diperoleh dari

berbagai dimensi.” (Maryaeni, 2005 : 72)

Sehingga saat akan melaksanakan observasi, peneliti melihat

bagaimana objek serta subjek dari penelitian. Dan membuat aktivitas

observasi yang dilakukan untuk mengetahui terlebih dulu bagaimana

kondisi dari lingkungan maupun subjek yang akan diteliti.

Dalam aktivitas demikian, tidak tertutup kemungkinan peneliti

kehilangan jejak sehingga tidak dapat sepenuhnya memaknai

sekumpulan data dan informasi yang terbaur secara akumulatif.

b. Wawancara Mendalam

Menurut Dr. Deddy Mulyana, M. A dalam bukunya yang berjudul “Metode Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan

Ilmu Sosial Lainnya” mengatakan bahwa :

“Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang,

melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi diri seseorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan,

berdasarkan tujuan tertentu.”(Mulyana, 2006:180).

Wawancara disini bermaksud untuk bisa mendapatkan informasi

berkaitan dengan penelitian yang sedang dilakukan yaitu tentang

konsep diriHijabers dalam menjalin interaksi di lingkungan kampus non

muslim.

Wawancara secara garis besar dibagi dua, yakni wawancara tak

terstruktur dan wawancara terstruktur. Wawancara tak terstruktur sering

juga disebut wawancara mendalam, wawancara intensif, wawancara

(50)

78

wawancara terstruktur sering juga disebut wawancara baku

(standardizesd interview), yang susunan pertanyaannya sudah

ditetapkan sebelumnya (biasanya tertulis) dengan pilihan-pilihan

jawaban yang juga sudah disediakan.

Wawancara dalam penelitian ini yang paling umum dan baik, adalah

wawancara yang terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang tidak memiliki

alternatif respon yang ditentukan sebelumnya. Atau yang lebih dikenal

sebagai wawancara tidak terstruktur atau juga wawancara mendalam.

Jenis wawancara ini akan mendorong subjek penelitian untuk

mendefinisikan dirinya sendiri dan lingkungannya, untuk menggunakan

istilah-istilah mereka sendiri mengenai objek penelitian, sehingga

sejalan dengan observasi partisipan. Dalam wawancara mendalam

peneliti berupaya mengambil peran subjek penelitian (taking the role of other), secara intim menyelam ke dalam dunia psikologis dan sosial

mereka.

Wawancara tidak terstruktur mirip dengan percakapan informal.

Metode ini bertujuan untuk memperoleh bentuk-bentuk tertentu

informasi dari semua responden, tetapi susunan kata dan urutannya

disesuaikan dengan ciri-ciri setiap responden. Wawancara tidak

terstruktur juga penting untuk memperoleh informasi di bawah

permukaan dan menemukan apa yang orang pikirkan dan rasakan

(51)

dilakukan kepada beberapa informan pengguna Hijab yang dipilih

berdasarkan kebutuhan peneliti.

c. Dokumentasi

Menurut Dr. Riduwan, M.B.A dalam bukunya “Dasar-dasar

Statistika”, yaitu :

Dokumentasi adalah “Ditujukan untuk memeperoleh data langsung

dari tempat penelitian, meliputi buku-buku yang relevan,

peraturan-peraturan, laporan kegiatan, foto-foto, film documenter, data yang

relevan penelitian.” (Riduwan, 2003 : 58)

Dokumentasi penelitian yang akan dilakukan menggunakan

beberapa media, penggunaan voice recorder yang merupakan salah satu aplikasi pada smartphone yang digunakan peneliti, kamera handphone,

digital camera dengan video recorder sebagai pelengkap dalam melakukan penelitian.

3.2.3 Teknik Penentuan Informan

Dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan populasi, karena

penelitian kualitatif berangkat dari kasus tertentu yang ada pada situasi sosial

tertentu dam hasil kajiannya tidak akan diberlakukan ke populasi, tetapi

ditransferkan ke tempat lain pada situasi sosial yang memiliki

kesamaandengan situasi sosial pada kasus yang dipelajari. Sampel dalam

penelitian kualitatif bukan dinamakan responden, tetapi sebagai nara sumber,

atau partisipan, informan, teman dan guru dalam penelitian. (Sugiyono, 2010

(52)

80

Adapun dalam penelitian ini, dalam menguraikan teknik penentuan

informan akan diperjelas dengan siapa subjek penelitian, informan maupun

informan pendukung dari penelitian ini, sebagai berikut:

1. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah sesuatu, baik orang, benda ataupun lembaga (organisasi), yang sifat-keadaannya (“attribut”-nya) akan diteliti. Dengan kata

lain subjek penelitian adalah sesuatu yang di dalam dirinya melekat atau

terkandung objek penelitian.3-4

Maka subjek penelitian ini merupakan pengguna Hijab yang berada di

lingkungan mayoritas non muslim, dimana objek penelitian adalah Hijabers

yang berada di dua Kampus Non Muslim yang berada di Bandung sebagai

tempat penelitian.

2. Informan

Informan (narasumber) penelitian adalah seseorang yang, karena memiliki informasi (data) banyak mengenai objek yang sedang diteliti,

dimintai informasi mengenai objek penelitian tersebut. Lazimnya informan

atau narasumber penelitian ini ada dalam penelitian yang subjek penelitiannya

berupa “kasus” (satu kesatuan unit), antara lain yang berupa lembaga atau

organisasi atau institusi (pranata) sosial.4

Informan memiliki nilai-nilai dan motifnya sendiri. Bukan tidak

mungkin akan terdapat pertentangan nilai, ataupun pertentangan maksud dan

tujuan antara informan dengan peneliti. Menjelaskan tujuan penelitian dan

3

http://tatangmanguny.wordpress.com/2009/04/21/subjek-responden-dan-informan-penelitian/

4

Gambar

Gambar 1.1 Salah satu informan dalam kegiatan aikido di kampus
Gambar 1.2 Salah satu informan dalam kegiatan organisasi kampus
Gambar 3.1
Tabel 3.1 Daftar Informan Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian dampak dari pelaksanaan program Kependudukan dan KB dari sisi guru akan mampu memperkuat fungsi dan peran guru sebagai role models sehingga guru

bahasa dalam iklan khususnya pada iklan pada Majalah Genie, tidak terlepas dari maksud dan tujuan bahasa itu digunakan dalam proses komunikasi antar individu atau

kuliner pedas khas Indonesia dengan baik. Bidang kuliner adalah salah satu tema yang menarik untuk diangkat ke dalam karya komik. Hal ini dibuktikan dengan adanya

Semester III Sejarah, perkembangan, dan tata upacara adat pengantin barat 2 X 100 menit. No.:RPP/TBB/KEC219 Revisi : 00

Taksi merupakan angkutan transportrasi yang penggunaannya memakai sistem sewa dan rute pengoperasiannya berdasarkan permintaan dari penumpang.Tidak seperti angkutan umum

Potensi pendanaan pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya pada APBD Kabupaten Klungkung dan. Provinsi lima tahun terakhir menunjukan fluktuasi perkembangan baik

Dari sini, kita dapat mengetahui bahwa MSPE merupakan ukuran yang lebih tidak reliabel untuk mengevaluasi kecocokan suatu model regresi dibandingkan dengan MSE, terutama

• Memenuhi kaidah penulisan ilmiah yg utuh (rumusan masalah, pemecahan masalah, dukungan teori mutakhir, kesimpulan dan daftar pustaka).. • Dalam bentuk buku