• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tintin Marakkup Dalam Pernikahan Adat Batak Toba (Kajian Antropolinguistik)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tintin Marakkup Dalam Pernikahan Adat Batak Toba (Kajian Antropolinguistik)"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

1

TINTIN MARAKKUP

DALAM PERNIKAHAN ADAT BATAK TOBA

(KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK)

SKRIPSI

Oleh

RELICA ASIJA NAIBAHO 100701022

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)
(3)

i

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang

perna diajukan dalam memperoleh gelar keserjanaan di suatu perguruan tinggi, dan

sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang perna ditulis

atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis diacuh dalam naskah ini dan

disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya perbuat ini tidak benar,

saya bersedia menerima sangsi berupa pembatalan gelar keserjanaan yang saya peroleh.

Medan, Maret 2015

(4)

ii

TINTIN MARAKKUP

DALAM PERNIKAHAN ADAT BATAK TOBA

(KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK)

Relica A Naibaho

Fakultas Sastra USU

ABSTRAK

Skripsi ini menganalisis umpasa (pantun) dalam bahasa Batak Toba dengan kajian antropolinguistik. Tujuannya untuk melestarikan umpasa (pantun) bahasa Batak Toba yang sudah jarang dipakai dalam pesta perkawinan. Penelitian ini menggunakan data lisan dan tulisan. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode cakap atau lebih sering disebut sebagai wawancara dengan teknik dasar berupa teknik pancing. Data dianalisi dengan menggunakan metode padan, yang penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan. Teknik dasarnya berupa teknik pilah unsur penentu dengan alat penentu mitra wicana. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa makna umpasa (pantun) bahasa Batak Toba ada tiga, yaitu makna nasehat, makna penyamaan, dan harapan. Berdasarkan parameter Orientasi nilai budaya dari penelitian umpasa (pantun) tercermin nilai budaya kasih sayang orang tua kepada anak, nilai ketekunan, nilai kerja keras, nilai kebersamaan/kekompakan, nilai ketelitian, nilai keterbukaan, nilai mudah menyesuaikan diri, nilai keagamaan, nilai persaudaraan, nilai kerajinan.

(5)

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dimana atas segala

Kasih dan berkatNya yang telah menuntun penulis untuk menyelesaikan skripsi ini yang

berjudul “Tintin Marakkup dalam Pernikahan Adat Batak Toba (Kajian

Antropolinguistik)”.

Penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak dalam menyelesaikan

skripsi ini, berupa bantuan moral seperti doa, dukungan, nasihat, dan petunjuk praktis,

maupun bantuan material.

Penulis tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah

membantu dan mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, demikian juga

penulis ucapkan terimakasih kepada:

1. Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan fakultas Ilmu Budaya, Dr. M. Husnah

Lubis, M.A. selaku wakil Dekan I, Drs. Syamsul Tarigan selaku wakil Dekan II,

dan Drs. Yuddi Adrian Muliadi, M.A. selaku wakil Dekan III.

2. Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si., sebagai ketua Departemen Sastra

Indonesia dan Drs. Haris Sultan Lubis, M.SP., sebagai sekretaris Departemen

Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah

memberikan dukungan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan di

Departemen Sastra Indonesia.

3. Drs. Hariadi Susilo, M.Si., selaku Dosen Pembimbing I, meluangkan waktu

dalam memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini.

4. Drs. T. Ayub Sulaiman selaku Dosen Pembimbing II, yang telah banyak

(6)

iv

5. Dra. Nurhayati Harahap M.Hum. selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah

banyak memberikan pengarahan dan masukan bagi penulis selama masa

perkuliahan.

6. Seluruh Bapak dan ibu Staf Pengajar Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu

Budaya, Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bimbingan dan

pengajaran selama penulis menjalani masa perkuliahan, serta pegawai

Administrasi Kak Tika dan Bapak Slamet yang membantu penulis dalam

menyelesaikan segala urusan administrasi selama perkuliahan.

7. Bapak Mangihut Situmeang, S.Sos. selaku Camat Pangururan, yang telah

memberikan izin kepada penulis dalam melakukan penelitian dan pengumpulan

data.

8. Bapak Obin Naibaho, Bapak Sasnaek Naibaho, Bapak Klaudius Simanjuntak,

Bapak Maniur Naibaho yang telah membantu dan mengajari berbagai hal tentang

umpasa (pantun) Tintin Marakkup dalam pernikahan Batak Toba, sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

9. Secara khusus penulis ucapkan teristimewa kepada Ayahanda Jhonson Naibaho dan Ibunda tercinta Lusiana Simbolon, yang selalu hadir dalam setiap kehidupan, mengajari berbagai hal, motivasi setiap waktu, mendukung baik dari

segi moril,materi dan doa, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

(7)

v

Heisekiel Manik yang selalu membantu dan memotivasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini, serta kepada Inang uda ku mama Margareth br.Malau,

yang mendukung fasilitas selama penelitian.

10.Kepada seluruh Teman-teman sestambuk 2010 di departemen sastra Indonesia

Universitas Sumatera Utara, teristimewa kepada inang-inang yang gokil: Sabatini Hutajulu, rika Simbolon, Rosita Simbolon, Misni Saragih, terima kasih telah menjadi sahabat yang sangat baik dan setia mendukung penulis. Serta teman ku

Intan Tambunan, Osen Hutasoit, Bima Sitepu, serta teman-teman lain yang tidak

dapat disebutkan namanya satu persatu, terimakasi ya teman-teman.

11.Teman spesialku, Fatra K. Simamora, yang telah banyak membantu penulis dan memberikan dukungan dan arahan serta meluangkan waktu untukku dalam

menyelesaikan skripsi ini, terimakasih Gabal ku 

12.Kepada Nita Arios Gak Sombonk, yang baik hati dan rajin menabung terimakasih karena membantu penulis dalam menyelesaikan dan menyusun

skripsi ini dengan baik, semoga nasib baikmu menjadi PNS ketularan padaku,

amin hahaha 

13.Kapada Sahabat Setia ku, yang selalu setia menerima keluh kesah dan curahan

hatiku: Teng Santi Elisa Naibaho dan Kanu Ellyn Naibaho, aku sangat menyayangi kalian, terimakasih karena hadir dalam kehidupanku.

14.Adik-adik ku yang manis, caem dan yang super heboh: Panda Naibaho, Putri

Naibaho dan Cahaya Siahaan, Judika tamba terimakasih atas kegilaan nya ya

dek.hahah :-D

(8)

vi

dan terimakasih untuk canda tawa dan kebersamaan yang selama ini penulis

rasakan dari kalian.

16.Terimakasih untuk orang-orang yang sempat singgah dihatiku (maaf jika tidak

disebutkan namanya), memberikan semangat serta dukungan penuh untukku.

17.Kepada semua anggota Kost Ganefo no.8 (k’Uli, k’Dame, Novi, Astri, Melda, dll) dan anggota kost ganefo no.10 (b’Bekkam, b’Malango, b’Leo, b’Fance, b’Abdon, Gollit, k’Nella, k’Novlin,Mansyur, Ria, Tuti, Vera, Eva, Omb),

terimakasih buat semuanya canda tawa, kebersamaan...(akka hata naso sihataon

pe gabe luccu, hahahha ) tanpa kalian penulis tak akan betah tinggal di kost.

18.Kost-kost an teristimewa yang sangat istimewa, K-20 (b’Hanter, b’Okla, b’Anto, b’jani, b’Lamhot, Rajamin, Lasro, dan sikariting Sois, dll) terimakasih ya.

19.Kepada teman-teman panitia Natal pemuda-pemudi Samosir yang seru-seru an,

thak you yo.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini, masih terdapat kekurangan. Oleh

karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan penelitian lebih

lanjut. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi penulis ini dapat bermanfaat bagi

peningkatan pengetahuan dan wawasan kita semua. Terima kasih.

Medan, 2015

Penulis

(9)

vii

DAFTAR ISTILAH

1. Sinamot : Mahar

2. Tulang : Saudara Laki-laki ibu yang disebut paman

3. Boru : Anak Perempuan

4. Bere : Keponakan

5. Umpasa : Pantun

6. Manulang : Menyulang

7. Poda : Nasehat

8. Mangalua : Kawin Lari

9. Hula-hula : Keluarga abang atau adek dari istri kita

10.Pariban : Putri dari paman kita

11.Tumpak Patujolo : Santunan, sumbangan

12.Sulang-sulang pahompu : Menyuapi, atau memberikan makanan kepada

(10)

viii

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 konsep ... 7

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 18

3.1.1 Lokasi Penelitian ... 18

3.1.2 Waktu Penelitian ... 18

3.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 18

(11)

ix

4.1 Makna Umpasa (pantun) Tintin Marakkup dalam pernikahan Batak Toba ... 23

1. Makna Membandingkan (penyamaan) ... 24

2. Makna Menasehati ... 25

3. Makna Mengharapkan Sesuatu ... 27

4.2 Nilai-nilai Budaya dalam Umpasa (pantun) Bahasa Batak Toba ... 31

1. Nilai Kasih Sayang Orang Tua Kepada Anak ... 32

2. Nilai Ketekunan ... 33

3. Nilai Kerja Keras ... 34

4. Nilai Kebersamaan/Kekompakan ... 35

5. Nilai Ketelitian ... 37

6. Nilai Keterbukaan ... 38

7. Nilai Keagamaan ... 39

8. Nilai Persaudaraan ... 41

9. Nilai Kerajinan ... 42

10. Nilai Mudah Menyesuaikan Diri ... 43

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 44

5.2 Saran ... 44 DAFTAR PUSTAKA

(12)

ii

TINTIN MARAKKUP

DALAM PERNIKAHAN ADAT BATAK TOBA

(KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK)

Relica A Naibaho

Fakultas Sastra USU

ABSTRAK

Skripsi ini menganalisis umpasa (pantun) dalam bahasa Batak Toba dengan kajian antropolinguistik. Tujuannya untuk melestarikan umpasa (pantun) bahasa Batak Toba yang sudah jarang dipakai dalam pesta perkawinan. Penelitian ini menggunakan data lisan dan tulisan. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode cakap atau lebih sering disebut sebagai wawancara dengan teknik dasar berupa teknik pancing. Data dianalisi dengan menggunakan metode padan, yang penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan. Teknik dasarnya berupa teknik pilah unsur penentu dengan alat penentu mitra wicana. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa makna umpasa (pantun) bahasa Batak Toba ada tiga, yaitu makna nasehat, makna penyamaan, dan harapan. Berdasarkan parameter Orientasi nilai budaya dari penelitian umpasa (pantun) tercermin nilai budaya kasih sayang orang tua kepada anak, nilai ketekunan, nilai kerja keras, nilai kebersamaan/kekompakan, nilai ketelitian, nilai keterbukaan, nilai mudah menyesuaikan diri, nilai keagamaan, nilai persaudaraan, nilai kerajinan.

(13)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa adalah lambang bunyi yang digunakan oleh semua orang atau anggota

masyarakat untuk bekerja sama dengan mengidentifikasikan diri dalam bentuk

percakapan yang baik, tingkah laku yang baik dan sopan santun yang baik.

Kridalaksana (1984:28) mengatakan bahasa adalah sistem lambang bunyi yang

arbiter, yang dipergunakan oleh para anggota masyarakat untuk bekerja sama,

berinteraksi, dalam mengidentifikasikan diri; percakapan (perkataan) yang baik; tingkah

laku yang baik; sopan santun.

Hidayat (dalam Sobur, 2004 : 274) mengatakan bahasa adalah percakapan, yaitu

alat untuk melukiskan suatau pikiran, perasaan, atau pengalaman, alat ini terdiri dari

kata-kata yang merupakan penghubung bahasa dengan dunia luar, sesuai dengan

kesepakatan para pemakainya sehingga dapat salaing dimengerti.

Bahasa Batak Toba termasuk rumpun bahasa melayu. Bahasa Batak Toba salah

satu bahasa di tanah air yang memiliki sistem tata bahasa sendiri. Bahasa Batak Toba

adalah bahasa daerah di tanah Toba yang mencakup wilayah Kabupaten Samosir, Toba

Samosir, Tapanuli Utara dan Humbang Hasundutan. Kabupaten masyarakat Batak Toba

ini berbatasan dengan Provinsi D.I. Aceh di sebelah Utara, Kabupaten Dairi, Karo,

Simalungun di sebelah Timur, Kabupaten Asahan, Labuhan Batu di sebelah Selatan

Kabupaten Tapanuli Utara, dan Tapanuli Selatan di sebelah Barat. Kabupaten Tapanuli

Utara yang bersuhu sekitar 17-29 dengan rata-rata kelembaban udara sekitar 85,04 % ini,

mempunyai luas wilayah 10:605,3 km atau 1.060.530 ha termasuk perairan Danau Toba

(14)

2

Suku Batak Toba adalah sub atau bagian dari suku Batak yang wilayahnya

meliputi atau membagi daerah Balige, Porsea, Parsoburan, Laguboti, Ajibata, Uluan,

Borbor, Lumbanjulu, Dolok Sanggul dan sekitarnya. Dalam kedudukannya sebagai

bahasa daerah, bahasa Batak Toba bukan hanya berfungsi sebagai alat komunikasi dalam

keluarga dan masyarakat, tetapi juga berfungsi sebagai pengawet budayanya. Hal ini

terbukti dari upacara-upacara kebudayaan adat yang masih tetap menggnakan bahasa

Batak Toba.

Suku Batak Toba termasuk suku yang kaya akan adat dan kebudayaannya. Sifat

dan ciri alam sering dimetaforakan ke sifat perilaku bahasa. Ini merupakan perwujutan

dari alam terkembang jadi guru. Hakimy (dalam Oktavianus, 2006 : 24) mengatakan

bahwa filosofi alam terkembang jadi guru merupakan sumber pengetahuan yang dapat

dijadikan pedoman hidup. Masyarakat Batak yang dikenal dengan Suku Bangsa Batak

tedapat kebudayaan upacara adat pernikahan Tintin Marakkup.

Pernikahan adat Batak Toba merupakan salah satu kebudayaan yang memliki

keunikan yaitu berupa upacara ritual adat Batak Toba. Dalam adat Batak Toba,

penyatuan dua orang dari anggota masyarakat melalui pernikahan tidak bisa dilepaskan

dari kepentingan kelompok masyarakat yang bersangkutan. Yang dimaksud pernikahan

menurut adat Batak Toba adalah upacara pengikat janji nikah yang dirayakan atau

dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara

norma agama, norma hukum, dan norma sosial. Upacara pernikahan memiliki banyak

ragam dan variasi menurut tradisi suku bangsa, agama, maupun kelas sosial. Berdasarkan

jenis ritual atau tata cara yang digunakan, dalam perkawinan adat Batak Toba terdapat

(15)

3

Diluar pernikahan dibagi menjadi dua tingkatan yaitu :

• Unjuk, artinya perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan semua adat

Batak Dalihan Na Tolu. Unjuk disebut sebagai tata upacara ritual

perkawinan biasa.

• Mangadati, artinya perkawinan yang dilaksanakan tidak berdasarkan adat

Batak Dalihan Na Tolu. Hal ini terjadi karena kedua pasangan mempelai

melakukan mangalua atau kawin lari. Ritual untuk mangalua biasanya

sebelum pasangan tersebut memiliki anak, acara mangadati ini lebih

spesifik disebut pasahat sulang-sulang pahoppu.

Adapun acara ritual adat didalam pernikahan adalah tintin marakkup. Tintin

Marakkup adalah upacara adat, dimana bere (keponakan) meminta restu dan memberikan

sebagian sinamot (mahar) kepada tulang (paman).

Dalam upacara pernikahan dilaksanakan, pihak laki-laki yang disebut keponakan

meminta izin kepada pamannya untuk meminta restu agar wanita yang dinikahinya

dianggap sebagai boru (anak perempuan) dari paman tersebut. Keponakan wajib

melakukan upacara ritual Tintin Marakkup ini, agar calon istrinya nanti menjadi anak

perempuan pamannya. Sebagai bukti keseriusannya, keponakannya ini wajib

memberikan sebagian sinamot (mahar) berupa uang dan ulos kepada paman.

Dalam upacara Tintin Marakkup terdapat umpasa (pantun) yang disampaikan ibu

(16)

4

Bidang bulung ni rimbang (lebar daun rimbang)

Bidangan bulung ni dulang (lebih lebar daun jarak)

Pandokkon ni dainang (ibu mengatakan)

Ingkon marboru ni tulang (harus menikahi anak perempuan paman)

Upacara Tintin Marakkup adalah bagian dari kajian Antropolinguistik.

Antropolinguistik adalah salah satu cabang linguistik yang menelaah hubungan antara

bahasa dan budaya, terutama untuk mengamati bagaimana bahasa itu digunakan

sehari-hari sebagai alat dalam tindakan bermasyarakat (Lauder, 2005: 231). Kajian

Antropolinguistik menelaah struktur dan hubungan kekeluargaan, konsep warna, dan

pola pengasuhan anak, atau menelaah bagaimana anggota masyarakat saling

berkomunikasi pada situasi tertentu seperti pada upacara adat, lalu menghubungkannya

dengan konsep kebudayaannya.

Harafiah (2005 : 61) juga mengatakan bahwa Antropolinguistik menganggap

bahwa faktor budaya tidak bisa ditinggalkan dalam penelitian bahasa. Bahasa merupakan

faktor yang harus dipertimbangkan dalam kajian budaya dalam kehidupan manusia. Inti

masalah dalam kajian Antropolinguistik adalah sistem kepercayaan, nilai moral, tingkah

laku, dan pandangan atau unsur-unsur yang mencorakkan budaya suatu kumpulan

(17)

5 1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian diatas, yang menjadi masalah dalam

penelitian ini adalah :

1. Apakah makna umpasa (pantun) Tintin Marakkup dalam pernikahan Batak

Toba?

2. Apa sajakah nilai-nilai budaya yang terdapat pada upacara Tintin Marakkup

dalam pernikahan Batak Toba?

1.3 Batasan Masalah

Sebuah penelitian sangat membutuhkan batasan masalah agar peneliti tersebut

terarah dan tidak terlalu meluas sehingga tujuan peneliti dapat tercapai. Masalah dalam

penelitian ini dibatasi hanya menganalisis makna umpasa (pantun) serta nilai-nilai

budaya yang terdapat pada upacara Tintin Marakkup dalam pernikahan masyarakat Batak

Toba.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Mendeskripsikan makna umpasa (pantun) Tintin Marakkup dalam pernikahan

Batak Toba.

2. Mendeskripsikan nilai-nilai budaya yang terdapat pada upacara Tintin Marakkup

(18)

6 1.4.2 Manfaat Penelitian

Segala sesuatu yang dikerjakan harus memberikan manfaat baik untuk diri sendiri

maupun orang lain. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoretis dan

manfaat praktis.

1.4.3 Manfaat Teoretis

Adapun manfaat teoretis dalam penelitian ini, antara lain :

a. Menambah pengetahuan dan wawasan tentang makna dan nilai-nilai budaya

yang tercermin dalam Tintin Marakkup dalam pernikahan adat Batak Toba.

b. Menjadi sumber masukan bagi peneliti lain yang ingin mengkaji tentang

Tintin Marakkup dalam pernikahan Batak Toba dengan menggunakan teori

Antropolinguistik.

1.4.4 Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis dalam penelitian ini, antara lain :

a. Memperkenalkan kepada pembaca bahwa Tintin Marakkup dalam

pernikahan Batak Toba dapat dikaji sebagai bahan penelitian.

b. Dapat dijadikan sebagai pelestarian, pembinaan, dan pengembangan salah

(19)

7 BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Menurut KBBI (2007:482) konsep adalah gambaran mental dari suatu objek,

proses, atau apapun yang ada diluar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk

memahami hal-hal lain. Oleh karena itu, penelitian ini adalah mengenai:

2.1.1 Makna

Makna merupakan hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah

disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti (Bolinger dalam

Aminuddin, 1981:108). Dengan mempelajari suatu makna pada hakikatnya mempelajari

bagaimana setiap pemakai bahasa dalam suatu masyarakat bahasa dapat saling mengerti.

Tanpa adanya makna tuturan itu tidak akan berfungsi apa-apa dalam sebuah percakapan

atau komunikasi. Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering tidak berkata terus terang

dalam penyampaian maksudnya, bahkan hanya menggunakan isyarat tertentu. Untuk itu,

orang sering menggunakan peribahasa, pantun, ataupun ungkapan.

Peribahasa, pantun, maupun gurindam mengandung makna kias atau makna

konotasi. Makna konotasi adalah aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang

didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara

(penulis) dan pendengar (pembaca). Dengan kata lain, makna konotatif merupakan

makna leksikal pemakai bahasa (Harimurti dalam Pateda, 2001:112). Makna konotasi ini

(20)

8

sebuah kata. Intinya, makna kias itu sendiri sudah bergeser dari makna sebenarnya

walaupun masih ada kaitanya dengan makna sebenarnya.

Harimurti (dalam Pateda, 2001: 232) mengatakan bahwa orang dituntut untuk

memahami makna setiap kata yang membentuk peribahasa, pantun dan ungkapan, orang

dituntut untuk menerka makna kiasan yang terdapat didalamnya. Makna bukan kumpulan

setiap kata, tetapi makna simpulan peribahasa, pantun, dan ungkapan tersebut.

Selanjutnya, orang dituntut untuk tanggap mengasosiasikannya dengan makna tersirat,

dan orang pun dituntut untuk dapat membandingkan dengan kenyataan sebenarnya.

2.1.2 Pantun

Sulistino (2010:295) mengatakan pantun merupakan puisi lama yang terdiri dari

empat baris tiap bait. Baris pertama dan kedua merupakan sampiran, baris ketiga dan

keempat merupakan isi. Pola sajaknya a-b-c-d.

Contoh I umpasa (pantun) dalam Batak Toba :

Balintang ma pagabe (tali kayu pengikat pagar adalah penyatu)

Tumundalhon sitadoan (membelakangi kayu penahan kaki)

Ari muna do gabe (kehidupan akan sejahtera)

Molo marsipaolo-oloan (apabila seia-sekata)

Contoh II pantun dalam bahasa indonesia :

Berakit-rakit ke hulu

Berenang-renang ke tepian

Bersakit-sakit dahulu

(21)

9 2.1.3 Tintin Marakkup

Adat Tintin Marakkup atau titi marakkup yang disebut dengan Titi, hite, jembatan

(Sitompul, 2009:59). Pada upacara Tintin Marakkup dalam pesta perkawinan Batak

Toba, terdapat kedua belah pihak pengantin yang selalu memberikan sejumlah uang

terhadap paman mempelai laki-laki. Tintin Marakkup berasal dari kata “Terintin

Marakkup”. Dalam adat masyarakat Batak Toba, laki-laki yang akan menikah selalu

lebih dahulu manulang tulang (menyulang paman) untuk memohon doa restu.

Pada acara ini biasanya paman memberikan poda (nasehat) dan memberikan ulos

holong/pasu-pasu atau berkat, dan juga memberikan amplop berisi uang sebagai tumpak

patujolo pada pernikahnnya kelak.

2.1.4 Masyarakat Batak Toba

Pada umumnya masyarakat Batak Toba yang tinggal di provinsi Sumatera Utara

dan khususnya di daerah Toba tersebut di bagi empat Kabupaten yaitu : Kabupaten

Tapanuli Utara, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Humbang Hasundutan, dan

Kabupaten Samosir. Dengan letak geografis 10300-2040 Lintang Utara dan 980-1000

Bujur Timur.

Masyarakat Batak Toba sangat erat hubungannya antara satu dengan yang

lainnya, dimana masyarakat tersebut saling menghormati satu sama lain yang diikat oleh

Dalihan Na Tolu yaitu tiga tiang tungku. Yang termasuk Dalihan Na Tolu antara lain:

Hula-hula, Dongan Tubu, dan Boru.

Hula-hula adalah pihak keluarga dari istri. Hula-hula ini menempati posisi yang

(22)

10

Sehingga kepada semua orang batak dipesankan harus hormat kepada Hula-hula (somba

marhula-hula).

Dongan tubu disebut juga dengan sabutuha yang artinya saudara laki-laki satu

marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang

berdekatan, saling menopang, walaupun karena dekatnya terkadang saling gesek. Namun,

pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air

yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun, demikian kepada

semua orang batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara

semarga. Disebut, manat mardongan tubu.

Boru adalah pihak keluarga yang mengambil istri dari suatu marga (keluarga

lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai parhobas atau pelayan baik dalam

pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Walaupun, berfungsi

sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Pihak boru harus

diambil hatinya, dibujuk, yang diistilahkan elek marboru.

Di manapun dua orang Batak bertemu di daerah perantauan. Orang Batak bila

bertemu di daerah perantauan, mereka merasa seolah-olah berkerabat meskipun belum

berkenalan sebelumnya. Dalam perkenalan itu apabila keduanya mempunyai marga yang

sama maka hubungan itu bertumbuh dekat bagi masyarakat Batak Toba. Marga adalah

simbol atau identitas masyarakat Batak Toba.

2.2 Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan teori makna dan nilai-nilai budaya, yang diyakini

mampu menjelaskan fenomena yang terdapat pada umpasa (pantun) dan nilai-nilai

(23)

11 2.2.1 Makna

Makna merupakan hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah

disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti (Bolinger dalam

Aminuddin,1981:108). Makna adalah arti yang tersimpul dari suatu kata. Jika suatu kata

tidak bisa dihubungkan dengan bendanya, maka peristiwa atau keadaan tertentu tidak

bisa memperoleh makna dari kata itu (Tjiptada, 1984:19).

Mansoer Pateda (2001:79) mengemukakan bahwa istilah makna merupakan

kata-kata dan istilah yang membingungkan, makna tersebut selalu menyatu pada tuturan kata-kata

maupun kalimat. Beberapa istilah yang berhubungan dengan pengertian makna, yakni

makna donatif, makna konotatif, makna leksikal, makna gramatikal. Dari batasan

pengertian tersebut dapat diketahui adanya tiga unsur pokok yang tercakup di dalamnya,

yakni :

1. Makna adalah hasil hubungan bahasa dengan dunia luar

2. Penentuan hubungan terjadi karena kesepakatan para pemakai

3. Perwujutan makna itu dapat digunakan untuk menyampaikan informasi

sehingga dapat saling mengerti.

Dengan mempelajari suatu makna pada hakikatnya mempelajari bagaimana setiap

pemakai bahasa dalam suatu masyarakat bahwa dapat saling mengerti. Tanpa adanya

makna tuturan ini tidak akan berfungsi apa-apa dalam sebuah percakapan atau

komunikasih. Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering tidak berkata terus terang

dalam menyampaikan maksudnya, bahkan hanya menggunakan isyarat tertentu. Untuk

itu, orang sering menggunakan ungkapan. Pateda (2001:230) menggolongkan makna

ungkapan itu menjadi empat yaitu : (1) mengharapkan sesuatu, (2) mengejek, (3)

(24)

12

tidak diucapkan secara terus terang, melainkan dengan menggunakan kata-kata khusus.

Oleh sebab itu, orang harus tanggap menemukan makna tersirat di dalamnya.

2.2.2 Antropolinguistik

Sibarani (2004:50) mengatakan bahwa antropolinguistik secara garis besar

membicarakan dua tugas utama yakni (1) mempelajari kebudayaan dari sudut bahasa dan

(2) mempelajari bahasa dalam konteks kebudayaan. Antropolinguistik juga mempelajari

unsur-unsur budaya yang terkandung dalam pola-pola bahasa yang dimiliki oleh

penuturnya, serta mengkaji bahasa dalam hubungannya dengan budaya penuturnya

secara menyeluruh.

Bahasa dan budaya memiliki hubungan yang sengat erat, saling mempengaruhi,

saling mengisi, dan berjalan berdampingan. Yang paling mendasari hubungan bahasa

dengan kebudayaan adalah bahasa harus dipelajari dalam konteks kebudayaan, dan

kebudayaan dapat dipelajari melalui bahasa (Sibarani, 2004:51). Dengan kata lain,

antropolinguistik mempelajari kebudayaan dari sumber-sumber bahasa, dan juga

sebaliknya mempelajari bahasa yang dikaitkan dengan budaya.

Harafiah (2005:61) juga mengatakan bahwa antropolinguistik menganggap bahwa

factor budaya tidak bisa ditinggalkan dalam penelitian bahasa. Bahasa merupakan fakta

yang harus dipertimbangkan dalam kajian budaya dalam kehidupan manusia. Inti

masalah dalam kajian antropolinguistik adalah sistem kepercayaan, nilai, moral, tingkah

laku, dan pandangan atau unsur-unsur yang mencorakkan budaya suatu kumpulan

(25)

13 2.2.3 Nilai-Nilai Budaya

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), nilai berarti harga, angka,

kepandaian, kadar atau mutu banyak sedikitnya isi dan sifat-sifat yang penting dan

berguna bagi kemanusiaan. Sedangkan nilai budaya adalah tingkat pertama kebudayaan

ideal atau adat. Nilai budaya adalah lapisan abstrak dan luas ruang lingkupnya. Tingkat

ini adalah ide-ide yang mengkonsepkan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan

masyarakat. Sistem nilai terdiri atas konsep-konsep yang hidup dalam alam pikiran.

Berdasarkan pengertian diatas, maka nilai budaya adalah angka kepandaian kelompok

masyarakat dan konsep-konsep berpikirnya hidup dan bertumbuh sehingga sistem nilai

budayanya menjadi pedoman bagi tingkah laku kelompok manusia tersebut (Titus,

2013:149).

Pendapat lain yang menyangkut manusia itu sendiri sebagai subjek dikemukakan

oleh Perry (dalam Djayasudarma, 1997:12) yang menyatakan bahwa nilai adalah segala

sesuatu yang menarik bagi manusia sebagai subjek. Pandangan ini menegaskan bahwa

manusia itu sendirilah menentukan nilai dan manusia sebagai pelaku (penilai) dari

kebudayaan yang berlaku pada zamannya.

Setiap individu mempunyai konsepsi dan persepsi tentang nilai. Ada masyarakat

tanpa sistem nilai yang berlaku. Menganggap sepi peran nilai berarti mempunyai

gambaran yang keliru mengenai manusia dan alam. Banyak orang suka melihat dan

mencari nilai kesopanan, keadilan, cinta, kejujuran, tanggung jawab, pengabdian dalam

upaya memperoleh kebenaran atau mengurangi kekejaman, kezaliman, kebencian,

keburukan, dan kepalsuan.

Nilai budaya dalam penelitian ini dipahami sebagai nilai yang mengacu kepada

berbagai hal (dengan pemahaman seluruh tingkah laku manusia sebagai hasil budaya),

(26)

14

beragama, kebutuhan, keamanan, hasrat, keengganan, daya tarik, dan hal lain yang

berhubungan dengan perasaan ( Papper dalam Djayasudarma, 1997:10).

Nilai itu sendiri dapat dipahami sebagai penelitian yang diperoleh individu dalam

kehidupan bermasyarakat pada saat menanggapi berbagai rangsangan tertentu mengenai

mana yang diinginkan dan mana yang tidak diinginkan. Nilai menumbuhkan sikap

individu, yaitu secara kecenderungan yang dipelajari individu untuk menjawab atau

menanggapi rangsangan yang hadir di sekitarnya (Mintaroga, 2000 :18)

Pepper (dalam Djayasudarma, 1997:11) mengatakan bahwa nilai adalah segala

sesuatu tentang yang baik dan buruk. Rumusan luasnya adalah seluruh perkembangan

dan kemungkinan unsur nilai, rumusan nilai secara sempit diperoleh dari bidang tertentu.

Pendapat tersebut menyatakan bahwa di dalam nilai tersimpul yang baik dan buruk. Oleh

karena itu, segala sesuatu yang baik dan buruk disebut nilai.

2.2.4 Orientasi Nilai Budaya

Orientasi nilai budaya (ONB) dalam penelitian ini akan diikuti orientasi yang

berhubungan dengan masalah dasar dalam kehidupan manusia. Lima masalah pokok

kehidupan manusia yangn berhubungan dengan orientasi nilai budaya, yang berhubungan

dengan sistem nilai budaya dalam masyarakat. Sistem nilai budaya merupakan nilai inti

dari masyarakat. Nilai inti ini diikuti oleh setiap individu atau kelompok. Nilai itu

biasanya dijunjung tinggi sehingga menjadi salah satu faktor penentu dalam berperilaku.

Sistem nilai tidak tersebar secara sembarangan, tetapi mempunyai hubungan

timbal balik yang menjelaskan adanya tata tertib dalam suatu masyarakat. Di dalam

sistem nilai biasanya terdapat berbagai konsepsi yang hidup di alam pikiran sebagian

besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang dianggap bernilai dalam hidup. Oleh

karena itu, suatu sistem nilai budaya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan

manusia (Koentjaraningrat dalam Djayasudarma 1997:13). Sistem nilai budaya itu begitu

(27)

15

diubah dalam waktu yang singkat. Nilai budaya adalah angka kepandaian kelompok

masyarakat yang konsep-konsep berpikirnya hidup dan bertumbuh sehingga sistem nilai

budayanya menjadi pedoman bagi tingkah laku kelompok manusia tersebut. Nilai bukan

hanya yang baik saja karena nilai merupakan segala sesuatu tentang yang baik dan buruk.

Dalam ungkapan bahasa Batak Toba terbagi menjadi dua bagian, yaitu nilai yang baik

(dipedomani) dan nilai buruk (tidak dipedomani).

Sibarani (2004:178) membagi nilai-nilai budaya menjadi dua bagian yaitu

kedamaian dan kesejahteraan. (1) kedamaian yaitu : kesopan santunan, kejujuran, kesetia

kawanan sosial, kerukunan, penyesuaian konflik, komitmen, pikiran positif, rasa syukur.

Kesejahteraan (2) kesejahteraan yaitu : kerja keras, disiplin, pendidikan, kesehatan,

gotongroyong, pengelolaan gender, pelestarian, kreativitas budaya dan peduli

lingkungan.

2.3 Tinjauan Pustaka

Berdasarkan tinjauan pustaka yang dilakukan, maka ada sejumlah sumber yang

relavan untuk dikaji dalam penelitian ini, adapun sumber tersebut adalah :

Hans j.daeng (2000:56) dalam bukunya yang berjudul mengatakan bahwa

kedewasaan manusia tidak lepas dan tidak dapat di pisahkan dari latar belakang sosial

budaya tempat seseorang di besarkan, karena kebudayaan adalah pedoman dari tingkah

laku, cara seseorang membawa diri dan menjadi bagian dari masayarakatnya.

Kebudayaan diciptakan manusia yang selalu berhadapan dengan berbagai kemungkinan

perubahan yang terjadi karena teknologi memberikan kematangan, kemandirian,

pengetahuan, ketegasan, atau mengadakan pemilihan teradap hal-hal yang di hadapi.

Kompleksitas upacara perkawinan adat Batak Toba meliputi peran subyek dan objek

(28)

16

setiap masyarakat dan kebudayaan berbeda dalam cara mempersiapkan seseorang atau

anggotanya untuk menghadapinya. Namun, ketegasan adalah perkawinan dapat

dijelaskan dalam lima pokok permasalahan : dua jenis yang berbeda, garis keturunan,

keluarga, suku, dan tempat tinggal.

Tampubolon (2010) dalam tesisnya “ umpasa Masyarakat Batak Toba dalam

rapat adat “suatu kajian Pragmatik” membahas tiga masalah penelitian, yakni komponen

tindak tutur, jenis tindak tutur, dan fungsi tindak tutur. Tampubolon menggunakan

metode deskriftif dengan membuat deskripsi yang sistematis dan akurat mengenai data

yang diteliti. Dalam menyelesaikan ketiga masalah tersebut Tampubolon menggunakan

teori tindak tutur kempson (1984), Wijana (1996), dan Searle.

Jenis tindak tutur pada umpasa masyarakat Batak Toba dalam rapat adat hanya

terdapat tiga, yaitu tindak tutur langsung, tindak tutur literal, dan tindak tutur langsung

literal. Namun, fungsi tindak tutur pada umpasa masyarakat Batak Toba dalam rapat adat

terdapat lima fungsi, yaitu asertif, fungsi direktif, fungsi egan tekspresif, fungsi komisif,

dan fungsi deklarasi. Model analisis penelitian Tampubolon dijadikan sebagai acuan

yang disesuaikan juga dengan teori yang digunakan untuk menjelaskan jenis dan fungsi

tindak tutur.

Nurcahaya (2007) dalam skripsi yang judulnya “Tuturan pada upacara adat

perkawinan masyarakat Batak Toba” mengkaji jenis tuturan yang terdapat pada upacara

adat perkawinan masyarakat Batak Toba dan tuturan yang paling dominan digunakan

dalam upacara tersebut. Nurcahaya menggunakan metode simak dengan teknik lanjutan,

yaitu teknik simak bebas libat cakap dan dilanjutkan dengan teknik rekam dalam

mengumpulkan data penelitiannya. Selanjutnya, data yang diperoleh dari penutur jati

(29)

17

padan dengan penentu mitra wicara. Teori yang digunakan adalah teori tindak tutur

Searle.

Hasil penelitian Nurcahaya menemukan lima jenis tindak tutur dalam upacara

perkawinan masyarakat Batak Toba, yaitu tindak tutur deklaratif, repsentatif, ekspresif,

direktif, dan komisif. Disimpulkan bahwa tuturan yang paling dominal dalam upacara

adat perkawinan masyarakat Batak Toba adalah tuturan direktif, yakni tuturan yang

bermakna menyuruh. Penelitian ini menjadi acuan dalam pemakaian teori tindak tutur

yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan tindak tutur.

St. R. H. P. Sitompul, Bsc dalam bukunya yang judulnya “Ulos batak tempo dulu

– masa kini” membahas tentang upacara pernikahan batak toba yang di dalam nya

terdapat adat tintin marakkup. Titi = hite = jembatan, yang berfungsi menghubungkan.

Jadi tintin marakkup ada dua hubungan, kepada tulang atau paman dan kepada simatua

atau mertua.

Sibarani (2008) dalam tesisnya “Tindak Tutur dalam Upacara Perkawinan

Masyarakat Batak Toba” mengkaji tindak tutur yang digunakan hulahula ‘pemberi istri’,

dongan sabutuha ‘kerabat semarga’, dan boru ‘penerima istri’,tindak tutur apa yang

dominan, bagaiman cara tindak tutur dilakukan, serta jenis dan fungsi tindak tutur dalam

perkawinan masyarakat Batak Toba. Metode deskriptif digunakan Sibarani untuk

mendeskripsikan data penelitian secara sistematis dan akurat, yakni menggambarkan

dengan jelas objek yang diteliti secara alamiah. Teori yang digunakan Sibarani untuk

menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah teori tindak tutur kempson (1984),

Wijana (1996), dan Searle.

Erni sihombing (2008) juga pernah melakukan penelitian mengenai makna

ungkapan dalam bahasa Batak Toba. Dalam penelitianya membahas mengenai makna

(30)

18

dalam bahasa Batak Toba. Dia membagi makna ungkapan menjadi empat yaitu : makna

nasehat, makna menyindir, makna penyamaan, dan makna harapan dan nilai-nilai budaya

terbagi kedalam lima bagian yaitu : hubungan manusia dengan karya, hubungan manusia

dengan waktu, hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan manusia, dan

(31)

19 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.1.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Samosir , kecamatan pangururan, tepatnya di desa

pasar lama pangururan dengan mengumpulkan data dan beberapa nara sumber yang

berada di lokasi penelitian.

3.1.2 Waktu Penelitian

Waktu adalah seluruh rangkaian ketika proses, perbuatan, atau keadaan berada

atau langsung (Alwi, 2005: 1267). Penulis melakukan penelitian objek mulai dari tanggal

1 Februari 2015 sampai tanggal 1 Maret 2015.

3.2 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah :

1. Data primer

Data perimer adalah data yang diperoleh secara langsung dengan mewawancarai

nara sumber untuk mengumpulkan data secara mendalam

2. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari buku seperti

karya St. R. H. P. Sitompul, Bsc yang judulnya “Ulos batak tempo dulu – masa

kini”, dan beberapa buku Pustaha Batak yang tidak diketahui penulisnya, guna

mengumpulkan informasi terkait dengan umpasa (pantun) Tintin Marakkup

(32)

20 3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data lisan dan data tulisan. Data lisan dikumpulkan

dari beberapa informan penduduk asli Batak Toba. pengumpulan data ini menggunakan

metode cakap atau lebih sering disebut sebagai wawancara dengan teknik dasar berupa

teknik pancing. Kegiatan memancing bicara tersebut dilakukan dengan percakapan

langsung dengan seorang informan. Wawancara tersebut dilakukan dengan menyiapkan

beberapa pertanyaan pokok yang disebut sebagai wawancara semi berstruktur.

Keterbatasan untuk mengingat semua hasil pembicaraan atau wawancara tersebut, maka

dilakukan teknik catat. Penelitian mencatat semua data atau informasi yang diperlukan

untuk bahan penelitian (Sudaryanto, 1993:137-139).

Kesempurnaan pemerolehan data penelitian belum cukup hanya dengan

melakukan metode cakap atau wawancara terhadap informan. Oleh sebab itu, peneliti

juga melakukan metode simak dengan menyadap pembicaraan ketika upacara adat Tintin

marakkup berlangsung. Kegiatan tersebut melibatkan salah satu informan yang termasuk

dalam bagian peserta upacara adat Tintin marakkup lebih muda untuk memperoleh izin

menyimak acara tersebut. Dalam kegiatan ini peneliti menggunakan teknik simak bebas

libat cakap. Hanya menyimak dan memperhatikan dengan tekun pembicaraan yang

berlangsung antara penutur dan petutur. Kemudian dengan bantuan teman si peneliti,

kegiatan tersebut direkam video agar terlihat jelas tanpa mengganggu proses upacara

berlangsung (Sudaryanto, 1993:133-135)

Informan dalam penelitian ini dipilih dari kalangan pemuka adat yang terlibat dan

memiliki posisi penting dalam setiap upacara adat Tintin marakkup. Tidak semua orang

mampu memahami tuturan-tuturan dalam upacara adat tersebut meskipun sering

(33)

21 1. Berjenis kelamin pria;

2. Berusia antara 30-60 tahun;

3. Jarang atau tidak perna meninggalkan desanya;

4. Berpendidikan atau tidak berpendidikan;

5. Menguasai bahasa dan budaya Batak Toba dengan baik;

6. Memiliki kebanggaan terhadap isolek dan masyarakat isoleknya;

7. Dapat berbahasa Indonesia;

8. Sehat jasmani dan rohani (Mahsun,1995:106).

3.4 Metode dan Teknik Analisis Data

Data dianalisi dengan menggunakan metode padan, yang penentunya di luar,

terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan. Teknik

dasarnya berupa teknik pilah unsur penentu dengan alat penentu mitra wicana

(sudaryanto, 1995:21). Metode ini digunakan untuk mengkaji nilai budaya yang ada di

dalam umpasa (pantun), makna umpasa (pantun) dikaji dari segi makna Harafiah yang

dilanjutkan dengan menentukan makna yang tersirat dalam data umpasa (pantun) dan

dikaji secara antropolinguistik yang melibatkan masyarakat bahasa sebagai pendukung

budaya pemilik umpasa (pantun) tersebut. Dalam menginterprestasikan data umpasa

(pantun), penulis mengubah bahasa Batak Toba kedalam bahasa indonesia. Hal ini

dilakukan agar hubungan antar kalimat yang terdapat dalam umpasa (pantun) tersebut

dapat diperoleh maknanya serta dapat ditemukan nilai budaya masyarakat yang tercermin

(34)

22

Contoh umpasa (pantun) Tintin Marakkup dalam pernikahan Batak Toba.

Makna harapan

Dalam umpasa (pantun) bahasa Batak Toba yang menggambarkan makna harapan seperti

pada umpasa (pantun) dibawah ini.

Balintang ma pagabe (tali kayu pengikat pagar adalah penyatu)

Tumundalhon sitadoan (membelakangi kayu penahan kaki)

Ari muna do gabe (kehidupan akan sejahtera)

Molo marsipaolo-oloan (apabila seia-sekata)

Dalam umpasa (pantun) di atas, makna dari kata-kata dalam umpasa (pantun) tersebut:

Balintang adalah, sebuah tali kayu yang digunakan masyarakat Batak Toba pada umumnya sebagai pengikat pagar yang dipasang melintang.

Pagabe adalah, sebuah kata yang didasari oleh kata gabe yang bermakna jadi satu. Jadi, dalam kalimat tersebut pagabe bermakna penyatu.

Tumundalhon adalah, sebuah kata yang didasari oleh kata tundal yang bermakna membelakangi sesuatu.

Sitadoan adalah, sepotong kayu pada alat tenun tempat penahan kaki sipenenun.

Ari muna do gabe, molo marsipaolo-oloan, adalah bagian dari isi umpasa (pantun)

yang maknanya menggambarkan seseorang yang harus saling memahami, saling

pengertian satu sama lain agar seia-sekata dalam suka dan duka. Dimana sebuah

kayu yang dijadikan sebagai pengikat pagar diibaratkan seoarang laki-laki dan

perempuan yang menjadi satu. Maka mereka harus saling membantu dan saling

(35)

23 Nilai kebersamaan / kekompakan

Nilai budaya pada umpasa (pantun) diatas yaitu, nilai budaya kebersamaan atau

kekompakan, yang menggambarkan setiap orang yang sudah menikah atau didalam

keluarga harus bersama-sama dan kompak untuk saling membantu dan saling menjaga

(36)

24

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Makna Umpasa (pantun) Tintin Marakkup dalam pernikahan Batak Toba Umpasa (pantun) batak toba adalah karya sastra dalam bentuk syair/puisi yang

berisi pernyataan restu, nasehat dan doa bagi orang yang mendengarnya. Umpasa

(pantun) adat batak toba diperdengarkan dalam upacara adat dan ditujukan kepada

muda-mudi, pasangan pengantin, upacara menyambut tamu atau berbagai acara lainnya,

serta kadang kala umpasa (pantun) juga diperdengarkan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam acara Adat Batak Toba pada acara Tintin Marakkup di pesta perkawinan,

biasanya hanya ada 3 bagian umpasa yang di ungkapkan, yaitu umpasa Pembukaan,

Umpasa Pemberkatan dan Nasehat, dan Umpasa Penutup atau Harapan.

Pateda (2001: 230) membagi makna ungkapan menjadi empat bagian yaitu :

1. Membandingkan (penyamaan)

2. Menasehati

3. Mengharapkan sesuatu

4. Mengejek

Dalam upacara Adat Tintin Marakkup, hanya ada tiga makna yang terkandung

sesuai dengan pendapat Pateda tersebut, karena dalam umpasa (pantun) Batak Toba

dalam acara Tintin Marakkup tidak ada makna mengejek.

Jadi, sesuai dengan pendapat Pateda tersebut, maka dari hasil mengamatan penulis

(37)

25 1. Makna Membandingkan (penyamaan)

Umpasa (pantun) yang menggambarkan makna membandingkan (penyamaan)

dalam acara Tintin Marakkup dapat dilihat dalam contoh data berikut ini:

Data (1). Hot pe jabu i

(walaupun rumah itu berdiri kokoh)

Sai tong do i margulangulang

( pasti rumah itu akan bergoyang)

Tung sian dia pe mangalap boru bere i

( siapapun yang dipesunting si pengantin laki-laki)

Sai hot doi boru ni tulang

(dia tetap dianggap putri paman)

Dalam umpasa (pantun) di atas, makna dari kata-kata dalam umpasa (pantun) tersebut:

Hot mempunyai makna kokoh, teguh, erat, dan tak goyah.

Jabu dalam bahasa indonesia adalah rumah atau tempat tinggal,rumah Adat Batak disebut jabu Bolon ( rumah yang besar dibangun dari kayu dan diberikan berbagai ukiran Batak Toba dan beratapkan ijuk)

Margulangulang adalah jatuh dengan berguling-guling atau bergoyang-goyang.

Tung sian dia pe mangalap boru bere i, Sai hot doi boru ni tulang adalah bagian

dari isi umpasa (pantun) yang maknanya menyamakan kedudukan dan hak sipengantin

perempuan seperti putri dari paman sipengantin laki-laki. Dengan demikian, kalaupun

pengantin laki-laki mempersunting marga yang lain selain marga pamannya itu,

pengantin perempuan tetap dianggap marga yang sama dengan marga pamannya.

Data (2) Sai tong doi lubang

(rumah berlantai papan yang berlubang)

nangpe dihukkupi rere

(walaupun dititupi dengan tikar)

(38)

26

(perempuan yang tetap dianggap putri paman)

manang boru ni ise pei dialap bere

(perempuan yang dinikahi pengantin laki-laki)

Dalam umpasa (pantun) di atas, makna dari kata-kata dalam umpasa (pantun) tersebut:

Dihukkupi berasal dari kata hungkup yang berarti tutup, jadi dihukkupi adalah ditutupi

Rere adalah tikar yang buruk, yang rusak dan yang telah lusuh.

Sai tong doi boru ni Tulang, manang boru ni ise pei dialap bere adalah bagian

dari isi umpasa (pantun) yang maknanya dalam sebuah pesta pernikahan seorang

laki-laki yang menikah dengan perempuan lain, tetap di anggap sebagai putri paman

pengantin laki-laki.

2. Makna Menasehati

Umpasa (pantun) yang menggambarkan makna menasehati dalam acara Tintin

Marakkup dapat dilihat dalam contoh data berikut ini:

Data (3) Napuran ni parsoburan

(sirih yang berasal dari parsoburan)

tu gambir ni sitapongan

(getah kayu yang bisa dimakan)

tong-tong ma hamu nadua sauduran

(tetap satu jalan menuju yang benar)

jala masi haholongan

(satu hati membentuk rumah tangga yang bahagia)

Dalam umpasa (pantun) di atas, makna dari kata-kata dalam umpasa (pantun) tersebut: Napuran adalah sirih yang merupakan campuran dari kapur dan daun sirih

Parsoburan adalah nama tempat atau daerah

Gambir adalah getah kayu yang dapat dimakan sebagai campuran sirih

(39)

27

tong-tong ma hamu nadua sauduran, jala masi haholongan adalah bagian dari isi

umpasa (pantun) yang maknanya menunjukkan pasangan pengantin tersebut agar

bersama-sama menjalani kehidupan rumah tangga, dan satu hati dalam membina rumah

tangga yang bahagia dan penuh cinta.

Data (4) Dangka ni arirang

(ranting dari pohon nira)

peak ni tonga ni onan

(yang terletak ditengah-tengah pasar)

badan muna naso jadi sirang

(pernikahan yang tidak bisa diceraikan)

tondimu tong-tong masigomgoman.

(hati dan jiwa yang saling merangkul)

Dalam umpasa (pantun) di atas, makna dari kata-kata dalam umpasa (pantun) tersebut: Dangka yang artinya ranting, cabang, dan dahan dari suatu pohon

Arirang adalah pohon nira yang dibuat irisan untuk mendapatkan tuak Peak adalah terletak, terbaring, dan tertidur

Onan adalah pasar pusat perbelanjaan.

badan muna naso jadi sirang, tondimu tong-tong masigomgoman adalah bagian

dari isi umpasa (pantun) yang maknanya pengantin harus berjanji untuk tidak bercerai

kecuali di pisahkan oleh kematian. Pengantin juga harus saling melengkapi satu sama

lain agar terjalin hubungan yang harmonis.

Data (5) Jumpang na niluluan

(menemukan sesuatu yang dicari)

Dapot na jinalahan

(mendapatkan apa yang dijalani)

I ma dongan sahaholongan

(satu cinta yang abadi)

Dohot dongan sapanghilalaan

(satu perasaan dan satu pemikiran)

(40)

28 Niluluan berarti sesuatu yang dicari

Jinalahan adalah kehidupan yang sedang dijalani

Sahaholongan berasal dari kata holong, yang artinya cinta atau kasih sayang Sapanghilalaan berasal dari kata hilala, yang artinya rasa atau perasaan.

I ma dongan sahaholongan, Dohot dongan sapanghilalaan adalah bagian dari isi

umpasa (pantun) yang maknanya menggambarkan seseorang yang harus saling

memahami, saling pengertian satu sama lain agar seia-sekata dalam suka dan duka, dan

menjadi pasangan yang satu perasaan dan satu pemikiran.

3. Makna Mengharapkan Sesuatu

Data (6) Rumah ijuk di jolo ni sopo gorga

(Rumah beratap ijuk di depan lumbung yang berukir)

Asi ni roha ni Amanta Debata

(kasih dari Tuhan yang Maha Esa)

Sai dilehon ma dihamu

(Semoga diberi kepada kalian)

Anak na bisuk dohot boru namarroha

(Putera yang cerdik dan puteri yang bijaksana)

Dalam umpasa (pantun) di atas, makna dari kata-kata dalam umpasa (pantun) tersebut: Sopo yang berarti lumbung padi atau berupa ruangan terbuka untuk menyimpan sesuatu atau tempat berkumpul untuk menerima tamu

Gorga artinya ukiran atau lukisan berupa pahatan

Bisuk berarti Pandai, cerdik dan cerdas, serta punya banyak akal.

Sai dilehon ma dihamu, Anak na bisuk dohot boru namarrohaadalah bagian dari isi umpasa (pantun) yang maknanya sebuah harapan bagi pengantin agar setelah

menikah segera mendapatkan momongan, putera-puteri yang berbudi baik, cerdas dan

bijaksana.

Data (7) habinsaran hapoltakan ni matani ari

(matahari terbit dari timur)

(41)

29 (bulan terbit dari barat)

Sai tubu ma anak na malo mansari

(semoga lahir anak yang giat bekerja mencari nafkah)

Dohot boru na boi paulaean

(dan anak perempuan yang murah hati)

Dalam umpasa (pantun) di atas, makna dari kata-kata dalam umpasa (pantun) tersebut: Habinsaran adalah tempat matahari terbit yaitu arah timur

Hapoltakan adalah tempat terbitnya matahari dan bulan

Hasundutan adalah tempat bulan terbit yaitu terbit di arah barat Tubu yang artinya lahir

Mansari yang artinya pintar mencari nafka

Paulaean yang artinya sikap sesorang yang murah hati dan pengasih.

Sai tubu ma anak na malo mansari, Dohot boru na boi paulaean adalah bagian

dari isi umpasa (pantun) yang maknanya sebuah kalimat harapan yang berharap agar

pengantin kelah melahirkan anak laki-laki yang pandai mencari nafkah, menjadi

pemimpin rumah tangga yag bijaksana, dan anak perempuan yang murah hati dan

pengasih, menjadi anak perempuan yang penyayang dan dapat di andalkan.

Data (8) Mandurung di aek Sihoru-horu

(menjala ikan di sungai yang deras)

manjala di aek Sigura-gura

(menjala di sungai Sigura-gura)

Udur ma hamu jala leleng mangolu

(berkumpul dalan kehidupan yang panjang umur)

hipas matua sonang sora mahua

(sehat sentosa hingga beranak cucu)

Dalam umpasa (pantun) di atas, makna dari kata-kata dalam umpasa (pantun) tersebut: Mandurung artinya menangkap ikan menggunakan sebuah alat yang terbuat dari kain ataupun jala.

Aek artinya air

(42)

30

Udur ma hamu jala leleng mangolu, hipas matua sonang sora mahua adalah

bagian dari isi umpasa (pantun) yang bermakna sebuah harapan agar kelak pengantin

membina keluarga yang selalu panjang umur, terberkati dan berkumpul dalam suatu

ikatan kekeluargaan yang baik dan hidup damai hingga beranak cucu.

Data (9) Bintang na rumiris

(bintang dilangit yang berlimpah ruah)

Ombun nasumorop

(embun pagi yang sejuk)

Anak pe riris

(melahirkan banyak anak laki-laki)

Boru pe torop

(dan melahirkan anak perempuan yang banyak juga)

Dalam umpasa (pantun) di atas, makna dari kata-kata dalam umpasa (pantun) tersebut: Rumiris berasal dari kata riris yang artinya banyak, berlimpah-ruah, dan berjejer Ombun artinya embun, atau awan

Torop artinya banyak atau ramai.

Anak pe riris, Boru pe torop adalah bagian dari isi umpasa (pantun) yang

bermakna sebuah harapan agar kelak pengantin mendapatkan anugerah dan melahirkan

banyak anak laki-laki dan banyak anak perempuan yang membawa rejeki bagi mereka,

dan menjadi keluarga yang besar dan terpandang.

Data (10) Harbangan dalan tu huta

(Pintu masuk kesuatu kampung)

Balatuk dalan tu jabu

(tangga jalan menuju kerumah)

Sai hatop ma hamu mangabing-abing

(semoga cepat dikaruniai anak)

Jala anak buha baju

(dan anak pertama yang lahir adalah laki-laki pembawa marga)

(43)

31 Balatuk artinya anak tangga rumah adat batak Toba Dalan berarti jalan

Hatop artinya cepat atau segera

Mangabing-abing artinya menggendong atau menimang

Jala, dalam kalimat diatas merupakan sebuah kata penghubung, yang artinya Serta atau Dan

Buha baju artinya anak pertama atau anak sulung

Sai hatop ma hamu mangabing-abing, Jala anak buha baju adalah bagian dari isi

umpasa (pantun) yang bermakna sebuah harapan agar pengantin segera mendapatkan

anak, dan melahirkan anak sulung yang berjenis kelamin laki-laki sebagai pembawa

nama, marga dan garis keturunan dalam keluarga suku batak Toba.

4.2 Nilai-nilai Budaya yang terdapat pada upacara Tintin Marakkup dalam pernikahan Batak Toba

Umpasa (pantun ) dalam pernikahan Adat Batak Toba memiliki makna yang

mengandung nilai budaya. Menurut Kamus Besar Indonesia (KUBI), nilai berarti harga,

angka, kepandaian, kadar mutu, banyak sedikitnya isi dan sifat-sifat yang penting dan

berguna bagi kemanusiaan. Sedangkan nilai budaya adalah tingkat pertama kebudayaan

ideal atau Adat. Nilai budaya adalah lapisan paling abstrak dan luas ruang lingkupnya.

Berdasarkan pengertian di atas, maka nilai budaya adalah angka kepandaian kelompok

masyarakat yang konsep-konsep berpikirnya hidup dan bertumbuh sehingga sistem nilai

budayanya menjadi pedoman bagi tingkah laku kelompok manusia tersebut. Nilai

bukan hanya yang baik saja karena nilai merupakan segala sesuatu tentang yang baik

dan buruk.

Sibarani (2014:178) membagi nilai-nilai budaya kearifan lokal menjadi dua

bagian yaitu kedamaian dan kesejahteraan. Kedamaian yaitu kesopansantunan,

kejujuran, kesetiakawanan sosial, kerukunan dan penyelesaian konflik, komitmen,

(44)

32

pendidikan, kesehatan, gotong royong, pengelolahan gender, pelestarian dan kreativitas

budaya, dan peduli lingkungan.

Umpasa (pantun) dalam upacara Tintin Marakkup hanya memiliki nilai yang

baik bagi manusia, nilai-nilai yang terkandung dalam isi dari umpasa (pantun) tersebut

berisikan nilai kasih sayang orang tua kepada anak, nilai ketekunan, nilai kerja keras,

nilai kebersamaan/kekompakan, nilai ketelitian, nilai keterbukaan, nilai keagamaan,

nilai persaudaraan, nilai kerajinan, dan nilai mudah menyusaikan diri.

1. Nilai kasih sayang orang tua kepada anak

Umpasa (pantun) Batak Toba dalam upacara Adat Tintin Marakkup yang

menunjukkan adanya nilai budaya kasih sayang orang tua kepada anak, dapat dilihat

dari data (6), (7), dan (10).

Data (6) Rumah ijuk di jolo ni sopo gorga

(Rumah beratap ijuk di depan lumbung yang berukir)

Asi ni roha ni Amanta Debata

(kasih dari Tuhan yang Maha Esa)

Sai dilehon ma dihamu

(Semoga diberi kepada kalian)

Anak na bisuk dohot boru namarroha

(Putera yang cerdik dan puteri yang bijaksana)

Data (6) isi dari umpasa (pantun) yang menyatakan “Sai dilehon ma dihamu,

Anak na bisuk dohot boru namarroha”menunjukkan sebuah harapan orang tua kepada

anaknya agar pengantin segera memiliki kehidupan yang baik, yang selalu diharapkan

oleh setiap orang tua kepada anaknya. Berdasarkan dari isi umpasa (pantun) diatas

(45)

33

kepada anak, karena setiap orang tua selalu berharap dengan penuh kasih sayang dan

selalu berdoa agar anaknya hidup bahagia hingga beranak cucu.

Data (7) habinsaran hapoltakan ni matani ari

(matahari terbit dari timur)

Hasundutan hapoltakan ni bulan

(bulan terbit dari barat)

Sai tubu ma anak na malo mansari

(semoga lahir anak yang giat bekerja mencari nafkah)

Dohot boru na boi paulaean

(dan anak perempuan yang murah hati)

Data (7) isi dari umpasa (pantun) itu juga memiliki nilai budaya kasih sayang

orang tua kepada anak, dimana umpasa (pantun) tersebut menyatakan “Sai tubu ma

anak na malo mansari, Dohot boru na boi paulaean” memiliki sebuah makna yang

sangat dalam, dimana setiap orang tua berharap anaknya diberikan anak laki-laki dan

anak perempuan yang pintar dan murah hati yang sesuai dengan harapan orang tuanya.

Data (10) Harbangan dalan tu huta

(Pintu masuk kesuatu kampung)

Balatuk dalan tu jabu

(tangga jalan menuju kerumah)

Sai hatop ma hamu mangabing-abing

(semoga cepat dikaruniai anak)

Jala anak buha baju

(dan anak pertama yang lahir adalah laki-laki pembawa marga)

Data (10) isi dari umpasa itu juga memiliki nilai budaya kasih sayang orang tua

(46)

34

mangabing-abing, Jala anak buha baju”. Dimana orang tua berharap agar anaknya

memiliki garis keturunan, sebagai pembawa marga bagi keluarga mereka.

2. Nilai ketekunan

Umpasa (pantun) Batak Toba dalam upacara Adat Tintin Marakkup yang

menunjukkan adanya nilai budaya ketekunan, dapat dilihat dari data (3) dan (5).

Data (3) Napuran ni parsoburan

(sirih yang berasal dari parsoburan)

tu gambir ni sitapongan

(getah kayu yang bisa dimakan)

tong-tong ma hamu nadua sauduran

(tetap satu jalan menuju yang benar)

jala masi haholongan

(satu hati membentuk rumah tangga yang bahagia)

Data (3) isi dari umpasa (pantun) yang menyatakan “tong-tong ma hamu nadua

sauduran, jala masi haholongan” memiliki arti bahwa bagi pasangan suami-istri harus tekun dan tetap seia sekata, tong-tong berarti tetap atau selalu menggambarkan suatu

sikap yang terus menerus untuk saling melengkapi dengan kasih dan sayang.

Data (5) Jumpang na niluluan

(menemukan sesuatu yang dicari)

Dapot na jinalahan

(mendapatkan apa yang dijalani)

I ma dongan sahaholongan

(satu cinta yang abadi)

Dohot dongan sapanghilalaan

(satu perasaan dan satu pemikiran)

Data (5) isi dari umpasa itu juga memiliki nilai budaya ketekunan, dimana umpasa

(47)

35

sapanghilalaan” menegaskan agar selalu tekun dan bersungguh-sungguh dalam

mengerjakan suatu pekerjaan yang dilakukan bersama-sama dalam suka maupun duka.

3. Nilai Kerja Keras

Umpasa (pantun) Batak Toba dalam upacara Adat Tintin Marakkup yang

menunjukkan adanya nilai kerja keras, dapat dilihat dari data (3) dan (8).

Data (3) Napuran ni parsoburan

(sirih yang berasal dari parsoburan)

tu gambir ni sitapongan

(getah kayu yang bisa dimakan)

tong-tong ma hamu nadua sauduran

(tetap satu jalan menuju yang benar)

jala masi haholongan

(satu hati membentuk rumah tangga yang bahagia)

Data (3) berisikan sebuah makna yang mencerminkan nilai budaya pekerja

keras. Dimana kata “sauduran” juga memiliki makna yang mendalam, dimana ketika

sepasang suami isteri harus saling bersama-sama dan bekerja keras untuk membina

sebuah rumah tangga.

Data (8) Mandurung di aek Sihoru-horu

(menjala ikan di sungai yang deras)

manjala di aek Sigura-gura

(menjala di sungai Sigura-gura)

Udur ma hamu jala leleng mangolu

(berkumpul dalan kehidupan yang panjang umur)

hipas matua sonang sora mahua

(sehat sentosa hingga beranak cucu)

Data (8) tersebut di atas, juga memiliki nilai kerja keras karena terdapat kata

“udur” yang makna juga selalu bersama-sama dan bekerja keras dalam membina sebuah

(48)

36 4. Nilai kebersamaan/kekompakan

Umpasa (pantun) Batak Toba dalam upacara Adat Tintin Marakkup yang

menunjukkan adanya nilai kebersamaan/kekompakan, dapat dilihat dari data (3), (4),

(5), dan (8).

Data (3) Napuran ni parsoburan

(sirih yang berasal dari parsoburan)

tu gambir ni sitapongan

(getah kayu yang bisa dimakan)

tong-tong ma hamu nadua sauduran

(tetap satu jalan menuju yang benar)

jala masi haholongan

(satu hati membentuk rumah tangga yang bahagia)

Data (3) mempunyai nilai kebersamaan/kekompakan, dimana kata “hamu

nadua” (kelian berdua) memiliki arti suami isteri harus memiliki kekompakan dalam

berumah tangga dan melakukan apapun baik suka dan duka.

Data (4) Dangka ni arirang

(ranting dari pohon nira)

peak ni tonga ni onan

(yang terletak ditengah-tengah pasar)

badan muna naso jadi sirang

(pernikahan yang tidak bisa diceraikan)

tondimu tong-tong masigomgoman.

(hati dan jiwa yang saling merangkul)

Data (4) tersebut di atas, juga memiliki nilai budaya kebersamaan/kekompakan,

yang berisikan kata “tondimu tong-tong masigomgoman” memiliki arti selalu bersama.

(49)

37

bersama-sama dan tidak boleh bercerai walaupun ada masalah yang besar, kecuali

mereka dipisahkan oleh kematian.

Data (5) Jumpang na niluluan

(menemukan sesuatu yang dicari)

Dapot na jinalahan

(mendapatkan apa yang dijalani)

I ma dongan sahaholongan

(satu cinta yang abadi)

Dohot dongan sapanghilalaan

(satu perasaan dan satu pemikiran)

Data (5) berisikan umpasa (pantun) “I ma dongan sahaholongan, Dohot dongan

sapanghilalaan” mempunyai nilai kebersamaan, karena menyiratkan sebuah perintah

agar pasangan suami isteri selalu bersama-sama dan selalu kompak dalam situasi

kehidupan apapun.

Data (8) Mandurung di aek Sihoru-horu

(menjala ikan di sungai yang deras)

manjala di aek Sigura-gura

(menjala di sungai Sigura-gura)

Udur ma hamu jala leleng mangolu

(berkumpul dalan kehidupan yang panjang umur)

hipas matua sonang sora mahua

(sehat sentosa hingga beranak cucu)

Data (8) pada bagian isi umpasa (pantun) “Udur ma hamu” menerangkan

sebuah harapan agar pasangan suami isteri selalu kompak, selalu bersama-sama, dan

(50)

38 5. Nilai ketelitian

Umpasa (pantun) Batak Toba dalam upacara Adat Tintin Marakkup yang

menunjukkan adanya nilai kebersamaan/kekompakan, dapat dilihat dari data (4)

Data (4) Dangka ni arirang

(ranting dari pohon nira)

peak ni tonga ni onan

(yang terletak ditengah-tengah pasar)

badan muna naso jadi sirang

(pernikahan yang tidak bisa diceraikan)

tondimu tong-tong masigomgoman.

(hati dan jiwa yang saling merangkul)

Data di atas menunjukkan bahwa nasihat-nasihat orang Batak Toba

mengandung nilai budaya ketelitian. Kalimat “badan muna naso jadi sirang, tondimu tong-tong masigomgoman” menegaskan bahwa ketika sepasang suami isteri telah

mengikat janji suci, maka mereka harus telitih dalam menjaga hubungan suami isteri

agar terbina suatu hubungan yang harmonis.

6. Nilai keterbukaan

Umpasa (pantun) Batak Toba dalam upacara Adat Tintin Marakkup yang

menunjukkan adanya nilai keterbukaan, dapat dilihat dari data (1) dan (2).

Data (1) Hot pe jabu i

(walaupun rumah itu berdiri kokoh)

Sai tong do i margulangulang

( pasti rumah itu akan bergoyang)

Tung sian dia pe mangalap boru bere i

( siapapun yang dipesunting si pengantin laki-laki)

Sai hot doi boru ni tulang

(51)

39

Data (1) data tersebut di atas mencerminkan nilai budaya masyarakat Batak

Toba, yang bersifat dan berjiwa terbuka. Isi kalimat “Tung sian dia pe mangalap boru

bere I, Sai hot doi boru ni tulang” menggambarkan sifat orang Batak Toba yang terbuka untuk menerima orang lain dan menganggapnya sebagai saudara kandung.

Data (2) Sai tong doi lubang

(rumah berlantai papan yang berlubang)

nangpe dihukkupi rere

(walaupun dititupi dengan tikar)

Sai tong doi boru ni Tulang

(perempuan yang tetap dianggap putri paman)

manang boru ni ise pei dialap bere

(perempuan yang dinikahi pengantin laki-laki)

Data (2) isi umpasa (pantun) yang menyatakan “Sai tong doi boru ni Tulang,

manang boru ni ise pei dialap bere” juga memiliki nilai budaya keterbukaan, yang

menggambarkan sifat orang Batak Toba yang terbuka untuk menerima orang lain

menjadi bagian dari keluarganya dan menganggap putri pamannya sendiri.

7. Nilai keagamaan

Umpasa (pantun) Batak Toba dalam upacara Adat Tintin Marakkup yang

menunjukkan adanya nilai keagamaan, dapat dilihat dari data (6), (7), dan (10).

Data (6) Rumah ijuk di jolo ni sopo gorga

(Rumah beratap ijuk di depan lumbung yang berukir)

Asi ni roha ni Amanta Debata

(kasih dari Tuhan yang Maha Esa)

Sai dilehon ma dihamu

(Semoga diberi kepada kalian)

Anak na bisuk dohot boru namarroha

(52)

40

Data (6) kalimat pada umpasa (pantun) yang berisikan “Sai dilehon ma dihamu,

Anak na bisuk dohot boru namarroha”, mencerminkan nilai budaya keagamaan. Dalam

makna kalimat tersebut mengandung makna yang mengunggapkan sebuah permintaan

kepada Tuhan Yang Maha Esa agar pengantin atau pasangan suami isteri dikaruniai

anak.

Data (7) habinsaran hapoltakan ni matani ari

(matahari terbit dari timur)

Hasundutan hapoltakan ni bulan

(bulan terbit dari barat)

Sai tubu ma anak na malo mansari

(semoga lahir anak yang giat bekerja mencari nafkah)

Dohot boru na boi paulaean

(dan anak perempuan yang murah hati)

Data (7) menggambarkan nilai budaya keagamaan, karena mempunyai isi

umpasa (pantun) “Sai tubu anak na malo mansari, Dohot boru na boi paulaean”, mengandung makna sebuah permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar pasangan

suami isteri mendapat karunia agar segera memiliki keturunan.

Data (10) Harbangan dalan tu huta

(Pintu masuk kesuatu kampung)

Balatuk dalan tu jabu

(tangga jalan menuju kerumah)

Sai hatop ma hamu mangabing-abing

(semoga cepat dikaruniai anak)

Jala anak buha baju

Referensi

Dokumen terkait

Makna menasehati yang ditemukan pada bagian isi Ko ado duri nan mancucuak dalam kaluargo, mako basamo-samo baselo jo kaluargo ‘kalau ada duri yang menusuk dalam keluarga,

Nilai-nilai budaya yang terdapat dalam pemberian ulos pada perkawinan adat Batak Toba, ialah nilai kekeluargaan, nilai kasih sayang, nilai kesetian, nilai

Simbol yang dimaksud dalam upacara perkawinan adat Batak Toba.. ialah pada saat

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa makna referensial dalam umpasa Batak Toba lebih mengacu pada benda serta memilki hubungan dengan makna umpasa sedangkan untuk makna

Pada data 12 menjelaskan bahwa performansi yang di tunjukkan dalam upacara adat saur matua pada masyarakat Batak Toba pemberian ulos saput terakhir kepada yang

Berdasarkan parameter orientasi nilai budaya dari penelitian umpasa dalam upacara adat manulangi tulang tercermin nilai budaya: Nilai kedamaian yang dimaksud adalah

„d ilindungi Tuhan Yang Maha Esa ‟. binahen pe umpasa „dibuat pun pantun‟

Makna dari pepatah-petitih di atas adalah makna mengharapkan sesuatu, yang terdapat pada isi pepatah-petitih kok lai dapek anak laki-laki, samoga ka dapek anak nan bijaksano