• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Middle Indonesia dalam Formasi Negara Bangsa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Middle Indonesia dalam Formasi Negara Bangsa"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

W

hat holds Indonesia together? Inilah pertanyaan penting yang melandasi terbitnya The Making of Middle Indonesia: Middle Classes in Kupang Town, 1930s-1980s. Pertanyaan itu tampak relevan saat kekuasaan sentral di Indonesia tengah dihantam krisis dan badai politik tahun 1998. Bukan hanya karena kekusutan politik yang terjadi di Jakarta, konflik dan kekerasan yang merebak di sejumlah daerah pun membuat masa depan negeri ini kian tak menentu. Gagasan tentang disintegrasi muncul kembali mirip seperti ketika Indonesia

memasuki masa-masa awal republik tahun 1950-an. Aceh, Papua, dan Timor Timur ingin mele-paskan diri dari Indonesia. Pada saat bersamaan, kekerasan antar-agama dan etnis meletup di Maluku, Sulawesi Tengah dan beberapa daerah di Kalimantan. Banyak kalangan berpendapat bahwa Indonesia akan mengalami “balkanisasi”, bahkan jatuh ke pelukan fundamentalisme religius atau kekacauan ekonomi (hal. 1), karena tidak memiliki strong leader dalam tubuh pemerintahan. Situasi demikian mirip pemerin-tahan Soekarno yang runtuh pada pertengahan tahun 1960-an dengan menyisakan krisis yang, menurut prediksi beberapa sarjana asing, akan menjadikan Indonesia sebagai negara gagal. Namun, hal tersebut tidak terbukti. Banyak sejarawan, ilmuwan politik, serta pakar ekonomi menganalisis bahwa situasi “dramatis” tersebut bisa berubah menjadi “keajaiban”1 adalah

ber-The Middle Indonesia

dalam

Formasi Negara-Bangsa

Judul: The Making of Middle Indonesia: Middle Classes in Kupang Town, 1930s-1980s

Penulis: Gerry van Klinken

Penerbit: Brill, Leiden, Negeri Belanda, 2014 Tebal: xviii + 300 halaman

ISBN-10: 900-4265-082; ISBN-13: 978-9004-265-080

1 “Drama dan “”keajaiban” adalah istilah yang

(2)

kat pertumbuhan ekonomi hasil “tangan dingin” sebagian besar teknokrat yang menopang pe-merintahan Soeharto.

Namun demikian, Gerry van Klinken tidak melihat persoalan sesederhana seperti itu. In-donesia tetap berdiri kukuh setelah peristiwa kekerasan pasca-1965, bahkan pada era Refor-masi, bukan karena pengaruh strong leader

seperti analisis yang biasa dikemukakan para ilmuwan sosial. Dengan perspektif tidak melulu “dari atas” tetapi juga “dari dalam” jaringan yang menghubungkan antara “dua Indonesia” (hal. 2), penulis buku ini menelisik lebih jauh apa yang sebenarnya membuat Indonesia tetap bisa bertahan pada era pasca-Reformasi. Pendekatan yang mengeksplorasi relasi kekuasaan dari pun-cak menuju tengah ini memang tidak seperti pendekatan “pusat-pinggiran.” Pertama-tama pendekatan tersebut dipakai untuk menggali lebih dalam dinamika yang terjadi di beberapa “kota menengah” atau kota yang dijadikan ibu kota provinsi.

Di sinilah “Middle Indonesia” menjadi penting dibahas untuk melihat apa yang sebe-narnya membuat Indonesia (tetap) bertahan. Terminologi itu “ditemukan” oleh para peneliti yang tergabung dalam proyek “In Search of Middle Indonesia”.2

Middle Indonesia yang me-rujuk pada peran mediational kelas menengah di beberapa kota provinsi bukan sebuah ter-minologi yang sempit. Dalam cara pandang multidimensi, terminologi tersebut mengacu pada the geographical space, the social space,

dan cultural meeting (hal. xi). Sebagai ruang geografis, ia adalah spasial di antara desa dan kota metropolitan. Sebagai ruang sosial, ia ada-lah ruang di antara kelas menengah-atas dan kaum miskin perkotaan, sebuah twillight zone

ekonomi dan politik di antara institusi formal dan pasar. Sebagai ruang pertemuan kultural, ia adalah tempat bertemunya mode global dan praktik lokalitas.

Penelitian Gerry van Klinken sedikit banyak dipengaruhi Clifford Geertz, bahwa dinamisme perubahan sosial di “tengah” pelbagai ekstrem adalah sebuah lokus yang sangat menarik un-tuk ditelaah. Sementara WF Wertheim, sosiolog pertama yang banyak mengkaji kota-kota pro-vinsi, melihat bahwa kota “merupakan elemen paling dinamis dengan dampak sosial-politik cukup besar bagi masyarakat di seluruh Nu-santara”.3 Indonesia sendiri memiliki sekitar 200

kota ukuran menengah dengan jumlah pen-duduk masing-masing berkisar 50.000-1.000.000 orang. Kota-kota tersebut menghu-bungkan kota metropolis seperti Jakarta dengan 70.000 desa. Dalam dinamika pertumbuhannya, sebagian besar kota tersebut dihuni oleh pen-duduk kelas menengah dengan jumlah yang terus meningkat. Namun, belum banyak peneliti yang mengkaji bagaimana relasi pusat-daerah dengan menelaah lebih dahulu situasi di daerah, terutama secara historis. Sebagian besar di antara mereka masih memusatkan fokus pene-litian pada dinamika pertumbuhan kelas mene-ngah di beberapa kota besar di Indonesia. Pa-dahal, bila diperhatikan lebih dekat, terutama sejak roda reformasi bergulir di negeri ini, peran kelas menengah di wilayah atau kota-kota di luar kota besar itu sungguh sangat besar. Dengan kacamata antropologi dan sejarah, penulis buku ini mengupas lebih dalam sejarah ekonomi-politik kelas menengah di Kupang, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Sebuah Medan

Dalam historiografi Indonesia selama ini, Kupang diposisikan sebagai sebuah wilayah atau daerah yang kurang mendapat perhatian. Selain langkanya kajian sejarah yang mem-bedah kondisi sosial-ekonomi kota di Pulau

2 Lihat, Gerry van Klinken dan Ward Berenschot

(eds.), In Search of Middle Indonesia: Middle Class in Provincial Towns (Leiden: Brill, 2014).

3 Klinken membahas secara kritis beberapa karya

(3)

Timor itu, roda pembangunan yang digerakkan pemerintah kolonial di kota itu tidak sebesar kota-kota besar di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Misalnya, perbandingan jumlah penduduk. Pada 1930, total penduduk Kupang sekitar 7.000 orang jauh di bawah Batavia yang berpenduduk 533.000 jiwa, Makasar (85.000 jiwa), dan Ambon (17.000 jiwa). Walaupun merupakan salah satu daerah terluar dalam jaringan pelayaran dan perniagaan di masa kolonial, Kupang memiliki karakteristik cukup unik. Menurut Klinken, meminjam terminologi Clifford Geertz ketika meneliti Pare, Kupang menampilkan karak-teristik “in-between”, baik dalam hal ukuran maupun fungsinya. Dengan kata lain, meski tidak sebesar kota-kota lain di Nusantara, Kupang di Pulau Timor merupakan sebuah

metropole pada masa kolonial. Negara kolonial memberi “kebebasan” kepada para raja di pulau itu untuk memperluas pengaruh ke wilayah pedalaman. Namun, raja tidak memonopoli kekuasaan. Di samping mereka ada beberapa tokoh berpengaruh, seperti fetor, kepala prajurit dan tetua yang menopang kekuasaan raja.

Sementara itu, terutama sejak 1910, ber-langsung mobilisasi kelas menengah baru di Pulau Jawa. Pertumbuhan kelas menengah baru hasil dari sekolah-sekolah “modern” yang didirikan pemerintah kolonial itu secara tidak langsung memengaruhi lanskap sosial-politik di beberapa wilayah di Nusantara, termasuk Ku-pang. Mengapa demikian? Pemerintah kolonial jelas sangat membutuhkan para administrator yang cakap mengoperasikan mesin birokrasi di Hindia-Belanda. Para raja dan bangsawan di daerah pun mulai mengirim anak-anak mereka untuk mengenyam pendidikan di Makassar, Yogyakarta, Surabaya, dan Batavia. Selain itu, pemerintah juga memberikan beasiswa bagi anak-anak petani yang bersekolah di Jawa. Pertumbuhan kelas menengah baru terdidik sejak awal tahun 1900-an itu menjadi sangat penting pada masa transisi kekuasaan tahun 1945. Di Kupang, misalnya, sebagian besar

broker, atau orang yang berperan sebagai “perantara”, dan birokrat pemerintah daerah

adalah anak-cucu para petani yang pernah mengenyam pendidikan sebagai guru dan pe-gawai negeri di Jawa sebelum Perang Pasifik.

Para broker berperan penting dalam lanskap sosial-politik Kota Kupang. Mereka mempe-rantarai kepentingan elite birokrat lokal yang tak punya kuasa dalam proses penyusunan kebi-jakan di tingkat pusat dengan mayoritas pendu-duk miskin di kampung-kampung. Namun, pe-ran mereka sebagai “penengah” itu kerap di-manfaatkan pemerintah pusat yang mengeks-ploitasi sumber daya lokal dengan mengarti-kulasi keinginan masyarakat “awam” dan mene-ruskannya ke elite lokal serta pemerintah pusat (hal.124). Sebagai imbalan atas “model” kerja sama itu, para broker memperoleh “komisi.” Hal demikian terlihat terang-benderang pada masa Orde Baru. Rezim ini melestarikan praktik

brokerage dengan memanfaatkan para birokrat berpengaruh untuk memperkuat posisi politik Soeharto. Di samping itu, pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia yang relatif pesat pada masa itu secara tidak langsung meningkatkan permintaan pemerintah dan kelas menengah akan kehadiran para broker

yang dianggap bisa memudahkan urusan me-reka. Di sinilah kita melihat bahwa kekuasaan tidak bisa berpindah dengan mudah dari satu tempat ke tempat lain; karena itu, untuk mem-bangun basis yang kuat, kekuasaan harus memahami lebih dahulu bagaimana strategi kekuasaan lokal yang berlaku, siapa aktornya, dan “permainan” apa yang terjadi di daerah.

(4)

perubahan di Kupang adalah institusi militer dan gereja. Keduanya memiliki beberapa kesamaan, baik teknik menjangkau massa dan ide baru tentang corporeal dan social order maupun ketaatan pada otoritas lebih tinggi. Namun, dalam kehidupan sosial di Kupang, institusi gereja memiliki kuasa jauh lebih besar ketimbang militer. Gereja mengungguli militer di bidang sumber daya paling mendasar, yaitu “geografi.” Gereja pun mampu menautkan je-jaring kota-perdesaan menjadi lebih terbuka dan tidak eksklusif seperti sebelumnya.

Di sinilah letak sumbangan buku ini yang berhasil memotret dan mengupas satu demi satu elemen pembentuk kelas menengah be-rikut karakteristiknya yang menjadi penopang kehidupan politik lokal. Dengan demikian, beberapa hal penting yang perlu diperhatikan adalah bukan pada hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah, tetapi bagaimana jalannya formasi pembangunan di Indonesia, siapa aktor utama yang “bermain” dalam politik daerah, bagaimana proses pembentukan dan cara kerja mereka, serta bagaimana tindak-tanduk mereka di tengah masyarakat lokal. Relasi kekuasaan antara pusat dan daerah adalah urusan be-rikutnya. Tidak semua kota di Indonesia me-nempuh jalur perjalanan sejarah dan antro-pologi politik yang sama dan inilah yang mem-buat pola relasi antara pemerintah pusat dan kota-kota berjauhan tidak seperti “pusat” yang dapat dengan mudah mengatur dan mengo-mando setiap “daerah.” Secara sosial dan geo-grafis kekuasaan pusat harus tertanam dalam

Middle Indonesia; kekuasaan di tingkat pusat pertama-tama harus memahami bagaimana struktur dan relasi politik yang terbangun di tingkat lokal.

Kelas Menengah Indonesia

Tahun 1950-an dan 1960-an

Gerry van Klinken membedah lebih dalam elemen penting yang dipersoalkan buku ini, yaitu kelas menengah. Pembentukan kelas menengah di Indonesia tidak dapat dilepaskan

dari membaiknya kinerja perekonomian negeri ini setelah melalui fase revolusi 1945. Pada tahun 1950-an, misalnya, para birokrat tampil sebagai “wakil” kelas menengah yang terbesar. Mereka memiliki kuasa bukan hanya dalam bentuk materi (uang), tetapi juga kemampuan dalam mengontrol aliran materi itu melintasi ruang. Posisi sebagai “agen perantara” membuat mereka memiliki akses luar biasa besar pada institusi pemerintahan dan pasar. Mengutip Aage Sørensen dalam “Toward a Sounder Basis for Class Analysis”, Gerry van Klinken mene-gaskan bahwa eksploitasi dapat juga dijelaskan dengan menelisik siapa yang sesungguhnya mengontrol aset materi serta akses pada ke-bijakan (hal. 183). Penggelontoran dana subsidi dan ikut terlibat dalam penyusunan regulasi merupakan aset yang bisa dimanfaatkan oleh para birokrat. Sumber daya utama para birokrat memang bukan pada akses material melainkan bagaimana mengintervensi otoritas publik.

Setelah kekuasaan beralih sepenuhnya dari Belanda ke Indonesia pada awal tahun 1950, negara berusaha keras mewujudkan cita-cita menyejahterakan rakyat. Optimisme politik mulai membuncah di berbagai daerah di Jawa. Namun, pemerintah tampak mengalami ke-sulitan dalam menancapkan dan memperkuat kekuasaan di daerah luar Jawa. Beralihnya kekuasaan politik usai Konferensi Meja Bundar tahun 1949 tidak serta-merta membuat seluruh wilayah yang “dikembalikan” ke Indonesia memiliki semangat yang sama dalam men-dukung keberadaan negara baru ini. Perlu pula dipahami bahwa keadaan politik di Indonesia awal tahun 1950-an penuh dengan pertaruhan. Gejolak politik menjadi ancaman utama. Banyak elite politik di daerah luar Jawa mendesak pe-merintah (pusat) agar mengucurkan dana yang memadai untuk membangun daerah masing-masing. Namun, negara tidak memiliki dana cukup besar untuk disalurkan ke kota-kota “terpencil,” seperti Kupang. Di sinilah kelas menengah mulai tampil memainkan peran.

(5)

feno-mena munculnya kelas menengah di Kupang (hal. 184). Pertama, proses indonesianisasi yang mendorong terbentuknya kelas mene-ngah di tingkat lokal. Kedua, kelas menengah mendesak pemerintah (pusat) melakukan aksi politik untuk meningkatkan pengaruh mereka dalam hal pendanaan. Pemerintah pusat diminta membuka administrasi baru dan meningkatkan otoritas kelas menengah di daerah, jika tidak dipenuhi mereka akan “mengganggu” program-program pemerintah pusat. Ketiga, kelas me-nengah berhasil menemukan celah yang bisa dimanfaatkan dalam proses “pembangunan ne-gara” di daerah. Keempat, praktik-praktik yang cenderung mementingkan kelompok sendiri sering kali mendorong terjadinya konflik sosial dengan kelompok lain yang kurang diuntung-kan.

Sejak tahun 1950-an hingga awal 1960-an bibit-bibit, meminjam istilah Richard Robison, “kapitalis birokrat” mulai terbentuk di dalam institusi negara. Kapitalis birokrat mengambil keuntungan dengan memanfaatkan wewenang atas sumber daya yang dimiliki negara. Mereka memanfaatkan dana negara yang digelontorkan untuk pembangunan, merekayasa kontrak pem-bangunan serta menarik komisi dari setiap proyek yang bisa dimanfaatkan. Munculnya para kapitalis birokrat tersebut merupakan hasil dari proses perluasan administratif yang dilakukan negara untuk memperluas jejaring secara ins-titusional di daerah. Pada kenyataannya, kita sering menemukan bahwa perluasan jejaring birokrasi tersebut tidak berdasarkan pada fungsi dan relevansi. Selain itu, terbentuknya kapitalis birokrat dibantu oleh proses patrimonialisme yang telah mengakar kuat di Indonesia. Sistem birokrasi berdasarkan prestasi atau meritokrasi masa itu sulit ditemukan di daerah-daerah terpencil di Indonesia.

Kontrol (pemerintah) pusat yang tidak begitu ketat membuat kekuasaan para kapitalis birokrat di tingkat lokal semakin sulit diawasi. Kuasa elite lokal mampu mencengkeram bi-dang-bidang ekonomi-politik strategis di pel-bagai daerah di Indonesia. Negara terlihat kuat

bukan karena institusi-institusi negara bisa mengambil peran sebagaimana mestinya, tetapi justru karena modal sosial yang dimiliki dan mampu “dimainkan” oleh elite penguasa lokal. Negara bisa menjangkau seluruh masyarakat, misalnya, di Kupang melalui otoritas personal dan pada saat yang sama terhubung dengan pasar (program Ali-Baba). Di sisi lain, sebagai kekuatan sosial-politik sangat penting masa itu, institusi militer juga berkontribusi dan memiliki akses pada pasar; mereka menuai untung besar dari usaha bisnis asing dan modal Tionghoa. Para birokrat di tingkat lokal pun harus menjalin dan menjaga relasi dengan militer untuk dapat menikmati kue dari networking yang dibangun pihak militer. Dari kompleksitas jaringan yang terbentuk di Kupang inilah sesungguhnya kita bisa menilai bahwa—tidak seperti pemberitaan banyak media massa setelah era Reformasi— otonomi elite lokal sudah menancap begitu kuat sejak tahun 1950-an.

(6)

psikologis begitu kuat hingga ke daerah luar Jawa.

Gagasan politik populis-revolusioner juga memiliki pendukung cukup fanatik di sebagian kelas menengah di Kupang. Mereka ini me-nyalurkan ekspresi politik pada satu-satunya partai politik yang dianggap merepresentasikan rakyat, yaitu PKI. Sementara kelas menengah lainnya yang lebih “konservatif” berusaha men-jalin hubungan dengan militer dan gereja. Walaupun pemikiran politik di antara PKI dan kelompok konservatif serta militer dan religius konservatif bertolak belakang, jaringan ke-kuasaan mereka memiliki beberapa kesamaan. Masing-masing elemen memiliki hubungan cukup kuat dengan pusat. Walaupun pusat kerap menyusun dan mengambil keputusan, tetapi segala risiko dan dampak keputusan itu, mi-salnya, dalam memobilisasi elite lokal tetap dipikul oleh masing-masing kelompok di daerah bila muncul “masalah.” Pengaruh PKI di ka-langan konservatif sangat terbatas, namun mobilisasi partai ini di Kota Kupang sungguh luar biasa. Beberapa simpatisan “gerakan me-rah” seperti guru, rohaniawan level rendah, dan para pemimpin serikat buruh bahu-membahu menyebarkan pengaruh ke masyarakat urban dan pedalaman Kupang. Beberapa program PKI, seperti anti-feodalisme, kebebasan berserikat, tanah untuk petani, keadilan untuk kaum buruh dan kemerdekaan berpendapat serta berke-senian, membuat partai ini memperoleh massa cukup besar di Kota Kupang, terutama di ka-langan yang skeptis terhadap elite lokal, dan luar kota yang kebanyakan tidak melek-politik.

Bahasa politik yang digunakan PKI me-mang meresahkan para birokrat (elite) lokal dan otoritas gereja. Sementara mereka yang berada di luar “pengaruh” PKI tampaknya tidak mempunyai keinginan kuat atau berusaha men-cari massa seperti yang dilakukan partai ko-munis itu. Di sisi lain, institusi gereja terbelah dua menjadi faksi “konservatif” kaum tua yang berada di puncak otoritas gereja dengan faksi “progresif” kaum muda yang lebih mengakar di akar-rumput. Sementara itu, militer kian

eks-pansif dalam penguasaan teritorial, terutama setelah tahun 1960-an, dan mulai mencari serta menjalin kontak dengan beberapa organisasi atau partai politik yang dianggap cakap meng-galang massa untuk menandingi PKI. Pada akhirnya, kelompok-kelompok kelas menengah tersebut saling menghantam pada pertengahan tahun 1960-an dan meninggalkan pengalaman kelam tak terlupakan dalam perjalanan sejarah Kota Kupang.

Peristiwa tragis yang meletus di Jawa pada akhir 1965 dan kemudian merebak ke seluruh penjuru Indonesia, memperlihatkan bahwa ma-syarakat di Nusa Tenggara Timur, khususnya Kupang, terbelah dalam beberapa kelas sosial. Menjelang peristiwa 1965, beberapa kota di Indonesia, khususnya Kupang, menjadi medan politik yang membelah kelas-kelas sosial itu menjadi dua kutub ekstrem, yaitu kelompok kanan, militer, birokrat, religius konservatif serta kelompok kiri, intelektual, guru, buruh, dan rohaniawan progresif (hal. 254). Setelah pem-bantaian secara sistematis sejak akhir 1965 hingga awal 1966, “wajah Indonesia” berubah total. Keadaan dan kehidupan kota-kota di In-donesia pun berganti rupa, karena komunisme sebagai kekuatan tandingan kelompok kanan telah “disapu.” Dengan kata lain, peristiwa 1965 merupakan salah satu tonggak penting kon-solidasi kelas menengah Indonesia yang men-jadi ciri khas Negara Orde Baru.

Konsolidasi Kelas Menengah?

(7)

adalah loyalis Orde Baru—tidak “kiri” dan kurang kritis. Menurut Gerry van Klinken, konsolidasi “middle Indonesia” sebenarnya adalah sebuah proyek politik bagi warga kota yang tidak terlalu kaya dan tidak memiliki kuasa di tingkat nasional, namun penting sebagai perantara kepentingan pemerintah pusat di tingkat provinsi.

Dengan meminjam konsep associational power Hannah Arrendt, Gerry van Klinken menerangkan bagaimana social networks terjalin di antara kelas menengah sebelum tahun 1965, baik pada aras lokal maupun hubungannya dengan pusat. Untuk menjelaskan konsep tersebut, penulis buku ini meminjam gagasan geografer John Allen dalam Lost Geographies of Power tentang pentingnya konteks geografis dalam ruang kekuasaan (hal. 11). Menurut Gerry van Klinken, pemikiran John Allen mem-bantu menyebarkan gagasan kekuasaan dengan memperhitungkan masalah “transmisi melintasi ruang” dan kedekatan manusia berupa face to face contact merupakan elemen yang esensial. Pada dasarnya, sebagaimana dikatakan Robert Dahl, kekuasaan adalah kemampuan untuk memengaruhi orang atau pihak lain. Hubungan kedekatan membawa pada gagasan tentang kekuasaan “dari bawah ke atas”, kekuasaan untuk menyelesaikan segala sesuatu secara bersama. Inilah ide tentang associational power. Sementara itu, Arendt meyakini bahwa yang riil hanya kekuasaan yang terlegitimasi. Power

adalah soal pemberdayaan; modal sosial yang tumbuh melalui kolaborasi. Gerry memberikan contoh revolusi Indonesia yang mengasosiakan sebuah gerakan solidaritas bersama; dalam hal itu Indonesia berhasil menghimpun kekuatan yang cukup untuk mengalahkan lawan yang memiliki persenjataan lebih baik. Dengan kata lain, konsep associational power membantu kita melihat bagaimana beragam kelompok bisa mengasosiasikan bersama sebuah tujuan ter-tentu. Sebagai tambahan, bagian lain tidak kalah penting dari associational power adalah posisi seorang perantara sebagai elemen kunci yang membantu menghubungkan berbagai

kelom-pok dalam sebuah proyeksi nasional secara umum, meski pada saat yang sama pengalaman sejarah mereka hanya sedikit memiliki ke-samaan.

Pada tahun 1950-an hingga awal tahun 1960-an di Indonesia, misalnya, partai politik progresif seperti PKI banyak membantu men-jembatani perbedaan serta kesenjangan di antara kota dan desa, kaya dan miskin, kelas menengah dan kelas bawah (baca: kaum tani). Mereka mengangkat agenda emansipatoris dengan mendesak para elite yang berkuasa agar memberi perhatian lebih pada pelbagai masalah terkait kesejahteraan rakyat. Hal de-mikian berbenturan dengan kepentingan ke-lompok-kelompok yang bercokol dalam kekua-saan. Agenda kelompok progresif tersebut kemudian menginspirasi sebagian besar pendu-duk di kota untuk bersama-sama mengembali-kan peran kota sebagaimana mestinya. Mereka dapat juga didorong oleh sugesti bahwa per-tumbuhan kota itu berbanding lurus dengan tumbuhnya kedewasaan pada masyarakat sipil. Mungkin kekejaman dan kekerasan yang me-nyertai konflik di Kupang dalam peristiwa 1965 sebagian tercermin dari ledakan destruktif yang secara tipikal terjadi pada masyarakat dengan struktur sosial agak tertutup (hal. 280).

(8)

Seba-gaimana diketahui, negeri ini memperoleh pendapatan sangat besar dari oil boom 1973. Dana berlimpah tersebut digunakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan, na-mun sebagian besar dana dari pusat tidak mengalir ke wilayah termiskin di timur Indo-nesia, melainkan ke daerah-daerah cukup makmur yang didominasi kelas menengah urban (baca: pegawai negeri)—loyalitas terha-dap Soeharto sebagai patron menjadi pertim-bangan utama pemerintah pusat dalam meng-gelontorkan dana ke daerah. Misalnya, ang-garan pembangunan Provinsi Nusa Tenggara Timur pada 1979 sebesar Rp 29 miliar, namun 89 persen merupakan dana yang ditransfer dari Jakarta.

Pada masa Orde Baru, model kekuasaan yang dibangun oleh elite politik di Jakarta bersifat instrumental; mereka memperoleh kuasa dan dukungan masyarakat karena telah berjanji akan memberi jaminan material. Karena itu, tidak jarang hal tersebut melahirkan konflik dan mereduksi modal sosial di masyarakat. Model kebijakan kolonial seperti betting on the strong berulang kembali, namun kali ini lebih terfokus pada kelas menengah (kaum birokrat) perkotaan daripada kekuasaan feodal di ranah perdesaan (hal. 280). Model seperti itu men-dorong munculnya kekuasaan konstitutif yang kurang integratif, karena penajaman sosial di tingkat lokal disebabkan oleh faksionalisasi politik di Jakarta. Selain itu, percepatan roda pembangunan yang diperkenalkan institusi negara justru mengarah pada feudal rurality.

Pada aras lokal di Kupang, hal paling nyata yang memecah-belah masyarakat adalah eks-ploitasi kelas. Pembelahan paling mencolok terjadi di antara kelompok urban indigenous bureaucratic middle class dan kelompok-kelompok di luar mereka. Menurut Gerry van Klinken, pembelahan sosial berdasarkan kelas itu tampak menonjol di Kupang dibanding kota-kota menengah lain yang lebih didasarkan pa-da pembagian etnis atau agama. Di puncak ke-lompok itu bertengger segelintir kelas politik yang mendefinisikan agenda aksi. Mereka

ada-lah para elite yang menduduki posisi strategis dalam institusi lokal yang memperoleh peng-hasilan dari berbagai “hasil sampingan.” Mereka juga mempunyai banyak konstituen para pe-gawai negeri yang tersebar luas di berbagai bidang. Walaupun para elite lokal itu kerap dipandang bukan sebagai “orang utama” yang berperan penting dalam lingkup politik nasional, mereka justru memiliki akses cukup luas ter-hadap sumber daya negara.

Mereka adalah held Indonesia together

dalam terminologi mereka sendiri. Demokrasi patronase yang merupakan karakter dari politik provinsial adalah temuan mereka. Patronase terlihat seperti melunakkan ketidaksetaraan, tetapi sebenarnya ia tidak memberdayakan. Di satu sisi, keberadaan para elite oligarkis yang menguasai sumber-sumber daya strategis ne-gara bagaikan teror bagi kaum miskin, namun di sisi lain praktik klientelisme elite politik dan pengusaha di Jakarta justru saling memperkuat dan menguntungkan kedua belah pihak. James Scott dalam analisisnya tentang patron-client

mengatakan bahwa “the patron-client relation-ship may be defined as special case of dyadic ties involving a largerly instrumental friendship in which an individual of higher socioeconomic status (patron) uses his own influence and resources to provide protections or benefits, or both, for a person of lower status (client) who, for his part reciprocates by offering general support and assistance, including personal service to the patron”.4 Keberadaan para elite “perampok negara” di dalam institusi negara di tingkat lokal masa Orde Baru itulah yang mendukung terciptanya mata rantai oligarkis yang mencirikan rezim pembangunan Orde Baru. Begitu pula Richard Robison dalam artikel berjudul “Indonesia: Crisis, Oligarchy and Reform” menegaskan bahwa kapitalisme negara yang dibangun oleh aliansi oligarkis kaum

4 James C. Scott, “Patron Client Politics and

(9)

konglomerat, keluarga bisnis-politik dan biro-krat-politik sesungguhnya bertumpu pada favo-ritisme dan patronase negara.5

Buku ini membantu kita melihat bagaima-na terbentuknya jaringan di antara kekuatan oli-garkis di pusat dan kekuatan olioli-garkis di daerah. Sebelumnya, dalam Indonesia: The Rise of Capital yang ditulis Richard Robison dan diter-bitkan pada 1986, kita memperoleh penjelasan komprehensif mengenai struktur kapitalisme negara Orde Baru. Sedangkan Gerry van Klinken dalam buku ini memberi sumbangan cukup signifikan dengan menggambarkan

kom-5 Richard Robison, “Indonesia: Crisis, Oligarchy

and Reform”, dalam Garry Rodan, Kevin Hewison dan Richard Robison (eds.), The Political Economy of Southeast Asia: Conflict, Crises and Change (Melbourne: Oxford University Press, 2001), hal. 104-137.

pleksitas jaringan yang terbentuk antara pusat dan daerah yang disebut Middle Indonesia. Namun demikian, kita harus terlebih dahulu berusaha mengeksplorasi atau menggali lebih dalam bagaimana dinamika yang sesungguhnya terjadi di dalam Middle Indonesia: terbentuknya jaringan kelas menengah dan bagaimana proses kemunculan kekuatan oligarkis di wilayah ter-sebut, faktor apa saja yang membuat mereka bisa terkonsolidasi, bagaimana mereka meng-ekspresikan identitas diri dan bagaimana kita merefleksikan dinamika ini dalam hubungannya dengan sejarah Indonesia pasca-Reformasi. Ditinjau dari ilmu sejarah, pendekatan dan cara pandang sebagaimana dikemukakan penulis buku ini boleh dikatakan merupakan sesuatu yang baru dalam historiografi Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Sebagaimana pada table A.1 Data Sasaran Pendidikan di atas, jumlah penduduk berdasarkan kelompok usia sasaran PNF di Provinsi BALI sebanyak 2.377.997 orang yang

Anjayengsentanu raja negeri Manila , Raja Kiana Surya Dadwa raja negeri Prajatisna dan Putri Kanaka Wulan (adik Raja Kiana Surya Dadwa). Mereka menuju ke Jawa

(1996) menyatakan, kelarutan merupakan indikasi perubahan struktur protein dan penggunaan istilah "kelarutan" digunakan dalam literatur protein pangan sebagai kriteria

Maka dari itu, penulis tertarik dan bertujuan untuk mengetahui unsur-unsur gotik apa saja yang terdapat dalam novel ini dan bagaimana karakter utama mempunyai peranan dalam

Klik tombol “Cetak Excel” untuk menampilkan laporan Rekapitulasi Kegiatan, Selanjutnya akan tampil pilihan untuk : membuka file atau menyimpan file seperti terlihat

Kekayaan hayati laut Nusa Penida diatas membawa banyak manfaat bagi masyarakat ter- utama dari sektor pariwisata bahari, perikanan dan perlindungan pantai. Terumbu karang

Kurva pengaruh lama pemanasan terhadap konsentrasi gula pereduksi yang dihasilkan, dengan konsentrasi invertase 5 mg/l, konsentrasi sukrosa 12.5 g/l, lama reaksi 5 menit

Berbekal dengan peringkat webometrics bulan Januari 2011, paper ini bertujuan membuat model simulasi untuk menentukan lama waktu dan jumlah biaya yang diperlukan oleh Institusi