DATA INFORMAN
Informan 1
Nama
: H.Abdul Ma’as
Umur
: 62 tahun
Pekerjaan
: Wiraswasta
Alamat
: Jl. Bromo Gg. Aman Lorong Subur Surau Tujuh Koto
Lama menjabat
: 5 tahun
Jabatan
: Niniak Mamak Batu Kalang
Informan 2
Nama
: Yuli Anas
Umur
: 56 tahun
Pekerjaan
: Petani
Alamat
: Kampung piliang nagari batu kalang Padang Sago
Lama menjabat
: 7 tahun
Jabatan
: Kapalo Mudo Niniak Mamak
Informan 3
Nama
: Muhammad Herman
Umur
: 65 tahun
Pekerjaan
: Wiraswasta
Alamat
: Kampung piliang nagari batu kalang Padang Sago
Lama menjabat
: ± 10 tahun
Jabatan
: Niniak Mamak Batu Kalang Padang Sago
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pusataka
Amir, M.S. 2007. Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang. Jakarta: Mutiara Sumber Widya
Basaria, Ida. “Ungkapan Metafora Pada Etnis Batak Toba”. Makalah Seminar Nasional Budaya Etnik III edisi 11. 01 Mei 2009. Diposkan oleh Departemen Sastra Daerah. FIB USU.
Basaria. “Hipotesis Sapir –Whorf Pada Umpasa Bahasa Batak Toba”. Fakultas Ilmu Budaya USU.
Daeng J, Hans. 2000. “Kompleksitas Upacara Pernikahan”.
Daeng, J. Hans. 2000. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan Tinjauan Antropologis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Djajasudarma, Fatimah dkk. 1997. Nilai Budaya Dalam Ungkapan dan Pribahasa Sunda. Jakarta :DEPDIKBUD
Hakimy,Idrus Dt Rajo Pangulu. Seribu Pepatah Petitih-Mamang-Bidal-Pantùn-Gurindam.
Bandung : Penerbit Remaja Karya.,1996.
Hutapea, Vera Nurcahaya. 2007. “Tuturan pada Upacara Adat pernikahan Masyarakat Batak Toba”. (skripsi). Medan: Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.
Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta :Gramedia Pustaka
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta
Lilimiwirdi. 2011. “Eufimisme dalam masyarakat Minangkabau di Kota Padang”. (Tesis). Padang : Universitas Andalas.
Mintargo, Bambang. 2000. Tinjauan Manusia dan Nilai Budaya. Jakarta: Universitas Trisakti
Masinambow, E.K.M. 1997. Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia
Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta :Rineka Cipta.
Pekei, Titus.2013. Menggali nilai budaya tradisi lisan dari papua. Jakarta: Direktorat sejarah dan Nilai Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Santoso, Riyadi, Drs., M.Ed. 2003. Semiotika Sosial: Pandangan Terhadap Bahasa. Surabaya. Pustaka Eureka
Sibarani. 2008. Tindak Tutur dalam Upacara Pernikahan Masyarakat Batak Toba. (Tesis)
Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik. Medan: Poda.
Sihombing, Erni. 2008. Makna Ungkapan dalam Bahasa Karo (skripsi). Fakultas Sastra USU.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisi Bahasa. Yogyakarta: Dutawacana University Press
Tampubolon. 2010. Umpasa Masyarakat Batak Toba Dalam Rapat Adat Kajian Pragmatik. (Tesis)
Soekadjio.R.G.1993. Antropologi edisi keempat jilid I. Surakarta: Erlangga Sulistiono dkk. 2013. Seri Bahasa Indonesia. Medan: Aneka Ilmu.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian merupakan suatu tempat atau wilayah penelitian tersebut akan
dilakukan. Adapun penelitian yang dilakukan oleh penulis ialah mengambil lokasi di Sumatera
Barat Nagari Batu Kalang Padang Pariaman. Daerah ini merupakan daerah penutur asli bahasa
Minangkabau. Penulis menganggap tempat ini layak dijadikan lokasi penelitian karena bahasa
yang digunakan belum tercampur dengan bahasa lain dan didukung oleh masyarakat yang masih
asli. Penelitian ini dilakukan mulai tanggal 19 April sampai dengan 19 Mei 2016.
3.2Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah data lisandata yang diperoleh secara langsung
dengan mewawancarai nara sumber untuk mengumpulkan data secara mendalam. Dan data
dengan makna peribahasa pada adat Niniak mamak. Sumber data penulis adalah informan yang memenuhi syarat yang ditentukan. Informan dalam penelitian ini dipilih dari kalangan pemuka
adat yang terlibat dan memiliki posisi penting dalam setiap upacara adat Niniak Mamak. Tidak semua orang mampu memahami tuturan-tuturan dalam upacara adat tersebut meskipun sering
mengikutinya. Dalam penelitian ini informan akan melakukan wawancara dengan tiga orang
marasumber. Informan dalam penelitian ini dipilih berdasarkan syarat-syarat berikut ini.
Informan dalam penelitian ini dipilih berdasarkan syarat-syarat berikut ini.
1. Berjenis kelamin pria;
2. Berusia antara 30-60 tahun;
3. Jarang atau tidak pernah meninggalkan desanya;
4. Berpendidikan ( minimal tamatan SD sederajat )
5. Menguasai bahasa dan budaya Minang dengan baik;
6. Memiliki kebanggaan terhadap isolek dan masyarakat isoleknya;
7. Dapat berbahasa Indonesia;
8. Sehat jasmani dan rohani (Mahsun,1995:106).
3.3Metode Penelitian
3.3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini merupakan suatu penelitian lapangan, penulis secara langsung turun ke
lapangan dalam upaya memeroleh data yang akan digunakan dalam penelitian. Penelitian
lapangan dilakukan di Sumatera Barat yang secara administrarif terdapat di Padang Sago,
tersebut, maka dilakukan teknik catat. Penelitian mencatat semua data atau informasi yang
diperlukan untuk bahan penelitian (Sudaryanto, 1993:137-139).
Informan dalam penelitian ini dipilih dari kalangan pemuka adat yang terlibat dan
memiliki posisi penting dalam setiap upacara adat Niniak mamak. Tidak semua orang mampu memahami tuturan-tuturan dalam upacara adat tersebut meskipun sering mengikutinya. Informan
dalam penelitian ini dipilih berdasarkan syarat-syarat berikut ini.Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dengan ancangan Antropolinguistik untuk
mendeskripsikan kebudayaan masyarakat ditinjau dari bahasa dalam konteks kebudayaan.
Setelah semua data teridentifikasi, langkah kerja selanjutnya adalah membuat analisis
makna dari data yang ada. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
sebagai berikut.
1. Metode kepustakaan, yaitu penulis melakukan penelitian dengan mencari data dari
buku-buku yang berhubungan dengan penulisan sebagai bahan acuan dari berbagai referensi.
Teknik ini digunakan untuk mendapatkan dasar-dasar teori yang akan digunakan dan
untuk mengkaji hasil penelitian atau informasi yang mendukung penelitian.
2. Metode observasi, yaitu penulis turun langsung ke lokasi penelitian untuk melakukan
pengamatan terhadap tempat, dan peran pemakai bahasa serta perilaku selama
pelaksanaan pengguna bahasa berlangsung.
3. Metode wawancara, data penelitian ini adalah data lisan dan tulisan. Data tulisan
diperoleh dengan menggunakan metode simak (Sudaryanto, 1993:13) yaitu dengan
menyimak pengguna bahasa. Metode ini dikembangkan teknik sadap, yaitu meninjau dan
digunakan teknik catat dengan mencatat data-data tulis yang diperoleh dari bahan pustaka
yang digunakan.
Tahapan strategi metode pengumpulan data itu berakhir dengan transkip dan tataan data yang
sistematis dan ditandai oleh transkip serta tertatanya data secara sistematis (Sudaryanto,
1986:36).
3.3.2 Metode dan Teknik Analisis Data
Data dianalisi dengan menggunakan metode padan, yang penentunya di luar, terlepas,
dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan. Teknik dasarnya berupa
teknik pilah unsur penentu dengan alat penentu mitra wicana (sudaryanto, 1995:21). Metode ini
digunakan untuk mengkaji nilai budaya yang ada di dalam peribahasa dikaji dari segi makna
Harafiah yang dilanjutkan dengan menentukan makna yang tersirat dalam data) peribahasa dan
dikaji secara antropolinguistik yang melibatkan masyarakat bahasa sebagai pendukung budaya
pemilik peribahasa tersebut. Dalam menginterprestasikan data peribahasa, penulis mengubah
bahasa Minang kedalam bahasa Indonesia. Hal ini dilakukan agar hubungan antar kalimat yang
terdapat dalam peribahasa tersebut dapat diperoleh maknanya serta dapat ditemukan nilai budaya
masyarakat yang tercermin di dalamnya.
Ko ado kayu gadang di tangah padang
‘Jika ada pohon besar di tengah padang’
Mako ka manjadi tampek balinduang kapanasan
‘Maka akan menjadi tempat berlindung kepanasan’
Ko ado duri nan mancucuak dalam kaluargo
Mako basamo-samo baselo jo kaluargo
‘Maka sama-sama bersila dengan keluarga’
Makna dari Pepatah-petitih di atas adalah makna menasehati, pepatah-petitih ini di
sampaikan oleh urang nan tuo kepada kedua pengantin. Seorang suami yang sudah mempunyai
keluarga merupakan raja di dalam keluarganya, tugas seorang suami adalah sebagai pelindung
bagi keluarganya, sebagai hakim yang memutuskan semua masalah dalam keluarga. Ko ado duri nan mancucuak dalam kaluargo, mako basamo-samo baselo jo kaluargo isi pepatah-petitih ini merupakan nasehat untuk kedua pengantin yang artinya, jika ada masalah dalam keluarga
sebaiknya sama-sama diselesaikan dengan duduk tenang dan tetap satu hati untuk membina
rumah tangga yang penuh dengan cinta.
3.3.3 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Pada tahap penyajian hasil analisis, sistematika yang digunakan adalah menggunakan
model penyajian informal yang merujuk pada metode penyajian hasil analisis oleh
Sudaryanto (1993). Penyajian informal digunakan dalam penelitian ini karena metode
tersebut memungkinkan penjelasan mengenai suatu kaidah secara lengkap, rinci, dan terurai
sehingga dapat memberikan nilai keterbacaan yang tinggi dari hasil penelitian yang
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Makna Petatah Petitih Niniak Mamak dalam pernikahan Minangkabau
Peribahasa atau yang biasa orang Minang sebut dengan Pepatah-petitih merupakan jenis
peribahasa yang berisi nasehat atau ajaran dari orang-orang tua. Padanan setiap katanya
mengandung aturan dasar dalam berperilaku. Makna pepatah-petitih yang terkandung di
dalamnya sangat dalam dan bijak. Pepatah-petitih sering digunakan untuk memberi nasehat,
memberi sindiran halus, memberi pujian, untuk mematahkan pembicaraan lawan bicara dan
ditujukan kepada muda-mudi, pasangan pengantin, upacara menyambut tamu atau berbagai acara
lainnya. Serta kadang kala Petatah Petitih juga diperdengarkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam acara Adat Minangkabau pada acara Niniak Mamak di pesta pernikahan, biasanya
hanya ada 3 bagian peribahasa yang diungkapkan, yaitu peribahasa pembukaan, peribahasa
nasehat, dan peribahasa penutup atau harapan. Pateda (2001: 230) membagi makna ungkapan
menjadi empat bagian yaitu :
1. Membandingkan (penyamaan)
2. Menasehati
3. Mengharapkan sesuatu
4. Mengejek
Dalam upacara Adat Niniak Mamak , hanya ada tiga makna yang terkandung sesuai
Niniak Mamak tidak ada makna mengejek. Jadi, sesuai dengan pendapat Pateda tersebut, maka
dari hasil mengamatan penulis makna pepatah-petitih dalam Niniak Mamak ada tiga yaitu:
1. Makna Penyamaan / Membandingkan
Pepatah-petitih yang menggambarkan makna membandingkan /penyamaan dalam acara
Niniak Mamak dapat dilihat dalam contoh data berikut ini:
Data (1) Elok rumah badiri kokoh
‘Bagus rumah berdiri kokoh’
Tiado tiang nyo ka bagoyang
‘Tidak ada tiang nya akan bergoyang’
Sia nan diparsuntiang nak daro
‘Siapa yang akan dinikahi oleh calon perempuan’
Inyo ka manjadi kamanakan mamak
‘Dia akan tetap menjadi keluarga paman’
Makna dari kata-kata pepatah-petitih adalah makna penyamaan yang ditemukan pada
bagian isi sia nan diparsuntiang nak daro dengan inyo ka manjadi kamanakan mamak ‘siapa yang akan dinikahi oleh calon perempuan, suami akan tetap menjadi keluarga paman’ adalah bagian isi dari pepatah-petitih yang maknanya menyamakan kedudukan hak marapulai
(pengantin laki-laki) seperti anak kemenakan mamak nak daro (pengantin perempuan). Dengan
demikian, jika anak daro dipersunting suku lain, maka marapulai tersebut tetap akan menjadi
anak kemenakan paman dari nak daro.
Data (2)
Pepatah-petitih yang menggambarkan makna membandingkan /penyamaan dalam acara
Niniak Mamak dapat dilihat dalam contoh data berikut ini:
‘Tangga mencari enau’
Anau tatap sigai baranjak
‘Enau tetap tangga pindah
Nan marapulai datang dek bajapuik pai jo baanta
‘Pengantin laki-laki datang karena dijemput pergi dengan diantar’
Nan nak daro mananti di rumah
‘Yang pengantin perempuan menanti di rumah’
Makna dari pepatah-petitih di atas adalah makna membandingkan yang ditemukan pada
bagian isi Nan marapulai datang dek bajapuik pai jo baanta, nan nak daro mananti di rumah ‘Pengantin laki-laki datang karena dijemput pergi dengan diantar, yang pengantin perempuan menanti di rumah’ dalam setiap adat pernikahan Minangkabau semua laki-laki akan diantar ke rumah istrinya dan akan dijemput oleh keluarga istrinya secara adat. Mulai sejak itu suami
menetap di rumah atau di kampung halaman istrinya. Bila terjadi perceraian, maka suami yang
harus pergi dari rumah istrinya. Sedangkan istri tetap tinggal di rumah bersama anak-anaknya
sebagaimana telah diatur hukum adat. Bila istri meninggal dunia, maka kewajiban keluarga pihak
suami untuk segera menjemput suami yang sudah menjadi duda, untuk dibawa kembali ke dalam
lingkungan kampung halaman.
2. Makna Menasehati
Pepatah-petitih yang menggambarkan makna menasehati dalam adat Niniak Mamak
dapat dilihat dari contoh berikut :
Data (3) Ko ado kayu gadang di tangah padang
‘Jika ada pohon besar di tengah padang’
Mako ka manjadi tampek balinduang kapanasan
‘Maka akan menjadi tempat berlindung kepanasan’
‘Kalau ada duri yang menusuk dalam keluarga
Mako basamo-samo baselo jo kaluargo
‘Maka sama-sama bersila dengan keluarga’
Makna dari pepatah-petitih di atas adalah makna menasehati, pepatah-petitih ini
disampaikan oleh urang nan tuo kepada kedua pengantin, tugas seorang suami adalah sebagai
pelindung bagi keluarganya, sebagai hakim yang memutuskan semua masalah dalam keluarga.
Makna menasehati yang ditemukan pada bagian isi Ko ado duri nan mancucuak dalam kaluargo, mako basamo-samo baselo jo kaluargo ‘kalau ada duri yang menusuk dalam keluarga, maka bersama-sama bersila dengan keluarga’ ini merupakan nasehat untuk kedua pengantin yang artinya, jika ada masalah dalam keluarga sebaiknya sama-sama diselesaikan
dengan duduk tenang dan tetap satu hati untuk membina rumah tangga yang penuh dengan cinta.
Data (4)
Pepatah-petitih yang menggambarkan makna menasehati dalam adat Niniak Mamak
dapat dilihat dari contoh berikut :
Malompek samo patah
‘Melompat sama patah’
Manyaruduak samo bungkuak
‘Menyeruduk sama bungkuk’
Tatungkuik samo makan tanah
‘Tertelungkup sama makan tanah’
Susah sanang samo samo
‘Susah senang sama-sama’
Masalah datang dihadang baduao
Makna dari pepatah-petitih di atas adalah makna menasehati yang ditemukan pada bagian
isi susah sanang samo-samo, masalah datang dihadang baduo ‘susah senang sama-sama, masalah datang dihadang berdua’ yang ditujukan untuk kedua calon pengantin. Pepatah-petitih ini dapat disimpulkan bahwa suami istri harus mempunyai sifat setia, yang dimaksud dengan
setia adalah teguh hati, merasa senasib dan menyatu dalam lingkungan keluarga. Apapun yang
terjadi dalam rumah tangga baik susah ataupun senang sama-sama dilalui dengan sabar.
Pengantin diberi nasehat agar berjanji tidak boleh berpisah atau bercerai kecuali dipisahkan oleh
kematian. Pengantin juga harus saling melengkapi satu sama lain agar terjalin hubungan yang
harmonis, saling pengertian agar seia-sekata dalam suka dan duka dan menjadi pasangan yang
satu perasaan dan satu pemikiran.
Data (5)
Pepatah-petitih yang menggambarkan makna menasehati dalam adat Niniak Mamak
dapat dilihat dari contoh berikut :
Gunuang biaso timbunan kabuik
‘Gunung biasa timbunan kabut’
Lurah biaso timbunan aie
‘Lurah biasa timbunan air’
Lauik biaso timbunan ombak
‘Laut biasa timbunan ombak’
Ko baribuik hati kaduonyo
‘Kalau ribut hati berdua ini (suami istri)’
Nan suami harus mangalah
Yang suami harus mengalah
Makna dari pepatah-petitih di atas adalah makna menasehati. Biasanya petuah ini
memahami pandangan orang lain, dapat mengerti apa yang tersurat maupun tersirat. Isi
pepatah-petitih yang mengandung makna menasehati ditemukan pada bagian isi ko baribuik hati kaduo ko, nan suami harus mangalah ‘kalau ribut hati berdua ini (suami istri), yang suami harus mengalah’ seorang suami mampu menangkis setiap bahaya yang akan datang. Serta mampu menerima segala cobaan dengan dada yang lapang dan mampu mencarikan jalan keluar dengan
pikiran yang jernih.
Data (6)
Pepatah-petitih yang menggambarkan makna menasehati dalam adat Niniak Mamak
dapat dilihat dari contoh berikut :
Bakati samo barek
‘Menimbang sama berat’
Maukue samo panjang
‘Mengukur sama panjang’
Tibo di mato indak dipiciangkan
‘Tiba di mata tidak dipicingkan’
Tibo di paruik indak dikampihkan
‘Tiba di perut tidak dikempiskan’
Tibo di dado indak dibusuangkan
‘Tiba di dada tidak dibusungkan’
Jiko bakato marapulai ko nan manieh
‘Jika berkata suami haruslah manis’
Walau baban dipikua surang
‘Walau beban dipikul sendiri’
Makna dari pepatah-petitih di atas adalah makna menasehati, yang ditujukan kepada
dapat bersifat adil, adil adalah dapat mengambil sikap yang tidak berat sebelah dan berpegang
teguh pada kebenaran. Serta seorang suami harus pandai membawakan diri dan harus bijaksana,
sehingga dapat mempertahankan keutuhan rumah tangga kelak. Makna menasehati terdapat pada
isi jiko bakato marapulai ko nan manieh, walau baban dipikua surang ‘jika berkata lelaki haruslah manis, walau beban dipikul sendiri’ yang artinya meskipun suami memiliki beban kerja yang banyak sebaiknya tidak dilampiaskan kepada istri, dan suami hendaklah menguntaikan
kalimat yang baik atau manis untuk memikat istri tersebut.
Data (7)
Pepatah-petitih yang menggambarkan makna menasehati dalam adat Niniak Mamak
dapat dilihat dari contoh berikut :
Dalam awa akhie membayang
‘Dalam awal akhir terbayang’
Dalam baiak kanalah buruak
‘Dalam baik ingatlah buruk’
Dalam galak tangieh kok tibo
‘Dalam tawa tangis menghadang’
Hati gadang hutang kok tumbuah
‘Hati ria hutang tumbuh’
Kok ado rundiang ba nan batin
‘Jika ada masalah yang membantin’
Patuik baduo jan batigo
‘Diselesaikan berdua saja jangan bertiga’
Nak jan lahia didanga urang
Makna pepatah-petitih di atas adalah makna menasehati, ditujukan untuk kedua calon
pengantin. Bahwa ketika sudah berumah tangga suami istri harus mempunyai rencana yang jelas
dan perkiraan yang tepat. Makna menasehati terdapat pada bagian isi kok ado rundiang ba nan batinpatuik baduo jan batigonak jan lahia didanga urang‘kalau ada masalah yang membantin, diselesaikan berdua saja jangan bertiga, jangan sampai didengar orang’ maksudnya adalah dalam setiap permasalahan selalu diselesaikan dengan akal sehat dan diselesaikan berdua saja,
menggunakan akal pikiran dengan baik, serta menggunakan otak untuk berfikir dan
memanfaatkan alam untuk hidup dan kehidupannya. Serta masalah setidaknya jangan sampai
didengar oleh orang banyak.
3. Makna Mengharapkan Sesuatu
Pepatah-petitih Minangkabau pada acara Niniak-Mamak yang mengandung makna
mengharapkan sesuatu terdapat pada data berikut :
Data (8) Bajalan anak surang tak dahulu
‘Berjalan anak sendiri tidak dahulu’
Bajalan baduo tak ditangah
‘Berjalan berdua tidak di tengah’
Diharoikhemat cermat anak selalu
‘Diharap hemat cermat anak selalu’
Martabat nan ditanam tidaklah lengah
‘Martabat yang ditanam tidaklah lengah’
Makna dari pepatah-petitih tersebut adalah, makna mengharapkan sesuatu yang terdapat
harapan yang ditujukan kepada suami istri agar kelak mendapatkan anak yang mempunyai sifat
hemat dan cermat, serta diharap anak juga dapat bertindak pada saat dan waktunya, melihat
kepada tempat dan keadaan, pandai menyesuaikan diri pada setiap tingkatan masyarakat, tidak
merasa rendah diri dalam pergaulan, dan anak yang hormat kepada orang tua serta mempunyai
sifat terbuka.
Data (9)
Pepatah-petitih Minangkabau pada acara Niniak-Mamak yang mengandung makna
mengharapkan sesuatu terdapat pada data berikut :
Indak bataratak anak bakato asiang
‘Tidak bertempat anak berkata asing’
Bukan mahariak mahantam tanah
‘Bukan melawan menghantam tanah’
Samoga pandai anak batinggang di nan rumik
‘Semoga pandai anak menyesuaikan di tempat rumit’
Dapek anak bakisa di nan sampik
‘Dapat anak hidup di tempat sempit’
Makna dari pepatah-petitih di atas adalah makna mengharapkan sesuatu, terdapat pada isi
pepatah-petitih samoga pandai anak batinggang di nan rumik, dapek anak bakisa di nan sampik ‘semoga pandai anak menyesuaikan di tempat rumit, dapat anak hidup di tempat sempit’
diharapkan agar ketika suami dan istri mempunyai anak semoga anak tersebut selalu mempunyai
sifat lapang hati, tidak mudah marah dan angkuh, pemaaf, serta mempunyai ketenangan dalam
menghadapi segala hal. Diharapkan anak mempunyai sifat ramah tamah, sopan santun, hormat
Data (10)
Pepatah-petitih Minangkabau pada acara Niniak-Mamak yang mengandung makna
mengharapkan sesuatu terdapat pada data berikut :
Rumah gadang di dapan lumbuang nan tarukir
‘Rumah gadang di depan lumbung yang terukir’
Jo nan kuaso yang Maha Pencipto
‘Itu karena kuasa yang Maha Pencipta’
Kok lai punyo anak laki-laki
‘Jika punya anak laki-laki’
Samoga ka dapek anak yang nan bijaksano pandai mamimpin
‘semoga mendapat anak yang bijaksana pandai memimpin’
Kok lai punyo anak padusi
Jika punya anak perempuan
Samoga pandai batutur kato nan elok
‘Semoga pandai bertutur kata yang baik’
Makna dari pepatah-petitih di atas adalah makna mengharapkan sesuatu, yang terdapat
pada isi pepatah-petitih kok lai dapek anak laki-laki, samoga ka dapek anak nan bijaksano pandai mamimpin ‘jika punya anak laki-laki, semoga mendapat anak yang bijaksana pandai memimpin’ isi pepatah-petitih ini ditujukan suami istri jika mempunyai anak laki-laki, diharapkan anak laki-laki dalam keluarga selalu berhati-hati dalam bertingkah laku dan
perbuatannya yang akan merusak nama baik keluarga, karena kelak nantinya anak laki-laki
dijadikan pemimpin keluarga hendaklah mencerminkan perilaku yang baik dan sempurna baik
dari perkataan, duduk, minum, makan, berjalan, berpakaian sehingga dapat menjadi contoh untuk
kata nan elok ‘jika dapat anak perempuan, semoga pandai bertutur kata yang baik’ yang artinya diharapkan ketika mendapat anak perempuan mampu bertutur kata yang baik dan bertingkah
laku yang sopan layaknya anak gadis Minang.
4.2 Nilai-Nilai Budaya yang Terdapat Pada Acara Niniak-Mamak dalam Pernikahan Minagkabau.
Pepatah-petitih dalam pernikahan Adat Minangkabau memiliki makna yang mengandung
nilai budaya. Menurut Kamus Besar Indonesia (KUBI), nilai berarti harga, angka, kepandaian,
kadar mutu, banyak sedikitnya isi dan sifat-sifat yang penting dan berguna bagi kemanusiaan.
Sedangkan nilai budaya adalah tingkat pertama kebudayaan ideal atau Adat. Nilai budaya adalah
lapisan paling abstrak dan luas ruang lingkupnya. Berdasarkan pengertian di atas, maka nilai
budaya adalah angka kepandaian kelompok masyarakat yang konsep-konsep berpikirnya hidup
dan bertumbuh sehingga sistem nilai budayanya menjadi pedoman bagi tingkah laku kelompok
manusia tersebut. Nilai bukan hanya yang baik saja karena nilai merupakan segala sesuatu
tentang yang baik dan buruk.
Sibarani (2014:178) membagi nilai-nilai budaya kearifan lokal menjadi dua bagian yaitu
kedamaian dan kesejahteraan. Kedamaian yaitu kesopansantunan, kejujuran, kesetiakawanan
sosial, kerukunan dan penyelesaian konflik, komitmen, pikiran positif, rasa syukur. Sedangkan
kesejahteraan yaitu kerja keras, displin, pendidikan, kesehatan, gotong royong, pengelolahan
1. Nilai Kerukunan dan Penyelesaian Konflik
Menurut Sibarani nilai kerukunan dan penyelesaian konflik adalah adanya sikap
kesopansantunan, kejujuran, dan kesetiakawanan sosial yang mengakibatkan tumbuhnya
kerukunan antar keluarga. Meskipun dihadapkan pada konflik internal, namun para keluarga
selalu menyelesaikan konflik tersebut dengan cara musyawarah atau kekeluargaan.
Pepatah-petitih Minangkabau pada acara Niniak-Mamak yang menunjukkan adanya nilai kerukunan dan
penyelesaian konflik terdapat pada data (4)
Data (4) Malompek samo patah
‘Melompat sama patah’
Manyaruduak samo bungkuak
‘Menyeruduk sama bungkuk’
Tatungkuik samo makan tanah
‘Tertelungkup sama makan tanah’
Susah sanang samo samo
‘Susah senang sama-sama’
Masalah datang dihadang baduao
‘Masalah datang dihadang berdua’
Data (4) isi dari pepatah-petitih yang menyatakan nilai budaya kerukunan dan
penyelesaian konflik yang terdapat pada isi susah sanang samo-samo, masalah datang dihadang baduo ‘susah senang sama-sama, masalah datang dihadapi berdua’ karena terdapat pengertian bahwa antara suami dan istri jika terjadi suatu masalah, perpecahan, beda pendapat, atau bahkan
perkelahian antara suami istri sebaiknya sama-sama dihadang berdua untuk menghindari masalah
tangga yang baik, serta suami istri merupakan penyambung silahturahmi dan saling menciptakan
kerukunan dalam keluarga.
Data (5)
Pepatah-petitih Minangkabau pada acara Niniak-Mamak yang menunjukkan adanya nilai
kerukunan dan penyelesaian konflik terdapat pada data
Gunuang biaso timbunan kabuik
‘Gunung biasa timbunan kabut’
Lurah biaso timbunan aie
‘Lurah biasa timbunan air’
Lauik biaso timbunan ombak
‘Laut biasa timbunan ombak’
Ko baribuik hati kaduonyo
‘Kalau ribut hati berdua ini (suami istri)’
Nan suami harus mangalah
Yang suami harus mengalah
Data (5) berisikan sebuah nilai yang mencerminkan nilai budaya kerukunan dan
penyelesaian konflik yang pada isi pepatah-petitih ko ribuik hati kaduonyo,nan suami harus mengalah ‘kalau ribut hati berdua ini (suami istri), yang suami harus mengalah, maksudnya adalah jika terjadi permasalahan dalam keluarga tugas suami hendaklah mengalah untuk
Data (7)
Pepatah-petitih Minangkabau pada acara Niniak-Mamak yang menunjukkan adanya nilai
kerukunan dan penyelesaian konflik terdapat pada data
Dalam awa akhie membayang
‘Dalam awal akhir terbayang’
Dalam baiak kanalah buruak
‘Dalam baik ingatlah buruk’
Dalam galak tangieh kok tibo
‘Dalam tawa tangis menghadang’
Hati gadang hutang kok tumbuah
‘Hati ria hutang tumbuh’
Kok ado rundiang ba nan batin
‘Jika ada masalah yang membatin’
Patuik baduo jan batigo
‘Diselesaikan berdua saja jangan bertiga’
Nak jan lahia didanga urang
‘Jangan sampai didengar orang’
Data di atas menunjukkan nasehat-nasehat orang Minang yang mengandung nilai
kerukunan dan penyelesaian konflik. Isi pepatah-petitih yang mengandung nilai penyelesaian
konflik kok ado rundiang ba nan batinpatuik baduo jan batigonak jan lahia di danga urang
menggunakan hati sehingga dapat saling memahami manusia lain dengan mengembangkan
perasaan dan hati nurani. Serta masalah setidaknya jangan sampai didengar oleh orang banyak.
Data (3)
Pepatah-petitih Minangkabau pada acara Niniak-Mamak yang menunjukkan adanya nilai
kerukunan dan penyelesaian konflik terdapat pada data
Ko ado kayu gadang di tangah padang
‘Jika ada pohon besar di tengah padang’
Mako ka manjadi tampek balinduang kapanasan
‘Maka akan menjadi tempat berlindung kepanasan’
Ko ado duri nan mancucuak dalam kaluargo
‘Kalau ada duri yang menusuk dalam keluarga
Mako basamo-samo baselo jo kaluargo
‘Maka sama-sama bersila dengan keluarga’
Pepatah-petitih ini disampaikan oleh urang nan tuo kepada kedua pengantin. Nilai
penyelesaian konflik terdapat pada bagian isi ko ado duri nan mancucuak dalam kaluargo, mako basamo-samo baselo jo kaluargo ‘kalau ada duri yang menusuk dalam keluarga, maka bersama-sama bersila dengan keluarga’ isi pepatah-petitih ini merupakan nasehat untuk kedua pengantin yang artinya, jika ada masalah dalam keluarga sebaiknya sama-sama diselesaikan dengan duduk
tenang dan tetap satu hati untuk membina rumah tangga yang penuh dengan cinta.
2. Nilai Komitmen
Menurut Sibarani nilai komitmen adalah nilai yang merupakan pengakuan seutuhnya,
sebagai sikap yang sebenarnya yang berasal dari watak yang keluar dari dalam diri seseorang,
berbeda-beda. Pepatah-petitih Minangkabau pada acara Niniak-Mamak yang menunjukkan adanya nilai
komitmen terdapat pada data (1)
Data (1) Elok rumah badiri kokoh
‘Bagus rumah berdiri kokoh’
Tiado tiang nyo ka bagoyang
‘Tidak ada tiang nya akan bergoyang’
Sia nan diparsuntiang nak daro
‘Siapa yang akan dinikahi oleh calon perempuan’
Inyo kamanjadi kamanakan mamak
‘Dia akan tetap menjadi keluarga paman’
Data (1) di atas mencerminkan nilai budaya komitmen yang terdapat pada isi
pepatah-petitih sia nan dipersunting nak daro inyo ka manjadi kamanakan mamak, adalah komitmen antara keluarga mempelai wanita terhadap siapa saja yang menjadi calon untuk nak daro
tersebut. Maka laki-laki yang menikah tadi akan tetap dianggap menjadi anak paman atau
keluarga dari mempelai wanita.
3. Nilai Kesopansantunan
Menurut Sibarani nilai kesopansantunan adalah pengetahuan yang berkaitan dengan
penghormatan melalu sikap, perbuatan atau tingkah laku yang diciptakan oleh keluarga.
Pepatah-petitih Minangkabau pada acara Niniak-Mamak yang menunjukkan adanya nilai kejujuran
terdapat pada data (6)
Data (6) Bakati samo barek
‘Menimbang sama berat’
Maukue samo panjang
Tibo di mato indak dipiciangkan
‘Tiba di mata tidak dipicingkan’
Tibo di paruik indak dikampihkan
‘Tiba di perut tidak dikempiskan’
Tibo di dado indak dibusuangkan
‘Tiba di dada tidak dibusungkan’
Jiko bakato marapulai ko nan manieh
‘Jika berkata suami haruslah manis’
Walau baban dipikua surang
‘Walau beban dipikul sendiri’
Data (6) berisi sebuah nilai yang mencerminkan nilai kesopansantunan terdapat pada
bagian isi pepatah-petitih jiko bakato marapulai ko nan manieh, walau baban di pikua surang, ‘jika berkata suami haruslah manis, walau beban dipikul sendiri’ yang artinya meskipun suami memiliki beban kerja yang banyak bagaimanapun suami harus tetap berperlaku yang baik kepada
istri, sehingga istri dapat mengerti. Dan suami hendaklah menguntaikan kalimat yang baik atau
manis untuk memikat istri tersebut.
4. Nilai Disiplin
Menurut Pratt Fairshild nilai disiplin adalah nilai yang dapat mengarahkan orang-orang
yang berperilaku dan bersikap berdasarkan patokan atau batasan tingkah laku tertentu yang
diterima dalam kelompok atau lingkup sosial masing-masing. Pengaturan tingkah laku tersebut
bisa diperoleh melalui jalur pendidikan dan pembelajaran. Pepatah-petitih Minangkabau adat
Data (8) Bajalan anak surang tak dahulu
‘Berjalan anak sendiri tidak dahulu’
Bajalan baduo tak di tangah
‘Berjalan berdua tidak di tengah’
Diharoikhemat cermat anak selalu
‘Diharap hemat cermat anak selalu’
Martabat nan ditanam tidaklah lengah
‘Martabat yang ditanam tidaklah lengah’
Pepatah-petitih tersebut mengandung nilai disiplin. Yang mengandung nilai disiplin
terdapat pada isi bajalan anak surang tak dahulu, bajalan baduo tak ditangah ,diharoik hemat cermat anak selalu, martabat nan di tanam tidaklah lenga ‘berjalan anak sendiri tidak dahulu, berjalan berdua tidak di tengah, diharap anak hemat cermat selalu, martabat ditanam tidaklah lengah’ . Mengandung nilai disiplin karena pengharapan yang ditujukan kepada suami istri agar mampu mendidik anak untuk menjaga martabat keluarganya, agar kelak mendapatkan anak yang
dapat bertindak pada saat dan waktunya, melihat kepada tempat dan keadaan, pandai
menyesuaikan diri pada setiap tingkatan masyarakat, hormat kepada orang tua serta mempunyai
sifat terbuka.
Data (9)
Pepatah-petitih Minangkabau adat Niniak-Mamak yang mengandung nilai disiplin
terdapat pada data
Indak bataratak anak bakato asiang
‘Tidak bertempat anak berkata asing’
Bukan mahariak mahantam tanah
Samoga pandai anak batinggang di nan rumik
‘Semoga pandai anak menyesuaikan di tempat rumit’
Dapek anak bakisa di nan sampik
‘Dapat anak hidup di tempat sempit’
Pepatah-petitih di atas mengandung nilai disiplin, terdapat pada isi pepatah-petitih
samogapandai anak batinggang di nan rumik, dapek anak bakisa di nan sampik‘semoga pandai anak hidup ditempat yang rumit, dapat anak menyesuaikan diri di tempat yang sempit’
diharapkan agar ketika suami dan istri mempunyai anak mampu menerepakan sifat disiplin
untuk anak, agar anak mampu menyesuaikan diri di lingkungan sekitarnya, baik lingkungan
besar ataupun lingkungan kecil.
5. Nilai Religi
Menurut Sibarani nilai religi adalah merupakan dasar dari pembentukkan budaya religius,
nilai yang bersifat kerohanian yang tinggi, bersifat mutlak dan abadi, serta bersumber pada
kepercayaan dan keyakinan dalam diri manusia. Pepatah-petitih Minangkabau pada acara
Niniak-Mamak yang mengandung nilai religi terdapat pada data (10)
Data (10) Rumah gadang di dapan lumbuang nan tarukir
‘Rumah gadang di depan lumbung yang terukir’
Jo nan kuaso yang maha pencipto
‘Itu karena kuasa yang Maha Pencipta’
Kok lai punyo anak laki-laki
‘Jika punya anak laki-laki’
Samoga ka dapek anak yang nan bijaksano pandai mamimpin
Kok lai punyo anak padusi
Jika punya anak perempuan
Samoga pandai batutur kato nan elok
‘Semoga pandai bertutur kata yang baik’
Data (10) pada kalimat mengandung nilai religi jo nan kuaso Maha Pancipto ‘dengan kuasa Yang Maha Pencipta’ yang menujukan sebuah permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan kuasa-Nya agar kelak suami istri mendapatkan anak yang baik sebagai pemimpin
serta berperilaku yang sopan santun terdahap sesama manusia.
6. Nilai Pengelolaan Gender
Menurut Suryadi dan Idris nilai pengelolaan gender adalah jenis kelamin sosial dan
konotasi masyarakat untuk menentukan peran sosial berdasarkan jenis kelamin. Pepatah-petitih Minangkabau adat Niniak Mamak yang mengandung nilai pengelolaan gender terdapat pada data
Data (2) Sigau mancari anau ‘Tangga mencari enau’ Anau tatap sigai baranjak
‘Enau tetap tangga pindah
Nan marapulai datang dek bajapuik pai jo baanta
‘Pengantin laki-laki datang karena dijemput pergi dengan diantar’
Nan nak daro menanti di rumah
‘Yang pengantin perempuan tetap di rumah’
Pepatah-petitih di atas terdapat nilai pengelolaan gender. Yaitu dengan membandingkan antara
laki-laki datang karena dijemput pergi dengan diantar yang pengantin perempuan tetap di rumah’ Dalam setiap adat pernikahan Minangkabau semua laki-laki akan diantar ke rumah istrinya dan dijemput oleh keluarga istrinya secara adat. Bila terjadi perceraian, maka suami yang
harus pergi dari rumah istrinya. Sedangkan istri tetap tinggal di rumah bersama anak-anaknya
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Adapun yang menjadi simpulan dari penelitian ini adalah:
1. Dalam data pepatah-petitih pernikahan Adat Minangkabau terdapat tiga makna
pepatah-petitih (peribahasa) yaitu:
1. Membandingkan (penyamaan)
2. Menasehati
3. Mengharapkan sesuatu
2. Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap makna pepatah-petitih bahasa
Minangkabau dapat disimpulkan adanya nilai-nilai budaya yang terdapat pada
masyarakat Minangkabau yang bernilai baik seperti : nilai kejujuran, nilai komitmen,
nilai kerukunan dan penyelesaian konflik, nilai pengelolaan gender, nilai religi, dan
nilai disiplin.
5.2 Saran
Peneliti berharap agar peneliti-peneliti lain melakukan penelitian sejenis dalam
suku/etnik lain. Untuk mendukung suksesnya peneliti lanjutan, kiranya masyarakat Minangkabau
turut berpartisipasi mendukung penelitian setiap budaya yang ada dalam masyarakat agar budaya
itu sendiri tidak punah, khusunya untuk masyarakat Minangkabau agar tetap memakai dan
mempertahankan pepatah-petitih (peribahasa) dengan cara sering mengucapkan pepatah-petitih
BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUN PUSTAKA
2.1 Konsep
2.1.1 Makna
Makna merupakan hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati
bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti (Bolinger dalam Aminuddin,1981:108).
Makna adalah arti yang tersimpul dari suatu kata. Jika suatu kata tidak bisa dihubungkan dengan
bendanya, maka peristiwa atau keadaan tertentu tidak bisa memperoleh makna dari kata itu
(Tjiptada, 1984:19).
Mansoer Pateda (2001:79) mengemukakan bahwa istilah makna merupakan kata-kata dan
istilah yang membingungkan, makna tersebut selalu menyatu pada tuturan kata maupun kalimat.
Beberapa istilah yang berhubungan dengan pengertian makna, yakni makna donatif, makna
konotatif, makna leksikal, makna gramatikal. Dari batasan pengertian tersebut dapat diketahui
adanya tiga unsur pokok yang tercakup di dalamnya, yakni :
1. Makna adalah hasil hubungan bahasa dengan dunia luar
2. Penentuan hubungan terjadi karena kesepakatan para pemakai
3. Perwujutan makna itu dapat digunakan untuk menyampaikan informasi sehingga dapat
Dengan mempelajari suatu makna pada hakikatnya mempelajari bagaimana setiap
pemakai bahasa dalam suatu masyarakat bahwa dapat saling mengerti. Tanpa adanya makna
tuturan ini tidak akan berfungsi apa-apa dalam sebuah percakapan atau komunikasih. Dalam
kehidupan sehari-hari manusia sering tidak berkata terus terang dalam menyampaikan
maksudnya, bahkan hanya menggunakan isyarat tertentu.
Untuk itu, orang sering menggunakan ungkapan. Pateda (2001:230) menggolongkan
makna ungkapan itu menjadi empat yaitu : (1) mengharapkan sesuatu, (2) mengejek, (3)
membandingkan, dan (4) menasehati. Keempat makna peribahasa dan ungkapan di atas tidak
diucapkan secara terus terang, melainkan dengan menggunakan kata-kata khusus. Oleh sebab itu,
orang harus tanggap menemukan makna tersirat di dalamnya.
Makna merupakan hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati
bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti (Bolinger dalam Aminuddin,
1981:108). Dengan mempelajari suatu makna pada hakikatnya mempelajari bagaimana setiap
pemakai bahasa dalam suatu masyarakat bahasa dapat saling mengerti. Tanpa adanya makna
tuturan itu tidak akan berfungsi apa-apa dalam sebuah percakapan atau komunikasi. Dalam
kehidupan sehari-hari manusia sering tidak berkata terus terang dalam penyampaian maksudnya,
bahkan hanya menggunakan isyarat tertentu. Untuk itu, orang sering menggunakan peribahasa,
pantun, ataupun ungkapan.
Peribahasa, pantun, maupun gurindam mengandung makna kias atau makna konotasi.
Makna konotasi adalah aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan
atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca).
Pateda, 2001:112). Makna konotasi ini tidak sesuai lagi dengan makna sebenarnya atau makna
konsep yang terdapat dalam sebuah kata. Intinya, makna kias itu sendiri sudah bergeser dari
makna sebenarnya walaupun masih ada kaitanya dengan makna sebenarnya.
Harimurti (dalam Pateda, 2001: 232) mengatakan bahwa orang dituntut untuk memahami
makna setiap kata yang membentuk peribahasa, pantun dan ungkapan, orang dituntut untuk
menerka makna kiasan yang terdapat didalamnya. Makna bukan kumpulan setiap kata, tetapi
makna simpulan peribahasa, pantun, dan ungkapan tersebut. Selanjutnya, orang dituntut untuk
tanggap mengasosiasikannya dengan makna tersirat, dan orang pun dituntut untuk dapat
membandingkan dengan kenyataan sebenarnya.
2.1.2 Pepatah-petitih
Peribahasa atau yang biasa orang Minang sebut dengan Pepatah-petitih merupakan jenis
peribahasa yang berisi nasehat atau ajaran dari orang-orang tua. Padanan setiap katanya
mengandung aturan dasar dalam berperilaku. Makna pepatah-petitih yang terkandung di
dalamnya sangat dalam dan bijak. Pepatah-petitih sering digunakan untuk memberi nasehat,
memberi sindiran halus, memberi pujian, untuk mematahkan pembicaraan lawan bicara.
Edwar Djarmis; 1990:26 mengatakan bahwa pepatah-petitih itu ada yang bersifat
universal, berlaku untuk semua orang dan segala zaman; dapat pula ditafsirkan banyak sesuai
dengan suasana dan situasi penggunaannya; mempunyai arti kiasan, merupakan suatu
perumpamaan yang tepat; halus dan jelas; mutiara bahasa mustika bahasa, bunga bahasa,
keindahan bahasa, dan pula dianggap sebagai bahasa diplomasi. Menurut Aman (1961) nasehat
yang pahit sekalipun dengan sebuah peribahasa tidaklah akan tajam kedengaran, dan terang tidak
Definisi peribahasa menurut para ahli, antara lain (1) kalimat atau kelompok perkataan
yang biasanya mengiaskan sesuatu maksud yang tentu (Poerwadaminta dalam Sudaryat,
2009:89); (2) kelompok kata atau kalimat yang tetap susunannya dan biasanya mengisahkan
maksud tertentu; (3) ungkapan atau kalimat ringkas, padat yang berisi perbandingan,
perumpamaan, nasihat, prinsip hidup, atau gambaran tingkah laku (KBBI dalam Sudaryat,
2009:89). Peribahasa ialah salah satu bentuk idiom berupa kalimat yang susunannya tetap dan
menunjukkan perlambangan kehidupan, peribahasa meliputi pepatah dan perumpamaan.
1. Pepatah
Pepatah didefinisikan sebagai; (1) peribahasa yang mengandung nasehat, peringatan, atau
sindiran (KBBI, 2009:90), (2) berupa ajaran dari orang-orang tua (Poerwadaminta dalam
Sudaryat, 2009:90), (3) kadang-kadang merupakan undang-undang dalam masyarakat (Zakaria
dan Sofyan dalam Sudaryat, 2009:90).
2. Perumpamaan
Perumpamaan adalah peribahasa yang berisi perbandingan dari kehidupan manusia. Ciri utama
dari perumpamaan ialah adanya kata-kata bagai, laksana, seperti dan sebagainya (Sudaryat,
2009:91).
2.1.3 Niniak Mamak
Niniak mamak di Minangkabau mempunyai peranan yang sangat penting dan menentukan dalam kekuatan kekerabatan adat Minang itu sendiri, tanpa penghulu dan niniak
mamak suatu nagari di Minangkabau diibaratkan seperti kampung atau negeri yang tidak bertuan
karena tidak akan jalan tatanan adat yang dibuat, sebagai penghulu datuk harus tahu tugas dan
melindungi, dan mengatur pemanfaatan harta pusaka tinggi untuk kemakmuran kemenakannya.
Berbagai permasalahan anak kemenakan yang berhubungan dengan hidup bernagari di kampung
di bahas oleh Niniak Mamak dari berbagai penjuru kepala suku atau datuk-datuknya.
2.1.4 Masyarakat Minangkabau
Minangkabau atau disingkat Minang merujuk pada entitas kultural dan geografis yang
ditandai dengan penggunaa
identitas agama Islam. Secara geografis, Minangkabau meliputi darat
darat
Daya
disamakan sebagai orang Padang, merujuk pada nama ibu kota provinsi Sumatera Barat
urang awak,
bermaksud sama dengan orang Minang itu sendiri.
Masyarakat Minang bertahan sebagai penganut matrilineal terbesar di dunia. Selain itu,
etnis ini telah menerapkan sistem proto-demokrasi sejak masa pra
kerapatan adat untuk menentukan hal-hal penting dan permasalahan hukum. Prinsip adat
Minangkabau tertuang dalam pernyataan Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendika
Menurut
dan Datuk Ketumanggungan
mewariskan sistem adat Koto Piliang yang aristokratis, sedangkan Datuk Perpatih mewariskan
Dalam perjalanannya, dua sistem adat yang dikenal dengan kelarasan ini saling mengisi dan membentuk sistem masyarakat Minangkabau. Dalam masyarakat Minangkabau, ada tiga
pilar yang membangun dan menjaga keutuhan budaya serta adat istiadat. Mereka adalah alim
ulama, cerdik pandai, dan niniak mamak, yang dikenal dengan istilah Tungku Tigo Sajarangan. Ketiganya saling melengkapi dan bahu membahu dalam posisi yang sama tingginya. Dalam
masyarakat Minangkabau yang demokratis dan egaliter, semua urusan masyarakat
dimusyawarahkan oleh ketiga unsur itu secara mufakat.
Pernikahan Minangkabau tidak mengenal mas kawin, tetapi mengenal uang jemputan
yaitu pemberian sejumlah uang dan barang kepada keluarga mempelai laki-laki. Sesudah upacara
pernikahan mempelai tinggal di rumah istrinya (matrilokal). Di samping itu, Minangkabau juga
menonjol dalam seni berkata-kata. Ada tiga genre seni berkata-kata, yaitu pasambahan
(persembahan), indang, dan salawat dulang. Seni berkata-kata lebih mengedepankan kata kiasan,
ibarat, metafora, dan nasehat. Dalam seni berkata-kata seseorang diajarkan untuk
mempertahankan kehormatan dan harga diri, tanpa menggunakan senjata dan kontak fisik.
Bahasa Minangkabau merupakan salah satu anak cabang bahasa Austronesia. Walaupun
ada perbedaan pendapat mengenai hubungan bahasa Minangkabau dengan bahasa Melayu, ada
yang menganggap bahasa yang dituturkan masyarakat ini sebagai bagian dari dialek Melayu,
karena banyaknya kesamaan kosakata dan bentuk tuturan di dalamnya, sementara yang lain
justru beranggapan bahasa ini merupakan bahasa mandiri yang berbeda dengan Melayu serta ada
juga yang menyebut bahasa Minangkabau merupakan bahasa proto-Melayu. Selain itu dalam
masyarakat penutur bahasa Minang itu sendiri juga sudah terdapat berbagai macam dialek
Adat dalam perspektif Minangkabau merupakan sistem nilai yang mengatur perilaku
yang tertulis dalam pepatah-petitih. Agama adalah sandi (landasan penguat tiang bangunan
rumah adat Minang, bukan sendi atau pondasi) dari adat, yang rujukan utamanya adalah Kitab
Suci Al-Qur’an dan alam Sunatullah yang tidak tertulis. Sedangkan budaya merupakan perilaku
mengacu pada norma dan adat.
Masyarakat Minangkabau masih menjunjung adat kebersamaan dan saling
bergotong-royong. Masyarakat Minangkabau dikenal sebagai masyarakat yang religius. Nilai positif dari
suku Minang adalah, suku Minang menganut sistem matrineal yang mana keturunan berdasarkan
garis ibu, jadi harta akan jatuh ke tangan wanita, apabila suatu saat lelaki meninggalkan wanita,
maka wanita itu tidak menjadi rentan dan terlalu bergantung pada pria.
2.2 Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan teori makna dan nilai-nilai budaya, yang diyakini mampu
menjelaskan fenomena yang terdapat pada pepatah-petitih, nilai-nilai budaya pepatah-petitih
yang terdapat Niniak-Mamak dalam pernikahan Minangkabau. Robert Sibarani
mengkalsifikasikan nilai-nilai budaya antara lain : (1) kesejahteraan; (2) kerja keras; (3) disiplin;
(4) pendidikan; (5) kesehatan; (6) gotong-royong; (7) pengelolaan gender; (8) pelestarian dan
kreativitas budaya; (9) peduli lingkungan; (10) kedamaian; (11) kesopansantunan; (12)
kejujuran; (13) kesetiakawanan sosial; (14) kerukunan dan penyelesaian konflik; (15) komitmen;
2.2.1 Antropolinguistik
Sibarani (2004:50) mengatakan bahwa antropolinguistik secara garis besar membicarakan
dua tugas utama yakni (1) mempelajari kebudayaan dari sudut bahasa dan (2) mempelajari
bahasa dalam konteks kebudayaan. Antropolinguistik juga mempelajari unsur-unsur budaya yang
terkandung dalam pola-pola bahasa yang dimiliki oleh penuturnya, serta mengkaji bahasa dalam
hubungannya dengan budaya penuturnya secara menyeluruh.
Bahasa dan budaya memiliki hubungan yang sengat erat, saling mempengaruhi, saling
mengisi, dan berjalan berdampingan. Yang paling mendasari hubungan bahasa dengan
kebudayaan adalah bahasa harus dipelajari dalam konteks kebudayaan, dan kebudayaan dapat
dipelajari melalui bahasa (Sibarani, 2004:51). Dengan kata lain, antropolinguistik mempelajari
kebudayaan dari sumber-sumber bahasa, dan juga sebaliknya mempelajari bahasa yang dikaitkan
dengan budaya.
Harafiah (2005:61) juga mengatakan bahwa antropolinguistik menganggap bahwa factor
budaya tidak bisa ditinggalkan dalam penelitian bahasa. Bahasa merupakan fakta yang harus
dipertimbangkan dalam kajian budaya dalam kehidupan manusia. Inti masalah dalam kajian
antropolinguistik adalah sistem kepercayaan, nilai, moral, tingkah laku, dan pandangan atau
unsur-unsur yang mencorakkan budaya suatu kumpulan masyarakat.
2.2.2 Nilai-Nilai Budaya
Kebudayaan merupakan seperangkat peraturan atau norma yang dimiliki bersama oleh
para anggota masyarakat, yang kalau dilaksanakan oleh para anggotanya, melahirkan perilaku
1999: 333). Dengan demikian, kebudayaan terdiri dari nilai-nilai, kepercayaan, dan persepsi
abstrak tentang jagat raya yang berada di balik, dan yang tercermin dalam perilaku manusia
(Mahsun, 2001: 2).
Nilai budaya merupakan suatu gejala abstrak, ideal dan tidak inderawi atau kasat mata.
Nilai budaya hanya bisa diketahui melalui pemahaman dan penafsiran tindakan, perbuatan, dan
tuturan manusia (Saryono, 1997:31). Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa nilai budaya
adalah sesuatu yang menjadi pusat dan sumber daya hidup dan kehidupan manusia secara
individual, sosial, dan religius-transendental untuk dapat terjaganya pandangan hidup
masyarakat.
Pendapat lain yang menyangkut manusia itu sendiri sebagai subjek dikemukakan oleh
Perry (dalam Djayasudarma, 1997:12) yang menyatakan bahwa nilai adalah segala sesuatu yang
menarik bagi manusia sebagai subjek. Pandangan ini menegaskan bahwa manusia itu sendirilah
menentukan nilai dan manusia sebagai pelaku (penilai) dari kebudayaan yang berlaku pada
zamannya. Nilai budaya dalam penelitian ini dipahami sebagai nilai yang mengacu kepada
berbagai hal (dengan pemahaman seluruh tingkah laku manusia sebagai hasil budaya), antara
lain nilai dapat mengacu pada minat, kesukaan, pilihan, tugas, kewajiban beragama, kebutuhan,
keamanan, hasrat, keengganan, daya tarik, dan hal lain yang berhubungan dengan perasaan
(Papper dalam Djayasudarma, 1997:10).
Sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam pikiran sebagian
besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup
(Koentjaraningrat, 2004:25). Nilai-nilai budaya merupakan nilai-nilai yang disepakati dan
pada suatu kebiasaan, kepercayaan (believe), simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan prilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi
atau sedang terjadi.
Sehubungan dengan ini Prosser (1978:303) mengatakan bahwa nilai adalah aspek budaya
yang paling dalam tertanam dalam suatu masyarakat. Lebih lanjut Prosser mengelompokkan nilai
menjadi lima bagian, yaitu (1) nilai yang berhubungan dengan Tuhan, (2) nilai yang
berhubungan dengan dan berorientasi dengan alam, (3) nilai yang berhubungan dengan dan
berorientasi pada waktu, (4) nilai yang berhubungan dan berorientasi pada kegiatan, dan (5) nilai
yang berhubungan dan berorientasi pada hubungan antarmanusia.
Nilai itu sendiri dapat dipahami sebagai penelitian yang diperoleh individu dalam
kehidupan bermasyarakat pada saat menanggapi berbagai rangsangan tertentu mengenai mana
yang diinginkan dan mana yang tidak diinginkan. Nilai menumbuhkan sikap individu, yaitu
secara kecenderungan yang dipelajari individu untuk menjawab atau menanggapi rangsangan
yang hadir di sekitarnya (Mintargo, 2000 :18)
Robert Sibarani mengkalsifikasikan nilai-nilai budaya antara lain : (1) kesejahteraan; (2)
kerja keras; (3) disiplin; (4) pendidikan; (5) kesehatan; (6) gotong-royong; (7) pengelolaan
gender; (8) pelestarian dan kreativitas budaya; (9) peduli lingkungan; (10) kedamaian; (11)
kesopansantunan; (12) kejujuran; (13) kesetiakawanan sosial; (14) kerukunan dan penyelesaian
2.3 Tinjauan Pustaka
Berdasarkan tinjauan pustaka yang dilakukan, maka ada sejumlah sumber yang relavan
untuk dikaji dalam penelitian ini, adapun sumber tersebut adalah :
Parlindungan Purba (2002) tesis berjudul : Ruang Persepsi Metafora pada Umpasa Masyarakat Batak Toba : Suatu Kajian Paragmatik. Kajian ini difokuskan pada ruang persepsi metafora yang ditemukan dalam masyarakat Batak Toba pada kegiatan acara adat marhata sinamot ‘memusyawarahkan uang emas kawin’, dan meranjuk’ pesta membayar adat.
Nurcahaya (2007) dalam skripsi yang judulnya “Tuturan pada upacara adat pernikahan masyarakat Batak Toba” mengkaji jenis tuturan yang terdapat pada upacara adat pernikahan masyarakat Batak Toba dan tuturan yang paling dominan digunakan dalam upacara tersebut.
Nurcahaya menggunakan metode simak dengan teknik lanjutan, yaitu teknik simak bebas libat
cakap dan dilanjutkan dengan teknik rekam dalam mengumpulkan data penelitiannya.
Selanjutnya, data yang diperoleh dari penutur jati bahasa Batak Toba dan dari beberapa buku
Batak Toba yang dianalisis dengan metode padan dengan penentu mitra wicara. Teori yang
digunakan adalah teori tindak tutur Searle.
Erni sihombing (2008) juga pernah melakukan penelitian mengenai Makna ungkapan dalam bahasa Batak Toba. Dalam penelitianya membahas mengenai makna ungkapan yang ada di dalam bahasa Batak Toba dan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam bahasa Batak Toba. Dia
membagi makna ungkapan menjadi empat yaitu : makna nasehat, makna menyindir, makna
penyamaan, dan makna harapan dan nilai-nilai budaya terbagi kedalam lima bagian yaitu :
hubungan manusia dengan karya, hubungan manusia dengan waktu, hubungan manusia dengan
Sibarani (2008) dalam tesisnya “Tindak Tutur dalam Upacara Pernikahan Masyarakat Batak Toba” mengkaji tindak tutur yang digunakan hulahula ‘pemberi istri’, dongan sabutuha ‘kerabat semarga’, dan boru ‘penerima istri’,tindak tutur apa yang dominan, bagaiman cara
tindak tutur dilakukan, serta jenis dan fungsi tindak tutur dalam pernikahan masyarakat Batak
Toba. Metode deskriptif digunakan Sibarani untuk mendeskripsikan data penelitian secara
sistematis dan akurat, yakni menggambarkan dengan jelas objek yang diteliti secara alamiah.
Teori yang digunakan Sibarani untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah teori
tindak tutur kempson (1984), Wijana (1996), dan Searle.
Basaria (2009) dalam Makalah Seminar Nasional Budaya Etnik III edisi 11 yang
berjudul “Ungkapan Metafora Pada Etnis Batak Toba” membahas nilai-nilai budaya yang tecermin dari ungkapan indirecness metafor dalam bahasa Batak Toba. Sebagian dari nilai
budaya yang dimaksud adalah motivasi berusaha, rasa solidaritas, gambaran sikap perilaku,
etika, dan moral yang hidup pada masyarakat Batak Toba.
Tampubolon (2010) dalam tesisnya “ Umpasa Masyarakat Batak Toba dalam rapat adat “suatu kajian Pragmatik” membahas tiga masalah penelitian, yakni komponen tindak tutur, jenis tindak tutur, dan fungsi tindak tutur. Tampubolon menggunakan metode deskriftif dengan
membuat deskripsi yang sistematis dan akurat mengenai data yang diteliti. Dalam menyelesaikan
ketiga masalah tersebut Tampubolon menggunakan teori tindak tutur kempson (1984), Wijana
(1996), dan Searle.
Lilimiwirdi (2011) dalam tesisnya “Eufimisme dalam masyarakat Minangkabau di Kota Padang” Berdasarkan fungsinya eufemisme dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (1) Sebagai penghalus makna, meliputi fungsi ramah-tamah, penghormatan, pertanggungjawaban, dan
ekonomi; (2) Eufemisme untuk menjaga ketabuan; (3) eufemisme untuk menyugesti sesuatu
yang tidak menyenangkan meliputi fungsi pengendalian, kesangsian, kecurigaan, penipuan,
kebohongan, menghindari kesalahpahaman, dan kehancuran. Melalui eufemisme, juga ditelusuri
ideologi dan nilai yang dipakai di dalam masyarakatnya. Ideologi yang ditemukan adalah
keagamaan, sosialisme, materialisme, adat istiadat, etika atau moral, dan estetika. Kemudian,
nilai yang ditemukan adalah nilai religius (Islam), kepercayaan (kekuatan supranatural),
kebersamaan, kasih-sayang, kearifan, kecurigaan, kebohongan, kewaspadaan, kesetaraan,
ekonomi dan penawaran, kesangsian, ketakutan/kengerian, adat istiadat, etika, dan estetika.
Basaria dalam Hipotesis Sapir – Whorf Pada Umpasa Bahasa Batak Toba, budaya dan perilaku orang Batak dapat dilihat pada ungkapan dan bahasanya. Bahasa dalam ungkapan
biasanya dipergunakan dalam situasi-komunikasi yang dipandang sakral dan sangat resmi dalam
pertemuan-pertemuan orang Batak yang diturun-temurunkan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Jadi ungkapan tersebut mengekspresikan perilaku dan nilai nilai yang telah lama ada
pada orang Batak dan sampai saat ini masih terus hidup. Orang Batak sangat menghargai
nilai-nilai budaya/adat yang terdapat dalam berbagai ungkapan yang diturunkan oleh orang tuanya
(yang dipandangnya sebagai orang yang pantùn dalam masyarakatnya. Jadi kajian ini
membuktikan kebenaran HSW dalam bahasa Batak Toba. Bahasa Batak Toba mengekspresikan
budaya dan perilaku orang Batak sebaliknya perilaku dan Budaya orang Batak dapat
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa adalah lambang bunyi yang digunakan oleh semua orang atau anggota
masyarakat untuk bekerja sama dengan mengidentifikasikan diri dalam bentuk percakapan yang
baik, tingkah laku yang baik dan sopan santun yang baik. Bahasa merupakan suatu sistem
komunikasi yang menggunakan suara yang dihubungkan satu sama lain menurut seperangkat
aturan sehingga memiliki arti (Haviland, 1995). Hal ini merupakan definisi bahasa menurut
Haviland, menggunakan suara sebagai suatu sistem komunikasi digunakan oleh setiap manusia
untuk berinteraksi dengan manusia lainnya
Menurut Sudaryono, bahasa adalah sarana komunikasi yang efektif walaupun tidak
sempurna sehingga ketidaksempurnaan bahasa sebagai sarana komunikasi menjadi salah satu
sumber terjadinya kesalahpahaman. Kridalaksana (1984:28) mengatakan bahasa adalah sistem
lambang bunyi yang arbiter, yang dipergunakan oleh para anggota masyarakat untuk bekerja
sama, berinteraksi, dalam mengidentifikasikan diri; percakapan (perkataan) yang baik; tingkah
laku yang baik; sopan santun.
Pepatah-Petitih merupakan salah satu bahasa lisan masyarakat Minangkabau yang berisikan nasehat, sindiran, pandangan-pandangan atau pedoman hidup yang baik, dan
petunjuk-petunjuk dalam melakukan hubungan sosial dalam masyarakat. Pada masyarakat Minangkabau
pepatah-petitih mempunyai makna tersendiri sebagai pegangan dalam menjalankan hidupnya. Penggunaan istilah pepatah-petitih disampaikan oleh penghulu di dalam berbagai acara.
ditaati dan dihormati. Pepatah-petitih adalah sarana masyarakat merefleksikan diri akan hakikat kebudayaan, pemahaman mendasar dari pesan, dan tujuan dari sebuah kebudayaan.
Untuk memperoleh pemahaman tentang pepatah-petitih, berikut dikemukakan beberapa pengertian. Petatah atau pepatah adalah peribahasa yang mengandung nasihat dan sebagainya;
perkataan (ajaran) orang tua-tua; pepatah-petitih, adalah berbagai-bagai peribahasa
(Poerwadarminta;1985:734). Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pepatah
adalah peribahasa yang mengandung nasehat atau ajaran dari orang tua-tua (biasanya dipakai
atau diucapkan untuk mematahkan lawan bicara). Pepatah-petitih artinya berbagai-bagai peribahasa (Depdikbud;1988:666).
Dalam struktur sosial masyarakat Minangkabau dikenal adanya pemuka adat yang
disebut Niniak Mamak atau lebih dikenal lagi dengan sebutan Datuk . Niniak Mamak atau Datuk
kadang- kadang disebut penghulu memiliki fungsi yang sama. Suku Minangkabau termasuk suku
yang kaya akan adat dan kebudayaan. Sifat dan ciri alam sering dimetaforakan ke sifat perilaku
bahasa. Hakimy (dalam Oktavianus, 2006 : 24) mengatakan bahwa filosofi alam terkembang jadi
guru merupakan sumber pengetahuan yang dapat dijadikan pedoman hidup.
Dalam struktur masyarakat Minangkabau, Datuk mempunyai peran yang sangat penting,
terutama dalam sistem kekerabatan. Di samping peranannya dalam kekerabatan perkauman,
Datuk pun secara tradisional akan berkuasa atas sumber daya alam dan membagi hak
pengolahannya, dalam bidang ekonomi misalnya, datuk memperhatikan dan mengetahui
kesulitan-kesulitan dan kemudahan yang diderita oleh anak kemenakan atau dengan kata lain
selalu mengawasi dan kebijakan menerima informasi yang baik atau buruk terhadap kehidupan
Pernikahan adat Minangkabau merupakan salah satu kebudayaan yang memiliki
keunikan, yaitu berupa ritual adat Minangkabau. Dalam adat Minangkabau, penyatuan dua
orang dari anggota masyarakat melalui pernikahan tidak bisa dilepaskan dari kepentingan
kelompok masyarakat yang bersangkutan. Yang dimaksud pernikahan menurut adat
Minangkabau menjalin pendekatan yang berlaku seperti umumnya, tidak dibenarkan melakukan
pernikahan sesama marga di Minang. Ketentuan ini wajib dipahami bagi kaum muda yang ingin
mencari pasangan hidup. Janji setia terpatri bagi pemuda yang akan merantau, mencari
pengalaman, mencoba kemandirian serta mencari bekal materi untuk berumah tangga.
Adapun beberapa proses pernikahan adat Minangkabau yaitu :
• Maresek merupakan penjajakan pertama sebagai permulaan dari rangkaian tatacara
pelaksanaan pernikahan. Sesuai dengan sistem kekerabatan di Minangkabau, pihak
keluarga wanita mendatangi pihak keluarga pria. Lazimnya pihak keluarga yang datang
membawa buah tangan berupa kue atau buah-buahan sesuai dengan sopan santun budaya
timur.Pada awalnya beberapa wanita yang berpengalaman diutus untuk mencari tahu
apakah pemuda yang dituju berminat untuk menikah dan cocok dengan si gadis. Prosesi
bisa berlangsung beberapa kali perundingan sampai tercapai sebuah kesepakatan dari
kedua belah pihak keluarga
• Keluarga calon mempelai wanita mendatangi keluarga calon mempelai pria untuk
meminang. Bila tunangan diterima, berlanjut dengan bertukar tanda sebagai simbol
pengikat perjanjian dan tidak dapat diputuskan secara sepihak. Acara melibatkan orang
tua atau niniak mamak dan para sesepuh dari kedua belah pihak. Rombongan keluarga
carano atau kampla yaitu tas yang terbuat dari daun pandan. Menyuguhkan sirih diawal
pertemuan dengan harapan apabila ada kekurangan atau kejanggalan tidak akan menjadi
gunjingan. Sebaliknya, hal-hal yang manis dalam pertemuan akan melekat dan diingat
selamanya.
• Maanta Siriah Tanyo, yang artinya mendapatkan menantu anak dari saudara suami,
adalah harapan bagi para ibu di Minangkabau. Pernikahan semacam ini disebut induk
bako. Pernikahan ideal lainnya adalah ikatan pernikahan antara anak dari keluarga ibu
dengan anak paman yang disebut anak pisang. Sebelum melamar niniak mamak dan
orang tua sudah saling menjajaki kemungkinan menikahkan anak mereka.
• Maanta bali/ Mananti bali, bagian dari proses pernikahan adat Minang ini memberi
gambaran bahwa pihak calon pengantin pria berkewajiban menyediakan keperluan pesta
kepada pihak calon mempelai wanita. Ada dua istilah untuk prosesi ini : mananti bali
yang dilaksanakan dirumah calon pengantin wanita dan maanta bali yang dilakukan
dirumah calon pengantin pria. Rombongan atau utusan keluarga calon pengatin pria
beriringan sambil menjunjung hantaran berupa bahan mentah menuju kediaman keluarga
calon pengantin wanita.
• Malam Bainai, adalah malam seribu harapan, seribu doa bagi kebahagian rumah tangga
anak daro yang akan melangsungkan pernikahan esok harinya. Tumbukkan daun inai atau
yang biasa disebut daun pacar, yang ditorehkan pada kuku calon mempelai oleh orang
• Manjalang, gambaran panuh hikmah para tetua menghantar anak daro dalam mengarungi
hidup rumah tangga. Payung dan bahan makanan mengartikan pengayoman, penghidupan
bagi rumah tangga yang akan dibina anak daro yang mereka antarkan.
• Maanta Marapulai, saudara dari pihak pengantin pria menghantar sang pengantin pria
sebagai tanda turut berbahagia. Kian hari kian berkurang jumlah pengantarnya, hingga
marapulai mulai terbiasa di tinggal dirumah anak daro. Pada budaya Minang, tinggal di
rumah mertua layaknya kewajiban bagi marapulai.
• Manikam Jajak, proses dimana kedua pengantin baru pergi ke rumah orang tua serta
niniak mamak pengantin pria dengan membawa makanan. Tujuan dari adat Manikam
jajak di Minang ini adalah untuk menghormati atau memuliakan orang tua serta niniak
mamak.
Acara pernikahan Niniak Mamak adalah, seorang penghulu atau datuk yang mempunyai
kedudukan kuat, dan dihormati sebagai gadang basa batuah . Niniak mamak dihormati sebagai suluah bendang dalam nagari. Niniak mamak berperan mengayomi anak kamanakan baik dari
limbago paruik/ jurai sampai ke kaum suku di kampung. Dalam upacara pernikahan,
dilaksanakan pihak perempuan yang disebut kemenakan meminta izin kepada
mamak-mamaknya (pamannya) untuk meminta restu agar pria yang dinikahinya dianggap sebagai sutan mudo dari paman tersebut. Kemenakan wajib melakukan upacara ritual Niniak Mamakini, agar calon suaminya nanti menjadi anak laki-laki pamannya.
Upacara Niniak Mamak adalah bagian dari kajian Antropologi. Sebagaimana
antropolinguistik adalah salah satu cabang linguistik yang menelaah hubungan antara budaya dan
dalam tindakan bermasyarakat (Lauder, 2005: 231). Kajian Antropolinguistik menelaah struktur
dan hubungan kekeluargaan, konsep warna, dan pola pengasuhan anak, atau menelaah
bagaimana anggota masyarakat saling berkomunikasi pada situasi tertentu seperti pada upacara
adat, lalu menghubungkannya dengan konsep kebudayaannya. Harafiah (2005 : 61) juga
mengatakan bahwa Antropolinguistik menganggap bahwa faktor budaya tidak bisa ditinggalkan
dalam penelitian bahasa. Bahasa merupakan faktor yang harus dipertimbangkan dalam kajian
budaya dalam kehidupan manusia.
Adapun Pepatah-petitih dalam adat niniak-mamak etnis Minangkabau seperti berikut ini :
Sigai mancari anau
‘Tangga mencari enau’
Anau tatap sigai baranjak
‘Enau tetap tangga pindah
Nan marapulai datang dek bajapuik pai jo baanta
‘Pengantin laki-laki datang karena dijemput’
Nan nak daro mananti di rumah
‘Yang pengantin perempuan menanti di rumah’
Pepatah-petitih di atas terdapat nilai pengelolaan gender. Yaitu dengan membandingkan
antara kedudukan suami dan istri. Yang mengandung nilai pengelolaan gender terdapat pada isi
nan marapulai datang d