Siti Hananah Ningsih N I M : 102070026065
FAKULTAS PSIKOLOGI
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat Memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Oleh:
Siti Hananah Ningsih N I M : 102070026065
Di Bawah Bimbingan
Ikhwan Lutfi, M.Psi NIP. 19730710 200501 1 006
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1432 H / 2010 M
i
(B) Desember 2010
(C) Siti Hananah Ningsih : 102070026065
(D) Hubungan Antara Tingkat Religiusitas Dengan Penerimaan Sosial Masyarakat Terhadap Pekerja Seks Komersial (Tegal Rotan)
(E) xii + 59 halaman + lampiran
Keyakinan beragama menjadi bagian integral dari kepribadian seseorang yang akan mengawasi segala tindakan, perkataan bahkan perasaannya. Pada saat seseorang tertarik pada sesuatu yang tampaknya menyenangkan, maka keimanannya akan bertindak, menimbang dan meneliti apakah hal tersebut boleh atau tidak oleh agamanya. Agama mempunyai peran penting dalam pembinaan moral karena nilai-nilai moral yang datang dari agama bersifat tetap dan universal. Apabila seseorang dihadapkan pada suatu dilema, ia akan menggunakan pertimbangan-pertimbangan berdasarkan nilai-nilai moral yang datang dari agama. Oleh karena itu, orang akan berada dimanapun dan dalam posisi apapun, akan tetap memegang prinsip moral yang telah tertanam dalam hati nuraninya. Berdasarkan hal inilah, sehingga nilai-nilai agama yang telah diinternalisasi oleh seseorang diharapkan mampu menuntun semua perilakunya.
Glock dan Stark dalam (Ancok dan Nashori, 1994) tingkat religiusitas adalah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi (ultimate meaning). Taylor dalam Jersild (1983) mengungkapkan bahwa penerimaan sosial adalah sikap memandang orang lain sebagai individu yang patut dihargai tanpa menilai dan tanpa berusaha mengendalikannya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran hubungan antara tingkat religiusitas dengan penerimaan soaial masyarakat. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive random sampling dengan jumlah sampel sebanyak 80 dengan rentangan usia dari 18 tahun sampai 50 tahun. Pengumpulan data dengan menggunakan skala likert, yang terdiri dari skala religiusitas sebanyak 33 item dan skala penerimaaan sosial masyarakat sebanyak 20 item. Reliabilitas pada skala religiusitas adalah 0.824, dan pada skala penerimaan soaial masyarakat adalah 0.8136. Berdasarkan hasil analisis data dengan menggunakan rumus korelasi pearson product moment, diperoleh r-hitung (-0.33) lebih kecil dari r-tabel (0.220) pada signifikansi 0.05, hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat
v
vi
dapat terungkap
Penyayang. Segala puji hanya bagi Allah SWT di setiap saat dan waktu. Dengan
mengucap rasa syukur kehadirat Ilahi Rabbi atas Rahmat dan Inayah-NYA
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam tetap tercurah
kepada hamba yang paling mulia di atas sekalian para hamba, Rasulullah SAW,
beserta keluarga, para sahabat serta orang-orang yang menjadi pengikutnya
hingga akhir zaman.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini juga tidak dapat selesai
tanpa adanya bimbingan dan dukungan yang penuh ketulusan, baik secara moril
maupun materil dari semua pihak. Oleh karena itu, pantas penulis haturkan
ucapan terima kasih yang mendalam kepada semua pihak yang telah membantu
penyelesaian penelitian ini. Diantaranya kepada :
1) Dekan Fakultas Psikologi, Jahja Umar, Ph.D., Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si,
Pembantu dekan bidang akademik Fakultas Psikologi Para dosen dan segenap
civitas Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, atas segala ilmu,
dan pengalaman, serta kelancaran akademik yang telah diberikan kepada
penulis.
2) Dosen pembimbing, bapak Ikhwan Lutfi, M.Psi
terima kasih atas waktu dan atas kesabaran dan segala bimbingan yang telah
diberikan kepada penulis selama penyelesaian skripsi ini. Tak lupa pula
kepada ibu Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si sebagai penguji. Terima kasih
banyak atas waktu yang sudah diluangkan.
3) Dosen Pembimbing Akademik Drs. Firdaus Kasmi Lc, terima kasih atas doa
dan dukungan tanpa henti untuk menyelesaikan tugas penulis.
4) Kepada pegawai perpustakaan, pak Haidir, pak Baidawi, pegawai akademik,
bu Syariah (yang sudah pindah), bu Fauzah pak Ayung, pak Deden, bu Nur.
5) Untuk almarhum Bapak dan almarhumah Ibu, semoga Allah memberikan
tempat yang mulia di sisiNya. Amin.
ح
Awal, Arul, Apang, Iva (jadilah yang selalu yang terbaik), nom Azis, nom
Subli (terima kasih do'anya).
7) Dua sahabatku Widya, Zakyah (yang selalu support), kak Indri, Wardana,
teman-teman SQC, Nenden, Rika, Ipeh, Oji, Nyunyun, Nyinyin, Nurul, Atif,
Dwi kecil, dwi Besar, Yoga, Cami, Neneng, Rita, Munajat dan semua
teman-teman angkatan 2002 khususnya kelas D. Dan tak lupa untuk alumni kosan bu
Beth (kebersamaan kita begitu indah, trimakasih). Teman-teman Madura,
Bang Salim, pak Nata dan seluruh guru SDN Sawah I.
8) Seluruh pihak yang tak tertera namun tanpa mengurangi rasa hormat telah
berjasa dan terlibat dalam penyelesaian skripsi ini.
Semoga Allah meridhoi dan memberikan pahala yang tak henti-hentinya
sebagai balasan atas segala kebaikan dan bantuan yang diberikan kepada penulis.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya akan
kekurangan dan ketidaksempurnaan. Harapan penulis, semoga skripsi ini memberi
manfaat, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi seluruh pembaca. Amin
Terima Kasih
Jakarta, Desember 2010
Motto ... iii
Abstrak ... v
Kata Pengantar ... vii
Daftar Tabel ... ix
Daftar Isi ... x
BAB I PENDAHULUAN………... 1
1.1. Latar Belakang Masalah………...……. 1
1.2. Pembatasan dan Rumusan Masalah……….. 6
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………..….. 7
1.4. Sistematika Penulisan….……….…. 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA ……….……….. 10
2.1. Religiusitas……….... 10
2.1.1. Pengertian Religiusitas……….. 10
2.1.2. Faktor-Faktor Yang Menimbulkan Religiusitas……... 13
2.1.3. Dimensi-Dimensi Religiusitas……….. 13
2.1.4. Fungsi-fungsi religiusitas……….. 15
2.2. Penerimaan Sosial Masyarakat……….. 17
2.2.1. Pengertian Penerimaan Sosial…….………….. 17
2.2.3. Kondisi-Kondisi yang Menyebabkan Seseorang Mendapat Penerimaan Sosial ….... 18
2.2.4. Bentuk-Bentuk Penerimaan Sosial ..………... 20
2.3. Pekerja Seks Komersial ……… 21
2.3.1. Pengertian Pekerja Seks Komersial…………... 21
2.3.2 Sejarah Pelacuran di Indonesia ………. 22 2.3.3. Faktor-Faktor yang Mendasari Mereka
2.3.6. Dampak Pelacuran Terhadap Psikologis……... 30
2.3.7 Reaksi Sosial Terhadap Pekerja Seks Komersial……….….. 32
2.4. Kerangka Berpikir……….………. 32
2.5. Hipotesis………..………….……….. 35
Bab III : METODOLOGI PENELITIAN... 36
3.1. Jenis Penelitian………..………... 36
3.1.1. Pendekatan dan Metode Penelitian…………... 36
3.2. Variabel Penelitian………..……….. 37
3.2.1. Definisi Konseptual …………..………... 37
3.2.2. Definisi Operasional Variabel ……….. 38
3.3. Pengambilan Sampel ………..……….. 39
3.3.1. Populasi dan Sampel …………..……… 39
3.4. Pengumpulan Data ………..……….. 40
3.4.1. Metode dan Instrumen Penelitian ………. 40
3.4.2. Teknik Uji Instrumen Penelitian………... 42
3.4.3. Hasil Uji Validitas-Reliabilitas Skala Religiusitas……….... 44
3.4.4. Hasil Uji Validitas-Reliabilitas Skala Penerimaan Sosial………... 45
3.5. Teknik Analisa ………..………... 46
3.6. Prosedur Penelitian………... 46
3.6.1. Persiapan ...………... 7
3.6.2 Pelaksanaan... 47
ل
4.1.2. Gambaran Umum Subjek Berdasarkan Usia….. 49
4.2. Deskripsi Skor Responden………. 50
4.2.1. Deskripsi Skor Tingkat Religiusitas………….. 50
4.2.2. Deskripsi Skor Penerimaan Sosial………. 52
4.3. Uji Hipotesis………..………. 53
BAB V : KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN... 55
5.1. Kesimpulan………..……….. 55
5.2. Diskusi………..………... 55
5.3. Saran………..………... 58
5.3.1. Saran Teoritis………..………... 58
5.3.2. Saran Praktis………... 58
DAFTAR PUSTAKA
ط
Tabel 3.1. Penskoran skala model likert ………. 38
Tabel 3.2. Cetak biru skala religiusitas ……… 38
Tabel 3.3. Cetak biru skala penerimaan sosial masyarakat ………. 40
Tabel 3.4. Kaidah reliabilitas ……… 41
Tabel 3.5. Distribusi item-item valid skala religiusitas ……… 42
Tabel 3.6. Distribusi item-item valid penerimaan sosial masyarakat …………. 44
Tabel 4.1. Distribusi subjek berdasarkan jenis kelamin ……….. 46
Tabel 4.2. Distribusi subjek berdasarkan usia ………. 47
Tabel 4.3 Deskripsi skor statistic ……… 48
Tabel 4.4. Kategorisasi tingkat religiusitas ………. 49
Tabel 4.5. Gambaran presentasi data tingkat religiusitas ……… 49
Tabel 4.6. Kategorisasi penerimaan sosial masyarakat ……… 52
Tabel 4.7. Gambaran presentasi data penerimaan sosial masyarakat ………… 50
Tabel 4.8. Tingkat religiusitas terhadap penerimaan sosial masyarakat terhadap PSK Crostabulation ……… 51
Tabel 4.9. Uji Hipotesis ……… 52
"Jika
kamu
menjauhi
dosa
‐
dosa
besar
di
antara
dosa
‐
dosa
yang
dilarang
kamu
mengerjakannya,
niscaya
Kami
hapus
kesalahan
‐
kesalahanmu
(dosa
‐
dosamu
yang
kecil)
dan
Kami
masukkan
kamu
ke
tempat
yang
mulia
(surga)"
(An
‐
Nisa'
31)
ﻤ ا
ﺪ
كﺎﻴﻧ
ﻚﻧﺄآ
ﺶﻴ ﺗ
أ
اﺪﺑ
ﻤ و
ﻚﺗﺮﺧﻷ
ﻚﻧﺄآ
تﻮﻤﺗ
اﺪﻏ
iv
Skripsi ini saya persembahkan untuk
bapak dan ibu tercinta
dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
1.1. Latar Belakang Masalah
Prostitusi (pelacuran) merupakan bentuk penyimpangan seksual, dengan pola organisasi impuls-impuls/dorongan seks yang tidak wajar, dan dorongan seks yang tidak terintegrasi dalam kepribadian, sehingga relasi seks itu sifatnya
impersonal, tanpa afeksi dan emosi (kasih sayang), berlangsung cepat, tanpa mendapatkan orgasme di pihak wanita. (Kartini Kartono 1989)
Jika seks dijadikan bahan dagangan, maka terjadi komersialisasi-seks, berupa penukaran kenikmatan seksual dengan benda-benda/materi dan uang. Ada pelampiasan nafsu seks secara bebas liar dalam relasi seks dengan banyak orang.
Pelacur wanita disebut sebagai prostituee, pelacur, wts atau (Wanita Tuna Susila), sedangka pelacur laki-laki disebut sebagai gigolo atau PTS atau (Pria Tuna
Susila). (Kartini Kartono 1989)
Prostitusi sering disebut sebagai profesi, para pelakunya sering dicap buruk oleh masyarakat sekitarnya, bahkan mungkin oleh diri mereka sendiri.
Prostitusi bisa menimbulkan akibat diantaranya: adanya keinginan dan kemauan manusia untuk menyalurkan kebutuhan seks, khususnya diluar ikatan perkawinan.
Kemudian merosotnya norma-norma susila dan keagamaan pada saat orang
1
mengenyam kesejahteraan hidup, kebudayaan eksploitasi pada zaman modern ini,
khususnya mengekploitir kaum lemah/wanita untuk tujuan-tujuan komersil. (Russam dalam http://russamsimartomidjojocentre.blogspot.com
Masalah-masalah tersebut di atas akan semakin mengkristal apabila
tuntutan-tuntutannya dikaitkan dengan adanya tuntutan sosial-ekonomi yang dihadapi masyarakat dimana kebutuhan hidup yang semakin sulit dan mahal.
Perkembangan prostitusi akhir-akhir ini sangat memprihatinkan. Kartini Kartono (2003) mengatakan bahwa statistik menunjukkan kurang lebih 75% dari jumlah pelacur adalah wanita-wanita muda di bawah umur 30 tahun. Mereka itu
pada umumnya memasuki dunia pelacuran pada usia yang muda, yaitu 13-24 tahun; dan yang paling banyak ialah usia 17-21 tahun.
Secara langsung maupun tidak langsung, pelacuran atau usaha-usaha prostitusi akan menimbulkan dampak buruk antara lain: penyebarluasan penyakit kelamin dan kulit, merusak sendi-sendi kehidupan keluarga, moral, susila, hukum
dan agama, memberikan pengaruh yang tidak bermoral kepada lingkungan khususnya anak muda dan remaja maupun juga orang dewasa. (Russam S. dalam
http://russamsimartomidjojocentre.blogspot.com)
Dampak-dampak negatif yang tidak bisa dihindari dari praktek prostitusi ini, disamping dapat menyebarkan penyakit-penyakit (HIV) dan penyakit lain
yang ditimbulkan oleh prostitusi itu sendiri, perbuatan itu dilarang oleh semua agama termasuk agama Islam. Islam dengan tegas melarang perbuatan prostitusi
⌧
⌧
Artinya: "Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk."
Demikian juga dalam surat an-Nur ayat 2 Allah SWT melarang perbuatan
zina dan memberikan sanksi kepada pelakunya sebagaimana firman-Nya:
☺ ☺
☺ ⌧
⌧ ☺
Artinya: "Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus Kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman."
Kurangnya pemahaman keagamaan menjadi salah satu pendorong untuk
melakukan perbuatan asusila. Religiusitas bukan hanya penghayatan terhadap nilai-nilai agama saja namun juga perlu adanya pengamalan nilai-nilai tersebut.
Religiusitas adalah kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan agama.
Religiusitas dapat diketahui melalui beberapa aspek penting yaitu: aspek keyakinan terhadap ajaran agama (aqidah), aspek ketaatan terhadap ajaran agama (syari’ah atau ibadah), aspek penghayatan terhadap ajaran agama (ikhsan), aspek
Religiusitas adalah suatu kesatuan unsur-unsur yang komprehensif, yang
menjadikan seseorang disebut sebagai orang beragama (being religious), dan bukan sekedar mengaku mempunyai agama (having religion). Religiusitas meliputi pengetahuan agama, keyakinan agama, pengamalan ritual agama,
pengalaman agama, perilaku (moralitas) agama, dan sikap sosial keagamaan.
(http://www.suaramerdeka.com/harian/0406/18/opi4.htm). Hal penting dalam beragama adalah memiliki keimanan. Keimanan sendiri memiliki banyak unsur, unsur yang paling penting adalah komitmen (ketagaran dan keteguhan) untuk menjaga hati agar selalu berada dalam kebenaran. Secara praktis, hal ini
diwujudkan dengan cara melaksanakan segala perintah dan menjauhi semua larangan Allah dan RasulNya. Seseorang yang beragama akan merefleksikan
pengetahuan agamanya dalam sebuah tindakan keagamaan, melaksanakan ibadah ritual secara rutin, yaitu shalat, puasa, zakat, haji serta terus mengembangkan tingkah laku yang terpuji (akhlak al-karimah)
Jiwa beragama atau kesadaran beragama merujuk kepada aspek rohaniah individu yang berkaitan dengan keimanan kepada Allah yang direfleksikan ke
dalam peribadatan kepada-Nya, baik yang bersifat hablumminallah maupun
hablumminannas. (Syamsu Yusuf, 2004)
Ajaran agama oleh penganutnya dianggap sebagai norma dan sebagai
sosial control sehingga dalam hal ini agama dapat berfungsi sebagai pengawas sosial secara individu ataupun kelompok. Keyakinan beragama menjadi bagian
tampaknya menyenangkan, maka keimanannya akan bertindak, menimbang dan
meneliti apakah hal tersebut boleh atau tidak oleh agamanya. Agama mempunyai peran penting dalam pembinaan moral karena nilai-nilai moral yang datang dari agama bersifat tetap dan universal. Apabila seseorang dihadapkan pada suatu
dilema, ia akan menggunakan pertimbangan-pertimbangan berdasarkan nilai-nilai moral yang datang dari agama. Oleh karena itu orang itu akan berada dimanapun
dan dalam posisi apapun, akan tetap memegang prinsip moral yang telah tertanam dalam hati nuraninya. Berdasarkan hal inilah, sehingga nilai-nilai agama yang telah diinternalisasi oleh seseorang diharapkan mampu menuntun semua
perilakunya.
Peranan agama adalah sebagai pendorong atau penggerak serta pengontrol
dari tindakan-tindakan para anggota masyarakat untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya, sehingga tercipta ketertiban sosial.
Kontradiksi antara nilai-nilai agama dengan keberadaan prostitusi jelas terlihat di sepanjang jalan Tegal Rotan RT. 002/08. Jelas terlihat oleh mata
telanjang bahwa aspek ketaatan terhadap agama, aspek keyakinan dan aspek pelaksanaan agama sangatlah kontradiktif bila kita melihat kenyataan yang terjadi di Tegal Rotan, bahkan di depan Masjid pun dijadikan tempat transaksi prostitusi.
Aparat keamanan dan warga setempat pernah merazia tempat esek-esek itu namun mereka kembali lagi melakukan perbuatan itu. Sebanyak 7 unit rumah
Pekerja Seks Komersial (PSK) masih terlihat beroperasi di Jalan Tegal Rotan, Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan (Tangsel). Razia PSK kerap dilakukan di wilayah itu, tapi tak sanggup
menghilangkan praktek prostitusi. Berdasarkan pantauan penulis, puluhan PSK masih memenuhi titik-titik di sepanjang jalan. Mereka menawarkan diri dengan
cara melambaikan tangan kepada para pengendara yang melewati jalan tersebut. Para PSK berkumpul di arah pintu masuk pintu tol Serpong dan di atas jembatan Stasiun Jurang Mangu. Berdasarkan informasi dari warga sekitar, meskipun
mereka sering dirazia, namun mereka tetap ada dan silih berganti seakan-akan tegal rotan ini menjadi pangkalan surga mereka. Salim, salah seorang warga,
menceritakan bahwa keberadaan PSK tersebut sudah ada sejak tahun 1980-an.
1.2. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
1.2.1. Pembatasan Masalah
Pokok permasalahan yang akan dibahas dibawah ini adalah:
Religiusitas yang dimaksud dalam penelitian ini seperti dikemukakan oleh Glock
paling maknawi (ultimate meaning). Dalam hal ini religiusitas yang dimaksud
adalah religiusitas masyarakat di daerah Tegal Rotan.
Taylor dalam Jersild (1983) mengungkapkan bahwa penerimaan sosial
adalah sikap memandang orang lain sebagai individu yang patut dihargai tanpa menilai dan tanpa berusaha mengendalikannya. Dalam hal ini penerimaan yang dimaksud adalah penerimaan sosial masyarakat terhadap pekerja seks komersial
di daerah Tegal Rotan.
Pekerja Seks Komersial atau Pelacur menurut Kartini Kartono (2003) adalah mereka yang biasa melakukan hubungan kelamin diluar pernikahan yang
sah. wanita yang tidak pantas kelakuannya, bisa mendatangkan mala petaka dan penyakit, baik kepada orang lain yang bergaul dengan dirinya maupun kepada diri
sendiri.
1.2.2. Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
Apakah ada hubungan yang signifikan antara tingkat religiusitas dengan penerimaan sosial masyarakat terhadap PSK di daerah Tegal Rotan?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran hubungan
1.3.2. Manfaat Penelitian
Secara teoritis penelitian in bermanfaat untuk memberikan gambaran tentang hubungan tingkat religiusitas terhadap penerimaan social masyarakat
pada Pekerja Seks Komersial (PSK) di daerah Tegal Rotan.
Secara praktis, penelitian ini bermanfaat untuk:
1. Penelitian ini diharapkan mampu untuk menambah wawasan pengetahuan kita tentang keadaan sosial dan tingkat religiusitas masyarakat Tegal Rotan
2. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi tentang penerimaan social masyarakat terhadap Pekerja Seks Komersial di daerah Tegal Rotan
1.4. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini adalah:
Bab I : Terdiri dari; Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, serta Sistematika Penulisan.
Fungsi-fungsi religiusitas, Penerimaan Sosial Masyarakat, Pengertian
Penerimaan sosial, Kondisi-Kondisi yang Menyebabkan Seseorang Mendapat Penerimaan Sosial, Bentuk-Bentuk Penerimaan Sosial, Pengertian Pekerja Seks Komersial, Sejarah Pelacuran di Indonesia,
Faktor-Faktor yang Mendasari Mereka Menjadi PSK, Pandangan Islam tentang PSK, Dampak Negatif Pelacuran Terhadap Biologis, Dampak
Pelacuran Terhadap Psikologis, Reaksi Sosial Terhadap Pekerja Seks Komersial dan Kerangka Berpikir.
Bab III : Metodologi Penelitian, Jenis Penelitian, Pendekatan dan Metode Penelitian, Definisi Variabel dan Operasional Penelitian, Pengambilan
Sampel, Populasi dan Sampel, Teknik Pengambilan Sampel, Pengumpulan Data, Metode dan Instrumen Penelitian Teknik Uji Instrumen Penelitian, Teknik Analisa Data Prosedur Penelitian, Persiapan
dan Pelaksanaan.
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
Bab ini menjelaskan tentang landasan teoritis penelitian ini, yang dibagi
menjadi empat subbab. Sub bab pertama membahas tentang religiusitas, sub bab
kedua membahas tentang penerimaan sosial masyarakat, sub bab ketiga
membahas tentang pekerja seks komersial, dan sub bab terakhir membahas
tentang kerangka berpikir.
2.1. Religiusitas
2.1.1. Pengertian Religiusitas
Dalam kamus bahasa Indonesia dinyatakan bahwa agama adalah segenap
kepercayaan (kepada Tuhan, dewa dan sebagainya) berikut ajaran kebaktian dan
kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu. Sedangkan kamus
Jawa Kuno-Indonesia menerangkan bahwa agama adalah "ilmu" atau
"pengetahuan" (pelajaran agama). (Kasdi, 2003)
Harun Nasution merunut pengertian agama berdasarkan asal kata, yaitu
al-din, religi (relegere, religare) dan agama. Al-din (semit) berarti undang-undang
atau hukum. Kemudian dalam bahasa arab, kata ini mengandung arti menguasai,
menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan. Sedangkan dari kata religi
(latin) atau relegere berarti mengumpulkan dan membaca. Kemudian religare
berarti mengikat. Adapun kata agama terdiri dari a=tidak; gam=pergi
mengandung arti tidak pergi, tetap ditempat atau diwarisi turun temurun.
(Jalaluddin, 1997)
Jung (Amir, 2004) berpendapat bahwa agama adalah kondisi mental
khusus yang bisa dikondisikan. Pandangan Jung ini berdasarkan kepada
penggunaan kata asli ”agama” (religion) yang biasa menunjukkan makna
”pandangan baru” atau ”titik persepsi” yang ”terbentuk” karena berbagai faktor.
Artinya, agama (religion) adalah suatu istilah yang mungkin sekali ”terbentuk”
dalam diri manusia karena berbagai faktor.
Sementara Prof. Dr. Koentjaraningrat dalam (Heny Narendrany Hidayati
dan Andri Yudiantoro, 2007) mengatakan bahwa agama (religi) adalah system
yang terdiri dari konsep-konsep yang dipercaya dan menjadi keyakinan secara
mutlak suatu umat, dan upacara-upacara beserta pemuka-pemuka yang
melaksanakannya. System ini mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan dan
dunia ghaib antara sesama manusia dan lingkungannya. Seluruh sistem dijiwai
suasana yang dirasakan sebagai suasana kerabat oleh umat yang menganutnya.
Menurut Thouless (dalam Darajat, 1970) agama adalah proses hubungan
manusia yang dirasakan terhadap sesuatu yang diyakininya, bahwa sesuatu itu
lebih tinggi daripada manusia.
Sedangkan menurut Mahmud (dalam Shihab, 1992) religius merupakan
ketetapan Tuhan yang diwahyukan kepada Nabi-Nya untuk menjadi pedoman
hidup manusia, sesuatu yang biologis dalam kehidupan manusia. Sedangkan
Shihab menyimpulkan bahwa religius adalah hubungan antara makhluk dengan
Penciptanya, yang terwujud dalam sikap batinnya serta tampak dalam ibadah yang
Menurut James (dalam Darajat, 1970) religiusitas adalah perasaan dan
pengalaman bagi insan secara individual yang menganggap bahwa mereka
berhubungan dengan apa yang dipandangnya sebagai Tuhan. Tuhan dalam
pandangan James adalah kebenaran pertama, yang menyebabkan manusia
merasa terdorong untuk mengadakan reaksi yang penuh khidmat dan
sungguh-sungguh terhadapNya, tanpa penggerutuan atau olok-olokkan.
Glock dan Stark (dalam Ancok dan Nashori, 1994) menegaskan bahwa
tingkat religius adalah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan
persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi (ultimate
meaning).
Religiusitas didefinisikan sebagai manifestasi seberapa jauh individu
penganut agama meyakini memahami, menghayati dan mengamalkan agama yang
dianutnya dalam kehidupan sehari-hari dalam semua aspek (djamaludin, 1995)
Dari beberapa pengertian tentang religiusitas, penulis menggunakan teori
dari Glock dan Stark dalam (Ancok dan Nashori, 1994) yaitu tingkat religiusitas
adalah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan persoalan-persoalan
2.1.2. Faktor-faktor yang Menimbulkan Religiusitas
Menurut Siti Partini pembentukan dan perubahan sikap keberagamaan
dipengaruhi oleh dua faktor (Ramayulis, 2004):
1. Faktor internal, berupa kemampuan menyeleksi dan mengolah atau
menganalisis pengaruh yang datang dari luar, termasuk disini minat dan
perhatian.
2. Faktor eksternal, berupa faktor di luar diri individu yaitu pengaruh lingkungan
yang diterima
2.1.3. Dimensi-Dimensi Religiusitas
Glock & Stark menyatakan (dalam Djamaludin Ancok & Fuad Nashori,
1995) bahwa ada lima dimensi keberagamaan, yaitu keyakinan (ideologis),
penghayatan atau pengalaman (eksperiensial), peribadatan atau praktek
beragama (ritualistik), pengetahuan agama (intelektual), dan pengamalan
(konsekuensi).
1. Dimensi Keyakinan
Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religius berpegang
teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran
doktrin-doktrin tersebut. Setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan
dimana para penganut diharapkan akan taat. Walaupun demikian, isi dan
ruang lingkup keyakinan itu bervariasi tidak hanya diantara agama-agama,
2. Dimensi Praktik Beragama
Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang
dilakukan orang-orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang
dianutnya. Praktek-praktek keagamaan ini terdiri dari dua kelas penting, yaitu
: ritual dan ketaatan.
Pertama, ritual. Mengacu kepada seperangkat ritus, tindakan keagamaan
formal dan praktek-praktek suci yang semua mengharapkan para pemeluk
melaksanakan.
Kedua, ketaatan. Ketaatan dan ritual bagaikan ikan dengan air, meski ada
perbedaan penting. Apabila aspek ritual dari komitmen sangat formal dan khas
publik, semua agama yang dikenal juga mempunyai perangkat tindakan
persembahan dari kontemplasi personal yang relatif spontan, informal, dan
khas pribadi.
3. Dimensi Pengalaman
Dimensi ini berkaitan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama
mengandung pengharapan-pengharapan tertentu, meski tidak tepat jika
dikatakan bahwa seseorang yang beragama dengan baik pada suatu waktu
akan mencapai pengetahuan subjektif dan langsung mengenai kenyataan
terakhir (kenyataan terakhir bahwa ia akan mencapai suatu kontak dengan
kekuatan supranatural). Seperti yang telah kita kemukakan, dimensi ini
berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi dan
sensasi yang dialami seseorang atau didefinisikan oleh suatu kelompok
dalam suatu esensi ketuhanan, yaitu dengan Tuhan, kenyataan terakhir dengan
otoritas transendental.
4. Dimensi Pengetahuan Agama
Dimensi pengetahuan agama mengacu kepada harapan bahwa orang-orang
yang beragama paling tidak memiliki sejumlah pengetahuan mengenai
dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci, dan tradisi-tradisi. Dimensi
pengetahuan mengenai suatu keyakinan adalah syarat bagi penerimanya.
Walaupun demikian, keyakinan tidak perlu diikuti oleh syarat pengetahuan,
juga pengetahuan agama tidak selalu bersandar pada keyakinan.
5. Dimensi Konsekuensi Atau Pengamalan
Konsekuensi komitmen agama berlainan dari keempat dimensi yang telah
dibahas diatas. Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat
keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari
hari ke hari. Walaupun agama banyak menggariskan bagaimana seharusnya
berpikir dan bertindak dalam kehidupan seseorang, tidak sepenuhnya jelas
sebatas mana konsekuensi-konsekuensi agama merupakan bagian dari
komitmen keagamaan atau semata-mata berasal dari agama.
2.1.4. Fungsi Religiusitas
Masalah agama tak akan mungkin dapat dipisahkan dari kehidupan
masyarakat, karena agama itu sendiri diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat.
1. Berfungsi Edukatif
Ajaran agama berfungsi menyuruh dan melarang. Kedua unsur suruhan dan
larangan ini mempunyai latar belakang mengarahkan bimbingan agar pribadi
penganutnya menjadi baik dan terbiasa dengan yang baik menurut ajaran
agama masing-masing.
2. Berfungsi Sebagai Penyelamat
Dimanapun manusia berada selalu menginginkan keselamatan. Dalam hal ini
keselamatan yang di berikan agama meliputi dua alam, dunia dan akhirat.
3. Berfungsi Sebagai Pendamaian
Melalui agama seseorang yang merasa bersalah atau berdosa dapat mencapai
ketenangan batinnya apabila ia kembali bertobat.
4. Berfungsi Sebagai Sosial Control
Ajaran agama oleh penganutnya dianggap sebagai norma, sehingga dalam hal
ini agama dapat berfungsi sebagai pengawas sosial secara individu ataupun
kelompok
5. Berfungsi Sebagai Pemupuk Rasa Solidaritas
Para penganut agama yang sama secara psikologis akan merasa memiliki
kesamaan dalam satu kesatuan: iman dan kepercayaan. Rasa kesatuan ini
membina rasa solidaritas kelompok maupun perorangan.
6. Berfungsi Transformatif
Ajaran agama dapat merubah kepribadian seseorang atau kelompok menjadi
baru yang diterimanya berdasarkan agama kadangkala dapat merubah
kesetiaanya pada adat atau norma kehidupan yang dianut sebelumnya.
7. Berfungsi Kreatif
Ajaran agama mendorong dan mengajak para penganutnya untuk bekerja
produktif, bukan saja untuk kepentingan pribadi juga untuk kepentingan orang
lain. Dalam hal ini peganut agama bukan saja disuruh bekerja dalam pola yang
sama tetapi juga dituntut untuk melakukan inovasi dan penemuan baru.
8. Berfungsi Sublimatif
Ajaran agama mengkuduskan segala usaha manusia bukan saja yang bersifat
ukhrawi, melainkan juga yang bersifat duniawi. Segala usaha manusia selama
tidak bertentangan dengan norma-norma agama, bila dilakukan atas niat yang
tulus, karena dan untuk Allah merupakan ibadah.
2.3. Penerimaan Sosial Masyarakat
2.3.1. Pengertian Penerimaan Sosial
Hurlock (1980) merumuskan bahwa teori penerimaan sosial adalah
diterimanya individu sebagai teman untuk suatu aktivitas dalam kelompok dimana
individu menjadi anggota. Hal ini merupakan indikasi kesuksesan seseorang untuk
mendapat tempat di kelompoknya dan anggota kelompok senang dalam bekerja
sama.
Hurlock (1980) menambahkan bahwa penerimaan sosial dari orang lain
dipengaruhi oleh penerimaan diri yang berasal dari pribadi yang baik. Perhatian
sosial dari orang lain dipengaruhi oleh keterampilan individu dalam bersikap
wajar dan menyesuaikan diri.
Taylor (1983) mengungkapkan bahwa penerimaan sosial adalah sikap
memandang orang lain sebagai individu yang patut dihargai tanpa menilai dan
tanpa berusaha mengendalikannya.
J.P. Chaplin (1993) penerimaan (acceptance) ditandai dengan sikap positif atau
menolak.
Dari beberapa pengertian, dapat disimpulkan bahwa penerimaan sosial
merupakan perhatian positif yang diterima individu dari orang lain dan
diterimanya individu tersebut sebagai teman untuk suatu aktifitas dalam
kelompok dimana individu menjadi anggota.
2.3.2. Kondisi-Kondisi yang Menyebabkan Seseorang mendapat Penerimaan
Sosial
Penerimaan sosial timbul dari reaksi orang lain terhadap kepribadian
seseorang. Beberapa ciri yang menyebabkan seseorang diterima disebut "sindrom
penerimaan". Menurut Hurlock, kondisi-kondisi yang menyebabkan seseorang
memperoleh penerimaan sosial yaitu:
a. Kesan pertama
[image:30.595.110.516.193.522.2]Status individu dikelompoknya bergantung pada perilakunya dan pada
gambaran orang lain terhadap dirinya. Hal tersebut terbentuk dari
diterima oleh kelompoknya adalah individu yang mempunyai penampilan
menarik baik secara fisik maupun mental.
b. Reputasi
Reputasi seseorang diperoleh melalui tingkah lakunya dan kesan yang dia
ciptakan pada orng lain tentang dirinya. Seseorang yang diterima oleh
kelompoknya adalah yang mempunyai reputasi sebagai orang yang sportif
seperti mau minta maaf dan menerima kekalahan
c. Partisispasi sosial
Seseorang yang aktif dalam kegiatan sosial akan lebih dikenal oleh orang
lain dan dia mempunyai kesempatan yang lebih luas untuk dapat diterima
oleh kelompoknya, karena individu yang aktif dalam kegiatan sosial, dapat
membangun hubungan yang baik dengan orang lain, berbagi rasa dengan
apa yang dimiliki, bertanggung jawab, jujur, memberikan ide untuk
kepentingan kelompoknya dan tidak mementingkan diri sendiri.
d. Kesehatan
Seseorang yang diterima oleh kelompoknya adalah seseorang yang
mempunyai kesehatan fisik dan mental yang baik. Seseorang yang
mempunyai kesehatan yang baik akan bersemangat, antusias dan
berkeinginan untuk menjadi bagian dalam aktifitas bersama.
e. Sifat kepribadian
Seseorang yang diterima oleh kelompoknya adalah seseorang yang
yang baik seperti jujur, setia, baik hati, tidak mementingkan diri sendiri,
mematuhi peraturan, dan mampu mengontrol emosinya dengan baik.
f. Inteligensi
Seseorang yang mempunyai inteligensi yang baik akan mudah diterima
oleh kelompok, karena dia dapat memberikan ide pada kelompoknya serta
membuat terobosan baru untuk kemajuan kelompok.
g. Status sosial ekonomi dan hubungan keluarga
Tingginya status sosial ekonomi seseorang dalam berhubungan dengan
lingkungan merupakan salah satu jaminan bahwa individu akan diterima
oleh lingkungannya. Warnath (Hurlock, 1997) mengungkapkan bahwa
lingkungan keluarga merupakan lingkungan awal untuk mengembangkan
kemampuan sosial individu yang berada pada lingkungan keluarga yang
bahagia yang lebih diterima karena mereka lebih bertanggung jawab.
2.3.4. Bentuk-Bentuk Penerimaan Sosial
Menurut Andi Mappire (1982) menjabarkan seseorang diterima oleh orang
lain di lingkungannya dipersepsikan menampilkan sikap-sikap sebagai berikut :
a. Menghargai secara keseluruhan apa yang ada didalam diri individu tanpa
syarat, pendapat atau penilaian. Lingkungan sosial tidak akan
mempersalahkan segala kekurangann yang dimiliki individu atau dengan
kata lain keadaan individu diterima sepenuhnya.
b. Memandang sebagai orang yang berharga tanpa memandang latar
c. Tidak memandang rendah. Lingkungan sosial percaya bahwa individu
memiliki keyakinan atas kemampuan atau potensi yang ada pada dirinya.
d. Individu yang diterima sosial tidak mendapatkan tekanan atau memiliki
kebebasan. Dengan kata lain individu akan merasakan bahwa
lingkungannya memberikan suatu independensi (mandiri).
2.4. Pekerja Seks Komersial (PSK)
2.4.1. Pengertian Pekerja Seks Komersial (PSK)
Prostitusi berasal dari bahasa latin (pro-stituere atau pro-stauree, yang
berarti membiarkan diri berbuat zinah, melakukan persundalan, pencabulan,
pergendakan. Orang yang melakukan aktifitas prostitusi disebut Pekerja Seks
Komersial (PSK) dikenal pula dengan nama Wanita Tuna Susila (WTS).
Tuna Susila, diartikan sebagai; kurang beradab karena keroyalan relasi
seksualnya, dalam bentuk penyerahan diri pada banyak laki-laki untuk pemuasan
seksual dan mendapatkan imbalan jasa atau uang bagi pelayanannya. Tuna susila
juga diartikan sebagai; salah tingkah, tidak susila atau gagal menyesuaikan diri
terhadap norma-norma susila. Maka pelacur itu adalah wanita yang tidak pantas
kelakuannya dan bisa mendatangkan petaka/celaka dan penyakit, baik kepada
orang lain yang bergaul dengan dirinya, maupun kepada diri sendiri. (Kartini
2.4.2. Sejarah Pelacuran di Indonesia
Pelacuran di Indonesia tidak terlepas dari sejarah peradaban bangsa
Indonesia itu sendiri. Bangsa Indonesia pada masa lalu adalah bangsa dengan
berbagai kerajaan. Perdagangan perempuan saat itu merupakan pelengkap dari
sistem feodal (kerajaan). Kekuasaan raja pada saat itu tidak terbatas hanya sekedar
menguasai pemerintahan, tapi juga menguasai segalanya termasuk tanah dan
segala isinya serta rakyatnya (hamba). Semua orang harus patuh pada raja, tidak
boleh ada orang yang membangkang. Mereka berkuasa penuh hingga bisa
mendapatkan perempuan sebanyak mungkin yang dalam istilah dulu disebut selir.
(Al-Ghifari, 2003).
Bahkan uniknya, waktu itu justru rakyat bangga jika ada sebagian anggota
keluarganya yang dijadikan selir, sebagian diantara penduduk justru menawarkan
anak gadisnya untuk dijadikan selir raja. Selir terkadang hadiah dari kerajaan
kecil sebagai tanda kesetiaan atau persahabatan. Semakin banyak selir yang
dimiliki seorang raja akan menambah kuat posisi raja di mata masyarakat.
Pemilikan perempuan simpanan (selir) bukan hanya terbatas pada raja
belaka, orang-orang yang ada di sekitar istana pun tak ketinggalan terkadang
berlomba mendapatkan banyak wanita simpanan. Sekalipun masa itu tidak
dikatakan pelacuran, namun dari cara-caranya tetap berupa pelacuran namun dulu
dilegalisir atau mendapat pengakuan masyarakat. Maka dengan demikian
persamaan selir dan PSK adalah terletak pada tidak terikatnya mereka dengan
legalitas formal (pernikahan yang sah). Dengan latar belakang seperti itu, maka
leluhur. Maka tidak heran jika kemudian menjamur berbagai pelacuran di
Indonesia bahkan di Asia sebagai akibat adanya sistem feodal zaman dulu.
(Al-Ghifari, 2003)
Nasib wanita pada masa penjajahan tidak jauh berbeda dengan sistem yang
dipakai pada masa kerajaan. Masa penjajahan, perempuan lebih menderita
dengan adanya pemaksaan dari kaum imperium dengan mengambil wanita
tertentu yang memiliki paras cantik. Para wanita itu dibawa untuk memenuhi
hasrat nafsu tentara. Terlebih lagi, pada saat itu kebanyakan laki-laki pribumi
dibawa dengan paksa untuk kerja paksa (rodi dan romusa).
Akibatnya di kamp-kamp atau kompleks militer penjajah selalu ditemukan
lokasi pelacuran dan saat hampir berakhirnya penjajahan di Indonesia telah
menjamur rumah-rumah bordir di setiap daerah di seluruh Indonesia terutama di
setiap stasiun kereta api di seluruh Indonesia selalu ada lokasi pelacuran. Kereta
api pada masa lalu merupakan transportasi satu-satunya yang menghubungkan
tiap kota dan antar daerah dan stasiun itu sendiri bisa dikatakan tempat transit. Di
stasiun kereta Bandung misalnya terdapat lokasi pelacuran seperti, Kebun Jeruk,
Kebon Tangkil, Sukamanah dan Saritem. Di Yogyakarta ada di Pasar Kembang,
Mbalokan dan Sosrowijayan. Di Surabaya terdapat di Kremil, Tandes dan
Bangunsari, semuanya berada di sekitar stasiun kereta api dan sebagian besar
2.4.3. Faktor-Faktor yang Mendasari Menjadi PSK
Banyak faktor yang menyebabkan seseorang terjerumus kedalam dunia
kelam ini, seperti dikemukakan oleh Kartini Kartono (2003):
1. Menghindarkan diri dari kesulitan hidup dan mendapatkan kesenangan melalui
"jalan pendek". Kurang pengertian, kurang pendidikan, dan buta huruf,
sehingga menghalalkan pelacuran.
2. Ada nafsu-nafsu seks yang abnormal, tidak terintegrasi dalam kepribadian, dan
keroyalan seks. Histeris dan hyperseks, sehingga tidak merasa puas
mengadakan relasi seks dengan satu pria/suami.
3. Tekanan ekonomi, faktor kemiskinan; ada pertimbangan-pertimbangan
ekonomis untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya; khususnya dalam
usaha mendapatkan status sosial yang lebih baik.
4. Aspirasi materiil yang tinggi pada diri wanita dan kesenangan ketamakan
terhadap pakaian-pakaian indah dan perhiasan mewah. Ingin hidup
bermewah-mewahan, namun malas bekerja.
5. Kompensasi terhadap perasaan-perasaan inferior, jadi ada adjustment yang
negatif; terutama sekali terjadi pada masa puber dan adolesens. Ada keinginan
untuk melebihi kakak, ibu sendiri, teman puteri, tante-tante atau wanita-wanita
mondain lainnya.
6. Rasa melit dan ingin tahu gadis-gadis cilik atau anak-anak puber pada masalah
seks, yang kemudian kecebur dalam dunia pelacuran oleh bujukan-bujukan
7. Anak-anak gadis memberontak terhadap otoritas orang tua yang menekankan
banyak tabu dan peraturan seks. Juga memberontak terhadap masyarakat, dan
norma-norma susila yang dianggap terlalu mengekang diri anak-anak remaja
ini; lebih menyukai pola "seks bebas".
8. Pada masa anak-anak pernah melakukan relasi seks, atau suka melakukan
hubungan seks sebelum perkawinan (ada pre-marital sex relation) untuk
sekedar iseng, atau untuk menikmati "masa indah" di kala muda. Atau, sebagai
simbol keberanian dan kegagahan telah menjelajahi dunia seks secara nyata.
Selanjutnya gadis-gadis ini terbiasa melakukan banyak relasi seks secara bebas
dengan pemuda-pemuda sebaya, lalu terperosoklah mereka ke dalam dunia
pelacuran.
9. Gadis-gadis dari daerah Slums (perkampungan-perkampungan melarat dan
kotor dengan lingkungan yang immoril, yang sejak kecilnya selalu melihat
persenggamaan orang-orang dewasa secara kasar dan terbuka, sehingga
terkondisionir mentalnya dengan tindak-tindak a-susila. Lalu menggunakan
mekanisme promiskuitas/pelacuran untuk mempertahankan hidupnya.
10. Oleh bujuk rayu kaum laki-laki dan para calo; terutama yang menjanjikan
pekerjaan-pekerjaan terhormat dengan gaji tinggi. Misalnya sebagai pelayan
toko, bintang film, peragawati dan lain-lain. Namun pada akhirnya,
gadis-gadis tersebut dengan kejamnya dijebloskan ke dalam bordil-bordil dan
11. Banyaknya stimulasi seksual dalam bentuk: film-film biru, gambar-gambar
porno, bacaan cabul, gang-gang anak muda yang mempraktekkan relasi seks,
dan lain-lain.
12. Gadis-gadis pelayan toko dan pembantu rumah tangga tunduk dan patuh
melayani kebutuhan-kebutukan seks dari majikannya, untuk tetap
mempertahankan pekerjaannya.
13. Penundaan perkawinan, jauh sesudah kematangan biologis, disebabkan oleh
pertimbangan-pertimbangan ekonomis dan standar hidup yang tinggi. Lebih
suka melacur (kan diri) daripada kawin.
14. Disorganisasi dan disintegrasi dari kehidupan keluarga, broken home, ayah
atau ibu lari, kawin lagi atau hidup bersama dengan pathner lain. Sehingga
anak gadis merasa sangat sengsara batinnya, tidak bahagia, memberontak, lalu
menghibur diri terjun dalam diri dunia pelacuran.
15. Mobilitas dari jabatan atau pekerjaan kaum laki-laki dan tidak sempat
membawa keluarganya. Misalnya pekerjaan: pengemudi, tentara, pelaut,
pedagang, dan kaum politisi, yang membutuhkan pelepasan bagi ketegangan
otot-otot dan syarafnya dengan bermain "perempuan".
16. Adanya ambisi-ambisi besar pada diri wanita untuk mendapatkan status sosial
yang tinggi, dengan jalan yang mudah, tanpa kerja berat; tanpa suatu skill atau
keterampilan khusus.
17. Adanya anggapan, bahwa wanita memang dibutuhkan dalam macam-macam
permainan cinta, baik sebagai iseng belaka maupun sebagai tujuan-tujuan
18. Pekerjaan sebagai pelacur tidak membutuhkan keterampilan/skill, tidak
memerlukan inteligensi tinggi; mudah dikerjakan asal orang yang
bersangkutan memiliki kecantikan, kemudahan dan keberanian. Tidak hanya
orang-orang normal, wanita-wanita yang agak lemah ingatan pun bisa
melakukan pekerjaan ini.
19. Anak-anak gadis dan wanita-wanita muda yang kecanduan obat bius
(hash-hish, ganja, morfin, heroin, candu, likeur/minuman dengan kadar alkohol
tinggi, dan lain-lain) banyak menjadi pelacur untuk mendapatkan uang
pembeli obat-obatan tersebut.
20. Oleh pengalaman-pengalaman traumatis (luka jiwa) dan shock mental;
misalnya gagal dalam bercinta atau perkawinan dimadu, ditipu, sehingga
muncul kematangan seks yang terlalu dini dan abnormalitas seks. Contoh:
seorang gadis cilik yang pernah diperkosa kesuciannya oleh laki-laki,menjadi
terlalu cepat matang secara seksual; ataupun menjadi patah hati dan penuh
dendam kesumat, lalu menerjunkan diri dalam dunia pelacuran.
21. Ajakan teman-teman sekampung/sekota yang sudah terjun terlebih dahulu
dalam dunia pelacuran.
22. Ada kebutuhan seks yang normal, akan tetapi tidak dipuaskan oleh pihak
suami. Misalnya karena suami impoten, lama menderita sakit, banyak
isteri-isteri lainnya sehingga sang suami jarang mendatangi istri yang bersangkutan,
2.4.4. Pandangan Islam Tentang PSK
Islam adalah agama yang mengajarkan kebaikan bagi segenap
penganutnya. Allah SWT menganjurkan kepada umat-Nya agar kita menjalankan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ketika kita menjalankan segala
perintah Allah, maka balasan yang akan kita dapat adalah surga, tetapi ketika kita
melanggar atau tidak menjauhi larangan-Nya maka balasan yang akan diterima
kelak di hari kiamat adalah neraka.
Zina (free sex) jelas dilarang oleh agama, jangankan melakukan zina
mendekatkan diri untuk melakukan perbuatan zina saja dilarang. Yang dimaksud
zina menurut (Sulaiman Rasjid, 1976) adalah memasukkan kemaluan laki-laki
sampai tekuknya ke dalam kemaluan perempuan yang diingini dan perbuatan itu
haram karena zat perbuatan itu, kecuali yang tidak diingini seperti mayat, atau
tidak haram karena zat perbuatan seperti berhubungan dengan istri sewaktu haid,
perbuatan itu tidak mewajibkan hukuman zina meskipun perbuatan itu haram
begitu juga mencampuri binatang-binatang.
Dalam Islam zina itu terbagi menjadi dua:
a. Zina ”muhshan” yaitu orang yang sudah balig, berakal, merdeka, sudah
pernah berhubungan (suami istri). Hukuman mereka adalah di rajam
(dilontar dengan batu yang sederhana sampai mati).
b. Orang yang tidak muhshan (yang tidak mencukupi syarat-syarat di atas)
seperti gadis dengan bujang, hukuman terhadap mereka dipukul seratus
kali dan dibuang keluar negeri satu tahun lamanya. (Sulaiman Rasjid,
Ancaman Allah terhadap orang yang melakukan perbuatan zina dalam
al-Qur’an adalah sangat jelas seperti dalam surat An-Nur ayat 2-3,
د
ﻓ
ﺔﻓأرﺎ ﻬ
آﺬ ﺄ
ﻻو
ةﺪ
ﺔﺋﺎ
ﺎ ﻬ
ﺪ او
آ
اوﺪ ﺎﻓ
اﺰ او
اﺰ ا
ﻰ اﺰ ا
ﺆ ا
ﺔ ﺋﺎ ﺎ ﻬ اﺬ
ﺪﻬﺸ و
ﺮ ﻻا
مﻮ او
ﷲﺎ
نﻮ
ﺆ
آ
نإ
ﷲا
ﻰ
ﻚ ذ
مﺮ و
كﺮﺸ وأ
ناز
ﻻأ
ﺎﻬ ﻜ
ﻻﺔ اﺰ او
ﺔآﺮﺸ
وأ
ﺔ از
ﻻإ
ﻜ
ﻻ
ﺆ ا
)
رﻮ ا
ةرﻮ
:
2
-3
(Artinya : ” Perempuan yang berbuat zina dan laki-laki yang berzina maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman”. ”laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin”.
Demikian juga sabda Nabi Muhammad s.a.w,
لﺎ
ﷲا
ﻰﺿر
دﻮ
ا
:
ﺻ
ﷲا
لﻮ ر
ﺄ
و
ﷲ
:
أ
ي
لﺎ
؟ﷲاﺪ
ﻈ أ
ﺬ ا
:
ﻚ
ﻮهو
اﺪ
ﷲا
نأ
.
:
ﻈ
ﻚ ذ
نإ
.
لﺎ
؟ىأ
ﺛ
:
ﻚ
نأ
ﺔﻓﺎ
كﺪ و
ﻜ
نأ
.
:
ﺔ
ﻰ اﺰ
نأ
؟ىأ
ﺛ
كرﺎ
) .
نﺎ ﺸ ا
اور
(
2.4.5. Dampak Negatif Pelacuran Terhadap Biologis
Bagi masyarakat barat hubungan pra-nikah bahkan gonta-ganti pasangan
atau free seks adalah hal yang biasa, namun di negara Timur terutama Indonesia
yang masih menjunjung tinggi norma agama, hal seperti itu adalah aib dan
mengganggu ketentraman hidup selanjutnya. (Alghifari, 2003). Penyakit (AIDS
dan penyakit kelamin lainnya) yang ditimbulkan akibat melakukan pelacuran (free
sex) muncul sebagai jawaban dari perilaku binatang yang tak layak dilakukan
manusia. Kehadirannya kini tak lebih dari malapetaka atau laknat. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa AIDS adalah penyakit yang unik karena
menyerang sistem kekebalan tubuh. Yang paling mengagetkan, hingga kini belum
ditemukan obatnya dan siapa pun bisa terjangkit tak peduli orang kotor atau
mereka yang baik-baik.
Selain AIDS penyakit kelamin juga sering menyerang orang yang
melakukan free sex. Diantara pelacur atau pelaku free seks terjadi saling transfer
penyakit. Sehingga semakin sering dia melakukannya, maka semakin rentan
terhadap berbagai macam penyakit. Berbagai penyakit kelamin yang kini dikenal
di dunia kedokteran diantaranya: sifilis, mole, gonore, ulkus, limprogranuloma,
venereum, inguinale, trikomoniasis, herpes progenitalis, trikomoniasis dan AIDS.
(al-Ghifari, 2003
2.4.6. Dampak Negatif Pelacuran Terhadap Psikologis
Beberapa akibat yang ditimbulkan oleh pelacuran menurut Kartini Kartono
a. Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga. Suami-suami yang tergoda oleh
pelacur biasanya melupakan fungsinya sebagai kepala keluarga, sehingga
keluargamenjadi berantakan.
b. Mendemoralisir atau memberikan pengaruh demoralisasi kepada
lingkungan khususnya anak-anak muda remaja pada masa puber dan
adolesensi.
c. Berkorelasi dengan kriminalitas dan kecanduan bahan-bahan narkotika
(ganja, morfin, heroin dan lain-lain)
d. Merusak sendi-sendi moral, susila, hukum dan agama. Terutama sekali
menggoyahkan norma perkawinan, sehingga menyimpang dari adat
kebiasaan, norma hukum dan agama, karena digantikan dengan pola
pelacuran dan promiskuitas; yaitu digantikan dengan pola pemuasan
kebutuhan seks dan kenikmatan seks yang awut-awutan murah serta tidak
bertanggung jawab. Bila pola pelacuran ini telah membudaya, maka
rusaklah sendi-sendi kehidupan yang sehat.
e. Adanya pengeksploitasian manusia oleh manusia lain. Pada umumnya
wanita-wanita pelacur itu Cuma menerima upah sebagian kecil saja dari
pendapatan yang harus diterimanya, karena sebagian besar harus diberikan
kepada germo, calo-calo, centeng-centeng, pellindung dan lain-lain.
Dengan kata lain, ada sekelompok manusia benalu yang memeras darah
2.4.7. Reaksi Sosial Terhadap Pekerja Seks Komersial (PSK)
Kenyataan membuktikan, bahwa semakin ditekan pelacuran, maka
semakin luas menyebar prostitusi tersebut (Kartini Kartono, 1989). Sikap reaktif
dari masyarakat luas atau reaksi sosialnya bergantung pada empat faktor;
1. Derajat penampakan atau fisibilitas tingkah laku; yaitu menyolok tidaknya
perilaku immoril para pelacur atau dengan bahasa lain tingkah laku amoral
yang sangat mencolok.
2. Besarnya pengaruh yang mendemoralisir lingkungan sekitarnya.
3. Kronis tidaknya kompleks tersebut menjadi sumber penyakit kotor
Syphilis dan Gonorrhoe, dan penyebab terjadinya abortur serta kematian
bayi-bayi.
4. Pola kultural : adat istiadat, norma-norma susila dan agama yang
menentang pelacuran yang sifat represif dan memaksakan (Kartini
Kartono, 2003).
Reaksi sosial itu bisa bersifat menolak sama sekali, dan mengutuk keras
dan memberikan hukuman berat sampai pada sikap netral, masa bodoh dan acuh
tak acuh serta menerima dengan baik. Sikap menolak bisa bercampur rasa benci,
ngeri, jijik, takut dan marah. Sedang sikap menerima bisa bercampur dengan
merasa senang, memuji-muji, mendorong dan simpati (Kartini Kartono, 2003).
2.5. Kerangka Berfikir
Quraish Shihab (1998) menyimpulkan bahwa religius adalah hubungan
tampak dalam ibadah yang dilakukan dan tercermin pula dalam sikap
kesehariannya.
Jiwa beragama atau kesadaran beragama merujuk kepada aspek rohaniah
individu yang berkaitan dengan keimanan kepada Allah yang direfleksikan ke
dalam peribadatan kepada-Nya, baik yang bersifat hablumminallah maupun
hablumminannas. (Syamsu Yusuf, 2004). Hablumminallah diartikan dengan
bagaimana seseorang berhubungan dengan tuhannya seperti shalat, puasa, haji.
Sedangkan hablumminannas yaitu hubungan manusia dengan manusia lainnya,
bagaimana seseorang berinteraksi dengan orang lain, berbuat baik, saling
menolong, saling menghargai.
Menurut Glock dan Stark, Dalam keberagamaan terdapat beberapa
dimensi, yaitu keyakinan, praktik agama, pengalaman, pengetahuan agama dan
pengamalan. Kelima dimensi ini saling berkaitan. Ketika kita telah meyakini
suatu agama maka kita harus mengetahui ajaran-ajaran dalam agama tersebut.
Ajaran agama berfungsi menyuruh dan melarang. Kedua unsur suruhan dan
larangan ini mempunyai latar belakang mengarahkan bimbingan agar pribadi
penganutnya menjadi baik dan terbiasa dengan yang baik menurut ajaran agama
masing-masing. Kewajiban setiap penganut suatu agama untuk mempraktikkan
ajaran agama melalui ritual atau ketaatan pada aturan agama, menjauhi
larangan-larangan dalam agama dan melaksanakan semua perintah dalam agama. Jika
kita telah melaksanakan semua ajaran agama, maka kita akan sampai pada
Tingkat religiusitas yang merupakan cerminan sikap keseharian
masyarakat ini dapat dijadikan barometer seberapa tinggi tingkat religiusitas
seseorang jika dihadapkan dengan fenomena menjamurnya praktek prostitusi.
Semakin tinggi pengetahuan seseorang tentang hukum Islam yang berkenaan
dengan zina, maka semakin menentang orang tersebut dengan keberadaan
prostitusi. Karena sangat jelas sekali bahwa prostitusi merupakan perbuatan zina
dan hal ini dilarang oleh agama terutama Islam, jangankan melakukan zina
mendekati saja dilarang dalam Islam. Selain dilarang agama, perbuatan zina
merusak moral masyarakat. Dalam Islam perbuatan zina harus diganjar dengan
hukuman yang sangat berat.
Dalam surat Al-Isra' ayat 32, Allah berfirman:
⌧
⌧
Artinya: "Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah
Tabel 2.1. Kerangka Berfikir
Penerimaan Sosial Masyarakat
Terhadap PSK Rendah
Bentuk Penerimaan
kan
‐
Menghargai
‐ Tidak Merendah
‐
Tidak Menekan
Tingkat Religiusitas Tinggi
Dimensi Religiusitas
•
Keyakinan
•
Praktek
•
Penghayatan
Pengetahuan
•
pengamalan
•
Tingkat Religiusitas
Rendah
Masyarakat Tinggi
Penerimaan Sosial
2.6. Hipotesis
Dari uraian tersebut dapat diajukan hipotesis sebagai berikut:
Ho = Tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat religiusitas dengan
penerimaan sosial masyarakat terhadap PSK
Ha = ada hubungan yang signifikan antara tingkat religiusitas dengan penerimaan
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
Pada bab ini akan dibahas mengenai metode dan pendekatan penelitian,
variabel penelitian, definisi operasional, populasi dan sampel, teknik pengambilan
sampel, pengumpulan data, teknik analisis data, dan prosedur penelitian.
3.1 Jenis Penelitian
3.1.1 Pendekatan dan Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kuantitatif dengan menggunakan dua jenis variabel, yaitu variabel bebas
(independent variable) yakni tingkat religiusitas dan variabel terikat (dependent
variable) yakni penerimaan sosial masyarakat, dimana data yang dihasilkan dari
hasil penelitian adalah berwujud data kuantitatif (Prasetyo dan Jannah, 2005).
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian metode deskriptif
dengan jenis penelitian korelasional untuk menentukan tingkat hubungan
variabel-variabel yang berbeda dalam suatu populasi (Subana dan Sudrajat, 2005). Metode
ini dipakai untuk menggambarkan seberapa besar pengaruh tingkat religiusitas
pada penerimaan social masyarakat terhadap pekerja seks komersial yang berada
di daerah Tegal Rotan.
3.2 Variabel Penelitian
Variabel adalah suatu karakteristik yang dimiliki dua atau lebih nilai atau
sifat yang berdiri sendiri-sendiri (Sevilla,et al, 1993). Variabel terbagi dua macam,
yaitu variabel bebas (independent variable) dan variabel terikat (dependent
variable). Dalam penelitian ini yang menjadi kedua variabel tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Variabel bebas : Tingkat Religiusitas
2. Variabel terikat : Penerimaan social masyarakat
3.2.1 Definisi konseptual
1. Glock dan Stark dalam (Ancok dan Nashori, 1994) tingkat religiusitas
adalah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan
persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi (ultimatemeaning)
2. Taylor dalam Jersild (1983) mengungkapkan bahwa penerimaan sosial
adalah sikap memandang orang lain sebagai individu yang patut dihargai
tanpa menilai dan tanpa berusaha mengendalikannya.
3. Pekerja Seks Komersial atau Pelacur menurut Kartini Kartono (2003)
adalah mereka yang biasa melakukan hubungan kelamin diluar pernikahan
yang sah. wanita yang tidak pantas kelakuannya, bisa mendatangkan
mala/celaka dan penyakit, baik kepada orang lain yang bergaul dengan
3.2.2 Definisi operasional variabel
Skor dari tingkat religiusitas, aspek-aspeknya mengacu pada Glock dan
Stark (dalam Ancok, 2004) yaitu:
1. Keyakinan, indikatornya adalah: iman kepada Allah SWT, iman kepada
malaikat,iman kepada Nabi dan Rasul, iman kepada kitab-kitab, iman
kepada hari kiamat, iman kepada qadha dan qadar.
2. Ibadah/ritual, indikatornya adalah: shalat, puasa, dzikir dan do'a, zakat dan
ibdah haji
.3. Penghayatan, indikatornya adalah: perasaan dekat denganNya, perasaan
bersyukur, perasaan doa-do'anya terkabul.
4. Pengetahuan, indikatornya adalah: aqidah, ibadah, akhlak, al-Qur'an dan
hadist.
5. Pengamalan, indikatornya adalah: menolong, belajar, bertangguang jawab dan
jujur.
Definisi operasional penerimaan sosial masyarakat, aspek-aspek
penerimaan sosial masyarakat yang diukur dalam penelitian ini, menggunakan
teori Andi Mappire (1982) yaitu :
1. Menghargai indikatornya adalah tidak mempermasalahkan kekurangan
seseorang, tidak mempemasalahkan latar belakang seseorang.
2. Tidak merendahkan indikatornya adalah mempercayai seseorang memiliki
kemampuan, mempercayai seseorang mempunyai potensi.
3.2 Pengambilan Sampel
3.2.1 Populasi dan Sampel
Menurut Kerlinger (1973), populasi adalah keseluruhan anggota, kejadian
atau obyek-obyek yang telah ditetapkan dengan baik. Menurut Ferguson (1976)
sampel adalah beberapa bagian kecil atau cuplikan yang ditarik dari populasi
(Sevilla, 1993).
Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat yang tinggal di
Kampung Tegal Rotan RT. 002/08 Kelurahan Sawah Baru Kecamatan Ciputat
Tangerang Selatan yang berjumlah 437 orang baik yang dewasa maupun
anak-anak dibawah umur.
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah secara purposive
random sampling yaitu memilih responden berdasarkan atas ciri-ciri/sifat-sifat
yang sesuai dengan karakteristik subyek penelitian yang telah ditetapkan yaitu
dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Usia responden dari umur 18 tahun sampai umur 50 tahun, karena umur 18
tahun adalah masa memasuki dewasa awal.
2. Responden adalah warga yang berdomisili di daerah tersebut minimal tiga
tahun.
3.3 Pengumpulan Data
3.3.1 Metode dan Instrumen Penelitian
Peneliti menggunakan skala dalam bentuk pernyataan untuk memperoleh
data dalam penelitian ini. Kerlinger (dalam Sevilla, 1993), mendefinisikan skala
sebagai suatu perangkat simbol atau angka-angka dalam bentuk simbol atau angka
yang ditetapkan menurut aturan individu (atau tingkah laku mereka) dimana skala
ditetapkan. Penetapan dinyatakan melalui pemilikan individu skala apa saja yang
dianggap perlu diukur. skala yang digunakan untuk membuat pernyataan dalam
[image:52.595.107.520.324.568.2]penelitian ini adalah skala model Likert.
Tabel 3.1.
Penskoran Skala Model Likert
Pernyataan Sangat
Setuju (SS)
Setuju (S)
Tidak Setuju (TS)
Sangat Tidak setuju
(STS)
Favorable 4 3 2 1
Unfavorable 1 2 3 4
1. Skala Religiusitas
Pembuatan item-item pernyataan skala religiusitas disusun berdasarkan
Tabel 3.2.
Cetak biru skala religiusitas
Aspek Indikator Favorabel Unfavorabel Jumlah
Keyakinan 1. Iman Kepada
Allah
2. Iman Kepada Malaikat 3. Iman Kepada
Kitab-Kitab 4. Iman Kepada
Nabi & Rasul 5. Iman Kepada
Hari Akhir 6. Iman Kepada
Qadha & Qadar 1 3 5 7 9 11 2 4 6 8 10 12 12 Ibadah/ ritual 1. Shalat 2. Puasa
3. Dzikir & Do'a 4. Zakat 5. Haji 13 15 17 19, 20 21, 22
14 16
18 10
Penghayatan 1. Perasaan
dekat dengan Allah
2. Perasaan syukur kepada Allah 3. Perasaan do'a
terkabul
23, 25
27
24
26
28
6
Pengetahuan 1. Aqidah 2. Ibadah 3. Akhlak 4. Al-qur'an 5. Hadits
29, 30 31, 35
33 37
32, 36 34
38
10
Pengamalan 1. Menolong 2. Belajar 3. Bertanggung jawab 4. Jujur 39 41 43 45 40 42 44 46 8
2. Skala Penerimaan Masyarakat
Pembuatan item-item pernyataan skala Penerimaan Masyarakat disusun
[image:54.595.108.533.181.609.2]berdasarkan aspek-aspek yang mengacu pada Andi Mappire (1982)
Tabel 3.3.
Cetak biru skala penerimaan sosial masyarakat
Aspek Indikator Favorabel unfavorabel Jumlah
Menghargai 1. Tidak
mempermasalah kan kekurangan seseorang 2. Tidak mempermasalah kan latar belakang
10, 13, 23
1, 4, 14, 27 2, 8
9 Tidak merendahkan 1. Percaya seseorang memiliki kemampuan 2. Percaya seseorang meiliki potensi 3, 22 21 9 4 Tidak menekan Memberi kebebasan
5, 7, 12, 20, 24, 26, 28,
29, 30
6, 11, 15, 16,
17, 18, 19, 25 17
Jumlah 19 11 30
3.3.2 Teknik Uji Instrumen Penelitian
Uji coba penelitian diberikan pada responden yang memiliki karakteristik
hampir sama dengan sampel penelitian. Jumlah responden uji coba minimal
Kampung Tegal Rotan RT. 002/08 Kelurahan Sawah Baru Kecamatan Ciputat
Tangerang Selatan. Data yang diperoleh peneliti dari hasil uji coba diolah dengan
perhitungan statistik untuk menguji validitas dan reliabilitas dari instrumen ini.
1. Uji Validitas
Pengujian validitas dilakukan untuk mengetahui apakah suatu alat ukur
mampu menghasilkan data yang akurat dan sesuai dengan tujuan ukurannya
. Untuk mengetahui validitas dari setiap item pertanyaan skala religiusitas
dan skala penerimaan ini menggunakan bantuan SPSS 17 for windows.
2. Uji Reliabilitas
Reliabilitas mengacu pada konsistensi atau reliabilitas hasil ukur, yang
mengandung makna kecermatan pengukuran (Sevilla, 1993). Untuk menguji
reliabilitas instrumen penelitian, peneliti menggunakan rumus Alpha
Cronbach (Saifuddin Azwar, 2004). Perhitungan reliabilitas dengan
menggunakan program komputer SPSS versi 17 for windows. Setelah
diperoleh hasil perhitungan yang tepat kemudian disesuaikan dengan kaidah
yang berlaku untuk mengetahui tinggi rendahnya reliabilitas alat tes tersebut
[image:55.595.106.515.173.537.2]dapat dilihat dalam tabel kaidah reliabilitas berikut ini :
Tabel 3.4. Kaidah Reliabilitas
Nilai Status
> 0,90 0,70-0,90 0,40-0,70 0,20-0,40 < 0,20
Sangat reliabel Reliabel Cukup reliabel Kurang reliabel
3.3.3 Hasil Uji Validitas-Reliabilitas Skala Religiusitas
Pengujian butir item instrumen religuisitas dilakukan dengan taraf
signifikans 0,05 dengan r tabel 0,220. Hasil penghitungan yang didapat dari
program SPSS 17 for windows dengan menggunakan rumus korelasi dari
pearson, dari keseluruhan item yang ditry-outkan di lapangan dengan jumlah
item 46, ditemukan item-item yang valid berjumlah 33 item dan yang tidak
valid berjumlah 13 item.
Untuk pengujian reliabilitas instrumen, penulis menggunakan rumus alpha
cronbach dengan proses penghitungan dari program SPSS 17 for windows. Dari
hasil penghitungan tersebut diperoleh skor reliabilitas tingkat α = 0,824. Dengan
demikian, merujuk kepada klasifikasi koefisien reliabilitas dari Guilford,
koefisien reliabilitas 0,7-0,9 adalah reliable. Berikut Blue Print dari skala
[image:56.595.110.518.362.750.2]religiusitas:
Tabel 3.5
Distribusi Item-Item Valid Skala religiusitas
Aspek Indikator Favorabel Unfavorabel Jumlah
Keyakinan 7. Iman Kepada
Allah
8. Iman Kepada Malaikat 9. Iman Kepada
Kitab-Kitab 10.Iman Kepada
Nabi & Rasul 11.Iman Kepada
Hari Akhir 12.Iman Kepada
Ibadah/
ritual
6. Shalat 7. Puasa
8. Dzikir & Do'a 9. Zakat
10.Haji
13 15 17 19*, 20*
21, 22*
14 16
18 10
Penghayatan 4. Perasaan
dekat dengan Allah
5. Perasaan syukur kepada Allah 6. Perasaan do'a
terkabul
23*, 25*
27