Interaksi Di Lingkungan Kampus Non Muslim)
S K R I P S I
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana S1 Pada Program Studi Ilmu Komunikasi Konsentrasi Humas
Oleh,
BELIA RACHMIANI NIM 41809096
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI KONSENTRASI HUMAS FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA B A N D U N G
xi 2.1 Tinjauan Tentang Penelitian Terdahulu Sejenis ... 14
2.2 Tinjauan Pustaka ... 22
2.2.1Tinjauan Tentang Ilmu Komunikasi ... 22
2.2.1.1Pengertian Tentang Komunikasi ... 22
2.2.1.2Fungsi Komunikasi ... 25
2.2.1.3Unsur-unsur Komunikasi ... 27
xii
2.2.2.2Tahap Komunikasi Antarpribadi ... 32
2.2.2.3Faktor-faktor Pembentuk Komunikasi Antarpribadi.... 34
2.2.2.4Jenis-jenis Komunikasi Antarpribadi ... 35
2.2.3 TinjauanTentang Psikologi Komunikasi ... 36
2.2.3.1Definisi Psikologi Komunikasi ... 36
2.2.3.2Ruang Lingkup Psikologi Komunikasi ... 36
2.2.3.3Penggunaan Psikologi Komunikasi ... 37
2.2.4 Tinjauan Tentang Konsep Diri ... 38
2.2.4.1Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri ... 40
2.2.4.2Konsep Diri dan Komunikasi ... 41
2.2.5 Tinjauan Tentang Interaksi Sosial ... 42
2.2.5.1Syarat-syarat Terjadinya Interaksi Sosial ... 44
2.2.5.2Jenis-jenis Interaksi Sosial ... 46
2.3 Kerangka Pemikiran ... 47
2.3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ... 47
2.3.2 Kerangka Pemikiran Konseptual... 54
BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian ... 56
3.1.1 Sejarah Hijab dan Perkembangannya ... 56
3.1.2 Perkembangan Hijab di Indonesia... 68
3.2 Metode Penelitian... 70
3.2.1Desain Penelitian... 70
3.2.2Teknik Pengumpulan Data ... 73
3.2.2.1Tinjauan Pustaka ... 73
3.2.2.2Tinjauan Lapangan ... 74
3.2.3 Teknik Penentuan Informan ... 79
3.2.4 Teknik Analisa Data ... 84
xiii
3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 87
3.3.1 Lokasi Penelitian ... 88
3.3.2 Waktu Penelitian ... 88
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Hasil Observasi ... 92
4.2 Deskripsi Identitas Informan & Informan Pendukung Penelitian ... 96
4.2.1Informan ... 96
4.2.2Informan Pendukung ... 103
4.3 Deskripsi Hasil Penelitian ... 108
4.3.1Pandangan Hijabers dalam Menjalin Interaksi di Lingkungan Kampus Non Muslim ... 108
4.3.2Perasaan Hijabers dalam Menjalin Interaksi di Lingkungan Kampus Non Muslim ... 122
4.3.3Konsep Diri Hijabers dalam Menjalin Interaksi di Lingkungan Kampus Non Muslim ... 129
4.4 Pembahasan Hasil Penelitian ... 136
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 143
5.2 Saran ... 144
DAFTAR PUSTAKA ... 146
LAMPIRAN – LAMPIRAN ... 150
xiv
Tabel 2.2 Tujuan Komunikasi ... 30
Tabel 3.1 Daftar Informan Penelitian ... 82
Tabel 3.2 Daftar Informan Pendukung ... 83
Tabel 3.3 Waktu dan Kegiatan Penelitian ... 89
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Salah satu informan dalam kegiatan Aikido di kampus ... 3
Gambar 1.2 Salah satu informan dalam kegiatan organisasi kampus ... 4
Gambar 2.1 Johari Windows ... 41
Gambar 2.2 Kerangka Pikir Peneliti ... 55
Gambar 3.1 Berbagai model kerudung dalam tradisi keagamaan ... 66
Gambar 3.2 Komponen-komponen Analisa Data Model Kualitatif ... 85
Gambar 4.1 Informan Poppy ... 96
Gambar 4.2 Informan Nadia ... 98
Gambar 4.3 Informan Tata ... 100
Gambar 4.4 Informan Shelly ... 102
Gambar 4.5 Informan Pendukung Lidya ... 104
Gambar 4.6 Informan Pendukung Jelita ... 105
Gambar 4.7 Informan Pendukung Bu Anggi ... 107
Gambar L.1 Universitas Kristen Maranatha (Salah satu tempat penelitian) ... 225
Gambar L.2 Universitas Kristen Maranatha (Salah satu tempat penelitian) ... 225
Gambar L.3 Universitas Katolik Parahyangan (Salah satu tempat penelitian) ... 226
Gambar L.4 Universitas Katolik Parahyangan (Salah satu tempat penelitian) ... 226
Gambar L.5 Peneliti dengan Informan ... 227
Gambar L.6 Peneliti dengan Informan ... 227
Gambar L.7 Informan dengan Teman-teman Kampusnya ... 228
Gambar L.8 Informan dengan Teman-teman Kampusnya ... 228
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Izin Penelitian di UNPAR ... 150
Lampiran 2 Surat Izin Penelitian di Universitas Kristen Maranatha... 151
Lampiran 3 Surat Persetujuan Menjadi Pembimbing ... 152
Lampiran 4 Berita Acara Bimbingan ... 153
Lampiran 5 Surat Rekomendasi Pembimbing Untuk Mengikuti Seminar Usulan Penelitian ... 154
Lampiran 6 Surat Pengajuan Pendaftaran Seminar Usulan Penelitian ... 155
Lampiran 7 Lembar Revisi Usulan Peneitian ... 156
Lampiran 8 Surat Rekomendasi Pembimbing Untuk Mengikuti Sidang Sarjana . 157 Lampiran 9 Surat Pengajuan Pendaftaran Ujian Sidang Sarjana ... 158
Lampiran 10 Pedoman Observasi ... 159
Lampiran 11 Hasil Observasi ... 162
Lampiran 12 Pedoman Wawancara ... 165
Lampiran 13 Data Informan ... 182
Lampiran 14 Hasil Wawancara ... 189
Lampiran 15 Lembar Revisi Skripsi ... 225
Lampiran 16 Dokumentasi foto-foto ... 226
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU-BUKU
Bachtiar, Wardi, M,S. 2006. Sosiologi Klasik dari Comte hingga Parsons. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Bungin, Burhan, H.M. 2007. Penelitian Kualitatif (Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya). Jakarta : Kencana.
Cangara, Hafied. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada.
Effendy, Onong Uchjana. 2011. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Hardy, Malkcom & Heyes, Steve. 1988. Pengantar Psikologi (Edisi ke 2). Jakarta: Erlangga.
Hidayat, Dedy N. 2003. Paradigma dan Metodologi Penelitian Sosial Empirik Klasik. Jakarta: Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia.
Muhadjir, Noeng. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi IV. Yogyakarta: Rake Sarasin·
147
Mulyana, Deddy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya.
______________. 2010. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya.
Moleong, Lexy J. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Patton, Michael Quinn. 2002. Qualitative Research and Evaluation Methods, 3rd Edition. Thousand Oaks, California: Sage Publication, Inc.
Rakhmat, Jalaludin. 2009. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
______________.2008. Psikologi Komunikasi: Edisi Revisi (Cetakan keduapuluh
enam). Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Riduwan. 2010. Dasar-Dasar Statistika. Bandung : Alfabeta
Sendjaja, Sasa Djuarsa. 1993. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta : Universitas Terbuka.
Soekanto, Soerjono. 2005. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung :
Alfabeta.
________. 2010. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta.
Syam, Nina W. 2012. Psikologi Sosial Sebagai Akar Ilmu Komunikasi. Bandung : Simbiosa Rekatama Media.
Widjaja, H. A. W. 2000. Ilmu Komunikasi Pengantar Studi. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Zeitlin, Irving M. 1995. Memahami Kembali Sosiologi. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
B. INTERNET
http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/2184397-pengertian-hijab-dan-keutamaannya/#ixzz28oOhTo00/Kamis 21 Maret 2013/Pukul 08:20
wib.
http://hijaberscommunity.blogspot.com/ Kamis 21 Maret 2013/Pukul 09:08 wib.
http://quanesha.com/hijabers-community-tren-baru-berbusana-muslim-yang-modis-dan-modern/Kamis 28 Maret 2013/Pukul 12.32 wib.
http://www.kerudungbandung.com/sharing/sejarah-kerudunghijabjilbab-dan-
perkembanganya-perspektif-pembacaan-perkembangan-budaya-materi/Jum’at 19 April 2013/pukul 9.23 wib
http://www.al-shia.org/html/id/service/maqalat/037.htm/Jum’at 19 April
2013/Pukul 10.14 wib.
149
C. JURNAL
E-Journal/ejournal.umm.ac.id/KONSEP DIRI DENGAN KONFROMITAS
PADA KOMUNITAS HIJABERS/ Januari 2013/Mutia Andriani dan Ni’matuzahroh
D. KARYA ILMIAH
Gultom, Otto. 2011. Pola Interaksi Sosial Siswa/i Berbeda Agama (Studi Analisa Deskriptif : Yayasan Perguruan RaksanaSMA Swasta Raksana Medan). Medan : Universitas Sumatera Utara.
Yana, Hendra. 2012. Konsep Diri Pengguna Tato Dikalangan Mahasiswa Kota Bandung Sebagai Gaya Hidupnya. Bandung : Universitas Komputer
Indonesia.
Amelia, Lia. 2012. Konsep Diri Anggota Hijabers Community Bandung. Bandung
1
1.1Latar Belakang Masalah
Sebutan Hijabers sebagai panggilan yang sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia khususnya di Kota Bandung, menjadikan nama baru bagi
identitas seorang muslimah yang mengenakan Hijab sebagai penutup aurat.
Dimana istilah bagi muslimah yang mengenakan penutup aurat mengalami
perkembangan secara kebudayaan atau tradisi, meskipun pada sejarahnya istilah
Jilbab lebih awal dikenal oleh masyarakat Indonesia daripada Hijab.
Dalam istilah yang mengandung artian sama antara Jilbab dan Hijab
memberikan paradigma baru bagi masyarakat yang melihat Hijab sebagai istilah
seorang muslim yang mengenakan Jilbab dengan bergaya atau memiliki gaya
tersendiri yang baru dari seorang muslimah yang menggunakan Jilbab pada
umumnya sebagai penutup aurat yang wajib dikenakan oleh muslimah yang telah
baligh atau dapat dikatakan mengerti mana baik dan buruk bagi dirinya. Karena
menutup aurat bagi kaum muslimah hukumnya wajib, hal tersebut telah tertulis
dalam Al-Qur‟an sebagai pedoman kitab suci umat Islam.
Berawal dari sebuah komunitas dengan sebutan Hijabers Community istilah
Hijabers muncul, dengan kata dasar Hijab. Mengenal istilah Hijab itu sendiri
2
penampilan dan perilaku manusia setiap harinya. Berikut dalam terjemahan Al
Qur'an surat Al-Ahzab ayat 59 contoh kecil hijab wanita
Hai Nabi, katakanlah kepada isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mukmin:
"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS: Al-Ahzab : 59)
Dan diterangkan lebih rinci oleh 'Ulama islam, Muhammad Nashiruddin Al-Albany’, mengatakan kriteria jilbab yang benar hendaklah menutup seluruh badan, kecuali wajah dan dua telapak , jilbab bukan merupakan perhiasan, tidak
tipis, tidak ketat sehingga menampakkan bentuk tubuh, tidak disemprot parfum,
tidak menyerupai pakaian kaum pria atau pakaian wanita-wanita kafir dan bukan
merupakan pakaian untuk mencari popularitas.1 Hijab juga menutup lekuk tubuh
wanita.
Di kota Bandung istilah Hijabers kian digunakan sehingga menjadi istilah yang tidak asing lagi di dengar oleh masyarakat, kemudian melihat banyaknya
muslimah yang menggunakan Hijab peneliti melihat bahwa ada minoritas
Hijabers yang menggunakan Hijabnya di lingkungan mayoritas non muslim di
dalamnya. Seperti mahasiswi yang menuntut ilmu di kampus non muslim di kota
Bandung, meskipun menggunakan Hijab sebagai identitasnya sebagai seorang
muslim, mereka mengenyam studi di kampus yang notabene memiliki identitas
kekhususan agama. Baik itu Universitas Kristen maupun Katolik.
1
Gambar 1.1
Salah satu informan dalam kegiatan aikido di kampus
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2013
Dikategorikan sebagai kampus non muslim bukan berarti Universitas tersebut
tidak memperbolehkan mahasiswa atau mahasiswinya memeluk agama selain dari
pada identitas kampus tersebut, melainkan hanya menjadi identitas yang
memperjelas adanya simbol-simbol keagamaan di dalam kampus tersebut. Seperti
halnya di kampus Kristen akan berbeda dengan kampus umum yang tidak
memiliki kekhususan keagamaan sebagai identitasnya, dimana kampus Kristen
akan banyak simbol-simbol keagamaan yang mencirikan identitas agama.
Dengan adanya toleransi beragama, Hijabers yang melakukan studinya di lingkungan kampus dengan mayoritas non muslim di dalamnya akan berpengaruh
dalam proses interaksinya. Sehingga proses interaksi yang dilakukan akan berbeda
dengan Hijabers yang berada di lingkungan mayoritas muslim di sekitarnya,
4
Gambar 1.2
Salah satu informan dalam kegiatan organisasi kampus
Sumber : Dokumentasi Informan
Melihat keberagaman beragama dalam satu lingkungan yang berbeda, menjadi hal yang biasa di Indonesia. Karena dengan beragamnya kebudayaan, agama dan bahasa membuat setiap kampus akan memberikan toleransi tersendiri. Walaupun simbol-simbol yang terdapat pada kampus dengan mencirikan kekhususan beragama di dalamnya, masih memberikan toleransi beragama. Sehingga dengan kampus dengan kekhususan agama keristen atau katolik, masih ada toleransi bagi mahasiswa atau mahasiswinya di luar dari kekhususan agama tersebut untuk studi di kampus tersebut, meskipun dengan angka yang minimal sebagai minoritas.
Di Indonesia interaksi dalam bentuk non formal biasanya menggunakan
bahasa-bahasa yang ringan, meskipun dilihat dari kehidupan sehari-hari bahasa
yang digunakan sangat beragam. Mulai dari bahasa gaul, atau bahasa gaul dengan
campuran aksen bahasa daerah yang beraneka ragam. Membuat proses
komunikasi akan sangat berwarna dan tidak monoton. Walaupun terkadang
lain tidak memahami dengan mendalam, karena hambatannya berada pada
konteks komunikasi yakni penggunaan bahasa yang berbeda. Mungkin akan
terlihat canggung, dan keragu-raguan.
Interaksi yang telah dikemukakan oleh Homans (dalam Ali, 2004: 87)
mendefinisikan interaksi sebagai suatu kejadian ketika suatu aktivitas yang
dilakukan oleh seseorang terhadap individu lain diberi ganjaran atau hukuman
dengan menggunakan suatu tindakan oleh individu lain yang menjadi
pasangannya. Konsep yang dikemukakan oleh Homans ini mengandung
pengertian bahwa interaksi adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam interaksi merupakan suatu stimulus bagi tindakan individu lain yang
menjadi pasangannya.2
Dalam kehidupan sehari-hari peneliti ingin mengetahui apakah interaksi
dalam lingkungan kecil pada masyarakat akan membentuk suatu konsep diri atau
hanya memerankan konsep diri yang terbentuk dengan adanya pengaruh
disekitarnya. Interaksi dalam masyarakat, khususnya dalam bentuk kelompok
kecil dalam lingkungan tertentu akan membentuk konsep diri seseorang, bahkan
akan membangun konsep dirinya dengan ineteraksi dalam lingkungannya.
Memperlihatkan bahwa proses komunikasi dapat membentuk dan menampilkan
konsep diri yang berbeda, tergantung dari cara seseorang melihat apa yang ada
dalam dirinya, dan apa yang bisa membuat dirinya membangun konsep diri sesuai
dengan lingkungannya.
2 http://belajarpsikologi.com/pengertian-interaksi-sosial/dikutip pada hari kamis 21 Maret 2013/pukul 09:20
6
Pada lingkungan yang berada di sekitar individu akan mempengaruhi
bagaimana individu tersebut memerankan konsep dirinya, membangun konsep
dirinya sesuai dengan pengaruh-pengaruh yang berada disekitarnya. Begitu pula
dengan seseorang dengan lingkungan kecil, seperti disekitar kampus. Kampus
merupakan tempat pendidikan yang akan mempengaruhi bagaimana proses
interaksi dapat berjalan dengan baik atau malah kurang baik. Dan bahkan dalam
lingkungan kampus seseorang akan menutupi jati dirinya, dengan memerankan
konsep dirinya.
Konsep diri dari setiap individu akan ada banyak hal yang mempengaruhinya,
baik itu lingkungan pertemanan, sosial dan masyarakat. Bagaimana konsep diri di
bangun untuk kelangsungan interaksi diantara individu-individu yang ada
disekitar kita. Menempatkan diri menjadi salah satu acuan terpenting dalam
proses pembentukan konsep diri. Dimana setiap individu pasti akan menyesuaikan
diri atau beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya.
Konsep diri juga dapat didefinisikan secara umum sebagai keyakinan,
pandangan atau penilaian seseorang terhadap dirinya. Definisi lain menyebutkan
bahwa konsep diri merupakan semua perasaan dan pemikiran seseorang mengenai
dirinya sendiri. Menurut Prof. DeddyMulyana, M.A., Ph.D. Konsep diri adalah pandangan individu mengenai siapa diri individu, dan itu bisa diperoleh lewat
informasi yang diberikan lewat informasi yang diberikan orang lain pada diri
individu (Mulyana, 2010:8).
Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa konsep diri yang dimiliki individu
mengenai dirinya. Individu akan mengetahui dirinya cantik, pandai, atau ramah
jika ada informasi dari orang lain mengenai dirinya.
Konsep diri meliputi kemampuan, karakter diri, sikap, tujuan hidup,
kebutuhan dan penampilan diri. Those physcial, social and pshycological perceptions of ourselves that we have derived from experiences and our
interaction with others Brooks (dalam Nina W, 2012 : 55).
Menurut Mead, seperti juga Cooley, menganggap bahwa konsep diri adalah
suatu proses yang berasal dari interaksi sosial individu dengan orang lain. Cooley
mendefinisikan diri sebagai sesuatu yang dirujuk dalam pembicaraan biasa
melalui kata ganti orang pertama tunggal, yaitu “aku” (I),“daku” (me), “milikku”
(mine), dan “diriku” (myself). Ia mengatakan bahwa segala sesuatu yang dikaitkan dengan diri menciptakan emosi lebih kuat daripada yang dikaitkan dengan diri,
bahwa diri dapat dikenal hanya melalui perasaan subjektif.
Menurut Cooley sebagaimana dikutip oleh Deddy Mulyana, unsur-unsur diri
adalah:
“Suatu gagasan-diri seperti agaknya mempunyai unsur: imajinasi penampilan kita bagi orang lain; imajinasi penampilannya atas penampilan tersebut; dan sejenis perasaan-diri (self-feeling), seperti kebanggaan atau malu. (Mulyana :
2006)”
Menurut Prof. DR. Nina W. Syam, M.S. Konsep diri dapat berupa sisi negatif dan positif:
“Perubahan konsep diri ini akan membuat seseorang dengan konsep diri
positif akan bertahan dengan perbedaan disekitarnya, dimana seseorang yang memiliki konsep diri yang positif akan terlihat lebih optimis, penuh percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, juga terhadap kegagalan yang dialaminya. Sedangkan dengan konsep diri negatif hal yang
8
Kemudian Brooks (dalam Rahmat, 2002 : 99) memaparkan bahwa konsep diri
merupakan persepsi terhadap diri sendiri, baik fisik, sosial, maupun psikologis,
yang didasarkan pada pengalama-pengalaman dan hasil interaksi dengan orang
lain.
Sedangkan konsep diri menurut Calhoun dan Accocella (1990 : 67) adalah
pandangan mengenai diri sendiri. Pandangan mengenai diri sendiri tersebut
merupakan suatu proses mental yang memiliki tiga dimensi, yaitu pengetahuan,
pengharapan, dan penilaian mengenai diri sendiri. Pengetahuan individu mengenai
diri dan gambarannya berarti bahwa dalam aspek kognitif individu yang
bersangkutan terdapat informasi mengenai keadaan dirinya, seperti nama, usia,
jenis kelamin, pekerjaan, suku bangsa. Dimensi yang kedua adalah harapan
individu di masa mendatang. Dimensi ini juga disebut dengan diri ideal, yaitu
kekuatan untuk mendorong individu untuk menuju ke masa depan. Dimensi yang
terakhir, penilaian terhadap diri sendiri, merupakan perbandingan antara
pengharapan diri dengan standar diri yang akan menghasilkan harga diri.
Begitu besar pengaruh konsep diri bagi seorang individu yang berbeda di
dalam lingkungan sosialnya, akan membuat penilain baru terhadap hal-hal yang
menyangkut pada individu terkait. Dimana kepribadian diri seseorang menjadi
penentu bagaimana seseorang bersikap dan bertingkah laku.
Realita yang tidak bisa dipungkiri oleh setiap orang bahwa konsep diri dapat
terbentuk maupun dimainkan oleh setiap individu, tergantung dari seseorang
Dalam memerankan konsep dirinya, setiap individu akan melihat bagaimana
bentuk dari komunikasi antarpribadi yang ada dalam dirinya.
Hal terpenting adalah diri (self). Siapa anda dan bagaimana anda mempresepsikan diri sendiri dan orang lain akan mempengaruhi komunikasi anda
dan tanggapan anda terhadap komunikasi orang lain. Dalam unit ini, peneliti
mendalami dua aspek dari diri (self). Membahas bentuk komunikasi dimana seseorang mengungkapkan sesuatu tentang siapa diri (Johari Window, Joseph
Luft). Kesadaran diri merupakan landasan bagi semua bentuk komunikasi. Yakni
dalam diri memiliki empat jendela yang memperlihatkan seberapa besar dari
wilayah jendela diri kita yaitu, wilayah terbuka, buta, tersembunyi dan tak
dikenal. Dalam empat jendela tersebut, setiap individu memiliki sisi yang tidak
sama. Dimana setiap orang akan berbeda konsep diri yang diperankannya. Akan
berbeda pula paradigmanya dalam melihat sesuatu di dalam dirinya sendiri.
Konsep diri merupakan faktor yang sangat menentukan dalam komunikasi
interpersonal atau antarpribadi, karena setiap orang bertingkah laku sedapat
mungkin sesuai dengan konsep dirinya. William D.Brooks (dalam Rakhmat,
2008:99) mengatakan bahwa konsep diri adalah pandangan dan perasaan
seseorang tentang diri kita. Persepsi tentang diri ini dapat bersifat psikologi,
sosial, maupun fisis.
Terkait dengan komunikasi antar pribadi, dimana setiap individu memiliki
konsep dirinya masing-masing. Peran dari suatu kelompok akan mempengaruhi
berlangsungnya proses interaksi disekitarnya. Setiap individu perlu untuk
10
membangun konsep diri yang baik dengan proses interaksi yang digunakan.
Apakah lebih kepada kelompok kecil atau bisa disebut dengan komunitas, yang
positif maupun negatif. Pada penelitian ini, peneliti melihat pada konsep diri
individu yang berada pada lingkungan mayoritas non muslim yang notabene
adalah lingkungan kampusnya dimana proses interaksi berlangsung dalam waktu
yang tidak sebentar, namun lingkungan keluarga merupakan mayoritas muslim di
dalamnya.
Sehingga peneliti tertarik dalam melihat bagaimana konsep diri yang ada
pada seorang Hijabers yang berada di lingkungan kampus non muslim dapat
melakukan proses interaksi dengan teman-teman, dosen serta orang-orang yang
berada di sekitarnya.
1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Pertanyaan Makro
Berdasarkan dari latar belakang yang dikemukakan di atas, maka
peneliti merumuskan masalah penelitian berdasarkan pertanyaan makro
sebagai berikut, “Bagaimana Konsep Diri Hijabers dalam Menjalin Interaksi di Lingkungan Kampus Non Muslim?”
1.2.2 Pertanyaan Mikro
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka peneliti menyusun
pertanyaan mikro sebagai berikut :
1. Bagaimana pandangan Hijabers dalam menjalin interaksi di lingkungan kampus non muslim?
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud penelitian
Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara mendalam, dengan menganalisis dan menceritakan Tentang Konsep Diri Hijabers dalam Menjalin Interaksi di Lingkungan Kampus Non Muslim.
1.3.2 Tujuan Penelitian
Untuk mencapai hasil yang optimal terlebih dahulu perlu tujuan yang terarah mengacu pada rumusan masalah dalam penelitian ini. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahuai pandangan Hijabers dalam menjalin interaksi di lingkungan kampus non muslim.
2. Untuk mengetahui perasaan Hijabers dalam menjalin interaksi di lingkungan kampus non muslim.
1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis
Penelitian ini berguna secara teoritis sebagai bahan acuan dan kajian
lebih dalam pengembangan ilmu komunikasi secara umum, serta berguna
untuk pengembangan ilmu komunikasi antar pribadi dan psikologi komunikasi
secara khusus. Mengkaji interaksi sosial yang merupakan bahan dari
pengembangan ilmu komunikasi, komunikasi antar pribadi dan psikologi
12
1.4.2 Kegunaan Praktis
1. Kegunaan Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menambah ilmu
pengetahuan peneliti dalam bidang psikologi komunikasi dengan ruang
lingkup ilmu komunikasi, khususnya mengenali konsep diri Hijabers di kampus non muslim dalam menjalin interaksi di lingkungan kampusnya.
Mengetahui bagaimana inetraksi yang berjalan dalam lingkungan
mayoritas non muslim sebagai Hijabers atau pengguna Hijab. Memberikan referensi ilmu dalam kajian bidang psikologi komunikasi
sebagai ilmu yang dibutuhkan untuk melihat bagaimana konsep diri yang
dibangun oleh Hijabers yang berada di lingkungan minoritas muslim di perguruan tinggi non muslim. Serta menambah referensi pengetahuan
mengenai interaksi yang terjalin dalam lingkungan mayoritas non muslim
dengan menggunakan Hijab sebagai identitas diri seorang muslimah.
2. Kegunaan Bagi Universitas
Penelitian ini berguna bagi seluruh mahasiswa UNIKOM secara
umum untuk menambah referensi ilmu komunikasi sebagai wawasan
ilmu yang umum, dan menambah referensi mengenai konsep diri yang
menjadi bagian dari ilmu psikologi komunikasi secara umum serta ilmu
komunikasi secara khusus. Secra khusus penelitian ini dapat berguna
bagi Program Studi Ilmu Komunikasi dengan konsentrasi Humas, untuk
UNIKOM bukan merupakan Universitas yang memberikan identitas
kekhususan agama di dalamnya.
3. Kegunaan Bagi Hijabers
Adapun penelitian ini dapat berguna bagi Hijabers untuk mengetahui
bagiamana konsep diri yang terbentuk bila berada pada lingkungan
minoritas, pandangan terhadap diri dan lingkungan yang akan mengubah
konsep diri. Memberikan acuan sebagai tambahan informasi, evaluasi
diri serta memperlihatkan pandangan lain pada Hijabers yang berada pada lingkungan yang sama dan bagaimana cara melihatnya dari sisi lain
dari anggota komunitas yang mayoritas muslim sebagaimana adanya
56 BAB III
OBJEK DAN METODE PENELITIAN
3.1 Objek Penelitian
3.1.1 Sejarah Hijabdan Perkembangannya
Menurut Islam hijab memiliki makna yang lebih luas dari
kesederhanaan, privasi dan moralitas. Ini berarti hijab sebagai tirai dalam
bahasa Arab sedangkan definisi metafisik „al-hijab‟ adalah tabir yang
memisahkan laki-laki atau dunia dari Allah.
Hijab telah menjadi bagian penting dalam tradisi Islam sejak tahun
1970-an. Pendapat tentang bagaimana pakaian yang harus dikenakan
bervariasi dari orang ke orang dalam iman Islam.
Di dalam Alquran jilbab tidak disebut sebagai sebuah artikel dari
pakaian Islam bagi perempuan atau laki-laki, bukan sebagai tirai rohani.
Alquran memerintahkan Muslim laki-laki untuk berbicara dengan para
perempuan umat Muhammad SAW hanya di belakang hijab. Masalah
kesederhanaan dalam Al-Qur‟an berlaku untuk laki-laki dalam menatap
perempuan, busananya dan alat kelamin.
Wanita diharapkan untuk memakai jilbabs di depan umum untuk
mencegah mereka dari bahaya. perempuan muslim diwajibkan untuk
mengenakan jilbab di depan setiap orang yang mereka secara teoritis bisa
menikah. Oleh karena itu tidak harus dipakai di depan ayah, saudara, kakek,
paman atau anak-anak muda. Hal ini juga tidak diwajibkan untuk
Islam unik tergantung tafsirankan masing-masing individu sesuai dengan
keyakinan mereka yang spesifik. Beberapa wanita memakai pakaian yang
menutupi tubuh seluruhnya dan hanya menyisakan mata mereka yang bisa
dilihat; sedangkan yang lain hanya merasa perlu untuk menutupi rambut
mereka dan belahan dadanya saja.
Aturan umumnya longgar untuk wanita tua. karena wanita yang tua
umumnya sudah pernah menikah tapi walau bagaimanapun disarankan untuk
berbusana yang baik menurut islam dan tetap tidak boleh membuat tampilan
nakal dengan keindahan tubuh mereka.
Kerudung/Hijab/Jilbab adalah istilah yang digunakan oleh setiap muslim, dengan perkembangannya dengan banyak bahasa dan kebudayaan
yang mempengaruhi. Tentu akan membuat setiap orang bingung apabila
artiannya adalah sama dari ketiga istilah tersebut.
Kerudung dalam bahasa Arabnya adalah khimar, Allah SWT berfirman
(artinya),"…Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya…"
(QS An-Nur : 31). Dalam ayat ini, terdapat kata khumur, yang merupakan
bentuk jamak (plural) dari khimaar. Arti khimaar adalah kerudung, yaitu
apa-apa yang dapa-apat menutupi kepala (maa yughaththa bihi ar-ra`su). (Tafsir
Ath-Thabari, 19/159; Ibnu Katsir, 6/46; Ibnul Arabi, Ahkamul Qur`an, 6/65 ).
Sedangkan Jilbab, diawali dengan uraian pada Al-Qur‟an ayat 59 dari
surat al-Ahzab yang disebut di atas: dalam surat al-ahzab ayat 59 yang
artinya: Hai Nabi, katakanlah kepada istrimu, putri-putrimu, dan
58
mereka”. Dengan pakaian serupa itu, mereka lebih mudah untuk dikenal,
maka mereka tidak diganggu lagi dan Allah senantiasa Maha Pengampun dan
Maha Penyayang. Kata jibab, jamaknya jalabib, berasal dari Al-Qur‟an
seperti termaktub di dalam surat al-Ahzab ayat 59. Secara lughawi, kata ini
berarti “pakaian (baju kurung yang longgar)”. Dari pengertian lughawi ini,
Prof. Quraish Shihab mengartikannya sebagai “baju kurung yang longgar
dilengkapi dengan kerudung penutup kepala”. Menurut Ibnu Abbas dan
Qatadat, sebagaimana dikutip oleh Abu Hayyan, Jilbab ialah: “pakaian yang
menutup pelipis dan hidung meskipun kedua mata permakainnya terlihat,
namun tetap menutup dandan dan bagian mukanya”. Meskipun banyak
pendapat yang dikemukakan berkenaan dengan pengertian jilbab ini, namun
semua pendapat tersebut mengacu pada satu bentuk pakaian yang menutup
sekujur tubuh pemakainya.
Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan istilah Hijab. Bukan
Kerudung atau Jilbab dalam setiap penjelasannya, karena penggunaan istilah
baru yang dikenal oleh masyarakat Indonesia saat ini dan menjadi budaya
baru sebagai identitas muslimah menjadi daya tarik tersendiri bagi peneliti
dalam penelitian ini. Sehingga Hijab menjadi sebuah budaya materi yang
mengalami perkembangan yang cukup signifikan dalam konteks cara
pandang si pembuat dan pemakainya, dan berakibat pada perubahan makna
dan model Hijab itu sendiri.
Sehingga menurut hemat penulis dengan Hijab itu sendiri akan cukup
beberapa sumber yang saya baca, baik itu buku-buku bernuansa Islami,
maupun di beberapa blog yang tersebar di internet dengan kata kunci
pencarian “Sejarah Hijab” muncul berbagai pengetahuan mengenai asal mula
munculnya Hijab sebagai penutup bagi kaum wanita, bahkan bukan hanya
bagi kaum muslimin saja, melainkan umat selain umatnya Rassulullah SAW.
Dijelaskan dalam beberapa buku dan sumber yang telah saya baca,
bahwa telah terdapat Hijab di Iran Kuno dan kaum Yahudi. Begitu pula di
India, terdapat kemungkinan adanya hijab. Namun Hijab yang terdapat di
semua kaum ini lebih ketat dari Hijab yang terdapat dalam hukum Islam.
Adapun di kalangan kaum Arab Jahiliyah tidak terdapat Hijab, karena hijab
muncul di kalangan Arab melalui perantaraan agama Islam.
Dijelaskan dalam blognya oleh Murtadha Matahharidikutip dari buku
The History of Civilization (Sejarah Peradaban) tentang kaum Yahudi dan kitab Talmud, Will Durant menuliskan:
“Apabila seorang wanita melanggar ketentuan-ketentuan hukum Yahudi, seperti keluar rumah tanpa mengenakan sesuatu yang
menutupi kepalanya…dan berkumpul dengan orang-orang atau mengungkapkan perasaannya pada laki-laki atau berbicara dengan suara keras sehingga terdengar oleh tetangga maka suaminya berhak mentalaknya tanpa memberikan mahar.”1
Oleh karena itu, Hijab yang terdapat pada kaum Yahudi lebih keras dan
lebih berat dari Hijab Islam—sebagaimana yang akan dipaparkan pada
pembahasan berikutnya secara terperinci.
Dalam buku yang sama yang telah ditulis ulang dalam blog milik
Murtadha Matahhari, berkaitan dengan masyarakat Iran Kuno, Will Durant
1
60
berkata: “Di zaman Majusi—Zoroaster(penyembah api)—wanita mempunyai
kedudukan yang tinggi, mereka berinteraksi dengan masyarakat dengan bebas
dan wajah tanpa penutup...”2-7
Lantas ia melanjutkan perkataannya:
“Setelah zaman Darwisy kedudukan wanita menjadi rendah, khususnya mereka yang berasal dari kalangan elit (kaya). untuk Para wanita miskin terpaksa harus keluar rumah bekerja, berkumpul dengan orang-orang dan harus melindungi diri mereka sendiri. Sedangkan kebiasaan para wanita mengurung diri di dalam rumah ketika sedang haid terus berlangsung sehingga akhirnya aktivitas sosial mereka terhenti dan hal inilah yang kemudian dianggap sebagai penyebab munculnya hijab di kalangan kaum muslimin. Para wanita dari kalangan sosial atas juga tidak berani untuk keluar rumah kecuali dengan memakai penutup muka. Mereka tidak pernah diberi izin untuk berhubungan dengan laki-laki secara terang-terangan. Bahkana para wanita yang telah bersuami tidak berhak melihat laki-laki lain walaupun laki-laki itu adalah ayah atau saudara laki-laki mereka sendiri. Dari peninggalan lukisan-lukisan Iran Kuno tidak terlihat satu pun paras muka seorang wanita, begitu pula namanya...”(Ibid 3)
Berdasarkan penjelasan Will Durant ini, maka jelaslah bahwa Hijab
yang sangat ketat berlaku di Iran Kuno sehingga ayah dan saudara laki-laki
sekalipun dianggap bukan muhrim bagi wanita yang telah bersuami. Lebih
jauh, Will Durant berpendapat bahwa peraturan keras adat dan agama Majusi
tentang wanita yang harus dikurung di dalam kamar selama masa haid dan
diasingkan dari semua orang, adalah penyebab munculnya budaya Hijab di
zaman Iran Kuno. Peraturan dan adat seperti ini juga dikenakan bagi wanita
haid di kalangan penganut agama Yahudi.
Tetapi, apakah maksud Will Durant dari pernyataan: “Perkara ini
(mengurung wanita haid) merupakan sebab diwajibkannya hijab di kalangan
2-7
wanita penganut agama Islam?”. Apakah yang dimaksud adalah bahwa sebab
munculnya hijab di dalam Islam adalah peraturan keras yang terjadi pada para
wanita haid? Kita mengetahui bahwa tidak pernah ada peraturan seperti ini di
dalam ajaran Islam. Wanita haid dalam Islam hanya mendapatkan dispensasi
untuk tidak melakukan beberapa ibadah seperti shalat dan puasa serta
larangan berhubungan seksual dengan suaminya selama masa haid. Dan tidak
ada larangan baginya dalam hal interaksi dengan orang lain sehingga ia
terpaksa harus mengurung diri pada saat itu.
Dan jika yang dimaksud Will Durant dari pernyataan tersebut adalah
munculnya hijab di kalangan wanita muslim merupakan penularan dari adat
dan kebiasaan penduduk Iran setelah mereka memeluk Islam, adalah sebuah
analisa yang tidak benar. Karena sebelum orang-orang Iran masuk Islam,
ayat-ayat yang berkaitan dengan Hijab telah diturunkan.
Dari ucapannya yang lain, dapat dipahami bahwa Will Durant
berpendapat bahwaHijab muncul dan berkembang di antara kaum muslimin
melalui perantaraan orang-orang Iran yang masuk Islam dan larangan
berhubungan seksual dengan wanita haid cukup memberikan pengaruh dalam
perintah mengenakan hijab bagi para wanita muslimah, atau paling tidak
dalam pengasingan mereka di saat haid. Ia melanjutkan:
Hubungan antara Iran dan Arab adalah salah satu penyebab meluasnya
hijab dan homoseks di wilayah Islam. Laki-laki Arab pada waktu itu takut
akan rayuan wanita tetapi mereka selalu tergila-gila akan hal itu. Maka
62
melalui sikap mendua yang biasa dimiliki para lelaki berkaitan dengan
kesucian dan keutamaan wanita (Ibid 4).
Sahabat Umar berkata pada kaumnya:
“Bermusyawarahlah dengan wanita akan tetapi kerjakanlah yang berbeda dengan pendapat mereka.” Pada abad pertama, para wanita muslim tidak memakai hijab, laki-laki bisa bertemu dengan mereka, berjalan, pergi ke mesjid dan shalat bersama. Hijab baru ditetapkan pada zaman Walid Kedua (126-127 H). Pengurungan terhadap wanita muncul setelah adanya larangan bagi suami untuk berhubungan seksual dengan wanita pada saat-saat haid dan nifas mereka.”(Ibid)
Di halaman lain seperti dikutip dalam blog Murtadha Matahhari, Will
Durant menuliskan:
“Rasulullah telah melarang wanita memakai baju longgar, akan tetapi sebagian orang-orang Arab tidak melaksanakan perintah ini. Pada saat itu, semua kalangan memiliki perhiasan. Para wanita memakai baju pendek dengan sabuk yang berkilauan, pakaian lebar dan berwarna-warni. Mereka mengurai rambut atau mengikatnya dengan indah dan kadang-kadang mereka memakai celak dan benang sutra hitam pada rambutnya. Biasanya mereka merias dirinya dengan permata atau bunga. Kemudian pada tahun 97 Hijriah mereka memakai penutup (cadar) wajah dari bawah mata mereka dan setelah itu kebiasaan ini menjadi meluas di kalangan mereka.”(Ibid)
Sedangkan dalam karyanya tentang orang Iran Kuno, Will Durant
menyatakan:
“Tidak ada larangan dalam nikah mut‟ah. Nikah mut‟ah ini sama seperti
kesenangan di kalangan orang-orang Yunani dan bebas untuk dilakukan. Bahkan mereka terang-terangan melakukan dan memperlihatkannya pada masyarakat dan mereka (para wanita) hadir di perjamuan para lelaki sedangkan istri resminya dikurung di dalam rumahnya. Adat kebiasaan Iran kuno tersebut akhirnya menyebar ke dalam Islam.” (Ibid)
Will Durant berbicara sedemikian rupa seolah-olah di zaman Rasulullah
tidak ada secuilpun peraturan tentang Hijab wanita dan beliau hanya
awal abad kedua para wanita muslim berinteraksi tanpa memakai hijab. Tentu
saja hal ini tidak benar dan sejarah pun telah membuktikannya. Tidak bisa
diragukan bahwa wanita pada zaman jahiliah memang seperti yang
dipaparkan oleh Will Durant, namun Islam telah mengadakan perombakan
besar-besaran dalam hal ini.
Aisyah selalu memuji-muji para wanita Anshar dan berkata demikian:
“Keselamatan bagi para wanita Anshar. Setelah ayat-ayat surah Nur turun, tidak terlihat seorang pun dari mereka keluar rumah seperti sebelumnya. Mereka menutupi kepalanya dengan jilbab hitam, seolah-olah ada burung gagak bertengger di kepalanya.”(Kasyaf, di bawah penjelasan surah Nur ayat 31)
Kent Gubinoseperti yang dikutip oleh Murtadha Matahhari pada blognya, dalam buku Tiga Tahun di Iran, meyakini bahwa Hijab yang sangat keras di zaman Dinasti Sasani masih tersisa ketika Islam masuk di
kalangan orang-orang Iran. Ia juga berkeyakinan bahwa hijab yang ada di
Iran Sasani bukan hanya penutup bagi wanita tetapi menyembunyikan dan
mengasingkan wanita di dalam rumah. Di saat yang sama, para raja dan
keluarganya memperlakukan wanita dengan semena-mena. Apabila mereka
melihat wanita cantik di suatu rumah, maka mereka akan mengambil dan
membawanya dengan paksa.
Adapun Jawahir Nehru, mantan perdana menteri India, juga berkeyakinan bahwa hijab dalam Islam muncul melalui bangsa-bangsa non
muslim seperti Roma dan Iran kuno. Dalam karyanya yang berjudul Menilik Sejarah Dunia pada jilid pertama halaman 328, selain memuji-muji
64
“Berkaitan dengan kondisi para wanita, telah terjadi sebuah perubahan besar dan sangat menakjubkan secara berangsur-angsur. Sebelumnya, tidak adat kebiasaan hijab di kalangan para wanita Arab. Mereka hidup dalam kondisi yang tidak terpisah dan tersembunyi dari kaum laki-laki. Mereka hadir di tempat umum, pergi berlalu lalang ke masjid dan pengajian, bahkan kadang mereka sendiri yang memberikan pelajaran dan petuah. Tetapi, setelah bangsa Arab mencapai kemajuan, secara berangsur-angsur mereka meniru adat kebiasaan dua emperatur tetangga yaitu Romawi dan Persia. Bangsa Arab telah mengalahkan emperatur Roma dan mengakhiri kekuasaan emperatur Persia. Tetapi malah mereka sendiri yang tertular kebiasaan dan adat buruk kedua emperatur ini. Menurut beberapa sumber, adat kebiasaan pemisahan wanita dari laki-laki dan hijab yang terdapat di kalangan Arab muncul karena pengaruh emperatur Konstatinopel dan bangsa Persia”.(Ibid)
Adalah tidak benar jika dikatakan bahwa hanya karena pengaruh
interaksi muslim Arab dengan muslim non Arab yang memeluk Islam
setelahnya, hijab menjadi lebih ketat dari yang ada di zaman Rasulullah saw.
Dari ungkapan Nehru dapat diambil kesimpulan bahwa dalam bangsa
Romawi juga terdapat hijab (mungkin berasal dari pengaruh bangsa Yahudi)
dan adat memiliki selir berasal dari bangsa Romawi dan Persia yang
kemudian menyebar di kalangan para khalifah Islam.
Di India pun, Hijab sangat ketat dan keras. Akan tetapi belum jelas,
apakah hijab di India telah ada sebelum masuknya Islam atau setelah
masuknya Islam ke India? Dan apakah orang-orang Hindu menerima hijab
karena pengaruh kaum muslimin khususnya kaum muslimin Iran? Namun
yang pasti adalah bahwa Hijab orang-orang India sangat ketat dan keras
sekali, seperti hijab orang Iran Kuno.
Will Durant seperti yang ditulis oleh Murtadha Matahhari dalam
bolgnya, juga menyatakan bahwa Hijab di India muncul melalui perantaraan
Sedangkan Nehru berkata:
“Sangat disesalkan, tradisi buruk ini sedikit demi sedikit menjadi
bagian dari Islam. Dan penduduk India mempelajari hal itu sewaktu
orang-orang Islam mendatangi wilayahnya”.(Ibid)
Nehru berkeyakinan bahwa hijab muncul di India melalui perantaraan
kaum muslimin yang datang ke India. Namun, jika kita menerima bahwa
salah satu sebab munculnya hijab ialah karena kecenderungan untuk bertapa
dan meninggalkan segala bentuk kenikmatan, maka hijab di India telah
muncul sejak masa-masa sebelum datangnya Islam. Karena kawasan India
merupakan pusat lama pertapaan dan pengkebirian segala bentuk kenikmatan
materi.
Sementara itu, Bernard Russel dalam karyanya Pernikahan dan Etika, pada halaman 135 menyatakan:
“Etika seksual yang terdapat pada masyarakat beradab (maju) bersumber pada dua hal. Pertama kecenderungan untuk konsisten pada jiwa kebapakan, kedua keyakinan para pertapa tentang tercelanya cinta. Etika seksual pada masa sebelum munculnya agama Masehi dan di kalangan para raja di kawasan Timur Jauh, hingga kini hanya bersumber pada hal pertama. Kecuali India dan Iran Kuno karena kehidupan pertapaan muncul dari sana dan kemudian menyebar ke
seluruh penjuru dunia”.
Melihat dari perkembangannya dari berbagai pandangan tradisi
keagamaan yang berkembang di dunia, dapat dilihat bahwa setiap agama
memiliki Hijab sebagai sebuah alat yang memiliki arti sama. Namun dalam
penggunaannya memiliki perbedaan sesuai dengan budaya yang berkembang,
baik berupa perkembangan sejarah dan peradaban manusia. Maupaun dengan
66
Gambar 3.1
Berbagai model kerudung dalam tradisi keagamaan
Sumber : http://betmidrash.blogspot.com April 2013
Dengan demikian Hijab telah ada sebelum kemunculan Islam dan Islam
bukanlah pelopor pertama hijab. Dengan mengetahui sejarah, serta apa yang
mempengaruhi munculnya Hijab kini, makna dari Hijab/Kerudung/Jilbab itu
dapat dilihat dari istilah-istilah tersebut yang masuk ke Indonesia dalam
peradaban dan perkembangan istilah-istilah tersebut.
Pererkembangannya kini, melihat makna Hijab sendiri bergeser
sedikit-demi sedikit. Dimana budaya juga merupakan salah satu yang merubah
makna dari Hijab, dimana sebuah Hijab dikatakan sebagai budaya materi
didalamnya. Menjadi suatu fenomena dimana kemunculan istilah Hijab di
Indonesia menjadi sebuah icon muslimah dengan mode Hijab masa kini.
Pesatnya perkembangan Hijab meningkatkan unsur kreatifitas
mengacu pada fashion. Sehingga Hijab disini mengalami pergeseran makna, dari sakral menjadi profane. Hijab kreatif hari ini juga telah menjadi
symbol-simbol lapisan sosial, tentusaja maksud penulis bukan sebatas symbol lapisan
sosial dalam kontek antara agama, seperti pada permulaan munculnya Hijab
itu sendiri, akan tetapi sebagai sebuah symbol lapisan sosial dalam kontek
klasifikasi tingkatan ekonomi. Selanjutnya penulis juga menemukan sebuah
fenomena yang cukup menarik bahwa fenomena Hijab kreatif telah menarik
segelintir orang untuk mengapresiasi melalui sebuah perkumpulan yang
dipersatukan atas dasar budaya materi ini. Ternyata hobi, kegemaran dan
bisnis memakai Hijab ini mengispirasikan sekelompok wanita untuk
mendirikan sejumlah situs untuk mempromosikan dan kemudian mempunyai
basis massa dan visi-misi tertentu.
Kemudian munculnya Hijab kreatif juga menumbuhkan sebuah
klasifikasi yang baru, hal ini sebuah fenomena yang biasa dalam konteks
zaman sekarang. Misalnya kita berangkat dari sebuah contoh, agar mudah
menggambarkan hal ini. Lagam atau model pada budaya materi celana jeans
misalnya, tahun 70-an umum telah berkembang model calana jeans cutbrai,
baru pada tahun 90-an model ini sempat menghilang, dan kembali muncul
tahun 2007. Kemudian model ini tahun 2010 menghilang karena model
celana jeans pensil. Gaya celana pensil ini secara otomatis akan menganeliasi
gaya cutbraiy, sehingga jika ada remaja yang masih memakai celana jeans
cutbraiy saat ini dalam perspektif klasifikasi fashions dia akan masuk pada
68
dalam waktu sekejap menjamur dan dipakai segala lapisan masyarakat yang
selalu tidak mau ketinggalan mode. Nampaknya begitu juga dengan Hijab ini.
Hijab ini mulai menjamur,dengan dukungan media massa dan elektronik,
Hijab ini sudah menjadi pusat perhatian baru, sehingga masyarakat akan
banyak memburu model ini. Dalam perkembangan waktu seperti yang
berlaku pada celana jeans, bahwa jika masih ada yang menggunakan Hijab
“formal” maka secara otomatis dia akan masuk dalam klasifikasi gaya era
masa lalu, tentu hal ini melalui kacamata masyarakat pengagum mode.
3.1.2 Perkembangan Hijab di Indonesia
Kemunculan mode ini memang tidak datang sesederhana seperti apa
yang kita banyangkan. Kemunculan ini tentu melalui beberapa fase dan
kepentingan. Ada beberapa tahapan yang dapat penulis jabarkan disini tentu
dalam kontek Indonesia.
Pertama,bahwa munculnya Hijab dengan masih penggunaan istilah Jilbab ini marak di Indonesia, muncul pasca tumbangnya rezim Orde
Baru. Pada waktu itu ditandai dengan munculnya kerudungisasi
dikalangan masyarakat kampus. Orde Baru adalah dimana Hijab masih
menggunakan istilah Jilbab menjadi sebuah hal yang masih awam untuk
dipakai. Hal ini memang sangat terkait dengan situasi politik dan
budaya pada masa itu. Peperangan yang panjang pasca kemerdekaan,
sampai kondisi pemerintah yang antipati terhadap gerakan ekstrimis
kanan yang terwakilkan oleh gerakan DII dan Negara Islam Indonesia
agama islam. Selain itu juga kebijakan pemerintah yang cukup represif
terhadap pengawasan kegiatan pengamalan agama dan siar islam yang
dilakukan sejumlah organisasi islam juga berdampak pada sosialisasi
atas Hijab ini, sehingga dampaknya sangat terlihat pada masa Orde
Baru sedikit muslimah yang memakai Hijab.
Kedua, era tahun 90-an, pemerintah cukup mulai memperhatikan kehidupan beragama. Hal ini sebagai sebuah dampak dari kehidupan
pribadi Soeharto yang sudah mulai berusia lanjut. Religiusitas Soeharto
meningkat ditandai dengan berangkatnya haji dan umroh yang selalu
dipertontonkan melalui media, hal ini dampaknya cukup bagus,
kelonggaran beragama mulai ditunjukan dengan beberapa surat
keputusan presiden yang dikeluarkan.
Ketiga, pasca reformasi ada sekolompok masyarakat yang menginginkan kehidupan islami di setiap lini aktivitas, dan juga
dibarengi dengan kebebasan berekspresi, hal ini semakin
mempermudah segala aktivitas hidup sesuai dengan ideologi
masing-masing.
Keempat, kemudian fase yang terakhir inilah yang menyuburkan symbol-simbol agama dipakai dalam kehidupan, termasuk Hijab.
Sebuah catatan yang penulis tekankan adalah pada awalnya masyarakat
belum berfikiran akan memodifikasi gaya Hijab mereka. hal ini tentu
saja dapat dipahami bahwasanya, masyarakat baru belajar memakai
70
normative, dan masih sesuai dengan ketentuan yang selaras dengan
dalil.
Fase selanjutnya memang Hijab menjadi trend masyarakat muslimah
indonesia. hal ini mendorong pula dimunculkanya aturan-atruran yang
melegalkan Hijab, terutama di instansi-instansi islam yang sebagai lembaga
pendukung kebudayaan ini. Dampaknya massive Hijab menjadi hal yang biasa atau lumrah pada perkembangan selanjutnya. Kelumprahan inilah
sebenarnya akar dari sebuah upaya desakralisasi Hijab itu sendiri, ditambah
penekanan pada esensi kewajiban berkerudung bagi seorang muslimah mulai
ditinggalkan, dan hanya sebatas peraturan berkerudung yang diberlakukan,
terutama untuk sekolah islam. Tentu saja hal ini tidak mewadahi jikalau
muncul sebuah apologistik, terhadap esensi berkerudung.2
3.2 Metode Penelitian 3.2.1 Desain Penelitian
Penelitian ini dilihat menggunakan paradigma post positivisme
dengan pendekatan kualitatif dan metode deskriptif.
Dimana paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami
kompleksitas dunia nyata. Paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para
penganut dan praktisinya. Paradigma menunjukan pada mereka apa yang
penting, absah, dan masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif,
menunjukkan kepada praktisinya apa yang harus dilakukan tanpa perlu
2
melakukan pertimbangan eksistensial atau epsitemologis yang panjang.
(Mulyana, 2006:9)
Paradigma Klasik merupakan gabungan dari paradigma positivisme dan
postpositivisme, menurut Guba. (Bungin, 2008 : 238)
Sedangkan dalam penelitian ini yang menggunakan pendekatan
kualitatif dan metode deskriptif, peneliti lebih mengggunakan paradigma post
positivisme yang berlawanan dengan positivisme dimana penelitian ini
menggunakan cara berpikir yang subjektif. Kebenaran subjektif dan
tergantung pada konteks value, kultur, tradisi, kebiasaan, dan keyakinan.
Natural dan lebih manusiawi. Post positivisme merupakan pemikiran yang
menggugat asumsi dankebenaran positivisme.
Dapat dikatakan bahwa post-positivisme sebagai reaksi terhadap
positivisme. Menurut pandangan post-positivisme, kebenaran tidak hanya
satu tetapi lebih kompleks, sehingga tidak dapat diikat oleh satu teori tertentu
saja.
“Karakteristik utama paradigma postpositivisme adalah pencarian
makna di balik data” (Muhadjir, 2000:79)
Peneliti melihat menggunakan paradigma postpositivisme untuk
mengetahui pandangan dan perasaan dari Hijabers dalam menjalin interaksi
di lingkungan kampus non muslim secara alamiah atau natural.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif.
Penulis buku penelitian kualitatif (Denzin dan Lincoln 1987) menyatakan
72
alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan
dengan melibatkan berbagai metode yang ada. (Moleong 2011:5)
Sebagaimana diungkapkan oleh Deddy Mulyana yang di kutip dari
bukunya “Pendekatan Kualitatif”.
“Penelitian kualitatif dalam arti penelitian kualitatif tidak
mengandalkan bukti berdasarkan logika matematis, prinsip angka, atau metode statistik. Penelitian kualitatif bertujuan mempertahankan bentuk dan isi perilaku manusia dan menganalisis kualitaskualitasnya, alih-alih mengubah menjadi entitas-entitas kuantitatif”. (Mulyana, 2006:150)
Secara harfiah metode deskriptif adalah metode penelitian untuk
membuat gambaran mengenai situaasi atau kejadian, sehingga berkehendak
mengadakan akumulasi data dasar. Dalam hal ini peneliti menggunakan
metode deskriptif untuk menggambarakan mengenai konsep diriHijabers
dalam menjalin interaksi di lingkungan kampus non muslim.
Menggambarkan dan menjelaskan secara nyata bagaimana konsep diri
seorang Hijabers yang berada di lingkungan kampus non muslim. Melihat
fenomena yang sudah menjadi hal biasa bila seorang muslimah mengenyam
pendidikan di lingkungan dengan mayoritas non muslim, sehingga kita dapat
melihat bagaimana konsep diri yang dibangun serta bagaimana memainkan
konsep dirinya di lingkungan dengan mayoritas non muslim di dalamnya.
Memberikan deskripsi yang mendalam pada penelitian ini.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka penelitian ini lebih tepat
menggunakan metode kualitatif . Menurut Prof. DR. Sugiyono dalam bukunya yang berjudul “Memahami Penelitian Kualitatif” mengatakan
“Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan
untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih
menekankan makna dari pada generalisasi.” (Sugiyono, 2012 : 1)
Pada hakikatnya, peneliti menggunakan metode kualitatif dalam penelitian ini, karena melihat karakteristiknya penelitian ini hanya bertujuan
untuk menggambarkan atau mendeskripsikan secara faktual dan cermat atau
dengan kata lain menggunakankonsep diri seabagai acuan fokus penelitian ini.
3.2.2 Teknik Pengumpulan Data 3.2.2.1 Tinjauan Pustaka
Salah satu kegiatan pokok dalam penelitian adalah kegiatan
mengumpulkan data penelitian sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Teknik pengumpulan data kualitatif pada dasarnya bersifat tentatif karena
penggunaannya ditentukan oleh konteks permasalahan dan gambaran data
yang ingin diperoleh. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini,
menggunakan tinjauan pustaka sebagai berikut :
a. Studi Pustaka
Memahami apa yang diteliti, maka upaya untuk menjadikan
penelitian tersebut baik. Perlu adanya materi-materi yang diperoleh dari
pustaka-pustaka lainnya.
Menurut J.Supranto dalam buku Rosadi Ruslan, mengemukakan:
“Studi pustaka adalah “Teknik pengumpulan data yang dilakukan
74
referensi dan bahan-bahan publikasi yang tersedia diperpustakaan” (Ruslan, 2003:31)
Dengan hal ini, upaya penelitian yang dilakukan pun dapat menjadi
baik karena tidak hanya berdasarkan pemikiran sendiri selaku peneliti
melainkan pemikiran-pemikiran dan pendapat dari para ahli atau
penulis lainnya. Sehingga bisa dibandingkan serta referensi yang dapat
memberikan arah kepada peneliti.
b. Penulusuran Data Online
Teknik pengumpulan data lainnya adalah Penelusuran data online, menurut Burhan Bungin adalah:
“Tata cara melakukan penelusuran data melalui media online seperti
internet atau media jaringan lainnya yang menyediakan fasilitas online, sehingga memungkinkan peneliti dapat memanfaatkan data informasi online yang berupa data maupun informasi teori, secepat atau semudah mungkin dan dapat dipertanggungjawabkan secara
akademis.” (Bungin, 2008 : 148)
3.2.2.2 Tinjauan Lapangan
Penelitian lapangan (field research, field work) merupakan penelitian kehidupan sosial masyarakat secara langsung. Dengan kata
lain, field research observe people in the setting in which they live and participate in their day to day activities (Burgess, 1982 : 15). Fokus permasalahannya dapat ditentukan berdasarkan teori maupun keperluan
praktis di lapangan. Berdasarkan fokus permasalahan yang telah
ditetapkan, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara
a. Observasi Partisipan
Nasution (1988) menyatakan bahwa, observasi adalah dasar
ilmu pengetahuan. Para ilmuwan hanya dapat bekerja berdasarkan data,
yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi.
Data itu dikumpulkan dan sering dengan bantuan berbagai alat yang
sangat canggih, sehingga benda-benda yang sangat kecil (proton dan
electron) maupun yang sangat jauh (benda ruang angkasa) dapat
diobservasi dengan jelas.
Bagi Edwards dan Talbott (1994 : 77), All good practitioner research studies start with observation. Observasi bisa dihubungkan
dengan upaya merumuskan masalah, membandingkan masalah yang
dirumuskan dengan kenyataan di lapangan, pemahaman detail
permasalahan guna menemukan detail pertanyaan yang akan
dituangkan dalam daftar pertanyaan, serta untuk menemukan strategi
pengambilan data dan bentuk perolehan pemahaman yang dianggap
tepat.
Partisi aktif (active participation) : means that the researcher generally does what others in the setting do. Dalam observasi ini peneliti ikut melakukan apa yang dilakukan oleh nara sumber, tetapi
belum sepenuhnya lengkap.
Observasi partisipatif merupakan teknik berpartisipasi yang
sifatnya interaktif dalam situasi yang alamiah dan melalui penggunaan
76
(Moleong 2007 : 164) melengkapi definisi ini, bahwa observasi
partisipan, yangdalam istilah moleongnya adalah pengamatan berperan
serta, adalah pada dasarnya berarti mengadakan pengamatan dan
mendengarkan secara cermat mungkin sampai pada yang
sekecil-kecilnya sekalipun. Kemudian Bodgan (Moleong, 2007 : 164) juga
melengkapi bahwa observasi partisipan adalah penelitian yang
bercirikan interaksi sosial yang memakan waktu cukup lama antara
peneliti dengan subjek dalam lingkungan subjek, dan selama itu data
dalam bentuk catatan lapangan dikumpulkan secara sistematis dan
berjalan tanpa gangguan. (Djam‟an, 2009 : 117).
Lebih tepatnya pada penelitian ini peneliti melakukan observasi
partisipasi aktif (active participation). Menurut Prof Dr. Sugiyono
dalam bukunya yang berjudul “Memahami Penelitian Kualitatif”, Partisipasi aktif (active participation) adalah:
“Means that the researcher generally does what others in the setting do. Dalam observasi ini peneliti ikut melakukan apa yang dilakukan oleh nara sumber, tetapi belum sepenuhnya lengkap.” (Sugiyono, 2010 :66)
Melalui kegiatan observasi peneliti melakukan catatan lapangan
atau memo analitik, dimana menurut Dr. Maryaeni, M.Pd dalam
bukunya yang berjudul “Metode Penelitian Kebudayaan” diartikan
sebagai:
“Teknik pengambilan data yang dilakukan melalui observasi
sebuah fokus permasalahan yang evidensinya diperoleh dari
berbagai dimensi.” (Maryaeni, 2005 : 72)
Sehingga saat akan melaksanakan observasi, peneliti melihat
bagaimana objek serta subjek dari penelitian. Dan membuat aktivitas
observasi yang dilakukan untuk mengetahui terlebih dulu bagaimana
kondisi dari lingkungan maupun subjek yang akan diteliti.
Dalam aktivitas demikian, tidak tertutup kemungkinan peneliti
kehilangan jejak sehingga tidak dapat sepenuhnya memaknai
sekumpulan data dan informasi yang terbaur secara akumulatif.
b. Wawancara Mendalam
Menurut Dr. Deddy Mulyana, M. A dalam bukunya yang berjudul “Metode Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan
Ilmu Sosial Lainnya” mengatakan bahwa :
“Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang,
melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi diri seseorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan,
berdasarkan tujuan tertentu.”(Mulyana, 2006:180).
Wawancara disini bermaksud untuk bisa mendapatkan informasi
berkaitan dengan penelitian yang sedang dilakukan yaitu tentang
konsep diriHijabers dalam menjalin interaksi di lingkungan kampus non
muslim.
Wawancara secara garis besar dibagi dua, yakni wawancara tak
terstruktur dan wawancara terstruktur. Wawancara tak terstruktur sering
juga disebut wawancara mendalam, wawancara intensif, wawancara
78
wawancara terstruktur sering juga disebut wawancara baku
(standardizesd interview), yang susunan pertanyaannya sudah
ditetapkan sebelumnya (biasanya tertulis) dengan pilihan-pilihan
jawaban yang juga sudah disediakan.
Wawancara dalam penelitian ini yang paling umum dan baik, adalah
wawancara yang terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang tidak memiliki
alternatif respon yang ditentukan sebelumnya. Atau yang lebih dikenal
sebagai wawancara tidak terstruktur atau juga wawancara mendalam.
Jenis wawancara ini akan mendorong subjek penelitian untuk
mendefinisikan dirinya sendiri dan lingkungannya, untuk menggunakan
istilah-istilah mereka sendiri mengenai objek penelitian, sehingga
sejalan dengan observasi partisipan. Dalam wawancara mendalam
peneliti berupaya mengambil peran subjek penelitian (taking the role of other), secara intim menyelam ke dalam dunia psikologis dan sosial
mereka.
Wawancara tidak terstruktur mirip dengan percakapan informal.
Metode ini bertujuan untuk memperoleh bentuk-bentuk tertentu
informasi dari semua responden, tetapi susunan kata dan urutannya
disesuaikan dengan ciri-ciri setiap responden. Wawancara tidak
terstruktur juga penting untuk memperoleh informasi di bawah
permukaan dan menemukan apa yang orang pikirkan dan rasakan
dilakukan kepada beberapa informan pengguna Hijab yang dipilih
berdasarkan kebutuhan peneliti.
c. Dokumentasi
Menurut Dr. Riduwan, M.B.A dalam bukunya “Dasar-dasar
Statistika”, yaitu :
Dokumentasi adalah “Ditujukan untuk memeperoleh data langsung
dari tempat penelitian, meliputi buku-buku yang relevan,
peraturan-peraturan, laporan kegiatan, foto-foto, film documenter, data yang
relevan penelitian.” (Riduwan, 2003 : 58)
Dokumentasi penelitian yang akan dilakukan menggunakan
beberapa media, penggunaan voice recorder yang merupakan salah satu aplikasi pada smartphone yang digunakan peneliti, kamera handphone,
digital camera dengan video recorder sebagai pelengkap dalam melakukan penelitian.
3.2.3 Teknik Penentuan Informan
Dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan populasi, karena
penelitian kualitatif berangkat dari kasus tertentu yang ada pada situasi sosial
tertentu dam hasil kajiannya tidak akan diberlakukan ke populasi, tetapi
ditransferkan ke tempat lain pada situasi sosial yang memiliki
kesamaandengan situasi sosial pada kasus yang dipelajari. Sampel dalam
penelitian kualitatif bukan dinamakan responden, tetapi sebagai nara sumber,
atau partisipan, informan, teman dan guru dalam penelitian. (Sugiyono, 2010
80
Adapun dalam penelitian ini, dalam menguraikan teknik penentuan
informan akan diperjelas dengan siapa subjek penelitian, informan maupun
informan pendukung dari penelitian ini, sebagai berikut:
1. Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah sesuatu, baik orang, benda ataupun lembaga (organisasi), yang sifat-keadaannya (“attribut”-nya) akan diteliti. Dengan kata
lain subjek penelitian adalah sesuatu yang di dalam dirinya melekat atau
terkandung objek penelitian.3-4
Maka subjek penelitian ini merupakan pengguna Hijab yang berada di
lingkungan mayoritas non muslim, dimana objek penelitian adalah Hijabers
yang berada di dua Kampus Non Muslim yang berada di Bandung sebagai
tempat penelitian.
2. Informan
Informan (narasumber) penelitian adalah seseorang yang, karena memiliki informasi (data) banyak mengenai objek yang sedang diteliti,
dimintai informasi mengenai objek penelitian tersebut. Lazimnya informan
atau narasumber penelitian ini ada dalam penelitian yang subjek penelitiannya
berupa “kasus” (satu kesatuan unit), antara lain yang berupa lembaga atau
organisasi atau institusi (pranata) sosial.4
Informan memiliki nilai-nilai dan motifnya sendiri. Bukan tidak
mungkin akan terdapat pertentangan nilai, ataupun pertentangan maksud dan
tujuan antara informan dengan peneliti. Menjelaskan tujuan penelitian dan
3
http://tatangmanguny.wordpress.com/2009/04/21/subjek-responden-dan-informan-penelitian/
4