• Tidak ada hasil yang ditemukan

THE INVOLVEMENT of MULTISTAKEHOLDER IN THE HANDLING OF STREET CHILDREN, BUMMER AND BEGGARS IN BANDAR LAMPUNG KETERLIBATAN MULTISTAKEHOLDER DALAM PENANGANAN ANAK JALANAN, GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI BANDAR LAMPUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "THE INVOLVEMENT of MULTISTAKEHOLDER IN THE HANDLING OF STREET CHILDREN, BUMMER AND BEGGARS IN BANDAR LAMPUNG KETERLIBATAN MULTISTAKEHOLDER DALAM PENANGANAN ANAK JALANAN, GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI BANDAR LAMPUNG"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

THE INVOLVEMENT of MULTISTAKEHOLDER IN THE HANDLING OF STREET CHILDREN, BUMMER AND BEGGARS IN BANDAR LAMPUNG

By: interaction between multi-stakeholders is necessary, in this case the government in collaboration with the private sector, Yayasan Sinar Jati Lampung, and non-governmental organizations, APIK. The purpose of this research was to analyze (1) Knowing and analyzing multi-stakeholder involvement in handling the problem of street children, bummer, and beggars in Bandar Lampung. (2) analyzing the principle of what is used in the treatment of street children, bummer, and beggars. Type of this research is a descriptive study using a qualitative interaction in development stage includes three interaction. Two associative interaction is cooperation between Dinas Sosial and APIK, then Dinas Sosial and Yayasan Sinar Jati Lampung, already well underway. While the third interaction is the interaction dissociative, ie opposition by NGOs pepper to Social Service, giving rise to conflicts led between them. (2) Application of the Principles of Good Governance in Handling Street Children, Bummer and Beggars. Principles of good governance that are used there are three: law enforcement, Responsiveness, and Accountability.

(2)
(3)

ABSTRAK

KETERLIBATAN MULTISTAKEHOLDER DALAM PENANGANAN ANAK JALANAN, GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI BANDAR LAMPUNG

Oleh

LUSY DIAN IRVETA

Keberadaan anak jalanan, gelandangan dan pengemis di Kota Bandar Lampung merupakan fenomena yang memprihatinkan. Permasalahan anak jalanan, gelandangan dan pengemis menjadi permasalahan publik karena menyangkut kenyamanan masyarakat. Permasalahan ini menuntut peran aktif pemerintah. Interaksi antar multistakeholder sangat diperlukan, dalam hal ini pemerintah berkerjasama dengan sektor swasta, yayasan sinar jati lampung, dan lembaga swadaya masyarakat, APIK. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis (1) Mengetahui dan menganalisis keterlibatan multistakeholder dalam penanganan masalah anak jalanan dan gepeng di Bandar Lampung. (2) Menganalisis prinsip apa saja yang digunakan dalam penanganan anak jalanan, gelandangan dan pengemis. Tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Sedangkan teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi, dan dokumentasi.

(4)

berinteraksi. (3) pemerintah seharusnya membuat forum diskusi (4) Perlu dilakukan pelatihan guna peningkatan kualitas SDM.

(5)

Oleh

Lusy Dian Irveta

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA ADMINISTRASI NEGARA

Pada

Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG

(6)

Oleh

Lusy Dian Irveta

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG

(7)
(8)
(9)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Karya tulis saya Skripsi/Tugas Akhir ini, adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademisi (Sarjana/Ahli Madya), baik di Universitas Lampung maupun perguruan tinggi lain.

2. Karya tulis ini murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan tim pembimbing dan penguji.

3. Dalam karya tulis ini terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh dari karya tulis ini, serta sanksi lainya sesuai norma yang berlaku di Universitas Lampung.

Bandar Lampung, 16 Juli 2014 Yang membuat pernyataan,

(10)

Riwayat Hidup

(11)

MOTO

Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan

(Al-Insyiroh:6)

When life gives you a hundred reasons to cry. Remember that

God given you a thousand reasons to smile (Damn Its True)

(12)

P E R S E M B A H A N

Dengan menyebut nama Allah….

Kupersembahkan karya sederhana ini kepada :

Bapak dan Ibu serta Adik-adikku tersayang yang

selalu memberikan yang terbaik untukku

Terima kasih atas segala cinta, pengorbanan,

kesabaran, dan do

’a

dalam menanti keberhasilanku

Keluarga besar yang senantiasa memberikan dorongan

kepadaku

Naunganku HIMAGARA

Teman, Sahabatku, Adik dan Kakak Tingkatku Yang

Selalu Memberi Warna dalam Hidupku

(13)

Alhamdulillahirrabbil’alamin, tercurah segala puji dan syukur kehadirat Allah

S.W.T yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta karunianya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Tak lupa shalawat serta salam penulis ucapkan kepada Nabi Besar Muhamad S.A.W, sang motivator bagi penulis untuk selalu ikhlas dan bertanggung jawab dalam melakukan segala hal. Atas segala kehendak dan kuasa Allah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Keterlibatan Multistakeholder dalam Penanganan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis di Bandar Lampung”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Administrasi Negara (SAN) pada jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini antara lain:

1. Bapak Drs. Hi. Agus Hadiawan, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

(14)

3. Bapak Dr. Dedy Hermawan, S.sos, M.si selaku Ketua Jurusan Administrasi Negara dan sekaligus dosen Pembahas Penulis. Terimakasih untuk segala saran-saran agar skripsi ini dapat terlihat lebih baik.

4. Seluruh dosen Ilmu Administrasi Negara, terimakasih atas segala ilmu yang telah diberikan. Semoga ilmu dan pengalaman yang telah penulis peroleh di kampus dapat menjadi bekal yang berharga dalam kehidupan penulis ke depannya.

5. Ibu Nur sebagai Staf Jurusan Ilmu Administrasi Negara yang selalu memberikan pelayanan bagi penulis yang berkaitan dengan administrasi dalam penyusunan skripsi.

6. Keluargaku tercinta yang tak pernah bosan memberikan doa, dan dukungan kepadaku. Bapak, lelaki yang sangat memperhatikan pendidikan bagi anak-anaknya, semua akan dilakukan agar anak-anaknya dapat berpendidikan tinggi. Ibu, wanita tangguh yang senantiasa berdoa bagi kesuksesan di setiap langkah anak-anaknya dan selalu memberikan dukungan sehingga terselesaikannya skripsi ini. Nanda dan Empi, kedua adikku tersayang yang selalu menjadi penghibur penulis.

(15)

Yayasan Sinar Jati Lampung yang tidak bosan-bosan memberikan data dan semangat kepada penulis.

8. Setiaji Bintang P., yang telah menemani penulis mondar-mandir selama proses pelaksanaan skripsi mulai dari pra riset hingga seminar 2 penulis dilaksanakan.

9. Terima kasih kepada teman-teman semasa SMA, Nevia yang udah mau ngenterin riset, Isti dan Tria makasih ya semangatnya, Nurul Nanda dan Ica.

10.Untuk seluruh keluarga besar Ane ’10, Bunga, Gusti, Helsi “eci”, Lica yang selalu menjadi teman kelompok tugas hingga teman melewati masa kuliah bersama dari awal perkuliahan. Astria yang ramah, baik hati dan yang selalu sabar, Pandu si pemberi informasi, Desmon, Cahya, Enggi, Riska, Sari S. teman diskusi yang baik, Triadi, Ade, Indah, Cita, Jodi, dan teman-teman lainnya.

Akhir kata penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan akan tetapi sedikit harapan semoga karya sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, 16 Juli 2014 Penulis

(16)

DAFTAR ISI

A. Tinjauan Tentang Interaksi ... 13

B. Tinjauan Tentang Good Governance ... 18

1. Pengertian Good Governance ... 18

2. Aktor-Aktor Good Governance ... 21

3. Prinsip-Prinsip Good Governance ... 23

4. Kendala Mewujudkan Good Governance ... 26

C. Tinjauan Tentang Stakeholder ... 28

1. Pemerintah ... 29

a. Fungsi Pemerintah ... 29

b. Peran Pemerintah dalam Good Governance ... 32

2. Masyarakat Madani (Civil Society) ... 33

a. Pengertian Masyarakat Madani (Civil Society) ... 33

b. Karakteristik Masyarakat Madani (Civil Society) ... 34

c. Peran Civil Society dalam Good Governance ... 32

3. Peran Swasta dalam Good Governance ... 36

D. Tinjauan Tentang Anak Jalanan ... 38

1. Pengertian Anak Jalanan ... 38

2. Karakteristik Anak Jalanan ... 40

3. Faktor Penyebab Munculnya Anak Jalanan ... 42

E. Tinjauan Tentang Gelandangan dan Pengemis ... 44

1. Pengertian Gelandangan dan Pengemis ... 44

2. Pengelompokan Pengemis ... 45

(17)

B. Fokus Penelitian ... 48

A. Gambaran Umum Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis di Bandar Lampung ... 58

B. Gambaran Umum Dinas Sosial Kota Bandar Lampung ... 62

C. Gambaran Umum Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Bandar Lampung ... 67

D. Gambaran Umum LSM APIK ... 70

E. Gambaran Umum Yayasan Sinar Jati Lampung ... 71

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 74

A. Hasil Penelitian ... 74

1. Interaksi Antar Stakeholders Dalam Penanganan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis ... 75

a. Interaksi Pada Tahap Penertiban ... 75

b. Interaksi Pada Tahap Pembinaan ... 77

c. Kendala-kendala dalam Interaksi Antar stakeholder ... 82

2. Penerapan Prinsip Good Governance yang digunakan dalam Penanganan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis ... 86

B. Pembahasan ... 93

1. Interaksi Antar Stakeholders Dalam Penanganan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis ... 93

a. Interaksi Pada Tahap Penertiban ... 96

b. Interaksi Pada Tahap Pembinaan ... 98

c. Kendala-kendala dalam Interaksi Antar stakeholder ... 103

2. Penerapan Prinsip Good Governance yang digunakan dalam Penanganan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis ... 105

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 110

A. Kesimpulan ... 110

B. Saran ... 112

(18)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1 Data Anak Jalanan Serta Gelandangan dan Pengemis di

Bandar Lampung Tahun 2012 ... 4 Tabel 1.2 Data Anak Jalanan Serta Gelandangan dan Pengemis di

Bandar Lampung Tahun 2013 ... 6 Tabel 3. Data Informan ... 52 Tabel 4. Dokumen-Dokumen ... 53 Tabel 5. Jumlah Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota, di Provinsi Lampung Tahun 2005-2010 ... 59 Tabel 6. WILAYAH BINAAN DAN PROGRAM KERJA APIK LAMPUNG ... 71

(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Keberadaan Anak Jalanan dan Pengemis di Pusat Kota Bandar

Lampung ... 61

Gambar 2. Berita Acara Serah Terima Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis ... 76

Gambar 3. Dokumentasi Hasil Monitoring yang Dilakukan oleh Dinas Sosial ... 79

Gambar 4. Penertiban Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis yang Dilakukan Oleh Satpol PP Kota Bandar Lampung ... 87

Gambar 5. Program Kegiatan PKSA ... 89

Gambar 6. Program Exceed ... 90

(20)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari kesejahteraan masyarakatnya, bangsa atau negara dapat dikatakan maju dan berhasil apabila kesejahteraan masyarakatnya telah terpenuhi. Salah satu penghambat dari kesejahteraan masyarakat itu sendiri adalah kemiskinan. Masalah kemiskinan dalam Nugroho (2000:77) tidak sedikit melanda pada negara berkembang, walaupun masih ada juga beberapa negara maju yang penduduknya masih mengalami kemiskinan. Dampak dari kemiskinan itu sendiri menyebabkan munculnya beberapa masalah sosial.

(21)

rendah, minimnya keterampilan kerja yang dimiliki, lingkungan, sosial budaya, dan lain sebagainya.

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk terbesar di dunia, dan identik dengan kemiskinan. Hal ini terjadi akibat dari ketidakseimbangan pertumbuhan penduduk dengan pembangunan. Pertumbuhan penduduk selalu diiringi dengan bertambahnya kebutuhan. Pertumbuhan penduduk merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya pertambahan kebutuhan yang beragam, dimana seseorang tidak hanya cukup memiliki satu kebutuhan saja, akan tetapi memiliki kebutuhan yang beraneka ragam. Kebutuhan-kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan pangan, sandang, papan, lapangan pekerjaan, dan pendidikan.

Faktanya tidak semua masyarakat dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Hal ini terlihat dari masih banyaknya warga masyarakat yang dari sisi ekonomi tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jumlah penduduk miskin di Bandar Lampung sampai akhir 2011 mencapai angka 215.000 jiwa (Sumber: http://lampung.bps.go.id, diakses pada tanggal 25 Oktober 2013). Hal ini menunjukkan bahwa kesejahteraan untuk seluruh masyarakat itu sendiri belum sepenuhnya tercapai. Rendahnya tingkat kesejahteraan tersebut dapat dilihat dari belum meratanya pembangunan di setiap daerah, terutama daerah-daerah pelosok atau pinggiran, yang sering luput dari perhatian pemerintah.

(22)

kota saja, yakni Bandar Lampung. Pembangunan di Bandar Lampung memang mengalami kemajuan yang begitu pesat, terlihat dari berbagai pembangunan yang dilakukan terutama dalam hal infrastruktur, seperti pembangunan jalan raya, pembangunan gedung-gedung bertingkat yang semakin meningkat contoh mall dan sebagainya. Akibatnya tidak sedikit masyarakat yang ada di desa atau pinggiran Provinsi Lampung memutuskan untuk datang ke Bandar Lampung. Mereka ingin mencoba peruntungan di kota dan berharap bisa merubah nasib dan perekonomian mereka menjadi lebih baik. Namun hal tersebut tidak didukung oleh tingkat pendidikan yang cukup, keahlian dan pengetahuan yang terspesialisasi.

Pada akhirnya mereka yang terlanjur datang ke kota dan tidak memiliki bekal yang cukup untuk mendapat pekerjaan yang layak, bekerja serabutan dan tidak tetap. Walaupun begitu mereka tetap bertahan tinggal di kota, karena mereka berpikir lebih mudah mendapatkan uang di kota daripada di desa. Pola pikir seperti inilah yang menyebabkan kebanyakan masyarakat desa memberanikan diri datang ke kota walaupun tidak memiliki bekal keahlian. Jika hal ini dibiarkan terus-menerus maka yang terjadi adalah perluasan masalah sosial di Bandar Lampung, contohnya yang banyak terjadi di wilayah perkotaan lain yaitu semakin maraknya pengemis dan gelandangan di Bandar Lampung.

(23)

kota Bandar Lampung yang datang dan kemudian menjadi masalah sosial yang mengganggu keamanan dan ketertiban kota, dengan cara mengemis dan berkeliaran di tempat umum. Tempat umum yang dimaksud seperti lampu merah, pasar tradisional, terminal dan tempat-tempat umum lainnya sehingga mengganggu kenyamanan masyarakat.

Tabel 1 : Data anak jalanan (anjal) dan gelandangan dan pengemis (gepeng) yang ada di Bandar Lampung tahun 2012

No. Kategori Laki-Laki Perempuan Jumlah

1. Anak Jalanan 52 7 59

2. Gepeng 9 - 9

(Sumber: Data diolah peneliti berdasarkan data dari Dinas Sosial Kota Bandar Lampung tahun 2013)

Berdasarkan data tersebut maka peneliti menyimpulkan bahwa masih banyaknya masalah di jalanan yang di dominasi oleh anak-anak. Data pada pra riset yang telah peneliti lakukan pada saat mengikuti kegiatan penertiban atau razia Tim Satpol PP Kota Bandar Lampung pada tanggal 25 September 2013, peneliti melihat diantara anak punk yang tertangkap tersebut ada beberapa diantaranya yang masih dibawah umur. Anak-anak ini rata-rata masih berusia dibawah 17 tahun, dan kebanyakan dari mereka yang putus sekolah pada saat duduk di bangku sekolah dasar (SD). Ada juga anak-anak yang secara sengaja di eksploitasi oleh orang tuanya untuk mengemis di jalanan.

(24)

menggelandang. Anak-anak ini kebanyakan masih berusia dibawah 18 tahun. Pada dasarnya anak-anak adalah generasi penerus bangsa, maka dari itu pertumbuhan dan perkembangan anak-anak perlu mendapat perhatian yang lebih, terutama dalam hal pendidikan. Tidak jarang dari mereka yang masih balita, usia mereka yang masih sangat kecil sangat besar peluang mereka untuk terkena penyakit seperti masuk angin, gangguan pernapasan dan berbagai penyakit lainnya, hal ini dikarenakan kekebalan tubuh mereka masih sangat lemah. Sebagaimana telah tertuang pada Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.

(25)

Tabel 2 : Data anjal dan gepeng Tahun 2013

No. Kategori Laki-Laki Perempuan Jumlah

1. Anak Jalanan 30 - 30

Berdasarkan data diatas, anak-anak yang tertangkap dalam razia yang dilakukan oleh Tim Satpol PP sepanjang tahun 2013 terhitung sampai September 2013, data yang diperoleh menunjukkan tingginya anak jalanan yang ada di jalanan berperan sebagai anak punk. Banyak faktor yang mempengaruhi mereka untuk memutuskan hidup di tengah jalan mulai dari kemiskinan, sampai permasalahan internal dalam keluarga. Permasalahan dalam keluarga itu biasanya dikarenakan orang tua yang telah berpisah, secara psikologis hal ini sangat mempengaruhi jiwa sang anak.

(26)

satunya dibawah ramayana tersebut, kemudian dijemput kembali pada malam harinya.

Yang dimaksud berkelompok dalam hal ini adalah mereka yang secara sengaja membuat anggota dimana anggota itu terdiri dari teman atau keluarga mereka sendiri. Terutama apabila salah satu mereka ada yang memiliki keterbatasan fisik atau cacat, misalnya seperti buta. Selain itu ada pula yang turut melibatkan balita, hal ini dimaksudkan untuk semakin menarik simpati dari orang lain.

Tidak sedikit dari pengemis-pengemis ini juga yang hidup menggelandang di sembarang tempat, seperti banyak ditemui jika di malam hari di depan kawasan pertokoan/ruko, pinggir jalan, dan tempat umum lainnya mereka gunakan untuk tidur. Kehidupan seperti ini terpaksa mereka lakukan karena mereka tidak memiliki tempat tinggal tetap. Istilah gelandangan menurut Sudarsono (1991:59) berarti selalu berkeliaran atau tidak pernah mempunyai tempat kediaman tetap. Hasil wawancara peneliti terhadap salah satu anggota tim penertiban satpol PP, pada tanggal 25 September 2013, tidak semua pengemis itu adalah gelandangan, karena banyak juga pengemis yang sudah memiliki tempat tinggal tetapi melakukan pekerjaan sebagai pengemis, dikarenakan mereka malas bekerja, ditambah lagi dengan penghasilan yang diperoleh dari mengemis itu sendiri yang cukup besar yaitu kisaran antara Rp 300.000 sampai Rp 500.000 per hari.

(27)

mereka beroperasi di tengah keramaian masyarakat seperti lampu merah, pasar tradisional, terminal, dan tempat umum lainnya. Gambaran kejadian tersebut sering peneliti perhatikan sehari-hari banyak di protokol Jl Pramuka, lampu merah Way Halim, Jl. Diponegoro, kawasan Pasar Tengah, jembatan penyebrangan di daerah ramayana dan pasar bambu kuning dan lain sebagainya. Selain mengganggu kelancaran dan kenyamanan bagi pengendara, keberadaan mereka di pinggir jalan sangat membahayakan keselamatan mereka sendiri.

Maka dari itu sudah seharusnya pemerintah dapat lebih tanggap dalam mengatasi permasalahan anak jalanan, gelandangan dan pengemis, sehingga permasalahan ini dapat segera diselesaikan. Sebelum Pemerintah mengeluarkan Perda No. 3 Tahun 2010 tentang pembinaan anak jalanan, gelandangan dan pengemis, tentu saja Dinas Sosial sebagai lembaga pemerintahan sesuai dalam tugas pokoknya yaitu memberikan pelayanan sosial dan rehabilitasi. Selain itu ada juga beberapa lembaga non-pemerintah yang berperan dalam penanganan anak jalanan, gelandangan dan pengemis, seperti LAdA, APIK, sedangkan dari sektor swasta yaitu Yayasan Sinar Jati Lampung. Ketiganya memiliki peran tersendiri.

Secara keseluruhan LSM LAdA sebagai lembaga monitoring yang melakukan kontrol terhadap berjalannya Perda tersebut, dalam pelaksanaannya banyak sekali

memberikan masukan kepada Pemerintah, baik sebelum Perda tersebut

diberlakukan ataupun setelah disahkannya kebijakan tersebut. LSM APIK selaku

lembaga yang melakukan pendampingan terhadap anak jalanan, gelandangan dan

(28)

rehabilitasi. Sebelum Perda itu diputuskan mereka hanya menjalankan perannya

masing-masing.

Dalam Perda No. 3 Tahun 2010 dijelaskan pada pasal 6 (3) bahwa Pelaksanaan usaha pembinaan dilakukan oleh Dinas sosial dan/atau bekerjasama dengan instansi terkait serta unsur masyarakat, organisasi sosial dan organisasi kemasyarakatan. Oleh karenanya dalam pemenuhan hak-hak anak jalanan dan gepeng pun diperlukan adanya peran dari semua stakeholder baik lembaga

pemerintahan maupun non-pemerintahan untuk menjalankan fungsi pemerintahan secara bersama dan saling berinteraksi. Sebagaimana tercantum dalam naskah Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015 bahwa sebagai upaya pemenuhan hak-hak anak diperlukan adanya upaya mendorong semua tindakan yang menyangkut kepentingan anak, baik yang dilakukan oleh lembaga pemerintah, lembaga peradilan, lembaga legislatif maupun masyarakat akan memberikan prioritas tinggi kepada pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak, demi kepentingan terbaik anak Indonesia. Masing-masing pihak saling bekerja sama sehingga tercapai sinergi antar pihak dalam pelaksanaan program pembangunan yang berkaitan dengan penanganan masalah-masalah anak (sumber: http://www.bappenas.go.id, pada tanggal 20 Desember 2013).

(29)

menegakkan peraturan daerah, menyelenggarakan ketertiban umum, ketenteraman masyarakat dan perlindungan masyarakat. Salah satu tugas Satpol PP menyelenggarakan ketertiban umum dari segala macam gangguan, termasuk anak jalanan serta gelandangan dan pengemis yang ada di tempat-tempat umum. Peran Satpol PP dalam hal ini sangat penting dalam pelaksanaan penertiban anak jalanan serta gelandangan dan pengemis, penertiban dilakukan oleh Satpol PP setiap sore berdasarkan pernyataan bapak Asrin selaku Komandan Propos Satpol PP pada tanggal 3 September 2013. Setelah ditangkap anak-anak ini didata dan kemudian diserahkan kepada Dinas Sosial.

Peraturan Walikota Bandar Lampung Nomor 15 Tahun 2008 tentang Tugas, Fungsi dan Tata Kerja Dinas Sosial Kota Bandar Lampung pasal 3 dijelaskan bahwa tugas pokok dinas sosial yaitu melaksanakan urusan pemerintah daerah dibidang kesejahteraan sosial berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Anak jalanan serta gelandangan dan pengemis merupakan salah satu masalah kesejahteraan sosial, dalam hal ini dinas sosial memiliki peran sebagai tempat menampung anak-anak jalanan dan gepeng yang telah ditangkap oleh Satpol PP. Yayasan sinar jati itu sendiri dalam hal ini berperan sebagai lembaga swasta yang menampung anak-anak serta gepeng dari Dinas Sosial yang sudah sepatutnya harus dibina.

(30)

tercipta pemerintahan yang baik dan tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai. Sebagaimana dikatakan oleh Sedarmayanti ((2012:47) bahwa good governance yang efektif menuntut adanya kerja sama yang baik dan integritas, profesionalisme serta etos kerja dan moral yang tinggi. Kerja sama ini tentunya dibutuhkan komitmen semua pihak terkait, yaitu pemerintah, swasta, dan masyarakat.

Permasalahan anak jalanan, gelandangan dan pengemis merupakan suatu permasalahan yang kompleks. Maka dari itu permasalahan ini perlu melibatkan banyak pemangku kepentingan (multistakeholders). Meskipun telah ada peraturan daerah mengenai larangan mengemis, namun pada kenyataannya masih banyak anak jalanan dan gepeng di tempat-tempat umum di kota Bandar Lampung. Banyaknya pemangku kepentingan sehingga diperlukan kerja sama antar masing-masing pihak agar tercapai tujuan yang ingin dicapai. Maka dari itu peneliti dalam penelitian ini tertarik untuk mengkhususkan mengkaji tentang keterlibatan multistakeholders dalam penanganan anak jalanan, gelandangan dan pengemis di Bandar Lampung.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

(31)

2. Prinsip apa saja yang digunakan dalam penanganan anak jalanan, gelandangan dan pengemis?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui dan menganalisis keterlibatan multistakeholder dalam penanganan masalah anak jalanan dan gepeng di Bandar Lampung.

2. Menganalisis prinsip apa saja yang digunakan dalam penanganan anak jalanan, gelandangan dan pengemis.

D. Kegunaan Penelitian

1. Secara teoritis atau akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan bermanfaat bagi perkembangan ilmu Administrasi Negara, khususnya mengenai tata pemerintahan yang baik (good governance) yang dilakukan oleh beberapa stakeholder dalam penanganan anak jalanan, gelandangan dan pengemis.

(32)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan TentangInteraksi

1. Pengertian Interaksi

Interaksi sosial merupakan bentuk umum proses sosial, karena interaksi sosial adalah syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial menurut Gillin dan Gillin (dalam Soekanto, 2007:55) merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang-perorangan, antara kelompok-kelompok manusia maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia.

Interaksi sosial juga merupakan kunci dari semua kehidupan sosial karena tanpa interaksi sosial, tak akan mumgkin ada kehidupan bersama Young dan W. Mack (dalam Soekanto 2007:54).

Berlangsungnya suatu proses interaksi didasarkan pada berbagai faktor, antara lain, faktor imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati.

2. Syarat-syarat Terjadinya Interaksi

(33)

a. Adanya kontak sosial, dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu antar individu, antar individu dengan kelompok, antar kelompok. Kontak sosial dapat bersifat positif mengarah pada suatu kerjasama, sedangkan yang bersifat negatif mengarah pada suatu pertentangan atau bahkan sama sekali tidak menghasilkan suatu interaksi sosial.

b. Adanya komunikasi

Arti terpenting komunikasi menurut Soekanto (2007:60) adalah bahwa seseorang memberikan tafsiran pada perilaku orang lain (yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak badaniah atau sikap), perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. Orang yang bersangkutan kemudian memberikan reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang lain tersebut. Dengan adanya komunikasi tersebut, sikap-sikap dan perasaan-perasaan suatu kelompok dapat diketahui oleh kelompok lainnya. Hal itu dapat menentukan reaksi apa yang akan dilakukannya.

(34)

3. Bentuk-bentuk Interaksi Sosial

Gillin dan Gillin (dalam Soekanto, 2007:65) bentuk interaksi sosial ada dua yaitu:

1. Proses yang Asosiatif a. Kerja Sama b. Akomodasi c. Asimilasi

2. Proses yang Disosiatif a. Persaingan b. Kontravensi c. Pertentangan

Interaksi antar stakehoder dalam penanganan anak jalanan, gelandangan dan pengemis dapat digolongkan termasuk dalam bentuk interaksi asosiatif, yaitu kerjasama. Charles H. Cooley (dalam Soekanto, 2007:66) kerjasama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut; kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta yang penting dalam kerja sama yang berguna.

(35)

1. Kerukunan yang mencakup gotong-royong dan tolong-menolong

2. Bargaining, yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang-barang dan jasa-jasa antara dua organisasi atau lebih

3. Kooptasi, yakni suatu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilitas organisasi yang bersangkutan.

4. Koalisi, yakni kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan-tujuan yang sama.

5. Joint Ventrue, yaitu kerja sama dalam pengusahaan proyek-proyek tertentu.

Soekanto (2007:67), teori-teori sosiologi akan dapat dijumpai beberapa bentuk kerja sama yang biasa diberi nama kerja sama (cooperation). Kerja sama tersebut lebih lanjut dibedakan lagi dengan kerja sama spontan, kerja sama langsung, kerja sama kontrak, dan kerja sama tradisional. Kerja sama spontan adalah kerja sama yang serta-merta. Kerja sama langsung merupakan hasil dari perintah atasan atau penguasa, sedangkan kerja sama kontrak merupakan kerja sama atas dasar tertentu, dan kerja sama tradisional merupakan bentuk kerja sama sebagai bagian atau unsur dari sistem sosial. Jadi dapat disimpulkan bahwa kerja sama yang dilakukan oleh masing-masing stakeholder yang berinteraksi adalah kerjasama langsung, karena kerja sama tersebut muncul berdasarkan sesuai dengan Perda yang telah dibuat oleh Pemerintah.

(36)

dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan/atau kekerasan. Pertentangan ini didasari oleh perbedaan pendapat mengenai prinsip-prinsip dasar yang dituangkan dalam Perda No. 3 Tahun 2010.

Sebab-sebab dari pertentangan menurut Soekanto (2007:91) antara lain sebagai berikut:

a) Perbedaan antara individu-individu

Perbedaan pendirian dan perasaan mungkin akan melahirkan bentrokan antara mereka.

b) Perbedaan kebudayaan

Perbedaan kepribadian dari orang perorangan tergantung pula dari pola-pola kebudayaan yang menjadi latar belakang pembentukan serta perkembangan kepribadian tersebut.

c) Perbedaan kepentingan

Wujud kepentingan dapat bermacam-macam, ada kepentingan ekonomi, politik, dan lain sebagainya.

d) Perubahan sosial

Perubahan sosial yang berlangsung dengan cepat untuk sementara waktu akan mengubah nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. dan ini menyebabkan terjadinya golongan-golongan yang berbeda pendiriannya.

(37)

dapat menimbulkan dampak yang sebaliknya yaitu munculnya konflik antara dua individu atau kelompok.

B. Tinjauan Tentang Good Governance

1. Pengertian Good Governance

Good Governance menurut Tjokroamidjojo (2001:60) adalah suatu bentuk manajemen pembangunan, yang disebut administrasi pembangunan. Administrasi Pembangunan atau Manajemen Pembangunan menempatkan peran sentral. Pemerintah menjadi agent of Change dari suatu masyarakat (berkembang) dalam negara berkembang. Agent of change (agen perubahan), dan karena perubahan yang dikehendaki, planned changed, maka juga disebut agent of development.

Governance bisa juga diartikan sebagai “suatu kegiatan (proses), sebagaimana dikemukakan oleh beberapa pendapat ahli:

Kooiman (dalam Mustafa, 2013:185) menyatakan bahwa

“Governance berarti serangkaian proses interaksi sosial politik antara pemerintahan dengan masyarakat dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan intervensi pemerintah atas kepentingan-kepentingan tersebut.”

Selanjutnya Rewansyah (dalam Mustafa, 2013:186), mengatakan:

(38)

Sedangkan Mustafa (2013:186) sendiri mengatakan:

Governance tidak hanya berarti kepemerintahan sebagai suatu kegiatan, tetapi juga mengandung arti pengurusan, pengelolaan, pengarahan, pembinaan penyelenggaraan dan bisa juga dartikan pemerintahan. Governance sebagai terjemahan dari pemerintahan kemudian berkembang dan menjadi popular dengan sebutan kepemerintahan, sedangkan praktik terbaiknya disebut kepemerintahan yang baik (good governance).”

Tata kepemerintahan yang baik menurut UNDP (dalam Thoha, 2005:63) itu merupakan suatu kondisi yang menjamin adanya proses kesejajaran, kesamaan, kohesi, dan keseimbangan peran serta adanya saling mengontrol yang dilakukan oleh tiga komponen, yakni pemerintah, rakyat, dan swasta. Secara sederhana, good governance pada umumnya diartikan sebagai pengelolaan pemerintahan

yang baik. Yang dimaksud kata “baik” disini adalah mengikuti kaidah-kaidah

tertentu sesuai dengan prinsip-prinsip dasar good governance. World Bank (dalam Mustafa, 2013:187) mendefinisikan good governance sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab serta sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal dan political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.

(39)

tetapi juga citizen, masyarakat dan terutama sektor usaha yang berperan dalam governance. Ini juga karena perubahan paradigma pembangunan dengan peninjauan ulang peran pemerintah dalam pembangunan, yang semula bertindak sebagai regulator dan pelaku pasar, menjadi bagaimana menciptakan iklim yang kondusif dan melakukan investasi prasarana yang mendukung dunia usaha. Justru usaha pembangunan dilakukan melalui koordinasi atau sinergi (keselarasan kerja) antara pemerintah, masyarakat, dan swasta.

Keterkaitan unsur kepemerintahan yang baik dengan penyelenggaraan negara, governance digambarkan dengan tiga kaki berdasarkan UNDP (dalam Sedarmayanti, 2009:279), yaitu:

1. Economic governance, meliputi proses pembuatan keputusan (decision making processes) yang memfasilitasi terhadap equity, poverty dan quality of life;

2. Political governance adalah proses keputusan untuk formulasi kebijakan; 3. Administrative governance adalah sistem implementasi kebijakan, meliputi

tiga domain: negara atau pemerintahan, sektor swasta, dan masyarakat, yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing.

(40)

2. Aktor-aktor Good Governance

Aktor-aktor good governance disebutkan oleh Idup Suhadi dan Desi Fernanda (dalam Yulyanti, 2010:21) antara lain:

a. Negara atau pemerintah: konsepsi pemerintahan pada dasarnya adalah kegiatan-kegiatan kenegaraan, tetapi lebih jauh dari itu melibatkan pula sektor swasta dan kelembagaan masyarakat madani. Pengertian negara atau pemerintahan dalam hal ini secara umum mencakup keseluruhan lembaga politik, dan sektor publik. Peranan dan tanggungjawab negara atau pemerintah meliputi penyelenggaraan kekuasaan untuk memerintah, dan membangun lingkungan yang kondusif bagi tercapainya tujuan pembangunan baik pada level lokal, nasional, maupun internasional dan global. Peran pemerintah melalui kebijakan publiknya juga sangat penting dalam memfasilitasi terjadinya mekanisme pasar yang benar sehingga penyimpangan yang terjadi di dalam pasar dapat dihindari.

b. Sektor swasta: pelaku sektor swasta mencakup perusahaan swasta yang aktif dalam interaksi dalam sistem pasar, seperti industri pengolahan perdagangan, perbankan, koperasi termasuk kegiatan sektor informal. Peran swasta sangat penting dalam pola kemitraan dan pembangunan, karena perannya sebagai sumber peluang untuk meningkatkan produktifitas, penyerapan tenaga kerja, sumber penerimaan, investasi publik, mengembangkan usaha dan pertumbuhan ekonomi.

(41)

perseorangan, yang mencakup baik perseorangan maupun kelompok masyarakat yang berinteraksi secara sosial, politik, dan ekonomi. Kelembagaan sipil tersebut pada umumnya dapat dirasakan oleh masyarakat, melalui kegiatan fasilitasi partisipasi masyarakat melalui mobilisasi.

Prinsip-prinsip good governance tidak akan bermakna ketika tidak ditopang oleh aktor-aktor yang menjadi pendukungnya, yaitu negara atau pemerintah, masyarakat, dan swasta. Oleh karena itu institusi dari governance meliputi tiga domain, yaitu state (negara atau pemerintah), private sector (sektor swasta atau dunia usaha), dan society (masyarakat), yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing. Berikut ini gambar hubungan antar sektor:

Gambar 1. Hubungan antar sektor

Sumber: LAN (dalam Mustafa, 2013:188)

Mustafa (2013:188) menjelaskan governance meliputi tiga domain, yaitu negara atau pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing. State atau negara berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, di dalamnya meliputi

lembaga-PEMERINTAH atau NEGARA

SEKTOR SWASTA

(42)

lembaga politik dan lembaga-lembaga sektor publik. Private sector atau sektor swasta menciptakan pekerjaan dan pendapatan, sektor swasta ini meliputi perusahaan swasta yang bergerak di berbagai sektor informal lain di pasar. Sedangkan society atau masyarakat berperan positif dalam interaksi sosial, ekonomi dan politik, termasuk mengajak kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial dan politik. Society meliputi lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi dan lain-lain.

3. Prinsip-prinsip Good Governance

Dari berbagai hasil kajian, Lembaga Administrasi Negara (LAN) telah menyimpulkan sembilan aspek fundamental dalam perwujudan Good Governance, yaitu:

a. Partisipasi (Participation)

Semua warga masyarakat menurut Azra (2003:183) berhak terlibat dalam pengambilan keputusan, baik langsung maupun melalui lembaga perwakilan yang sah untuk mewakili kepentingan mereka. Syarat utama warga negara disebut berpartisipasi dalam kegiatan berbangsa, bernegara dan berpemerintahan disebutkan oleh Haris (2007:57) yaitu sebagai berikut:

1) Ada rasa kesukarelaan (tanpa paksaan) 2) Ada keterlibatan secara emosional

(43)

Selain itu juga Mustafa (2013:198) bahwa partisipasi juga melibatkan masyaraat dalam implementasi berbagai kebijakan dan rencana pemerintah, termasuk dalam pengawasan dan evaluasinya. Keterlibatan dimaksud bukan dalam prinsip terwakilinya aspirasi masyarakat melalui wakilnya di DPR melainkan keterlibatan mereka secara langsung.

b. Penegakan Hukum (Rule of Law)

Partisipasi masyarakat dalam proses politik dan perumusan-perumusan kebijakan publik memerlukan sistem dan aturan-aturan hukum. Tanpa diimbangi oleh sebuah hukum dan penegakannya yang kuat, partisipasi akan berubah menjadi proses politik yang anarkis.

c. Transparansi (Transparency)

Prinsip ini diungkapkan Haris (2007:58) sesuai dengan semangat jaman yang serba terbuka akibat adanya revolusi informasi. Keterbukaan tersebut mencakup semua aspek aktivitas yang menyangkut kepentingan publik mulai dari proses pengambilan keputusan, penggunaan dana-dana publik, sampai pada tahapan evaluasi.

d. Responsif (Responsiveness)

(44)

dan menganalisis kebutuhan-kebutuhan mereka, untuk kemudian melahirkan berbagai kebijakan strategis guna memenuhi kepentingan umum tersebut.

e. Konsensus (Consensus Orientation)

Asas fundamental lain yang juga harus menjadi perhatian dalam Azra (2003:185) pemerintah dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahannya menuju cita good governance adalah pengambilan keputusan secara konsensus, yakni pengambilan putusan melalui proses musyawarah dan semaksimal mungkin berdasar kesepakatan bersama. Menurut Mustafa (2013:191) maksud konsensus disini yaitu pemerintahan yang baik akan bertindak sebagai penengah bagi berbagai kepentingan masing-masing pihak, jika dimungkinkan juga dapat diberlakukan terhadap berbagai kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan pemerintah.

f. Kesetaraan dan Keadilan (Equity)

Terkait dengan asas konsensus, transparansi dan responsif, good governance juga harus didukung dengan asas equity, yakni kesamaan dalam perlakuan (treatment) dan pelayanan.

g. Efektivitas (Effectiveness) dan Efisiensi (Efficiency)

(45)

hasil guna dari sebuah proses pekerjaan yang terserap penuh oleh masyarakat, dan tidak ada hasil pembangunan yang useless atau tidak terpakai. Agar pemerintahan itu efektif dan efisien, maka para pejabat perancang dan pelaksana tugas-tugas pemerintahan harus mampu menyusun perencanaan-perencanaan yang sesuai dengan kebutuhan nyata dari masyarakat, secara rasional dan terukur.

h. Akuntabilitas (Accountability)

Asas akuntabilitas berarti pertanggungjawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberinya delegasi dan kewenangan untuk mengurusi berbagai urusan dan kepentingan mereka.

i. Visi Strategis (Strategic Vision)

Visi strategis adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi massa yang akan datang. Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya, dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.

4. Kendala mewujudkan Good Governance

(46)

wewenang, banyaknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), dan masih lemahnya pengawasan terhadap kinerja aparatur negara merupakan cerminan kondisi kinerja birokrasi yang masih jauh dari harapan. Banyaknya permasalahan birokrasi tersebut belum sepenuhnya teratasi, baik dari sisi internal maupun eksternal.

Dari sisi internal, faktor demokrasi dan desentralisasi telah membawa dampak pada proses pengambilan keputusan kebijakan publik. Dampak tersebut terkait dengan makin meningkatnya tuntutan akan partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik, meningkatnya tuntutan penerapan priinsip tata kepemerintahan yang baik antara lain transparasi, akuntabilitas, dan kualitas kinerja publik serta taat hukum. Secara khusus dari sisi internal birokrasi, berbagai permasalahan masih banyak yang dihadapi, antara lain pelanggaran disiplin, penyalahgunaan kewenangan, dan banyaknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sedangkan dari sisi eksternal, faktor globalisasi dan revolusi teknologi informasi (e-goverment) merupakan tantangan tersendiri dalam upaya menciptakan pemerintahan yang bersih, baik, dan berwibawa. Hal tersebut terkait dengan makin meningkatnya ketidakpastian akibat perubahan faktor lingkungan politik, ekonomi, dan sosial yang terjadi dengan cepat.

Menurut Miyasto (dalam Sedarmayanti, 2009:312) ada beberapa kendala bagi terselenggaranya Good Governance:

(47)

b. Tidak berfungsinya fungsi kontrol.

c. Penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang tidak transparan di samping menyebabkan tidak berjalannya mekanisme check and balance, juga turunnya kredibilitas pemerintah.

C. Tinjauan Tentang Stakeholder

Stakeholder merupakan sebuah frasa yang terbentuk dari dua buah kata, yaitu

stake dan holder. Secara umum, kata stake dapat diterjemahkan sebagai

kepentingan, sedangkan kata holder dapat diartikan dengan Pemegang. Guth &

Masrsh dalam Estaswara (2010:2) menjelaskan bahwa stakeholder adalah

pemegang kepentingan, dalam bahasa Indonesia sering kali diterjemahkan

dengan “pemangku kepentingan.” Berdasarkan penjabaran di atas, secara garis

besar, Estawara (2010:2) mendefinisikan konsep stakeholder sebagai individu

atau organisasi baik profit maupun non profit yang memiliki kepentingan dengan

perusahaan sehingga dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian

tujuan perusahaan.

(48)

kepentingan dalam proyek dan/atau kemampuan untuk mempengaruhi hasil, baik positif atau negatif.

Wijayanto (2012:41) menjelaskan bahwa stakeholder adalah sekelompok orang atau individu yang berpengaruh, baik secara langsung maupun tidak langsung, kepada pencapaian tujuan organisasi. Selanjutnya stakeholder juga dibedakan menjadi dua jenis, yaitu internal stakeholder dan external stakeholder. External stakeholder merupakan kelompok atau individu yang bukan menjadi anggota organisasi, namun memengaruhi aktivitas organisasi. Sedangkan internal stakeholder merupakan kelompok atau individu yang tidak secara tegas menjadi bagian dari lingkungan organisasi karena sebenarnya internal stakeholder adalah anggota dari organisasi, dimana para manajer memiliki tanggung jawab atas kepentingan mereka. Jadi stakeholder adalah sekelompok orang atau sebuah kelembagaan yang memiliki pengaruh terhadap kebijakan yang telah dibuat pemerintah, dan yang dianjurkan dibentuk untuk mencapai tujuan tertentu.

1. Pemerintah

a. Fungsi Pemerintah

Rewansyah dalam (Mustafa, 2013:90) mengemukakan ada 5 (lima) fungsi utama pemerintah, yaitu sebagai berikut:

a. Fungsi Pengaturan/Regulasi

Fungsi pengaturan/regulasi (penetapan kebijakan publik) adalah fungsi yang tak

dapat di delegasikan, dipindahkan ataupun diprivatisasikan kepada organisasi

atau lembaga di luar pemerintahan. Fungsi pengaturan oleh pemerintah tak lain

(49)

bersama berjalan dengan baik dan memberikan kebaikan ataupun kenyamanan bagi setiap warga Negara. Oleh karena itu, peran pemerintah ke depan adalah membentuk/mengambil kebijakan publik yang efisien, efektif, produktif dan dapat diimplementasikan.

b. Fungsi Pelayanan Kepada Masyarakat

Konsep pelayanan mengandung bermacam-macam arti, meliputi berbagai kegiatan, dan dipakai untuk berbagai bidang studi. Sejauh ini padanan bahasa Indonesia kata pelayanan dalam bahasa Inggris ada dua, yaitu administering dalam administration dan servicing dalam service (public service and civil service). Dalam konsep administration lebih menunjukkan sistem (struktur) dan proses ketimbangan substansi kebutuhan manusia dan publik, sedangkan konsep service, sebaliknya.

c. Fungsi Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat adalah fungsi yang berhubungan secara negatif dengan kondisi ekonomi, politik, dan sosial warga masyarakat, dalam arti: semakin tinggi taraf hidup warga masyarakat, semakin kuat posisi tawar (bargaining position), dan semakin integratif masyarakat. Semakin berkurang fungsi pemberdayaan masyarakat, fungsi pemerintah berubah, dari rowing ke steering.

(50)

1) Pemberdayaan Politik, yang bertujuan meningkatkan bargaining position yang diperintah (rakyat) terhadap pemerintah. Melalui bargaining tersebut yang diperintah mendapatkan apa yang merupakan haknya dalam bentuk barang, jasa, layanan dan kepedulian, tanpa merugikan orang lain.

2) Pemberdayaan Ekonomi, dimaksudkan sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan rakyat sebagai konsumer.

3) Pemberdayaan Sosial Budaya, yang bertujuan meningkatkan kemampuan sumber daya manusia melalui human investment, guna meningkatkan nilai manusia (human dignity), penggunaan manusia (human utilization) dan perlakuan seadil-adilnya terhadap manusia.

4) Pemberdayaan Lingkungan, dimaksudkan sebagai program perawatan dan pelestarian lingkungan, supaya antara masyarakat dengan lingkungannya terdapat hubungan yang saling menguntungkan.

d. Fungsi Pengelolaan Asset/Kekayaan Negara

Aset/kekayaan negara merupakan segala sesuatu yang bernilai ekonomi baik berupa fisik dan non fisik maupun berupa uang, surat-surat berharga dan kekayaan alam yang terdapat di bumi Nusantara. Sumber daya dapat didefinisikan sebagai kekayaan suatu bangsa yang menjadi modal bagi kejayaan masa depannya. Sumber daya tersebut merupakan milik seluruh rakyat Indonesia yang dikelola/diurus pemerintah.

e. Fungsi Keamanan, Ketertiban, Pengamanan dan Perlindungan

(51)

terkait dengan fungsi pemerintah di bidang perumusan kebijakan (pengaturan), pelayanan, pemberdayaan dan fungsi pengelolaan aset/kekeayaan negara. Misalnya, fungsi keamanan dan ketertiban umum merupakan tugas aparatur kepolisian yang dapat juga dirumuskan sebgai fungsi pelayanan keamanan dan ketertiban umum oleh kepolisian. Selain itu dapat diartikan juga melaksanakan fungsi pelayanan pengamanan dan perlindungan warga masyarakat dari berbagai gangguan keamanan.

Berdasarkan kelima fungsi diatas peneliti menyimpulkan bahwa dalam penelitian ini letak fungsi/peran pemerintah yaitu sebagai fungsi pengaturan atau pembuat kebijakan dan fungsi pemberdayaan masyarakat. Dimana dalam mengatasi permasalahan anak jalanan dan gepeng pemerintah perlu membuat suatu aturan yang tegas dan kemudian setelah aturan tersebut dijalankan maka langkah yang selanjutnya dilakukan yaitu memberdayakan masyarakat, terutama dalam hal sosial budaya.

b. Peran Pemerintah dalam Good Governance

(52)

publiknya sangat penting dalam memfasilitasi terjadinya mekanisme pasar yang benar sehingga penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dapat dihindari. Oleh karena itu, upaya-upaya perwujudan ke arah good governance dapat dimulai dengan membangun landasan demokratisasi penyelenggaraan negara dan bersamaan dengan itu dilakukan upaya pembenahan penyelenggara pemerintahan sehingga dapat terwujud good governance. (Endarti, 2005:123)

2. Masyarakat Madani (Civil Society)

a. Pengertian Masyarakat Madani (Civil Society)

Azra (2003:238) mendefinisikan masyarakat madani sangat bergantung pada kondisi sosio-kultural suatu bangsa, karena bagaimanapun konsep masyarakat madani merupakan bangunan terma yang lahir dari sejarah pergulatan bangsa Eropa Barat. Di Indonesia, terma masyarakat madani mengalami penerjemahan yang berbeda-beda dengan sudut pandang yang berbeda pula. Anwar Ibrahim (dalam Azra, 2003:240) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Masyarakat mendorong daya usaha serta inisiatif individu baik dari segi pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintahan mengikuti undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu menjadikan keterdugaan atau predictability serta ketulusan atau transparency sistem.

(53)

berhadapan dengan negara, dan keterkaitan dengan norma-norma atau nilai-nilai hokum yang diikuti oleh warganya. Kemudian sebagai ruang politik, civil society merupakan suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan dan refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh kondisi kehidupan material, dan tidak terserap di dalam jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi.

Berbagai pengistilahan tentang wacana masyarakat madani di Indonesia tersebut, secara substansial bermuara pada perlunya penguatan masyarakat (warga) dalam sebuah komunitas negara untuk mengimbangi dan mampu mengontrol kebijakan negara yang cenderung memposisikan warga negara sebagai subjek yang lemah.

b. Karakteristik Masyarakat Madani (Civil Society)

Penyebutan karakteristik masyarakat madani dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa dalam merealisasikan wacana masyarakat madani diperlukan prasyarat-prasyarat yang menjadi nilai universal dalam penegakan masyarakat madani. Karakteristik tersebut dijelaskan oleh Azra (2003:247) antara lain sebagai berikut:

a. Free Public Sphere

(54)

b. Demokratis

Demokratis merupakan satu entitas yang menjadi penegak wacana masyarakat madani, dimana dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasab penuh untuk menjalankan aktivitas kesehariannya, termasuk dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Demokratis berarti masyarakat dapat berlaku santun dalam pola hubungan interaksi dengan masyarakat sekitarnya dengan tidak mempertimbangkan suku, ras dan agama.

c. Toleran

Toleran merupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukkan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain. Toleransi ini memungkinkan akan adanya kesadaran masing-masing individu untuk menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh kelompok masyarakat lain yang berbeda.

d. Pluralisme

Menurut Madjid (dalam Azra, 2003:249), konsep pluralisme ini merupakan prasyarat bagi tegaknya masyarakat madani. Pluralisme menurutnya adalah pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan.

e. Keadilan Sosial (Social Justice)

(55)

pemusatan salah satu aspek kehidupan pada suatu kelompok masyarakat. Secara esensial, masyarakat memiliki hak yang sama dalam memperoleh kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah.

c. Peran Civil Society dalam Good Governance

Dalam praktek governance dijelaskan dalam World Bank (dalam Endarti, 2005:124), peran masyarakat sama penting dan sejajar dengan peran pemerintah dan sektor swasta dalam pembuatan keputusan dan penyelenggaraan pelayanan publik. Dengan demikian partisipasi masyarakat merupakan salah satu dari karekteristik penting dalam praktek governance. Partisipasi dimaknai sebagai keterlibatan masyarakat yaitu sebuah proses dimana para stakeholders sebagai partisipan saling mempengaruhi dan berbagi kontrol atas inisiatif pembangunan, keputusan, dan juga sumberdaya yang akan mempengaruhi mereka.

(56)

ada pengakuan atas hubungan yang erat antara kekuatan pemerintah, kekuatan rakyat sipil, dan kekuatan sektor privat.

Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa peran masyarakat sama pentingnya dengan peran pemerintah dan swasta. Untuk mewujudkan demokrasi maka dibangunlah civil society atau masyarakat madani, dalam bentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

3. Peran Swasta dalam Good Governance

Sektor swasta menurut Endarti (2005:123) secara umum dapat digolongkan menjadi:

1) Private for profit organization, termasuk dalam kategori ini adalah organisasi-organisasi yang bergerak di bidang bisnis klasik, baik yang berskala kecil maupun berskala besar, serta organisasi-organisasi bisnis modern yang berskala internasional dengan berbasis bisnis jaringan.

2) Private for non-profit organization, termasuk dalam organisasi ini adalah organisasi-organisasi non pemerintahan yang bersifat independen, yaitu lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM), yayasan-yayasan sosial, dan asosiasi-asosiasi independen lainnya yang memposisikan dirinya bukan sebagai profit oriented organization meskipun mereka adalah organisasi swasta.

(57)

swasta sebagai mitra strategis pemerintah menurut Thoha (dalam Endarti, 2005:124) dalam hal ini sangat diperlukan untuk mendukung terciptanya proses keseimbangan kekuasaan yang berlangsung dalam tata kepemerintahan yang baik. Effendi dalam Endarti (2005:124) menjelaskan bahwa pemerintah tidak lagi tampil menjadi pusat kekuasaan yang mengatur seluruh sendi kehidupan masyarakat, melainkan merupakan fasilitator dalam penyelenggaraan urusan-urusan publik. Sedangkan sektor swasta semakin dituntut perannya sebagai producer atau provider yang memproduksi barang dan jasa yang diperlukan masyarakat, menciptakan lapangan pekerjaan, dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa peran swasta dalam good governance yaitu meliputi menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan.

D. Tinjauan Tentang Anak Jalanan

1. Pengertian Anak Jalanan

(58)

akibat jam kerja yang sangat panjang benar-benar dari segi kesehatan maupun sosial sangat rawan. Adapun disebut ekspolitatif karena mereka biasanya memiliki posisi tawar-menawar yang sangat lemah, tersubordinasi, dan cenderung menjadi objek perlakuan yang sewenang-wenang dari ulah preman atau oknum aparat yang tidak bertanggung jawab.

Menurut Tata Sudrajat (dalam Mulandar, 1996:150) memberikan definisi anak jalanan sebagai berikut:

“Anak jalanan adalah pekerja anak informal karena sebenarnya bekerja di

jalanan, tetapi sisi-sisi kehidupan anak jalanan dilihat dari aspek pekerjaan, bahkan pada beberapa anak jalanan, bekerja bukan merupakan hal yang mutlak lagi. Bagi anak jalanan persoalan sebenarnya bukan bekerja atau tidak, melainkan bagaimana harus tetap hidup (survived).”

Penggunaan istilah anak jalanan menurut Nugroho (2000:78) berimplikasi pada dua pengertian yang harus dipahami. Pertama, pengertian sosiologis, yaitu menunjuk pada aktifitas sekelompok anak yang keluyuran di jalan-jalan. Masyarakat mengatakan sebagai kenakalan anak, dan perilaku merteka dianggap mengganggu ketertiban sosial. Kedua, pengertian ekonomi, yaitu menunjuk pada aktifitas sekelompok anak yang terpaksa mencari nafkah di jalanan karena kondisi ekonomi orangtua yang miskin.

(59)

diungkapkan Nugroho, anak jalanan adalah sekelompok anak yang keluyuran di jalan-jalan. Masyarakat menganggap sebagai anak nakal dan perilaku mereka mengganggu ketertiban sosial. Sedangkan dari pengertian ekonomi, anak jalanan adalah sekelompok anak yang terpaksa mencari nafkah di jalanan karena kondisi ekonomi orang tua miskin.

2. Karakteristik Anak Jalanan

a. Berdasarkan Usia

Direktorat Kesejahteran Anak, Keluarga dan Lanjut Usia, Departemen Sosial (2001:30) memaparkan bahwa anak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya dihabiskan untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya, usia mereka berkisar dari 6 tahun sampain 18 tahun. Selain itu, dijelaskan oleh Departemen Sosial RI (2001: 23–24), indikator anak jalanan menurut usianya adalah anak yang berusia berkisar antara 6 sampai 18 tahun. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dapat dikategorikan sebagai anak jalanan adalah yang memiliki usia berkisar antara 6 sampai 18 tahun.

b. Berdasarkan Pengelompokan

Menurut Surbakti dkk. (dalam Suyanto, 2010:186), berdasarkan hasil kajian di lapangan, secara garis besar anak jalanan dibedakan dalam 3 kelompok yaitu:

(60)

pada kategori ini adalah untuk membantu memperkuat penyangga ekonomi keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang mesti ditanggung tidak dapat diselesaikan sendiri oleh kedua orang tuanya.

Kedua, children of the street, yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh di jalanan, baik secara sosial maupun ekonomi. Beberapa diantara mereka masih mempunyai hubungan dengan orang tuanya, tetapi frekuensi pertemuan mereka tidak menentu. Banyak diantara mereka adalah anak-anak yang karena suatu sebab lari atau pergi dari rumah. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak-anak pada kategori ini sangat rawan terhadap perlakuan salah, baik secara sosial-emosional, fisik maupun seksual.

Ketiga, children from families of the street, yakni anak-anak yang berasal dari keluarga yang hidup di jalanan. Meskipun anak-anak ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup mereka terombang-ambing dari satu tempat ke tempat lain dengan segala risikonya. Salah satu ciri penting dari kategori ini adalah pemampangan kehidupan jalanan sejak anak masih bayi, bahkan sejak anak masih dalam kandungan. Di Indonesia kategori ini dengan mudah dapat ditemui di berbagai kolong jembatan, rumah-rumah liar sepanjang rel kereta api dan pinggiran sungai, walau secara kuantitatif jumlahnya belum diketahui secara pasti.

c. Berdasarkan Ciri-ciri Fisik dan Psikis

(61)

1. Berdasarkan Ciri Fisik, yaitu warna kulit kusam, rambut kemerah-merahan, kebanyakan berbadan kurus, pakaian tidak terurus.

2. Berdasarkan Ciri Psikis, yaitu memiliki mobilitas tinggi, acuh tak acuh, penuh curiga, sangat sensitif, berwatak keras, serta kreatif.

Dari penjelasan di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa anak jalanan secara fisik berpenampilan kusam, berantakan dan tidak terurus. Sedangkan dari segi psikis mereka cenderung bersifat acuh, berwatak keras, kasar dan lain sebagainya.

3. Faktor Penyebab Munculnya Anak Jalanan

Menurut Kirik Ertanto (dalam Suyanto, 2010:193), awalnya anak jalanan tidak langsung masuk dan terjun begitu saja di jalanan. Mereka biasanya mengalami proses belajar yang bertahap. Mula-mula mereka lari dari rumah, sehari sampai seminggu kembali, lalu lari lagi selama dua minggu atau tiga bulan, sampai akhirnya benar-benar lari tak kembali selama setahun dua tahun. Setelah di jalanan, proses tahap kedua yang mesti dilalui anak jalanan adalah inisiasi. Biasanya untuk anak-anak jalanan yang masih baru mereka akan menjadi objek pengompasan anak jalanan yang lebih dewasa. Selain itu, mereka juga akan dipukuli oleh teman sesama anak jalanan yang telah lebih dahulu hidup di jalanan.

(62)

Menurut Sudarsono (1991:97) faktor yang menyebabkan terjadinya anak jalanan dapat dibedakan ke dalam faktor internal dan faktor eksternal:

a. Faktor Internal, meliputi sifat malas, tidak mau bekerja, mental yang tidak kuat, adanya cacat fisik dan cacat psikis.

b. Faktor Ekternal, terdiri dari:

1. Faktor ekonomi, yaitu kurangnya lapangan pekerjaan, kemiskinan akibat rendahnya pendapatan perkapita dan tidak tercukupinya kebutuhan hidup. 2. Faktor geografis yaitu daerah asal yang minus dan tandus, sehingga tidak

memungkinkan mengolah tanah.

3. Faktor sosial, yaitu arus urbanisasi yang semakin meningkat dan kurangnya partisipasi masyarakat dalam usaha kesejahteraan sosial.

4. Faktor pendidikan, yaitu relatif rendahnya pendidikan menyebabkan kurangnya bekal dan keterampilan untuk hidup.

5. Faktor psikologis, yaitu adanya perpecahan atau keretakan dalam keluarga dan keinginan melupakan pengalaman masa lampau yang menyedihkan. 6. Faktor kultural, pasrah pada nasib dan adat istiadat yang merupakan

rintangan dan hambatan mental.

7. Faktor lingkungan, yang secara tidak langsung sudah ada pembibitan dari lingkungan sekitarnya.

8. Faktor agama, yaitu kurangnya dasar-dasar ajaran agama, sehingga menyebabkan tipisnya iman, membuat mereka tidak tahan menghadapi cobaan dan tidak mau berusaha.

(63)

faktor internal yang bersumber dari dalam diri mereka sendiri dan faktor eksternal yang berasal dari keadaan dan lingkungan di sekitar.

E. Tinjauan tentang Gelandangan dan Pengemis

1. Pengertian Gelandangan dan Pengemis

Berdasarkan Perda No. 03 Tahun 2010, pasal 1 poin x, gelandangan adalah seseorang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai norma kehidupan yang layak dalam masyarakat, tidak mempunyai mata pencaharian dan tidak mempunyai tempat tinggal tetap. Gelandangan adalah seorang yang hidup dalam keadaan yang tidak mempunyai tempat tinggal dan tidak memiliki pekerjaan tetap dan mengembara di tempat umum sehingga hidup tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat.

Menurut Sudarsono (1991:56), pada dasarnya gelandangan adalah mereka yang tidak memiliki tempat tinggal yang tetap, juga secara yuridis tidak berdomisili yang autentik. Disamping itu mereka merupakan kelompok yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan layak menurut masyarakat pada umumnya. Sedangkan pengemis menurut Perda No. 03 Tahun 2010, pasal 1 poin y, adalah seseorang atau kelompok dan/atau bertindak atas nama lembaga sosial yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di jalanan dan/atau di tempat umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.

(64)

tempat tinggal tetap dan berdasarkan berbagai alasan harus tinggal di bawah kolong jembatan, taman umum, pinggir jalan, pinggir sungai, stasiun kereta api, atau berbagai fasilitas umum lain untuk tidur dan menjalankan kehidupan sehari-hari.

2. Pengelompokan Pengemis

Adapun menurut Hanitijo Soemitro (dalam Asmawati, 2001:15) pengemis dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

a. Pengemis Murni, adalah mereka yang mempunyai tempat tingal tertentu atau tidak, yang penghidupan seluruhnya atas dasar meminta-minta pada waktu tertentu.

b. Pengemis Tidak Murni, adalah mereka yang mempunyai tempat tinggal yang sebagian penghasilannya diperoleh dari meminta-minta pada waktu tertentu.

Maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya pengemis dibagi menjadi dua golongan yang murni, yaitu seluruh biaya hidupnya didapat dari hasil mengemis, sedangkan pengemis tidak murni penghasilannya hanya sebagian didapat dari mengemis, tidak terlalu menggantungkan pada profesi mengemis.

3. Ciri dan Karakteristik dari Gelandangan dan Pengemis

Ciri-ciri gelandangan:

(65)

tinggal tidak tetap, emper toko, dibawah kolong jembatan dan sebagainya; d) Tidak mempunyai pekerjaan.

Ciri-ciri pengemis:

a) Meminta-minta di tempat umum; b) Mata pencariannya tergantung pada belas kasihan orang lain; c) Berpakaian kumuh dan compang-camping; d) Berada di tmpat-tempat ramai/strategis; e) Memperalat sesama untuk merangsang belas kasihan orang lain.

Karakteristik dari gelandangan dan pengemis diantaranya yaitu: a. Tidak memiliki tempat tinggal

Kebanyakan dari gepeng dan pengemis ini mereka tidak memiliki tempat hunian atau tempat tinggal mereka ini biasa mengembara di tempat umum. b. Hidup di bawah garis kemiskinan

Para gepeng mereka tidak memiliki penghasilan tetap yang bisa menjamin untuk kehidupan mereka kedepan bahkan untuk sehari hari saja mereka harus mengemis atau memulung untuk membeli makanan untuk kehidupannya. c. Hidup dengan penuh ketidakpastian

Para gepeng mereka hidup mengelandang dan mengemis di setiap harinya mereka ini sangat memprihatikan karna jika mereka sakit mereka tidak bisa mendapat jaminan sosial seperti yang dimiliki oleh pegawai negeri yaitu ASKES untuk berobat dan lain lain.

d. Memakai baju yang compang camping

(66)

III. METODE PENELITIAN

A. Tipe dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Metode penelitian kualitatif menurut Sugiyono (2012:9) digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam, suatu data yang mengandung makna. Makna adalah data yang sebenarnya, data yang pasti yang merupakan suatu nilai dibalik data yang tampak. Oleh karena itu dalam penelitian ini tidak menekankan pada generalisasi, tetapi lebih menekankan pada makna.

Gambar

Tabel 1 : Data anak jalanan (anjal) dan gelandangan dan pengemis (gepeng) yang ada di Bandar Lampung tahun 2012
Tabel 2 : Data anjal dan gepeng Tahun 2013
Gambar 1. Hubungan antar sektor
Tabel 3. Data Informan
+5

Referensi

Dokumen terkait

Selaras dengan itu Ibu St. Umi Hanik guru pendidikan agama Islam mengungkapkan bahwa faktor pendukung dalam mengimplementasikan nilai- nilai akhlakul karimah di SMA

Penerbit : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia 262 tidak mempengaruhi variabel kelelahan kerja, dengan demikian dinyatakan bahwa tidak ada pengaruh status

NPP tidak cepat teraglomerasi, sehingga absorbansi yang dihasilkan besar dan max yang dihasilkan kecil, hal ini menunjukkan bahwa jumlah nanopartikel yang terbentuk banyak

Derajat subsitusi CMC tertinggi yang dihasilkan pada penelitian ini diperoleh dari perlakuan asam trikloroasetat 20 % dan waktu reaksi 3 jam. Sehingga viskositas CMC

Pada penelitian ini akan dilakukan sintesis dan karakterisasi Na-CMC dari selulosa tanaman eceng gondok yang diperoleh dari dua daerah yang berbeda, yaitu daerah Jatinangor

6) Sekitar pukul 10.00 waktu Papua masih di tanggal 4 Desember 2012, kepada keluarga (tanta korban Nelestin AP) seorang kerabat keluarga korban menyampaikan

Dari dimensi politik, Haris mencatatkan sebagai pengawal konstitusi, tugas pokok, fungsi, dan tanggung jawab Mahkamah Konstitusi bukan sekadar menimbang dan menilai secara

Uji kekerasan penelitian ini dilakukan pengujian sebanyak lima titik yang diaplikasikan pada spesimen Raw material dan spesimen yang mengalami perlakuan panas. Lima