• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pepatah-Petitih Dalam Adat Pernikahan Niniak Mamak Etnis Minangkabau Kajian Antropolinguistik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pepatah-Petitih Dalam Adat Pernikahan Niniak Mamak Etnis Minangkabau Kajian Antropolinguistik"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUN PUSTAKA

2.1 Konsep 2.1.1 Makna

Makna merupakan hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati

bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti (Bolinger dalam Aminuddin,1981:108).

Makna adalah arti yang tersimpul dari suatu kata. Jika suatu kata tidak bisa dihubungkan dengan

bendanya, maka peristiwa atau keadaan tertentu tidak bisa memperoleh makna dari kata itu

(Tjiptada, 1984:19).

Mansoer Pateda (2001:79) mengemukakan bahwa istilah makna merupakan kata-kata dan

istilah yang membingungkan, makna tersebut selalu menyatu pada tuturan kata maupun kalimat.

Beberapa istilah yang berhubungan dengan pengertian makna, yakni makna donatif, makna

konotatif, makna leksikal, makna gramatikal. Dari batasan pengertian tersebut dapat diketahui

adanya tiga unsur pokok yang tercakup di dalamnya, yakni :

1. Makna adalah hasil hubungan bahasa dengan dunia luar

2. Penentuan hubungan terjadi karena kesepakatan para pemakai

3. Perwujutan makna itu dapat digunakan untuk menyampaikan informasi sehingga dapat

(2)

Dengan mempelajari suatu makna pada hakikatnya mempelajari bagaimana setiap

pemakai bahasa dalam suatu masyarakat bahwa dapat saling mengerti. Tanpa adanya makna

tuturan ini tidak akan berfungsi apa-apa dalam sebuah percakapan atau komunikasih. Dalam

kehidupan sehari-hari manusia sering tidak berkata terus terang dalam menyampaikan

maksudnya, bahkan hanya menggunakan isyarat tertentu.

Untuk itu, orang sering menggunakan ungkapan. Pateda (2001:230) menggolongkan

makna ungkapan itu menjadi empat yaitu : (1) mengharapkan sesuatu, (2) mengejek, (3)

membandingkan, dan (4) menasehati. Keempat makna peribahasa dan ungkapan di atas tidak

diucapkan secara terus terang, melainkan dengan menggunakan kata-kata khusus. Oleh sebab itu,

orang harus tanggap menemukan makna tersirat di dalamnya.

Makna merupakan hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati

bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti (Bolinger dalam Aminuddin,

1981:108). Dengan mempelajari suatu makna pada hakikatnya mempelajari bagaimana setiap

pemakai bahasa dalam suatu masyarakat bahasa dapat saling mengerti. Tanpa adanya makna

tuturan itu tidak akan berfungsi apa-apa dalam sebuah percakapan atau komunikasi. Dalam

kehidupan sehari-hari manusia sering tidak berkata terus terang dalam penyampaian maksudnya,

bahkan hanya menggunakan isyarat tertentu. Untuk itu, orang sering menggunakan peribahasa,

pantun, ataupun ungkapan.

Peribahasa, pantun, maupun gurindam mengandung makna kias atau makna konotasi.

Makna konotasi adalah aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan

atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca).

(3)

Pateda, 2001:112). Makna konotasi ini tidak sesuai lagi dengan makna sebenarnya atau makna

konsep yang terdapat dalam sebuah kata. Intinya, makna kias itu sendiri sudah bergeser dari

makna sebenarnya walaupun masih ada kaitanya dengan makna sebenarnya.

Harimurti (dalam Pateda, 2001: 232) mengatakan bahwa orang dituntut untuk memahami

makna setiap kata yang membentuk peribahasa, pantun dan ungkapan, orang dituntut untuk

menerka makna kiasan yang terdapat didalamnya. Makna bukan kumpulan setiap kata, tetapi

makna simpulan peribahasa, pantun, dan ungkapan tersebut. Selanjutnya, orang dituntut untuk

tanggap mengasosiasikannya dengan makna tersirat, dan orang pun dituntut untuk dapat

membandingkan dengan kenyataan sebenarnya.

2.1.2 Pepatah-petitih

Peribahasa atau yang biasa orang Minang sebut dengan Pepatah-petitih merupakan jenis

peribahasa yang berisi nasehat atau ajaran dari orang-orang tua. Padanan setiap katanya

mengandung aturan dasar dalam berperilaku. Makna pepatah-petitih yang terkandung di

dalamnya sangat dalam dan bijak. Pepatah-petitih sering digunakan untuk memberi nasehat,

memberi sindiran halus, memberi pujian, untuk mematahkan pembicaraan lawan bicara.

Edwar Djarmis; 1990:26 mengatakan bahwa pepatah-petitih itu ada yang bersifat

universal, berlaku untuk semua orang dan segala zaman; dapat pula ditafsirkan banyak sesuai

dengan suasana dan situasi penggunaannya; mempunyai arti kiasan, merupakan suatu

perumpamaan yang tepat; halus dan jelas; mutiara bahasa mustika bahasa, bunga bahasa,

keindahan bahasa, dan pula dianggap sebagai bahasa diplomasi. Menurut Aman (1961) nasehat

yang pahit sekalipun dengan sebuah peribahasa tidaklah akan tajam kedengaran, dan terang tidak

(4)

Definisi peribahasa menurut para ahli, antara lain (1) kalimat atau kelompok perkataan

yang biasanya mengiaskan sesuatu maksud yang tentu (Poerwadaminta dalam Sudaryat,

2009:89); (2) kelompok kata atau kalimat yang tetap susunannya dan biasanya mengisahkan

maksud tertentu; (3) ungkapan atau kalimat ringkas, padat yang berisi perbandingan,

perumpamaan, nasihat, prinsip hidup, atau gambaran tingkah laku (KBBI dalam Sudaryat,

2009:89). Peribahasa ialah salah satu bentuk idiom berupa kalimat yang susunannya tetap dan

menunjukkan perlambangan kehidupan, peribahasa meliputi pepatah dan perumpamaan.

1. Pepatah

Pepatah didefinisikan sebagai; (1) peribahasa yang mengandung nasehat, peringatan, atau

sindiran (KBBI, 2009:90), (2) berupa ajaran dari orang-orang tua (Poerwadaminta dalam

Sudaryat, 2009:90), (3) kadang-kadang merupakan undang-undang dalam masyarakat (Zakaria

dan Sofyan dalam Sudaryat, 2009:90).

2. Perumpamaan

Perumpamaan adalah peribahasa yang berisi perbandingan dari kehidupan manusia. Ciri utama

dari perumpamaan ialah adanya kata-kata bagai, laksana, seperti dan sebagainya (Sudaryat,

2009:91).

2.1.3 Niniak Mamak

Niniak mamak di Minangkabau mempunyai peranan yang sangat penting dan

menentukan dalam kekuatan kekerabatan adat Minang itu sendiri, tanpa penghulu dan niniak

mamak suatu nagari di Minangkabau diibaratkan seperti kampung atau negeri yang tidak bertuan

karena tidak akan jalan tatanan adat yang dibuat, sebagai penghulu datuk harus tahu tugas dan

(5)

melindungi, dan mengatur pemanfaatan harta pusaka tinggi untuk kemakmuran kemenakannya.

Berbagai permasalahan anak kemenakan yang berhubungan dengan hidup bernagari di kampung

di bahas oleh Niniak Mamak dari berbagai penjuru kepala suku atau datuk-datuknya.

2.1.4 Masyarakat Minangkabau

Minangkabau atau disingkat Minang merujuk pada entitas kultural dan geografis yang

ditandai dengan penggunaa

identitas agama Islam. Secara geografis, Minangkabau meliputi darat

darat

Daya

disamakan sebagai orang Padang, merujuk pada nama ibu kota provinsi Sumatera Barat

urang awak,

bermaksud sama dengan orang Minang itu sendiri.

Masyarakat Minang bertahan sebagai penganut matrilineal terbesar di dunia. Selain itu,

etnis ini telah menerapkan sistem proto-demokrasi sejak masa pra

kerapatan adat untuk menentukan hal-hal penting dan permasalahan hukum. Prinsip adat

Minangkabau tertuang dalam pernyataan Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (Adat

bersendikan hukum, hukum bersendika

Menurut

dan Datuk Ketumanggungan

mewariskan sistem adat Koto Piliang yang aristokratis, sedangkan Datuk Perpatih mewariskan

(6)

Dalam perjalanannya, dua sistem adat yang dikenal dengan kelarasan ini saling mengisi

dan membentuk sistem masyarakat Minangkabau. Dalam masyarakat Minangkabau, ada tiga

pilar yang membangun dan menjaga keutuhan budaya serta adat istiadat. Mereka adalah alim

ulama, cerdik pandai, dan niniak mamak, yang dikenal dengan istilah Tungku Tigo Sajarangan.

Ketiganya saling melengkapi dan bahu membahu dalam posisi yang sama tingginya. Dalam

masyarakat Minangkabau yang demokratis dan egaliter, semua urusan masyarakat

dimusyawarahkan oleh ketiga unsur itu secara mufakat.

Pernikahan Minangkabau tidak mengenal mas kawin, tetapi mengenal uang jemputan

yaitu pemberian sejumlah uang dan barang kepada keluarga mempelai laki-laki. Sesudah upacara

pernikahan mempelai tinggal di rumah istrinya (matrilokal). Di samping itu, Minangkabau juga

menonjol dalam seni berkata-kata. Ada tiga genre seni berkata-kata, yaitu pasambahan

(persembahan), indang, dan salawat dulang. Seni berkata-kata lebih mengedepankan kata kiasan,

ibarat, metafora, dan nasehat. Dalam seni berkata-kata seseorang diajarkan untuk

mempertahankan kehormatan dan harga diri, tanpa menggunakan senjata dan kontak fisik.

Bahasa Minangkabau merupakan salah satu anak cabang bahasa Austronesia. Walaupun

ada perbedaan pendapat mengenai hubungan bahasa Minangkabau dengan bahasa Melayu, ada

yang menganggap bahasa yang dituturkan masyarakat ini sebagai bagian dari dialek Melayu,

karena banyaknya kesamaan kosakata dan bentuk tuturan di dalamnya, sementara yang lain

justru beranggapan bahasa ini merupakan bahasa mandiri yang berbeda dengan Melayu serta ada

juga yang menyebut bahasa Minangkabau merupakan bahasa proto-Melayu. Selain itu dalam

masyarakat penutur bahasa Minang itu sendiri juga sudah terdapat berbagai macam dialek

(7)

Adat dalam perspektif Minangkabau merupakan sistem nilai yang mengatur perilaku

yang tertulis dalam pepatah-petitih. Agama adalah sandi (landasan penguat tiang bangunan

rumah adat Minang, bukan sendi atau pondasi) dari adat, yang rujukan utamanya adalah Kitab

Suci Al-Qur’an dan alam Sunatullah yang tidak tertulis. Sedangkan budaya merupakan perilaku

mengacu pada norma dan adat.

Masyarakat Minangkabau masih menjunjung adat kebersamaan dan saling

bergotong-royong. Masyarakat Minangkabau dikenal sebagai masyarakat yang religius. Nilai positif dari

suku Minang adalah, suku Minang menganut sistem matrineal yang mana keturunan berdasarkan

garis ibu, jadi harta akan jatuh ke tangan wanita, apabila suatu saat lelaki meninggalkan wanita,

maka wanita itu tidak menjadi rentan dan terlalu bergantung pada pria.

2.2 Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan teori makna dan nilai-nilai budaya, yang diyakini mampu

menjelaskan fenomena yang terdapat pada pepatah-petitih, nilai-nilai budaya pepatah-petitih

yang terdapat Niniak-Mamak dalam pernikahan Minangkabau. Robert Sibarani

mengkalsifikasikan nilai-nilai budaya antara lain : (1) kesejahteraan; (2) kerja keras; (3) disiplin;

(4) pendidikan; (5) kesehatan; (6) gotong-royong; (7) pengelolaan gender; (8) pelestarian dan

kreativitas budaya; (9) peduli lingkungan; (10) kedamaian; (11) kesopansantunan; (12)

kejujuran; (13) kesetiakawanan sosial; (14) kerukunan dan penyelesaian konflik; (15) komitmen;

(8)

2.2.1 Antropolinguistik

Sibarani (2004:50) mengatakan bahwa antropolinguistik secara garis besar membicarakan

dua tugas utama yakni (1) mempelajari kebudayaan dari sudut bahasa dan (2) mempelajari

bahasa dalam konteks kebudayaan. Antropolinguistik juga mempelajari unsur-unsur budaya yang

terkandung dalam pola-pola bahasa yang dimiliki oleh penuturnya, serta mengkaji bahasa dalam

hubungannya dengan budaya penuturnya secara menyeluruh.

Bahasa dan budaya memiliki hubungan yang sengat erat, saling mempengaruhi, saling

mengisi, dan berjalan berdampingan. Yang paling mendasari hubungan bahasa dengan

kebudayaan adalah bahasa harus dipelajari dalam konteks kebudayaan, dan kebudayaan dapat

dipelajari melalui bahasa (Sibarani, 2004:51). Dengan kata lain, antropolinguistik mempelajari

kebudayaan dari sumber-sumber bahasa, dan juga sebaliknya mempelajari bahasa yang dikaitkan

dengan budaya.

Harafiah (2005:61) juga mengatakan bahwa antropolinguistik menganggap bahwa factor

budaya tidak bisa ditinggalkan dalam penelitian bahasa. Bahasa merupakan fakta yang harus

dipertimbangkan dalam kajian budaya dalam kehidupan manusia. Inti masalah dalam kajian

antropolinguistik adalah sistem kepercayaan, nilai, moral, tingkah laku, dan pandangan atau

unsur-unsur yang mencorakkan budaya suatu kumpulan masyarakat.

2.2.2 Nilai-Nilai Budaya

Kebudayaan merupakan seperangkat peraturan atau norma yang dimiliki bersama oleh

para anggota masyarakat, yang kalau dilaksanakan oleh para anggotanya, melahirkan perilaku

(9)

1999: 333). Dengan demikian, kebudayaan terdiri dari nilai-nilai, kepercayaan, dan persepsi

abstrak tentang jagat raya yang berada di balik, dan yang tercermin dalam perilaku manusia

(Mahsun, 2001: 2).

Nilai budaya merupakan suatu gejala abstrak, ideal dan tidak inderawi atau kasat mata.

Nilai budaya hanya bisa diketahui melalui pemahaman dan penafsiran tindakan, perbuatan, dan

tuturan manusia (Saryono, 1997:31). Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa nilai budaya

adalah sesuatu yang menjadi pusat dan sumber daya hidup dan kehidupan manusia secara

individual, sosial, dan religius-transendental untuk dapat terjaganya pandangan hidup

masyarakat.

Pendapat lain yang menyangkut manusia itu sendiri sebagai subjek dikemukakan oleh

Perry (dalam Djayasudarma, 1997:12) yang menyatakan bahwa nilai adalah segala sesuatu yang

menarik bagi manusia sebagai subjek. Pandangan ini menegaskan bahwa manusia itu sendirilah

menentukan nilai dan manusia sebagai pelaku (penilai) dari kebudayaan yang berlaku pada

zamannya. Nilai budaya dalam penelitian ini dipahami sebagai nilai yang mengacu kepada

berbagai hal (dengan pemahaman seluruh tingkah laku manusia sebagai hasil budaya), antara

lain nilai dapat mengacu pada minat, kesukaan, pilihan, tugas, kewajiban beragama, kebutuhan,

keamanan, hasrat, keengganan, daya tarik, dan hal lain yang berhubungan dengan perasaan

(Papper dalam Djayasudarma, 1997:10).

Sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam pikiran sebagian

besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup

(Koentjaraningrat, 2004:25). Nilai-nilai budaya merupakan nilai-nilai yang disepakati dan

(10)

pada suatu kebiasaan, kepercayaan (believe), simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang

dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan prilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi

atau sedang terjadi.

Sehubungan dengan ini Prosser (1978:303) mengatakan bahwa nilai adalah aspek budaya

yang paling dalam tertanam dalam suatu masyarakat. Lebih lanjut Prosser mengelompokkan nilai

menjadi lima bagian, yaitu (1) nilai yang berhubungan dengan Tuhan, (2) nilai yang

berhubungan dengan dan berorientasi dengan alam, (3) nilai yang berhubungan dengan dan

berorientasi pada waktu, (4) nilai yang berhubungan dan berorientasi pada kegiatan, dan (5) nilai

yang berhubungan dan berorientasi pada hubungan antarmanusia.

Nilai itu sendiri dapat dipahami sebagai penelitian yang diperoleh individu dalam

kehidupan bermasyarakat pada saat menanggapi berbagai rangsangan tertentu mengenai mana

yang diinginkan dan mana yang tidak diinginkan. Nilai menumbuhkan sikap individu, yaitu

secara kecenderungan yang dipelajari individu untuk menjawab atau menanggapi rangsangan

yang hadir di sekitarnya (Mintargo, 2000 :18)

Robert Sibarani mengkalsifikasikan nilai-nilai budaya antara lain : (1) kesejahteraan; (2)

kerja keras; (3) disiplin; (4) pendidikan; (5) kesehatan; (6) gotong-royong; (7) pengelolaan

gender; (8) pelestarian dan kreativitas budaya; (9) peduli lingkungan; (10) kedamaian; (11)

kesopansantunan; (12) kejujuran; (13) kesetiakawanan sosial; (14) kerukunan dan penyelesaian

(11)

2.3 Tinjauan Pustaka

Berdasarkan tinjauan pustaka yang dilakukan, maka ada sejumlah sumber yang relavan

untuk dikaji dalam penelitian ini, adapun sumber tersebut adalah :

Parlindungan Purba (2002) tesis berjudul : Ruang Persepsi Metafora pada Umpasa

Masyarakat Batak Toba : Suatu Kajian Paragmatik. Kajian ini difokuskan pada ruang persepsi

metafora yang ditemukan dalam masyarakat Batak Toba pada kegiatan acara adat marhata

sinamot ‘memusyawarahkan uang emas kawin’, dan meranjuk’ pesta membayar adat.

Nurcahaya (2007) dalam skripsi yang judulnya “Tuturan pada upacara adat pernikahan

masyarakat Batak Toba” mengkaji jenis tuturan yang terdapat pada upacara adat pernikahan

masyarakat Batak Toba dan tuturan yang paling dominan digunakan dalam upacara tersebut.

Nurcahaya menggunakan metode simak dengan teknik lanjutan, yaitu teknik simak bebas libat

cakap dan dilanjutkan dengan teknik rekam dalam mengumpulkan data penelitiannya.

Selanjutnya, data yang diperoleh dari penutur jati bahasa Batak Toba dan dari beberapa buku

Batak Toba yang dianalisis dengan metode padan dengan penentu mitra wicara. Teori yang

digunakan adalah teori tindak tutur Searle.

Erni sihombing (2008) juga pernah melakukan penelitian mengenai Makna ungkapan

dalam bahasa Batak Toba. Dalam penelitianya membahas mengenai makna ungkapan yang ada

di dalam bahasa Batak Toba dan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam bahasa Batak Toba. Dia

membagi makna ungkapan menjadi empat yaitu : makna nasehat, makna menyindir, makna

penyamaan, dan makna harapan dan nilai-nilai budaya terbagi kedalam lima bagian yaitu :

hubungan manusia dengan karya, hubungan manusia dengan waktu, hubungan manusia dengan

(12)

Sibarani (2008) dalam tesisnya “Tindak Tutur dalam Upacara Pernikahan Masyarakat

Batak Toba” mengkaji tindak tutur yang digunakan hulahula ‘pemberi istri’, dongan sabutuha

‘kerabat semarga’, dan boru ‘penerima istri’,tindak tutur apa yang dominan, bagaiman cara

tindak tutur dilakukan, serta jenis dan fungsi tindak tutur dalam pernikahan masyarakat Batak

Toba. Metode deskriptif digunakan Sibarani untuk mendeskripsikan data penelitian secara

sistematis dan akurat, yakni menggambarkan dengan jelas objek yang diteliti secara alamiah.

Teori yang digunakan Sibarani untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah teori

tindak tutur kempson (1984), Wijana (1996), dan Searle.

Basaria (2009) dalam Makalah Seminar Nasional Budaya Etnik III edisi 11 yang

berjudul “Ungkapan Metafora Pada Etnis Batak Toba” membahas nilai-nilai budaya yang

tecermin dari ungkapan indirecness metafor dalam bahasa Batak Toba. Sebagian dari nilai

budaya yang dimaksud adalah motivasi berusaha, rasa solidaritas, gambaran sikap perilaku,

etika, dan moral yang hidup pada masyarakat Batak Toba.

Tampubolon (2010) dalam tesisnya “ Umpasa Masyarakat Batak Toba dalam rapat adat

“suatu kajian Pragmatik” membahas tiga masalah penelitian, yakni komponen tindak tutur, jenis

tindak tutur, dan fungsi tindak tutur. Tampubolon menggunakan metode deskriftif dengan

membuat deskripsi yang sistematis dan akurat mengenai data yang diteliti. Dalam menyelesaikan

ketiga masalah tersebut Tampubolon menggunakan teori tindak tutur kempson (1984), Wijana

(1996), dan Searle.

(13)

Lilimiwirdi (2011) dalam tesisnya “Eufimisme dalam masyarakat Minangkabau di Kota

Padang” Berdasarkan fungsinya eufemisme dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (1) Sebagai

penghalus makna, meliputi fungsi ramah-tamah, penghormatan, pertanggungjawaban, dan

ekonomi; (2) Eufemisme untuk menjaga ketabuan; (3) eufemisme untuk menyugesti sesuatu

yang tidak menyenangkan meliputi fungsi pengendalian, kesangsian, kecurigaan, penipuan,

kebohongan, menghindari kesalahpahaman, dan kehancuran. Melalui eufemisme, juga ditelusuri

ideologi dan nilai yang dipakai di dalam masyarakatnya. Ideologi yang ditemukan adalah

keagamaan, sosialisme, materialisme, adat istiadat, etika atau moral, dan estetika. Kemudian,

nilai yang ditemukan adalah nilai religius (Islam), kepercayaan (kekuatan supranatural),

kebersamaan, kasih-sayang, kearifan, kecurigaan, kebohongan, kewaspadaan, kesetaraan,

ekonomi dan penawaran, kesangsian, ketakutan/kengerian, adat istiadat, etika, dan estetika.

Basaria dalam Hipotesis Sapir – Whorf Pada Umpasa Bahasa Batak Toba, budaya dan

perilaku orang Batak dapat dilihat pada ungkapan dan bahasanya. Bahasa dalam ungkapan

biasanya dipergunakan dalam situasi-komunikasi yang dipandang sakral dan sangat resmi dalam

pertemuan-pertemuan orang Batak yang diturun-temurunkan dari satu generasi ke generasi

berikutnya. Jadi ungkapan tersebut mengekspresikan perilaku dan nilai nilai yang telah lama ada

pada orang Batak dan sampai saat ini masih terus hidup. Orang Batak sangat menghargai

nilai-nilai budaya/adat yang terdapat dalam berbagai ungkapan yang diturunkan oleh orang tuanya

(yang dipandangnya sebagai orang yang pantùn dalam masyarakatnya. Jadi kajian ini

membuktikan kebenaran HSW dalam bahasa Batak Toba. Bahasa Batak Toba mengekspresikan

budaya dan perilaku orang Batak sebaliknya perilaku dan Budaya orang Batak dapat

Referensi

Dokumen terkait

P: Hilangnya sesuatu hal dalam proses pernikahan adat Batak Toba juga menghilangkan nilai budaya pernikahan adat Batak Toba itu sendiri, menurut anda apa yang dapat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pergeseran fungsi uang jujur (sinamot) pada perkawinan adat masyarakat Batak Toba dan untuk mengetahui tindakan yang

karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul MAKNA SIMBOLIK DALAM PEMBERIAN ULOS PADA PERKAWINAN ADAT BATAK TOBA: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK.. Penulis

Nilai-nilai budaya yang terdapat dalam pemberian ulos pada perkawinan adat Batak Toba, ialah nilai kekeluargaan, nilai kasih sayang, nilai kesetian, nilai

Pada data 12 menjelaskan bahwa performansi yang di tunjukkan dalam upacara adat saur matua pada masyarakat Batak Toba pemberian ulos saput terakhir kepada yang

Umpassa bahasa Batak Toba: Kajian Semiotik Budaya :.. Seminar Nasional: Postgraduate Linguistics Study

simbol dari nilai budaya dimaksud telah menjadi ikon orang Batak Toba, bahkan. menjadi meluas sehingga beberapa simbol dalam budaya Batak Toba

141 ETNOGRAFI KOMUNIKASI TRADISI PARIBAN DALAM PERNIKAHAN ADAT SUKU BATAK TOBA Friska Widawaty Hutagaol1, Erfina Nurussa’adah2 Abstrak Perkawinan adat Batak merupakan syarat